"PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin
parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula
nanti malam. Benar-benartidak ada waktu lagi. Anak anakku, sebelum semuanya
terlambat, pulanglah...."
Wajah keriput nan tua itu menghela nafas. Sekali.
Dua kali. Lebih panjang. Lebih berat. Membaca pesan itu entah untuk berapa kali
lagi. Pelan menyeka pipinya yang berlinang, juga lembut menyeka dahi putri
sulungnya, wanita berwajah pucat yang terbaring lemah di hadapannya.
Mengangguk. Berbisik lembut: "Ijinkan, Mamak mengirimkannya, Lais....
Mamak mohon...."
Pagi indah datang di lembah itu. Cahaya matahari
mengambang di antara kabut. Embun menggelayut di dedaunan strawberry. Buahnya
yang beranjak ranum nan memerah. Hamparan perkebunan strawberry terlihat indah terbungkus
selimut putih sejauh mata memandang. Satu bilur air mata akhirnya ikut
menetes dari wanita berwajah redup yang terbaring tak berdaya di atas tempat
tidur. Mereka berdua bersitatap satu sama lain, lamat-lamat. Lima belas detik
senyap. Hanya desau angin lembah menelisik daun jendela. Ya Allah, sungguh
sejak kecil ia menyimpan semuanya sendirian. Sungguh. Demi adik-adiknya. Demi
kehidupan mereka yang lebih baik. Ia rela melakukannya. Tapi, sepertinya semua
sudah usai. Waktunya sudah selesai. Tidak lama lagi. Sudah saatnya mereka tahu.
Sudah saatnya.... Perempuan berwajah pucat di atas ranjang berusaha tersenyum,
dengan sisa-sisa tenaga. Sedikit terbatuk, bercak darah merah mengalir dari
sela bibir bersama dahak. Bernafas sesak. Semakin kesakitan. Namun
sekarang muka tirusnya mengembang oleh sebuah penerimaan. Ia perlahan
mengangguk. Tangan tua itu demi melihat anggukan putri sulungnya, tanpa
menunggu lagi gemetar menekan tombol ok. Message transmitted. Maka! Dalam
hitungan seperjuta kedipan mata. Melesat Berpilin. Berputar. Seketika saat
tombol ok itu ditekan, jika mata bisa melihatnya, bak komet, bagai anak panah,
macam rudal berkecepatan tinggi, 203 karakter SMS itu berubah menjadi data
binari 0-1-0-1! Menderu tak-tertahankan menuju tower BTS (base transmitter
station) terdekat. Sepersekian detik lagi lantas dilontarkan sekuat tenaga
menuju satelit Palapa C-2 ratusan kilometer di atas sana, berputar dalam sistem
pembagian wilayah yang rumit, bergabung dengan jutaan pesan, suara, streaming
gambar, dan data lainnya dari berbagai sudut muka bumi (yang hebatnya tak
satupun tertukar-tukar), lantas sebelum mata sempat berkedip lagi, pesan
tersebut sudah dilontarkan kembali ke muka bumi! Pecah menjadi empat. Bagai
meteor yang terbelah, pecahan itu berpendar-pendar sejuta warna menghujam ke
empat penjuru dunia. Empat nomor telepon genggam! Tak peduli di manapun
itu berada. Tak peduli sedang apapun pemiliknya. Kabar itu segera terkirimkan.
Melesat mencari empat nomor telepon genggam yang dituju. Pulanglah anak-anakku!
Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan
kalian………
"HADIRIN yang kami hormati, tiba saatnya
kita mengundang ke atas panggung, seseorang yang sudah kita tunggu-tunggu sejak
tadi. Seseorang yang seolah-olah akan – maaf – membuat lima profesor sebelumnya
terasa membosankan dan membuat mengantuk" Tertawa. Ruangan besar itu
buncah oleh tawa.
".... Banyak sekali catatan hebat yang
dimilikinya, tapi anehnya, meski banyak, sekarang kita sama sekali tak perlu
menyebut satupun. Ah, bukan karena akan merepotkan membaca daftar super-panjang
itu, tapi buat apa lagi, semua sudah hafal, bukan? Jadi buat siapapun di
ruangan besar ini, siapapun di antara lima ratus peserta Simposium Fisika
Intemasional ini yang tidak mengenal sosoknya. Yang, oh, betapa malangnya
peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan
memperkenalkan pembicara utama simposium kita hanya dengan memperlihatkan cover
sebuah majalah: Science!" Dengan sedikit dramatis, moderator simposium
fisika itu sengaja mengangkat tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di
dunia. Yang memiliki reputasi paling hebat di antara sejenisnya. Lihatlah edisi
bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa menurunkan laporan tidak lazim, utuh
sebanyak 49 halaman, hmm, itu bisa dibilang hampir seperempat tebal majalah
ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa
bagi banyak ahli fisika yang kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik
di negara-negara Barat sana. Judul penelitiannya adalah: 'Pembuktian Tak
Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah'. Kepala-kepala menyeruak. Berebut
ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan, mengingat
hari ini, ketika kehidupan sudah begitu tidak-pedulinya dengan fakta-fakta
dalam agama, pembicara utama kita siang ini justru datang dengan sepuluh bukti
bahwa bulan memang pernah terbelah 1.400 tahun silam dalam hasil penelitian
mutakhirnya. Bukan main. Lengkap tak terbantahkan, sebagai salah satu mukjijat
Nabi penutup jaman. Benar-benar terbelah dua seperti kalian sedang membelah semangka,
bukan penampakan sihir, apalagi ilusi mata seperti yang dituduhkan dan dipahami
banyak orang sejak dulu. Lantas setelah dibelah, dua potongan bulan tersebut
disatukan kembali, seperti bulan yang biasa kita lihat sekarang. Itu
benar-benar pernah terjadi!" Moderator itu berhenti sejenak. Membiarkan ruangan
besar dipenuhi sensasi yang diinginkannya. Terpesona. Ingin tahu. Rasa kagum
Sejenis itulah.
"Well, meski kalau dipikir-pikir sebenarnya
pembuktian hebat atas bulan yang pernah terbelah itu tidak terlalu mengejutkan
kita, bukan? Hanya soal waktu dia akan membuktikannya. Mengingat profesor muda
kita adalah orang pertama di negeri ini yang berkali-kali menulis di jurnal
paling prestisius dunia itu. Mendapat pengakuan dari berbagai institusi
penelitian dunia, dan selalu konsisten berusaha membuktikan berbagai
transkripsi dan sejarah religius dari sisi ilmiahnya...."
Muka-muka yang memadati ruang konvensi besar itu
terlihat semakin bercahaya oleh antusiasme. Seperti anak kecil yang dijanjikan
mainan baru. Atau seperti anak kecil yang melihat penuh rasa ingin tahu toples
penuh gula-gula. Menunggu tak sabaran moderator yang terus ngoceh tentang fakta
yang sebenamya mereka sudah tahu semua. Termasuk jurnal itu. Tadi pagi
dibagikan gratis ke seluruh peserta.
".... Namanya terdaftar dalam 100 peneliti
fisika paling berbakat di dunia. Dan tidak berlebihan jika mantan koleganya di
Princenton University berandai-andai dia akan menjadi salah-satu kandidat kuat
penerima nobel fisika beberapa tahun ke depan. Jadi buat peserta yang tidak
sempat mengenalnya secara langsung, hari ini setelah enam bulan berusaha
menculiknya dari jadwal laboratorium yang tidak masuk-akal, dari berbagai
penelitian yang serius, sistematis dan kaku... hari ini dengan bangga kami
hadirkan sosok yang sebaliknya memiliki wajah dan kepribadian santun
menyenangkan ini...." Gadis moderator itu tersenyum lebar, terlihat amat
senang membuat seluruh peserta simposium menunggu tak sabaran kalimat-kalimat
perkenalannya. Menikmati posisinya sebagai 'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian yang
santun menyenangkan? Kalian tahu, yang menarik ternyata bukan hanya wajah
profesor ini yang terlihat santun menyenangkan. Well, di tengah kesibukannya
sebagai peneliti, pakar, dan apalah namanya yang serba serius dan menuntut
banyak waktu itu, profesor muda kita tetap hidup dengan segala romantisme
bersama keluarga kecilnya. Lihatlah, hari ini dia datang dengan istrinya yang
terlihat cantik, selamat siang Nyonya!"
Muka-muka tertoleh. Penuh rasa ingin tahu. Mereka
belum pernah melihat istri sang Profesor, meski dengan begitu banyak publisitas
selama ini. Tersenyum. Wanita cantik berkerudung yang duduk di sebelah sang
Profesor, baris kedua dari depan itu ikut balas tersenyum, layar LCD raksasa di
depan plenary hall menayangkan paras cantiknya.Mengangguk anggun. Sedikit
bersemu merah.
"Ada yang berminat mendengar kisah indah
pertemuan mereka?" Moderator menyeringai lebar.
Hampir seluruh peserta simposium meski tertarik,
menggdeng. Mereka jauh-jauh datang dari berbagai universitas ternama ke ruangan
besar itu jelas-jelas ingin mendengarkan paparan mutakhir temuan fisika, bukan
celoteh moderator.
"Baiklah karena kalian memaksa, maka
dengan senang hati saya akan menceritakan bagian tersebut..." Wajah-wajah
terlipat. Gumam keberatan.
"Keluarga yang hebat meski tidak menyukai
publisitas.... Masa kecil yang penuh perjuangan... kalian tahu, Profesor kita
sudah membuat kincir air setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak.... Perkenalan
di kontes fisika, terpesona oleh kecantikan remaja... Profesor kita mengejar
hingga ke Bandara, haha...." Lima menit berlalu, peserta simposium mulai
jengkel
".... Perkebunan strawberry yang indah.... Masa
kecil yang begitu mengesankan...." Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem
(lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya gadis di
podium menyadari ruangan mulai gerah, tersenyum lebar tidak-sensitif,
"Karena saya pikir kalian sedikit mulai tak-sabaran mendengar perkenalan
yang sebenarnya amat penting dari saya, baiklah, hadirin, berikan sambutan yang
paling meriah, inilah salah-satu profesor fisika termuda, ternama, yang pernah
ada di negeri ini, profesor kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak dikomando menggema bagai dengung
lebah. Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum lebar. Melepas genggaman mesra,
berbisik lembut ke istrinya. Berdiri. Lantas melangkah sigap menuju podium.
Dengan langkah panjang-panjang. Rambutnya tersisir rapi mengkilat. Matanya
tajam memandang, Rahangnya kokoh. Eskpresi wajahnya meski santun
menyenangkan seperti yang dibilang moderator cerewet itu, sebenamya terlihat
keras mengiris, sisa gurat masa kecil yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja
krem. Rapi seperti biasa. Meski 'gelang karet' gaya anak muda di tangan kanan
membuatnya terlihat lebih kasual, untuk tidak bilang sebenarnya sedikit tidak
matching dengan busana rapinya. Gelang itu macam gelang karet yang bertulisan 'solidarity
forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang trend di anak
muda. Itu gelang pemberian Intan, putri sulungnya yang berumur sembilan tahun.
Bertuliskan, 'Safe The Planet!' Minggu-minggu ini, Intan menjadi ketua panitia
'Earth Day' di sekolah. Memaksa siapa saja mengenakan gelang itu. Satu gelang
bernilai sumbangan 5.000 perak. Nanti uangnya buatbeli tong sampah yang bakal
dikirim ke daerah-daerah korban bencana alam. Makanya Intan sibuk benar
berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri (malah seminggu lalu mengirimkan selusin
gelang ke perkebunan strawberry buat tukang-tukang kebun); buat apa coba di
pedalaman indah nan sederhana itu penduduknya pakai gelang? Ah, Intan memang
keras kepala soal proyek "Safe The Planet" -nya, lihatlah satu gelang
juga terpasang rapi di leher hamster belang miliknya, meski yang bayar lima
ribu perak, ya Ummi.
Profesor Dalimunte memperbaiki speaker di atas
podium. Pelan mengetuk-ngetuknya. Berdehem. Tepukan mereda. Peserta konvensi
perlahan duduk kembali. Menatap antusias ke depan.
"Baik, pertama-tama, terima-kasih atas
perkenalan yang hebat, panjang, dan superlengkapnya. Meski saya pikir kau
agak berlebihan dengan menceritakan bagian romantisme pertemuan itu,
Anne!" Dalimunte menganggukan kepala kepada moderator, tersenyum,
"Tapi terima kasih atas sentuhan keluarganya: profesor muda kita
tetap hidup dengan segala romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne,
setidaknya dengan kalimat terakhir itu, kau membuatku terlihat sedikit lebih
manusiawi. Bukan seperti daftar penelitian yang kulakukan sepanjang tahun:
sistematis, serius, dan kaku. Ya, profesor fisika juga manusia biasa,
bukan—" Tertawa. Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin, sebelumnya maafkan saya untuk dua
hal...." Profesor Dalimunte mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat,
"Pertama karena saya hanya punya waktu lima belas menit untuk memenuhi
segala keingintahuan kalian. Saya harap itu cukup setelah hampir enam bulan
kalian menunggu kesempatan ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di
laboratorium, belum lagi dengan segala tenggat waktunya. Di samping itu, kalian
tahu persis, saya tidak terlalu menikmati dikelilingi puluhan wartawan
dengan kameranya. Semua popularitas ini.... Jadi ijinkanlah saya untuk memulai
langsung topik kita hari ini—"
Wajah-wajah terlihat semakin antusias.
Tangan-tangan wibuk menggenggam pulpen bersiap mencatat. Takut benar ada fakta
terucap yang terselip di ingatan dan lalai di catat takut benar
terlihat sebagai orang paling bodoh dalam ruangan simposium fisika
internasional tersebut. Ini lima belas menit yang penting.
".... Seperti yang telah kalian baca di
jurnal tersebut bulan dibelah dua sudah menjadi fakta religius ratusan
tahun silam. Salah-satu mukjizat Nabi penutup jaman. Ada banyak perdebatan, ada
banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru.
Ternyata tidak. Keajaiban itu memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada
satu potongan translasi religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang
salah? Sungguh lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!"
Profesor Dalimunte dengan muka serius menunjuk slide gambar bulan terbelah dua
di layar LCD raksasa depan ruangan.
"Tapi seperti yang saya bilang tadi, untuk
kedua kalinya maafkan saya, karena hari ini saya memutuskan untuk tidak
membicarakan penelitian yang sudah dimuat dengan baik oleh jurnal populer yang
selama ini sekuler dan diskriminatif, 'Science'. Kalian bisa membaca sendiri
seluruh buktinya di majalah tersebut, dan jika masih ada pertanyaan, kolega dan
staf saya di laboratorium dengan senang hati membalas e-mail pertanyaan, pesan,
ajakan diskusi, atau apapun dari kalian....
“Hari ini sesuai kesepakatan dengan panitia
simposium lima menit setiba saya di sini, saya akan menyajikan pembuktian fakta
religius penting lainnya. Bukan tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih
mendesak untuk disampaikan. Perubahan topik ini sebenarnya kabar baik bagi
kalian, karena kalian akan menjadi orang pertama yang mendengarkan progress
penelitian terbaru kami: Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi menjelang hari
kiamat...." Slide bergerak cepat. Sekarang memunculkan sebuah translasi
kitab suci.
Wajah-wajah dalam ruang besar nampaknya tidak
terlalu keberatan dengan perubahan topik yang mendadak tersebut. Buru-buru
mencoret judul catatan di atas kertas. Profesor Dalimunte tersenyum lebar
menatap sekitar dengan rileks. Lima ratus undangan. Lima ratus ahli fisika dari
berbagai penjuru dunia. Meski tidak terlalu menyukai publisitas, dia amat
terlatih untuk urusan mengendalikan massa seperti ini. Dulu dia belajar dari
guru terbaiknya.
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail
kabar tanda-tanda hari akhir? Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti
pernah. Dan setidaknya bagi siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir
tersebut, maka tidak peduli dari kitab suci agama manapun, berita-berita
tersebut boleh dibilang mirip satu sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan
membahas soal mirip tidaknya, itu urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar
mereka yang menjelaskan kalau sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu
muasal. Penelitian fisika terbaru kami hanya bertujuan memaparkan fakta
ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita
tercengang adalah kabar peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain
dengan sebutan Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan
wilayah.... Menarik. Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin
pernah melipat dahi, bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai
riwayat sahih terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan
dengan pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan menemukan
berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan satu....
Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari ini? Di
mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita
tentang tanda-tanda akhir jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke
masa-masa pertempuran konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan
dari langit? Keluarnya dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai
yang mereka lewati? Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf
jika ini terlalu detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta
simposium yang datang dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu
berkeberatan dengan kalimat itu, lebih asyik melihat layar LCD raksasa di
depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali
tidak menyinggung soal senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat
kasus Nagasaki dan Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai
sudah! Bagaimana mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa
menggunakan teknologi hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi
ratusan tahun, atau ribuan tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan
secanggih apa teknologi senjata saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi
Armageddon, apa susahnya melepas dua tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton
ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan
manusia malah sudah bisa membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud
peperangan tersebut adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan
Ma'juj yang dikurung di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini
kita tidak tahu di mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari
planet lain. Masuk akal bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari
bagaimana menafsirkan berbagai translasi religius ini, sepertinya
kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan tadi amat berlebihan, sejauh ini
belum ada buktinya. Kabar peperangan besar tersebut sepertinya memang akan
sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu. Saya menyimpulkan demikian:
sesederhana itu... Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak
digunakan saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang
telah diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan
ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat
tiba, peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?"
Dalimunte diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta
simposium dengan berbagai pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti
atau tidak. Terus menyajikan dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda
dari berbagai kitab suci lainnya. Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu
mengerti transkripsi religius yang terpampang di layar raksasa LCD menandai
besar-besar catatannya (berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu
penjelasannya). Sama seperti dengan beberapa peserta yang tidak tahu, lupa,
atau malah sama sekali tidak mengerti tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi
penutup jaman di majalah 'Science' sebelumnya. Ruangan besar simposium fisika
itu lengang, hanya suara pulpen menggores kertas yang terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu
pengetahuan seperti siklus naik turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika
kita ibaratkan, maka peradaban manusia persis seperti roda. Terus
berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya. Ada suatu masa, ketika kemajuan
ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, manusia menguasai teknologi-teknologi
hebat, lantas entah oleh apa, mungkin karena peperangan, bencana alam, atau
karena entahlah, di masa-masa berikutnya kembali meluncur ke titik
terendahnya.... Jika kita ingin berpikir sejenak, siapa bilang ribuan tahun
silam manusia masih primitif? Masih bodoh? Tidak mengenal teknologi telepon
selular? Internet? Penerbangan ke bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta
religius yang tertulis indah di kitab suci: Salah seorang sahabat Nabi
Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin yang mengenalnya dengan nama itu.
Saya garis bawahi, saat itu, seorang manusia, pernah bisa memindahkan
dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik ke titik lainnya yang berjarak
ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip! Seorang manusia. Spektakuler!
Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi sehebat itu hari ini!
Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan peradaban, bahkan tidak bisa
memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun itu wahana dan caranya, kecuali
di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah ketinggalan kaki, tangan, atau
telinga—" Dalimunte menyeringai. Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga
dengan kode binari. Transfer data. Jaringan telekomunikasi. Internet dan
sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi memindahkan fisik sebuah benda. Lantas,
bagaimana mungkin kita tidak mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman
tersebut setelah ribuan tahun berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada
penjelasannya dan kita sekadar mempercayai kalau itu kondisi luar biasa.
Karomah. Keajaiban. Bukankah kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah?
Seperti halnya bulan yang terbelah. Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas
transfer fisik kursi tersebut, harus ada penjelasan ilmiahnya, kita saja yang
belum tahu. Atau mungkin tidak akan pemah tahu.
“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi
penjelasan penting tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban,
kemajuan teknologi itu persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam,
masa-masa itu, manusia pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut,
malah mungkin pernah memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk
menjelaskan bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B
kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu
pengetahuan itu kemudian musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia
kembali lagi ke titik terendahnya.... Analog dengan hal itu, dan akan
dibuktikan dengan serangkaian penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak
mengherankan jika saat dunia menjelang masa senjanya, kita juga akan
kehilangan senjata-senjata hebat yang ada sekarang dalam pertempuran besar itu.
Dan dunia kembali ke peperangan dengan tangan, dengan pedang. Peperangan
konvensional. Itu benar-benar masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai
translasi religius ini....
“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh
apa? Oleh apa kita akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi
canggih tersebut? Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu?
Inilah poin terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi
yang akan menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat
berbagai peralatan elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah
'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak.
Tersenyum. Meraih gelas besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk.
Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di
langit-langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu gagasan
hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang akan
disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah meletakkan
kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di layar LCD raksasa.
Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte malah mendadak terdiam.
Pelan menurunkan kembali tangannya yang memegang pointer layar LCD. Telepon
genggam di saku celananya mendadak bergetar.
"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum
tanggung ke peserta simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia
punya dua telepon genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang
lazimnya dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk
urusan keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang
yang tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa? Keliru. Bukan dari
siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun: ada apa? Apa yang sedang
terjadi? Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas. Sedikit terburu-buru
meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus dengan SMS? Jika penting bukankah
bisa langsung menelepon? Itu berarti Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak
pandai benar berbicara lewat HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak
menatap layar HP, Dalimunte gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap
membaca kalimatnya. Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam
lagi satu detik. Dua detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata
pendek di depan speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium
itu riuh. Seketika. Gaduh. Seruan-seruan kecewa. Dalimunte sudah turun
dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si moderator yang cerewet buru-buru
bangkit dari kursinya, mendekat, coba bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak
peduli beberapa koleganya juga ikut mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung
suara lebah. Apalagi kilau blitz kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus
tubuhnya. Tidak peduli. Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan
istrinya yang berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas
melangkah keluar dari ruangan. Bergegas. Meninggalkan berlarik tanya dari lima
ratus peserta simposium internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang
elektromagnetik tadi?
PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan
Italiano Sky itu melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di
sini. Speaker di pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut
menyapa penumpang: "... Signore e signori, Vaereo atterera tra 5 minuti
all'aeroporto di Roma. Si prega di allaciare di cinture di skurezza...
Informiamo i signori pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di
differenza….. Senior & Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara
Roma lima menit lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu
Jakarta dan Roma"
"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut
lengan adiknya. Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?" Wibisana
mengangguk.
Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut.
Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka kecil di dahi. Bedanya, yang satu
baretnya di sebelah kanan, yang satu di sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99%
mirip, termasuk tinggi, lebar dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang
kembar kalau mereka berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar,
apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama,
terpisahkan sebelas bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya
(Ikanuri) 33 tahun. Menariknya, meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan
dalam urusan apapun dibanding Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir
Ikanuri-lah yang menjadi kakak.
"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa
melihat wajah Ikanuri yang mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang
sedikit merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai
sapu lidi! Sialan, kali ini ia berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — "
Ikanuri menjawab seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut
tertawa.
Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana
tertawa lebih lebar. Bagian itu kenangan masa kecil favorit mereka, olok-olok
masa lalu yang menyenangkan untuk diingat, meski telah berkali-kali diingatnya.
Nyengir lebar. Sementara Ikanuri sudah sibuk merapikan kemeja biru yang dikenakannya.
Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas, agar bisa rileks tidur
di kursi penerbangan kelas ekonomi, yang tempat duduknya ekstra sempit buat
penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?" Wibisana mendorong pelan
laptop di atas tatakan meja, ikut membungkuk, mengambil kertas yang tidak
sengaja jatuh dari saku kemeja Ikanuri saat memasang tali sepatu.
"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah!
Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum,
4. Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7. Kaos
bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane," Wibisana tertawa kecil lagi,
menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu.
"Haha, bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu
tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane
sudah lama pindah ke liga Spanyol, bukan? Sudah pension pula sejak piala dunia.
Tidak adalah kaosnya di sini—"
"Mana pula anak itu akan peduli,"
Ikanuri menerima kertas pesanan tersebut dari Wibisana, melipatnya. "Kau
tahu, Juwita seminggu terakhir sengaja benar membuka buku pintarnya tentang
Italia. Mendaftar semua pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli
semuanya, apalagi kaos-kaos bola ini. Buat apa coba Juwita titip kaos bola,
jelas-jelas ia anak perempuan, kan? Titipannya kali ini benar-benar akan
merepotkan. Mungkin tidak semua akan bisa kubelikan..."
"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah
sok merajuknya saat kau nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar, "Anak
itu memang pintar membuat orang lain susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura
merajuk. Haha, mirip benar dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir. Bergumam
dalam hati, Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan yang sama
dari Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan daftar pesanannya
ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang berumur enam tahun itu mirip benar
ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian, meski sering sekali justru sibuk
bertengkar saat sedang bermain bersama. Sebenarnya perangai Delima-Juwita
memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua waktu kecil dulu. Pesawat
Boeing kapasitas dua ratus penumpang itu bersiap meluncur ke landasan bandara.
Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana
melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi
presentasinya?"
Wibisana mengangguk mantap, "Kali ini,
petinggi pabrik itu tidak akan menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak
keuntungan dibandingkan perusahaan dari China itu!"
Ikanuri mengangguk kecil. Memasukkan kertas
pesanan gadis kecilnya ke saku. Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan
bisnis yang penting. Pembicaraan besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat
Piazza de Palozzo akan menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka.
Sebenarnya dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada
apa-apanya. Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka
hanya punya modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak
Lainuri segala. Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad.
Bandel. Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras',
'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil
memegang sapu lidi, memarahi mereka.
Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak.
Kakak-beradik yang selalu bisa saling mengandalkan. Hari ini mereka berangkat
ke Roma bersama-sama. Menyelesikan tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil
balap tersohor produksi Italia. Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha
lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China. Mereka sejak kecil selalu
berdua. Tidak terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka berseberangan jalan.
Dengan istri dan satu gadis kecil usia enam tahun masing- masing. Delima dan
Juwita. Bahkan, percaya atau tidak, Ikanuri dan Wibisana menikah di hari,
tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama.
Jadi meski tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari
'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo
itu mendarat dengan mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen sudah
terjaga bergegas menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah penerbangan
belasan jam. Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja yang menghubungi
mereka!" Ikanuri yang melihat Wibisana mengeluarkan HP-nya, ikut
mengeluarkan dua telepon genggam miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu untuk
urusan keluarga. Dua-duanya dikeluarkan. Perlahan menekan tombol ON.
Menyalakannya. Tadi saat keberangkatan, galak sekali pramugari pesawat menyuruh
penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel
soal beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan maskapai domestik kelas
kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
"Mereka berjanji menjemput di bandara,
bukan?" Wibisana duduk kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun
duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu
pasti akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri
orang, haha," Ikanuri tertawa, menunggu dua telepon genggamnya booting.
Dua detik berlalu. Lantas menekan phonebook. Tetapi sebelum dia melakukannya, HP
untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat
bersamaan HP milik Wibisana. Itu juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan
Wibisana menelan ludah. Saling bersitatap satu sama lain. Siapa yang
mengirimkan SMS? Hanya ada enam orang yang tahu nomor itu, dan mereka berdua
diantaranya. Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana barusan.
Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berdua mendadak
mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak Lainuri. Yang lain pasti selalu menelepon
jika ada urusan penting. Bukankah seumur-umur Mamak tidak pernah mengirimkan
SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini
pasti penting sekali.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru
menekan tombol open. Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir.
Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua detik.
Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198 penumpang
beranjak turun. Dan seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan melangkah
mendekati pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa sudah dengan
koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting, besok pagi.
Lupa dengan segalanya. Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta..
C'e un volo per Jakarta questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam
ini juga? DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang oleh
cahaya. Di sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara berkabut.
Putih membungkus puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar begitu memesona.
Tebaran halimun yang indah. Empat gunung di sekitarnya terlihat menjulang
tinggi, mengesankan melihatnya. Berbaris. Gunung Bromo. Tengger. Merbabu. Seperti
serdadu. Uap mengepul dari kawah Semeru. Angin mendesing lembut. Samudera
Indonesia memperelok landsekap, terlihat terbentang nun jauh di sana. Membiru.
Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan yang memegang teropong binokuler
berkekuatan zoom 25 kali itu sedikit gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4
derajat celcius di atas sini, ketinggian 3150 meter dpl (di atas permukaan
laut). Jaket tebal yang membungkus, topi lebar, slayer besar tak membantu
banyak. Hanya karena terbiasa dan antusiasme tak terbilanglah yang membuat
gadis berumur 34 tahun itu tetap bertahan dari tadi shubuh persis di tubir
kawah Semeru. Mukanya seolah tidak peduli dengan dinginnya pagi, malah
menyeringai oleh senyum senang. Mata hitam indahnya bercahaya. Wajah cantik itu
amat bersemangat. Rambut panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin
pagi.... Ia sudah lama menunggu kesempatan ini. Dingin dan sukarnya trek terjal
pegunungan bukan masalah. Ia menguasai medan sulit seperti ini sejak Dulu,
sejak ingusan, ia belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua
belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding
dekat batu cokelat! Batu cokelat, bukan yang hitam." Gadis itu berbisik
antusias ke teman-teman di belakangnya, berusaha mengendalikan volume suaranya.
"Mana? Di mana?" Dua rekannya,
cowok-cewek, dengan usia tidak beda, dengan pakaian sama tebalnya bertanya lagi
sambil beringsut mendekat. Mengarahkan binokuler masingmasing ke arah yang
ditunjuk gadis satunya barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar
cokelat—"
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu
sempurna sudah memecah hening puncak Semeru. Bagai menguak kabut. Bagai
membelah halimun. Membuat wajah-wajah sontak tertoleh, mendongak.
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi.
"Terbang! Ada yang terbang."
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas,
sebelah kiri!" Gadis yang duduk paling depan, yang membungkuk di tubir
kawah Semeru itu berseru semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias.
Berbinar-binar senang. Binokuler ditangannya bergerak gesit. Rambut panjangnya bergerak
anggun. Zoom in. Teropong model canggih itu berdesing oleh perintah auto focus.
Persis di atas mereka, seekor burung alap-alap kawah gunung, dengan bentang
sayap berukuran 45 cm, bagai pesawat falcon, mungkin juga F-14 menderu melesat.
Bukan main. Sempurna seperti sedang menyibak gumpalan putih kabut. Bicara
soal kecepatan dan manuver terbang, sumpah tidak ada yang mengalahkan Peregrin,
inilah sang penguasa kawah gunung. Bukan elang. Bukan garuda. Bukan pula
Rajawali. Tapi alap-alap (kawah). Merekalah penguasa langit sejati. Burung yang
hidup di tempat tertinggi di dunia. Di tempat paling eksotis di seluruh
muka bumi. Yang mampu terbang hingga ke ketinggian pesawat terbang.
"PKAAAK!" Alap-alap kawah itu terbang
melesat seolah hendak menghujam ke dinding dekat gumpalan batu cokelat.
Sarangnya! Tiga orang yang mengawasi dari sisi lereng seberangnya melotot
melalui binokuler. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan. Gerakan tubuh
alap-alap kawah itu persis bagai pesawat tempur yang menyerbu. Dan sedetik
sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam dinding kawah, sayapnya terlipat
ke belakang. Begitu anggun, begitu mulus, kecepatannya berkurang dalam hitungan
sepersekian detik. Lantas bagai seorang ballerina sejati, sekejap, sudah
mendarat sempurna. Perfecto! Gadis yang duduk di depan menggigit bibir.
Terpesona. Menghela nafas. Sungguh pertunjukan atraksi alam yang spektakuler.
Binokulernya mendesing. Mode: full zoom in. Sekarang ia bisa melihat bulu leher
Peregrin yang kemerah-merahan seperti menatapnya dari jarak sedepa saja. Kuku-kuku
kaki tajam induk alap-alap kawah itu menggenggam mangsa yang baru didapatnya
pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam sarang. Ber-pkak, pkak lemah,
meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas itu. Positif! Tidak salah lagi!
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian
baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti Bidadari-Bidadari Surga Editor
By. I-One Editor By. I-One Gold Level untuk bantuan penelitian kita.
Thanks, God! Akhirnya. Akhirnya! Seratus ribu dollar Amerika untuk konservasi
mereka...."
Gadis yang duduk paling depan itu tertawa lebar,
melepas teropong binokuler dari wajahnya. Terlihat amat senang. Lega.
Menghempaskan pantatnya ke bebatuan. Dua temannya ikut mengangguk-angguk
beberapa detik kemudian. Sepakat soal varian baru tersebut setelah melihatnya
lebih jelas dengan binokuler masing-masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta nama gadis itu. Team leader kelompok
penelitian kecil burung dan mamalia endemik. Selain peneliti dari lembaga
penelitian dan konservasi nasional di Bogor, ia juga koresponden foto National
Geographic. Mengumpulkan foto-foto alam yang indah dan insightfull untuk
majalah itu.
Pagi ini, setelah berkutat seminggu di puncak
Semeru, mereka akhirnya berhasil menemukan sarang burung langka tersebut. Awal
yang baik dari riset berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan
tingkah-laku alap-alap kawah varian baru. Proyek konservasi jangka panjang. Yashinta
meraih kamera SLR di tas pinggangnya. Senyum riang itu tak kunjung lepas
dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya senang. Bisa
jadi photo cover majalah. Membuka lensa kamera. Bersiap mengambil foto induk
Peregrin yang sedang memberi sarapan tiga anaknya. Saat itulah, saat Yashinta
sibuk mengarahkan lensa 600/6.4 mm, lensa dengan kemampuan merekam tahi lalat
di pipi soseorang dari jarak seratus meter, telepon genggam satelit yang
ada disaku celana gunungnya mendadak berdengking-dengking. Kedua temannya
menoleh. "Ssst!" Menyeringai mengingatkan. Mana boleh bersuara saat
mereka mengamati burung. Lihatlah, meski jarak mereka nyaris lima puluh meter
dengan sarang alap-alap kawah, induk burung itu mendadak menoleh. Terganggu.
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya. Yang
berdengking adalah HP satelit urusan keluarga, yang selalu ia bawa kemanapun
pergi. Tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih kencang. Dari siapa?
Ah-bukan, bukan itu pertanyaan tepatnya, tapi ada apa? Apa yang terjadi? S-M-S?
Itu pasti Mamak. Bukankah Mamak tidak pernah menggunakan HP-nya? Tidak pernah
terbiasa? Yang lain pasti selalu menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak
mengirimkan SMS? Sedikit terburu-buru Yashinta menekan tombol oke. Terbata
membaca pesan 203 karakter tersebut. Seketika, hilang sudah senyum riang
itu. Seketika hilang sudah wajah menggemaskan kemerahan terbakar cahaya matahari
pagi di puncak Semeru itu. Yashinta dengan tangan bergetar menurunkan kamera
canggih SLR-nya. Menelan ludah, menyeka dahi, lantas berbisik lemah, "Aku
harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap. Gumpalan kabut yang membungkus puncak
Semeru mendadak membungkus sepi. Yashinta sudah bergegas turun dari tubir
kawah. Sambil jalan, sembarangan memasukkan peralatan ke dalam ransel. Tidak
peduli tatapan terperangah dua temannya. Tidak peduli dua ekor Peregrin
lainnya dengan anggun terbang mendekat ke sarang di batu cokelat. Tidak peduli.
Apalagi pemandangan hebat dari puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Yashinta
berlarian menuruni lereng terjal. Pulang. Ia harus segera pulang! Itu
pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang mendadak
basah, sambil terisak menangis, meluncur menuruni cadas bebatuan secepat
kakinya bisa. Bergegas....
"ADUH, Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis
kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung,
Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara
sama Headmaster Miss Elly! Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The
Planet! Mana lagi seru-serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa
gelang karet ke Pasar Induk bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin
sekolah...." Gadis kecil yang gigi atasnya sedang tanggal satu itu malas
memberesi tas, penggaris, crayon, kertas gambar, buku-buku, pensil di atas
mejanya. Sengaja melakukannya pelan-pelan. Teman-teman kelasnya sibuk menoleh,
menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum
mengangguk. Berusaha membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya ekspresi
mukanya jadi terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu.
Menjemput putri mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh
sejenak bicara dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang
apa daya nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal sepenting ini,
soal Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk.
Tidak masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak
benar!" Gadis kecil berumur sembilan tahun itu memasukkan crayon biru
terakhirnya ke dalam tas. Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak sabaran ikut
membantu berberes- beres. Padahal sejak setahun terakhir mana pernah coba Ummi
bantu-bantu beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa sendiri.
"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang
menjawab, pendek.
"EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil
itu membulat. Dalimunte mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!" Intan mendadak malah semangat
menyeret tas sekolahnya yang berat itu. Wajah malasnya tadi langsung sirna. Ia
malah tidak perlu ditunggu lagi, langsung maju ke depan. Membawa kanvas
lukisnya. Pamitan ke Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan
loncat kelas dua kali). Lantas, tanpa diminta memimpin berjalan di depan
Dalimunte dan Ummi sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut
terhenti.
"Gelang karetnya kelupaan! Intan kan mesti
bawa gelang karet buat Eyang! Biar pamanpaman yang ngurus kebun bisa pake gelang,
biar mereka pakai dua gelang setiap tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil,
senang atas idenya. Berhenti sejenak. Mendekati teman-temannya yang masih sibuk
menonton. Dalimunte untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan. Mendesah.
Semoga belum terlambat.
"Come on, why nan avete due posti per noi?
Any flight, questo e molto importante!" Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain
dengan wajah sok memelas. Kak Laisa yang suka mengejar-ngejarnya dengan sapu
lidi, berkali-kali tertipu soal ini. Sok memelas sakit (malas sekolah). Sok
memelas sakit (malas bantu Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas
ngurus kebun). Sakitnya si bisa macam-macam. Sakit kaki-lah. Sakit tangan.
Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi alasan Ikanuri.
"Mi displace, tutti i voli dall'italia sono
pieni da una settimana fa! Questa settimana c'e la finale di Champions League!.
Maaf, penerbangan kemanapun dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu! Minggu
ini final Liga Champion, Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari
Roma!"
"Ayolah! Bagaimana mungkin kalian tidak
punya dua kursi untuk kami? Di kelas apapun. Penerbangan apapun. Ini penting
sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga
Champion—"
"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"
"Sepak bola sialan! Kenapa pula semua orang
sibuk menonton 22 orang berebut satu bola! Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola
juga saja!" Ikanuri memotong kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki.
Teringat kaos bola titipan putrinya. Ini juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil
dulu kalau menipu guru di kelas (ketahuan bolos). Atau ketahuan mencuri uang di
kelpeh plastik Mamak Lainuri. Sok bego tidak mengerti. Ah, tapi sekarang
ekspresi itu benar-benar jujur. Lagipula sejak puluhan tahun silam,
Ikanuri sudah insyaf. Kapok. Mengerti benar maksud Kak Laisa yang suka
berteriak, 'kerja keras!', 'kerja keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai
lainnya, please?"
Wibisana yang berdiri agak dibelakang Ikanuri
menyibak maju ke depan. Berusaha tersenyum ke gadis penjaga loket biro
perjalanan di Bandara Roma yang sejak tadi berkali-kali tersenyum tanggung
menghadapi seruan-seruan Ikanuri.
"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda
lihat rombongan di sana! Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga
ingin ke Jakarta. Tidak ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak
buat, Senior. Maaf—"
Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati.
Menunjuk lima orang yang bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri
menelan ludah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?"
Ikanuri bertanya putus-asa. Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan
reservasi penerbangan dari bandara lain...." Menekan-nekan keyboard
komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik
tersebut. "Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini
juga—"
"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah
saya bilang, malam ini digelar pertandingan final Liga Champion di Roma,
ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung. Jadi seluruh
penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar.
Vienna, Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis!
Mau??" Perancis? Rona kabar baik itu seketika padam.
"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!"
Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan
gunung ketinggian 3000 meter dpl. Yashinta tidak menoleh.
Mata, tangan, kakinya konsentrasi penuh
menjejak trek yang sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni
bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu
naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar celaka, tahu!" Tersengal-sengal.
Yashinta, gadis berambut
panjang itu demi mendengar seruan dengan
intonasi setengah memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan
langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah satu batu besar. Jurang terjal,
menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi lalai
sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya
turun dari gunung jauh lebih berbahaya
dibandingkan naiknya— apalagi dengan stamina yang
terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada apa, sih?" Teman
cowoknya bertanya setelah berhasil
mendekat. Satu kata, satu tarikan
nafas. Hosh, Hosh, Hosh. Uap mengepul dari
mulut. Kedua rekannya membungkuk memegangi perut.
Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop
dari puncak Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada
apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan
ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili minuman berion,
pengganti keringat. Melemparkannya ke dua
rekannya yang masih tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal. Lengang
sejenak. Yashinta (yang sedikitpun tidak
tersengal) memperbaiki posisi peralatan di ransel
berukuran semi carrier-nya. Mengencangkan syal
di leher. Angin pagi bertiup pelan. Terasa
begitu menyenangkan. Membelai anak rambut.
Menelisik di sela-sela kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap
langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti
di lembah itu. Sama persis. Lembah itu.... Rasa haru
itu menelisik lagi hatinya. Mengiris
membusai perih di mata. Yashinta mengusap
ujung-ujung matanya, Ya Allah, apa yang sebenarnya
terjadi? Berpilin. Berputar. Terlemparkan. Dua puluh lima tahun
silam. Kenangan-kenangan itu kembali sudah. Di sini juga
angin selalu bertiup menyenangkan. Tidak
pagi. Tidak siang. Tidak juga malam. Tapi
sepanjang hari, sepanjang malam. Angin
selalu berhembus lembut membelai anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?" Kaki-kaki
kecil itu menjejak air anak Mingai
setinggi mata-kaki. Kecipak-kecipak. Sungai yang jernih. Di
tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
"Masih—" Tubuh gendut
dan gempal yang lima belas senti
lebih tinggi dibandingkan anak kecil di
belakangnya menjawab pendek. Burung-burung
berhamburan dengan suara ramai saat dua anak itu membelah
jalanan setapak rimba.
"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh
menit?" kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan
sungai.
"Masih jauh! Dan kau jangan sampai
terpeleset, YASH!" Suara nyanyian puluhan burung memenuhi
langit-langit hutan. Cahaya pagi menerobos sela
dedaunan, menerabas sela-sela putihnya kabut.
Membuatnya seperti mengambang. Bahkan seolah-olah
kalian bisa menangkap berkas cahaya itu.
Mereka sejak setengah jam lalu menelusuri
hutan. Tangkas yang satunya, yang berjalan
di depan, berjalan sambil menebas ujung-ujung semak belukar
yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur
cukup jauh. Yang besar sudah sekitar enam belas tahun,
yang kecil baru enam tahun. Tapi
karena perawakan yang lebih besar sepertinya tidak akan
tumbuh normal, sebaliknya yang lebih kecil tumbuh lebih
cepat, maka mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja. Mereka
lahir disebuah lembah indah yang sempurna
dikepung hutan belantara. Terpencil dari manapun.
Dua jam perjalanan dari kota kecamatan
terdekat. Namanya, Lembah Lahambay. Persis di
tengah-tengah bukit barisan yang membentang
membelah pulau. Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung
setinggi 1.500-2.000 meter dpl di kawasan lembah itu. Terselip
disana-sini, ada sekitar empat perkampungan
radius sepuluh kilo di Lembah Lahambay.
Berjauhan satu sama lain. Paling dekat
terpisah satu kilometer. Satu perkampungan paling
banyak terdiri dari 30-40 rumah panggung.
Perkampungan mereka terletak paling tepi, paling
bawah, berbatasan langsung dengan hutan
rimba. Tapi meski disekitar kampung banyak terdapat
sungai, celakanya posisi kampung itu tetap
lebih tinggi dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung
terpisah oleh dinding cadas setinggi lima meter, yang membuat kampung itu
seperti sempurna terpisah dari rimba. Untuk menuruni dinding cadasnya saja
sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desa-desa yang
lazimnya dekat dengan hutan (yang otomatis
berarti dekat dengan sungai), disini penduduk menanam
sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya
berharap pada siklus kebaikan langit.
Selebihnya bekerja mencari rotan, damar, kumbang hutan,
hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di
kota kecamatan.
"Masih jauh, Kak?
Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis
kecil yang berumur enam tahun bertanya lagi sambil
melepas daun yang tersangkut di rambut.
" Masih!" Laisa nama
kakaknya, kali ini menjawab dengan nada sebal. Itu
pertanyaan yang ke dua puluh sepanjang perjalanan
mereka. Adiknya selalu saja suka bertanya.
Berulangkali, Tidak bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan"
segala. Bisa sabar dikit kenapa!
Lembah Lahambay selalu
terbungkus kabut di pagi hari, ketika
kehidupan di rumah-rumah mulai menyeruak
sejak kumandang adzan shubuh dari surau.
Asap putih mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah.
Pertanda kehidupan sudah dimulai. Satu-satunya akses dari
kota kecamatan ke lembah itu hanyalah
jalan bebatuan selebar tiga meter. Di desa atas, satu kilometer
dari kampung mereka, yang penduduknya lebih maju dan lebih berada,
ada dua mobil starwagoon tua yang sering bolak-balik ke
kota kecamatan. Terkentut-kentut membawa hasil kebun,
hutan, atau apa saja penduduk lembah
tersebut, melewati jalanan buruk. Naik turun.
Di desa atas juga ada sekolah dasar,
meski seadanya. Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua
kelas. Kelas? Itu bahasa yang lebih halus untuk
menyebut bangunan jelek beratap seng
karatan, berdinding anyaman bambu, berlantai semen pecah-pecah. Mereka
terbiasa dengan semua keterbatasan. Terbiasa
dengan kehidupan terpencil. Jadi wajar sajalah
melihat dua anak perempuan merambah hutan
di pagi buta. Pemandangan lumrah di lembah
ini! Anak-anaknya tumbuh dan akrab dengan
kehidupan sekitar. Tadi selepas shalat shubuh jamaah, persis saat
perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji Juz'amma dengan Mamak, Kak
Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat berang-berang.
Kabar yang membuat Yashinta langsung berseru riang tak
henti selama lima menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan lalu saat Kak
Laisa membantu Mamak mengumpulkan damar
jauh di tengah hutan. Kak Laisa tidak sengaja
menemukan tebat (bendungan) yang dibuat
berang-berang. Hebatnya di sana ada lima
ekor anak berang-berang yang sedang
berenang. Lucu sekali melihatnya. Meski kemudian
Kak Laisa benar-benar menyesal menceritakan
apa yang dilihatnya kepada Yashinta, apalagi
dengan menambahinya dengan kalimat: lucu sekali melihatnya.
Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak
kunjung henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju
gombyor Kak Laisa. Jengkel. Atau mungkin pula
akhirnya lelah dengan bujukan adiknya, pagi
ini Laisa memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu
paling baik melihat berang-berang adalah pagi hari. Semakin pagi semakin
baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!" Mamak
Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum
berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu
dijaga!" Yashinta yang justru menjawab,
sambil nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga caping anyaman
di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang?
Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya" Satu kepala anak lelaki
menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!" Satu
lagi kepala anak lelaki menyusul. Wajah
mereka berdua mirip benar. Kompak seperti biasa,
menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!" Yashinta
cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang keren tuh
lihat Harimau. Kemarin aku dan Ikanuri
sempat lihat satu di atas Gunung Kendeng—"
"Ah-ya, harimau. Benar.
Itu baru lucu. Malah anak-anknya ada
enam, Yash. Lebih banyak. Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?" Gerakan
tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat.
Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!" Mamak Lainuri
mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua anak lelaki itu
kompak tertawa. Nyengir. Jangan pernah
cerita sesuatu ke Yashinta. Adik terkecil
mereka benar-benar tipikal anak yang suka
penasaran. Ingin tahu segalanya. Tentu saja
mereka tadi hanya bergurau. Seperti biasa
mudah sekali menggoda Yashinta. Tapi Mamak
Lainuri tidak suka gurauan mereka. Tidak
pantas menjadikan 'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak.
Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam. Jaga
adikmu. Dan pulang segera, Lais. Hari
ini banyak pekerjaan di ladang!"
Gadis tanggung berumur enam belas
tahun itu mengangguk. Sigap melangkah menuruni anak
tangga. Yushinta langsung ngintil mengikuti.
Lihatlah, meski baru enam tahun, Yashinta benar, ia
sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih berbilur
kristal embun. Tubuhnya meski terlihat
kecil dan ringkih, tidak kalah atletisnya dibanding
Kak Laisa yang gendut dan gempal. Hutan, semakin lama semakin lebat. Hiruk-pikuk
burung memenuhi atas kepala semakin ramai.
Seperti orkestra. Ada yang berdengking, berkicau, bernyanyi,
bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si penggosip.
Sibuk bicara, meski tidak penting. Dengking
uwa (semacam monyet) dari kejauhan menimpali.
Kuak suara ayam hutan. Nyamuk besar-besar berdesing di atas
kepala. Sarang laba-laba. Mereka sudah berjalan
hampir satu jam. Menyusuri jalan setapak
yang kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?" Kak Laisa
tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan
langkahnya. Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak,
memegang lengan Kak Laisa dari belakang. Ingin
tahu. Menyeruak ke depan. Tapi Kak
Laisa malah menahan kepalanya. Mendelik
menyuruhnya tetap di belakang. Dan tentu
saja memberi kode: jangan berisik. Mereka sejak lima belas
menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai kecil berbatu-batu
itu. Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak
perlu dijelaskan dua kali, ikut melakukannya.
Menghilangkan suara kecipak kaki di atas
air. Lima belas meter. Kak Laisa melangkah
mengendap-endap menaiki tepi sungai. Yashinta
tanpa banyak bicara ikut. Kalau sudah
begini, berang-berang itu pasti sudah
dekat, deh. Yashinta nyengir lebar. Juga ikut mendekam di
balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
"Di depan sana—" Kak Laisa
berbisik. Wajah Yashinta sudah merah saking
antusiasnya. Ia melapas caping anyamannya (kepalanya
gerah) lantas merangkak mengintip dari
balik batang besar itu. Mana? Mana? Mana? Suara
getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya.
"Jangan berisik!" Mendesis. Yashinta
manyun sebentar. Kan tidak sengaja.
Merangkak lebih hati-hati. Memperhatikan tempat
yang ditunjuk Kak Laisa. Memang ada bendungan
tiga-lima meter di depan mereka. Bendungan
dari batang roboh yang persis melintang
di tengah sungai. Yang sekarang dipenuhi dedaunan,
ranting-ranting, dan tanah liat. Mana anak berang-berangnya?
Yang ada hanya dua ekor burung
Meninting. Sibuk bercengkerama di atas bebatuan.
Loncat-loncat. Mengembangkan sayap indah hitam bergaris-garis
putih milik mereka. Saling menggoda.
Saat Yashinta siap
mengeluh ke Kak Laisa sekali lagi.
Bertanya man-na anak berang-berangnya. Pelan
terdengar suara kecipak dari pohon roboh
di tengah-tengah bendungan. Splash—Aih! Mata Yashinta langsung
melotot. Membesar. Splash. Splash. Splash— Yashinta berseru tertahan.
Sekali lagi dicubit Kak Laisa. Untung seruan itu tidak
terlalu keras. Jadi tidak ada yang
terganggu. Gadis kecil itu mendekap sendiri
mulutnya. Menyeringai cemberut, menoleh ke
arah Kak Laisa yang nyengir galak. Splash— Itu
suara berang-berang ke lima yang meluncur
ke dalam kolam bendungan buatan mereka. Bukan
main, lima anak berang-berang itu meluncur
anggun. Naik turun. Kepalanya celap-celup. Satu-dua jahil
mengejar ikan-ikan kecil yang banyak
berkeliaran di sela-sela mereka. Celap-celup.
Sungai itu jernih. Jadi Yashinta bisa
melihat hingga ke bebatuan dasarnya. Dua ekor kepiting yang
tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir. Juga
menyingkir sekumpulan udang yang sedang
berjemur di bonggol kayu. Menyisakan burung
Meninting yang terus cuek berloncatan da
atas batu, tidak peduli dengan lima anak berang-berang.
Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus
persen, deh! Kata siapa anak berang-berang tidak lucu?
Yashinta sekarang saking gemasnya malah
sudah merangkak keluar dari balik batang,
ingin melihat lebih dekat. Laisa hendak
menarik tasnya, mencegah. Tapi demi melihat
ekspresi muka Yashinta yang begitu
sumringah, urung. Ia tidak ingin menganggu kesenangan
adiknya. Akhirnya hanya tersenyum tipis,
membiarkan. Itu sungguh senyum pertamanya sepanjang
pagi ini, atau juga sepanjang minggu ini sejak
Yashinta menyebalkan selalu merajuk minta diantar. Ah, Kak Laisa memang
jarang tersenyum.
Berang-berang itu terus
berkejaran di beningnya air kolam. Uap
mengepul dari inang sungai. Suara lenguh
uwa terdengar dari kejauhan. Kicau ramai
burung-burung, Matahari pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari sela
dedaunan yang memantul di beningnya air bendungan terlihat
memesona. Pagi yang indah. Benar-benar pagi
yang indah di Lembah Lahambay. Menyaksikan
sendiri lima anak berang-berang berenang,
saling bercengkerama, persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya
dari jarak sepelemparan batu saja. Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta
orang.... Ada apa?
Yashinta menyeka matanya
yang basah. Menatap datar kedua temannya
yang nafasnya sudah kembali normal. Dingin
angin pagi menyergap lereng Gunung Semeru.
Cahaya yang menembus kabut terlihat menawan.
Yashinta menarik nafas pelan. Ia tidak
tahu apa yang telah terjadi. Tepatnya
belum. Yang ia tahu, ia harus pulang
segera. SMS itu amat mencemaskan. Terlebih tiba-tiba
semuanya terasa ganjil. Sesak. Kenangan itu
kembali bagai tontonan audio-visual dari layar
teve LCD sejuta pixels. Begitu nyata.
Begitu dekat. Seolah ia bisa menyentuhnya. Menyentuh
wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya
bertanya lagi.
"Aku harus pulang!"
Yashinta menjawab pendek, menaikkan kembali
ransel ke pundaknya. Meneruskan langkah. Bergegas.
"RIO... RIO...." Intan, gadis kecil
berumur sembilan tahun itu berseru-seru. Sibuk. Naik turun tangga.
Melongok ke balik kursi, meja, ranjang,
lemari, apa saja. Lari keluar, mencari
di halaman.
"Rio... Rio.... Aduh, kemana, sih?"
Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian menaiki tangga lagi. Kuncir
rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di
pergelangan tabgan untuk ke sekian kali. Satu jam lagi,
pesawat yang sudah dipesan staf lab-nya,
take-off. Kalau mereka terlambat, maka baru besok
ada penerbangan yang sama. Tidak banyak jadwal
penerbangan ke kota provinsi itu. Kota itu terhitung
terpencil jika dilihat dari sisi jumlah
penumpang angkutan udara. Maskapai itu saja harus disubsidi
pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi. Ummi, juga sama seperti
Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya.
"Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi
membujuk.
"Yee, mana boleh. Wak Laisa kan suka banget
sama hamster belang Intan, nanti pasti ditanya kalau nggak dibawa!" Dalimunte
menelan ludah mendengar nama Kak Laisa.
"Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan
nanya, kok—"
"Nggak bisa. Lagian
kalau ditinggal yang kasih makan belang
siapa, Mi? Rio.... Rio.... Sembunyi di mana, sih?"
Intan terus berseru-seru sambil menarik
selimut tempat tidurnya. Biasanya si belang
suka tiduran di bawah ranjang. Tidak ada. Menyeringai. Eh, bukankah tadi
ia juga sudah periksa tempat ini.
"Nanti Ummi titip tetangga sebelah buat
ngurus, ya?"
"Nggak mau!" Intan melotot. Keras
kepala. Demi melihat ekspresi itu, Ummi menghela
nafas, kehabisan kalimat berikutnya. Beruntung sebelum
seisi rumah diobrak-abrik Intan, hamster
belang itu dengan cueknya nongol di dapur.
Berlenggak-lenggok bak model. Sibuk menyeka-nyeka
mulutnya. Tanpa ampun, langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian
berteriak,
"UMMI, ABI, HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!" Mobil sport keluaran
terbaru itu melesat keluar dari gerbang
rumah setelah Intan duduk manis di kursi
belakang. Dalimunte mencengkeram setirnya
erat-erat. Sayang, baru tiba di tikungan depan komplek
perumahan, Ummi berseru tertahan,
"Tas Ummi! Tas tangan Ummi tertinggal!"
Dalimunte mendesis sebal.
"Ada kartu ATM, credit card, kartu
identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!" Ummi setengah membujuk,
setengah memaksa. Mobil sport itu berbalik
arah lagi. Rusuh sejenak mencari tas tangan Ummi (yang sebenarnya
tergeletak di meja ruang depan). Lima belas menit,
mobil sport itu kembali meluncur keluar.
Baru tiba di jalan besar, giliran Intan yang berseru
panik,
"Tas sekolah Intan, tas sekolah Intan
ketinggalan, Bi!" Dalimunte benar-benar mendesis sebal.
"Harus diambil, Bi!
Kan di tas ada gelang karet 'Safe
The Plane' Intan, please….please...." Mobil
sport itu berbalik arah lagi. Kali
ini tidak sulit menemukannya, karena kaki
Intan tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah. Sepuluh
menit, mobil sport itu kembali meluncur keluar. Dan
kali ini Dalimunte benar -benar mendesis mengkal.
Saat tiba di gerbang tol, dia baru
menyadari laptop miliknya tertinggal. Seluruh
hidupnya ada di situ, hasil penelitian,
nomor kontak, agenda, bahkan catatan
kesehariannya. Dengan muka mengeras, dia terpaksa
memutar kembali setir. Maka setengah jam
kemudian saat mobil sport itu benar-benar
berada di atas jalan tol menuju bandara, yang
tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.
"Bi, jangan marah, ya! Kan yang terakhir
tertinggal laptop Abi...." Intan nyengir sambil memeluk hamster
belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil, tersenyum tanggung melihat
ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung.
"Abi, sih, pakai
terburu-buru berangkatnya.... Lihat, tuh, sandal
Abi malah ketukar-tukar." Intan mendekap mulut.
Ummi yang justru tidak kuasa menahan tawa melihat
kaki suaminya yang menginjak pedal gas dan
kopling. Intan benar. Warna-warni (mana
suaminya masih pake kaos kaki segala). Dalimunte akhirnya
ikutan nyengir. Manyun. Tertawa kecil.
Meski sekejap kemudian melirik lagi jam di pergelangan tangannya. Lima
belas menit lagi pesawat itu take-off.
"Si, si.. What? NO!
Assolutamente no! like i told you,
siamo arivati a Roma half hour fa, Albertino...
saya mendengar suara Anda, Albertino...
APA? Tidak! Tentu saja tidak. Sesuai janji kami
sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del
treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono pregati di recarsi
velocemente al binario 9...." Roma Termini
(stasiun kereta api pusat) itu meski
terhitung sepi, karena orang-orang sibuk menonton
pertandingan final sepak bola, tapi tetap
berisik oleh suara teng-tong-teng speaker pengumuman.
"Tidak. Tidak bisa,
Albertino. Tidak bisa. Kami harus segera
kembali ke Jakarta. Sekarang juga. Pagi ini
juga. Ya! Ya! Pertemuan itu batal
—Hallo? Kau mendengarnya, Albertino? BATAL!"
Belepotan Ikanuri menjelaskan lewat telepon
genggamnya. Satu karena dia bersama Wibisana
sedang terburu-buru membawa ranselnya mencari
peron nomor 9. Dua karena bahasa Italianya
jauh dari lancar, campur-campur. Campur
Inggris, malah kadang campur bahasa Indonesia.
"Albertino, Anda tidak
mengerti. Saya harus kembali sekarang juga
ke Jakarta. Kau masih menunggu di bandara?
BANDARA? Tidak. Kami sekarang di stasiun
kereta Roma! Apa? Bukan bandara, kami sekarang ada di
stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya Allah, tentu saja kami tidak naik
kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong....
Panggilan terakhir untuk penumpang Kereta
Lokal Chievo3000. Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau dengar? Tidak
usah ditunggu. Kami harus pulang malam
ini juga ke Jakarta, kau dengar? Ya? Ya?
Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL! Kau dengar?
Apa? Ah, sialan—" Ikanuri memaki. Wibisana yang berlari-lari kecil
di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan
ludah.
"Tung-tong-teng-tong.... Kereta
ekspres menuju Swiss Benin nomor 12
dibatalkan karena alasan cuaca buruk. Badan
metereologi meramalkan akan turun hujan
lebat di selatan Swis. Kemungkinan longsor.
Penumpang bisa melapor ke loket penjualan
tiket kami untuk full-refund, atau meminta
klaim kamar hotel jika memutuskan untuk
menunggu kereta besok pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia,
dengan rendah hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu,
bah!" Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti
sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!" Wibisana
menarik nafas pendek, memperlamban langkah kaki,
papan elektronik yang bertuliskan angka 9
(peron tujuan Paris, Perancis lewat
Pegunungan Alpen, Swiss) sudah di depan mereka.
Mencoba untuk lebih rileks. Ada gunanya juga
setelah setengah jam terakhir terburu-buru, mereka tidak terlalu
terlambat, masih ada waktu lima menit lagi. Tadi keluar dari
Bandara Roma amat terburu-buru. Meneriaki
taksi terburu-buru. Memaksa sopir taksi (yang
keturunan India itu) untuk terburu-buru,
ngebut menuju stasiun kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis
setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion Olimpico,
penduduk kota Roma sudah dari tadi
duduk manis di stadion atau depan teve masing-masing.
Sialnya, meski lengang, di mana-mana ada
konsentrasi massa yang bersiap nonton bareng
lewat layar teve raksasa. Mending nontonnya
di lapangan, ini justru digelar persis di tengah-tengah
perempatan jalan. Benarlah adigum itu, bagi
penduduk Roma, sepak bola sudah jadi
agama. Jadi, terpaksa taksi berputar-putar
mencari jalan yang perempatannya tidak
vorbodden. Itu sama saja menyisir seperempat kota Roma dengan
kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?" Sopir
India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri. Setelah
berpikir lima belas detik di depan
gadis penunggu counter biro perjalanan, Wibisana
akhirnya memutuskan untuk segera ke Paris.
Itulah pilihan terbaik yang ada. Memutuskan
ke Paris dengan menumpang kereta ekspres
lintas negara, Eurostar. Soal perjalanan
menggunakan kereta api, benua Eropa nomor
satu. Di sini, untuk mengililingi Eropa,
kalian cukup menumpang kereta lintas
negara. Kabin kereta yang nyaman, bisa sekalian
jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot
melewati pemeriksaan paspor dan visa setiap
kali melintasi perbatasan. Ke sanalah,
Ikanuri dan Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul Kak Laisa berkali-kali?
Maksudmu?" Ikanuri balik bertanya, sedikit
bingung dengan kalimat kakaknya barusan.
Wajahnya masih tegang sejak dari bandara tadi. Wibisana tertawa kecil,
berusaha lebih santai,
"Kau sudah tiga kali memaki setengah jam
terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu berarti sembilan kali pukulan
sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang bergurau
soal masa kecil dulu. Terus melangkah.
Mereka akhirnya tiba di depan pintu gerbong
kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—" Wibisana
menyerahkan tiket ke penjaga.
"Paspor dan Visanya, Senior—" Ikanuri
menarik travel-binder. Tidak
banyak cakap menyerahkan dokumen perjalanan, meski tadi
sebenarnya di pintu gerbang stasiun juga
sudah diperlihatkan kepada petugas imigrasi.
"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau
Bali. Cantik, bukan?" Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
"Jika sempat suatu
saat saya hendak ke sana, berlibur, menghabiskan
masa pensiun.... Wah, kalian jauh-jauh dari
Indonesia, tapi tidak untuk menyaksikan
pertandingan final Liga Champion Juventus-Manchester United,
Senior?" Penjaga itu berbasa-basi. Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng
tidak peduli.
"Ah saya mengerti,
tim sepakbola negara Anda tidak terlalu
bagus, tidak menarik untuk ditonton, tapi di sini beda,
senior...." Ikanuri mendesis sebal;
buruan periksa tiketnya.
"Selamat menikmati Eurostar, Senior.
Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final itu, malam
ini kami hanya punya tujuh penumpang….
Kecuali jadwal kereta setelah selesai pertandingan; nah
yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket
ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris
tanpa suara. Ikanuri dan Wibisana tak terlalu mendengarkan tawa
riang penjaga itu, sudah membawa koper masuk. Melangkah di
sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior kereta,
mereka segera menyadari, setidaknya kereta
ini lebih dari cukup untuk beristirahat setelah
penerbangan belasan jam. Menurut gadis
penjaga counter tadi, butuh waktu setidaknya
dua belas jam untuk tiba di Paris,
Perancis. Melewati setidaknya dua ibukota negara-negara
eksotis Eropa. Andai saja situasinya lebih
baik, mungkin ini bisa jadi perjalanan
hebat, bisa menjadi trip perayaan atas
suksesnya kesepakatan bisnis dengan produsen mobil balap itu.
Ikanuri menghela nafas,
teringat telepon yang terputus barusan,
pelan melemparkan kopernya ke kursi. Wibisana
menutup pintu kabin. Juga memikirkan hal
yang sama. Tapi lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo
besok pagi. Lupakan soal kesepakatan bisnis itu, meski
mereka butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan kesempatan
tersebut. Itu bisa diurus nanti-nanti, jika
masih sempat. Jika produsen itu belum
keburu memilih partner bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah
Lahambay jauh lebih penting. Itu benar-benar jauh lebih penting.
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang
sibuk menyusun balok-balok bambu di pinggir
sungai yang mengalir deras. Mukanya serius.
Mulutnya sedikit terbuka. Kepalanya terus
berpikir. Sekali, dua kali, tiga kali,
berkali-kali, dia menyusun ulang balok-balok itu.
Jatuh, disusun kembali. Gesit. Terampil
tangannya mengikatkan tali rotan. Memukul ujung bambu
dengan batu agar melesak lebih dalam
ke tepi sungai. Cahaya matahari pagi yang meninggi
menyinari Wajahnya. Herhenti sejenak. Menyeka keringat.
Lantas beranjak ke tepi sungai. Mengambil
kincir yang tersandar di cadas batu
setinggi lima meter. Kincir dari batang
bambu itu benar-benar seadanya. Jauh dari
kokoh. Tapi itulah usaha terbaiknya. Sudah seminggu
terakhir dia sembunyi-sembunyi membuatnya. Selepas
pulang sekolah. Selepas membantu Mamak Lainuri dan Kak
Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas sungai.
Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya. Kakinya
sedikit bergetar membawa kincir yang
lumayan besar untuk anak dua belas tahun
seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah.
Hati-hati kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela
nafas lega. Tinggal memperbaiki posisinya. Akhirnya
satu kincir terpasang sudah. Celananya
basah. Bajunya juga basah. Sedikit belepotan
tanah liat cadas sungai. Dia melangkah
ke pinggir sungai. Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir
itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air. Dan bumbung
kosong bambu yang dibuat sedemikian rupa
mulai berputar, mengalirkan air sungai ke
atas. Tumpah saat tiba di putaran
tertingginya. Berhasil! Anak kecil itu menyeringai
lebar. Masih perlu setidaknya empat kincir
lagi hingga akhirnya tiba di atas cadas sana,
pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya dia
bisa membuktikan air-air ini bisa dibawa ke atas dengan
lima kincir bersambung. Bukan dengan kincir raksasa
yang selama ini selalu dianggap solusi
terbaiknya. Dia beranjak memasang pondasi balok-balok bambu
berikutnya di dinding cadas. Kali ini jauh lebih
sulit. Cadas itu keras untuk dihantam
meski dengan ujung bambu runcing sekalipun.
Berkali-kali ujung bambunya penyok. Terpaksa
dipampas lagi dengan golok. Setengah jam
berlalu, pondasi sederhana di dinding cadas
sungai itu akhirnya jadi. Kali ini benar-benar
lebih sulit memasangkan kincir kedua yang
tersandar di dinding cadas. Berat. Tidak
mudah mengangkatnya. Tidak kehabisan akal,
anak kecil itu mengambil tali rotan yang
telah disiapkannya. Menyangkutkan ujung-ujungnya
di salah satu pohon besar lima meter di atas cadas.
Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas. Matahari sudah
benar-benar tinggi ketika ia berhasil
meletakkan kincir itu di pondasi dinding
cadas. Bajunya penuh oleh licak lumpur.
Berhenti sejenak. Sekali lagi tersenyum riang
melihat pekerjaannya. Lantas melangkah ke
sungai yang mengalir jernih. Berusaha membersihkan muka
dan tubuh yang kotor. Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai sedalam
pinggang itu, saat asyik menikmati sejuknya arus deras
sungai, terdengar gemerisik dedaunan diinjak dari jalan setapak mulut rimba.
Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI
SINI?"
Tanpa tedeng aling-aling teriakan itu meluncur,
menyergap. Dalimunte, nama anak kecil berumur
dua belas tahun itu seketika gagap.
Kak Laisa bersama Yashinta, muncul dari
gerbang jalan setapak hutan belantara,
turun ke anak sungai yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah,
Dali? Apa yang kau lakukan di sini?" Kak Laisa mendesis
galak, melangkah mendekat. Seram benar melihat
tampangnya. Bahkan Yashinta yang sepanjang perjalanan
pulang tadi hatinya berbunga-bunga, ikut-ikutan
takut mendengar seruan Kuk Laisa. Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak
lelaki itu menyeringai, terdesak, sembarang mengarang. Meniru kelakuan dua
adik lelakinya yang memang jago ngarang kalau sudah ketahuan
salah begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot.
Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main
air!" Kak Laisa menukas tajam, tangkas menyambar ranting yang
kebetulan hanyut di dekat kaki-kaki mereka, dan tentu saja ranting itu gunanya
buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah,
hah?" Kak Laisa menghardik.
Dalimunte mencicit Aduh,
dia pikir Kak Laisa dan Yashinta
bakal lama lihat berang-berangnya. Dia
pikir akan cukup waktu mengerjakan kincir-kincir
ini sebelum Kak Laisa kembali. Ternyata
perhitungannya keliru. Dia memang sudah tak
sabar menunggu waktu senggang menyelesaikan
pekerjaan yang sudah direncanakan dan
dikerjakannya berbulan-bulan. Mumpung Kak Laisa
pagi ini tidak ada di rumah untuk
mengawasi. Makanya memutuskan bolos sekolah.
Selama ini sedikitpun tidak tersedia waktu
yang cukup untuk menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia
langsung keladang. Hari ahad juga begitu, sepanjang hari harus ke ladang.
Padahal pertemuan di Balai Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan
Wibisana juga bolos!" Kak Laisa bertanya menyelidik, menusuk dadanya
lebih keras.
Dalimunte meringis. Soal
itu tidak usah ditanya lagi, meski
ada Kak Laisa sekalipun Ikanuri dan
Wibisana rajin bolos, apalagi jika Kak
Laisa tidak ada. Lebih berani melawan. Tadi pagi
sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa atas.
Tapi baru tiba di pertigaan jalan
bebatuan selebar tiga meter itu, Ikanuri
dan Wibisana sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat
ke kota kecamatan. Dalimunte sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang
bosan sekolah, tapi tidak pernah membolos. Tadi pagi saja,
butuh waktu sepuluh menit di pertigaan
itu hingga akhirnya dia berani memutuskan untuk ikut
membolos. Menyelesaikan kincir airnya.
"Apa yang kau kerjakan di sini?
JAWAB!" Kak Laisa menghardik lagi. Lebih kencang. Mengkal
karena yang diteriaki sejak tadi malah menunduk bengong. Dalimunte hanya
diam. Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?" Dalimunte
membisu.
"KAU ANAK LELAKI
DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah. Akan
jadi apa kau jika tidak sekolah? Pencari
kumbang di hutan sana seperti orang
lain di kampung ini? Penyadap damar? Kau
mau menghabiskan seluruh masa depanmu di
kampung ini? Setiap tahun berladang dan
berharap hujan turun teratur? Setiap tahun
berladang hanya untuk cukup makan! Kau mau setiap tahun hanya
makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang ladang? Hah, mau jadi apa
kau, Dalimunte?"
Yashinta yang berdiri di
belakang Kak Laisa ikut tertunduk. Hilang
sudah semua kesenangannya setelah melihat anak berang-berang.
Yashinta memainkan caping anyamannya pelan-pelan.
Menggigit bibir. Kalau Kak Ikanuri dan
Kak Wibisana yang dimarahi, Yashinta tidak
terlalu sedih. Mereka memang bandel. Tapi
kalau Kak Dalimunte yang dimarahi? Kan, Kak Dalimunte
selalu baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa. Suka
membuatkan Yashinta mainan. Yashinta ingin
menyela, membujuk Kak Laisa agar berhenti, tapi melihat
muka Kak Laisa yang merah padam macam kumbang membuat niatnya urung.
"Kau tahu! Mamak
setiap hari ke ladang! Setiap sore ke
hutan mencari damar! Mengumpulkan uang sepeser
demi sepeser agar kalian bisa sekolah!
Lantas apa yang kau berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS
SEKOLAH!! BERMAIN AIR??" Dalimunte tertunduk
dalam-dalam. Menyeka matanya yang tiba-tiba
panas, berair. Dali tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU BENAR-BENAR TIDAK
TAHU MALU! MAU JADI APA KAU KALAU
BESAR NANTI??"
Tidak. Kak Lais keliru.
Dali mengerti benar. Mamak sudah bekerja
keras demi mereka. Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh
masa kanak-kanak dan remajanya agar bisa membantu Mamak
setiap hari tanpa lelah demi adik-adiknya
sekolah. Dalimunte menyeka matanya. Menangis, rusukan ranting
Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi hatinya lebih sakit
lagi. Sungguh dia tidak bolos demi
sesuatu yang percuma. Dia tidak sedang
main air. Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!" Dalimunte
terisak, mengangguk.
"PULANG! PULANG
SANA!!" Kak Laisa keras memukul lengan
Dalimunte dengan ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat.
Sakit. Tangannya terasa pedas, perih. Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia
tahu. Tentu saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan, menyusuri inang sungai.
Kak Laisa sekarang
menatap tajam Yashinta. Tanpa perlu di
teriaki dua kali, Yashinta buru-buru melangkah,
mengikuti Dalimunte dari belakang. Menuju
tepi sungai. Menaiki tangga dari kayu
setinggi lima meter itu. Kampung mereka
terpisah dari hutan oleh cadas setinggi
lima meter itu. Tiba di hamparan semak belukar,
berjalan tiga ratus meter lagi baru akan tiba
di perkampungan. Atap seng yang sudah
karatan dari rumah-rumaah panggung penduduk
terlihat berbaris. Seadanya. Yang paling
ujung, yang paling tua, dan yang paling kecil,
itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?" Yashinta
yang berjalan dibelakang Dalimunte berbisik
pelan, berusaha mensejajari langkah kakaknya. Kak Laisa
berjalan sepuluh meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak. Dalimunte
hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara elang mengitari rimba
terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di dahi Yashinta.
"Nanti Yashinta kasih minyak
urut—" Yashinta berbisik pelan, mengambil bunga rumput di dahinya.
Dalimunte mengangguk lagi. Senyap. Angin lembah membuat
ujung-ujung semak bergoyang. Terasa menyenangkan. Caping
anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?" Dalimunte
bertanya pelan. Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?" Yashinta mengangkat dua
jempolnya,
"Top banget, deh!" Dalimunte
tersenyum tipis, meski kemudian meringis
lagi, lengannya yang tadi dipukul terasa perih. Mereka
terus berjalan menyusuri jalan setapak, tanpa bercakap-cakap
lagi. Kak laisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar
lembah. Ah, meski belum satupun yang
menyadarinya, hari ini garis kehidupan masa
depan mereka yang cemerlang sudah dimulai.
Hari ini, garis kehidupan sederhana dan
apa adanya milik mereka mulai menjejak
masa-masa depan yang gemilang. Anak-anak
terbaik dari Lembah Lahambay. Anak-anak yang mengukir indahnya perjuangan
hidup, Yashinta dengan berang-berangnya, Dalimunte dengan
kincr airnya. Ikanuri dan Wibisana, entah
dengan apanya. Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah, meski Dalimunte
tidak sempat menyaksikannya sendiri, kincir
airnya ternyata sempurna bekerja. Air itu
perlahan bergerak naik. Dari kincir
pertama. Naik terus ke atas, berputar
seiring arus air sungai memutarnya. Tumpah.
Langsung disambar kincir air yang kedua.
Kincir air yang kedua itu lantas
bergerak pelan. Berkereketan. Pondasinya bergetar. Tapi
pelan mulai berputar, air itu naik lagi, berputar terus. Tumpah.... Masih butuh
tiga kincir air lainnya di cadas itu.
"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi
pendiam?" Intan menarik ujung kemeja Dalimunte,
"Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar. Dalimunte
mengusap wajahnya. Tersadarkan dari kenangan.
Menatap keluar jendela pesawat. Hamparan awan
menggumpal putih nremenuhi sekeliling. Mereka
berada di ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masih marah gara-gara hamster Intan,
ya?" Dalimunte perlahan menggeleng,
lembut mengusap kuncir rambut putrinya. Tersenyum. Tentu
saja tidak. Hamster belang itu sekarang
pasti mendekam gelisah di ruang kargo pesawat.
Dulu, putrinya suka sekali menyelundupkan hamster dalam
saku bajunya. Lolos di pintu pemeriksaan. Maka
hebohlah pesawat itu saat hamster belangnya
ternyata menyelinap turun, lantas masuk ke salah satu kotak
makanan yang dibawa pramugari untuk penumpang. Loncat. Berlarian di dalam
pesawat yang sedang terbang persis di atas lautan.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya,
sayang?" Dalimunte merubah posisi duduknya,
bertanya lembut. Ah, seharusnya dia bisa
lebih rileks sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—" Intan
tertawa, mengambil tas sekolah di bawah
kakinya, mengeluarkan satu gelang. Menjulurkan gelang itu.
Dalimunte hendak mengambil dari tangan putrinya. Tapi Intan tidak melepaskan
gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!" Dalimunte
tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!" Ummi ikut tertawa,
mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya perjalanan ini
menyenangkan. Mereka hampir setiap dua
bulan sekali berkunjung ke perkebunan strawberry
Mamak Lainuri. Dan itu selalu menjadi
perjalanan yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain. Apalagi Intan,
menikmati benar menjadi kakak-kakak bagi Juwita dan
Delima (maksudnya menikmati merintah-merintah mereka). Menikmati
masakan Wak Laisa. Berjalan keliling kebun
bersama Eyang Lainuri, atau yang lebih seru Iagi, ikut
Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
Tadi mereka amat
terlambat datang di bandara. Seharusnya
pesawat itu sudah take-off lima belas menit
lalu. Tapi kolega peneliti Dalimunte yang
mengerti situasinya berbaik hati menelepon kantor pusat
maskapai penerbangan tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop seperti
Profesor Dalimunte sudah seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi
maskapai itu sama persis dengan Headmaster
Miss Elly, fans berat Profesor Dalimunte,
maka mereka berbaik hati menunda penerbangan.
Toh, penumpang lain tidak berkeberatan
setelah tahu yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh, Ummi sudah
telepon Eyang Lainuri kalau kita mau
datang? Biar Eyang masak yang banyak. Masakan kesukaan
Intan: rebung bakar!" Intan nyengir. Teringat sesuatu. Ummi
tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh berbeda dengan
kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar,
Mi?"
"Mendadak apanya?"
"Kita pulang! Kenapa
mendadak benar? Orang kalau mau hujan
saja ada guntur-geledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—" Dalimunte
yang menjawab, setelah menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa
sakit?" Mata Intan membesar, sedikit pun tidak percaya. Kan, Wak
Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk meski gempal. Mana
bisa sakit? Lah, Abi saja tidak kuat
gendong Intan naik tangga kayu cadas sungai. Hanya Wak
Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat
walafiat, Bi?" Intan menggaruk rambutnya. Sok berpikir. Gayanya
sudah seperti orang dewasa saja. Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang
amat ingin tahu. Itulah yang Abi juga tidak mengerti, sayang.
Sebulan lalu Wak Laisa memang terlihat
sehat. Hanya sedikit pucat. Soal pucat, sudah sejak
dulu Kak Laisa memang sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk dengan
keseharian. Tidak pernah mengeluh, bahkan
sejak mereka masih kecil dulu. Tidak pernah
sakit. Kak Laisa selalu sigap dan
disiplin menghadapi rutinitasnya. Jadi mana mungkin
Kak Laisa sakit? Tapi SMS dari Mamak
Lainuri pasti serius. Benar-benar serius. Dalimunte
menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya. Dokter bilang
mungkin minggu depan, mungkin besok pagi,
boleh jadi pula nanti malam.... Bagaimana mungkin
kalimat itu tidak serius?
ANGIN MALAM bertiup lembut. Menyelisik sela-sela
dinding anyaman bambu. Malam beranjak datang. Rumah
panggung kecil itu akhirnya lengang,
setelah sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya
suara burung hantu dari kejauhan yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik
bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasinya. Di
sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi yang
tidak memiliki nama. Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut. Kak
Laisa setiba di rumah panggung langsung
menyiapkan bekal makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak
Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri
setelah dimarahi di sungai tadi, menunggu rumah. Ia belum pernah
diajak-ajak ke ladang… Kata Mamak ia masih
terlalu kecil. Ladang itu tidak jauh
hanya satu kilo dari kampung. Seperti
tetangga lainnya, Mamak bertanam padi.
Musim ini kabar baik, hujan datang teratur.
Maksudnya, saat nugal (masa tanam) hujan
turun, saat akan panen seperti sekarang, hujan justru
berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal panen
karena busuk. Menjelang ashar Mamak Lainuri, Kak
Laisa dan Kak Dalimunte pulang. Biasanya Mamak
langsung ke hutan, menghabiskan dua jam
sebelum maghrib mencari damar, rotan, atau apalah. Tapi
hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi
siang, jadi wajah Mamak terlihat marah
sepanjang sore. Mamak sebenarnya tidak suka marah.
Lebih banyak berdiam diri. Melotot, dan
anak-anaknya langsung mengerti. Bagaimanalah Mamak
akan sempat marah? Mamak sudah terlanjur
lelah dengan jadwal harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi,
membuat gula aren, menyiapkan keperluan ladang. Lantas
berangkat ke ladang. Nanti, baru lepas
isya, setelah anak-anaknya tidur baru bisa istirahat.
Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah. Tapi sore ini Mamak
tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana
sekaligus bolos sekolah, kasus bolos itu
sudah biasa. Sudah bebal dua sigung itu diceramahi
Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah. Selama
ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke
manalah. Pulang sebelum lembah gelap. Tapi
apa yang dilakukan mereka seharian ini?
Mereka baru pulang setelah yang lain
selesai shalat maghrib. Ikanuri dan
Wibisana, berani sekali ikut menumpang mobil
starwagoon tua ke kota kecamatan, membantu
tauke desa atas menjual sayur-mayur di sana. Mereka
pulang sambil tersenyum lebar membawa
bungkusan dari kota, upah kerja seharian,
tapi Mamak tidak peduli. Terlanjur marah.
Maka kena omellah Ikanuri dan Wibisana.
Tentang mau jadi apa mereka? Sekolah!
Sekolah jauh lebih penting daripada bekerja. Kalian
tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah itu
menyenangkan? Hanya karena menyadari adzan
isya akan segera berkumandang dari suraulah omelan
Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas
makan bersama di hamparan tikar. Lebih
banyak berdiam diri. Padahal Kak Laisa masak ikan
asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak cukup
membantu suasana. Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana
shalat di surau; dan kali ini dua sigung nakal itu
menurut barulah ruang tengah rumah panggung
itu terasa lebih lega. Lampu canting besar
di dinding kerlap-kerlip. Ikanuri dan
Wibisana belajar di atas tikar pandan. Membaca, entah
benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi. Mereka sekali
dua saling berbisik pelan,
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju
kota kecamatan..."
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota
kecamatan tadi...". Terdiam saat Mamak menoleh.
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta asyik menggambar
berang-berangnya tadi pagi. Dalimunte entah
mengerjakan apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan
Mamak duduk di sebelah Yashinta, menganyam topi pesanan. Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah,
kan?" Yashinta mendadak menghentikan gerakan
tangannya, menoleh ke Kak Laisa. Ia
teringat kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan
anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah,
kan?" Yashinta bertanya sekali lagi,
ragu-ragu. Ah, kalau ia sekolah, Mamak
dan Kak Laisa pasti lebih repot lagi mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini
Yashinta masuk sekolah!" Mamak Lainuri yang menjawab. Beneran?
Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap konsentrasi
menganyam. Yashinta sudah tersenyum riang.
Tadi kan, Kak Laisa bilang anak lelaki
harus sekolah. Kalau anak perempuan? Lihat,
Kak Laisa kan anak perempuan. Makanya ia
tidak sekolah. Yashinta berpikiran pendek.
Jadi dipikirkan sepanjang hari. Ia tidak tahu kalau
sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar adik-adiknya
bisa sekolah. Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah. Biasanya, kalau
bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk sama
seperti tadi pagi,
"Memangnya asyik sekolah?" Tapi
karena mereka berdua malam ini lagi
alim, mereka hanya sibuk belajar, berbisik-bisik.
Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya,
deh! Bagus, kan?" Yashinta menghentikan gerakan
tangannya lagi. Menyeringai sambil menyodorkan
kertas gambarnya, Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta
menyeringai senang, kan jarang-jarang Kak Laisa
tersenyum. Mamak Lainuri juga beranjak
mendekat melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta
memang berbakat melukis. Meski hanya dengan pensil,
gambarnya tetap bagus. Lima berang-berang
itu terlihat begitu nyata. Andai saja ia bisa
membelikan putri bungsunya crayon warna. Mamak menghela nafas
pelan, meneruskan menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski
lantas sok serius kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan
kertas-kertasnya. Entah membuat apa. Sejurus, Yashinta
menguap. Beranjak membereskan pensil dan
kertas gambar. Sudah hampir pukul 21.00.
Saatnya tidur. Hanya ada satu kamar
di rumah panggung itu. Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di
kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur
di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —"
Entah kenapa Ikanuri tiba-tiba
bangkit dari belajarnya. Semua menoleh.
Langkah Yashinta tertahan. Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota
kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil
menguap.
"Buka saja—" Ikanuri nyengir. Yashinta
tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantung plastik
kecil. Sekejap terdiam memegang kotak berwarna
itu. Seperti tidak percaya. Satu detik.
Dua detik. Lantas berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—" Yashinta tertawa
lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya.
"TERIMAKASIH, KAK!" Ah, malam itu, di
tengah sejuknya angin malam menilisik
lubang.-lubang dinding. Ditengah gemerlap sejuta bintang di angkasa
sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian bekerja, setelah
sepanjang malam mengkal melihat ulah anak
lelakinya, akhirnya bisa tersenyum lebar. Juga Kak Laisa....
"Abi, Tante Yashinta juga pulang,
kan?" Dalimunte yang
mendorong koper sepanjang lorong garbarata
pesawat mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang. Asyik.
Asyik. Kalau begitu ia bisa lihat-lihat
kamera keren Tante Yashinta. Lihat-lihat foto
yang indah. Dulu waktu Intan masih kecil, Tante Yashinta yang
suka ngajarin melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di
sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang,
Bi?" Dalimunte mengangguk lagi. Teringat
sesuatu. Urusan ini benar-benar membuatnya tak sempat
berpikir panjang. Bagaimana mungkin dia
belum menghubungi mereka satu pun? Sejak menerima SMS
di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang
sedang dilakukan adik-adiknya. Juga kabar
Kak Laisa dan Mamak Lainuri di perkebunan
strawberry. Dalimunte mengeluarkan HP dari sakunya.
Antrian penumpang keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti.
Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga
datang.... Horee!" Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia
bisa memaksa mereka berdua memakai empat gelang karet
"Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan
Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu pernah hamster
belang Intan disembunyikan di tong belakang
perkebunan. Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan
Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan
Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain Oom
Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau
mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan
di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu
nada sambung. Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang
begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih
oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin
minuman itu.
PAGI BERIKUTNYA datang lagi. Wak
Burhan mengumandangkan adzan shubuh. Meski
sudah sepuh, suara Wak Burhan yang tanpa
speaker dari surau terdengar menggema di
perkampungan bawah Lembah Lahambay. Dalimunte
terkantuk-kantuk menarik sarung adik-adiknya.
Kerlip lampu canting semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya menggeliat
sebal. Menarik bantal. Lantas menutupkannya ke kepala.
Dalimunte menggosok-gosok mata, sedikit terhuyung
berdiri. Pagi ini penting baginya. Sebenarnya
juga bagi seluruh penduduk kampung.
Seperti kesepakatan minggu lalu,
bakal ada pertemuan rutin
tahunan di balai kampung. Membicarakan soal
panen ladang-ladang mereka, perbaikan jalan
bebatuan selebar tiga meter itu,
perselisihan antar tetangga (jika ada), perambah
hutan dari luar lembah yang semakin
sering masuk, hal-hal kecil. Dulu,
waktu Babak masih ada, Babak-lah jadi
wakil di pertemuan, mereka bersama-sama datang ke balai
kampung. Asyik menyimak pembicaraan. Dalimunte menguap sekali
lagi, melangkah mengambil kopiah. Mamak sejak jam empat tadi
sudah sibuk di dapur, masak air enau,
Ditemani Kak Laisa. Brr... dingin. Musim kemarau,
dinginnya semakin terasa menusuk tulang.
Tapi Dalimunte semangat shalat di surau. Teringat ada
hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad
bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara kokok ayam hutan
terdengar dari kejauhan. Juga lenguh pagi uwa.
Beberapa tetangga membawa obor bambu menuju
surau. Jalanan kampung masih gelap. Obor
itu sekalian juga penerangan di surau.
Tidak banyak peserta shalat shubuh, paling
berbilang enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte.
Sekembali dari surau, Ikanuri dan Wibisana
masih tertidur, saling membelakangi punggung,
dengan kaki-kaki menyilang. Dalimunte nyengir
melihat posisi aneh itu, malas membangunkan lagi;
menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja. Siapapun di
lembah itu tahu persis, di sekolah
Dalimunte dikenal sebagai anak yang paling pintar,
meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte (meski
untuk yang ini tidak semua penduduk lembah
tahu), dia suka sekali mengutak-atik sesuatu.
Diam-diam melakukannya di sela-sela membantu
Mamak di ladang, Apa saja. Menciptakan
alat-alat yang aneh. Seperti keranjang aneh
penangkap udang, alat panjang penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad pagi, hari ini
sekolah libur. Selepas Kak Laisa meneriaki
Ikanuri dan Wibisana bangun agar shalat
shubuh, sesudah sarapan nasi goreng,
benar-benar hanya nasi yang digoreng plus
potongan cabai dan bawang merah, mereka
beramai-ramai berangkat ke balai kampung. Pertemuan rutin
warga kampung.
"Kakak bawa apa, sih?" Yashinta
bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta
karun—" Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka
berdua selama ini juga suka jahil merusak kertas-kertas atau apa saja yang
dikerjakan Dalimunte. Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai kampung itu sudah
ramai saat mereka tiba. Pertemuan sengaja
dilakukan sepagi mungkin, biar selepas acara,
mereka masih sempat bekerja di ladang.
Kursi-kursi bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh
pemuda kampung. Wak Burhan, sesepuh kampung
berdehem, setelah memastikan semua warga hadir, mengetukkan
palu dari bonggol bambu, segera memulai
pertemuan. Warga kampung diam memperhatikan.
Pertama, mereka membicarakan soal kesepakatan
lumbung kampung. Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk
cadangan padi kampung. Per-kepala atau per-hasil panen.
Lima belas menit penuh seruan-seruan.
Usul-usul. Kalimat-kalimat keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat
tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres. Mamak Lainuri
menyeka dahi. Meski lima kaleng itu
benar-benar akan mengurangi penghasilan ladang
mereka yang tidak luas, cadangan padi
selalu penting. Dua tahun silam saat ladang
mereka terkena hama belalang, lumbung
kampung memastikan perut anak-anaknya tetap
kenyang. Setidaknya panen kali ini semoga
masih ada sisa buat membeli seragam sekolah buat
Yashinta.
Lebih banyak lagi waktu
dihabiskan untuk membahas soal perambah
hutan dari daerah lain, Seruan-seruan marah
makin ramai. Memaki. Mengancam. Wak Burhan,
yang masih terhitung saudara Mamak Lainuri
(dan juga warga kampung lainnya) menengahi.
Sepakat melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan
di Lembah Lahambay itu adalah kawasan taman
nasional. Daerah konservasi. Hanya lokasi-lokasi
tertentu yang dibolehkan diolah, meski penduduk
setempat sendiri kadang juga melanggarnya dengan menangkapi
uwa, kukang, atau binatang dilindungi lainnya. Tapi perlakuan
perambah hutan itu memang mencemaskan, mereka
tega membawa senso (gergaji mesin) besar,
dan tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa. Perbaikan
jalan bebatuan tiga meter itu diputuskan
hanya dalam hitungan menit. Keputusannya adalah:
Menunggu. Menunggu pemerintah kota berbaik
hati sajalah. Mereka sudah terlalu repot
dengan kehidupan sehari-hari untuk ditambahi
memperbaiki jalan sepanjang dua puluh kilometer
itu. Lagipula desa-desa sekitar mereka juga
menolak memperbaikinya, agar
perambah hutan tidak semakin sembarangan
masuk membawa truk-truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan
hasil jarahan. Membicarakan perselisihan batas ladang,
sepakat memberikan tanda baru untuk setiap batas
kebun. Jadwal pengajian mingguan. Gotong-royong
perbaikan tangga kayu di cadas setinggi
lima meter sungai. Sumbangan rutin buat
acara besar (Maulid, Isra Mi'raj). Dan beberapa
masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin
dibicarakan?" Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang
menatap seluruh balai kampung. Lengang sejenak.
"Masih ada?" Wak Burhan bertanya
sekali lagi. Sepertinya sudah selesai. Tidak ada
lagi yang hendak melaporkan sesuatu. Wak
Burhan tersenyum, meraih pentungan dari bongkol
bambu, bersiap menutup pertemuan. Saat itulah, saat
penduduk kampung menggeliat santai karena
pertemuan sudah selesai, saat mereka beranjak
merapikan baju yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya.
Awalnya ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu
meniatkan diri, maka sambil menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya
lebih tinggi, Muka-muka tertoleh. Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai? Mamak
Lainuri mengernyitkan dahi. Kak Laisa yang
merasa ganjil, menyikut bahu Dalimunte yang
duduk di sebelahnya. Ikanuri dan Wibisana
yang sejak tadi hanya jahil tertawa-tawa saling
berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya mata
Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu
Dalimunte?" Wak Burhan meletakkan palu
bonggol kayunya. Tersenyum tipis. Itu
janggal sekali, pertemuan tahunan itu meski diikuti
oleh seluruh penduduk kampung, hanya pria dewasalah yang bicara.
Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...." Dalimunte
menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan,
Dalimunte?" Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih
dari mulut. Dia mengenal sekali anak Lainuri yang satu
ini. Rajin shalat berjamaah di surau.
Masih anak-anak. Tapi siapa bilang dia
masih anak ingusan umur dua belas
tahun. Sejak Babak mereka meninggal, anak-anak Lainuri
tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—" Dalimunte
dengan tangan sedikit bergetar membawa
kertas-kertasnya ke depan. Saking gugupnya, beberapa kertas
berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya. Mamak Lainuri
masih mengernyitkan dahi. Kak Laisa menatap
lebih bingung. Buat apa kertas-kertas itu? Penduduk lain
menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—" Dalimunte
mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte.
Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!" Wak Burhan mengangguk
mantap padanya.
Dalimunte menelan ludah.
Menatap Kak Laisa, menatap Mamak Lainuri.
Menatap Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya.
Lihatlah, adiknya dengan bola mata membulat penuh
rasa ingin tahu balas menatapnya. Ekspresi
yang sama seperti setiap kali Yashinta
diajak melihat anggrek hutan raksasa. Atau
melihat pohon salak hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak.
Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan Dalimunte yang
tiba-tiba berdiri di tengah balai kampung.
Yashinta hanya ingin tahu. Baiklah, Dalimunte
menekuk ibu jari kakinya, ini semua
mudah. Tersenyum penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta.
Maka meluncurlah penjelasan itu.
"HALLO! HALLO! PROFESOR—" Ikanuri
terdengar berteriak di seberang sana.
Meningkahi berisiknya suara krsk telepon genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam
lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya, kau dengar? Aku
sejak tadi menelepon kau. Tidak ada
sinyal, Dali. Sama sekali tidak ada. Akhirnya
justru kau yang menghubungi sekarang. Bah,
sejak kapan kau mematikan HP urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat. Kau sudah di
mana?" Sinyal sambungan langsung internasional
itu payah, putus-putus. Dengan jeda waktu bicara
lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di
seberang sana. Juga sebaliknya.
"Kami persis di
pegunungan Alpen, Swiss. Ya ampun, ini
benar-benar sialan semua urusan ini. Ada longsor
yang menimbun jalan kereta! SWISS. Kami
di SWISS, bukan ITALIA, PROFESOR. Hallo?
Hallo? Tidak. Kami tidak berangkat dari
Roma. Sepakbola sialan ini membuat semua
penerbangan dari kota-kota di Italia penuh
hingga dua hari ke depan. Terpaksa berangkat dari
Paris. PARIS, bukan SWISS—" Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara
Ikanuri.
"Tidak. Tidak. Kami
akan terbang dari Paris, Dalimunte. Dengan
penerbangan besok pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil
dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor.
Tanahnya memenuhi jalanan kereta. Apa?
Sialan. SUARANYA PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE! APA?
Oo-Juwita, Delima, dan Ummi mereka sudah
dalam perjalanan ke sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di
bandara. Kau sudah dijemput di bandara?" Ikanuri entah untuk ke
berapa kalinya memaki.
Sementara di sini, sambil
menelepon, Dalimunte melangkah cepat menuju
lobi depan bandara. Mobil jemputan perkebunan
strawberry sudah menunggu sejak tiga jam
lalu. Perjalanan Jakarta menuju ibukota provinsi
ini hanya butuh satu jam. Tujuh jam
berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu
menjadi perjalanan yang menantang. Terpaksa tiga
kali ganti kendaraan. Satu kali menumpang
bus ke kota kabupaten. Satu kali lagi
menumpang angkutan pedesaan terbuka menuju
kota kecamatan. Terakhir naik starwagoon tua
itu menuju perkampungan. Sekarang tidak lagi,
sejak perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi,
akses ke sana jauh lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu,
Dalimunte!" Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras,
"Aku sudah hampir
sepuluh kali menghubungi telepon genggam
satelit Yashinta. Tidak ada sinyal. APA?
HALLO? TIDAK TAHU! Aku tidak tahu!
Tentu saja ia baik-baik saja, Dalimunte—" Kedua
kakak-beradik itu (satu di Italia, satu di sini) mengernyit
berbarengan. Dalimunte melipat dahinya lebih lebal,
terlihat amat cemas. Dia juga sudah
tiga kali mengontak HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak
ada sinyal.
"Mematikan HP? Tidak
mungkin ia sudah di pesawat, bukan?
Apa? Oo Terakhir aku ditelepon Yashinta tadi malam.
Ia menginap di punggung lereng Semeru. Apa? Tentu tidak, Dalimunte.
Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali
lebih atletis dibandingkan Kak Laisa,
apalagi dibandingkan kau! DIA AKAN BAIK-BAIK
SAJA, DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan
ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di
kampung?" Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan
intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan merasa ganjil setelah menyebut nama Kak
Laisa.
"Baik. Baik. Jika
kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak,
aku dan Wibisana akan berusaha segera tiba
di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa
yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya sudah
menemukan alat agar kami bisa pindah
kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan hanya
mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah
jelas pasti benar, Mamak dulu juga sudah bilang
itu benar dalam cerita-ceritanya lepas Shubuh,
tak perlu kau buktikan—" Ikanuri mencoba bergurau,
sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang. Dalimunte mengusap
wajahnya sekali lagi. Terdiam. Bukan karena
gurauan Ikanuri soal penelitiannya. Wibisana dan
Ikanuri berdua memang sejak kecil kompak
sudah suka mengganggu 'penelitian-penelitiannya'.
Menyembunyikan alat-alatnya. Dalimunte terdiam karena memikirkan
sesuatu. Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?" Intan
berseru memanggil dari dalam mobil. Putrinya
sudah duduk rapi memeluk si belang. Sopir
perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu. Dalimunte
menghela nafas. Ya Allah, bertambah satu
lagi hal mencemaskan. Yashinta! Kemana pula adik bungsunya
itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS
(global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya
saja mati, apalagi GPS-nya. Itu satu paket
dengan gagdet canggih Yashinta. Dalimunte setelah
menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok
mobil. Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai
itu dengan kincir-kincir itu, Dali?" Salah seorang
pemuda bertanya, memecah lengang setelah
Dalimunte selesai menunjukkan gambar-gambarnya. Dalimunte
mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang
kita?" Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya. Dalimunte
mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir
itu bisa sekalian digunakan sebagai pembangkit listrik.
"Itu lima meter
tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir
yang harus kita buat agar bisa mengangkat air
dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu." Pemuda itu berseru
sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!"
Dalimunte menjawab cepat. Setelah lima
menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan
terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh
lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir
air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil! Itu tidak
mudah dilakukan—" Pemuda yang lainnya
menimpali, memotong,
"Bagaimana kau akan
memastikan kincir-kincir itu bisa bergerak
bersamaan? Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di
cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara
tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu
itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain
kau...." Tertawa, beberapa penduduk
menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan
memastikan air itu bisa dialirkan sejauh satu kilometer ke ladang-ladang
kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya,
Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas
kampung...." Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa
bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak
akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya," Seruan-seruan
sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin....
Sudah ada di sungai bawah cadas—"
Dalimunte mencoba meningkahi keramaian
setelah terdiam sebentar, dia tidak menyangka akan
ada banyak pertanyaan, seruan ragu-ragu
semacam ini. Sepanjang pagi tadi dia hanya memikirkan
hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya
bekerja?" Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu. Mata-mata serempak
memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana
sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah
roboh duluan tidak cukup kokoh dihantam
arus deras sungai. Dalimunte mulai ragu
dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam.
Seruan-seruan semakin ramai terdengar.
Dalimunte menelan ludah.
Tertunduk. Sia-sia. Idenya akan mubazir.
Tidak ada yang menanggapinya serius. Persis
seperti selama ini, penduduk kampung seolah
sudah pasrah dengan takdir cadas lima meter
itu. Mereka toh dulu sudah berkali-kali
membuat kincir air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte
perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu
bekerja!" Seseorang tiba-tiba berseru.
Berseru dengan suara lantang sekali.
Membuat dengung lebah terdiam. Seketika. Dalimunte menoleh.
Gerakan tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu. Kak
Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya.
"Kita bisa melakukannya.
Apa susahnya membuat kincir-kincir itu.
Jika Dalimunte bisa membuat dua dengan
bambu seadanya, kita bisa membuatnya yang
lebih bagus, lebih kokoh." Kak Laisa berseru, melangkah
ke depan.
Mata-mata sekarang memandang
Kak Laisa. Gadis tanggung berumur enam
belas tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk
lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan lebih besar
darinya. Kak Laisa terlihat begitu yakin
dengan setiap kalimatnya. Sama sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais—
" Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga,
Tidak ada, Jogar—" Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan
berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja,
terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu
tinggi!" Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian tidak mendengarkan
dengan baik kalau begitu. LIMA KINCIR
AIR. Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu
berhasil?"
"Tidak ada. Tidak
ada yang menjamin itu akan berhasil.
Benar! Itu akan membuang-buang tenaga jika
gagal! Tapi jika berhasil? Kita sudah
bertahun-tahun hanya menggantungkan nasib ladang
kita, hidup kita, kampung kita, dari
kebaikan hujan. Sudah saatnya kita membuat
irigasi sendiri untuk ladang-ladang itu.
Berpuluh-puluh tahun sejak kincir raksasa itu gagal
dibuat tidak ada lagi yang memikirkan
bagaimana caranya mengangkat air sungai dari
bawah cadas. Tidak ada salahnya mencoba
kincir-kincir air itu. Lima kincir bertingkat. Itu
masuk akal. Semasuk akalnya seperti kita
berharap benih di ladang tumbuh saat musim penghujan!
—" Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung.
Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah hutan tadi.
Seruan-seruan ragu-ragu, seruan-seruan sangsi,
meski sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"Tidak ada salahnya, bukan?" Laisa
menatap sekitar.
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas
lima meter itu! Sampai kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan
usul Dalimunte?" Kak Laisa berseru dari
tengah-tengah balai kampung, menghentikan dengung
lebah untuk kedua kalinya. Menatap tajam. Muka-muka masih
saling bersitatap satu-sama-lain. Sedetik.
Dua detik. Dalimunte menggigit bibir. Sia-sia.
Urusan ini tidak selancar yang
dibayangkannya. Ide lima kincir air itu percuma.
Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat
yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul
Dalimunte?" Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang. Yashinta
yang pertama kali mengangkat tangannya,
takut-takut (entah ia mengerti atau tidak urusan itu).
Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang
menoleh. Wak Burhan menyusul, ikut
megangkat tangan dengan mantap, sambil tersenyum ke arah
Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung
lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu. Kak
Laisa tertawa lebar. Menyikut bahu
Dalimunte yang berdiri di sampingnya. Anggukan
dan seruan 'kenapa tidak' sekarang ramai
keluar dari mulut penduduk. Mereka akan mencobanya.
Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega. Hari
itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima
kincir air tersebut, tapi semua orang tahu,
karena Kak Laisa-lah ide itu akhirnya
dikerjakan. Hari itulah, Dalimunte belajar satu
hal: bagaimana bicara yang baik di
hadapan orang banyak. Belajar langsung dari
Kak Laisa yang entah bagaimana caranya
menguasai benar hal tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang. Dalimunte
mungkin tidak akan pernah tahu. Tidak
pernah! Kak Laisa sama gugupnya seperti
dia, sama gentarnya bicara di tengah-tengah
balai kampung itu. Tetapi Kak Laisa tidak
akan pernah membiarkan adik-adiknya kecewa.
Tidak akan pernah membiarkan adiknya merasa
malu. Jika harus ada yang kecewa dan
malu, itu adalah ia. Bukan adik-adiknya. Bagi
Laisa, sejak babak pergi, hidupnya amat sederhana. Adik-adiknya
berhak atas
masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya.
Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte bolos
sekolah kemarin. Maka demi rasa sesal
telah memukul lengan Dalimunte, keberanian itu muncul begitu
saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang.
Dan tidak hanya hari itu Laisa
melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya berkali-kali
sepanjang umurnya. Demi keempat adik-adiknya.
"DALIMUNTE sudah di mana?"
"Sudah naik mobil
jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak
Cie Hui dan Intan."
Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku.
Merapatkan jaket hujan yang dikenakan. Kereta ekspres itu berhenti persis di
tengah hutan. Di depan Sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan
watt menerangi lokasi longsoran tebing. Hanya butuh setengah
jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan
pasukan militer Swiss dari kota terdekat
tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat
untuk membersihkan tanah liat yang menumpuk
sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang taktis
dan gesit. Ada sekitar dua peleton
pasukan di sana. Tapi hujan yang
turun semakin deras, membuat pekerjaan semakin
sulit. Apalagi, baru saja bersih lima
meter, tebing itu longsor lagi. Lebih banyak.
"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze,
per favore? Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong,
please?" Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani
penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari
pintu gerbong dengan toa. Ikanuri menoleh, mendesis sebal.
"epiu confortevole dentro— " Gadis
itu membujuk lagi.
"Sebentar Lagi—" Ikanuri yang
bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis
itu mengernyit, tidak mengerti.
Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak
melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur, meski kabin
itu amat lega dan nyaman. Saat sedang
berusaha menelepon Yashinta, Mamak Lainuri, dan
Dalimunte kereta tiba-tiba berhenti. Aneh.
Kereta itu kereta express, mana boleh
berhenti sembarangan macam kereta di
Indonesia. Ada apa? Ikanuri dan Wibisana
beranjak keluar dari kabin. Segera mencari
tahu. Dan segera pula menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat
tahu masalahnya. Karena sebal, Ikanuri dan
Wibisana memutuskan turun dari kereta,
ingin melihat langsung pekerjaan pembersihan rel. Masinis
berbaik hati meminjami dua jaket hujan besar. Malam
ini, kereta hanya berpenumpang tujuh orang.
Penumpang yang lain sibuk tidur di kabin
masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan
suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live
sepak bola Juventus-Manchester United dari teve
mungilnya. Kejadian ini berkah baginya, dia
jelas tidak boleh menonton saat menjalankan kereta.
"Kau sudah telepon Yashinta lagi?
Tersambung?" Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak
tersambung.
"Kenapa pula di situasi sepenting ini HP
anak itu dimatikan?"
Ikanuri mendengus jengkel.
Menatap putus asa puluhan petugas
kepolisian dan pasukan militer yang seliweran
membersihkan rel kereta. Lihatlah, dinding
tebing itu longsor lagi setelah mereka berhasil memindahkan
separuh tumpukan lumpur di atas rel. Bisa tidak sih
mereka berpikir jenius seperti Dalimunte!
sepuluh persen saja dari otak hebat
Dalimunte. Dinding tebing itu harusnya di
tahan dulu. Diberikan konstruksi penahan, atau
entahlah yang penting bisa mencegah
longsoran baru. Baru dibersihkan rel keretanya. Kalau
begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma
juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.
"Juwita dan Sekar sudah tiba di
mana?" Ikanuri bertanya.
"Lima menit
lalu mereka bilang sudah
di bandara, menunggu jadwal penerbangan dua
jam lagi." Wibisana menjawab.
"Semoga kita bukan yang terakhir
tiba."
"Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga kita tidak datang
terlambat." Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan
tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik,
"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri.
Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...." Hujan
turun semakin deras. Badai semakin kencang.
Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya
mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine, istri
Ikanuri, Wulan, istri Wibisana, beserta
anak-anak mereka, Juwita dan Delima tiba
di sana. Repot sekali Juwita dan
Delima mendorong sepeda BMX mereka keluar
dari lobi kedatangan bandara. Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan,
kedua anak nakal usia enam tahun itu justru kompak memaksa
membawa sepeda BMX spesialis trek gunung
masing-masing,
"NGGAK MAU! Juwita
harus bawa sepeda! Kan, asyik buat
keliling kebun strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak
Laisa!" Karena rumah mereka berseberangan
halaman, maka jika yang satu membawa
sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah. Juwita dan Delima
memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri
tunggal mereka membawanya. Jadi terlihat sedikit
mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya
dari counter pengambilan bagasi bandara.
"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?"
Delima bertanya,
"Masih di perjalanan, di mobil jemputan
perkebunan—" Wulan, Ummi Delima memasukkan telepon genggamnya ke tas
tangan. Barusan menelepon Cie Hui, Ummi Intan.
"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga,
nggak?" Juwita yang bertanya ke Umminya.
"Tidak tahu, sayang.
Yang Ummi tahu Kak Intan pasti bawa
gelang 'Safe The Planet'-nya"
Jasmine, Ummi Juwita
tertawa kecil. Membantu memotong tali
rafia. Perkebun strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi
dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil. Dua gadis kecil
itu menyeringai, bersitatap satu sama lain,
idih, pasti Kak Intan maksa-maksa lagi
makai gelang itu. Perasaan baru dua
minggu lalu mereka dikirimi satu kotak. Disuruh-suruh
jual ke teman-teman di sekolah. Ditanyain
tiap hari lewat telepon dan email. Orang mereka
berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry
bareng Eyang atau Wawak. Siapa pula
yang mau dipaksa-paksa pakai gelang karet norak itu.
"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?"
"Nggak tahu, sayang—"
"Tante Yashinta juga pulang, kan?"
"Nggak tahu. Harusnya iya—"
"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"
"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih
terjebak badai—"
"Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih,
Mi?"
"Nggak tahu, Delima—"
Ummi melotot, ia sibuk membantu sopir mengikat sepeda, Delima
justru sibuk bertanya.
"Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah
nih!" Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan
celetukannya. Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu
benar-benar menyerupai Ikanuri dan Wibisana waktu
kecil. Bedanya, mereka lebih jago
bicaranya, ngeles. Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya:
Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.
Setengah jam berlalu,
mobil kedua melesat menuju perkampungan
Lembah Lahambay. Melewati hampir tiga ratus
kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota
kecamatan. Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar.
Pohon bambu. Perkebunan kelapa sawit. Perkebunan
karet. Padang rumput meranggas. Naik turun
lembah. Melingkari bukit barisan. Sungai-sungai
yang meliuk. Persawahan. Menyaksikan monyet
yang berani bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar
yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu semua sebenarnya
pemandangan yang menarik, sayang tidak
untuk situasi saat ini. Juwita dan Delima
pun sejak separuh perjalanan akhirnya
lebih banyak tertidur. Lelah bertengkar di atas mobil.
Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak
Laisa pas makan malam, padahal percuma
juga mereka rebutan sekarang, toh Kak Intan
biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu. Juwita dan Delima tertidur
dengan wajah polos. Saling memegangi jidat. Bagi mereka, urusan ini
sederhana.
OMELAN MAMAK LAINURI
malam itu hanya mempan seminggu. Ikanuri
dan Wibisana memang rajin sekolah, sok
rajin belajar, shalat di surau, lancar
ngajinya, tidak banyak bertingkah, patuh dengan
Kak Laisa selama seminggu terakhir. Namun
lepas satu pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah
malah. Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan
lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima kincir
air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte. Lelaki
dewasa, mulai dari orang tua hingga
pemuda tanggung, setengah hari menghabiskan waktu
di hutan, menebang belasan batang bambu
besar-besar, setidaknya tak kurang satu jengkal
diameternya. Setengah hari lagi dihabiskan
untuk memotong-motong, mengikatnya dengan tali
rotan, memakunya dengan pasak besi. Wak
Burhan dua hari lalu juga memutuskan
menggunakan uang kas warga kampung,
membelinya di kota kecamatan, beserta semen dan keperluan
pondasi lainnya.
Sementara ibu-ibu
dan gadis tanggung membantu meyiapkan
kue-kue kecil macam serabi, putri salju, juga teh panas. Beserta
pula makan siang. Meski seadanya, hanya dengan sayur
terong dan sambal terasi, tapi setelah
lelah bergotong-royong seperti ini, makan sepiring
nasi yang masih mengepul terasa nikmat
nian walau tanpa lauk. Apalagi mereka mengerjakan
kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di
atas bebatuan sambil menyantap makan siang. Jika sudah sampai sejauh
ini, maka tak ada lagi yang sibuk bertanya apa semuanya
akan berhasil. Apa salahnya mencoba (lagi).
Maka sesiang itu, Dalimunte sibuk membentangkan kertas-kertas
miliknya, sibuk menjelaskan bagan konstruksi
yang telah dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya,
lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki
dewasa lainnya. Wajah-wajah yang mengangguk-angguk
mendengarkan penjelasannya, tidak banyak bicara.
Ahad ini seluruh penduduk kampung 30-40
atap rumah itu berkumpul di pinggir sungai. Semua
bekerja, membantu. Tak terkecuali Yashinta,
ia membantu mengangkut bebatuan dengan keranjang
rotan, bakal pondasi kincir. Anak-anak
kecil lainnya juga sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit
besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-pipa'. Jika pun tidak
ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil
bermain-main. Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah
satu sama lain bertengkar).
"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?"
Mamak bertanya pelan.
"Ee.. bukannya tadi
ada di sana, Mak?" Laisa menoleh,
menyeka dahinya, melepas gagang pelepah nyiur,
uap mengepul dari dandang besar penanak
nasi, menunjuk kelompok anak lelaki tanggung yang asyik
membuat pipa-pipa.
"Tidak ada, Lais"
"Ee, tadi ada di sana, Mak...."
"Benar-benar sigung bebal!
Kemana pula mereka pergi ketika semua
sedang sibuk bekerja. Bikin malu keluarga saja!" Mamak
Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala. Laisa
menelan ludah. Mengangguk dalam hati.
Kemana pula Ikanuri dan Wibisana sekarang.
Lihatlah, semua penduduk kampung berkumpul
di sini, bergotong-royong, dan mereka berdua entah kabur
kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta
sedang tertawa bersama teman sepantarannya,
ada satu yang terpeleset di air saat membawa
keranjang pasir, basah kuyup. Di sisi
lain, Dalimunte masih sibuk menunjuk-nunjuk
kincir air yang mulai berbentuk. Tidak
ada Ikanuri dan Wibisana. Juga tidak
ada di antara anak-anak lainnya.
"Apa perlu Lais cari, Mak?" Mamak
Lainuri berpikir cepat,
"Nanti. Lepas dzuhur
kalau tidak kelihatan juga ekornya, kau
cari mereka. Dasar tak tahu malu. Tidak
pernah ada di keluarga kita yang
berpangku tangan saat orang lain sibuk bekerja—"
Mamak mengomel tertahan.
"Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke
kota lagi, Mak!" Muka Mamak mendadak memerah.
Sebal. Kemungkinan itu benar-benar membuat Mamak marah.
Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.
"Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah
disuruh Dali ambil sesuatu—" Laisa menelan ludah.
Menyesal kemungkinan soal starwagoon itu.
Mencoba membuat Mamak lebih nyaman. Percuma.
Kalimat itu keliru, kalau dengan Laisa
saja mereka berdua enggan menurut, apalagi dengan
Dalimunte. Mana mau mereka disuruh-suruh
begitu. Dan jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini
sesederhana itu.
Menjelang dzuhur, dua kincir air selesai.
Dengan pasak besi, bebatan batang rotan, kincir bambu itu
terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum
senang, juga yang lain. Sejauh ini
rancangan Dalimunte hanya keliru satu hal,
jumlah potongan bambu yang dibutuhkan. Beberapa
lelaki dewasa terpaksa masuk lagi ke
hutan, mengambil belasan bambu berikutnya.
"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan
juga—" Laisa berbisik ke Mamak. Muka Mamak yang
sedang membawa piring-piring plastik kentara
sekali jengkel. Sementara penduduk kampung
berkumpul di pinggir sungai, duduk membuat
kelompok-kelompok di atas bebatuan. Wak
Burhan menyuruh mereka makan siang.
Istirahat hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke
surau. Shalat dzhuhur.
"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret
saja dua sigung bebal itu kemari—"
Mamak menahan marah.
Bagaimana pula ia tak marah, tadi
salah satu tetangga sebelah rumah sempat
bertanya di mana Ikanuri dan Wibisana.
Pertanyaan itu tidak serius, hanya bertanya apa kedua
anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk.
Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.
Laisa tidak perlu
diperintah dua kali, segera bergegas
meletakkan ceret air yang digunakannya untuk
mengisi gelas-gelas. Melepas kain celemek
butut. Lantas beranjak menyeberangi sungai. Ia
sama sekali tidak punya ide di mana
Ikanuri dan Wibisana berada. Meski begitu,
tempat yang pertama kali harus diperiksa
adalah rumah. Siapa tahu mereka berdua sedang tidur
mendengkur di bale bambu. Tidak ada. Laisa tidak
menemukan Ikanuri dan Wibisana saat tiba
di rumah sepuluh menit kemudian. Mungkin
mereka bermain-main di desa atas. Laisa
menyeka keringat di leher. Matahari siang,
terik membakar lembah. Dari surau, Wak
Burhan mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu
artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali ke pinggir
sungai itu tanpa Ikanuri dan Wibisana.
Maka tubuh gemuk dan gempal Laisa beranjak menuruni
anak tangga rumah panggung. Percuma. Satu jam berlalu. Ikanuri
dan Wibisana tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga
terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang
mengucur semakin deras, satu kilo berjalan, sia-sia.
Memutuskan untuk memeriksa tempat kedua anak itu suka
bermain-main. Tidak ada. Mereka tidak ada
di Curug Cuak (air terjun). Tidak ada juga
di jembatan gantung desa satunya lagi.
Tidak ada di tempat biasa mereka mancing. Tidak
ada. Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah
pukul tiga. Laisa dan penduduk kampung terlatih
sekali membaca jam dari gerakan matahari
dan bayangan pepohonan. Di pinggir sungai,
penduduk kampung sudah sejak tadi
meneruskan pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke
pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia akan kembali
ke sana sambil menyelusuri jalan yang
berbeda dari berangkatnya tadi. Melewari kebun-kebun
penduduk. Siapa tahu dua anak itu tiduran di pondok rumbia
ladang padi mereka.
Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas
sedikit lega, itu membantu banyak di tengah terik matahari
awal musim kemarau. Kebun penduduk terlihat
menguning. Batang padi merekah oleh bilur-bilur
buahnya yang montok. Sebulan lagi mereka
panen bersama. Penduduk kampung lembah itu
umumnya berladang. Jika sudah dua-tiga kali
mereka menanam padi, biasanya diganti dengan
kopi atau lada. Atau diseling dengan
jagung dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota
kecamatan. Setengah jam lagi berlalu. Ikanuri
dan Wibisana tidak ada di pondok
rumbia ladang mereka. Laisa mendengus sebal.
Meneruskan langkah kaki. Harapan satu-satunya,
dua anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri
bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai putus asa, tanpa
sengaja sudut matanya yang terlatih
menangkap gerakan dedaunan pohon mangga kebun Wak
Burhan, di kejauhan lembah. Tidak
lazim. Angin tidak akan membuat cabangnya
bergoyang sedemikian rupa. Dan tidak ada
uwa atau monyet yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima
meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung mereka seolah terpisah
dari hutan rimba. Laisa mendekat. Menyelidik. Menatap
tajam pohon mangga yang sedang
ranum-ranumnya berbuah. Daunnya yang rimbun
seperti dipenuhi benjol-benjol buah yang
besar-besar. Dahan pohon itu bergoyang-goyang
lagi. Laisa melangkah semakin cepat.
Tinggal sepelemparan batu, tinggal lima belas
meter, akhirnya ia bisa melihat bayangan
yang membuat pohon itu bergerak.
"Cepat, Ikanuri—" Berbisik
tertahan.
"Sebentar." Suara itu ikut
tertahan.
"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat
turun..."
"Sebentar, celanaku tersangkut—" GEDEBUK!
Ikanuri yang bergegas
turun dari pohon mangga malah terjatuh,
kehilangan keseimbang saat buru-buru, menimpa Wibisana
yang sudah turun duluan. Tidak tinggi benar, hanya satu meter, karena
mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total.
Ikanuri yang sibuk mengaduh selama lima
detik, memberikan waktu yang cukup bagi Laisa
untuk mengenali siapa.
"IKANURI! WIBISANA!" Persis
seperti radio yang tiba-tiba disetel
kencang-kencang. Laisa berseru galak. Berlari mendekat.
Ikanuri dan Wibisana tersedak. Menatap
jerih Kak Laisa yang mendekat. Berusaha menyembunyikan
bukti kejahatan
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI
SINI?"
"Ergh, ee, kita
sedang memeriksa pohon mangga Wak Burhan,
benar begitu kan, Wibi?—" Ikanuri menjawab cepat,
khas Ikanuri, seadanya bin ngarang, dengan
wajah sama sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah
begonya ikut mengangguk,
"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah
buahnya. Ada berapa gitu—"
"DIAM!!"
"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan
puluh—"
"DIAM!! Kalian benar-benar
tak tahu malu! Semua orang bekerja di
cadas sungai, kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!" Kak
Laisa semakin galak, semakin dekat,
tangannya cepat mematahkan salah satu ujung dahan
semak belukar. Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi.
Mereka beringsut mundur. Laisa semakin dekat. Tertahan,
gerakan Ikanuri dan Wibisana tertahan pohon
mangga di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna
ke dada mereka berdua.
"Katakan apa ini? Apa yang kau
lihat?" Kak Laisa menunjuk dua-tiga
buah mangga hampir ranum yang tergeletak
di ujung kaki mereka. Terjatuh dari saku celana.
"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan
Wibi?"
"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa.
Memangnya ada apaan—" Kak Laisa benar-benar jengkel.
"Berani sekali kalian
mencurinya. BERANI SEKALI Tidak ada di
keluarga kita yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK
ADA." Kak Laisa berseru
marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri. Mereka berdua terdiam.
Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul
Kak Laisa.
"Apa yang kalian
lakukan sepanjang siang? Main-main di Curug
Cuak? Lantas pulang mencuri mangga Wak Burhan Tidak
tahu malu. Apa yang akan dibilang Wak
Burhan kalau dia tahu! APA COBA!?" Diam,
Ikanuri dan Wibisana bungkam.
"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau
jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??" Kak Laisa mendesis.
"Kalau Mamak tahu
kalian mencuri lagi, kalian pasti dihukum
tidak boleh masuk rumah malam ini. Kalau Mama
tahu...." Kak Laisa menelan ludah,
berusaha mengendalikan diri. Kalau Mamak
tahu Ikanuri dan Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang
lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi marah besar.
"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir
sungai, sekarang—" Laisa melotot, menatap galak.
Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa.
"AYO, PULANG!" Tusukan
ujung dahan itu semakin kencang, Ikanuri
meringis, tapi dia tetap tidak beranjak berdiri.
"PULANG KATAKU! SEKARANG!!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri entah
apa yang sedang ada di kepalanya, tiba-tiba berteriak
tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot. Dua
ekor burung pipit terbang rendah di
bawah pohon mangga itu. Mendesing menjauh mendengar
keributan.
"Kami tidak mau
pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak
kami, kenapa pula kami harus menurut!" Ikanuri
mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras. Kalimat
itu benar-benar membungkam waktu. Selaksa
senyap di bawah pohon mangga. Seekor elang
melenguh di atas sana, suaranya seperti
dibatukan udara. Terdiam. Laisa sempurna membeku.
"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami
harus nurut" Ikanuri mengatakannya sekali
lagi. Lebih lantang. Lebih kencang.
Beranjak berdiri, malah. Melawan semakin berani.
"LIHAT! Kulit kau hitam. Tidak
seperti kami, yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami,
lurus. Kau tidak seperti kami, tidak
seperti Dalimunte dan Yashinta. KAU BUKAN KAKAK
KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!" Kali
ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang
yang sama. Berdebum. Membuat lubang besar
itu menganga lebar-lebar, hitam pekat. Laisa terperangah.
Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa
ia sungguh tak salah dengar? Laisa
gemetar. Tangannya yang mencengkeram ranting bergetar,
terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami
mengatakan itu, hah?" Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis. Laisa
menelan ludah. Matanya tiba-tiba berair. Ya
Allah, aku mohon, jangan pernah, jangan
pernah buat aku menangis di depan
adik-adikku. jangan pernah! Itu akan membuat mereka
kehilangan teladan. Laisa meremas pahanya
kencang-kencang. Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di
tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan
Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!" Ikanuri berseru amat puas.
Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa
berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan Ikanuri, atau
kau kuadukan pada Mamak, dan kalian
akan dihukum tidak boleh masuk rumah selama
seminggu," Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!" Ikanuri
tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan
seringai penuh kemenangan, disusul oleh Wibisana
(yang tertunduk dalam-dalam, sedikit merasa ganjil
dengan teriakan kasar Ikanuri). Laisa sudah jatuh
terduduk. Sempurna jatuh terduduk. Menatap
punggung adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar. Seekor
jangkrik di batang pohon mangga berderik. Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis
tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi
menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh
selama ini Ikanuri selalu berani melawan.
Tapi karena itu benar! Ya Allah, apa
yang dikatakan adiknya benar sekali. Ia
bukan siapa-siapa bagi mereka. Ia bukan
Kakak mereka. Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak
mereka. Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar. Senyap. Juga hanya tangis
tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah
perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi. Maximum
speed. Masinisnya berusaha membayar dua jam
waktu yang terbuang di pegunungan Alpen.
Setelah untuk ketiga kalinya tebing itu
longsor lagi saat dibersihkan, beberapa insinyur
dari dewan terdekat akhirnya tiba
di lokasi dengan helikopter, mereka memberikan
saran konstruksi darurat untuk menahan laju
longsoran berikutnya. Satu jam berlalu, sejak
dinding seadanya dipasang, kereta ekspress
itu bisa kembali melesat menuju Paris. Menjejak
batangan baja relnya. Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti. Jalan
kereta yang meliuk melangkahi pegunungan sudah lama
digantikan oleh hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang
rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal di
belakang, Sepuluh menit lagi Eurostar akan
tiba di perbatasan tanah bekas kekuasaan
Kaisar Louis, Perancis. Wibisana memutuskan
tidur. Lelah. Membiarkan Ikanuri yang sejak kereta berjalan
lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat gelap.
Hanya sesekali cahaya lampu yang berasal
dari rumah pedesaan kecil pedalaman Swiss terlihat.
Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah. Mengembalikan semua
kenangan.
Wibisana menggeliat, merubah posisi
tidurnya. Kabin itu luas. Lazimnya diisi berempat, karena
mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi
Ikanuri tidak tidur, ia tidak bisa tidur sejak kereta
jalan lagi, ia justru sedang sibuk menyeka ujung-ujung
matanya. Ikanuri terisak pelan. Tertahan. Menatap kosong keluar melewati jendela
kereta. Kunang-kunang, Ya Allah, dia jahat
sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun
silam. Seperempat abad lalu. Kejadian itu tidak akan pernah
terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu.
Wajah Kak Laisa yang seperti tak
percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat menusuk
itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak
Laisa sekarang seperti mengukir sempurna
di bayangan jendela
kereta. Wajahnya yang
tersenyum, wajahnya yang selalu melindungi mereka,
adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua.... Ikanuri
tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak
tahan lagi Menangis terisak. Ya Allah, jika
ada yang bertanya siapa yang paling
penting dalam hidupnya.... Jika ada yang bertanya:
Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.
CELAKA. Benar-benar celaka.
Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari itu
ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24
jam. Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat
shalat ashar, lima kincir air itu sudah berderet
rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang
pondasi sudah dituangi cor semen. Belum
terpasang. Meski pondasinya sudah siap,
lima kincir itu baru akan dipasang minggu depan,
jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering. Wak
Burhan, para orang tua, pemuda dewasa,
menyeringai lega melihat pekerjaan mereka. Lembah
mulai remang, Wak Burhan menghentikan
gotong-royong. Cukup untuk ahad ini. Kesibukan
di pinggir sungai itu memang berhenti
ketika mereka beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti
pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat. Tetapi kesibukan lainnya mendadak
menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Laisa setelah
hampir setengah jam menangis di bawah
pohon mangga beranjak kembali ke pinggir sungai. Menyeka
luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke Mamak
kalau Ikanuri dan Wibisana tidak mau
nurut. Mereka bermain-main di ladang, dan justru
lari menghindar saat disuruh pulang. Mamak
mengomel, berjanji dalam hati akan menghukum dua sigung
itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak.
Senja mulai turun, jingga membungkus lembah.
Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-duduk saja di pinggir sungai selepas
asyik mengejar capung air bersama teman-temannya. Tetapi keliru.
Laisa yang berpikir Ikanuri dan Wibisana
setelah pergi meninggalkan dirinya akan kembali
ke rumah itu keliru. Juga Mamak yang
sudah berencana membuat aturan main baru di
rumah saat mengomel nanti malam. Keliru,
Ikanuri dan Wibisana ternyata tidak
pulang-pulang. Juga saat mereka sudah
bersiap-siap shalat berjamaah. Dua sigung itu tetap tidak
kelihatan batang hidungnya. Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau,
denting kecemasan itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai
jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?
Adzan isya. Lepas shalat
isya. Lembah sempurna gelap. Dan sedikit
pun tidak kelihatan tanda-tanda batang hidung
Ikanuri dan Wibisana. Mamak semakin cemas.
Menatap siluet hutan rimba dengan nafas bergetar. Pukul 19.30. Tegang
sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel
apapun ia dengan Ikanuri dan Wibisana,
dawai kecemasannya sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar
obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan. Kak
Laisa, yang meski hatinya masih bagai
buah tersayat-sayat sejak kejadian tadi sore ikut ke
rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana
belum pulang ke rumah!" Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan
sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu
kemana?" Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong
kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka
bermain-main di ladang—" Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia
tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri
mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong
lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah
sembilan," Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di
atas sana,
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar
mencemaskan." Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak
Burhan bergumam. Seperti membaca mantra
sajalah. Berhitung dengan cepat. Lantas berseru cepat.
"LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil
seluruh pemuda kampung, suruh kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan
menyemburkan ludah sirinya.
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai
pertemuan!" Ini serius. Serius sekali. Semua orang juga tahu,
kampung mereka berada di dekat hutan rimba. Di seberang cadas
sungai, di hutan rimba sana, malam-malam begini ada sejuta mara bahaya
mengintai. Pemuda dewasa saja berpikir dua
kali kalau harus mencari kumbang masuk jauh-jauh ke
dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai.
Itupun harus berombongan. Dua anak kecil? Laisa tidak perlu
diteriaki dua kali. Dengan tangan gemetar,
ikut merasakan ketegangan yang segera meninggi,
langsung berlari menuruni anak tangga.
Semoga adik-adiknya tidak kenapa-napa. Semoga
mereka hanya bermain di desa atas,
memutuskan untuk tidak mau pulang. Atau
entah pergi ke manalah. Semoga mereka...
Ya Allah, kenangan masa lalu itu serentak
menyergapnya. Ya Allah! Wajah robek tak
berbentuk. Tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Laisa menggigil.
Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali. Bangkai korban sang
siluman memenuhi pelupuk matanya. Hanya dalam waktu
lima belas detik. Beduk masjid melenguh
kencang. Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut.
Bertalu-talu. Semua penduduk kampung keluar. Hilang sudah
lelah tadi siang. Disingkirkan jauh-jauh.
Benar-benar rusuh. Mereka mengenali ramai bunyi
kentongan itu. Terakhir terdengar dipukul
delapan tahun silam. Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa
obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa saja senjata
yang bisa dibawa. Wajah-wajah cemas.
Tegang. Balai kampung ramai kembali. Wak Burhan
berdiri di tengah-tengah balai kampung,
Kerlip cahaya obor membasuh wajah tuanya. Umur Wak
Burhan sudah berbilang tujuh puluh, tapi dia masih gagah.
Masih tegap sekali. Dalam situasi serius
seperti ini, kedut wajahnya terlihat amat
mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk
kampung amat segan padanya.
"Dua orang mencari
ke desa atas. Dua orang mencari ke
desa seberang. Kau dan teman-temanmu ke Curug Cuak....
yang lain ikut aku...." Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan
cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada
persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan
Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus
menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya—" Kepala-kepala mengangguk.
Seruan-seruan kecil setuju.
Sekejap. Pencarian itu dimulai. Mamak
Lainuri sudah sejak tadi hanya terduduk di kursi bambu.
Dipegangi oleh ibu-ibu lainnya. Mamak
semaput. Wajahnya pucat oleh perasaan gentar. Ya Allah,
ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di
depannya. Wak Burhan yang waktu itu
lebih muda, juga dengan cepat memberikan perintah.
Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya?
Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi. Laisa berusaha menyeka keringat di wajah
Mamak. Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk
tertunduk di dekatnya, gentar. Yashinta memeluk lutut.
Bahkan ia masih terlalu kecil untuk
ingat banyak kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa
yang sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik
saja?" Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte.
Cahaya obor rombongan
pencari yang bergerak terlihat mulai
menjauh. Ada yang menaiki lembah, ke desa
atas. Menyeberangi ladang-ladang. Ke kiri.
Ke kanan. Kerlap-kerlip. Meski nyaris
separuh penduduk kampung mencari Ikanuri
dan Wibisana, balai kampung tetap ramai.
Seluruh penduduk membawa anggota keluarganya
ke sini. Tidak ada yang ingin meninggalkan
anak-anaknya di rumah setelah mengerti maksud bunyi
kentongan tadi. Mereka bermalam di balai
kampung bersama-sama. Di atas kursi-kursi
bambu Saling bersitatap ketakutan.
Laisa menggigit bibir.
Mengusap wajahnya berkali-kali. Gelisah melihat
sekitar. Ia sungguh cemas. Ini pasti
gara-gara ia tadi siang mengancam
adik-adiknya. Ya Allah… Ini semua salahnya.
Mereka pasti enggan pulang gara-gara
dibilang akan dihukum tidak boleh masuk
rumah, harus tidur di bale bambu,
bawah rumah. Apakah ia harus menceritakan pertengkarannya
ke Mamak? Tidak. Itu tidak perlu, dan
jelas tidak bisa dilakukannya. Tapi kalau
terjadi kenapa-napa dengan Ikanuri dan
Wibisana? Ya Allah, semoga tidak. Semoga mereka
hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap bintang di atas
entah kenapa pelan mulai diselimuti
gumpalan awan hitam. Seperti menambah tinggi
tingkat kecemasan. Hening. Mencekam. Sudah
pukul 22.00. Lembah itu mulai hening. Suara
jangkrik berderik pelan mereda. Uhu burung
hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu. Rombongan
pencari satu per satu kembali. Melapor. Hasilnya kosong. Maka benar-benar
tegang sudah balai kampung itu.
"Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan
ada satupun yang terpisah—" Wak Burhan berkata dengan
intonasi suara tegas tanpa kompromi.
Kelompak lelaki dewasa yang sudah terbagi menjadi dua rombongan
tersebut, mengangguk
"Saat pijar matahari pagi terlihat di
kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus lembah, kita berkumpul
lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak belukar,
jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak
darah...." Mamak Lainuri yang sudah siuman
mengeluh tertahan. Kalimat Wak Burhan, kalimat terakhir
Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah….
"Hati-hati, jangan sampai
ada yang terpisah dari rombongan. Sang
siluman mungkin masih mencari korban berikutnya...."
Balai kampung itu
terdiam. Seruan-seruan terhenti. Menelan ludah.
Nama itu akhirnya tersebutkan sudah. Sang
Siluman. Laisa sudah menggigil ketakutan.
Wak Burhan memberikan instruksi dua-tiga kalimat
lagi. Lantas dua rombongan bergerak meninggalkan bangunan.
Rombongan membawa obor itu menghilang di
tengah gelapnya hutan rimba seberang cadas lima belas menit
kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik
saja?" Dalimunte bertanya mencicit. Cemas.
Dari tadi ia tidak bisa memejamkan
mata. Tegang.
Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh
tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai kampung. Kali ini Laisa hanya
diam membeku. Tak kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam. Ia menyaksikan
sendiri dengan mata kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis
saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah
hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu
dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman,
itulah nama seram menakutkan harimau Gunung Kendeng. Waktu
itu umurnya baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan Wibisana dua
tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi. Malam itu yang
mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua temannya
ke hutan rimba seberang cadas, tidak
jauh. Tapi entah apa pasalnya, rombongan mereka
terpisah. Dua temannya panik. Pulang,
segera melapor. Tidak ada yang mengerti, bagaimana
mungkin mayat Babak justru ditemukan jauh sekali dari
cadas sungai. Masuk ke dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk
lainnya amat hafal dengan hutan itu? Bagaimana mungkin babak malah tersasar
jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil terdengar, Semua orang
tahu tentang pemikat sang siluman, penguasa
Gunung Kendeng. Membuat siapa saja yang
berani merambah wilayahnya di malam hari
akan tersesat di dalam hutan. Hanya
berputar-putar saja di satu titik, lantas
tanpa disadarinya sudah masuk ke dalam perangkap
sang siluman.
Sudah delapan tahun
berlalu kejadian mengenaskan itu tidak
terjadi lagi di lembah mereka. Dulu, waktu
Laisa masih kecil, ia dua kali
melihat kejadian serupa. Salah satu penduduk kampung
yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah dengan
tubuh tercabik-cabik. Orang dewasa di
kampung itu mengerti benar, kalau Ikamuri dan
Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini
akan berakhir sama. Juga Wak Burhan. Siapa yang
akan lupa lima belas tahun silam saat
anak tunggal Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun
ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai deras dengan
wajah berbilur cakaran. Yang membuat Wak
Burhan tinggal sendirian hingga hari ini, karena istrinya
sudah kapan tahun meninggal.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik
saja—" Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke
sekian kalinya. Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama
sekali tidak mendengarkan pertanyaan Dalimunte.
Kenangan buruk itu membungkus
kepalanya. Kemana adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana?
Kemana, ya Allah.... Dan entah mengapa akhirnya
kesadaran itu ditanamkan di kepalanya.
Laisa mendadak ingat sesuatu. Ia ingat
pernah mendengar pembicaraan Ikanuri dan
Wibisana beberapa hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia
tahu. Laisa tahu di mana harus mencari adiknya. Mukanya menyeringai
oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte
memotong. Tercekat. Hendak kemana? Pertanyaan
Dalimunte barusan
menyadarkan Laisa tujuan
sebenarnya Ikanuri dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika
saat benar-benar baru menyadari adiknya dulu.
"Jalan pintas terdekat
menuju kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya delapan
kilo jika melewati gunung itu...." Ikanuri
dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung
nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak
dan Yashinta—"
"Aku ikut!" Dalimunte
menjawab tegas. Cepat berlari ke dalam
rumah. Suara kakinya membuat lantai rumah panggung
mereka berderak. Sejurus, dia sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan
Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam
ini—" Tegas sekali Dalimunte berkata.
Wajahnya dipenuhi ekspresi penghargaan. Keberanian? Tentu
saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung Kendeng. Tapi,
sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah
wajah Kak Lais, wajah yang selalu berani dalam
hidupnya, demi adik-adik mereka. Wajah yang
selalu melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan pernah takut lagi.
Laisa menelan ludah.
Wajah tegang itu dibasuh cahaya obor
yang dibawanya. Kerlap-kerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir
cepat. Lantas mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya ikut. Ya
Allah, sekali ini tolong baiklah dengan
kami, tolong.... Laisa menggigit bibir. Lantas melangkah
menuruni anak tangga. Diikuti langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa
memutuskan juga mencari adiknya. Ia tahu di mana adiknya berada malam
ini. Mereka berdua pasti memutuskan kabur
dari rumah, pergi ke kota kecamatan. Jalan
pintas. Ia tahu, hanya Ikanuri dan
Wibisani yang menganggap wanti-wanti tentang harimau
Gunung Kendeng itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah
memperolok-olok Yashinta soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah
yang lucu. Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri.
Melihat kakaknya berlari pulang ke rumah mengambil obor dan golok, dengan
cepat mengikuti. Mamak Lainuri yang masih semaput tidak
bisa bicara hanya menatap kosong mereka
berdua. Tidak ada warga di balai kampung
yang bisa mencegah. Terlalu penat setelah
kerja seharian. Penat dengan segenap kecemasan. Tidak ada.
Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu menuruni cadas sungai.
Menyeberangi sungai.
Masuk ke gerbang hutan rimba. Pukul
02.00. Empat jam berlalu. Rombongan
lelaki penduduk kampung terus menyisir rimba
belantara. Karena mereka harus memastikan
setiap semak-belukar bersih ditelusuri, pergerakan
mereka lamban. Berteriak-teriak memanggil. Suara
itu membuat diam binatang hutan. Kosong. Sejauh ini kosong.
Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anak- anaknya. Tidak
ada selain desau burung malam yang terbang berderak, terganggu. Langit semakin
kelam. Gerakan Laisa dan Dalimunte jauh
lebih cepat. Karena mereka langsung menuju
satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin
lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak belukar yang menghalangi
langkah. Sudah sejak dua jam lalu jalan setapak
yang biasa digunakan penduduk mencari
damar, rotan, menghilang. Mereka harus menerabos semak belukar,
belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya. Jarang sekali ada
penduduk yang merambah hingga ke atas
gunung. Jalan setapak hanya ada
di tempat-tempat biasa merek menyadap
damar, mencari rotan, menangkap kumbang, dan sebagainya.
Pukul 02.30, Laisa berhenti sejenak.
Memperhatikan semak di depannya. Jantungnya berdetak
amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat,
ikut melihat ke depan.
Laisa menelan ludah,
mendekatkan obor ke ujung dahan salah
satu pohon kecil. Patah. Khas sekali. Itu
bukan karena uwa, bukan karena binatang
liar. Tapi dipatahkan oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia
benar, Ikanuri dan Wibisana baru saja melewati gunung ini.... Laisa menggigit
bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil, meski janji itu bagai
embun yang segera sirna oleh cahaya
matahari pagi, ia harus buru-buru. Menyusul Ikanuri
dan Wibisana. Semoga belum terlambat.
Semoga adik-adiknya belum kenapa-napa. Semoga belum.... Golok
di tangan Laisa galak membabat ujung-ujung semak di depan
yang menghalanginya. Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa
cinta yang besar itu membungkus segenap ketakutan.
Adik-adiknya, dimanapun saat ini dua sigung
nakal itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya. Laisa terus maju
dengan kecepatan tinggi.
GERBANG perbatasan Perancis. Juga Melesat.
Eurostar melesat dengan kecepatan tinggi
" Apa yang sedang kau pikirkan,
Ikanuri?"
"Tidak. Tidak apa-apa...." Senyap
sejenak. Hanya deru roda kereta menghujam batangan baja.
"Kau barusan menangis?"
"Tidak!"
"Kau menangis — "
"TIDAK. Aku tidak menangis—" Jawaban
itu serak. Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan. Cahaya
lampu rumah-rumah pinggiran Perancis terlihat.
Lebih banyak lagi perkebunan anggur. Di luar Sana masih
gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku hanya takut. Takut terlambat
tiba—" Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela.
Berusaha menyeka matanya. Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak
akan...." Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya.
"Kau tahu, kenapa?" Wibisana tersenyum
getir. Ikanuri menoleh. Susah sekali
menyembunyikan perasaan hati. Susah. Sejak
tadi, sejak seluruh kenangan itu buncah
kembali memenuhi memori kepalanya, semua
terasa sesak. Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah
tanpa sengaja membuat Wibisana terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa
berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya benar- benar
tersentuh. Biarlah. Biarlah Wibisana melihatnya
menangis. Maka Ikanuri tergugu menyeka pipinya. Wibisana
menelan ludah, terdiam sejenak... Menatap
wajah sendu Ikanuri lamat-lamat, lantas mengulang pertanyaan
itu dengan segenap perasaan,
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau
tahu, kenapa?" Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena Kak Laisa tidak
pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah
sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak pernah
mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...." Suara
Wibisana terputus.
Menggantung di langit-langit kabin. Hilang
ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana ikut tertunduk. Ikanuri
menyeka matanya. Terisak lebih kencang. Kereta ekspress Eurostar itu terus
melesat menuju Paris! Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.
Karena malam itu sempuma
sudah Laisa menunaikan janjinya. Tepat
waktu. Tak terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan,
usai bertengkar dengan Kak Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya
memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka berpikir pendek:
Kak Laisa pasti mengadu ke Mamak
tentang mencuri mangga. Kak Laisa pasti
juga mengadu kalau mereka sudah menghinanya
soal bukan kakak kami itu. Jadi mereka pasti
disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu. Tidur
di luar selama seminggu itu sama saja dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau
begitu lebih baik mereka kabur saja. Mereka tidak ingin kabur ke
desa atas. Pasti segera ketahuan. Setelah berdebat sebentar, Ikanuri
dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka
harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru
besok siang tiba disana. Terlalu lambat, masih bisa disusul
oleh starwgoon yang berangkat pagi-pagi buta, dan pelarian
mereka diketahui. Maka tanpa berpikir
panjang, Ikanuri dan Wibisana mengambil jalan
pintas. Gunung Kendeng. Mereka tahu jalan
pintas itu dari percakapan orang-orang, pemburu, di
kota kecamatan dua minggu lalu.
Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak
sedikit lambat, memutari desa, karena tidak mungkin melewati
pinggiran sungai tempat orang-orang sedang
bekerja membuat kincir. Pukul 20.00, saat
pertama kali Mamak berlari ke rumah
Wak Burhan, mereka berdua baru setengah jam
perjalanan dari gerbang masuk ke dalam
hutan rimba. Melangkah pasti. Bintang-gemintang
dan bulan malam tiga-belas
membuat perjalanan mereka mudah dilakukan, meski tanpa
bantuan obor dan golok. Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan
rimba, masalah mereka mulai serius. Awan mendung yang
menutupi langit membuat rimba gelap
seketika. Hanya kerlip kunang-kunang, tapi itu tidak membantu
banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa golok, mereka
hanya menyibak dan mematahkan semak-belukar
dengan tangan untuk memudahkan langkah. Sekali dua
beristirahat. Bersitatap satu sama lain. Semakin masuk ke dalam,
mereka berdua semakin menyadari ini semua
keliru. Benar-benar keliru. Mereka terlalu menganggap sepele
banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan. Pukul 24.00
saat Laisa dan Dalimunte menyusul, Ikanuri
dan Wibisana benar-benar dalam masalah. Mereka
masih jauh dari kota kecamatan, jangankan kota kecamatan, puncak
Gunung Kendeng pun belum
terlihat. Mereka tertahan di punggung
Gunung Kendeng. Ikanuri dan Wibisana tersesat.
Dua anak kecil yang meski amat ringan
menganggap semua perkataan orang, jelas-jelas
masih anak kecil, mulai mengkerut ketakutan
saat menyadari setiap lima belas menit
mereka berjalan, mereka sempurna kembali
lagi ke titik semula. Berputar-putar. Begitu-begitu saja. Ikanuri
mulai mengeluh. Wibisana mengusap dahinya
yang berkeringat. Ini semua menakutkan.... Dan,
hei, bukankah mereka pernah (sebenarnya sering)
mendengar kisah tentang harimau Gunung Kendeng
yang dulu setiap tahun mencari tumbal?
Hei, bukankah Babak juga salah satu dari
tumbal itu. Cemas. Ikanuri dan Wibisana
tersengal. Berjalan semakin cepat. Percuma.
Kembali lagi ke titik semula. Hei,
bukankah ini pertanda sang siluman mengeluarkan jerat
pamungkasnya? Pukul 02.00, sempurna sudah keduanya mengkerut takut.
Setelah hampir dua jam hanya bolak-balik di
tempat yang sama, mereka memutuskan untuk
bertahan di Sana. Menunggu besok, ketika
cahaya matahari memudahkan menentukan arah.
Wajah mereka pucat oleh perasaan gentar,
cemas. Tubuh mereka mulai gemetar. Sedikit
saja suara gerakan di sekitar, cukup sudah
untuk membuat jantung mereka berdetak lebih
kencang. Ikanuri dan Wibisana berdiri saling
membelakangi punggung. Mematahkan batang semak
belukar yang besar, berusaha mempersenjatai diri.
Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali.
Tetapi pukul 02.30 mendadak hutan di
sekitar mereka lengang. SEMPURNA LENGANG. Seperti
ada yang jahil menekan mati tombol
volume derik jangkrik dan serangga lainnya. Ikanuri
dan Wibisana saling menoleh. Bersitatap
dengan cahaya mata redup. Ganjil sekali.
Suasana hutan yang mendadak lengang terasa
amat ganjil. Bahkan angin pun seolah takut
berdesau. Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan
bulan. Hanya nafas cepat mereka yang menderu. Apa yang sedang terjadi? Ada apa?
Wahai, kalian seharusnya lima kali lebih
takut saat di sekitar kalian mendadak
senyap, hening. Bukan takut saat mendadak
ada suara teriakan atau cekikikan. Wahai,
senyap yang datang tiba-tiba, itu berarti
pertanda ada maut besar yang mengintai.
Pertanda kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan
itu benar. Saat itulah, lima belas detik kemudian, suara gerung
pelan itu terdengar menggantung di langit-langit hutan rimba.
Awalnya pelan, semakin lama semakin mengeras. Gerungan maut sang
siluman.
"RRRRR-" Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa.
Berdiri kaku. Terkencing-kencing.
"RRRRR-" Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik
semak. Cemerlang. Mengerikan. Semakin mendekat.
Semak belukar itu pelan bergoyang, lantas
tersibak. Tiga harimau dewasa sebesar anak
sapi mendekat. Berkilauan kuning legam
dengan loreng hitam. Ikanuri dan Wibisana
membeku sudah. Tidak bisa menggerakkan
tubuh lagi. Menggigil. Satu detik. Satu meter lebih dekat.
"RRRRR-" Lima detik. Tinggal lima meter. Sepuluh
detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara terbaik
menerkam Ikanuri dan Wibisana. Waktu
benar-benar berjalan lambat, untuk tidak bilang seperti
terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan. Hanya soal
kapan. Hanya soal detik. Saat Ikanuri dan Wibisana
hampir jatuh pingsan, ketakutan. Saat
harimau terbesar yang berada paling dekat bersiap meloncat. Saat
itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.
"TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan
tubuh harimau terbesar itu terhenti.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN
MEREKA!"
Kak Laisa, entah apa yang ada di
kepalanya, yang sedetik baru tiba di sana, sedetik
terpana menyaksikan pemandangan di depannya,
tanpa berpikir panjang, seperseribu detik
langsung loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya
terlihat begitu tegang. Ia sungguh gentar. Ia sungguh
ketakutan. Siapa pula yang tidak akan
jerih melihat tiga ekor harimau dari jarak dua meter tanpa
penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa
menyeruak, nekad masuk ke kematian. Mengacung-acungkan obornya ke depan. Tiga
harimau itu mundur satu langkah. Menahan
terkaman. Sedikit jerih melihat obor Laisa. Ekor mereka
bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
"RRRRR-" Harimau -harimau itu
menggerung lagi. Amat menakutkan. Tubuh
mereka yang hampir sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas,
tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit yang tebal, mengkilat.
Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.
"Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa
mohon. tidak boleh—" Kak
Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya.
"RRRR-"
"Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari
sini! PERGI!" Kak
Laisa mendorong Ikanuri dan Wibisana yang
pucat pasi di belakangnya. Sementara wajah Kak Laisa
terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan. Gerungan
terdengar semakin keras. Tiga harimau itu
mengambil posisi baru. Tidak masalah. Empat mangsa lebih baik
dari dua.
"Dali, bawa adik-adikmu lari....
LARI!!" Kak Laisa berseru panik. Situasinya
semakin mencekam. Harimau-harimau kembali bersiap. Dalimunte yang
menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
"Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu
lari!" Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak
punya waktu lagi. Gemetar Dalimunte masuk ke
dalam lingkaran, patah-patah menarik tubuh membeku
Ikanuri dan Wibisana ke luar. Laisa
terus menatap tiga ekor harimau itu.
Menelan ludah. Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung.
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais
pergi"
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, maafkan
Lais—" Kak Laisa berkata dengan suara
semakin serak. Ia tahu, malam ini
harimau-harimau ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang
menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu, waktunya sudah
selesai. Biarlah begitu. Biar ia yang
menahan mereka sementara adik-adiknya berlari....
Suara gerungan itu tiba di puncaknya. Kepala-kepala
menakutkan itu terangkat siap menerkam. Laisa dengan
mata bercahaya, buncah
oleh air mata menatap ke depan.
Menunggu. Bersiap. Sementara Dalimunte yang
sedikit pun tidak mengerti apa yang
sedang dilakukan Kak Laisa, tunggang langgang
menarik tubuh Ikanuri yang sempat terjatuh,
mereka harus kabur sesegera mungkin dari situ. Seperseribu detik berlalu.
Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang bersitatap
dengan mata Laisa, tiba-tiba bergoyang.
Harimau itu menggerung keras. Laisa menggigit bibir.
Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap. Tapi hei,
kenapa? Kenapa belum ada satu pun
harimau yang menerkamnya? Dua detik. Tetap begitu. Tiga
detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?
Keajaiban itu! Hanya
kuasa Allah yang tahu apa yang
sesungguhnya sedang terjadi malam itu, sang
siluman entah oleh kekuatan apa mendadak
mengurungkan niatnya menerkam tubuh pasrah Laisa.
Lima detik berlalu, harimau terbesar
setelah sekali lagi menggerung lebih keras,
perlahan melangkah mundur. Memberikan perintah,
memutar tuhuhnya. Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti. Dalimunte
yang terjerambab di semak belukar setelah
berlari sepuluh langkah bersama adik-adiknya menatap kosong
tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh mereka yang
terjerambab. Begitu saja Lima detik. Lima belas detik. Senyap. Hening. BAGI
penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja
dibuat begitu agar penduduk kampung tidak berani
merambah wilayah berbahaya tersebut. Cerita
itu juga dikisahkan ke anak-anak agar mereka tidak
sejahil dan segampang Ikanuri dan Wibisana yang
bebal justru melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak
yang susah disuruh tidur dan banyak merengek segera beranjak naik ke atas
dipan.
Alkisah, di lembah dan
gunung itu, ratusan tahun silam bangsa
harimau dan manusia hidup damai berdampingan.
Penduduk lembah tidak mengganggu mereka,
harimau juga sebaliknya. Itu perjanjian tak
tertulis para leluhur. Hingga pada suatu
ketika, masa-masa berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah
seorang penduduk kampung yang berburu di dalam hutan tidak sengaja masuk ke
wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah menombak
seekor anak harimau. Maka rusaklah
perjanjian tersebut. Kelompok harimau meminta
ganti rugi. Nyawa ditukar nyawa. Tapi
penduduk kampung menolak. Mereka menolak menyerahkan pemuda
yang melakukan kesalahan tersebut. Kelompok harimau gunung memutuskan balas
dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih banyak lagi harimau
yang mati terbunuh. Suatu malam, sekelompok
harimau yang tersisa mengambil belasan anak-anak
kecil dari kampung secara diam-diam sebagai
ganti-rugi. Bertahun-tahun tidak ada yang tahu
ke mana anak-anak itu menghilang. Sebagian
bilang mereka berubah jadi harimau. Sebagian
yang lain bilang dijadikan tumbal. Yang
pasti sejak hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling
menyerang. Atas kejadian itu, harimau kemudian
disebut sang siluman, karena mencuri
sembunyi-sembunyi anak kecil. Sejak hari
itu juga, kata-kata puyang (atau kakek)
disematkan kepada harimau. Karena legenda itu
mewariskan pemahaman bahwa harimau yang ada
di puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak)
mereka dulu yang dicuri.
Sejak delapan tahun
silam, populasi harimau di Gunung Kendeng
sebenamya semakin terdesak. Perambah hutan membuat
mereka mulai tersingkir. Belum lagi harga
kulit dan taring mereka yang mahal. Harimau
Gunung Kendeng, diburu oleh kelompok-kelompok pemburu
profesional dari kota provinsi. Dengan
bedil. Perangkap besi. Legenda itu tinggal cerita
belaka. Tinggal sebutan, nama-nama. Tidak
ada penduduk yang menganggapnya serius. Masih
disampaikan kepada anak-anak hanya agar
mereka mengerti kalau gunung itu berbahaya.
Tapi meskipun begitu, semua penduduk
mengerti benar berapa pun jumlahnya sekarang harimau
tetaplah binatang berbahaya.
Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu.... Setelah
sepotong lereng gunung tempat tiga harimau
tadi bersiap menerkam Ikanuri dan Wibisana
kembali ramai oleh derik jangkrik, ramai
kembali oleh serangga malam, Laisa menuntun
adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru tadi.
Tombak Dalimunte juga entah tercecer di
mana. Terjatuh. Tidak ada yang sempat memikirkannya.
Mereka berjalan pelan. Beriringan. Ikanuri
dan Wibisana yang mulai bisa bernafas
normal melangkah tertunduk di depan.
Sementara masih banyak sekali pertanyaan yang menyesaki
kepala Dalimunte. Laisa tidak banyak bicara.
Ujung tangannya masih berkedut sekali, dua kakinya
masih sering gemetar menopang tubuh. Sisa
perasaan gentarnya tadi saat tiga harimau
itu bersiap menerkam. Tapi karena ia ingin buru-buru
pulang, agar Mamak tak terlalu lama menunggu, tak
terlalu lama menanggung cemas, Laisa
meneguhkan hati, membujuk kakinya agar berjalan
senormal mungkin.
Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana,
menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat Wak Burhan dan
penduduk kampung masih sibuk dan mulai putus
asa mencari Ikanuri dan Wibisana, mereka tiba di gerbang
hutan seberang dinding Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini. Terbang
berkelompok. Beranjak pulang ke sarang. Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya
mereka yang indah.
"Ikanuri, Wibisana,
Dalimunte...." Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut
terhenti.
"Lihatlah! Kunang-kunang yang indah—"
Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya.
"Suatu hari nanti...." Kak Laisa
terdiam sebentar, ia tersenyum amat tulus sambil menatap wajah
adik-adiknya di remang semburat merah
langit, wajahnya sungguh kontras dengan mereka, ia
berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara
adik-adiknya lurus,
"Suatu hari nanti,
sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip
cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di
luar lembah kita..." Satu
kunang-kunang berdesing di depan mereka. Kepala Dalimunte tertunduk.
"Ikanuri, Wibisana, suatu
saat nanti kalian akan melihat betapa
hebatnya kehidupan ini.... Betapa indahnya
kehidupan di luar sana. Kalian akan
memiliki kesempatan itu, yakinlah.... Kakak berjanji akan
melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...." Dalimunte menyeka
ingusnya.
"Tapi sebelum hari
itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan
Kakak, kalian harus rajin sekolah, rajin
belajar, dan bekerja keras. Bukan karena
hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari
di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus
selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji
kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...." Dalimunte sudah menangis pelan.
"Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya
yang lebih indah...." Dalimunte
sudah terisak.
Dia mengerti. Amat mengerti segalanya. Juga di
sini Ikanuri juga benar-benar menangis. Lihatlah! Menara Eiffel terlihat
cemerlang. Penghujung tahun begini. Menara Eiffel bagai
pohon natal raksasa. Kerlip berjuta lampu
kota Paris yang tersaput selimut salju putih tak mau kalah,
terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang. Menyeruak
berpendar-pendar. Ikanuri mendekap wajahnya.
Umurnya sekarang tiga puluh enam. Wibisana
tiga puluh tujuh. Kejadian itu lebih
seperempat abad silam berlalu. Ya Allah,
Kak Laisa, Kak Laisa tidak pernah datang
terlambat untuk mereka. Tidak sedikit pun.
Seperti kalimat Kak Laisa pagi itu, Kak Laisa menunaikan
seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah....
Kereta eskpress Eurostar
itu melesat membelah indahnya kota Paris.
Semburat merah muncul di angkasa. Pagi
datang menjelang. Membuat gemeriap lampu
kota yang belum dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi
menambahinya. Syahdu.
"Sudahlah, Ikanuri—" Wibisana mendekap
bahu adiknya.
"Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku
mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!" Ikanuri
tersedak. Mendekap wajahnya. Dia tidak bisa
menahan lagi perasaan itu. Dan melihatnya tertunduk
menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat melihat
seseorang yang selama dikenal nakal, tukang
jahil, bebal, atau apalah tiba-tiba menangis. Sungguh.
"Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu,
Ikanuri." Wibisana mengusap bahu adiknya.
Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar
sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu sedikitpun. Tidak
pernah. Bahkan Kak Laisa tidak pernah
mengungkit-ungkitnya lagi. Ya Allah, karena
itulah dia merasa bersalah sekali.
Menyesalinya sepanjang hidup. Dua puluh lima
tahun berlalu, ketika takdir kehidupan yang
lebih baik menjemput keluarga sederhana mereka
di Lembah Lahambay, bahkan dia tidak
pernah meminta maaf soal itu. Meski Kak Laisa
sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi
dia selama ini tidak pernah merasa harus
meminta maaf. Bagainiana jika mereka
terlambat dan tidak ada waktu lagi?
"Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke
Mamak—" Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri.
Wibisana mengerti. Mengambil
HP di saku. Pelan menekan nomor HP
Mamak Lainuri. Tadi berkali-kali mereka menelepon
ke perkebunan strawberry, kata Mamak, Kak
Laisa masih tertidur (atau begitulah yang
dokter bilang). Mereka tidak ingin
membangunkan Kak Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi. Suara tunggu
itu bernyanyi satu kali. Dua kali.
"Assalammualaikum...." Suara renta
Mamak terdengar.
"Waalaikumussalam..." Wibisana
menelan ludah suaranya bergetar, berusaha
tersenyum. Tangannya yang satu lagi masih mendekap bahu
Ikanuri, menenangkan.
"Kak Lais sudah bangun, Mak?—"
"Sudah. Sebentar, anakku — " Senyap. Suara Mamak
yang bertanya pada dokter terdengar
samar-samar. Handsfree. Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa
bisa bicara meski sambil terbaring,
"Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian
bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu Laisa masih dalam kondisi
kritis. Silahkan,—" Dokter berkata dari seberang. Ikanuri dan Wibisana
justru terdiam. Menelan ludah.
"Kak Lais—" Bergetar.
"I-ka-nu-ri?" Terbatuk.
"Itu kau di sana, Ikanuri?—" Samar
suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam. Ikanuri seketika
kehabisan kata-katanya, kecuali tangis. Benar-benar kecuali tangis.
Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung
bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah berkumpul di pinggir
cadas. Beramai-ramai, bergotong-royong memasang
kincir-kincir di atas pondasinya. Benar,
Perhitungan Dalimunte sejauh ini tepat.
Saat ikatannya dilepas, kincir pertama yang
terbenam di air sungai berderak mulai
berputar mengikuti arus, sambil membawa air di ujung-ujung
bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak kincir. Mengisi
bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.
"NAIK! NAIK! NAIK!"
Penduduk kampung berseru-seru. Wajah mereka
tegang. Meski seringai yakin mulai terpancar
di sana-sini. Kincir mereka kokoh,
pondasinya kuat. Tidak akan ada yang salah.
Susunannya tepat, konstruksinya baik. Percuma
mereka punya jagoan pintar macam Dalimunte. Kincir air
kedua sedikit bergetar membawa air terus
berputar. Naik ke atas. Tumpah. Mengisi bumbung kincir
ketiga.
"NAIK! NAIK! NAIK!"
Seruan penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil malah
bertepuk-tangan. Macam nonton kumedi putar
di kota kecamatan. Wak Burhan yang berdiri
di depan kerumunan melepas topi anyaman
rotan. Menyeka keringat di dahi, pertanyaan
terbesarnya adalah apa cukup kekuatan
air-air yang terus mengalir ke atas itu untuk
memutar lima kincir air? Dulu saat
mereka membuat kincir raksasa, masalah terbesamya air
deras sungai tidak cukup kuat memutarnya. Tapi kincir air
yang ketiga justru berputar lebih cepat.
Dalimunte sudah menghitung kemungkinan itu.
Membuat kincir-kincir tersebut proporsional
mengecil hingga ke atas. Menyusunnya dengan
posisi lebih condong, lebih mudah
digerakkan. Dia juga membuat klahar bantalan pemutarnya jauh
lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota kecamatan.
"NAIK! NAIK! NAIK!" Kincir keempat bergerak meyakinkan.
"NAIK! NAIK! NAIK!" Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk
semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik empat meter, tinggal satu meter
lagi. Tinggal satu kincir lagi. Kincir kelima berderak
sebentar. Pondasinya di dinding cadas
bergetar. Membuat nafas tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima
tumpahan air dari kincir keempat. Penuh. Lantas pelan, mulai ikut berputar. Dan
akhirnya, air dari bumbungnya tumpah persis
di atas cadas setinggi lima meter. Pinggir sungai
itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan
"Bah! Apa kubilang! Kita pasti
berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa.
"Benar! Kita pasti berhasil!"
"Bukan main, kau hebat Dali!" Yang
lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa
lebih keras.
"CBYUR!" Terjatuh.Terpeleset bebatuan.
Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte. Tertawa
lebih lebar. Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb.
Menatap wajah Dalimunte yang tertawa-tawa, bangkit
dari air sungai sedalam pinggang. Menatap
wajah Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang
tersenyum lebar. Menatap wajah Laisa yang
tersenyum lebih lebar. Wajah Yashinta
yang berdiri dengan teman-teman sepantarannya. Ikut
berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar. Menatap wajah Ikanuri
dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung lainnya ikut
melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa. Benar-benar
melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi
langit-langit lembah. Engkau sungguh pemurah,
Rabb. Wak Burhan memasang topinya. Berteriak menyuruh
mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa bambu
sepanjang satu kilo. Dengan begitu,
ladang-ladang mereka mulai bisa diairi. Dengan begitu,
lepas panen bulan depan, mereka langsung
bisa mengolah tanah lagi. Tidak perlu menunggu
musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri.
Tujuh puluh tahun tinggal
di kampung itu, tidak pernah Wak
Burhan merasakan antusiasme hidup yang begitu
hebat. Meski baru seminggu lalu dia
seperti kembali melihat hantu masa lalunya. Tapi itu
tidak terjadi. Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan tahun
silam tidak terbukti. Saat mereka
benar-benar putus-asa, mulai berangsur pulang setelah
lelah menelusuri hutan rimba, saat bersiap
melaporkan kejadian itu ke polisi di kota kecamatan,
saat tiba di balai kampung, Ikanuri
dan Wibisana justru ditemukan sudah berbaring
kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum. Laisa
dan Dalimunte terbata menceritakan apa yang
terjadi. Satu patah, dua kali helaan nafas.
Mereka juga lelah. Naik turun Gunung
Kendeng bukan urusan mudah, apalagi dalam situasi
buruk seperti itu. Maka cerita mereka
hingga kapanpun, mungkin tak akan pernah terlupakan.
Mungkin berpuluh-puluh tahun ke depan tetap
dikenang penduduk kampung.
Tidak ada yang tahu
apa yang terjadi, kenapa tiga harimau
itu urung menerkam Laisa. Satu dua bilang
mungkin harimau itu sudah kenyang, habis
memangsa babi liar. Satu dua bilang harimau itu
mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit
gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk. Malah
ada yang menduga mungkin karena Laisa
mewarisi Jurus Pesirah, ilmu silat mengendalikan
harimau yang konon dulu pernah dikuasai
leluhur mereka. Atau mungkin pula harimau
itu takut melihat mata melotot Laisa,
bukankah minggu lalu saat Laisa galak berseru-seru
soal ide lima kincir di balai, pemuda
kampung saja jerih melihatnya, nah, apalagi harimau
itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut malam
itu, tapi apalagi yang harus dilakukannya?
Ia tidak punya pilihan selain melindungi adik
adiknya. Tidak sempat berpikir panjang.
Hanya Dalimunte yang bisa
memberikan penjelasan lebih masuk akal. Itu
pun setelah Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi, mulai
tenggelam dengan kecintaannya atas buku-buku. Kata
Dalimunte pada suatu kesempatan saat mereka
berkumpul, berdasarkan buku-buku yang dibacanya,
binatang meski tidak memiliki akal-pikiran
tapi mereka memiliki insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa
menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu kerabatnya
sedang dalam bahaya, sakit, dan sebagainya.
Sehingga mereka, meski tidak seintens manusia
dalam menerjemahkan perasaannya, dalam kondisi
tertentu, bisa mengerti binatang lain, bisa
mengerti komunikasi perasaan dengan mahkluk
yang tidak sejenis dengannya. Itulah yang terjadi
malam itu. Harimau yang paling besar,
yang paling menakutkan, meski selintas, meski
sekejap, dari tatapan matanya ke Kak
Laisa, ia akhirnya tahu betapa Kak Laisa
mencintai adik-adiknya. Betapa Kak Laisa
siap mengorbankan hidupnya demi adik-adiknya.
Harimau itu mengerti. Lantas memutuskan
pergi. Itu penjelasan Dalimunte kepada Intan
yang beranjak sekolah dan sibuk bertanya
saat mereka berkumpul bersama mengenang kejadian itu di
perkebunan strawberry. Dan itu lebih dari cukup untuk
membuat Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak
Laisa.
Menjelang senja, saat
matahari bersiap menghujam di balik puncak
Gunung Kendeng, pipa-pipa bambu sudah tersambung
rapi. Diperlukan 76 batang bambu untuk
mencapai ladang. Seperti tarian ular, air
bening yang mengalir melewati pipa bambu
membasahi ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik. Wak
Burhan setelah puas menatap air tumpah
membanjiri ladang-ladang mereka, beranjak mengajak penduduk
kampung pulang. Lembah mulai remang. Saatnya beristirahat. Esok
masih panjang, masih banyak pekerjaan yang
harus dilakukan. Dan malam ini, perjalanan
panjang itu telah dimulai dengan perasaan
lega. Menyenangkan. Hanya Ikanuri dan Wibisana yang merasa
ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan menyuruh
mereka memetik habis buah mangga di
ladangnya. Membagi-bagikannya ke penduduk kampung yang sedang
gotong-royong.
"Sayang, yang besar-besar
minggu lalu rontok dimakan kelelawar
harusnya itu jatah Yashinta—" Wak Burhan tersenyum memberikan
sekantong buah mangga ke Yashinta. Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik,
merasa bersalah.
MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah. Rumput
yang terpotong rapi menghampar bagai beludru. Pohon duku, jeruk,
durian, dan kakao yang dibonsai berbaris rapi.
Minggu-minggu ini buahnya masih terlalu
muda untuk dipetik, tapi melihatnya sudah
cukup menyenangkan. Rumah panggung itu
terlihat terang. Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa
penduduk terlihat duduk berkerumun di kursi bambu yang tersusun di depannya.
Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil jemputan kebun strawberry itu
mulai memasuki halaman rumah. Tidak. Tentu saja itu
bukan rumah panggung paling kecil, paling
reot, paling jelek di ujung lembah. Itu
masih rumah yang lama, masih di
lokasi yang sama, tapi sekarang sudah bertambah
tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih
sama dinding kayunya, sudah berdiri asri.
Halamannya yang sejak dari dulu sudah luas,
sekarang dipenuhi bebungaan dan pohon-pohon
bonsai. Rumah panggung itu juga terlihat
modern dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni. Kampung
itu sejak dua puluh tahun silam pelan
tapi pasti memang berubah jadi lebih baik. Lebih
maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi
dan halaman yang rapi. Jika kalian
sempat datang ke sana, kalian seperti
melihat deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu
tentu termasuk rumah tua Mamak Lainuri.
Tidak ada lagi hamparan
semak belukar. Juga ladang-ladang padi
tadah hujan di sekitar kampung. Apalagi
kebun mangga Wak Burhan. Yang ada,
sejak memasuki lembah radius dua kilo
meter, hanya perkebunan strawberry yang
membentang luas. Hijau sepanjang mata memandang.
Buah merah yang beranjak ranum terlihat mengundang,
bergelantungan, meski senja yang beranjak malam
membuat remang sekitar. Kebun-kebun itu
separuhnya milik penduduk kampung, yang bentuk
dan susunannya dibuat sedemikian rupa agar
sama seperti separuh lainnya, milik Kak Laisa. Berbaris. Polybag
pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi. Jalan
setapak yang sudah diaspal melingkari
kebun-kebun. Memudahkan untuk mengangkut buah
strawberry saat panen tiba. Juga menjadi
trek mengasyikkan, naik turun lembah mengelilingi
perkebunan. Satu bangunan besar
terlihat di tengah hamparan hijau perkebunan.
Itu gua penyimpanan sementara sebelum buah
strawbeery dibawa ke kota provinsi. Lampu-lampu
bangunannya bersinar redup. Malam ini, lima
truk milik gudang berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat
pengalengan. Orang-orang yang tadi duduk di
kursi bambu beranjak mendekat. Mengerubungi mobil
jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
"Akhirnya kau tiba, Dali —" Orang-orang
berseru, memeluknya. Dalimunte menelan ludah. Menatap
wajah-wajah bersimpati itu. Balas memeluk. Dia mengenalinya.
Amat mengenal. Mereka adalah tetangga-tetangga
kampung. Satu dua terhitung teman sepermainan
masa kecil. Mereka seperti sedang bersiap.
Bukan. Bukan bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte
sekali lagi menelan ludah
"Ayo, kalian jangan menghalangi Dali,
biarkan dia masuk—" Seorang
lelaki setengah baya berkata tegas, menyeringai,
menyuruh kerumunan menyingkir.
Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak
bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai kampung. Umurnya
sekarang lima puluh. Kepala kampung (jika
lembah indah itu masih layak disebut
kampung). Wak Burhan sudah meninggal
sepuluh tahun silam. Bang Jogar dipilih
dengan suara bulat oleh penduduk menjadi
penerus. Kerumunan tetangga menyibak. Memberikan jalan.
"Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau
dari tadi—" Dalimunte mengangguk,
"Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu
urusan itu kan tahu, abang-abangmu ini di kampung mana pernah
sekolah hingga kelas enam kecuali kau
dan anak-anak kami sekarang," Bang Jogar tertawa,
bergurau, mencoba menghibur Dalimunte yang cemas.
"Tapi terakhir kali aku atas, lima menit
lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa sempat bicara dengan
Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah koper-koper Dalimunte
dari mobil. Jangan macam anak uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti
kubilang tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—" Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung
di kursi bambu.
Cie Hui, istri Dalimunte membantu Intan, yang
baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan menggendong ransel
sekolahnya, menyeka anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur
di mobil. Dibangunkan Abi persis masuk
areal perkebunan strawberry. Si belang
sudah loncat saat pintu mobil dibuka.
Hamster itu amat familiar dengan areal
perkebunan. Setiap dua bulan mereka pulang,
si belang selalu ikut. Malah menurut
Oom Ikanuri, si belang punya pacar hamster
liar lembah. Ah, pasti Oom Ikanuri
ngibul, kan Oom Ikanuri memang suka bohong.
Dalimunte beranjak menaiki anak tangga,
diikuti Cie Hui dan Intan (yang masih menguap).
Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan.
Ruangan yang dulu menjadi tempat dia, Ikanuri dan Wibisana
tidur bertiga. Dengan sarung beralaskan
tikar pandan, bersama angin malam yang menembus dinding
berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan anak gadis tetangga
berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin bersama-sama.
Kebiasaan setempat jika ada urusan seperti
ini. Di surau kampung yang sekarang berubah
menjadi masjid kecil tapi megah, lelaki
dewasa juga bersama-sama membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga
sini. Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca
yasin agar yang sakit dimudahkan urusannya,
berarti sakit Kak Laisa serius sekali.
Menghela nafas pelan. Terus melangkah menuju
kamar Kak Laisa. Wajah-wajah terangkat, melihat rombongan.
Tersenyum kepada Intan yang menoleh ke
sana ke mari. Intan hanya nyengir membalas
tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya? Apa yang
sebenamya terjadi? Dalimunte mengusap wajah. Bagaimana mungkin semua tiba-tiba
jadi terlihat sendu seperti ini?
Bukankah satu bulan lalu
saat mereka pulang bersama, jadwal
berkumpul rutin mereka, Kak Laisa terlihat
sehat-sehat? Tertawa-tawa menggendong Intan,
Juwita dan Delima bergiliran menuruni dinding
cadas sungai. Berkeliling kebun strawberry
dengan sepeda BMX. Mengawasi gudang penyimpanan.
Bahkan Kak Laisa masih sempat-sempatnya mencari sendiri
umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka. Menu
favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya. Kak
Laisa tak sedikitpun terlihat sakit. Riang
meladeni Intan, Juwita dan Delima yang bertengkar
memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang selalu
saja jahil entah melakukan apa kepada
anak-anak. Meladeni Ikanuri dan Wibisana yang masih
saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain kembang
api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap nyala
kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.
Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis
seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja sekarang piguranya terlihat
kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi ia masih sama
disiplinnya, terus bekerja keras mengurus
kebun, mengurus Mamak, mengurus pabrik pengalengan,
mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih sama
atletisnya, masih dengan tubuh gemuk tapi gempalnya. Padahal
kalau Kak Laisa ingin duduk-duduk santai, tidak
masalah. Pabrik itu punya belasan pekerja. Warga dari kampung
atas dan seberang. Juga turut bekerja
di perkebunan beberapa insinyur pertanian lulusan
institut pertanian kota provinsi. Sekarang? Ya Allah,
bagaimana mungkin seluruh rumah terlihat
seperti sedang bersiap melepas kepergian
seseorang. Yasin yang dibacakan? Warga yang
berkumpul? Dalimunte menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa? Dalimunte
tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. Terhenti. Langkahnya
terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu. Lihatlah! Ya Allah, apa
maksud semua ini? Kamar Kak Laisa penuh dengan
peralatan medis. Selang infus, belalai-belalai
plastik. Layar bertuliskan garis-garis hijau.
Alai-alat bantu lainnya. Tabung oksigen.
Masker. Kaki Dalimunte bergetar. Matanya mencari
di sela-sela peralatan medis yang pasti
didatangkan dari rumah-sakit kota provinsi. Mata
Dalimunte akhirnya menemukan sosok itu. Menatap nanar
tubuh besar (tapi pendek) itu. Yang
terbaring lemah di atas ranjang. Mamak
Lainuri duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar. Mamak
bertanya lirih. Siapa yang telah tiba? Dalimunte. Dalimunte justru sudah
terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.
YASHINTA mematut-matut di depan cermin. Menyeringai
sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan seragam
merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu dibeli
di pasar loak, baju bekas, tapi itu
tidak penting. Yash juga tahu, kok.
Hatinya sedang senang. Semalam berkali-kali
terbangun. Pukul sepuluh, sebelas, dua
belas, satu, dua, tiga, sampai Kak Laisa
mendengus jengkel, karena setiap kali
Yashinta terbangun, ia menarik-narik baju gombyor Kak
Laisa, berisik bertanya jam berapa sekarang. Menunggu pagi
seperti menunggu waktu seribu bulan, tak
sabaran. Maka saat akhirnya kokok ayam
hutan akhimya terdengar dari kejauhan,
Yashinta semangat langsung mandi di sungai.
Ini hari pertama sekolahnya. Bukan main.
Rasanya susah dijelaskan. Lihatlah muka imut
Yashinta bersenandung riang. Memasukkan buku tipis ke dalam tas,
pensil yang sudah diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak
Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah duduk rapi di meja makan. Siap untuk
sarapan. Ikanuri dan Wibisana hanya nyengir
melihat kelakuan Yashinta. Bagi mereka tingkah Yashinta
mirip sekali dengan mahkluk planet lain.
Mana ada coba penduduk bumi yang semangat
seperti adiknya berangkat sekolah. Tapi
Dalimunte tidak, dia tersenyum lebar, menyeringai
membesarkan hati Yashinta, yang justru saat
sudah siap berangkat bersama-sama malah gugup, mendadak sakit
perut.
Panen bersama sebulan lalu
sukses besar, Mamak Lainuri tak kurang dapat empat puluh kaleng
padi. Setelah dipotong zakat, juga padi
cadangan untuk lumbung kampung, juga delapan belas
kaleng untuk persediaan beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan, yang
seluruhnya dijual ke kota kecamatan.
Ditambah tabungan Mamak dari menjual damar, rotan,
gula aren, dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar
biaya sekolah Yashinta, Ikanuri, Wibisana dan
Dalimunte. Tahun ini, Dalimunte duduk di
kelas enam. Sementara Ikanuri dan Wibisana
kelas empat. Itu berarti setahun lagi
Mamak harus memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di
kota kecamatan. Yang berarti akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan. Mamak
meski terlihat biasa-biasa saja, tapi soal
itu benar-benar penting baginya. Lepas panen,
Mamak langsung menggarap lagi ladang mereka.
Tidak ada istilah berleha-leha. Menanaminya
dengan jagung. Lebih keras bekerja. Lebih
lama menyadap damar di hutan. Begitu juga
dengan Kak Laisa, tubuh gendut tapi gempalnya terlihat
semakin hitam. Terlalu lama terpanggang terik matahari.
Beruntung kehidupan di kampung jauh lebih
baik sejak irigasi lima kincir air dibuat.
Beruntung pula perangai Ikanuri dan
Wibisana juga ikutan membaik sejak kasus
itu. Meski masih sering membantah, masih
sering melawan, masih sering kabur disuruh mengerjakan sesuatu,
mereka jauh lebih menurut. Ikanuri dan Wibisana mulai
mengerti arti tanggung jawab. Tidak percuma
Kak Laisa saban hari mengejar-ngejar mereka dengan sapu lidi teracung dan
berteriak-teriak
"Kerja keras!" "Kerja keras!"
"Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah. Sudah
rajin membantu Mamak di Ladang. Sekali
dua malah tanpa disuruh pergi ke
hutan mengumpulkan kayu bakar dan rotan.
Kejadian di puncak Gunung Kendeng sedikit
banyak membuat mereka sungkan dengan Kak
Laisa. Lah, harimau saja ngeri lihat
Kak Laisa melotot, apalagi mereka, kan? Ihhh.
Siang itu panas membakar
lembah. Musim kemarau tiba di minggu-minggu
puncaknya. Yashinta menyeka keringat di dahi
tidak hanya sekali. Berjalan pelan-pelan
mengiringi
Ikanuri dan Wibisana.
Daun pisang yang tadi diambilkan Dalimunte
percuma, perjalanan pulang dari kampung atas
tetap menyiksa wajah. Ini bulan ketiga sekolahnya.
Sejauh ini ponten pelajarannya bagus-bagus.
Yashinta jelas mewarisi ketekunan dan kecerdasan Dalimunte,
bukan tabiat iseng bin kenakalan Ikanuri dan Wibisana. Tiba di
rumah panggung mereka menghabiskan makan
siang yang telah disiapkan Kak Laisa
sebelum berangkat ke ladang tadi pagi.
Shalat dzhuhur (Dalimunte yang jadi imam), kemudian
Dalimunte meneriaki Ikanuri dan Wibisana
agar buruan menyusul Mamak. Yashinta sudah
boleh ikut ke ladang sekarang. Meski
kerjaannya di sana hanya belajar di bawah pondok,
belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan PR, apa saja.
"HUUUU! HUUUU!!"
"HUUUU!" Mamak
membalas teriakan Dalimunte. Kempat adik-kakak
itu menuruni lereng landai kebun. Di Lembah
Lahambay, teriakan seperti itu lazim. Untuk
saling memberitahu posisi. Dengan suara seperti pekikan burung. Mamak
melambaikan tangan dari kejauhan. Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan gulma
di pojokan ladang. Batang jagung sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang
terus mengalir. Mereka berempat berbelok, Mendekat
"Mak, tadi ada guru baru di sekolah,
Yash—" Yashinta yang pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di
atas kepalanya.
"Siapa?" Mamak bertanya pendek, tanpa
menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di sela-sela batang jagung.
"Eh, siapa, Kak?" Yashinta nyengir,
justru bertanya padii Ikanuri.
"Tahu, siapa—" Ikanuri melangkah tidak
peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan siapa guru
baru tadi, bukan tidak peduli dengan
pertanyaan Yashinta. Mengambil arit yang tergeletak di
dekat Kak Laisa, ikut membantu.
"Ada yang KKN"
"Eh, iya, KKN, Mak. Gurunya dari KKN."
Yashinta, memotong kalimat Dalimunte,
"KKN itu dari mana ya, Kak?" Yashinta
duduk menjeplak di sekitaran mereka.
Teduh di bawah batang
jagung, jadi ia tidak perlu sendirian di
pondok yang terletak di tengah-tengah
ladang. Menyeka keringat yang mengucur tambah
deras. Gerah. Tubuhnya terlihat lekat.
Mamak mengangguk, ia mengerti. Seminggu lalu
Wak Burhan juga bilang soal itu.
Katanya ada rombongan mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa
itu ada di kampung atas, tapi beberapa dari mereka juga
akan melakukan beberapa proyek KKN di
kampung bawah. Jarang-jarang ada pendatang dari kota di
lembah itu. Dulu pernah ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program mereka
kebanyakan hanya penyuluhan dan ceramah. Dulu-dulunya juga
pernah ada pejabat entah dari mana
yang datang ke Lembah. Lebih tak jelas
lagi apa gunanya mereka, hanya nanya-nanya,
membawa kertas, entahlah. Tanpa sesuatu yang benar-benar
bermanfaat bagi penduduk kampung.
"Ikanuri, Wibisana, menebas rumputnya yang
benar!" Kak Laisa mendelik, menatap tajam Ikanuri dan Wibisana.
"Sudah benar, kan?" Ikanuri
nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak medengarkan percakapan. Asyik
bermain-main dengan arit. Kak Laisa melotot, benar apanya, kedua
sigung nakal itu seperti membuat lajur-lajur di
atas gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama mereka, seperti bonsai berbentuk
huruf di taman-taman. Membuat tulisan: Ika-Wibi Keren.
"Lagian biar nyeni, Kak! Artistik—"
Wibisana tertawa. Kak Laisa melotot, mengancam.
Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Yaah,
kan hanya bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya.
Nanti-nanti maksudnya minggu depan, atau setelah panen
jagung. Dengan enggan dua sigung nakal
itu membersihkan huruf-huruf nama mereka.
Yashinta asyik meneruskan
anyaman rotannya. Ia sudah lancar. Sekali
dua terdengar batuk. Keringat mengucur semakin
deras dari dahinya. Musim kemarau ini
entah sampai kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu,
lazimnya diseling hujan deras yang sedikit mendinginkan
lembah. Dua hari terakhir kenapa pula
badannya terasa tidak enak. Tetapi Yashinta
terlanjur asyik meneruskan anyamannya.
Sambil sesekali memperhatikan Kak
Laisa yang tangkas membersihkan gulma.
Lihat, satu jam berlalu, luas gulma yang berhasil
dibersihkan Kak Laisa, masih lebih banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak
Wibisana dijumlahkan, dikalikan dua pula.
Matahari mulai tenggelam
di balik Gunung Kendeng, Mamak menyuruh
Dalimunte memberesi perlengkapan. Menyimpannya di pondok.
Saatnya pulang. Kak Laisa membantu berbenah-benah.
Menggendong keranjang berisikan sayur-mayur.
Mereka berjalan
beriringan. Lembah itu
hening. Langit terlihat merah. Angin
bertiup pelan, menyenangkan. Rombongan burung
layang-layang terbang pulang ke sarang.
Kelelawar mengepak-ngepakkan sayap bersiap memulai ritual malamnya. Yashinta
berkali-kali batuk lagi.
"Kau baik-baik saja, Yash?" Kak Laisa
bertanya. Yashinta mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.
"Kenapa Kak Lais
tidak bilang?" Dalimunte menangis,
tersendat, jemari tangannya gemetar mengusap
bibir perempuan umur empat puluh tiga
tahun yang terbaring lemah di atas ranjang. Ada
bercak darah di sana. Keluar bersama dahak,
"Tidak. Tidak boleh
ada yang menangis, Dali...." Kak Laisa
berkata pelan, nafasnya sedikit tersengal,
"Kau anak lelaki. Di keluarga ini anak
lelaki tidak boleh menangis"
"Tapi kenapa Kak
Lais menyimpannya sendirian.... Kenapa Kak
Laisa tidak bilang kalau selama ini sakit?
Ya Allah, selama itu. Bahkan Kak Lais
menyimpan semuanya sendirian selama ini.... Sejak kami kecil, sejak
kami masih nakal suka membantah—" Dalimunte tergugu.
Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap
Intan yang entah mengapa juga ikut tertunduk. Intan menggigit
bibir. Bingung. Cemas. Ia keliru, ternyata
Wak Laisa sakitnya tidak sekadar mencret-mencret.
Aduh, kalau kelihatannya sudah begini itu
artinya serius sekali. Lihat, Wak Laisa batuk lagi, terus ada darah pula
keluar dari bibirnya.
"Ingat kata Kakak
dulu saat kau berangkat sekolah di
kota provinsi, tidak ada yang boleh menangis,
kau akan menemukan tempat-tempat baru,
teman-teman baru, kau akan belajar banyak.... Hei,
tidak ada yang boleh menangis dengan semua kabar
baik itu. Juga hari ini.... Lihatlah, kau amat membanggakan
Kakak—" Kak Laisa terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama
darah.
Dalimunte menyeka darah itu dengan jemarinnya.
Semakin tergugu. Bagaimana mungkin dia tidak akan
menangis? Lihatlah, seseorang yang amat
dihargai sepanjang hidupnya berbaring lemah di
hadapannya, tetap sama seperti dulu.
Memberikan perlindungan. Memberikan janji-janji yang selalu
ditunaikan. Mengubur cita-citanya sendiri demi
adik-adiknya. Bahkan hingga saat ini,
ketika tubuhnya terlihat amat lemah, Kak
Laisa tetap berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk menangis.
"Kak Lais selalu
menyimpannya sendirian, demi kami.... Kak
Lais selalu mengalah, demi kami—" Kalimat
Dalimunte terhenti, dia tak kuasa melanjutkan hanya
bisa mencium jemari tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai
kenangan masa lalu berdesing memenuhi kepalanya.
"Kak Lais bekerja sepanjang
hari membantu Mamak demi kami, Kak
Lais mempermalukan diri demi kami, Kak Lais bahkan
menerobos hujan deras, tidak peduli dingin, jemari tangan menggigil demi
kami..." Dalimunte tidak bisa menahan lagi perasaannya. Dulu saja,
waktu kecil ia sudah mengerti.
"Dali…, tidak ada yang boleh menangis—"
"Ta-pi, tapi Dali tidak tahan lagi. Dali
tidak tahan—"
"Kemarilah, anakku...." Mamak
berbisik lirih dari belakang.
Dalimunte memeluk pinggang Mamak. Senyap. Hanya
tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu merawat
Kak Laisa menatap dengan mata berkaca-kaca.
Intan ikutan menyeka pipinya. Ia tidak tahu
kenapa ikut menangis. Ia sedih, sedih
sekali melihat Wak Laisa yang kuat menggendongnya
naik turun cadas sungai, sekarang pucat
pasi, bergerak saja susah di atas ranjang.
Mamak mengusap rambut Dalimunte, berbisik
menenangkan. Wajah keriput berumur enam puluh tahun itu
terlihat amat sendu. Ia-lah yang paling tahu urusan ini. Sejak tiga
puluh tahun silam. Sejak Laisa mulai mengerti arti tanggung-jawab. Umur
Laisa saat itu sebelas tahun. Kelas
empat Umur Dalimunte tujuh tahun. Sudah setahun
Dalimunte tertunda sekolah karena Mamak
tidak punya uang. Mamak ingat sekali. Hari itu.
Pagi itu. Laisa mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak
sibuk memasak gula enau. Saat yang lain masih tertidur lelap.
"Biar. Biar Lais yang berhenti sekolah,
Mak..." Putri sulungnya tersenyum tulus, menatap dengan mata
bercahaya.
"Kau harus terus sekolah, Lais!" Mamak
menatap tajam Laisa.
Menggeleng, "Lais tahu Mamak tidak
punya cukup uang untuk membeli seragam baru Dali. Biar Lais
yang berhenti sekolah. Lagipula Lais anak
perempuan. Buat apa Lais sekolah tinggi-tinggi.
Biarlah Dalimunte yang sekolah. Lais
membantu Mamak mencari uang saja. Dengan begitu nanti
Ikanuri dan Wibisana juga bisa sekolah.... Juga Yashinta...." Putri
sulungnya menyentuh lengannya. Menatap dengan yakin dan mengerti benar
apa yang telah dikatakannya.
Mulai shubuh itu, Mamak
tahu persis satu hal. Laisa yang
bersumpah membuat adik-adiknya sekolah menjadikan sumpah itu
seperti prasasti di hatinya. Tidak. Laisa tidak pernah menyesali
keputusannya. Tidak mengeluh. Ia melakukannya
dengan tulus. Sepanjang hari terpanggang terik
matahari di ladang. Bangun jam empat
membantu memasak gula aren. Menganyam rotan
hingga larut malam. Tidak henti, sepanjang
tahun. Mengajari adik-adiknya
tentang disiplin. Mandiri.
Kerja keras. Sejak kematian Babak
diterkam harimau, Mamak sungguh tidak akan
kuasa membesarkan anak-anaknya tanpa bantuan
putri sulungnya, Laisa. Semua kesulitan hidup
masa kecil itu. Laisa membantunya melaluinya dengan
wajah bergeming. Wajah yang tidak banyak mengeluh.
Wajah yang sekarang terlihat amat lelah.... Terbaring
lemah karena kanker paru-paru stadium IV. Penyakit yang disimpannya sendiri sejak
sepuluh tahun silam. Karena ia tidak ingin merepotkan adik-adiknya. Bagi Laisa,
yang berhak merepotkan itu adik-adiknya, bukan
dia. Setiap kali kunjungan dua bulanan,
Laisa tetap riang menyambut anak-anak. Tertawa mengajak mereka melakukan banyak
hal. Itu pula yang membuatnya bisa bertahan
selama ini.
Sepuluh tahun kanker itu
seolah tak kuasa menggerogoti fisiknya. Sayangnya, satu
bulan yang lalu, seluruh energi dari
penerimaan jiwa atas pilihan hidup yang hebat itu
berakhir sudah. Kalah. Fisiknya tidak kuasa lagi, kanker itu sudah menjalar ke mana-mana.
Meski semangat hidupnya masih tinggi, meski dengan semua spirit itu, tubuhnya tidak
kuasa lagi bertahan. Maka didatangkanlah dokter dari kota provinsi (yang juga
sepuluh tahun terakhir diam-diam merawatnya, hanya Mamak yang tahu). Juga
peralatan medis, juga perawat-perawat Kak Laisa satu
bulan terakhir bertahan tidak memberitahu
adik-adiknya hingga tadi pagi. Satu bulan
terbaring tidak berdaya. Setelah Mamak
membujuknya. Akhirnya pesan 203 karakter itu terkirimkan. Ketika ia merasa
waktunya sudah tiba.
Tugasnya hampir usai. Wajah yang sekarang
terlihat amat lelah. Meski tetap berusaha tersenyum
didepan adiknya. Wajah yang menatap
Dalimunte yang sedang memeluk pinggang Mamak, Dalimunte yang menangis.
DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari
ladang, balai kampung ramai dipenuhi oleh penduduk. Sejak
lepas shalat isya. Ada pertemuan di
balai. Rombongan mahasiswa KKN dari kampung
atas datang. Tapi yang pergi ke balai
hanya Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana. Mamak menjagai
Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu diladang ternyata
serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya panas. Hari
pertama sakit, gadis kecil itu tetap
memaksa berangkat, percuma, tiba di desa
atas kakinya yang gemetar tidak bisa diajak
melangkah, jatuh pingsan. Dalimunte terpaksa menggendongnya
pulang. Dua hari berlalu, sakit Yashinta
semakin parah. Bergantian mereka menunggui. Mengompres.
Membuat ramuan dedaunan. Rebusan. Apa saja
yang lazim dilakukan penduduk lembah unruk
meredakan panas dan batuk. Malam ini,
Mamak yang menunggui Yashinta. Udara lembah
terasa dingin. Sejak sore tadi awan hitam
berarak memenuhi langit. Akhirnya setelah dua
bulan kemarau menggantang lembah, hujan
nampaknya akan turun. Angin malam menderu kencang, pertanda bakal
turun hujan lebat
"Mamak kau tidak datang, Lais?" Wak
Burhan bertanya.
"Yash masih wakit, Wak—" Laisa
menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya.
Balai kampung itu sudah ramai.
Obor-obor membuat ruangan terang-benderang. Angin
yang menerobos membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip. Di
depan sana berjejer enam orang mahasiswa
yang dua hari ini sibuk disebut-sebut warga
kampung. Laisa menatapnya lamat-lamat.
Mengesankan melihat kakak-kakak mahasiswa itu.
Mengenakan jaket kuning. Mahasiswa Universitas
kota besar dari seberang pulau. Yang wanita
terlihat cantik dan cerdas. Yang lelaki
terlihat gagah dan pintar. Tersenyum lebar,
percaya diri menatap sekitar. Mengangguk.
Laisa menelan ludah. Dulu ia pernah
bermimpi menjadi seperti ini. Bermimpi
melihat dunia luar yang lebih luas. Kesempatan
yang lebih lapang, yang lebih besar
dibanding Lembah Lahambay ini. Ah, itu mimpinya
enam tahun silam. Usianya sudah tujuh
belas sekarang, sudah amat terlambat untuk
melanjutkan sekolah kelas empatnya. Ia
sudah mengubur cita-cita itu dalam-dalam. Lagipula
jika ia sekolah, siapa yang akan
membantu Mamak mencari uang buat adik-adiknya?
Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu,
pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini berbicara lantang.
Tegas. Meyakinkan. Salah satu dari tiga
mahasiswa lelaki bicara soal konstruksi kincir air.
Memuji-muji penduduk kampung yang telah membuatnya, lantas
sama seperti Dalimunte dulu, dia juga
membawa kertas-kertas. Membentangkannya lebar-lebar. Bicara
tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik.
Dalimunte menjadi orang yang paling tertarik
atas rancangan itu. Mengangkat tangannya
berkali-kali, bertanya. Penduduk kampung juga
terpesona. Apalagi dijanjikan ada bantuan
soal dinamo, kabel-kabel, peralatan instalasi,
dan lainnya dari universitas. Wak Burhan
tak butuh waktu semenit untuk mengetukkan
palunya. Proyek KKN listrik kincir air
itu disetujui. Minggu depan mereka mulai bergotong-royong, Dua
mahasiswa lainnya, cowok-cewek, mungkin berasal
dari fakultas pertanian, bicara soal
ladang-ladang mereka. Bibit yang digunakan.
Pengolahan tanah. Rotasi tumbuhan.
Lantas ujung-ujungnya: jadwal
penyuluhan. Penduduk Lembah mengangguk-angguk. Wak Burhan
mengetuk palu; dengan demikian setiap malam
Kamis dan Sabtu ada penyuluhan pertanian di balai
kampung. Meski program KKN yang satu ini tidak
sekongkret listrik, tapi penduduk kampung bisa
menerimanya. Setidaknya janji ada penganan
kecil dan sekoteng hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari
cukup untuk membuat mereka hadir. Dua mahasiswa berikutnya
menjelaskan tentang kemandirian ekonomi. Nah,
yang ini benar-benar membuat penduduk kampung
pusing. Koperasi. Simpan-pinjam. Kesempatan kredit.
Akses modal. Bahkan Dalimunte saja yang
sejak tadi antusias mendengarnya, menguap
lebar-lebar. Juga ada jadwal penyuluhan.
Wak Burhan bilang cukup seminggu sekali,
malam Selasa. Jadwal mereka sudah penuh.
Sebenarnya sih, Wak Burhan kalau bisa malas
memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini. Dua mahasiswa itu berunding.
Lantas mengangguk.
Malam beranjak matang.
Pukul 22.00, sudah larut untuk ukuran
penduduk lembah. Mereka biasanya beranjak tidur
pukul sembilan. Jadi mahasiswa terakhir,
demi melihat penduduk kampung sudah tidak
terlalu memperhatikan, hanya sempat bicara
lima belas menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan
kesehatan. Bilang ada posko kesehatan di kampung atas.
Yang bisa dimanfaatkan warga setempat untuk
berobat. Lima belas menit tepat, penjelasannya
selesai. Kabar baik, ternyata tidak ada
jadwal penyuluhan untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk
palu. Pertemuan usai.
Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati
mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin minta tolong
periksa Yashinta yang sedang sakit. Tapi
karena di luar guntur berkali-kali menyalak, petir
berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas kembali
ke kampung atas, mengenakan jas hujan
besar dan payung. Lagipula Ikanuri dan Wibisana
memaksa pulang buruan. Sudah mengantuk.
Maka di tengah deru angin yang semakin menggila,
mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.
"Ternyata mereka tidak
hanya melakukan penyuluhan-penyuluhan seperti
yang KKN dulu, Mak." Laisa
melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis mereka
tiba di halaman. Mamak hanya mengangguk
selintas.Terkantuk menunggui Yashinta yang tidur
sambil mengerang. Panas. Kompres kain yang
membungkus dahi Yashinta seperti sia-sia. Suhu badannya
tidak turun-turun. Di luar hujan deras
terdengar membuncah atap seng. Gemuruh. Satu
dua tampias. Menetes di dalam rumah.
Laisa buru-buru mengambil baskom dan kain. Menampung
tetesan air. Ikanuri dan Wibisana sudah beradu
punggung di ruang depan. Bergelung. Tidur.
Hanya Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta
dengan wajah sedikit cemas.
"Masih panas, Mak?" Mamak mengangguk.
Terlihat amat lelah.
"Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga
sekarang." Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti
air kompres. Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta
lagi.
"Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh
Dalimunte.
Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan
depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang terus mengerang,
lantas sekali dua batuk, terdengar
kesakitan. Mamak bersandar di dinding, berusaha
memejamkan mata. Hujan turun semakin deras. Pukul 24.00,
persis tengah malam, saat Dalimunte sudah
lelap tertidur. Mamak juga sudah tertidur.
Kak Laisa mendadak berseru-seru. Panik.
Terbangun. Mamak langsung terbangun juga
Dalimunte, yang setengah terkantuk, setengah
terjaga mendekat. Lihatlah, tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang.
Matanya mendelik, menyisakan putih. Kak Laisa berteriak tambah panik.
"Yashinta, Mak! YASHINTA!" Mamak
Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik.
Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia
lakukan? Tidak ada dokter di sini. Tidak ada. Mamak berusaha menyeka
keringat yang mengalir deras dari leher
Yashinta. Berusaha memberikan ramuan. Mengompres.
Apa saja yang terpikirkan olehnya. Percuma,
mata Yashinta semakin mendelik. Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya
berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang sedang terjadi.
Ada apa dengan Yashinta. Berusaha mendekat,
tapi setelah mendekat malah menjauh lagi, tidak mengerti
harus melakukan apa. Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang
terjaga ikut mendekat dan bergumam jerih, saat tubuh
Yashinta semakin tidak terkendali, Kak
Laisa mendadak berlari ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu
depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan bingung Mamak, entah apa yang akan
dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke tengah derasnya hujan.
Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air,
membuat perabotan berderak.
Kak Laisa berlari sekuat
kakinya ke kampung atas. Tidak peduli
tetes air hujan bagai kerikil batu yang
ditembakkan dari atas. Tidak peduli
tubuhnya basah-kuyup. Tidak peduli malam yang gelap gulita.
Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, dimalam
hari, suhu Lembah Lahambay bisa mencapai
delapan derajat celcius. Kak Laisa berlarian menaiki
lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur menggelegar.
Ia ingat. Ia ingat kakak-kakak mahasiswa
tadi menyebut-nyebut soal obat dan dokter. Mereka pasti
bisa membantu. Ia harus segera. Waktunya terbatas.
Dalimunte sudah bisa duduk lebih tenang.
Duduk tertunduk.
"Kemari, sayang...." Laisa memanggil
pelan Intan. Intan melangkah mendekat
"Wawak sakit, ya?" Laisa menggeleng,
tersenyum.
Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah.
Memasang wajah tidak percaya. Wawak pasti bohong. Laisa pelan mengangkat
lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet". Intan
menyeringai, akhirnya ikut tersenyum. Tuh,
kan, hanya Wak Laisa yang mau (dan benar-benar
niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut
lengan Wak Laisa. Tidak panas. Menyentuh
dahi Wak Laisa, juga tidak panas.
Kalau tidak panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
"Yang sakit apanya?" Intan bertanya
macam dokter saja.
Wak Laisa tersenyum lagi, batuk. Intan meraih
kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa. Dalimunte
menatap wajah lelah itu. Mendongak. Cahaya
lampu neon bersinar lembut. Dia tahu banyak urusan ini, meski
dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa yang tidak
pernah menangis di depan adik-adiknya.
Tidak pernah. Sesakit apapun, sesesak apapun
rasanya. Kak Laisa yang selalu berusaha
terlihat semua baik-baik saja. Dia ingat sekali
kejadian malam itu. Ingat. Bagai bisa melihatnya kebali
dari pendaran cahaya Lampu neon. Melihat kembali tetes
air dari tubuh Kak Laisa yang membuat
ruangan depan tergenang. Wajahnya yang kesakitan....
"Si belang mana, sayang?" Intan menoleh
ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya,
"Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti
nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —" Tertawa kecil. Laisa berusaha
tertawa mendengar celetukan Intan.
Mahal sekali harganya, tubuh tambun tapi
gempal itu bergerak-gerak tertahan. Membuat garis hijau di layar
peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan pias.
Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa? Dokter melangkah,
mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu,
"Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu
Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara dulu—"
Laisa yang perlahan
kembali terkendali menggeleng, memberikan kode
gerakan tangan ke dokter. Biar. Biarlah
mereka berada di kamar ini. Ia ingin
terus terjaga menunggu adik-adiknya pulang
satu per satu. Ia ingin menatap
wajati mereka satu persatu. Ia ingin bicara,
ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik
saja. Dokter menelan ludah, berhitung sejenak.
Berdiskusi sebentar dengan Mamak dan Dalimunte. Baiklah.
Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi. Tidak ada salahnya.
Malam itu, Laisa untuk kesekian kalinya
tiba tepat waktu. Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata
bilang tentang sakit Yashinta. Mahasiswa itu mengangguk,
ia mengenali Laisa. Salah satu dari
penduduk kampung bawah yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa
pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu bot, dan
peralatan medis. Kepala kampung atas yang
ikut terbangun berbaik hati meminjamkan starwagoon tuanya.
Mobil itu segera meluncur. Hujan turun semakin deras.
Mobil hanya bisa dipakai hingga batas
ladang-ladang. Terpaksa berjalan lima ratus
meter. Kakak-kakak mahasiswa itu berbaik
hati menerobos hujan. Laisa mengikuti dari
belakang. Tubuhnya yang tanpa pelindung
apapun menggigil. Tadi hampir satu jam ia
mendaki lembah untuk tiba di kampung
atas. Normalnya hanya setengah jam, tapi
di tengah jalan tadi, kakinya
menghantam tunggul Batang kayu yang sudah
mati. Sakit sekali. Memar
malah (esok lusa baru
tahu kalau tulang mata kakinya bergeser).
Seperti ditusuk seratus sembilu saat berusaha
dijejakkan ke tanah. Tapi Laisa menggigit
bibirnya kencang-kencang, terus mendaki lembah.
Memaksa kakinya melupakan rasa sakit. Rasa
sakit yang sebenarnya membuat Laisa
menitikkan air mata. Ia mencengkeram
pahanya. Mengusir rasa sakit di kaki.
Yashinta menunggu pertolongan dirumah. Ia harus maju
terus. Maka sama sulitnya saat ia berlari- lari
kecil mengikuti langkah kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni
lembah.
Mereka datang
tepat waktu, kakak-kakak mahasiswa
tahun terakhir di fakultas kedokteran itu
segera mengurus Yashinta. Membuka peralatan
medisnya. Memeriksa Yashinta dengan cepat. Lantas
menyuntikkan sesuatu. Lepas lima
menit, Yashinta mulai lebih terkendali. Sementara hujan deras terus
membuncah atap seng. Guntur menggelegar di luar sana. Dalimunte menatap
lamat-lamat Kak Laisa. Kak Laisa yang duduk di
dapur, dekat pintu belakang sejak tiba.
Kak Laisa yang meringkuk memegangi kakinya.
Bengkak. Mata kaki itu
terlihat merah. Wajah Kak Laisa meringis,
menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Bahkan jika tidak tersamarkan oleh air yang
masih menetes dari rambutnya, dia sungguh
bisa melihat Kak Laisa mengeluarkan air mata.
Jika tidak tersamarkan oleh gigilan
kedinginan, dia bisa melihat Kak Laisa yang
gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni
lembah.
Dalimunte menelan ludah.
Air hujan dari tubuh Kak Laisa
tergenang di sekitarnya. Membasahi lantai papan.
Badan itu kuyup. Basah. Kedinginan.
Kesakitan. Tapi Kak Laisa tidak pernah mengeluh. Tidak
pernah. Laisa menyadari Dalimunte yang
memperhatikannya. Ia menyeringai galak, menyuruh Dalimunte
kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja. Dalimunte
mengigit bibir, perlahan membalik badannya.
Malam itu Dalimunte akhirnya mengerti satu hal: Kak Laisa
tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan pernah.
KAU HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan
strawberry..."
Wibisana memasukkan telepon
genggamnya ke saku. Ikanuri mengangguk.
Terbatuk pelan. Kerongkongannya sedikit sakit.
Ini mungkin gara-gara kehujanan di
Pegunungan Alpen, Swiss semalam. Atau karena
kelelahan, kurang tidur, setelah belasan
jam tanpa jeda melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu
banyak sesak mengenang masa kecil itu.
"Jasmine dan Wulan
juga sudah tiba di kota kabupaten.
Lancar. Perjalanan mereka tidak banyak masalah. Kata Jasmine;
Juwita dan Delima tertidur di mobil."
Wibisana menghela nafas.
Jelas perjalanan akan lebih lancar
jika kedua putri mereka sudah tertidur. Biasanya mereka
berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk berteriak-teriak,
bertengkar. Pernah Juwita dan Delima
membuat rombongan dari kota provinsi terhenti
total hanya gara-gara mereka melihat ada
burung kwao yang melintas didepan mobil,
lantas hinggap di pohon. Memaksa Abi
mereka menangkap burung itu, tidak mau mendengarkan
penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter. Ikanuri mengusap
wajah lelahnya. Layar raksasa penunjuk jadwal dan
status penerbangan di langit-langit gedung
ultra-modern Paris International Airport
memamerkan kecanggihannya. Tidak kurang tiga
puluh baris jadwal penerbangan terpampang
otomatis di layar tersebut. Merah. Hijau. Kuning.
Display yang mengagumkan.
Moskow, Departure 07.30.
California, Departure 07.35. Riyadh, Arrive
07.40. Singapore, Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta,
Departure 07.45.
Ikanuri melirik jam di
pergelangan tangan, masih satu setengah jam
lagi jadwal penerbangan mereka. Mengusap wajah sekali
lagi. Masih lama, seharusnya mereka masih punya
waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis.
Tapi perutnya tidak lapar. Dia penat itu
benar, lelah tentu saja. Tapi dia
tidak mengantuk atau lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di
stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat setengah
jam, meski terhenti oleh longsoran itu
selama dua jam). Mereka shalat shubuh di kabin
kereta. Lantas langsung meluncur menuju
bandara. Menumpang subway Paris-Bandara. Segera check-in.
"Kau sudah menelepon Yashinta, lagi?"
Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk,
"Tetapi, tetap tidak ada nada
sambungnya…." menelan ludah.
Ikanuri menghela nafas
panjang. Nah, setelah nyaris sepuluh
jam tidak berhasil menghubungi Yashinta, dia akhirnya ikut
cemas. Tidak ada nada sambung? Selama itu kah? Kemana pula anak itu di
waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih di puncak Semeru? Mengamati
alap-alap kawah? Tidak mungkin sinyal telepon
genggam satelitnya tidak menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana
anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif? Kehabisan baterai?
Tidak mungkin. Yashinta pendaki gunung
profesional. Ia selalu membawa baterai cadangan.
"Kau sudah telepon Goughsky?" Ikanuri
teringat
Wibisana seperti tersadarkan.
Kenapa tidak terpikirkan sejak tadi? Semua
kepanikan ini membuat kepala mereka tumpul.
Ya! Goughsky. WNI keturunan Uzbekistan itu
kolega Yashinta di lembaga konservasi, Bogor.
Tiga tahun terakhir, di mana ada
Yashinta, di situ juga ada Goughsky. Dan
sebaliknya. Mereka kompak tidak hanya
urusan konservasi. Lebih dari itu.... Meski
sayangnya enam bulan terakhir hubungan
mereka berantakan. Bermasalah. Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta.
Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa untuk memastikan di mana
Yashinta sekarang
Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana. Sebenarnya
inilah urusan paling pelik dari hubungan
kakak-adik yang mengesankan tersebut.
Saat kehidupan lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan
lebih besar diluar Lembah Lahambay tiba, saat
itulah mereka menyadari jika Kak Laisa
semakin 'tertinggal' dibelakang. Bukan. Bukan
soal pendidikan, toh, meski tidak sekolah
Kak Laisa tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan
melakukan hal-hal besar, toh meski tetap di lembah, Kak
Laisa sungguh tetap bisa melakukan hal-hal
besar, Kak Laisa bahkan berhasil merubah
wajah seluruh lembah. Kesejahteraan penduduk,
pendidikan anak-anak, akses atas kesempatan. Dan
tentu saja juga bukan soal
materi dan sebagainya, karena jelas Kak Laisa boleh
menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.
Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta,
instalasi listrik pertama akhirnya terpasang di rumah-rumah
kayu. Mahasiswa KKN itu membuktikan kalau
bantuan dari kampus tidak omong-kosong. Maka
terang-benderanglah lembah tersebut. Bukan main.
Anak-anak yang selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan
larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap menatap bohlam
lampu belasan watt. Berpendar-pendar. Seperti
melihat pesawat UFO mendarat, dengan mahkluk
angkasa di dalamnya (ini celetukan Ikanuri
yang asal ngarang saat pertama kali melihat
bohlam lampu di surau). Kincir air
itu berfungsi ganda, dengan generator yang
terpasang, sekarang sekaligus menjadi pembangkit
tenaga listrik.
Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak
mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu. Sesuatu yang berguna. Tapi lebih
banyak lagi yang dipelajari Kak Laisa. Selepas mahasiswa KKN
itu pulang ke kota provinsi, Laisa
membujuk Mamak untuk mulai menanam strawberry di
kebun mereka. Laisa nyaris menghabiskan satu minggu untuk membujuk
Mamak.
"Aku tidak akan
membiarkan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan
Yashinta putus sekolah karena mengganti tanaman
di kebun, Mak. Aku tahu, kalau aku
gagal, mereka bisa putus sekolah kehabisan
bayaran, tapi sungguh aku tidak ingin
itu terjadi.... Aku ingin melakukannya, karena
justru dengan beginilah kita akhirnya
berkesempatan memiliki uang yang cukup buat
sekolah Dali di kota kecamatan tahun
depan.... Lais mohon, ijinkan Lais menanam buah
itu." Kak Lais, menyeka
wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan.
"Kita tidak pernah
menanamnya, Lais...." Mamak menatap
lamat-lamat wajah sulungnya. Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin
dengan Laisa. Tetapi menanam strawberry di lembah ini? Bahkan Mamak baru
kali itu mendengar ada buah yang bernama strawberry.
"Laisa sudah mencatatnya,
lihat, Mak! Kakak-kakak itu bilang banyak
hal. Lihat. Laisa bahkan menggambar banyak petunjuk dari
kakak-kakak mahasiswa..." Laisa memperlihatkan buku tulis butut sisa
sekolahnya tujuh tahun silam.
Tulisan-tulisan yang jelek dan kecil.
Ilustrasi-ilustrasi seadanya. Tidak susah menyiapkan
polybag, bibit-bibit, hingga menjualnya ke
kota kecamatan. Kata kakak-kakak itu, buah
strawberry mahal sekali di supermarket kota
provinsi, harus didatangkan dari negara lain
pula. Lembah mereka cocok untuk menanam
strawberry. Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan tanahnya
subur. Laisa berbinar-binar memperllihatkan angka-angka. Perhitungan keuntungan
yang lebih besar dibanding menanam jagung, atau padi.
Tubuh Laisa yang hanya setinggi dada
Mamak terlihat bergerak-gerak antusias. Maka, karena Mamak tak
kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan strawberry setelah
panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko. Dalimunte tidak
banyak berkomentar. Ikanuri dan Wibisana nyengir, sepertinya
lebih mudah mengurus polybag-polybag ini daripada
menyiangi gulma setiap hari, bukan? Hanya
Yashinta yang berseru-seru riang, melihat
gambar-gambar buah strawberry sepertinya buah
merah ranum mereka akan lucu-lucu. Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah.
Sungguh tidak mudah. Meski ia memiliki pengetahuan
bagaimana menanam strawberry, namun mengurus ratusan
polybag bukan pekerjaan gampang. Delapan
bulan berlalu, kebun strawberry itu gagal total.
Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh lagi buahnya busuk
saat diangkut ke kota kecamatan untuk
dibawa ke kota provinsi. Itu terjadi saat
Dalimunte menjelang ujian
akhir. Kabut buram menggantung di mata
Kak Laisa. Bagaimanalah? Aduh, situasi jadi
amat muram. Meski Mamak sekalipun tidak menyalahkannya,
Kak Laisa belakangan lebih banyak
menghabiskan waktu memandangi separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam.
Kosong dengan batang strawberry yang layu. Panen jagung sisa setengah lahan
mereka juga ternyata buruk. Gerimis membasuh lembah.
Laisa berdiri mematung. Sendirian di tepi
ladang. Tubuh gempal dan pendek itu basah.
Senja membungkus ladang. Langit mulai
gelap, lembayung jingga tenggelam di balik
Gunung Kendeng. Satu dua burung
layang-layang terbang menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru
menambah senyap suasana.
"Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa
menoleh. Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk.
Lantas sedikit ragu-ragu menyerahknn daun pisang.
Laisa menggeleng. Sudah basah. Biarkan saja. Dari tadi
siang ia di kebun. Menatap kegagalannya.
Sengaja belum pulang meski adzan maghrib sebentar
lagi terdengar. Ia amat enggan pulang. Hari ini Dalimunte menerima
hasil ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang
buat Yashinta yang mulai masuk kelas dua,
dan Ikanuri serta Wibisana yang menginjak
kelas lima. Tapi tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan
sekolah di kecamatan. Senyap. Dalimunte ikut melepas
daun pisang dikepalanya. Membiarkan tubuhnya
basah seperti Kak Laisa. Berdiri di sebelah
Kak Laisa, ikut menatap kebun mereka.
Onggokan kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah.
Begitu anggun di garis horizon lembah. Lengang tiga menit. Hanya gerimis
yang terus membasuh dinginnya tanah.
"Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi
tahun depan...." Dalimunte berkata pelan, antara terdengar dan
tidak. Menunduk, menggigit bibirnya. Laisa menoleh. Dalimunte
sudah lebih tinggi darinya sekarang.
Setahun berlalu sejak kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan
Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa. Mereka berdiam diri lagi.
"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak
senang sekolah. Sungguh — " Dalimunte berkata
serak. Dia membuang ingus. Dari lima
bersaudara, Dalimunte-lah yang paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja
di kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak
tidak usah sedih...." Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya.
"Dali kan bisa
belajar dari mana saja. Pinjam buku.
Tidak mesti sekolah. Dali tidak harus membuat
Kakak susah—"
"kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong
suara adiknya.
"Dali tidak ingin sekolah. Dali
tidak ingin membuat Kak Lais sedih. Tak ingin lihat
Mamak kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap sekolah!" Laisa
memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara serak.
Tapi kalimat itu terdengar hambar, tidak
setegas seperti biasanya. Bagaimanalah? Untuk membayar uang
pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota kecamatan.
Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu?
"Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH—"
"DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar.
"Kau tetap sekolah Dali!" Dalimunte
terisak, mengusap matanya.
Tertunduk dalam-dalam.
Lihatlah, gara-gara dia harus sekolah Kak
Laisa harus bekerja sepanjang hari di
ladang. Kenapa hanya Kak Laisa yang bekerja keras. Dali
juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus sekolah. Rinai
air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte.
"Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi
kau harus terus sekolah, Dali...." Laisa berbisik pelan memecah
sedan.
"Jika Mamak tidak
punya uang tahun ini, maka Mamak
akan punya tahun depan... paling lambat
tahun depan kau harus kembali sekolah...
Kau dengar kakak... kau dengar
kakak, Dali? Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh—" Laisa
mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak
ingin menangis di depan Dalimunte.
Lihattah, sebenarnya kalau
kalian tidak terbiasa dengan pemandangan
ini, maka kalian akan menduga, justru Laisa
lah yang menjadi adik dari Dalimunte.
Padahal mereka hanya berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh
Laisa tidak akan tumbuh lagi. Dalimunte membuang ingusnya.
"Ayo, kita pulang—" Kak
Laisa pelan menarik tangan Dalimunte,
tersenyum tulus. Tadi sepanjang hari ia
benar- benar bersalah atas keputusannya mengganti
tanaman di ladang delapan bulan silam.
Seharian Laisa pergi ke kebun karena tidak kuasa
menunggu Dalimunte di rumah membawa kabar kelulusannya
seperti Mamak dan yang lain. Tetapi
gerimis ini menumbuhkan satu pemahaman baru baginya.
Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru. Tidak. Tentu
saja urusan ini berbeda dengan dirinya
dulu. Dalimunte selalu memiliki kesempatan untuk
kembali sekolah. Tidak sekarang, tahun
depan dia akan kembali melanjutkan sekolah di kota kecamatan.
Sepanjang ia terus bekerja keras demi adik-adiknya. Kesempatan itu pasti akan
datang.
"Berapa nilai rata-rata ujian
akhirmu?" Laisa bertanya, sambil berjalan menyusuri jalan setapak
yang sekarang licak oleh lumpur.
Dalimunte pelan menyebutkan
angka, berusaha mengimbangi langkah gesit
kakaknya didepan. Ujung-ujung semak bergoyang
terkena gerakan mereka. Memercikkan bulir air
yang menggelayut di ujung-ujung daunnya. Benang
sari bunga belukar luruh, menerpa
anak rambut. Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada
yang bertanya siapa paling pintar didunia ini, siapa paling pandai,
maka ia akan menjawabnya dengan bangga itulah Dalimunte, adiknya.
SEBENARNYA dengan segala
keterbatasan Mamak, ada solusi yang lebih
baik agar Dalimunte tetap bisa melanjutkan
sekolah di kota kecamatan. Ikanuri
dan Wibisana yang memang malas sekolah
dengan sukarela menawarkan diri berhenti.
Tapi demi mendengar kalimat itu, Kak Laisa langsung melotot galak.
Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah, maka mereka tidak akan pemah
kembali lagi. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta yang masih kecil,
malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan crayon
12 warnanya,
"Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki
kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak perempuan. Biar Yash yang
berhenti...." Membuat ruang depan rumah kayu
butut itu lengang. Mamak pelan mengusap
wajahnya.
Kak Laisa menelan
ludah. Senyap. Tidak. Solusi
terbaik, tetap Dalimunte yang menunda sebentar
sekolahnya. Mamak membiarkan Laisa kembali
menanami ladang mereka dengan strawberry, kali ini
malah membiarkan seluruhnya ditanami.
"Belajar dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa
yang harus Laisa lakukan sekarang." Mamak tidak kuasa mencegah niat
bulat sulungnya, apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi kepalang
tanggung, sukses atau gagal seluruhnya. Kak
Laisa menanami kembali seluruh kebun mereka dengan
strawberry.
Wak Burhan yang mencoba
menasehati Laisa juga mengalah. Laisa tetap
keukeuh memesan bibit strawberry ke universitas
tempat kakak-kakak KKN dulu. Kebun mereka terlihat
amat berbeda dibandingkan yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut
prihatin, bagaimana mungkin lembah ini ditanami
stober? Stowber? Beri-beri? Ah, menyebut namanya saja
mereka susah. Laisa benar, ia belajar banyak dari kesalahannya.
Empat bulan berlalu,
setelah hari-hari terpanggang matahari saat
menyiapkan polybag-polybag baru; mengejar-ngejar
Ikanuri dan Wibisana yang masih saja
bandel bolos sekolah; memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag,
meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang sibuk mencuri mangga,
membersihkan gulma dan hama, (dan
lagi-lagi mengejar-ngejar Ikanuri dan Wibisana yang
tidak kapok-kapoknya bolos sekolah) lepas musim
penghujan yang dulu menggenangi polybag, kabar
baik itu akhirnya tiba. Empat ratus
pohon strawberry merekah subur dari
kantong-kantong plastik hitam. Bukan main.
Empat bulan berlalu lagi, hari-hari dihabiskan dengan
kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan magrhib
terdengar, telaten merawat satu demi satu
batangnya. Mencurahkan seluruh perhatian ke kebun satu hektar itu. Dan
Mamak akhirnya tersenyum lebar, buah-buah merah ranum
mulai bermunculan dari batang-batangnya. Membuat
seluruh penduduk kampung tercengang. Belum
pernah mereka melihat buah seindah itu.
Yashinta yang paling girang. Menghabiskan
sore selepas sekolah dengan menghitungi satu
demi satu buahnya. Malah membawa-bawa
kertas. Dicatat satu persatu perpohon. Ikanuri dan Wibisana?
Standarlah, mereka juga sibuk mencuri buah-buah strawberry
yang mulai matang...
Dalimunte yang sekarang
punya waktu lebih banyak membantu Mamak
dan Kak Laisa, mengambil perannya saat buah
merah ranum strawberry siap dipanen. Ia
menyiapkan teknologi pengalengan sederhana. Dengan
gentong-gentong besar dari tanah yang banyak dijual
di kota kecamatan. Jadi tak ada lagi
buah yang busuk ketika tiba di kota
provinsi. Sukses besar. Meski Ikanuri dan
Wibisana mencuri buah-buah itu hingga
sepuluh kilo setiap hari selama dua tahun, tetap tidak akan
habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak dari kota
provinsi berbaik hati mengirimkan truk
pengangkut, seminggu setelah menerima surat dari Laisa. Kabar
baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay. Satu tahun
berlalu. Usia Kak Laisa sekarang sudah
menjelang dua puluh tahun. Dalimunte empat
belas, Ikanuri sebelas (hampir dua
belas), Wibisana sebelas (baru lewat sepuluh), dan
Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja
keras, dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah
tersebut.
"Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa
menoleh, tersenyum lebar melihat Dalimunte
melangkah mendekat.
Adiknya mengulurkan payung.
Ikut tersenyum. Seekor elang terbang
berputar di tengah larik bulir hujan. Langit mulai
gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan. Satu dua buah
sisa panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum.
Kemilau kristal air menambahi kesan indahnya.
"Kau sudah pulang
dari kota kecamatan?" Dalimunte
mengangguk mantap.
Tadi dia dan Mamak
mendaftar sekolah. Sekalian membeli banyak
barang keperluan. Seragam baru buat Yashinta. Sepatu
baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa. Sudah
lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli
barang loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
"Kalau Dali sekolah
minggu depan, berarti Dali tidak bisa
bantu Mamak dan Kak Lais lagi...." Dali menunduk,
berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
"Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa
berkata ringan.
"Tapi, Dali setiap
shubuh harus menumpang starwagoon, baru
pulang lepas magrhib. Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
"Kau tetap bisa
membantu, Dali. Dengan belajar sungguh-sungguh.
Dengan nilai-nilai yang baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan
semua itu." Kak Laisa menggenggam lengan
adiknya. Menatap wajah Dalimunte yang
sekarang lima belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam,
menggigit bibir.
"Berjanjilah—" Dalimunte mengangguk.
Mengusap ujung-ujung matanya.
"Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak
Laisa berkata lirih. Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte. Dalimunte
beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa.
"Kau, kau sungguh adik yang amat
membanggakan...." Kak Laisa menatap
Dalimunte lamat-lamat. Tersenyum. Bercak darah
mengalir lagi. Intan lembut menghapusnya.
"Lihatlah.... Siapa yang
paling pandai di keluarga kita? Siapa
yang paling pintar? Kau, Dalimunte. Babak
pasti bangga padamu. Dan kau, kau
selalu menepati janjimu.... Belajar, bekerja keras,
bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan
"Kau punya istri yang cantik. Anak yang
manis dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu. Semua itu seharusnya membuat
kau tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini— " Kak Laisa tertawa
kecil, lantas terbatuk.
"....Itu semua karena Kakak... itu semua
sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya. Kak Laisa
tersenyum tulus. Terus menggenggam lengan Dalimunte dengan
sisa-sisa tenaga,
"Maukah kau menceritakan
penelitian terbarumu pada Kakak? Biar Kakak
mendengarkan... Yang tentang apa?—" Kak Laisa terbatuk.
Bersitatap satu sama lain. Lima belas detik. Dalimunte
mengangguk perlahan. Pelan menarik nafas.
Berusaha mengendalikan emosi. Bahkan dalam
kondisi yang menyedihkan, Kak Laisa tetap
tidak berubah. Selalu ingin mendengar apa
yang sedang dikerjakannya. Apa yang sedang
dilakukannya. Cie Hui, membantu Mamak kembali
duduk di kursi. Intan beringsut naik
ke atas ranjang besar. Biar lebih leluasa membersihkan
setiap kali bercak darah keluar dari bibir. Meski Kak Laisa
tidak mengerti, karena semakin ke sini apa yang dikerjakan
Dalimunte semakin rumit baginya. Meski Kak
Laisa tidak paham sedikitpun, tapi ia
selalu ingin mendengar apa yang sedang
dilakukan Dalimunte. Menatap wajah Dalimunte
yang selalu antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan. Tetap
sama seperti dua puluh tahun silam. Masa-masa ketika akhirnya Dalimunte
menyadari satu hal. Kak Laisa yang semakin tertinggal di belakang.
TIGA TAHUN berlalu sejak panen pertama kebun
strawberry yang sukses besar. Luas kebun itu mekar menjadi
lima kali lipat. Mamak dan Kak Laisa dengan keleluasaan uang
yang ada mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan
remaja tanggung tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak
Burhan dan tetangga lainnya, satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan
strawberry, mencoba peruntungan, tapi mereka tidak setelaten Kak Laisa. Tiga
tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun.
Dalimunte tujuh belas, menjelang ujian akhir di sekolah lanjutan
pertamanya. Beranjak melewati masa-masa remaja tanggung. Dan
seperti halnya remaja tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata cinta
dan romantisme. Serba tanggung. Ikanuri dan
Wibisana juga beranjak remaja, sudah sekolah
di kota kecamatan. Kelas satu. Umur
mereka empat belas. Prospek sekolah di kota
kecamatan benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu
artinya mereka bisa naik starwagoon setiap
hari tanpa perlu diteriaki Mamak lagi.
Dan yang lebih penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun
karena mereka baru pulang saat starwagoon itu kembali ke lembah menjelang
senja. Sementara Yashinta sudah menjejak kelas enam sekolah dasar. Tubuhnya
bongsor, sekarang lebih tinggi dibandingkan
Kak Laisa. Yashinta tumbuh menjadi gadis
kecil yang amat manis. Rambut panjangnya
dikuncir rapi. Kulitnya kuning langsat. Ia
terlihat amat berbeda di rumah panggung
yang mulai diperbaiki di sana sini. Sementara
Mamak rambutnya sudah mulai beruban. Kulit
Mamak legam seperti Kak Laisa, karena terpanggang
matahari saat mengurus kebun strawberry.
Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak Laisa
bersama-sama yang lain berangkat ke kota provinsi. Melihat
Dalimunte mengikuti lomba karya ilmiah.
Gedung serba guna universitas kota provinsi
itu ramai oleh pengunjung. Dipadati oleh berbagai
peralatan hasil rakitan. Ikanuri dan Wibisana
entah dari tadi pagi menghilang kemanalah.
Yashinta menggandeng Mamak, beserta Kak Laisa berjalan
mengelilingi gedung. Melihat satu demi satu stand yang dipenuhi
peralatan peserta lomba. Mereka berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak
Laisa mengerjap-ngerjap terpesona,
"Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa,
Dali?" Dalimunte tersenyum.
Kak Laisa selalu peduli
dengan apa yang dikerjakannya. Selalu bertanya.
Ingin tahu, meski kadang tidak terlalu
mengerti apa yang sebenarnya Dalimunte jelaskan.
Yashinta dan Mamak berdiri mendekat. Ikut
mendengarkan. Tapi sebelum Dali sempat
menjelaskannya, Ikanuri dan Wibisana mendadak
masuk ke dalam stand. Berseru sambil
menarik kuncir rambut Yashinta. Tangan
Yashinta yang berusaha memukul tangan jahil
Ikanuri malah menghantam rakitan Dalimunte.
Pyar! Rakitan alat fermentasi buah strawberry itu roboh
seketika. Berserakan.
"IKANURI, WIBISANA, bisa nggak sih kalian
sehari saja tidak nakal?" Kak Laisa mendesis marah.
Wajah-wajah pengunjung lainnya
tertoleh. Ingin tahu keributan
yang sedang terjadi. Dalimunte
pias melihat rakitannya roboh.
Berusaha membenahi. Dibantu Yashinta setelah mengaduh kaget
dan menimpuk Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu. Seorang gadis remaja
tanggung dari kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu membenahi
serakan logam dan kayu. Seketika muka
Dalimunte yang pias memerah. Amat merah.
"Cie Hui? Kau... kau juga datang?"
Berkata terbata.
Gadis tanggung berbilang
enam belas tahun itu tersenyum manis.
Wajah keturunannya juga merekah merah, tersipu,
mengangguk. Dan Dalimunte sontak kehabisan
kata. Cie Hui teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah,
Dalimunte seperti anak-anak lain, tidak peduli sepintar apapun dia, tetap
tumbuh menjadi remaja tanggung dengan segala dunianya. Setahun terakhir,
Dalimunte mulai merasakan cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan
itu. Kerusakan akibat kenakalan Ikanuri dan
Wibisana tidak berakibat fatal. Rakitan Dalimunte toh
sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang berasal
dari sekolah lanjutan atas). Tapi sepanjang perjalanan
pulang, Ikanuri dan Wibisana yang jahil terus
menggodanya soal Cie Hui. Dasar Dalimunte,
semakin digoda, semakin terbukalah semuanya.
Mukanya merah padam. Berkali-kali berusaha
menghindar. Percuma. Bahkan Yashinta yang selama ini tidak pernah
jahil, ikut-ikutan nyeletuk,
"Emangnya kakak sudah boleh pacaran,
ya?" Membuat Mamak ikut tertawa.
"Apa kau
menyukainya?" Kak Laisa bertanya saat
mereko berdua di kebun strawberry beberapa hari
kemudian. Muka Dalimunte langsung merah padam.
"Kakak hanya memastikan,
kau tidak perlu menjawabnya" Kak Laisa
tersenyum simpul.
Meneruskan memotong ranting-ranting batang
strawberry yang menguning. Hari-hari itu Dalimunte menyadari sesuatu. Dia
memang menyukai Cie Hui sejak pertama kali mengenalnya. Cinta
pertamanya. Tapi kesadaran itu mendatangkan
pemahaman yang lebih besar, lebih penting: Kak Laisa. Apakah Kak
Laisa pernah jatuh-cinta sepertinya?
Kesadaran itu mencungkil
berbagai potongan dialog yang dulu dianggap
Dalimunte biasa-biasa saja. Berbagai percakapan tetangga. Amat tidak
lazim, Kak Laisa yang sekarang sudah berumur dua puluh tiga
tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis menikah di usia
delapan belas. Mamak dulu juga menikah di umur segitu.
Tetapi Kak Laisa sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada
tanda-tanda akan segara menikah. Gadis tua. Itu istilah
yang disematkan ke perempuan yang lepas
dua puluh belum juga menikah di Lembah
Lahambay. Dalimunte menatap lamat-lamat punggung
Kak Laisa. Hamparan kebun strawberry itu
lengang. Beberapa pekerja sibuk mengurus
batang-batang strawberry Beberapa menyusun polybag
baru. Memasukkan pupuk kandang. Menyiapkan bibit. Gadis
tua. Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah
Kak Laisa pernah jatuh cinta sepertinya?
Apakah Kak Laisa tidak terganggu dengan
bisik-bisik itu? Inilah sebenarnya urusan paling
pelik yang menyergap hubungan mengesankan
kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.
"KAK LAIS bilang aku
bisa sekolah di mana saja. Aku tidak
mau sekolah di sini. TIDAK MAU!" Yashinta merajuk.
Matanya melotot. Laisa mencengkeram lengannya. Bersitatap satu sama
"YASH TIDAK MAU SEKOLAH DI SINI!" Laisa
tidak mengendurkan cengkeramarmya.
"Yash tidak mau sekolah di sini... Yash
mohon, jangan paksa Yash..." Yashinta mulai menangis. Tertunduk.
Laisa menelan ludah. Lembut menatap wajah
adiknya. Ia baru saja mengantar Yashinta
mendaftar sekolah di kota kecamatan.
Setahun lagi berlalu. Sekarang giliran Yashinta.
Tadi semangat sekali berangkat menumpang truk angkutan
strawberry. Semangat melihat hamparan luas halaman sekolah lanjutan pertama
itu. Di sini pula Ikanuri dan Wibisana
sekolah. Kelas tiga. Sedangkan Dalimunte sudah melanjutkan
sekolah di kota provinsi. Meski tidak juara, lomba karya ilmiah, itu memberikan
kesempatan meneruskan sekolah di sekolah lanjutan atas terbaik kota provinsi.
Beasiswa.
"Yashinta marah dengan orang di dalam
tadi?" Yashinta diam, Menggigit bibimya.
"Yash marah?" Yashinta
mengangguk. Pelan. Bagaimanalah ia tidak
akan marah. Ketika formulir pendaftarannya akan
ditandatangani Kak Laisa, petugas itu kasar menegur,
"Harus orang tua atau wali murid yang
menandatangani, bukan pembantu yang mengantar—"
"Ia kakakku—" Yashinta yang menjawab.
"Bagaimana mungkin ia kakakmu?" Petugas
itu menatap keheranan. Lihatlah, Yashinta yang bongsor
sejengkal lebih tinggi dibanding Kak Laisa. Apalagi wajah Yashinta
yang amat manis. Dibandingkan dengan
adiknya, Kak Laisa memang lebih mirip seseorang
yang disuruh mengantar.
"Ia kakakku—"
Yashinta menjawab ketus, tersinggung dengan
tatapan petugas. Meski umurnya baru dua
belas tahun, Yashinta mengerti benar soal
beginian. Soal tatapan mata seperti ini. Kalimat-kalimat
seperti ini. Ia berkali-kali mengalaminya.
"Kakakmu? Kalian sungguh berbeda. Ia lebih
pend... Baiklah-" Maka Yashinta merajuk, berlari ke
luar ruangan pendaftaran. Melempar formulir pendaftarannya.
Tidak. Tidak ada yang boleh menghina
kakaknya. Ia tidak akan sekolah di sini. la bisa
sekolah di mana saja ia mau, tapi bukan di sini.
“Yash seharusnya tidak
marah. Yash seharusnya terbiasa" Kak
Laisa duduk di sebelah. Ikut bersandarkan kursi
panjang. Menghela nafas. Mendekap bahu adiknya. Yashinta hanya diam.
Meletakkan tas barunya.
Minggu lalu, dan juga
minggu-minggu lalunya, waktu ia bermain-main
bersama anak tetangga di lembah, beberapa
remaja tanggung juga seringkali menunjuk-nunjuknya. Berbisik.
Tertawa. Yash tahu apa yang sedang
mereka bicarakan. Mereka pasti senang membanding-bandingkan
ia dengan Kak Laisa. Maka marahlah Yashinta. Melempar
mereka dengan butiran tanah. Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang
kebetulan lewat terpaksa turun tangan.
"Mereka menghina Kak Lais, Wak!"
Yashinta mengadu marah.
Wak Burhan mengusap
rambut panjang Yashinta. Tersenyum bijak.
Sejak dulu, anak-anak kampung memang
suka memperolok-olok Laisa. Hanya
saja karena Yashinta masih terlalu kecil
sajalah, hingga Yashinta tidak menyadarinya.
Remaja-remaja tanggung itu sedang senang-senangnya
rumpi. Mengolok-olok. Laisa yang berbeda
dengan anak-anak Mamak Lainuri lainnya. Laisa yang berbeda dengan
penduduk kampung lainnya. Bahkan sekali-dua meski
dengan intonasi berbeda orang dewasa di
lembah itu juga suka membicarakan Laisa yang
belum menikah-menikah juga, Wak Burhan
malah juga pernah berkunjung, berbicara dengan Mamak
Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah.
"Yash seharusnya terbiasa. Lihat, Ikanuri
dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa—"
"Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta
memotong.
" Mereka hanya merasa heran—"
"Mereka menghina. Yash tidak
suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak mau sekolah di sini!"
Yashinta menjawab ketus. Laisa tersenyum.
Suka atau tidak, mau
atau tidak, Yashinta harus membiasakan diri.
Seperti Ikanuri dan Wibisana yang tidak peduli dengan olok-olok
itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak pernah mendengarkan sedikitpun
olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya. Tidak ada manfaatnya.
Adiknya Yashinta harus (segera) terbiasa....
MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai. Kak
Laisa baru saja menyelesaikan renovasi
rumah. Sekarang rumah panggung reot seadanya
itu berubah menjadi bak villa indah.
Masih berlapis kayu, tapi sekarang tanpa lubang-lubang.
Atapnya digantikan genteng, sudah tak
tampias lagi. Hamparan halaman ditanami beludru
rumput dan bonsai pepohonan. Perkebunan
strawberry mereka sekarang sudah puluhan hektar, memenuhi separuh
lembah hingga cadas lima meter sungai. Tidak ada lagi lima kincir bambu
di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari batangan
aluminium dan pondasi beton yang lebih
kokoh. Ada banyak hal besar yang dikerjakan Kak
Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa juga
merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu
juga sudah di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry
berlalu-lalang.
Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di
institut teknologi ternama luar pulau, mudik. Kejutan. Benar-benar
kejutann, Dalimunte pulang bersam Cie Hui.
Gadis keturunan yang dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur
Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan remaja tanggung
lagi. Ikanuri dan Wibisana beranjak delapan
belas, sudah di tahun terakhir sekolah lanjutan atas
kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui, tapi
konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak.
Lagipula Ikanuri dan Wibisana lebih asyik
menghabiskan waktu di bengkel. Mereka memang menyukai
mengotak-atik mesin. Cinta sekali dengan
mobil. Beruntung Kak Laisa berbaik hati
membelikan starwagoon tua, dengan janji mereka tetap akan
meneruskan kuliah di kota provinsi tahun depan.
Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang
sudah lima belas. Setahun lagi harus melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia
tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah dibencinya. Meski tidak
kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik Laisa
juga sebenarnya jauh berkurang karena meski
dengan segala keterbatasannya, fakta Laisa
melakukan banyak hal untuk lembah,
anak-anak yang bersekolah, bantuan menanam strawberry
di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik. Jadi
penduduk kampung walau tetap membicarakan
Laisa yang hingga usia dua puluh tujuh tahun
tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari jalan
keluar.
"Cepat atau lambat juga akan datang,
Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak mengajak
membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya).
"Lihat, Wak Burhan
besok akan menikah untuk kedua kalinya.
Padahal umurnya sudah delapan puluh! Cepat atau lambat giliran
Laisa pasti akan tiba pula, bukan?" Kak Laisa tertawa.
Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan
janda tua dari desa atas. Umur calon istri Wak Burhan
berbilang enam puluh tahun, sudah bercucu
sebelas. Malam itu, mereka ramai-ramai berkumpul
di rumah untuk menyiapkan keperluan acara
besok. Wak Burhan masih terhitung kakak
sepupu Mamak. Jadi rumah panggung mereka
jadi tempat 'mempelai perempuan' bersiap-siap. Yashinta
ditemani Cie Hui memasang hiasan-hiasan
janur. Penduduk kampung itu sibuk. Minggu-minggu
selepas lebaran, memang waktu yang tepat
melangsungkan hajat besar. Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya
menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda lainnya menyiapkan panggung
acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah terbiasa menangani
tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya,
"Jadi kapan Lais akan menyusul?" Laisa
hanya tersenyum simpul.
Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa
selalu membantu mengerjakan banyak hal. Terbiasa dengan
kalimat prihatin, gurauan, bahkan bisik-bisik
tetangga. Menjawab dengan senyuman, kalimat
ringan, atau ikut tertawa. Tapi apakah
Laisa seringan itu menghadapi fakta bahwa
ia belum menikah-menikah juga? Dalimunte
tahu persis jawabannya. Seperti malam itu,
saat semua jatuh tertidur kelelahan lepas
menyiapkan keperluan acara besok. Larut malam. Bintang Indah
bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh cahaya bohlam
lampu di bawah dan cahaya bintang di langit.
"Kak Lais belum tidur?" Laisa
menoleh, tersenyum. Dalimunte melangkah,
mendekat. Laisa berdiri di depan bingkai jendela
yang dibuka lebar-lebar.
"Bulan yang indah, bukan?" Kak Lais
menunjuk ke atas.
Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu,
Kak Laisa tidak menghabiskan waktu setengah jam dini
hari seperti ini hanya untuk menikmati
menatap rembulan. Bersenyap
seorang diri pukul dua
pagi. Tentu ada banyak hal yang
sedang dipikirkannya. Kalimat-kalimat tetatngga.
Usianya yang sebentar lagi tiga puluh.
Entahlah. Tapi Kak Laisa selalu ingin
terlihat semua baik-baik saja di depan
adik-adiknya. Sejak setahun lalu, Dalimunte ingin
sekali menanyakan hal tersebut.
"Apakah kau menyukai Cie Hui?" Kak
Laisa justru yang mendahuluinya bertanya. Muka Dalimunte memerah. Tersipu.
"Ergh, maksud Kak Lais?"
"Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian
tidak pacaran. Hanya teman dekat—" Kak Laisa tertawa kecil.
"Aneh, bukan? Bagaimana mungkin gadis itu
mau bermalam di sini tanpa hubungan penting di antara kalian?" Dalimunte
nyengir, mengusap wajahnya yang semakin
memerah. Benar. Mereka belum sekalipun bilang
soal perasaan itu. Mereka amat dekat,
itu benar. Tapi ikrar saling suka itu belum
terucap. Bagaimana dia akan melakukannya jika Kak Laisa belum?
"Cie Hui gadis yang
cantik. Ia juga baik. Ia mudah sekali
akrab dengan Mamak dan Yashinta." Kak Laisa bergumam,
menatap wajah Dalimunte yang salah-tingkah,
"Dali, kau seharusnya tidak membuat Cie Hui
menunggu lama—"
TETAPI DALIMUNTE kali ini memutuskan untuk bebal.
Dalimunte tidak mendengarkan kata-kata Kak
Laisa. Dalimunte benar-benar membuat Cie Hui menunggu
lama, terlalu lama malah. Tujuh tahun
berlalu. Dan dia belum juga mengatakan
perasaan itu. Meski hampir setiap pulang
ke Lembah Lahambay, Cie Hui ikut serta. Bahkan
gadis keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak menjadi
anggota keluarga.
Lulus dari institut
teknologi ternama itu, Dalimunte melanjutkan
sekolah di universitas terbaik di Amerika.
Mendapatkan beasiswa selama tiga tahun
untuk menyelesaikan jenjang doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu
bahkan Cie Hui lebih banyak lagi menghabiskan waktu di perkebunan
strawberry. Menginap lama di sana. Ikut
membantu Kak Laisa dan Mamak mengurus kebun.
Dua tahun sejak pulang dari Amerika,
dan memutuskan bekerja di laboratorium institut
teknologi ternama, Dalimunte tetap tak
kunjung mengatakan perasaannya. Cie Hui hanya bilang,
"Kami hanya teman biasa, Mak!" setiap
kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan.
"Apa sebenarnya yang kau
tunggu, Dali?"
Itu juga pertanyaan berkali-kali
yang disampaikan Kak Laisa setiap dua
bulan jadwal Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan Dalimunte
hanya diam, tidak menjawab. Tentu saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta
pertamanya. Tetapi urusan ini tidak mudah. Pelik. Dia
sungguh tidak akan pernah bisa mengambil
keputusan sepenting itu
sebelum Kak Laisa
menikah. Tabu sekali di lembah itu
jika ada adik yang mendahului kakaknya menikah.
Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup.
"Kau tidak harus menunggu aku,
Dali!" Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte.
Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri di
lereng lembah, menatap bintang-gemintang. Di
antara ribuan polybag strawberry. Malam itu, umur Kak
Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh. Janji kehidupan yang
lebih baik di luar lembah sudah
sepenuhnya tiba. Dan kehidupan di lembah
sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak mereka. Mereka
selepas isya tadi, habis melakukan syukuran
besar di rumah. Lulusnya Ikanuri dan
Wibisana. Akhirnya, dua sigung nakal itu
menyelesaikan kuliahnya. Warga kampung berkumpul. Tidak ada
lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan semacam
itu seperti mereka sering berkumpul di balai kampung
dulu. Kehidupan di lembah jauh lebih baik sekarang.
"Kami lulus sarjana saja itu sudah menjadi
keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi jangan paksa kami untuk ambil
S2 seperti Dalimunte — "
Ikanuri tertawa saat Kak
Laisa menyuruh mereka melanjutkan sekolah
lagi. Dan itu benar, beberapa minggu
kemudian dari kelulusan universitas kota
provinsi, dua sigung itu lebih memilih
sibuk dengan hobi kecil mereka dulu. Membongkar-bongkar
mesin mobil. Mereka sekarang punya bengkel besar di kota provinsi.
Kak Laisa yang memberikan modal. Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi
gadis yang menawan. Cantik luar biasa. Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua
di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini ia juga
pulang. Lihatlah, Yashinta, dengan rambut
tergerai panjang, mata hitam indah dan tubuh
tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras
dengan Kak Laisa. Gadis itu juga tumbuh
dengan pemahaman yang baik
atas hidup. Mencintai kehidupan sekitar. Menghabiskan waktu dengan
kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan, konservasi alam. Setiap kali
ia pulang, itu saja dengan berhari-hari
menghabiskan waktu dihutan rimba dekat lembah.
Menginventarisir satwa di dalamnya. Hasil
jepretan kameranya sudah ribuan lembar. Yashinta amat atletis untuk
urusan ini. Ia bahkan dua kali lebih atletis dibanding Kak
Laisa.
"Kau tidak harus menunggu aku, Dali—"
Kak Laisa menghela nafas panjang. Mengulang
kalimatnya. Memecah lenyap.
Mendekap pinggang Dalimunte yang tiga jengkal
lebih tinggi darinya. Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah?
Dulu Kak Laisa bahkan tega mempermalukan diri sendiri
agar adik-adiknya tidak mendapat malu. Kak
Laisa bekerja-keras di masa kecilnya demi
adik-adiknya. Bagaimanalah dia sekarang sampai
hati mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi aib
besar di lembah. Belum menikah di usia tiga
puluh tiga tahun saja cukup sudah
membuat tetangga banyak bertanya, apalagi jika adik-adiknya
melintas.
"Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan
hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu. Kau tahu, selama
ini ia bahkan lebih banyak menghabiskan
waktu di sini dibandingkan di rumah orang tuanya di
kota kecamatan, bukan?" Tertawa.
Dalimunte ikut tertawa
kecil. Semerbak wangi perkebunan di malam
hari menyergap ujung hidung. Malam sudah
amat larut. Pukul dua pagi. Dia
selalu menemani Kak Laisa menghabiskan malam
setiap kali pulang ke lembah. Menatap
pemandangan lembah yang indah. Dulu waktu
mereka kecil, Kak Laisa juga suka
melakukannya. Dan Dalimunte tahu persis itu.
Dulu Kak Laisa
menghabiskan malam dengan berpikir tentang
sekolah adik-adiknya. Bagaimana mencari uang agar
adik-adiknya tidak putus sekolah. Membantu
Mamak yang setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang?
Dalimunte menghela nafas pelan, Kak Laisa tidak pernah
sekalipun mendapat bagian untuk merasakan
bahagia dalam hidupnya. Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan?
Usianya? Kesendiriannya?
"Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui
menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—" Suara Kak
Laisa kembali memecah sepi.Dalimunte hanya
menatap senyap hamparan kebun strawberry. Urung menanyakan
hal penting tersebut.
Mobil jemputan kedua tiba di Lembah
Lahambay. Juwita dan Delima berteriak-teriak ribut
saat turun. Bertengkar soal sepeda
BMX mereka. Ummi mereka berdua menghela nafas,
berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal
sepeda siapa yang duluan harus diturunkan.
Tetangga yang sedang berkumpul di beranda
rumah panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.
"Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan
dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..." Bang Jogar tertawa, tangan
kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil,
ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil
tersebut. "Nah, adil, kan?"
Juwita dan Delima hanya
nyengir. Bilang terima kasih (setelah
dicubit Ummi masing-masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke
garasi, sebelah rumah. Mereka lagi-lagi berisik saat
naik ke rumah panggung. Ribut soal
siapa yang duluan salaman dengan Eyang
Lainuri dan Wawak Laisa. Saling dorong
saat masuk kamar. Tidak mempedulikan tatapan
tetangga yang sedang mengaji yasin. Tetapi
dua sigung kecil itu seketika terdiam saat
melihat ke dalam kamar. Melihat infus,
belalai, dan peralatan medis lainnya. Menelan ludah.
Benar-benar terdiam.
Juwita dan Delima malah
takut-takut melangkah masuk. Menatap sekitar
penuh tanda-tanya. Aduh, kenapa jadi begini?
Kalau begini mana ada coba acara
keliling perkebunan pakai sepeda BMX. Balapan
dengan Wawak Laisa? Lupa dengan
pertengkaran mereka barusan. Siapa yang lebih dulu menyalami Wak Laisa? Wak
Laisa sedang tidur. Jatuh tertidur saat Dalimunte menceritakan penelitian
Elektromagnetik Antar Galaksi satu jam lalu. Ia awalnya
berusaha mendengarkan dengan sungguh-sungguh,
berusaha untuk mengerti apa yang sedang dijelaskan Dalimunte, tapi
fisiknya semakin lemah, konsentrasinya menghilang, Laisa akhirnya jatuh
tertidur.
Sementara Cie Hui memijat
kaki Mamak yang juga rebahan di kursi
panjang dekat ranjang. Mamak juga lelah setelah hampir seminggu
senantiasa terjaga menemani Kak Laisa. Intan masih duduk
di atas ranjang, sebelah Wak Laisa.
Menatap wajah wawak-nya yang meski pucat pasi, begitu tenang
dalam tidumya. Dalimunte menyalami Jasmine dan
Wulan. Menyilahkan mereka mendekat ke ranjang besar
tersebut. Bang Jogar menyuruh
beberapa pemuda tanggung
membawa plastik tambahan masuk. Dokter memeriksa
ulang panel panel peralatan. Suster menyiapkan beberapa
suntikan dan obat.
"Apakah Kak Lais
akan baik-baik saja?" Wulan sambil
mendekap kepala Juwita (yang mendadak alim) bertanya lirih.
"Aku tidak tahu—" Dalimunte menelan
ludah.
"Apakah Kak Lais akan baik-baik
saja?" Jasmine mengulang pertanyaan serupa. Lebih lirih.
Menggigit bibir. Dalimunte menggeleng. Hening sejenak.
"Ikanuri dan Wibisana sudah di Paris, tadi
sempat telepon—" Dalimunte mengangguk. Memberikan kursi.
Sementara Intan pelan
melambaikan tangannya ke Juwita dan Delima
agar mendekat, duduk bertiga di atas
ranjang besar Wak Laisa. Ketiga gadis
kecil itu, malam ini untuk pertama kalinya
rukun. Mana pernah coba Intan mau
memberikan posisi duduk ke adik-adiknya, selama ini
yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!
WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui
berubah serius sekali. Jika Dalimunte bisa keukeuh bertahan
menunggu Kak Laisa menikah bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak bisa. Cie
Hui. Enam bulan selepas syukuran syukuran
Ikanuri dan Wibisana, Cie Hui datang ke perkebunan
strawberry sambil menangis. Bersimpuh di
pangkuan Mamak dan Kak Laisa. Perjodohan.
Keluarga Cie Hui di kota kecamatan
memutuskan untuk menjodohkan Cie Hui dengan kerabat
mereka di China. Benar-benar rusuh perkebunan itu.
"Aku sudah bilang, Kak Lais.... Aku
sudah bilang ke Dalimunte. Tapi, tapi ia
tetap tidak bisa mengambil keputusan...." Gadis
manis berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa.
"Ayah memaksaku menikah
segera. Kak Lais tahu, di keluarga
kami tidak ada anak gadis yang belum menikah hingga
usiaku. Ayah memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin menikah
denganku.... Jika Dalimunte tidak—" Cie Hui terisak mengadu. Siang
itu juga Kak Laisa menyuruh Dalimunte
pulang ke Lembah Lahambay. Meneleponnya langsungke
laboratorium,
"Kau naik pesawat
pertama dari sana, DALI! Malam ini
juga kau sudah harus tiba di perkebunan
strawberry! KAU DENGAR?" Sudah lama Kak Laisa tidak berkata setegas itu di
hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada Dalimunte yang sejak
kecil menurut. Perintah itu juga menyebar
ke yang lain.
Karena Cie Hui sudah
dianggap seperti anggota keluarga di rumah
panggung itu, Yashinta juga ikut pulang dari kota
provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul. Ruang depan
yang dulunya dipakai Dalimunte, Ikanuri dan
Wibisana tidur beralaskan tikar pandan itu
senyap. Malam itu, hujan gerimis membasuh
lembah. Dalimunte yang terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak
bicara. Yang lain sudah menunggu sejak sore tadi. Cie Hui
masih menenangkan diri di kamar. Tadi
sore, utusan keluarganya dari kota kecamatan memaksa
pulang. Hanya karena Kak Laisa bilang,
"Semua akan baik-baik saja!
Bilang ke Kokoh, tunggu hingga malam ini
berakhir." Kerabat Cie Hui mengalah. Mereka tertunduk.
Pelan menghela nafas. Kak Laisa menatap wajah
adik-adiknya satu persatu. Lamat-lamat.
"Kakak tidak pernah meminta kalian menunggu.
Tidak pernah," Kak Laisa memecah senyap.
Ini kali pertama mereka membicarakan
masalah yang super-sensitif tersebut bersama-sama.
"Dalimunte, kau sudah
dua puluh delapan. Wibisana hampir duapuluh
enam, Ikanuri dua puluh lima, dan Yashinta
dua puluh dua. Kalian sudah tumbuh
begitu dewasa. Tampan dan cantik. Seperti
yang Kakak impi-impikan, kalian tumbuh dan
memiliki kesempatan lebih besar dibandingkan lembah
ini. Tidak menghabiskan hidup hanya menjadi pencari
kumbang dan damar di rimba" Suara Kak Laisa bergetar, membuat
yang lain semakin tertunduk. Di luar gerimis mulai
menderas. Suara bilur air hujan membasuh
rumput, genteng, bebatuan terdengar sakral
menyenangkan.
" Kalian sudah cukup umur untuk mengambil
kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup umur untuk
menikah. Apa lagi yang kalian tunggu?
Dali, bahkan Kakak sudah bilang enam tahun lalu
agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama—" Dalimunte menelan
ludah.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh.
Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan.
Masing-masing memiliki jadwal. Giliran—"
"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak
menikah." Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak
Dali!" Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte.
"Aku tidak akan menikah—"
"Dengarkan Kakak bicara,
Dali!" Kak Laisa menatap tajam. Dalimunte
tertunduk dalam-dalam. Ikanuri dan Wibisana
mengusap wajahnya. Yashinta memeluk Mamak, matanya mulai berair.
"Buat apa kau
memikirkan apa yang dipikirkan orang atas
pernikahan kau. Buat apa kau memikirkan apa
yang dipikirkan orang atas Kakak-mu. Buat
apa kau memikirkan kekhawatiran, rasa
cemas, yang sejatinya mungkin tidak
pernah ada. Hanya perasan-perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik
saja." Dalimunte menyeka ujung-ujung mata. Itulah
masalahnya, semua terlihat baik-baik saja. Bahkan sejak
kecil dulu Kak Laisa selalu berusaha
terlihat baik-baik saja di hadapan
adik-adiknya. Memutuskan berhenti sekolah demi mereka
sekolah. Bekerja keras. Dan semuanya tetap baik-baik saja.
"Jangan paksa Dali menikah.... Jangan paksa
Dali...."
"Tidak ada yang
memaksamu! TIDAK ADA! Tapi jika kau
tetap keras kepala, kau akan kehilangan Cie
Hui selamanya. Kau mencintainya, Cie Hui
juga amat mencintai kau dan keluarga kita!
Kau akan membuat semuanya binasa dengan
segala kekeras-kepalaan dan omong-kosong melintas itu..." Kak
Laisa berkata serak.
"Dali tidak akan menikah sebelum —"
"Kau jangan membantah kakak, DALI!"
Suara Laisa yang meninggi tersedak
diujungnya. Bergetar. Tubuhnya menggigil menahan sesak
perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak pernah sampai hati membentak
adik-adiknya,...
Yashinta sudah menangis sambil memeluk Mamak. Malam
itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia. Dalimunte tetap
tak kuasa mengambil keputusan. Dia terlalu
menghargai Kak Laisa. Mengalahkan akal sehat atas pendidikan hebat
yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah melakukan banyak hal untuk mereka,
jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa dengan melintas.
Malam itu, saat hujan menderas, Cie Hui menangis
menuruni anak tangga. Keluar dari kamamya. Berlari
menerabas hujan. Amat mengharukan melihatnya.
Sementara Dalimunte hanya tertunduk diam seribu
bahasa. Ikanuri dan Wibisana mengantar Cie
Hui pulang ke kota kecamatan. Tidak ada.
Harapan itu benar-benar sirna. Perjodohan
itu akan terjadi. Malam itu, di antara suara guntur
menggelegar, Cie Hui kembali ke kota kecamatan membawa pusara hatinya.
Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung. Mamak akhirnya
tak kuasa menahan tangis. Itu tangisan
pertama sejak Babak dulu meninggal. Memeluk Kak Laisa dan
Yashinta erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa menanggung
separuh beban keluarga ini sejak kecil.
Menciumi wajah Kak Laisa (yang matanya juga
berkaca-kaca).
PUKUL EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di
lereng kebun strawberry. Menatap gemerlap cahaya bintang dan bulan
separuh. Akhirnya setelah nyaris enam jam hujan
deras itu terhenti. Awan hitam
menggumpalnya habis sudah menumpahkan air. Yang
lain sudah jatuh tertidur di kamar. Ikanuri dan
Wibisana tidak bicara banyak selepas pulang dari kota
kecamatan. Kalau dua sigung nakal itu saja ikut
tersentuh secara emosional dalam urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta,
enam jam lalu di ruang tengah rumah, malah berseru tertahan soal
betapa keras kepalanya Dalimunte. Betapa
Dalimunte tega membuat Mamak dan Kak Laisa menangis. Lantas
lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras.
"Boleh aku bergabung—" Laisa
menoleh. Menatap datar Dalimunte yang
mendekat. Sejenak diam. Lantas tersenyum. Mengangguk.
Dua kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh
gempal Laisa hanya sedada tinggi Dalimunte. Menatap hamparan
pohon strowberry yang sedang berbuah. Merah
ranum. Minggu-minggu ini panen besar.
"Maafkan Dali yang keras kepala—"
Dalimunte berkata pelan. Laisa menoleh. Mengangguk.
Tidak. Ia tidak ingin membicarakan
keributan enam jam lalu. Ia tidak bisa memaksa Dalimunte.
Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu.
"Apakah Kak Laisa marah?" Laisa
menggeleng. Menggenggam erat lengan Dalimunte.
"Aku tidak akan memukulmu dengan rotan,
Dali—" Tertawa kecil. Senyap sejenak.
"Boleh. Bolehkah Dali bertanya
sesuatu?" Laisa mengangguk.
"Apa... apa yang sebenarnya Kak
Lais pikirkan setiap kali berdiri di sini menatap
langit dan lembah?" Dalimunte bertanya pelan.
Laisa tersenyum, "Banyak hal—"
"Banyak?"
"Ya, tentang masa lalu kita. Tentang hari
ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak kecil dulu
sudah amat membanggakan Mamak dan Kakak.
Lihat, kincir air itu, Dali yang buat.
Tanpa itu, tidak akan ada perkebunan
strowberry sekarang. Tidak akan ada
lampu-lampu.... kehidupan warga kampung yang
lebih baik... Kakak juga mengenang Ikanuri
dan Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang selalu
memaksa minta diantar melihat sesuatu di hutan.
Ladang jagung kita. Semua kejadian-kejadian
itu. Tiga harimau itu. Masa lalu yang
indah— Kakak juga memikirkan tentang hari
ini. Perkebunan strowberry Mamak. Penduduk lembah yang semakin makmur.
Fasilitas sekolah yang semakin baik. Pengalengan buah di kota provinsi. Kau
yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota. Ikanuri dan
Wibisana yang ambisius sekali dengan
bengkel mobilnya. Yashinta yang amat mencintai
lingkungan dan konservasi entahlah. Dan Mamak
yang terlihat bahagia menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang
tidak pernah mrmbayangkan kehidupan kita akan sebaik ini.....
Kakak juga memikirkan tentang masa
depan.... Ah, kalau kau menikah, maka rumah
panggung ini akan segera ramai, Dali. Anak-anak yang pintar.
Ayahnya pintar, pasti anaknya jauh lebih
pintar.... Kau tahu, aku tidak bisa
membayangkan akan seperti apa anak-anak Ikanuri dan Wibisana
nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya akan tampan dan
cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman mahasiswanyajatuh hati....
Kalau kalian satu persatu mulai berkeluarga, perkebunan ini
akan ramai oleh celoteh anak-anak—" Hening lagi sejenak.
"Apakah, apakah Kak
Lais tidak pernah memikirkan yentang itu
saat berdiri sendirian di sini?" Dalimunte menelan
ludah.
"Memikirkan apa?"
"Umur Kak Lais? Pemikahan? Kesendirian?
Pernahkah Kak Lais memikirkan diri sendiri...." Laisa tertawa, melambaikan
tangannya,
"Dali, tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya
dulu lebih sering datang. Tapi buat apa Kakak membuang-buang waktu
memikirkan tersebut. Hidup Kakak sudah amat
indah tanpa perlu memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh
dewasa. Dengan segala kesempatan hebat. Itu sudah amat membahagiakan
Kakak. Melihat anak-anak lembah berkesempatan
sekolah. Kehidupan mereka yang lebih baik
dengan perkebunan strawberry ini. Itu sudah
lebih dari cukup. Kau tahu, seperti yang
Kakak bilang dulu, jodoh ada di
tangan Allah. Mungkin dalam urusan ini,
Kakak tidak seberuntung dibandingkan dengan
memiliki adik-adik yang hebat seperti kalian....
Dulu memang mengganggu sekali mendengar
pertanyaan tetangga, tatapan mata itu, tetapi
mereka melakukannya karena mereka peduli
dengan kita. Satu dua menyampaikan rasa peduli itu dengan
cara yang tidak baik, namun itu bukan masalah. Kakak tidak pernah
merasa kesepian, Dali. Bagaimana mungkin Kakak
akan kesepian dengan kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku juga
sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga puluh empat
tahun. Tapi apa yang Kakak harus
lakukan? Itu semua ada di tangan Allah. Yang
lebih penting aku pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi,
apakah masih berkesempatan melakukan banyak hal
di lembah ini, berkesempatan melihat kalian melakukan
hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan keseharian di perkebunan...,"
Kak Laisa tersenyum tulus.
"Hanya itu? Sesederhana itu?" Dalimunte
menelan ludah. Kak Laisa tertawa,
"Apalagi yang harus
aku pikirkan, Dali? Bukankah kehidupan di
lembah ini hanya sesederhana itu?" Dalimunte terdiam. Mengusap
wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru.
Bahkan Kak Laisa
sedikitpun tidak pernah memikirkan dirinya
sendiri. Apalagi memikirkan tentang sebutan gadis tua yang
disandangnya, pernikahan. Ya Allah, Kak Laisa memang
seringan itu menanggapi segala keterbatasan
hidupnya. Bagi Kak Laisa, adik-adiknya jauh lebih
penting. Pertanyaan itu, pertanyaan yang
selalu dia ingin sampaikan, ternyata
sederhana sekali jawabannya. Kak Laisa tidak pernah sekalipun
berkeberatan dengan takdir kehidupannya.
PEMBICARAAN dini hari itu membuat perubahan
besar. Akhirnya setelah menatap begitu lama
wajah Kak Laisa yang tersenyum amat tulus, Dalimunte
memutuskan untuk menikah. Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga
Cie Hui sudah berangkat ke kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini
juga —" Itu jawaban dari seberang
telepon saat Dalimunte bertanya ke kediaman
Cie Hui di kota kecamatan. Panik sudah.
Ikanuri dan Wibisana yang
masih menguap diteriaki agar segera
menyiapkan mobil. Yashinta bergegas menyiapkan
segala sesuatu. Mereka harus segera
menyusul. Hari itu, teknologi telepon genggam
belum ada. Jadi tidak ada cara untuk
mengontak Cie Hui yang sedang menuju bandara. Celaka. Urusan
ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki pesawat yang
membawanya ke ibukota, lantas terus menuju
ke China, maka berakhirlah semuanya. Pusara yang sama juga
akan tertanam dalam- dalam di hati Dalimunte. Yashinta berteriak-teriak
menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi.
"Cepat, Kak. Lebih
cepat. Katanya nih mobil sudah dimodifikasi
macam mobil balap. Ini mah siput saja lebih
cepat!"
Mereka sudah tertinggal
empat jam di belakang. Ikanuri yang
sialnya masih mengenakan sarung mengeluarkan
gumam tak jelas. Tersinggung dengan
teriakan Yashinta. Berlima mereka memadati mobil
modifikasi bengkel Ikanuri dan Wibisana
tersebut. Mamak menunggu di rumah. Rumah keluarga Cie Hui di kota
kecamatan kosong.
"Maaf, Nak Dali,
justru Nona Cie Hui yang memaksa agar
perjodohan itu segera dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat
segera dini hari tadi...."
Pembantu rumah Cie Hui menjelaskan
terbata-bata, ikut merasa sedih. Dalimunte mengeluh tertahan.
Dia sungguh telah membuat kesalahan besar.
Rasa putus asa yang besar karena menunggu
bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian sekarang, Sekarang
Wibisana yang mengemudikan mobil. Dari tadi
Ikanuri gatal menjitak kepala Yashinta yang berisik protes.
Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota
kabupaten. Kota-kota kecamatan Pedesaan. Hutan-hutan lebat.
Semak-belukar. Pohon bambu. Perkebunan kelapa
sawit. Perkebunan karet. Padang rumput meranggas.
Naik turun lembah. Melingkari bukit
barisan, Sungai-sungai yang meliuk. Persawahan.
Menyaksikan monyet yang berani bergelantungan
di tepi-tepi hutan. Satu dua babi liar yang nekad
menyeberangi jalan aspal. Itu semua sebenarnya
pemandangan yang menarik, sayang tidak
untuk situasi saat ini. Kak Laisa yang duduk di
belakang, di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri malah sepanjang jalan
sibuk memisahkan tangan-tangan mereka (yang
sibuk bertengkar). Dalimunte mengusap
wajahnya berkali-kali. Tegang. Sial, dua puluh kilometer menjelang kota
provinsi, ban mobil meletus.
"Ya ampun, bagaimana
mungkin Kak Ikanuri dan Wibisana bisa
bikin mobil balap kalau hasil modifikasinya
hanya begini?" Yashinta mengeluh setengah
kecewa, setengah sebal.
Ikanuri sekarang benar-benar
menjitak kepala Yashinta. Terpaksalah perjalanan
itu terhenti hampir setengah jam tintuk mengganti ban. Dan saat mereka
akhirnya tiba di bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh tentang
jadwal penerbangan. Memaksa masuk pintu
check-in. Dua petugas yang menjaga pintu
pemeriksaan terlihat bingung menghadapi
seruan-seruan memaksa Yashinta. Wajah mengeras
Ikanuri dan Wibisana. Wajah tegang memohon
Dalimunte. Berhasil. Kak Laisa seperti biasa
dengan tatapan mata, akhirnya berhasil
mcmbujuk petugas. Berlarian menuju ruang tunggu bandara. Tapi
mereka tiba di bandara sudah amat terlambat. Dalimunte masih
sempat melihat Cie Hui bersama Koh Acan dan
istrinya berjalan di balik kaca tebal
menuju garbarata prsawat. Berteriak memanggil. Percuma.
Kaca itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Cie Hui sudah
masuk kedalam garbarata. Kali ini Kak
Laisa tidak berhasil memaksa petugas pintu boarding
mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak
bisa dilanggar dengan alasan apapun.
Dalimunte menatap kosong
pesawat yang mulai berputar menuju runaway.
Bersiap berangkat. Lima menit, Pesawat itu
menderu lepas landas. Menuju langit yang
membiru. Menyisakan lengang di balik kaca
tebal ruang tunggu. Yashinta tertunduk,
menyeka ujung-ujung matanya. Ikanuri dan
Wibisana bergumam kecewa. Kak Laisa
mendekap sedih pinggang Dalimunte. Lima belas menit hening. Dalimunte
tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan bisa mengejar Cie Hui lagi.
Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali dalam sehari. Dia juga
tidak tahu nomor telepon ke sana.
Memberitahukan kalau dia sudah bisa mengambil keputusan.
Memberitahukan kalau dia bersedia menikah.
Urusan ini ternyata berakhir menyedihkan.
Kak Laisa membimbing
Dalimunte. Beranjak pulang. Semua ini
terasa menyakitkan. Sesak. Mereka berjalan
beriringan melewati pintu masuk menuju
ruang tunggu. Kembali ke perkebunan strawberry.... Sungguh
sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca....
"Da-li—" Suara itu memanggil tertahan. Dalimunte
mengangkat kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh.
"Da-li—" Itu suara Cie Hui. Gadis
keturunan itu berlari keluar dari garbarata.
Dalam gerakan lambat sepersejuta detik yang amat
mengharukan. Cie Hui berseru. Menangis. Melompat memeluk Dalimunte.
"Cie—" Dali seketika kehabisan
kata-kata.
"Ia amat menyukaimu,
Nak" Koh Acan, ayah Cie Hui ikut
melangkah mendekat, melepas topi putih kupluk
di kepalanya. Muslim keturunan itu menghela
nafas panjang, "Kau tahu, meski tadi pagi ia
sendiri yang meminta perjodohan itu dipercepat, tapi ta tidak
kuasa untuk melangkahkan kakinya ke dalam
pesawat. Tidak kuasa.... Hanya berbisik
berkali-kali di dalam garbarata, 'Dali akan
menyusul, Dali akan menyusul, Papa'....
Berdiri mematung di depan pintu pesawat.... Tidak bisa
melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!"
Dalimunte dan Cie Hui sudah
berpelukan, seolah dunia milik berdua.
Tidak peduli sekitar. Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar. Inilah
romantisme yang (selalu) diceritakan moderator cerewet di
konvensi internasional itu, juga konvensi-konvensi
lainnya. Di majalah-majalah. Di koran-koran
yang banyak menulis tentang Profesor Dalimunte. Inilah romantisme
Strawberry cinta Dalimunte dan Cie Hui.
PERNIKAHAN Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu
bulan kemudian. Pernikahan yang meriah. Halaman
luas rerumputan itu dipasang dua tenda
besar. Penduduk empat desa di Lembah
Lihambay ramai memenuhi kursi-kursi. Tidak
terhitung kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar
profesor, tapi berbagai penelitian yang dilakukannya
telah membuat Dalimunte terkenal. Juga
tamu-tamu dari kota kecamatan, kota kabupaten,
hingga kota provinsi, kenalan Kak Laisa
dalam bisnis perkebunan strawberry. Di salah satu kursi undangan bahkan
duduk rapi Bupati setempat. Tetapi ada yang sedikit
berbeda dibandingkan dengan banyak pernikahan
di lembah tersebut sebelumnya. Wak Burhan
beberapa hari sebelum acara berlangsung meminta penduduk
kampung untuk tidak membicarakan soal
melintas. Tidak sibuk menggoda Kak Laisa soal kapan ia
akan menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa yang
telah melakukan banyak hal untuk lembah
mereka. Jadi pernikahan itu berlangsung 'sebagai mana
mestinya'.
Dalimunte dan Cie Hui
terlihat amat bahagia, meski saat selesai
ijab-kabul, Dalimunte dan Cie Hui menangis
lama memeluk Kak Laisa, berbisik ribuan
kata maaf (lebih lama dibanding saat
bersimpuh di pangkuan Mamak). Membuat yang
lain terdiam. Menghela nafas. Meski tidak ada
yang jahil membicarakannya, semua orang tahu,
melintas macam ini sungguh di luar kebiasaan kampung. Dalimunte dan
Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry, baru
lepas satu bulan kemudian mereka kembali
ke ibukota, memulai kemball kesibukan di laboratorium.
Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota
provinsi seminggu setelah pernikahan, mereka semakin sibuk
dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana membangun pabrik kecil di
luar pulau, di kota yang lebih besar.
Mengejar ambisi besar mereka: pembuat spare-part mobil
balap. Yashinta juga segera kembali ke kota provinsi, minggu-minggu
depan ia mulai menyiapkan ujian tugas akhir kuliahnya.
Meninggalkan Kak Laisa
dan Mamak Lainuri di perkebunan strawberry.
Seperti selama ini. Bedanya, di keluarga
itu sudah terjadi pernikahan pertama.
Entahlah apa yang sejatinya dipikirkan Kak Laisa, tapi
kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte tetap fakta hidup yang harus diterimanya.
Dan seperti biasa, semuanya terlihat
baik-baik saja. Kak Laisa juga kembali menyibukkan
diri dengan pembangunan pusat pengalengan
baru di kota provinsi. Sering berpergian,
bolak-balik. Mengurus perkebunan yang semakin
luas. Mulai melibatkan penduduk kampung atas
dan kampung-kampung lainnya. Menjadikan mereka
petani cluster dari bisnis tersebut.
Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin tidak akan
pernah kesepian, karena meski jadwal pulang bersama yang
lain hanya dua bulan sekali, perkebunan
itu tetap ramai oleh pekerja, anak-anak
tetangga, juga remaja tanggung lainnya yang
sibuk membantu selepas pulang sekolah. Ramai
bermain-main di hamparan rumput rumah. Kak
Laisa juga sering kali menghabiskan malam
dengan bermain kembang api bersama mereka.
Mendirikan taman bacaan. Dan memberikan berbagai kesempatan bagi
anak-anak lembah lainnya untuk belajar dan bermain yang tidak
pernah ia dapatkan waktu kecil. Tapi di luar seluruh
kegiatan hebat tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup
Kak Laisa.
Lepas pernikahan Dalimunte,
penduduk setempat juga sudah jauh berkurang
menggoda Laisa. Mereka sekarang lebih banyak prihatin,
sebagian besar malah mulai terbiasa. Hanya Wak
Burhan yang masih terus sibuk mencarikan
Laisa Jodoh. Percuma. Semua itu seperti menjadi
kesia-siaan besar. Dalimunte selepas pulang ke
ibukota juga sibuk mencarikan jodoh buat
kakaknya. Kali ini dia melakukannya dengan
sungguh-sungguh, sekali dua malah mengorbankan
jadwal di laboratorium. Dalimunte memutuskan
untuk melibatkan diri seperti Wak Burhan.
Di tengah amat keterlaluannya warga ibukota dalam menilai tampilan fisik
dan materi, kesempatan Kak Laisa untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di
sini. Mungkin jodoh Kak Laisa terselip di sini. Harus dijemput dengan baik.
Enam bulan berlalu, di
jadwal pulang dua bulanan mereka, Dalimunte
mengajak salah satu temannya. Tepatnya kakak
kelas waktu dia kuliah di institut
teknologi ternama dulu. Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga
puluh lima tahun. Dalimunte sudah mengenalnya sejak masih tingkat pertama
kuliah dulu. Kakak mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar bicara
soal mencari jodoh bukan dilihat dari
wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari
"kecantikan hati".
Sekarang calon jodoh Kak Laisa tersebut
malah lebih dikenal sebagai salah-satu penceramah
agama terkenal di ibukota. Statusnya duda.
Istri kenalan Dalimunte tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun
lalu, dan sekarang memutuskan untuk menikah lagi. Karena Daiimunte
amat yakin bahwa kakak kelasnya itu
tidak akan menilai seseorang dari tampilan
wajah dan fisik, sambil tersenyum lebar
dan penuh penghargaan, Dalimunte menyebutkan Kak Laisa
sebagai salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi, bahkan
kakak kelasnya merasa tidak perlu melihat
foto-foto Kak Laisa. Hanya mendengar apa yang dilakukan
Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa sudah menemukan
pengganti mendiang istrinya yang tepat.
"Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan
selama ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!" Itu jawaban yang
hebat, Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang.
Tetapi Dalimunte sungguh
keliru, ketika malam itu akhirnya mereka
tiba di rumah panggung, ketika untuk pertama kali mantan
kakak kelasnya di institut teknologi itu melihat Kak
Laisa, respon yang diharapkannya sungguh jauh dari baik.
Sebenamya respon yang ada tidak jauh beda dengan
jodoh-jodoh yang dibawa Wak Burhan selama
ini tetapi mengingat latar belakang pemahaman
agama kakak kelasnya... Malam itu ruangan
depan rumah panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang
menjelang musim penghujan.
"Bukankah Kak Laisa
'cantik' seperti yang kau sebutkan selama
ini dalam ceramah-ceramahmu. Apalagi yang
kurang!" Dalimunte sedikit tersinggung,
berkata ketus esok pagi saat menyuruh salah satu sopir
perkebunan mengantar kenalannya tersebut kembali lebih dini ke kota provinsi.
"Tapi maksudku, setidaknya cantik adalah
menarik hati"
Dalimunte sudah terlanjur
membanting pintu mobil. Dia tidak membenci
kenalannya tersebut secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan
bahwa: terkadang betapa munafiknya manusia dalam urusan
ini. Lihatlah, kenapa pula temannya
tersebut mesti berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah
hari ini. Dalimunte membenci ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang
ketika mencari jodoh. Sungguh jika ada yang ingin menilai
secara objektif, Kak Laisa masuk tiga
dari empat kriteria utama yang disebutkan Nabi dalam
memilih jodoh.
Jelas Kak Laisa salehah.
Saleh dalam hubungan dengan Allah, juga
saleh dalam hubungan dengan manusia. Kak Laisa selalu pandai
mensyukuri nikmat Allah dalam bentuk yang lengkap.
Ritus ibadah yang baik dan ihklas,
juga kesalehan memperbaiki kehidupan lembah. Dari
sisi materi. Jelas Kak Laisa lebih
baik dari gadis lain. Perkebunan strawberry
Kak Laisa membentang nyaris dua ribu
hektar. Meski Kak Laisa selalu bilang
ini perkebunan Mamak, semua orang tahu, semuanya berkat kerja keras Kak
Laisa. Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa memang bukan turunan raja atau
bangsawan ternama, tapi keluarga mereka terhormat,
pekerja keras, tidak pernah meminta-minta,
berdusta, atau melakukan hal buruk lainnya.
Sejak dulu Babak mengajarkan tentang harga
diri keluarga, mengajarkan tentang menjaga nama
baik keluarga lebih penting dibandingkan
soal kalian turunan siapa. Menjadi keluarga
yang jujur meski keadaan sulit. Berbuat
baik dengan tetangga sekitar, dan sebagainya.
Jadi kenapa harus mempersoalkan kecantikan?
Bukankah itu hanya ada di urutan keempat?
"Keluarga yang baik hanya dapat
terjadi ketika suami merasa senang menatap istrinya, Dali. Merasa
tenteram —" Kak Laisa berkata pelan,
menatap gumpalan awan tipis yang menutupi
bintang-gemintang dan purnama.
Dalimunte hanya diam.
Seperti biasa mereka menghabiskan sepertiga
malam terakhir dengan berdiri di lereng
perkebunan strawberry. Kak Laisa tidak
banyak berkomentar atas kejadian semalam dan
tadi pagi. Seperti biasa, menganggapnya
kejadian lazim berikut. Bukankah selama ini
juga perjodohan yang dilakukan Wak Burhan
bernasib sama. Yang dijodohkan mundur teratur
setelah melihatnya (satu dua malah kasar
segera pergi dari rumah). Dalimunte saja
yang terlalu naif berharap banyak atas
kenalannya tersebut, tidak proporsional, tertipu tampilan mutut.
Kesalehan mulut.
"Kau tahu, jika suami
merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, dan
juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah
kau juga tahu kisah tentang sahabat Nabi, yang meminta
bercerai karena fisik dan wajah pasangannya
tidak menenteramkan hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.
Dalimunte menelan ludah,
menatap lamat-lamat wajah Kak Laisa.
Tahun-tahun itu, Dalimunte sudah mulai sibuk
dengan berbagai penelitian tentang transkripsi
religius, jadi bagaimana mungkin dia tidak
tahu berbagai kisah tersebut. Dia tahu.
Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau:
ketika salah satnnya justru memutuskan
untuk bersabar atas pasangan yang tidak
beruntung dari tampilan wajah dan fisik
tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya. Tidakkah
hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut.
"Kakak tidak sakit hati?" Dalimunte
berusaha melepas senyap di hatinya.
"Kenapa harus sakit hati, Dali?" Kak
Laisa melambaikan tangan. Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas
kejadian ini.
"Tetapi yang membuat
Kakak bingung, kenapa kenalanmu itu tetap
datang meski telah melihat foto-foto, Kakak?" Kak Laisa
tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte. Dalimunte hanya diam. Itu
salahnya!
"INTAN, ajak adik-adikmu!" Cie Hui
berkata pelan.
Intan tak perlu disuruh dua kali, menggamit
tangan Juwita dan Delima. Turun dari tempat tidur. Itu kamar
mereka bertiga. Kamar terluas di rumah
panggung perkebunan strawberry, lantai dua. Ada
tiga tempat tidur yang berjejer di
dalamnya. Dulu hanya satu ranjang besar, tapi
karena Intan, Juwita dan Delima sibuk
bertengkar saat tidur, sibuk saling memukul guling,
Wawak Laisa menggantinya dengan tiga
ranjang kecil. Masing-masing satu (yang tetap saja
percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur ) Shubuh
sekali lagi datang di Lembah Lahambay.
Semburat jingga tipis menghias garis horizon
lembah. Semalam, lepas satu jam menunggui
Wawak Laisa yang tertidur, Cie Hui menyuruh
mereka beranjak tidur. Satu dua tetangga
juga mulai pamit. Malam beranjak semakin tinggi.
Pengajian Yasin di ruang depan dan surau dihentikan, besok disambung lagi.
Penduduk kampung yang
duduk-duduk di kursi halaman bertahan
beberapa jam lagi. Bang Jogar menyuruh mereka pulang saat
menjelang tengah malam. Dalimunte menunggui Wak Laisa
di kamar. Tertidur di kursi sebelah
ranjang. Eyang Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine beranjak ke kamar.
Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah. Sudah seminggu terakhir
kurang tidur menunggui Kak Laisa bersama
dokter dan perawat. Malam ini ia bisa
tidur lebih baik. Dalimunte yang
menggantikan berjaga. Kata dokter selepas
memeriksa seluruh status peralatan pukul sepuluh
malam, Wak Laisa baik-baik saja. Semua fungsi tubuhnya
terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita dan Delima sudah
jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di lantai dua. Cie
Hui menyerahkan tiga mukena kecil. Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari
kamar mandi. Wudhu. Biasanya setiap jadwal
pulang, paling susah membangunkan Juwita dan Delima.
Mereka selalu saja pura-pura tidur, menaruh
bantal di kepala, bergelung dibalik selimut, dan trik
macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang lain.
Menurut saat diajak Intan ke kamar
mandi. Dan tidak banyak bicara saat
mengenakan mukena (tidak jahil saling tarik, berisik).
Wajah-wajah basah. Shalat shubuh. Dalimunte, Mamak
Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu. Shubuh yang
menyenangkan. Udara pagi terasa sejuk. Di
surau entahlah siapa yang sedang mengumandangkan adzan. Tidak
ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama pula penduduk kampung dan
anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau.
"Ummi, Wak Laisa shalatnya
gimana?" Juwita
bertanya pelan sambil melipat mukena,
selesai shalat. Kan, biasanya Wak Laisa
ikut mereka, berjejer di sebelah Eyang.
Biasanya juga selepas shalat Wak Laisa
suka bercerita tentang sahabat-sahabat Nabi.
Bercerita apa saja. Sekarang Wak Laisa
kan sakit parah? Shalatnya pasti susah.
"Wak Laisa shalat sambil berbaring,
sayang."
" Emangnya boleh, ya?" Juwita melipat dahi.
Jasmine mengangguk. Meski kemudian pelan
menghela nafas. Tentu
Juwita sedikit kesulitan
bagaimana membayangkan shalat seperti itu.
Dan akan lebih susah lagi membayangkan
bagaimana sulitnya Kak Laisa shalat dengan
kondisi tubuh yang amat menyedihkan. Dibalut infus dan
belasan belalai plastik. Tetapi mereka benar-benar
terkejut, saat beranjak ke kamar perawatan
Wak Laisa. Lihatlah, Wak Laisa ternyata
shalat sambil duduk. Bersandarkan bantal-bantal.
Wajah itu pucat, terlihat lemah, dan sedikit gemetar, tapi matanya.
Matanya terlihat begitu damai. Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk.
Selepas kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah
arang meski perjodohan dengan kakak kelasnya gagal total.
Kak Laisa meski sekali dua bilang,
Dali tidak perlu memaksakan diri mencarikan
jodoh buatnya, mengalah. Membiarkan Dalimuinte
yang justru semakin hari semakin terlihat semangat,
"Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di
tangan tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan Dali terus berusaha. Semoga
akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk.
Namun sepertinya semua upaya Dalimunte akan
sia-sia. Kali ini Dalimunte memutuskan untuk tidak mengajak yang
bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak hal.
Dalimunte memulainya dengan
mencari seseorang yang dia pikir cukup
baik dan memadai untut Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan
lengkap Memperlihaikan foto. Terhenti. Proses itu
diulang lagi. Mencari seseorang yang dia
pikir cukup baik dan memadai untuk Kak
Laisa. Menjelaskan siapa sebenarnya Kak
Laisa dengan baik dan lengkap. Memperlihatkan
foto. Terhenti. Mencari seseorang yang dia
pikir cukup baik dan memadai untuk Kak Laisa...
Enam bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada
hasil Proses itu selalu terhenti. Enam bulan berlalu lagi. Sekarang giliran
Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah indah mereka.
Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan Wibisana duduk di kursi
baris terdepan. Berjejer. Menatap
bangga Yashinta yang begitu cantik dengan
toga wisudanya. Hari itu resmi sudah
menjadi harinya Yashinta. Ia lulus dengan
predikat cumlaude, terbaik. Menjadi wakil wisudawan saat memberikan sambutan.
"Untuk Mamak, yang setiap malam berdoa buat
Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja telah membuat langit
diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba di penghujung sambutannya,
"Untuk Kak Dalimunte
yang selalu menjadi teladan, mengajarkan
proses belajar, mengajar, mengajarkan tentang
ketekunan.... Untuk Kak Ikanuri dan Kak
Wibisana yang meski nakal, selalu dimarahi
Mamak, namun memberikan pemahaman ke Yash
tentang menjalani hidup dengan rileks dengan indah"
Gadis itu tertawa, menyeka matanya.
"Dan... dan..." Yashinta terdiam.
Tersendat
Dalimunte yang tahu kalimat apa yang
akan disampaikan Yashinta sekarang, menggenggam tangan Kak Laisa yang
duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis tertahan
melihat Yashinta berdiri di panggung Wisuda.
"Dan untuk Kak
Laisa...." Yashinta terbata, "Untuk Kak
Laisa yang telah mengorbankan seluruh hidupnya
demi kami... Yang selalu mengajarkan makna
kata bekerja keras, bekerja keras.... Yang
demi Yash, demi Kak Dalimunte, demi
kami semua... dulu memutuskan berhenti
sekolah.... Untuk Kak Laisa yang selalu
menepati janji... tidak perah datang terlambat buat
kami.... Kami, kami tidak akan pernah melihat Kak
Laisa berdiri di sini, tapi bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu
berdiri di sini...."
Aula besar itu
lengang. Tidak ada
yang tahu siapa sesungguhnya Kak
Laisa. Apa perannya datam cerita yang disebutkan Yashinta.
Tapi ucapan itu amat tulus, dari hati yang menjadi
saksi langsung atas masa lalu tersebut.
Maka sempurna sudah kalimat Yashinta membuat
yang lain tersentuh. Menggantung di
langit-langit ruang wisuda. Kak Laisa mengusap pipinya
yang basah.
"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak
Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang
itu.... Sungguh...." Dan Yashinta tidak
kuasa lagi melanjutkan kalimatnya.
Melangkah turun. Sedikit
berlari menuju kursi Mamak dan Kak
Laisa. Memeluk Kak Laisa dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut
gimbal Kak Lais. Berang-berang itu selalu penting
baginya. Enam bulan kenudian, Yashinta akan melanjutkan
studi S2-nya di Eropa. Ia mendapatkan beasiswa penelitian
konservasi ekologi, bahkan beasiswa itu
ditawarkan saat Yashinta masih menulis
tugas akhir kuliah Sl-nya. Kecintaannya atas alam tumbuh
subur sejak melihat anak berang-berang tersebut. Dan sejak kecil
Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam.
"Kalau dulu kita yang mengajak Yash ngelihat
anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi juga disebut-sebut,
Ikanuri nyengir, tertawa kecil melihat
Yashinta yang masih mememeluk Kak Laisa.
"Yap! Bisa jadi
lebih lebih mengharu biru dari ini
kalimat-kalimatnya. Harimau ini, kan. Lebih keren dibanding
berang-berang." Wibisana
menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk.
Dalimunte menyikut dua sigung
yang tidak kecil lagi itu. Tapi Mamak
dan Kak Laisa ikut tertawa. Benar-benar terlupakan
masa-masa delapan belas tahun silam. Hari
ini, Yashinta bukan gadis kecil berkepang
umur enam tahun lagi. Saat ini
umurnya sudah dua puluh empat, dan Yashim tumbuh
menjadi gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada banyak
sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama,
"Buat kenangan terakhir, Yash!" atau
seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka,
"Ah-ya, boleh aku minta nomor
teleponmu?" Yashinta hanya melotot.
Saat itu tidak ada
yang tahu, kalau bertahun-tahun terakhir
Yashinta amat membenci kelakuan teman lelakinya sibuk mencari
perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika
wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa?
Omong-kosong. Mereka tidak benar-benar menyukai
dirinya. Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan
wajah. Seperti seekor lebah tertarik atas indahnya
kelopak bunga. Seperti seekor rubah yang
tertarik pasangannya
karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya
perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang terlalu memperhatikan tatapan benci
Yashinta.
Perkebunan strawberry malam itu terang
benderang. Kak Laisa sama seperti saat
kelulusan Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana,
merayakan kelulusan Yashinta di hamparan halaman
rumah pangung. Mengundang tetangga. Semua berkumpul.
Meriah. Meja-meja panjang tersusun rapi.
Kursi-kursi dipenuhi wajah riang. Makanan terhampar....
Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika malam
beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak
pulang. Menatap Mamak dan Kak Laisa dengan
tatapan kagum dan hormat. Lihatlah,
anak-anak di keluarga ini berhasil menyelesaikan
sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah lulusan S3, doktor,
sekolah luar negeri. Tidak pernah
terbayangkan, anak-anak yatim, yang sejak kecil ditinggal
Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan. Wak
Burhan yang terlihat paling bahagia.
Menebar senyum. Menepuk bahu Dalimunte berkali-kali,
berkata lebar,
" Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya
dari dulu!"
"HALLO PROFESSOR, kami sudah
di Singapore. Ya. Transit sebentar. Lima
belas menit lagi langsung ke Jakarta. Apa?
Oh, ?sudah! Tiketnya sudah diurus staf
pabrik.... Kami berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika
tidak ada delay, bilang Mamak kami akan tiba nanti malam, mungkin menjelang
tengah malam. Apa? Jemputan? Tidak usah, aku akan pakai mobil
modifikasi bengkel di sana saja. Itu
lebih cepat. Ya? Lebih cepat, Professor—"
Ikanuri tetap saja harus
berteriak-teriak, meski tidak ada lagi
badai seperti di Pegunungan Alpen Swiss, semalam. Ruang
tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising lalu-lalang
penumpang sudah macam deru hujan deras
saja, belum lagi teng-tong-teng pengumuman. Mereka
ahirnya tiba setelah penerbangan non-stop
dua belas jam: Perancis-Singapore.
Sudah siang. Matahari
tiba di garis tertingginya. Setelah hampir
sehari semalam tidak menyentuh makanan, Wibisana
memaksakan diri mampir ke salah satu
kedai fast-food bandara. Sambil menunggu pesawat berikutnya. Wajah
mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan
waktu hampir belasan jam membuat pusing kepala. Merusak
bio-ritme. Rambut semrawut. Kemeja berantakan.
Malah salah satu kaki celana panjang
Ikanuri tergulung sembarangan. Habis shalat
dhuzhur, lupa dirapikan. Meletakkantas laptop dan barang
bawaan sembarang di sekitar meja makan.
"Tidak. Aku tidak
tahu.... BELUM! Apa? Aku sudah puluhan
kali menelepon HP satelit Yashinta. Dasar
sialan. Kemana pula anak ini sekarang....
Jangan. Jangan bilang Kak Laisa kalau HP
Yashinta tidak bisa dihubungi. Ya Allah,
itu akan membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Kau
tidak boleh bilang.... Tentu saja aku sekarang ikut
cemas, Profesor! Ikanuri mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara
Dalimunte.
Pelayan mengantarkan kue
donut besar-besar. Wibisana yang sedang
menatap adiknya bicara via telepon genggam
dengan Dalimunte di perkebunan strawberry
mengalihkan tatapan. Aroma kue itu cukup
mengundang, meski mereka tetap tidak
berselera makan. Menelan ludah. Kalau saja
ada Juwita, Delima, dan Intan, ketiga
anak-anak nakal itu pasti bisa menghabiskan
menu ini dalam sekejap,
satu menit. Itu bahkan sudah
termasuk waktu yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
"Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga
kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia yang mencari
kemana anak itu. Apa? Semoga tidak....
Semoga tidak, Dali. Yashinta pasti baik-baik
saja. Kau berlebihan. ANAK ITU SUDAH
MENDAKI 27 GUNUNG DI SELURUH DUNIA .... SEMUA BAIK-BAIK
SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa kami paling telat akan tiba malam ini...."
Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja. Meski wajahnya terlihat kusut
dan cemas, sedetik kemudian dia akhimya bisa tersenyum.
"Apa kata Dali?" Wibisana
bertanya.
"Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah
bisa shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang, ada sedikit kemajuan."
Wibisana ikut tersenyum, lega,
"Apa kubilang, Kak Laisa akan baik-baik
saja. la akan baik-baik saja—"
"Tapi kata dokter, kanker paru-parunya sudah
stadium IV ,"
Ikanuri menelan ludah.
Senyumnya terhapus.Stadium IV? Itu berarti
tak ada lagi kemungkinan untuk operasi. Terdiam. Wibisana
melepaskan kue donut yang dipegangnya. Bagaimana mungkin mereka selama ini
tidak tahu? Umur Laisa hampir empat puluh
(tepatnya tiga puluh tujuh tahun) ketika
akhirnya kesempatan baik itu datang. Kesempatan baik?
" Kau sungguh-sungguh?" Dalimunte
bertanya sekali lagi.
"Tentu saja, Dali.
Istriku juga sudah melihat foto dan
bio-data Laisa. Itu akan jadi pilihan yang
baik dalam urusan ini—" Tersenyum.
Kolega riset Dalimunte di laboratorium itu tersenyum
tulus. Istriku? Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte
tersebut, calon jodoh Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah
empat puluh. Mereka sudah menikah lima belas
tahun, dan kabar buruknya
hingga hari ini belum mendapatkan anak
juga. Istrinya, yang memiliki masalah dengan
rahim dan kesuburan, memberikan kesempatan kepada
suaminya untuk menikah lagi. Dalimunte tahu
persis kalau rekan kerjanya tersebut
sedang mencari istri kedua. Tapi butuh tiga bulan untuk
meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke rekan kerjanya
tersebut. Kak Laisa menjadi istri kedua?
Sungguh awalnya Dalimunte tidak
bisa membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar yang baik
semua urusan ini. Setelah berbicara banyak dengan Cie
Hui, diam-diam juga bicara dengan Wak
Burhan dan Mamak saat jadwal rutin pulang dua bulan sekali.
Keputusan itu diambil.
"Sudah menjadi kodrat
manusia hidup berkeluarga, Dali. Menjadi
istri kedua, ketiga atau keempat tidak selalu pilihan yang
buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ada alasan
yang baik, penjelasan yang baik, itu
bisa menjadi jalan keluar yang bijak,
bukan? Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu
bersamaan jika dia bisa berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah
menyimpan banyak sekali rahasia dalam sebuah pernikahan...." Wak Burhan
menghela nafas.
"Kalau Kakakmu tidak berkeberatan, Mamak
hanya bisa bilang ya," Mamak memperbaiki tudung kepala
(setelah terdiam lama),
"Kau bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa.
Sampaikan dengan baik-baik...." Maka Dalimunte segera
kembali ke ibukota. Dia berfikir lebih
baik berbicara dengan kolega risetnya lebih
dulu. Jika semuanya baik, memastikan kolega
risetnya tidakberkeberatan dulu dengan tampilan
wajah dan fisik Kak Laisa, maka
lebih mudah membicarakannya lebih
lanjut dengati Laisa. Dan kabar
baik itu benar-benar tiba. Rekan kerjanya
100% tidak keberatan meski telah melihat
foto Kak Laisa. Istri pertamanya juga tidak
keberatan.
"Kau tahu, justru istrikulah
yang menyarankan aku menikah lagi." Rekan kerja
Dalimunte menatap lamat-lamat wajah istrinya
yang duduk di sebelahnya. Itu kunjungan
ketiga Dalimunte ke rumah mereka yang
asri, sepelemparan batu dari rumah Dalimunte dan Cie
Hui.
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya.
Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami.... Aku sungguh tidak pernah bisa
membayangkan harus menikah lagi—" Pasangan
itu saling menggenggam tangan. Dalimunte
tersenyum menatapnya. Ini mungkin jalan keluar
yang baik. Menyelesaikan masalah keluarga
mereka, sekaligus menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika
ada alasan yang baik, tidak selalu poligami itu buruk.
"Aku akan mencintai
Laisa dengan baik, Dali. Akan menjadi
suami yang adil. Meski amat susah membayangkan
harus membagi cintaku.... Semoga ia tidak
keberatan menjadi istri kedua.... Semoga ia
memberi kesempatan padaku untuk belajar
dalam proses sulit ini. Ia sungguh pilihan
yang baik. Isttriku menyetujuinya, dan aku
sudah berjanji kepada istriku, akan membuat
pernikahan-pernikahan kami bahagia.... Bilang
kepada Mamak dan Laisa, kami akan datang memperkenalkan diri
minggu depan. Kami akan melamar Laisa."
Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke
perkebunan strawberry. Sekarang menyelesaikan bagian
penting berikutnya. Menjelaskan kepada Kak Laisa
tentang: posisi istri kedua.
Hamster belang itu
mengangkat-angkat kepalanya. Berjinjit. Kedua
kaki depannya memegang erat-erat buah strawberry
matang. Menggigit. Menjilat. Lucu sekali
melihatnya sibuk menaklukkan buah merah tersebut.
Intan duduk di sebelah Wak Laisa,
tertawa. Juga juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan
ruang yang cukup buat berempat.
"Wawak sudah mendingan?" Sejenak
Juwita menolehkan kepala, menatap Wak Laisa
yang ikut tersenyum. Menonton kelakuan Rio, hamster belang
Intan.
Laisa mengangguk. Pagi
ini ia merasa lebih kuat (seperti
dulu, meski fisiknya sakit, semangat yang
tinggi selalu memberikan kekuatan, kehadiran
tiga sigung kecil ini juga membuat Kak
Laisa kembali merasa kuat, meski entah
hingga kapan). Bosan jadi pusat perhatian, dan sebal
karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah strawberry
sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
"Wawak haus? Intan ambilin minum buat Wawak,
ya?" Wak Laisa mengangguk. Gadis kecil
sembilan tahuti ini turun, melangkah
keluar ruangan. Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga
Dalimunte.
Cie Hui, Wulan dan Jasmine ada di ruang belakang,
mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul. Cemas
menunggu kabar sakitnya Laisa. Mereka belum
mengaji yasin lagi. Kabar membaiknya Laisa
membuat situasi rumah sedikit riang> Cie
Hui memutuskan membuat makan besar. Dibantu
anak gadis tetangga lainnya. Tetangga
sekitar yang berkumpul sejak dua hari lalu
pasti tidak sempat masak di rumah.
Mereka bahkan menghentikan aktivitas sehari-hari.
"Yee, Kak Intan
ngapain pula bawa gelang-gelang ini? Juwita
dan Delima hampir berseru berbarengan saat
Intan kembali sambil membawa nampan air
minum ( dengan beberapa gelang "Safe The Planet"-nya).
"Nih, buat kalian—" Intan melotot,
menyerahkan dua gelang.
"Mending gratis." Mulut
Juwita kumur-kumur protes. Orang dibayar
lima ribu saja mereka tetap tidak mau pakai.
Lah, ini justru disuruh bayar lima
ribu. Delima ikut-ikutan malas menerimanya. Tapi daripada
nanti Kak Intan marah-marah,
terus nyubit perut. Mending
ngalah. Nanti kan sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
Kak Laisa yang berbaring
bersandarkan bantal tertawa kecil. Juwita
dan Delima benar-benar mirip kedua ayahnya.
Dulu meski bandel, melihat kelakuan Ikanuri
dan Wibisana sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras
kepala, selalu membantah, kedua sigung kecil itu
membuat masa kecil dan remajanya yang
sulit dan penuh kerja keras, menjadi berwarna dan
berisik sepanjang hari. Mereka sejak dulu, selalu
menjadi adik-adik yang baik. Hanya soal
bagaimana mereka menunjukkannya saja yang sedikit
berbeda dengan anak-anak lain. Mereka hanya
menuntut perhatian. Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya.
Kebersamaan di rumah hanya ada lepas maghrib,
itupun dengan wajah-wajah lelah. Maka dua
sigung kecil itu juga sibuk mencari perhatian. Nakal. Ikanuri
dan Wibisana sejak dulu memang beda,
dan sekarang tabiat jahil mereka sempurna diwarisi oleh
Juwita dan Delima.
"JIKA ada seseorang yang tidak
mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika ada seseorang
yang tetap bersedia menikah walau telah
melihat foto-foto Kakak.... Namun, namun...."
"Katakan saja, Dali. Langsung ke pokok
permasalahan." Kak
Laisa memotong lembut, menatap wajah
adiknya lamat-lamat. Bukan sekali dua ini mereka
membicarakan urusan perjodohan. Bukan pula
sekali dua ini mereka melakukan pembicaraan
di lereng perkebunan strawbery saat malam
tiba di penghujungnya. Ia amat mengenal
intonasi, mimik muka, bahkan helaan nafas
Dalimunte saat bicara. Jadi kenapa adiknya harus merasa
amat sungkan.
"Katakan saja, Dali. Namun
kenapa?" Kak Laisa bertanya sekali
lagi, memegang lengan adiknya. Tingginya
hanya sedada Dalimunte. Hamparan buah strawberry
terlihat remang di bawah cahaya rembulan.
Jadwal pulang dua bulanan mereka. Semuanya
berkumpul, kecuali Yashinta, yang masih
kuliah di Belanda. Hanya menelepon saat mereka ramai duduk di beranda
rumah panggung.
"Dali yakin dia pilihan
yang baik. Jodoh yang baik.... Dia teman riset
Dali di lab. Umurnya empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari
keluarga yang baik. Namun..." Dalimunte menelan
ludah. Deskripsi yang penuh informasi dalam
satu tarikan nafas itu terhenti. Kak Laisa tersenyum, namun
apa?
"Dia sudah menikah....
Maksud Dali, mereka sudah lima belas
tahun menikah, dan istrinya tidak bisa
mengandung. Istrinya yang meminta dia
menikah lagi.... Maksud Dali, mereka sudah
melihat foto dan biodata Kakak. Istrinya
juga sudah setuju.... Mereka benar-benar keluarga
yang menyenangkan, keluarga yang bahagia....
Dia berjanji akan mencintai Kak Laisa
dengan baik, istrinya juga berjanji akan
menerima Kak Laisa dengan baik...." Dalimunte menghela nafas.
Terhenti sejenak. Setelah tertahan, penjelasan itu
akhirnya meluncur bagai bebat air yang jebol, Lengang, Hanya
terdengar suara burung hantu di kejauhan.
"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, apakah
Kak Laisa bersedia jadi istri kedua?" Dalimunte bertanya ragu-ragu. Meski
dengan intonasi suara yang lebih baik. Lebih jelas. Sekali lagi hanya lengang.
Dan sungguh tidak ada keputusan malam itu. Kak
Laisa hanya tepekur. Tertunduk menatap
ribuan polybag strawberry yang membentang luas
memenuhi lereng lembah. Entahlah apa yang dipikirkan
Kak Laisa. Entah apa yang sedang berkecamuk
di kepalanya. Dalimunte ikutan terdiam.
Tidak bertanya lagi. Urusan ini tentu saja tidak mudah.
Istri kedua? Apakah ada wanita di dunia ini yang dengan mudah
memutuskan menjadi istri kedua? Meski
dengan banyak alasan bijak. Apakah harga diri
Kak Laisa terganggu dengan pertanyaan itu?
Setelah sekian lama tidak mendapatkan jodoh, setelah
sekian lama ditolak baik secara halus atau kasar sekalian, pilihan yang
tersedia baginya ternyata hanya istri kedua? Ya Allah? Hanya lengang. Tidak ada
keputusan malam itu. Dan juga tidak malam-malam berikutnya saat jadwal pulang. Mamak
tak kuasa membantu Dalimunte memberikan penjelasan kepada Kak Laisa. Wak Burhan
juga meski dulu amat yakin bahwa
solusi yang baik bagi Laisa dalam
urusan ini adalah menjadi istri kedua juga
tidak bisa membantu banyak. Ikanuri dan
Wibisana yang akhirnya tahu masalah itu dari Dalimunte juga diam. Menelan
ludah. Dalimunte sengaja tidak memberitahu Yashinta, karena
pasti adik terkecil mereka akan menolak
mentah-mentah pilihan tersebut.
Empat bulan
berlalu, Dalimunte terpaksa
berbohong kepada rekan risetnya saat dia mulai
meminta jawaban,
"Kak Laisa membutuhkan waktu
lama untuk memutuskan. Aku tidak tahu
berapa lama
lagi...." Kabar baiknya, rekan riset
Dalimunte tidak terlalu mendesak,
"Tak masalah, Dali.
Laisa memang harus memikirkannya matang-matang.
Tidak hanya persiapan dirinya sendiri, tapi
ia juga harus mempersiapkan diri bagaimana
tetangga sekitar akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan
menikah lagi, kami berdua memerlukan waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa
menunggu kabar baik dari Kak Laisa beberapa bulan lagi," Tersenyum.
Itu kunjungan ke sekian kali Dalimunte
ke keluarga itu. Kali ini bersama Cie Hui.
Bagaimana tetangga sekitar akan menilainya? Dalimunte terdiam
lama, menelan ludah.
Urusan ini jelas-jelas
tidak lazim di Lembah Lahambay. Gadis
tua saja sudah menjadi aib. Dilintas adiknya menikah
pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu benar-benar
tidak lazim. Meski bukan jadwal rutin seharusnya,
Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana pulang lagi
ke lembah satu minggu kemudian. Wak Burhan
meninggal. Di usia 88 tahun. Proses
kematian yang indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak Burhan
meninggal saat sujud shalat shubuh di surau.
Membuat jamaah bingung karena imam
mereka tidak kunjung bangkit untuk duduk tasyahud
akhir. Ternyata Wak Burhan yang suara
kerasnya selalu menghias Lembah Lahambay sudah meninggal.
Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat dengan Wak Burhan (karena
sering mengadu soal Kak Laisa) ingin
memaksakan diri pulang. Tapi Dalimunte melarang,
Yashinta sedang melakukan riset S2-nya.
"Kata Mamak tadi sebenarnya tidak ada
yang tahu berapa persis umur Wak Burhan.... Nisan itu hanya sembarang menulis
tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu." Kak Laisa memecah sunyi
lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam.
"Bagaimana Mamak akan
tahu? Mamak saja tidak tahu kapan
tahun lahirnya sendiri? Juga tanggal lahir
kita, bukan? " Dalimunte tertawa
kecil. Bergurau. Itu benar, waktu mereka mendaftar
sekolah dulu, mereka mengisi sembarang
kolom tanggal lahir. Mamak dan kebiasaan penduduk
lembah, selalu lalai untuk mencatat tanggal lahir. Mereka hanya
ingat si anu lahir saat musim tanam tahun
kapan. Musim penghujan tahun kapan, musim
paceklik, dan seterusnya. Tidak ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan.
"Wak Burhan terlihat
senang sekali tahun-tahun terakhir meski
hidup sendiri.... Dia bangga sekali dengan
penghidupan pang baik di lembah. Dia
juga bangga sekali denganmu, Dalimunte.
Berkali-kali bilang ke anak-anak yang
belajar ngaji di surau soal pentingnya sekolah,
'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat. Sering masuk tipi' —
" Kak Laisa tersenyum,
menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu. Semua penduduk
lembah tahu, Wak Burhan meski menikah
dua kali, hampir menghabiskan hidupnya sendiri. Istri
muda (istri kedua) Wak Burhan yang dulu menikah
di usia tujuh puluhan sudah meninggal lima
tahun silam. Anak satu-satunya dari istri
pertama juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng.
"Aku ingat sekali
kata-katanya, yang selalu diucapkan setiap
kali bertandang ke rumah, bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski
terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk berketuarga, memiliki
tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..." Kak Laisa mendadak
terhenti. Menghela nafas.
Dalimunte yang berdiri di
sebelahnya menoleh. Dia juga pernah
mendengar kalimat itu dari Wak Burhan.
Sudah hampir lima bulan mereka tidak
membicarakan perjodohan itu. Sungkan. Dalimunte
takut menyinggung perasaan Kak Laisa. Malam
ini? Dalimunte ikut menghela nafas panjang. Malam ini mungkin
tidak membicarakan hal itu setelah kematian Wak Burhan.
"Apakah, ergh, apakah Kak Laisa
enggan dengan sebutan istri kedua? Maksud Dali, apakah Kak
Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah berdiam
diri satu sama lain, Dalimunte akhirnya
memutuskan untuk membicarakan hal tersebut.
Mungkin ini saat yang tepat. Kak Laisa menoleh. Menatap wajah
Dalimunte lamat-lamat,
"Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak
pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan orang lain,
buat apa kau mencemaskan apa yang
akan dinilai orang lain... Tentu saja bukan itu
masalahnya."
"Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa
tidak kunjung mengambil keputusan? Setidaknya untuk bilang ya
atau tidak.... Wak Burhan dulu pernah
bilang, jika ada alasan baiknya, menjadi istri kedua
tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga mengijinkan....
Dan Dali yakin sekali, mereka juga
akan menjadi bagian yang tepat bagi keluarga
kita...." Kak Laisa diam sejenak. Membiarkan angin pagi menelisik rambut
gimbalnya. Dingin.
"Setiap kali menatap
hamparan perkebunan strawberry ini, aku
selalu merasa, Allah amat baik kepada kita.... Kau tahu Dali,
setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang telah
kalian lakukan. Aku merasa, Allah
benar-benar baik kepada kita. Kakak sungguh merasa
cukup dengan semua ini.... Umurku hampir
empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian lama
jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi....
Mungkin benar sudah menjadi kodrat manusia untuk
menikah, berkeluarga. Mungkin Wak Burhan benar. Tapi
itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa
menerima kenyataan jika memang menjadi takdirku
hidup sendiri, jika memang tak ada
lelaki yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini. Ah,
Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga
kita. Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua
itu...." Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi.
"Apakah Kakak tetap
menginginkan menikah? Tentu saja, Dali.
Namun jika perjodohan itu harus datang, Kakak
tidak ingin proses itu justru mengganggu
kebahagiaan yang sudah ada. Bukan karena sebutan
istri kedua itu, Dali, Bukan pula
karena cemas apa yang akan dipikirkan
tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan
itu menganggu kebahagiaan yang telah ada...."
Malam itu setelah bicara
hingga shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa yang
mengumandangkan adzan tersebut sekarang).
Akhirnya keputusan itu diambil. Dalimunte
akhirnya mengerti mengapa begitu lama
keputusan itu terbelengkalai, Kak Laisa enggan
menyakiti perasaan istri pertama calon
perjodohan ini. Butuh berkali-kali menyakinkan
Kak Laisa kalau pernikahan itu justru
karena permintaan istri pertama. Sungguh tak akan ada yang
tersakiti. Tentu saja, di hati paling dalam istri pertama proses ini mungkin
akan menyakitinya karena ia tetap manusia
yang memiliki perasaan, tapi kasus ini amat
berbeda. Mungkin inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian. Shubuh
itu akhirnya keputusan penting itu berhasil diambil.
KAK LAISA terlihat gugup
sepanjang pagi (bahkan sebenarnya sejak
semalam). Meski ia berusaha menyembunyikannya dengan
menyibukkan diri, memastikan semua baik-baik saja, wajahnya yang memerah
tak bisa menyembunyikan perasaan Dua minggu sejak
kematian Wak Burhan. Selepas pembicaraari
penting shubuh itu, Dalimunte menyerahkan foto-foto
dan profile rekan risetnya. Juga foto
istri pertamanya. Menceritakan banyak hal.
Menjawab banyak pertanyaan. Lantas Laisa
mengangguk, mempersilahkan mereka segera datang untuk saling berkenalan.
Siang ini rombongan dari ibukota akan tiba. Yang
lain juga pulang, Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana
lebih dulu pulang. Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota
seberang pulau, bengkel yang di kota provinsi
diurus orang kepercayaan Mereka. Yashinta
tetap tidak bisa pulang, semakin sibuk
dengan penelitian tahun terakhir S2-nya.
Tapi ia menyempatkan menelepon berkali-kali.
Telepon pertama penuh dengan rajuk
keberatan. Bagaimanalah Kak Laisa akan menjadi
istri kedua? Ya Allah, apakah Kak
Laisa harus melemparkan harga dirinya? Merendahkan
martabatnya menjadi istri kedua? Dalimunte
bahkan sampai marah menjelaskan banyak alasan. Telepon kedua,
ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski tetap merajuk).
Dan akhirnya menangis tersedu saat Kak
Laisa sendiri yang menjelaskan keputusan itu.
"Kalau Yash tidak suka, Kakak akan
membatalkannya, sayang. Sungguh, kalau Yash tidak setuju — " Yashinta yang
menelepon dari apartemennya di Belanda menyeka pipi. Ia tidak akan pernah
membantah Kak Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang.
Menjelang dzhuhur, dua
kijang kapsul jemputan pengalengan buah
strawberry itu tiba. Kak Laisa berkali-kali
memperbaiki kerudungnya. Berkali-kali merapikan
pakaian. Ia amat gugup. Mamak hanya tersenyum simpul. Mengenggam
jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Lais. Dan
urusan sepanjang siang itu berjaian lancar,
tidak sesulit yang dicemaskan Laisa. Rekan
riset Dalimunte hanya datang seorang diri.
Istrinya sakit, sudah dua hari mual dan muntah.
Terlalu lemah untuk melakukan perjalanan
jauh. Rekan Dalimunte pandai menempatkan diri dalam urusan
tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik.
"Aku akhirnya mengerti
bagaimana Dalimunte bisa menjadi ahli
fisika yang hebat.... Tapi kau tidak lagi masih dipukul Laisa
dengan rotan, bukan?" Tertawa. Membuat suasana
tegang mencair dengan cepat. Cie Hui
juga membantu banyak Kak Laisa. Pertemuan
itu tidak semenakutkan yang dipikirkan
Laisa. Justru berjalan menyenangkan.
Mereka shalat dzhuhur
sebelum melakukan pembicaraan. Menghabiskan makan
siang. Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar, inilah kesempatan
terbaik Kak Laisa. Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia sama sekali tidak
mempersalahkan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa.
"Bagiku kau secantik apa yang kau kerjakan
untuk lembah ini, Lais!" Menatap penuh
penghargaan. Ah, dalam banyak kasus,
kesalehan seseorang memang tidak bisa diukur
dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi
pakaian. Dan kebersamaan sepanjang siang
(bersama-sama dengan yang lain) itu sudah
menjadi proses perkenalan yang baik.
Memahami visi dan misi
berkeluarga masing-masing. Memahami cara berpikir
masing- masing. Maka memang tidak perlu
lagi pembicaraan formal. Semuanya berjalan
santai. Mengalir. Apa adanya. Sekali dua, Kak
Laisa memberanikan diri melirik rekan kerja
Dalimunte. Memerah mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu
lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya sedang alim, mereka
tidak sibuk menggoda Kak Laisa yang
tersipu. Dalimunte hanya tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya
berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.
Selepas shalat isya,
lepas menghabiskan makan malam di depan,
sambil memandang hamparan perkebunan strawberry
yang remang oleh cahaya lampu, rekan riset
Dalimunte akhirnya menyampaikan maksud dan
tujuannya dengan serius. Menatap wajah Kak
Laisa sambil tersenyum,
"Laisa mungkin sudah
mendengar beberapa hal tentang aku, sudah
tahu beberapa tabiat, perangai.... Hari ini
aku datang memperkenalkan diri secara
langsung, sekaligus ingin mengenal secara
langsung. Terus terang, aku merasa amat
diterima di keluarga ini.... Kalau saja istriku bisa
datang, ia pasti akan lebih senang dariku...." Rekan kerja Dalimunte
memberikan hadiah dari istrinya untuk
Laisa. Seperangkat kain bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
"Aku amat mencintai
istriku, tidak pernah sekalipun terlintas
untuk menikah lagi, tapi aku berjanji, jika
urusan ini berjalan sesuai yang
direncanakan, aku akan belajar banyak bagaimana
membagi cinta dengan adil.... Dan aku
berharap Laisa bisa memberikan kesempatan untuk
melakukannya, menjalani prosesnya dengan indah
dan baik.... Aku sungguh ingin meneruskan proses ini...."
Malam itu sepertinya urusan benar-benar
akan berjalan sesuai yang direncanakan. Meski berusaha untuk
tetap terkendali seperti selama ini, muka
tersipu dan memerah tidak bisa menyembunyikan
perasaan Kak Laisa. Mamak Lainuri juga
tersenyum bahagia. Malam itu sepertinya kabar baik itu
benar-benar tiba. Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain. Yang
sungguh membuat semua kebahagiaan sesaat
itu lenyap tak berbekas. Malam itu, Kak
Laisa untuk pertama kalinya tidak
menghabiskan penghujung malam dengan berdiri di hamparan
perkebunan. Ia tertidur lelap di kamarnya. Juga yang lain.
Tapi kesunyian lembah mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah
sakit ibukota. Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah
dilarikan ke rumah sakit dua jam lalu. Kondisinyn
memburuk. Tapi bukan soal sakitnya yang merusak
rencana. Kata dokter ia hanya lelah dan
terlampau banyak pikiran. Anemia, penyakit
kebanyakan ibu-ibu lainnya. Hanya perlu
istrirahat total selama sebulan. Yang
membuat semuanya mendadak berubah haluan seratus
delapan puluh derajat adalah saat dokter
memeriksa secara menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang
hamil muda. Gugup rekan kerja Dalimunte mendengar berita itu.
Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah. Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka
tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba. Gugup membangunkan
Dalimunte. Memutuskan pulang segera ke
ibukota. Gugup menjelaskan kabar bahagia tersebut
ke Mamak dan Kak Laisa. Awalnya tidak
ada yang memikirkan kalau kabar bahagia itu
akan memiliki banyak implikasi penting.
Tidak ada.
Ikanuri dan Wibisana
menawarkan diri segera mengantar ke kota provinsi,
agar bisa naik pesawat siang ini yang menuju ibukota. Tidak ada
yang berpikir tidak-tidak. Hanya Kak Laisa yang
berdiri di daun pintu, menatap kosong
mobil yang dikemudikan Ikanuri membelah lengangnya
shubuh Lembah Lahambay. Cahaya lampunya menghilang
ditikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang
merekah bahagia dua puluh empat jam terakhir. Kabar baik itu, ternyata bagai
pisau bermata dua.
"Sungguh maafkan, Dali—" Dalimunte
tertunduk lama sekali.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan—"
Kak Laisa menggenggam erat lengan
Dalimunte, menenangkan. Meski suara itu
sebenarnya sedikit berbeda dari biasanya. Serak. Bergetar.
Malam ini, satu bulan sejak kunjungan rekan kerja
Dalimunte ke perkebunan strawberry. Satu bulan yang
berjalan menyedihkan. Apa yang dibilang
berkali-kali oleh rekan kerja Dalimunte? Ia
amat mencintai istrinya. Jika saja istrinya
bisa mengandung anak-anaknya, maka ia tidak akan menikah lagi. Ini
semua bukan salahnya. Dan jelas bukan maunya kenapa kabar baik tentang
kehamilan tersebut justru tiba persis saat dia di titik serius untuk menikah lagi
(dengan Kak Laisa). Rekan kerja Dalimunte
amat menyesal. Meminta maaf sungguh-sungguh
saat tadi siang kembali berkunjung. Mencium
jemari Mamak. Menatap Kak Laisa penuh rasa
sesal. Dengan hamilnya istrinya, dia tidak
akan pernah tega untuk menikah lagi. Meski
isterinya mendesak untuk tetap meneruskan
rencana tersebut, menenggang perasaan Kak Laisa, tapi dia
sungguh tidak bisa melakukannya.
"Apakah Kak Laisa kecewa?" Dalimunte
tertunduk.
"Mungkin tidak," Laisa menjawab pelan,
menggeleng,
"Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa,
kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan. Mungkin yang
kali ini butuh waktu cukup lama.
Membersihkan harapan-harapan yang terlanjur datang." Dalimunte
menggigit bibir. Dia sama sekali tidak
menyangka akan seperti ini jalan ceritanya.
Kesempatan baik itu? Dalimunte mengusap wajah
kebasnya. Perjodohan yang urung itu merubah
banyak hal. Rekan kerjanya memutuskan
berhenti dari lab. Mereka juga pindah dari perumahan
asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah Dalimunte
"Aku merasa amat
bersalah, Dali. Jadi biarkan aku pergi.
Sekali lagi bilang Laisa, maafkan aku. Maafkan bila
proses ini telah menyakiti hatinya." Itu kalimat terakhir saat rekan
kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan,
Bulan sabit tergantung elok di antara
bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar strawberry.
Minggu-minggu ini harusnya menjadi saat
yang menyenangkan bagi seluruh warga kampung. Menjadi hari
berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang persisnya ada di
kepala Kak Laisa sekarang. Entahlah apa
yang sedang berkecamuk di kepalanya. Ternyata
kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.
LAISA BENAR, waktu dan
kesibukan perlahan akan mempu membuatnya
melupakan harapan-harapan yang terlanjur tumbuh.
Setahun berlalu. Usianya sekarang menjejak
39, Dalimunte 33, Wibisana hampir 31,
Ikanuri 30, dan Yashinta 27. Mamak?
Entahlah, tidak ada yang tahu persis berapa
usia Mamak Lainuri sekarang. Mamak hanya
ingat, lahir pas masa-masa pemberontakan revolusioner.
Setahun berlalu, di
antara berbagai proses perjodohan Kak Laisa
yang berjalan menyakitkan, kabar baik tetap datang silih berganti. Cie
Hui mengandung. Itu menjadi berita besar Lembah mereka.
Membuat rumah panggung itu buncah oleh
kebahagiaan. Sekarang sudah sembilan bulan.
Dalimunte dan Cie Hui memutuskan untuk
melahirkan di Lembah Lahambay,
"Biar ia menjadi anak lembah ini. Biar ia
bisa mencium segarnya udara lembah.... Biar ia bisa menjejakkan kakinya di
embun rerumputan...." Begitu kata Cie Hui
riang. Maka sudah seminggu ini mereka
pulang ke perkebunan.
Menunggu hari H. Sejenak melupakan berbagai riset
mutakhir Dalimunte di laboratorium. Kabar baik kedua
adalah: Yashinta akhirnya menyelesaikan
pendidikan masternya. Cumlaude. Lulusan terbaik.
Ia jelas-jelas mewarisi kecerdasan Dalimunte,
meski juga mewarisi tabiat keras-kepala Ikanuri
dan Wibisana. Hari ini tiba di kota
provinsi setelah penerbangan transit (Hongkong, Singapore dan Jakarta)
dari Belanda. Benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Mamak
dan Dalimunte menjemput di bandara.
Sementara Kak Laisa menemani Cie Hui di perkebunan.
Lihatlah, gadis itu
terlihat begitu cantik saat keluar dari
pintu kedatangan. Wajahnya sedikit memerah di
terpa matahari terik. Mengenakan sweater
hijau. Dengan syal sewarna Yashinta mirip
sudah dengan putri-putri negeri bersalju.
Kuncir rambut panjangnya bergoyang-goyang. Sedikit
berlari menghambur ke Mamak, berpelukan.
Menangis. Dua tahun lebih Yashinta tidak
pulang. Hanya telepon. Jadi setelah sekian
lama rasa rindu itu menggumpal, pertemuan ini
amat mengharukan, Dalimunte mengacak-acak rambut adiknya. Tertawa
(sebenarnya menahan rasa harunya).
Mereka tidak langsung berangkat
meski Yashinta sudah tiba. Masih menunggu setengah jam
lagi. Pesawat dari kota seberang pulau,
yang membawa Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung
nakal itu juga pulang. Kejutan. Benar-benar
kejutan saat dua sigung tersebut keluar dari
pintu kedatangan. Karena mereka tidak datang hanya berdua. Ikanuri dan Wibisana
sudah punya bengkel besar di kota seberang pulau. Malah menurut Ikanuri
beberapa waktu lalu, mereka merencanakan untuk mulai
membuat pabrik spare-part, suku cadang. Bisnis dan kehidupan mereka sudah
amat matang. Beberapa tahun terakhir, Kak Laisa juga sudah sering bertanya
kapan mereka akan menikah. Sama seperti saat menasehati Dalimunte dulu,
"Kalian tidak perlu menunggu kakak, tidak
perlu— "
Berbeda dengan Dalimunte yang kisah cintanya
diketahui massal satu keluarga (juga satu lembah), Ikanuri dan Wibisana amat
tertutup soal ini. Saat itu tidak ada yang tahu, dua sigung nakal
itu bahkan telah membuat calon pasangan
masing-masing menunggu lebih lama dibandingkan
Cie Hui. Tanpa kepastian. Bahkan tanpa
kesempatan sedikitpun untuk mengenal keluarga di perkebunan
strawberry. Tidak ada yang pernah menyangka, dua sigung yang
dulu amat bebal, keras kepala, dan selalu melawan Kak
Laisa, bertahun-tahun terakhir berkutat dengan
masalah: tidak akan menikah sebelum Kak
Laisa menikah. Bagaimana mungkin Kak Laisa
akan dilintas untuk yang kedua dan ketiga
kalinya? Itu benar-benar akan menyakiti
perasaan Kak Laisa. Maka mereka membuat
calon pasangannya menunggu selama tujuh
tahun terakhir ini. Dikenalkan pun tidak. Lebih lama
dibandingkan Dalimunte dan Cie Hui.
Namun sejak kejadian perjodohan yang
urung itu. Calon pasangan mereka yang
mulai serius memaksa. Bahkan orang tua masing-masing juga
ikutan meminta kepastian, hari ini, benar-benar kejutan.
Lihatlah, Ikanuri dan Wibisana datang
bersama Wulan dan Jasmine. Berjalan bersisian di pintu
kedatangan bandara, mendekat. Membuat Dalimunte, Mamak, dan Yashinta
tercengang. Dua sigung itu akhirnya
memutuskan memperkenalkan Wulan dan Jasmine. Maka
lebih tercengang lagi saat ikanuri dan
Wibisana bilang mereka sudah saling mengenal sejak masih
kuliah.
"Kalian tidak memberitahu kami soal hubungan
kalian sudah selama itu?" Dahi Dalimunte terlipat,
menggelengkan kepala.
"Waktu Kak Ikanuri
dan Kak Wibisana wisuda dulu, kenapa
Yash tidak dikenalkan sekalian?" Yashinta menyela.
Wibisana hanya mengangkat
bahu. Ikanuri memegang stir mobil
modifikasi hanya tertawa kecil.Maka perjalanan
enam jam menuju perkebunan benar-benar
menjadi tidak terasa. Banyak sekali potongan romantisme Dalimunte
dan Cie Hui. Wulan dan Jasmin tipikal gadis yang menyenangkan.
Cantik. Berpendidikan. Dari keluarga yang
terhormat. Mereka berdua masih sepupu satu
sama lain. Ikanuri dan Wibisana meski
bukan saudara kembar, tapi kesamaan diantara
mereka melebihi kembar identik. Bukan hanya
soal wajah dan tampilan fisik yang sama
(hanya dibedakan bekas luka di pelipis),
cerita asmara mereka juga mirip. Mengenal Wulan dan
Jasmine di hari yang sama. Menyampaikan perasaan di hari yang sama. Menghabiskan
waktu bersama di hari yang sama. Di
kejar orang tua Wulan dan Jasmine di hari
yang sama (karena mereka jahil bergaya
pemuda benua amerika latin, bermain gitar, bernyanyi
keras-keras di depan pintu rumah Wulan dan Jasmine saat menyatakan
perasaan). Dan berbagai kesamaan lainnya. Cerita-cerita itu
membuat perjalanan menuju perkebunan strawberry
ramai. Ramai oleh celetukan Yashinta.
"Dulunya Yash pikir, tidak akan ada wanita
di dunia ini yang menyukai Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Ternyata masih ada
ya—" Yashinta nyengir, menggoda. Dan seperti biasa, tangan Ikanuri
terangkat, bersiap menjitak.
Senja tiba, langit jingga, mobil balap modifikasi
itu pelan memasuki hamparan perkebunan strawberry. Satu minggu
berjalan meriah. Penuh seruan jahil nan
menggoda Yashinta. Seruan Kak Laisa yang
senang melihat Wulan dan Jasmine.
Penjelasan-penjelasan. Meski di sana-sini bercampur
dengan ketegangan. Cemas. Dan Rusuh. Cie
Hui melahirkan di hari kelima mereka berkumpul. Lebih
cepat lima hari dari jadwal.
"Ini pasti gara-gara
Yash terlalu banyak tertawa, anaknya jadi
tak sabaran ingin keluar." Ikanuri berlarian
menghidupkan mobil, Dalimunte terhuyung menggendong Cie Hui. Dibantu Wibisana.
Mereka sedang makan
malam, seperti biasa ramai, jadi
benar-benar terperanjat saat Cie Hui merintih
kesakitan. Ikanuri meneriaki Wulan dan
Jasmine untuk menyiapkan peralatan bayi (yang
sudah disiapkan Kak Laisa beberapa hari
lalu). Dalimunte berseru jengkel, lupakan soal popok
dan sebagainya itu, Cie Hui sudah amat kesakitan,
bayi itu menendang-nendang kuat, meronta. Buat apa pula coba popok
bayi saat ini? Maka malam itu juga mobil
balap modifikasi Ikanuri dan Wibisana melesat
keluar dari halaman rumah panggung. Tidak seperti waktu Yashinta dulu
sakit parah, lereng itu sekarang mudah saja didaki. Dan jelas
tidak seperti wakru Yashinta sakit dulu, di kampung atas (jika masih
layak disebut kampung), sudah ada puskesmas,
lengkap dengan dokter dan bidan. Kesanalah mereka
bergegas membawa Cie Hui. Intan. Itu nama pemberian Kak Laisa. Sejak kecil
Intan memang sudah terlihat bakatnya. Tidak sabaran. Keras kepala. berisik.
Suka mencari perhatian. Meski cerdas dan banyak akal. Lahir setelah
keras kepala tidak mau keluar-keluar juga.
Setelah dua jam berkutat dengan bukaan
tujuh. Hampir saja Bidan menyerah. Hampir
saja menyarankan untuk dibawa ke rumah
sakit di kota kabupaten untuk operasi caesar,
bayi perempuan itu akhirnya nongol begitu
saja. Seperti sengaja membuat yang lain
bete. Panik. Langsung menangis kencang. Membuat cair
seluruh ketegangan. Dalimunte tidak pernah melihat
Mamak sebahagia ini. Gemas, menciumi wajah
merah cucu tersayang, Intan. Tersenyum riang sambil memperbaiki tudung
kepala. Rambut Mamak sudah memutih. Tapi lihatlah, wajahnya seperti lebih muda
sepuluh tahun. Intan benar-benar menguasai perhatian seluruh anggota keluarga.
Dalimunte menghela nafas dalam. Kak Laisa benar, dulu dia tidak seharusnya
menunggu begitu lama untuk menikah. Mamak meski tidak pernah bilang, selalu
merindukan menimang cucu-cucunya. Intan membuat rumah panggung itu lebih ramai.
Lebih hidup. Teriakannya setiap pagi (atau setiap minta susu) membuat rusuh yang
lain. Berebutan menggendong. Maka seperti sudah
mengerti saja, kalau lagi dicuekin, bayi
kecil itu akan mulai sibuk menangis keras-keras.
Sengaja benar.
SAYANGNYA, meski dengan
semua pemahaman tersebut, dengan melihat
sendiri semua kenyataan itu (menyaksikan
kebahagiaan Mamak saat menggendong Intan),
Ikanuri dan Wibisana sempurna mengulang kejadian
sebelumnya. Mereka berdua membuat Wulan dan Jasmine
menunggu lebih lama lagi. Tetap tidak ada kepastian.
Padahal setiap jadwal pulang dua bulanan, Wulan
dan Jasmine sekarang juga ikut pulang.
Ikut menghabiskan hari di perkebunan strawberry. Menjadi
bagian anggota keluarga.
Enam bulan berlalu. Tetap
tidak ada tanda-tanda hubungan mereka akan
melangkah ke tahapan yang lebih serius. Kak
Laisa tidak hanya sekali mengajak bicara
Ikanuri dan Wibisana, soal melintas, tentang
tidak usah menunggu. Sudah berkali-kiili.
Tetapi kedua sigung itu hanya mengangguk. Nyengir, lantas berkata
ringan,
"Siapa pula yang akan
menunggu Kak Lais? Kita hanya belum siap saja,
kok. Kak Lais sok ditunggu sih!!"
"Usia kalian sudah
lebih dari tiga puluh tahun. Sudah
memiliki pekerjaan yang baik. Memiliki rumah.
Sudah matang. Apa lagi yang kalian
harus siapkan?" Kak Laisa ikut tertawa,
kembali bertanya serius. Ikanuri dan
Wibisana lagi-lagi hanya menimpali sambil bergurau.
Yang justru sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua.
Dulu waktu kasus
Dalimunte, mereka berdua sebenarnya tidak
habis pikir bagaimana mungkin Dalimunte harus
menunggu begitu lama hingga akhirnya
mengambil keputusan. Mereka juga dulu begitu
sebal saat harus mengantar malam-malam Cie
Hui yang menangis pulang ke kota kecamatan.
Tidak bisa mengerti mengapa Dalimunte yang
jenius dan amat rasional bisa jadi sekeras
kepala itu? Seolah-olah melemparkan seluruh
akal sehat yang dimilikinya. Begitu sulitkah untuk mengambil
keputusan melintas Kak Laisa?
Sekarang mereka sesungguhnya paham ternyata
urusan itu memang tidak mudah. Setiap pulang dua
bulanan, menyaksikan Kak Laisa yang
tersenyum riang menggendong Intan. Membawa Intan mengelilingi
perkebunan strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain. Makan
malam, meriah. Penuh tawa. Tapi di
penghujung shubuh, menyasikan sendiri Kak Laisa yang
berdiri di lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat
mereka tidak pernah memiliki gambaran masalah yang
utuh. Apa yang selama ini dirasakan Kak Laisa? Apakah
yang sesungguhnya Kak Laisa rasakan?
Ikanuri dan Wibisana
tidak seberuntung Dalimunte dalam urusan
ini. Mereka tidak memiliki mekanisme berbicara
serius dengan Kak Laisa, seperti Dalimunte
yang suka menemani berdiri di lereng
perkebunan. Jadi enam bulan berlalu, yang
terjadi hanya percakapan penuh gurauan,
jawaban-jawaban ngarang, dan sebagainya. Tanpa
kemajuan yang berarti.
Enam bulan lagi berlalu.
Dua sigung nakal itu tetap tidak bisa
mengambil keputusan. Justru sibuk mengingat-ingat
masa lalu. Segala kebaikan Kak Laisa
kepada mereka. Segala keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua
sigung itu makin ringkih dengan keputusan. Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak
Laisa dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya sekaligus? Ya
Allah, meski Kak Laisa terlihat baik-baik
saja, meski Kak Laisa bilang ia memang
baik-baik saja tapi mereka tidak akan tega melakukannya. Tidak
setelah menyadari Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kecil dan remajanya
untuk mereka. Dalimunte akhirnya melibatkan diri
dalam urusan tersebut. Memberikan banyak penjelasan.
Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu dua
pembicaraan di ruang depan, juga ikut mendesak.
"Susah amat sih?
Semakin lama tidak ada kepastian, nanti
semakin banyak dosanya, tahu!" Nyengir.
Ikanuri dan Wibisana hanya menatap datar Yashinta.
Adik mereka belum merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
"Atau menunggu Kak
Wulan dan Kak Jasmine dijodohkan seperti
Kak Cie Hui dulu? Hati-hati loh,
sekarang saja Kak Wulan dan Kak
Jasmine sudah tidak bisa ikut ke
perkebunan, bukan?" Tertawa. Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa
mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot sebal, tangannya
seperti biasa terangkat. Malam itu Wulan
dan Jasmine memang tidak bisa ikut pulang ke
perkebunan. Ada acara keluarga.
"Eh, eh, lihat,
lihat!" Yashinta berseru. Menunjuk Intan
yang sejak tadi duduk menatap sekitar. Perlahan mulai
berdiri. Perhatian di beranda berpindah. Menoleh.
" Aduh mau belajar jalan ya? Sini sayang,
sini sama Tante Yash.... Kaki-kaki kecil Intan sedikit bergetar menopang
tubuhnya. Muka menggemaskan itu menyeringai.
Mulutnya terbuka. Mata besar beningnya menatap sekeliling.
Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan.
"Ayo, ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis,
ayo jalan.." Yashinta tertawa, berseru memberikan semangat Yang lain ikut
tertawa.
Kaki Intan bersiap
melangkah. Membuat percakapan soal Ikanuri
dan Wibisana terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak Laisa.
Ikutan duduk jongkok di sebelah Yashinta. Memberikan semangat. Mata hitam
besar Intan mengerjap-ngerjap. Sejenak. Dan seperti mengerti
benar kalau ia sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil itu mendadak
duduk kembali begitu saja. Nyengir lebar. Seolah-olah hendak
berjalannya tadi hanya tepu-tepu. Membuat
yang lain terdiam, 'kecewa' (meski kemudian
tertawa). Sejak kecil Intan memang sudah
begitu. Sok-jadi pusat perhatian. Intan sudah
benar-benar bisa berjalan ketika akhirnya
Ikanuri dan Wibisana berhasil mengambil keputusan
penting tersebut. Saat usia Ikanuri dan
Wibisana hampir tiga puluh lima tahun.
Bukan. Tentu saja bukan karena Wulan
dan Jasmine akan dijodohkan orang tua mereka
masing-masing,
Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya.
Teknologi telepon genggam sudah tiba di lembah mereka.
Dan mereka sudah memiliki enam nomor
penting untuk keluarga. Waktu itu, Dalimunte
terpaksa bergegas meninggalkan konvensi fisika
di Kuala Lumpur, melupakan kalau presentasinya
penting sekali untuk karir penelitiannya
(dia baru saja mendapatkan gelar profesor).
Bergegas terbang langsung ke Jakarta,
Transit sebentar menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari. Ikanuri
dan Wibisana juga segera meninggalkan
pekerjaan di bengkel mereka. Pulang. Kabar
dari Kak Laisa mengkhawatirkan. Lupakan
soal tender suku cadang salah satu perusahaan
otomatif lokal. Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang. Yashinta
yang sedang menyelam di Kepulauan Kaimana,
Papua juga pulang. Membuat sebal kolega
penelitiannya dari Inggris. Karena secara
teknis, Yashinta yang menjadi guide riset
tentang konservasi terumbu karang. Jadi
kalau guide-nya pulang, siapa yang akan memandu
mereka?
"Mamak sakit keras....
Pulang.... Kalian harus segera pulang....
Berangkat dengan pesawat pertama." Hanya itu
kalimat terbata Kak Laisa. Lebih banyak seruan tertahan, dan denting
kecemasan.
Maka mereka tidak perlu
menunggu dua kali. Segera pulang.
Bagaimanalah? Bukankah Mamak tidak pernah sakit selama ini?
Mamak yang terlihat selalu kuat. Selalu sehat. Paling juga
dulu-dulu hanya demam biasa. Sehari dua
sudah membaik dengan sendirinya. Tetap mengerjakan
banyak hal. Memasak gula aren.
Menganyam anyaman rotan. Ke kebun. Membersihkan gulma.
Hanya perlu di kerok dan berbekam. Sembuh. Bagaimanalah Mamak sekarang
sakit keras? Itu enar-benar mencemaskan.
Mereka tiba di bandara kota provinsi hampir
bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan mobil balap
modifikasi yang diantar karyawan
bengkelnya. Menuju rumah sakit kota
provinsi dengan kecepatan tinggi. Mamak
dirawat di sana. Berlarian sepanjang koridor. Sejenak
tidak mempedulikan Intan (yang teganya)
malah puf di saat-saat penting tersebut Membuat
bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun. Dan
langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas,
di depan pintu ruang rawat Mamak. Lihatlah,
Mamak terbaring lemah di atas ranjang.
Pucat. Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang. Yashinta
yang pertama kali menghambur. Memeluk Kak
Laisa, bertanya cemas, berseru cemas, gemetar
mendekat. Menatap wajah Mamak yang sedang
tertidur. Dua belalai plastik membalut lengan.
Peralatan medis yang berdesis pelan.
Dalimunte ikut mendekat, menelan ludah. Ikanuri dan Wibisana
kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan Intan
(yang seperti biasa berseru-seru senang
setiap kali melihat Wak Laisa dan Eyang Lainurinya,
tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)
"A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik
saja?" Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari
Mamak. Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi.
Mengangguk,
"Masa kritis Mamak
sudah lewat....Kata dokter Mamak sudah
terkendali, sudah mulai membaik—"
Terlihat sekali bagaimana
ekspresi wajah empat kakak beradik itu
berubah. Dalimunte langsung mendekap Ikanuri dan
Wibisana. Menghela nafas panjang. Tersenyum lega.
Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat
sekali dengan tangis. Kalian akan menangis karena
perasaan lega yang luar biasa. Bagaimana
tidak? Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu.
Penerbangan langsung dari Sorong. Transit sebentar di
Jakarta. Wajah Mamak dengan rambut berubannya
terus terbayang di jendela pesawat, saat menatap biru lautan.
Membuatnya mengaduh berkali-kali dalam perjalanan. Yashinta
menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak yang tertidur pulas.
Wajah itu masih pucat, tapi Kak Laisa
benar, hela nafas Mamak sudah terkendali.
Rona muka Mamak tenteram. Yashinta menciumi
jemari Mamak. Mendekapnya ke pipi. Seperti
tidak pernah bertemu bertahun-tahun lamanya,
padahal mereka baru saja pulang sebulan
yang lalu. Dan Yashinta menangis lagi. Ia
tadinya sungguh takut. Takut kehilangan.
Dalimunte mendekap kepala adiknya. Menenangkan.
Ikanuri dan Wibisana ikut menyeka matanya
yang berkaca-kaca. Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam
keluarga. Begitu mencintai satu sama lain. Dan begitu takut kehilangan satu
sama lain.
Ya Allah, mereka
sungguh saling mencintai karena Engkau. Intan
mendadak menangis kencang-kencang. Terlupakan.
Gadis kecil itu sibuk protes. Menggerak-gerakkan
pantatnya. Apalagi kalau bukan untuk
membuat bau tak sedap itu menguar di ruangan rawat
Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.
Satu jam berlalu, Cie
Hui membawa Intan ke pengalengan strawberry
di kota provinsi. Ada penginapan karyawan
di sana. Mengganti popok Intan
yang super bau. Beristirahat. Yashinta meski
tidak mau meninggalkan Mamak, meski memaksa
tetap menunggui, menjelang malam ikut menyusul,
ia terlampau lelah dengan perjalanan jarak
jauh. Dan Kak Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan
baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit, kau hanya akan menambah
masalah—" Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
Menyisakan Laisa, Dalimunte,
Ikanuri dan Wibisana di ruang rawat
Mamak. Duduk di kursi plastik yang
diberikan perawat. Dokter yang merawat
Mamak ternyata mengenali Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan
menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu saat melakukan pemeriksaan
jam sembilan tadi. Senyap. Ruangan rawat inap itu hening. Hanya
menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski lelah, Dalimunte
tidak bisa tidur. Juga Ikanuri dan
Wibisana. Kak Laisa perlahan memperbaiki selimut
Mamak. Lantas menatap wajah-wajah kusut
adiknya. Tersenyum. Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana. Dua
sigung yang tidak kecil lagi
itu mengangkat kepala. Menatap Kak Laisa
yang sekarang persis duduk di depannya.
"Ikanuri, Wibisana..." Kak Laisa berkata
lembut menyentuh lengan adik-adiknya,
"Kita memang tidak akan pernah tahu.... Tidak pernah bisa
menebak, menduga. Tetapi suatu hari nanti,
salah-satu dari anggota kelarga yang amat
kita dntai pasti akan pergi. Siap atau tidak,
suka atau tidak...." Dalimunte mengusap wajahnya. Menatap
Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak
Laisa.
"Lihatlah.... Mamak
sekarang tertidur nyenyak.... Begitu damai,
begitu tenang, begitu bahagia. Karena Mamak
sudah amat bahagia dengan hidupnya.
Memiliki kalian, sebagai anak-anaknya, adalah kebahagiaan
terbesar yang tidak pernah dibayangkan Mamak. Mamak tahun-tahun
terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan
strawberry..." Ikanuri dan Dalimunte menahan nafas. Tertunduk.
Mereka juga tidak mengerti apa yang hendak
dikatakan Kak Laisa. Tapi kalimat-kalimat
itu menusuk. Kepergian dari anggota keluarga yang kita
cintai?
"Ikanuri, Wibisana....
Kakak berkali-kali bilang, tidak baik
membuat Wulan dan Jasmine menunggu terlalu
lama.... Kalian tidak seharusnya menunggu
Kakak. Karena kita tidak pernah tahu apa
yang akan terjadi besok lusa.... Kalau
kalian ingin pernikahan kalian masih sempat
dilihat langsung Mamak, sempat disaksikan
oleh Mamak, segeralah menikah... Dengan kebaikan Allah, tentu
saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap bersama
kita. Menghabiskan hari tuanya di
perkebunan strawberry. Tetapi kalau kalian tetapkeras
kepala menunggu sesuatu yang mungkin tidak
akan pernah terjadi...." Kak Laisa terdiam
sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya. Ruangan itu hening lagi.
"Kalau kalian tetap
keras kepala menunggu Kakak, maka kalian
mungkin akan kehilangan kesempatan membuat Mamak
semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak katakan?
Pernikahan kalian akan membuat rumah
panggung kita lebih ramai. Anak-anak kalian sungguh
akan membuat suasana terlihat berbeda. Lihatlah, Intan, meski tadi
membuat suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan,
bukan...." Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis
kencang-kencang tadi. Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya
diambil. Pernikahan kedua dan ketiga di keluarga
itu terjadi sebulan kemudian. Mamak pulang dari
rumah sakit setelah dirawat empat hari
lagi. Meski masih lemah, tapi wajah Mamak sudah
segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat
"Bagaimana mungkin Mamak
sakit? Sakit hati pula. Bukankah selama
ini Mamak selalu bahagia, meski kami bandel dan nakal? Ada-ada
saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain tertawa.
Ikanuri dan Wibisana
kembali ke kota seberang pulau seminggu
kemudian. Langsung meminang Wulan dan Jasmine.
Mereka lagi-lagi melakukannya di
saat yang bersamaan. Dengan cara yang
sama pula, sama-sama hiperbolik (meski
menyentuh), "Ayah, Ibu, aku tidak bisa menjanjikan
banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti Kak
Laisa dengan ribuan hektar kebun
strawberry-nya. Aku juga tidak
sepintar Profesor Dalimunte yang terkenal itu.
Tetapi aku punya hati. Hati yang
terlanjur mencintai Wulan (jasmine; saat Wibisana
yang bicara dengan calon mertuanya).... Terima
kasih banyak telah membesarkan putri kalian
hingga menjadi begitu cantik, begitu
menawan. Dengan segenap rasa. Ayah, Ibu,
ijinkanlah aku meminangnya...." Membuat
orang tua Wulan dan Jasmine berkaca-kaca (rumah mereka
hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga merekasaling
bercerita, terpaksa manyun satu sama lain
karena baru tahu kalimat indah calon menantu
mereka fotokopi satu sama l.iin. Urung saling menyombong. Ikanuri
dan Wibisana memutuskan untuk menikah di
hari yang sama. Di Lembah Lahambay, lembah indah
mereka.
KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala
pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat. Tapi
kebahagiaan yang melingkupi rumah panggung
atas pernikahan 'kembar' Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti
kejadian biasa-hiasa saja. Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi
kepala kampung, sibuk meneriaki anak muda yang sedang
mendirikan tenda-tenda. Sibuk membuat gerbang janur
kuning. Batang pisang disusun rapi. Bertingkat.
Menyusun pot-pot bonsai, Malah Bang Jogar
yang meski tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat
tiga patung harimau dari janur di depan gerbang
halaman rumput. Membuat yang lain tertawa.
Bang Jogar sengaja hendak mengenang masa lalu itu.
Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte
sempat berpapasan dengan Kak Laisa di beranda rumah. Menyelak
ibu-ibu dan anak gadis tetangga yang
sedang duduk berbaris, menyiapkan makanan buat
acara besok. Mengiris buncis. Memarut kelapa. Muka Kak
Laisa terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur,
bertanya, tapi urung, ada rombongan pembawa panci di
belakangnya, ingin lewat. Gulai opor
mengepul. Membuat terlupakan. Ikanuri dan Wibisana
siangnya juga mencari Kak Laisa, bertanya
tentang siapa saksi pernikahan mereka besok
Tidak ada, Kak Laisa tidak ada di
rumah. Di cari di bawah panggung tidak ada. Di tenda-tenda
juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan suara berbeda, suara yang
bergetar,
"Kakak kalian sedang
ke kota kabupaten, membeli kekurangan bumbu
dapur, ayam, dan perlengkapan lainnya — " Ikanuri
dan Wibisana hanya mengangguk, itu biasa
terjadi. Selalu Kak Laisa yang belanja, menyiapkan
keperluan pernak-pernik acara. Dalimunte akhirnya
menunjuk Bang Jogar menjadi saksi.
Sore harinya, saat matahari tumbang di barat
sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa baru pulang dari
kota kabupaten. Tidak ada bungkusan
belanjaan, tidak ada barang-barang bawaan, mukanya
pucat,
"Biar, biar aku
berjalan sendiri—" Berbisik lemah pada
sopir pengalengan strawberry. Melangkah masuk ke
halaman, tetap tersenyum menyapa (dan
disapa yang lain). Bahkan Dalimunte yang sedang bicara soal
detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil.
Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat
semuanya terbungkus kabut. Tidak ada yang tahu
kalau Kak Laisa tadi pagi terbatuk
berkali-kali di kamar mandi. Bercak darah keluar bersama
dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah gejala
pertama sakitnya Kak Laisa yang paling
terlihat. Mamak hendak memanggil Dalimunte.
"Tidak, Mak.... Jangan
beri tahu mereka. Jangan. Ini akan
mengganggu kebahagiaan Ikanuri dan Wibisana.... Bagaimana mungkin
mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—" Kak Laisa
tersenggal menarik nafas. Mamak menatap sulungnya
lamat-lamat. Menggenggam tangan Laisa erat-erat.
Mata Mamak yang keriput berdenting air
mata. Ia tahu persis. Sejak sulungnya
masih belasan tahun. Sejak sulungnya bersumpah
untuk selalu terlihat baik-baik saja di
hadapan adik-adiknya, maka Laisa
bersungguh-sungguh dengan sumpahnya. Mamak
tertunduk, menyeka bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte.
"Tapi kau harus segera ke dokter,
Lais—"
"Tidak usah, Mak.
Tidak sekarang.... Mereka akan bertanya-tanya
kalau aku tidak ada dirumah...." Laisa
menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?
"Kau harus ke
dokter, Lais.... Lihatlah darah ini...."
Mamak menelan ludah, menatap getir bercak darah di baju
Laisa.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam
berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan strawberry.
Ke rumah sakit. Sempat pingsan di
ruang ICU, karena ia terlalu lemah. Membuat
sopir pabrik pengalengan yang mengantar
bingung tujuh keliling, gugup, gemetar hendak
menelepon Dalimunte, tapi pesan Laisa di
mobil sebelum mereka turun membuat dia takut melakukannya.
Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat sembuh yang
sungguh mengagumkan, memaksa seluruh bagian tubuhnya
menurut, Laisa mulai membaik,
"Aku harus pulang,
Dok. Tidak ada pilihan lain. Besok
Ikanuri dan Wibisana menikah, bagaimana mungkin
aku tidak di sana?" Laisa menggeleng
tegas saat Dokter memaksanya untuk dirawat
inap. Laisa benar-benar memaksa tubuhnya
menurut. Ia pulang sore itu juga. Dengan
muka masih pucat. Dengan tubuh masih
lemah. Menggunakan sisa-sisa tenaganya. Berseru
lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan,
"Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu
jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba mohon kokohkanlah
kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra
saat berlarian dari Safa- Marwa.... Kuatkanlah kaki
Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak
boleh melihat aku sakit..." Satu titik air mata mengalir di
pipinya. Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil,
ke kampung atas, ketika kakinya bengkak menghantam
tungul kayu. Ketika sendi mata kakinya
bergeser. Itu juga doanyna di Gunung
Kendeng. Itulah doa yang paling disukai
Laisa. Doa-doa itu mengukir langit.
Energi pengorbanan itu
sungguh luar biasa (untuk tidak
mengharukan), jika kalian bisa melihatnya seperti
nyala api, maka mungkin energi itu
bisa membuat terang benderang seluruh Lembah
Lahambay. Malam itu Kak Laisa sudah
kembali riang bersama yang lain. Duduk di
beranda depan, membuat kue kecil-kecil
bersama tetangga. Intan duduk manis di pangkuannya.
Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar. Mengusir
fakta kanker paru-paru stadium satu.
Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu
mereka di perkebunan strawberry. Baru selepas itu kembali ke kota seberang
pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan modal tambahan untuk mulai
membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka tidak terlalu sibuk
dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing. Dalimunte
kembali ke ibukota lepas satu minggu
dari acara pernikahan. Intan menyeringai riang, melambaikan
tangan ke Wawak dan Eyangnya,
"Da-da-" Dan kemudian menangis
kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da itu
maksudnya lambaian perpisahan. Dikiranya hanya da-da
doang. Memaksa balik kembali ke perkebunan
strawberry. Tapi Dalimunte dan Cie Hui
hanya tertawa. Sejak kecil Intan selalu paling semangat
pulang ke lembah. Di sana ia benar-benar
menikmati memiliki Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu
membelanya, meski ia nakal minta ampun.
Yashinta pulang dua hari
kemudian. Ia sudah bekerja di lembaga
konservasi, Bogor. Mulai melibatkan diri di berbagai riset,
program perlindungan, dan sebagainya tentang alam sekitar. Ia juga
sudah menjadi koresponden foto majalah National Geographic. Sudah
punya berbagai gagdet canggih, termasuk telepon
genggam satelit dan kamera dengan lensa
super zoom-nya..
Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte
37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan Yashinta 31
tahun. Sebenarnya kekhawatiran Ikanuri dan
Wibisana soal melintas berlebihan. Tidak ada lagi tetangga yang
sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat pernikahan kembar itu
berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai
Kak Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga
kalinya sekaligus merupakan aib besar. Tetangga kampung
sudah menerima kenyataan itu. Tidak sibuk
bisik-bisik. Jadi meski tak ada Wak Burhan yang
mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan normal.
Setelah yang lain kembali
sibuk dengan aktivitas masing-masing, rumah
panggung itu kembali sepi (dalam artian yang berbeda). Menyisakan Kak
Laisa dan Mamak. Entahlah apa yang sesungguhnya berkecamuk
di kepala Kak Laisa di tengali
sepinya malam. Di tengah senyapnya lereng
perkebunan strawberry. Tidak ada yang tahu.
Dengan berita kanker paru-paru stadium satu
yang ia tutup rapat-rapat kecuali dengan
Mamak, maka benar-benar tidak ada yang tahu
apa yang selalu Laisa pikirkan saat
menatap tangit penghujung malam. Menatap bulan
dan gemintang di Lembah Lahambay. Apakah
memang sesederhana yang selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia
sudah terbiasa dengan kesendiriannya.
Dalimunte tetap berusaha
mencarikan jodoh buat Kak Laisa. Tapi
tiga tahun terakhir intensitasnya tidak setinggi
sebelumnya. Kak Laisa belakangan sepertinya
tidak lagi terlalu bersemangat menanggapi
pembicaraan tersebut. Hanya tersenyum. Tidak
berkomentar. Dan celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi
kejadian menyakitkan itu terulang. Perjodohan yang gagal lagi.
Setahun selepas pernikahan
Ikanuri dan Wibisana, Kak Laisa didekati
seseorang. Seseorang yang terlihat begitu baik,
warga baru lembah, mengaku pensiunan dini
tentara, pindah untuk mencari ketenangan di
lembah. Tinggal di kampung mereka, lantas
setelah enam bulan berinteraksi dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik
dengan Kak Laisa. Usianya sudah 55 tahun, berbeda
sebelas tahun dengan Kak Laisa, penuh
perhatian, seolah-olah bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya. Dalimunte
awalnya sudah tidak suka dengan orang
itu. Apalagi Mamak (yang mengingatkannya pada
masa lalu). Juga yang lain. Yashinta
malah terus terang kasar menyatakan keberatannya
di depan orang tersebut. Semua terlihat
terlalu sempurna. Terlalu banyak kebetulan. Dan terlalu lainnya.
Tapi mereka tidak bisa mencegah proses itu. Apalagi meski Kak Laisa tidak
terlalu bersemangat menanggapinya, proses itu terus mengalir
seperti air. Semakin hari semakin dekat.
Mulai mengajak bicara Mamak. Dan pelan
tapi pasti rencana pernikahan itu mulai serius.
Beruntung. Kedok orang tersebut terbuka sebelum
semuanya terlanjur kadung. Polisi dari kota provinsi
menangkapnya. Dia penipu. Buronan. Sudah
dua kali menipu di tempat lain. Menikah
hanya untuk menguras harta istrinya.
Pura-pura tertarik dengan Kak Laisa hanya untuk
menguasai perkebunan strawberry. Entahlah apa ending
seperti ini kabar baik atau kabar
buruk bagi Kak Laisa. Yang pasti sejak
kejadian tersebut, Kak Laisa mulai enggan
menanggapi pembicaraan perjodohan dengan Dalimunte.
Ia seperti sudah mengubur dalam-dalam
keinginan untuk menikah. Melupakannya. Kak Laisa
seolah sudah bersiap menerima kalau ia
memang ditakdirkan hidup sendirian selamanya. Mungkin saja Kak Laisa
sudah benar-benar terbiasa.
"ABI, Tante Yash
ikut pulang, kan?" Intan yang duduk
di ranjang besar menoleh, bertanya pada Dalimunte. Dalimunte
yang sedang berbicara dengan dokter tentang
kondisi terakhir Kak Laisa mengangguk seadanya.
"Sudah sampai di mana,
sih? Kok nggak ada kabar-kabarnya seperti
Oom Ikanuri dan Oom Wibisana?" Intan bertanya lagi.
Lebih serius, ingin tahu.
Dalimunte kali ini
benar-benar menoleh ke putrinya. Terdiam.
Sudah sampai di mana? Menelan ludah. Malam tiba untuk ke
sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak maghrib.
Mereka sudah shalat berjamaah (kecuali
Juwita dan Delima yang memaksa ikut shalat
gaya duduk Wawak Laisa). Sudah makan
malam, meski makannya di kamar Wak Laisa. Menghampar
sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama. Kondisi Wak
Laisa tidak memburuk, juga tidak membaik.
Ia sepanjang pagi bisa duduk bersandarkan bantal,
tapi setelah siang, karena lelah, kembali tiduran. Batuknya masih.
Juga bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue.
Juwita dan Delima sih dari tadi ingin ikut-ikutan, tapi Kak
Intan melotot. Menyuruh mereka menyingkir. Siang itu
Bang Jogar menghentikan membaca yasin di
surau dan beranda rumah. Mereka masih berkumpul
di bawah panggung, tapi satu dua
menjelang malam kembali ke rumah masing-masing.
Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati.
"Yeee, Abi kok malah melamun?" Intan
berseru, nyengir. Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi.
"Tante Yash masih di jalan, sayang
—" Kak Laisa yang justru menjawab.
Suaranya sedikit serak. Matanya yang tadi
terpejam, perlahan terbuka. Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat.
Dalimunte yang masih berdiri di
depan dokter terdiam. Apa yang hendak dikatakan Kak Laisa?
Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja
menahan diri sejak kemarin untuk bertanya di mana Yashinta sekarang.
Setelah lebih sehari semalam, tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang
yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang jelas adalah Kak Laisa.
"Emangnya Wak Laisa tahu? Kan Wawak sejak
tadi tidur;'" Intan menyeringai. Beringsut mendekat. Laisa berusaha
mengangguk. Tersenyum.
Tentu saja ia tahu.
Kedekatan adik-kakak itu sungguh menembus
batas-batas akal sehat. Tentu saja Laisa
tahu.... Itulah kenapa dia tidak bertanya
ke Dalimunte di mana Yashinta, adik terkecilnya, berada
sekarang. Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini. Bagaimana
tidak? Lima belas jam ]alu, tepatnya saat ia shalat
shubuh sambil duduk tadi pagi, ia baru saja membangunkan adiknya.
Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang.
"Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik
kasar. Mukanya terlihat sekali sebal,
"Kenapa ia harus sibuk melarang-larang.
Bah!" Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun.
Hanya tertunduk.
Malam itu Ikanuri dan
Wibisana dihukum tidur di bale bambu
bawah rumah panggung. Malam beberapa bulan
setelah kejadian di Gunung Kendeng itu.
Dua sigung nakal itu lagi-lagi bolos
sekolah, padahal Mamak, Kak Laisa, dan
Dalimunte sibuk mengurus kebun strawberry. Tidak
hanya sibuk, tapi cemas apakah kali ini
mereka akan berhasil atau gagal total. Dua sigung bebal
itu malah asyik bermain ke kota kecamatan.
"Kenapa sih ia harus
sibuk lapor Mamak.... Sok ngatur. Lihat,
dua tiga tahun lagi, pastilah kita lebih tinggi
dibanding tubuh pendeknya...." Ikanuri bergelung, terus
ngomel. Gerimis membasuh lembah. Deru angin lembah
membawa rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
"Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali
Ikanuri mendesis. Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti.
Yashinta saat itu
sembunyi-sembunyi hendak mengantarkan selimut
buat kakaknya, biar tidak kedinginan di
luar. Desisan yang membuat Yashinta membeku.
Saat itu usia Yashinta delapan tahun, sudah bisa mengerti
banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta yang akan
ia simpan seumur hidupnya. Gemetar Yashinta
kembali menaiki anak tangga, ke atas. Urung
memberikan selimut. Nafasnya tersengal. Kak
Ikanuri jahat. Jahat sekali. Menghina Kak
Laisa seperti itu. Ingin rasanya Yashinta
berteriak. Menimpuk Kak Ikanuri dengan bongkahan
tanah. Tapi ada hal lain yang
membuatnya lebih sesak: Ia bukan kakak kita. Ia
pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.
Malam itu ingin sekali
Yashinta langsung bertanya pada Mamak,
bertanya pada Kak Dalimunte, apa maksud
kata-kata Kak Ikanuri barusan. Apa benar
Kak Laisa bukan kakak mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta
tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang lain sudah
jatuh tertidur (termasuk dua sigung nakal
di bawah rumah), Yashinta masih terjaga. Ia merangkak
mendekati Kak Laisa.
Lembut jemari Yashinta mengusap
wajah Kak Laisa. Rambut gimbalnya. Wajah dengan kulit
hitam. Hidung pesek. Mulut Kak Laisa
yang sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi besar,
tidak proporsional. Yashinta menelan ludah,
Membandingkan wajah itu dengan wajahnya melalui
cermin peraut pensil. Kak Laisa sungguh
berbeda.... Tapi bagaiman mungkin Kak Laisa bukan kakaknya? Dan
Yashinta entah oleh kekuatan apa, tidak
pernah kuasa menanyakan soal itu kepada yang
lain. Tidak pada Mamak. Tidak pada
Kak Dalimunte. Tidak pada dua kakaknya yang
nakal itu. Pernah ia hampir terlepaskan
bertanya pada Wak Burhan, tapi segera
menutup mulutnya. Bagaimanalah kalau itu semua
benar? Bagaimanalah kalau Kak Laisa memang bukan
kakaknya? Yashinta, sejak sekecil itu sudah
amat menghargai Kak Laisa. Ketakutannya atas
kemungkinan jawaban tersebut, membuatnya bungkam
selama puluhan tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah
bertanya.Tidak akan ada bedanya. Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi
kakaknya.
"Tapi Tante Yash
sekarang sudah di mana, Wak? Kok
nggak nyampe-nyampe, sih?" Intan bertanya ingin rahu. Yang
ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam. Tertidur. Di
manakah Yashinta?
Seekor peregrin melenguh. Melintas
kabut yang menutupi lereng terjal Semeru.
Kepakan sayapnya terlihat elok. Bagai pesawat
tempur F-16. Menderu membelah senyap.
Menerabas pucuk-pucuk pohon. Lantas bagai
ballerina sejati, berhenti tepat sebelum
menghantam salah satu dahan, anggun mendarat. Perfecto,
Peregrin itu melenguh lagi. Kemudian loncat
menuruni dahan kayu satu demi satu. Hingga tiba
di semak-semak. Satu meter dari tanah
basah lereng Semeru. Kepalanya bergoyang-goyaitg.
Ekornya bergerak-gerak. Suaranya mendesis, tapi
sekarang terdengar seperti cicitan iba, menatap
ke bawah. Menatap ke tubuh yang
terbanting, tidak sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak
sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir. Di sekitar tubuh itu, dua ekor
bajing juga ikut mendekat. Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari
kesana-kemari. Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari.
Berhenti. Ikut menatap
tubuh yang tergolek lemah itu. Dan,
ya Allah, siapa bilang tidak ada lagi harimau jawa di
Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka itu sudah
punah di rimba Semeru seperti sebuah kesia-siaan besar.
Lihatlah, seekor harimau jawa, yang lebih besar dibandingkan
penguasa Gunung Kendeng, berjalan memutari belukar itu.
Berhenti sejenak. Mendengkur.
RRR. Tapi itu bukan
dengkuran bahaya. Itu dengkuran penuh rasa
iba. Seperti induk melihat anaknya terluka.
Menatap tubuh yang tergolek lemah. Lantas
berpulang lagi. Seperti seekor penjaga. Begitu
saja yang dilakukan harimau besar itu
dua puluh jam terakhir. Ya Allah, hanya Wak
Burhan yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk Lembah Lahambay
pernah memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu.
Tubuh itu adalah
Yashinta. Gadis manis, 34 tahun. Yang
dua puluh jam lalu bergegas menuruni lereng terjal
Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras. Naas, setelah
rekor mendaki 27 gunung di seluruh
dunia dengan seluruh stamina fisik yang luar biasa, dua
puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah. Yashinta
kehilangan keseimbangan. Lantas tubuhnya mental.
Bagai burung tanpa sayap, menghujam masuk
ke dalam lembah menganga. Sekali. Dua
kali. Berkali-kali tubuhnya menghantam dahan-dahan kayu. Terus
jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut di ranting pohon, Jatuh lagi.
Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur ke dasar
lembah. Menghantam rerumputan dangkal. Seketika tak sadarkan diri.
Telepon genggam satelit itu sudah
sejak lima belas detik lalu jatuh menghajar
bebatuan. Pecah berhamburan. Dan gadis cantik
itu tergolek tak berdaya di atas
rumput. Sempurna terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu.
Dua rekan penelitinya tertinggal dua ratus meter di belakang. Tidak
melihat saat Yashinta jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja turun
sambil mengomel soal betapa cepatnya kaki
Yashinta. Lupa memperhatikan dahan kayu yang
patah. Lupa memperhatikan jejak kaki
Yashinta sudah tidak ada lagi di jalan setapak.
Yashinta dengan muka
luka, kaki patah, tergolek tak berdaya.
Dua puluh jam lamanya, hingga keajaiban itu
terjadi. Hingga kecintaan pada saudara
karena Allah, rasa berserah diri yang
tinggi kepada kuasa langit, ritual ibadah
yang penuh pemaknaan, kebaikan dengan sesama, proses
bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal sehat
itu.
Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari
pingsannya. Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh. Pertolongan mahasiwa
kedokteran yang sedang KKN itu tepat waktu. Panasnya
mereda. Batuknya berkurang. Muka pucatnya kembali
memerah. Satu minggu kemudian gadis kecil itu
malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang
bergeser setelah menghajar tunggul kayu di
lereng lembah, membuatnya tersiksa hampir
sebulan. Diurut berkali-kali oleh Wak Burhan.
Benar-benar ngeri melihat Kak Laisa diurut. Bagaimanalah?
Persendian itu dipaksa kembali ke tempat
semula. Kak Laisa menggigit gumpalan baju. Matanya berair.
Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak.
Dua sigung kecil itu
saja yang selama ini tidak peduli
dengan Kak Laisa ikut jerih melihatnya. Dalimunte hanya
diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu karena
memaksakan diri malam-malam menjemput mahasiswa
KKN di kampung atas. Tapi Kak Laisa
tidak mau membicarakan kejadian malam-malam
di tengah hujan Itu ia sudah kembali
sibuk. Meski kakinya belum sembuh benar,
Kak Laisa tetap memaksakan diri bekerja di
kebun. Makanya butuh waktu sebulan untuk
sembuh total, karena lagi-lagi persendian itu bergeser.
Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay. Burung
berkicau bagai orkestra. Kabut putih
mengambang. Ditembus sinar matahari. Berlarik-larik seperti
lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi desis
jangkrik dan ribuan serangga lainnya.
"Kau benar kuat mengangkat segitu,
Yash?"
"He-eh." Yashinta
mengangguk, merengkuh dua belas batang
umbut rotan (ujung rotan yang masih muda).
Di potong potong sepanjang enam jengkal.
Bisa disayur. Bisa juga dijual ke kota kecamatan.
Harganya lumayan mahal.
Kak Laisa pagi ini
mengajak Yashinta mencari umbut rotan di
pinggir hutan. Sekalian melihat lima anak berang-berang itu lagi. Sebenarnya
Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong umbut
rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia
memutuskan mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak. Terhuyung. Tubuh
kedl Yashinta terhuyung.
"Kau benaran kuat, Yash?"
"He-eh." Yashinta
mengangguk lagi. Berpegangan kokoh ke
ranting semak belukar. Menggigit bibir.
Lantas mulai melangkah.
Sebentar lagi ia juga terbiasa kok
dengan berat ini. Awalnya bergetar, tapi
perlahan kakinya mulai mantap menyusuri
jalan setapak. Tuh kan, Yashinta kuat kok. Nyengir. Kak
Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum. Suara burung semakin ramai
menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing berlarian di dahan-dahan
tinggi. Kecipak suara air mengalir di
sungai kecil terdengar menyenangkan, Yashinta mulai ikut
bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya.
"Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil
umbut rotan?"
"He-eh." Yashinta langsung
menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.
Mereka tiba di anak
sungai yang lebih lebar. Harus meniti jembatan
kayu kecil untuk menyeberanginya. Yashinta
kembali bersenandung. Semakin lama, dua
belas potong umbut rotan di pundaknya semakin terasa ringan. Sayang,
seekor kodok yang sedang mematung di
jembatan kayu itu tiba-tiba loncat. Yashinta
berseru kaget. Kodok itu cueknya justru
loncat ke perut Yashinta. Gadis kecil itu reflek
menghindar. Celaka! Kakinya kehilangan
keseimbangan. Berdebum. Tubuhnya yang melintir terjatuh dari
atas jembatan.
"YASH!" Kak Laisa berseru tertahan. Tinggi
jembatan itu hanya satu meter. Masalahnya
air sungai di bawah dangkal, hanya sejengkal.
Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas
potong umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan,
kepala Yashinta menghantam bebatuan.
"YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah.
Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya. Gemetar
menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.
"YASH.... YASH!" Tubuh adiknya,
ya Allah, pelipis adiknya berdarah. Luka.
Cairan merah itu menggenangi sungai. Membuat
garis panjang. Kak Laisa pias. Sungguh
pias. Tangannya patah-patah merengkuh Yashinta.
Menggendong ke tepi sungai Tidak peduli
persendian mata kakinya bergeser lagi. Tidak
peduli rasanya amat sakit. Kak Laisa
benar-benar takut. Lihatlah. Adiknya seketika pingsan.
"Yash.... Yash, bangun—" Gemetar
Kak Laisa memeriksa seluruh tubuh Yashinta.
Tidak ada yang luka, hanya pelipis. Tapi lukanya
besar. Robek. Melepas bebat kain di kepala.
Mengelap darah. Percuma. Darah kembali
mengucur deras. Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
"Yash.... Kakak mohon,
bangunlah..." Kak Laisa menangis.
Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya.
Ia sungguh lebih takut dibandingkan saat kejadian
di Gunung Kendeng lalu.
Ini semua salahnya. Tidak seharusnya
mengajak Yashinta yang baru sembuh dari
sakit ikut mencari umbut rotan sekalian
melihat anak berang-berang. Tidak seharusnya
ia membiarkan Yashinta menggendong lebih banyak
potongan umbut rotan. Tubuh Yashinta mulai dingin.
"Yash...." Kak Laisa
panik menciumi pipi adiknya. Suaranya
mencicit. Ya Allah, bagaimanalah ini? Apa yang
harus ia lakukan? Menggendong Yashinta
pulang? Ya Allah, kenapa jemari adiknya
semakin dingin. Apa yang akan ia
bilang ke Mamak? Lais jaga adikmu. Mamak
selalu berpesan begitu, bahkan meski untuk
urusan sepele saat mengajak Yashinta mandi di sungai cadas. Tubuh
Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar. Darah semakin banyak keluar.
Tubuh itu semakin dingin.
"Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa
tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan,
"Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik
Lais — " Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut
basah adiknya.
"Lais mohon, ya
Allah... Jika Engkau menginginkannya, biarkan
Lais saja, biarkan Lais saja...."
Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa
sayang yang tak terhingga.
Harimau besar itu menghentikan putarannya. Ekornya
berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam. Menatap
tubuh Yashinta yang tergolek di atas
belukar. Semburat cahaya matahari pagi yang menerobos
dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya harimau
itu membuat seekor beruang gunung
mengurungkan niat mencabik-cabik tubuh tak berdaya
Yashinta. Harimau itu sekarang mematung,
seperti bisa menatap siluet indah yang sedang mengungkung
tubuh Yashinta. Dua bajing yang juga mengawasi
tempat itu ikut terdiam Naik turun,
celingak-celinguk kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang
mendekat. Mengambang turun. Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian
senyap. Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta. Seperti parade yang
turun membelah kabut. Kemilau tiada tara.
"Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik
Lais...." Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta
lembut Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
"Bangunlah adikku, Kakak menunggu di
rumah...." Lantas sekejap kemudian sirna. Menghilang.Tubuh
yang sudah dua puluh jam pingsan itu pelan membuka
mata. Mengerjap-ngerjap. Yashinta berseru terbata "Kak Lais...?"
TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari
Mamak. Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh
tertidur, kondisinya tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak
memburuk. Juwita dan Delima meski tadi ngotot bilang
ingin menunggu Abi-Abi mereka (Ikanuri dan
Wibisana) tiba, tapi tubuh kanak-kanak mereka
terlanjur lelah. Digendong Ummi masing-masing
masuk kamar besar, lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk
kamar.
Telepon genggam Dalimunte
berdengking. Buru-buru diangkat, siapa pula
yang tengah malam begini menghubunginya. Tidak
mungkin Ikanuri dan Wibisana, karena mereka
lima belas menit lalu baru saja lapor
sudah tiba di kota kecamatan. Sekarang
sedang ngebut secepat mobil balap itu bisa melaju
ke perkebunan strawberry. Berusaha menepati janji, tiba sebelum
tengah malam. Apakah Yashinta yang telepon? Goughsky. Ternyata yang menelepon
WNI keturunan Uzbekistan itu.
"Yashinta sudah ditemukan,
Kak Dali—" Pelan saja Goughsky melapor. Langsung ke
pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat Dalimunte berseru tertahan.
"Kami menyebar belasan
orang mencarinya. Menyusuri jalan setapak,
memeriksa lembah, sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang
datang ke posko pendakian, dengan kaki patah. Ya Allah, andai
kata Kak Dali bisa melihat energi
sebesar itu. Yashinta memaksa kakinya berjalan delapan
kilometer, dengan tubuh terluka, pelipis berdarah...."
Dalimunte sudah tidak
mendengarkan detail lagi. Kabar adiknya
ditemukan selamat membuatnya lega bukan main. Sejak
Ikanuri dan Wibisana mengontak Goughsky tiga puluh enam
jam lalu dari Paris, kecemasan atas
nasib Yashinta meninggi. Apalagi dua rekan Yashinta
justru bingung saat tahu Yashinta belum
tiba di posko awal pendakian Gunung Semeru.
Tim SAR setempat diturunkan, Goughsky yang
sama hafalnya dengan Yashinta jalur pendakian Semeru memimpin
pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan.
Dua puluh empat jam berlalu, mereka akhirnya
menemukan telepon genggam satelit Yashinta yang remuk, tapi tidak ada tubuh
Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin dan dua ekor bajing yang
sibuk memperhatikan. Dan lima menit yang lalu,
betapa terkejutnya Tim SAR yang berjaga
di posko awal pendakian, Yashinta datang
sendiri dengan tubuh luka, tertatih dengan
tongkat seadanya ditangan. Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera
meluncur turun. Menghentikan pencarian. Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi
terakhir.
"Yashinta baik-baik
saja.... Hanya lelah, terlalu lelah.... Ya
Allah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.... Dia bertahan hidup selama tiga
puluh enam jam tanpa air minum sekalipun..."
Dalimunte menelan ludahnya. Ketegangan itu
mencair. Mamak menatapnya. Ingin tahu apa
yang membuat wajah Dalimunte berubah
sedemikian rupa. Juga Cie Hui, Wulan dan Jasmine.
"Aku akan segera
membawa Yashinta pulang ke perkebunan.
Sebentar lagi helikopter milik Mr dan Mrs
Yoko tiba.... Langsung setelah mendapatkan
perawatan, Yashinta akan segera pulang, Mr
dan Mrs Yoko mengijinkan helikopternya
dibawa ke Lembah Lahambay—" Goughsky
herjanji. Menutup pembicaraan. Dalimunte menghembuskan nafas lega.
"Ada apa?" Cie Hui bertanya, memegang
lengan suaminya.
"Yashinta, Yashinta sudah ditemukan —
" Dalimunte berbisik pelan. Ditemukan?
Cie Hui melipat dahi. Tidak mengerti.
Beruntung Mamak tidak mendengarkan. Kalau tidak
akan timbul banyak sekali pertanyaan. Karena Dalimunte
selalu bilang Yashinta masih di perjalanan.
Terlambat saat turun dari Gunung Semeru. Hujan deras
disana. Penerbangan juga banyak di cancel. Menutupi fakta kalau sudah 36 jam
tdepon genggam satelit Yashinta putus kontak.
Beruntung pula, sebelum
Mamak benar-benar ingin bertanya, mendadak
terdengar suara derum mobil di luar. Pintu-pintu yang dibanting.
Seruan Bang Jogar. Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga kayu. Dan
sekejap, Ikanuri dan Wibisana sudah masuk
ke dalam ruangan. Setengah berlari. Dengan wajah cemas Ikanuri
bahkan tidak mempedulikan Dalimunte yang
berdiri di depan kamar. Melewati Cie Hui,
Jasmine, Wulan, bahkan Mamak. Ikanuri
langsung menghambur ke ranjang Kak Laisa. Matanya
berkaca-kaca. Sungguh ia sesak menahan kalimat itu. Kalimat
yang tertahan seperempat abad lebih, 25 tahun.
Sungguh sejak di kereta ekspress Eurostar
dia takut tak sempat lagi mengatakannya. Ikanuri langsung
bersimpuh, gemetar menciumi tangan Kak
Laisa, Wajahnya buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika
menangis—
"Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan
Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Laisa bukan
kakak kami— ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu. Padahal saat itu Kak
Laisa masih tertidur.
TERUS-TERANG, mengungkit masa
lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi
tidak adil jika kalian tidak tahu
ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh
semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya.
Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku
menceritakannya. Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka. Sedikitpun tidak
memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka. Mamak Lainuri
sebenamya menikah dua kali. Pernikahan
pertama, dengan lelaki pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru
enam belas tahun. Lelaki itu 24, duda dengan seorang bayi berusia enam bulan.
Si kecil Laisa. Wak Burhan, satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri
yatim piatu sejak usia sebelas tahun), amat
berkeberatan dengan pernikahan itu. Pernikahan
yang keliru, Mereka tidak mengenal baik
pemuda tersebut. Tidak mengenal keluarganya.
Hanya wajahnya saja yang terlihat tampan
menyenangkan. Tapi itu 180 derajat kontras
dengan kelakuannya.
Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi
mungil itu memperlakukan Mamak sama seperti
memperlakukan istri pertamanya. Kasar. Suka
memukul Berteriak. Dan kerjanya hanya mabuk
di kota kecamatan Berjudi di lapak-lapak
pasar. Menurut bisik-bisik tetanga konon istri
pertamanya dulu meninggal juga karena
ulahnya. Tapi tidak ada yang bisa mencegah
pernikahan tersebut. Dan tidak ada juga yang kuasa
memperbaiki keputusan yang terlanjur dibuat. Entahlah
mengapa Mamak amat menyukai pemuda itu
(duda dengan bayi enam bulan pula).
Mamak sebenarnya mewarisi
tanah cukup luas dan banyak perabotan
dari orang tuanya yang meninggal saat banjir bandang di sungai cadas lima
meter. Tapi semuanya tergadai satu persatu oleh tabiat
judi suaminya. Dan yang paling menderita
atas tabiat buruk tersebut adalah Laisa.
Bayi berumur enam bulan tersebut pernah
jatuh ke dalam baskom air saat berumur
sembilan bulan. Terendam. Mamak yang pulang
dari kebun amat terkejut melihat Laisa
sudah membiru. Sedangkan yang bertugas
menjaga justru tertidur dengan mulut bau minuman
keras di samping ranjang.
Maka rusuhlah kampung
mereka. Amat cemas Mamak melakukan apa
saja untuk menyelamatkan bayi mungil itu.
Seolah bayi itu darah dagingnya sendiri.
Melakukan apa saja. Dan ajaib, Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan
lucu itu harus membayar mahal sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa
mulai tidak normal. Saraf bicara, mendengar, kemampuan berpikir,
dan sebagainya memang tumbuh normal. Tapi
badan Laisa tumbuh lebih pendek dibanding
teman seusianya. Wajahnya juga terlihat sedikit
tidak proporsional. Soal rambut gimbal dan
kulit hitam, itu mewarisi ayahnya. Ayah
yang saat Laisa berumur dua tahun justru tega pergi begitu
saja dari lembah tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia menghilang begitu
saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan. Menyedihkan
sekali melihat bayi kecil itu ditinggal pergi. Membuat nestapa Mamak jadi sempurna.
Sudah kehilangan suami. Mesti merawat bayi
yang bukan darah dagingnya pula. Tapi Mamak menyayangi
bayi kecil itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah dulu
juga keputusannya sendiri. Maka dengan
kehidupan yang semakin susah di lembah, Mamak
memutuskan bertahan hidup.
Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak
menikah untuk kedua kalinya dengan pemuda kampung atas.
Babak mereka sekarang. Pemuda yang dulu
amat patah hati melihat Mamak menikah
dengan orang lain. Sekarang mendapatkan
kembali cinta terpendamnya. Babak bisa menerima
Mamak apa adanya. Janda miskin. Juga
bisa menerima si kecil Laisa dengan baik. Meski
hidup mereka tidak berubah, tetap susah,
tapi kehidupan berkeluarga mereka berjalan
normal, bahkan dalam banyak waktu terlihat
cukup bahagia. Saat Laisa berumur enam
tahun, lahirlah Dalimunte. Dua tahun
kemudian Wibisana, menyusul Ikanuri dengan jarak
hanya sebelas bulan, dan terakhir ditutup
dengan lahirnya si bungsu yang manis; Yashinta.
Anak-anak yang lucu. Menggemaskan. Sayang,
masa-masa bahagia itu terputus saat Yashinta
masih dalam kandungan. Ikanuri dan Wibisana
juga masih terlalu kecil untuk mengerti.
Babak mereka diterkam sang penguasa Gunung
Kendeng. Maka yatimlah anak-anak tersebut.
Semua penduduk Lembah Lahambay tahu persis kisah
ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah panggung tersebut. Hanya
bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak besar tahu
fakta tersebut dari bisik-bisik
tetangga. Ikanuri dan Wibisana. Bedanya, Dalimunte
tidak ambil pusing. Sedangkan dua sigung
nakal tersebut menjadikan itu alasan untuk membantah,
tidak menurut. Yashinta saja yang terlalu takut bertanya yang tidak pernah tahu
detailnya. Meski saat ia mulai sekolah
di kota provinsi, Yashinta jelas bisa
mengambil kesimpulan sendiri kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka
terlalu berbeda.
Mamak tidak pernah
mengungkit-ungkit kisah suram tersebut.
Memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian
jatuhnya Laisa ke dalam baskom air.
Yang membuatnya tumbuh cacat. Mamak tidak
pernah menganggap Laisa orang lain, baginya
sulung di keluarga itu adalah Laisa. Juga
Babak mereka semasa hidup. Malam sebelum
kejadian Babak diterkam harimau. Babak sempat
mengusap rambut Laisa yang saat itu
baru berumur sepuluh tahun. Tersenyum,
"Lais, kau bantu
Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak
pulang dari mencari kumbang—" Laisa kecil mengangguk
mantap sekali. Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata tidak
pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak.
"Maafkan
Ikanuri.... Sungguh
maafkan Ikanuri, Kak Lais... Maafkan
Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami —
" Ikanuri masih tersungkur.
Kak Laisa membuka
matanya. Mengerjap-ngerjap. Tadi ia baru
saja bermimpi saling berkejaran dengan
adik-adiknya di hamparan kebun strawberry.
Ia yang berusia enam belas tahun, Dalimunte dua belas,
Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta enam tahun. Berlarian
di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang berdiri meneriaki di lereng
atas. Langit membiru. Seekor elang melenguh
di garis cakrawala Gunung Kendeng. Amat menyenangkan.
Kak Laisa membuka
matanya. Kepalanya sedikit terangkat. Perlahan
mengerti apa yang sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana sudah tiba.
Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya yang paling
keras kepala, sedang tersungkur menciumi tangannya.
Menangis penuh rasa sesal.
Kak Laisa terbatuk.
Bercak darah itu mengalir. Cie Hui
buru-buru mendekat, meraih tissue, membersihkan.
Mamak sudah menangis di pelukan Dalimunte.
Mamak yang jarang sekali menangis, tersedu.
Tudung kepalanya lepas. Rambut putihnya
terlihat. Bahunya naik turun menahan rasa
sesak. Dan Wibisana menambah senyap
suasana. Wibisana ikut bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut
menangis.
"Sungguh, maafkan Wibisana...."
Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan
desau sepotong kisah suram masa lalu itu. Bagi Mamak,
melihat semua ini seperti mengembalikan
seluruh kenangan hidupnya. Masa-masa keliru. Masa-masa yang
seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia menutupi kenyataan
itu. Bagi Dalimunte, melihat adik-adiknya bersimpuh
penuh penyesalan, mengembalikan seluruh
kejadian di sungai cadas lima meter. Dia
yang melihat Kak Laisa bekerja keras terpanggang
matahari di kebun jagung demi mereka.
Kak Laisa yang berjanji akan membuatnya terus sekolah.
Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya....
Bagaimana mungkin Kak
Laisa bukan kakak mereka dengan: semua
itu? Dalimunte tahu persis kalau adik-adiknya
suka bilang kalimat menyakitkan itu, tapi
dia tidak pernah kuasa untuk menegur.
Lagipula, Ikanuri dan Wibisana belum
mengerti. Lihatlah, bertahun-tahun saat sudah
sekolah di kota provinsi, saat adik-adiknya
mengerti, mereka amat menghargai Kak Laisa. Lebih dari
siapapun.
Bagi Ikanuri dan
Wibisana, jelas-jelas semua ini mengembalikan
kenangan masa kecil mereka. Perlakuan buruk
mereka kepada Kak Laisa. Dan perlakuan
sebaliknya Kak Laisa kepada mereka. Janji
sejuta kunang-kunang. Janji kesempatan yang
lebih besar di luar lembah. Kak Laisa yang tidak pernah
datang terlambat. Malam di lereng Gunung Kendeng.... Kamar itu menyisakan isak
tertahan. Tangan Kak Laisa gemetar mengangkat
kepala adiknya. Mata itu menatap begitu
tulus. Tersenyum,
"Kakak selalu memaafkan kalian.... Kakak
selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya,
meski seluruh dunia bersumpah membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi
adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik yang membanggakan...." Kak
Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Dan kamar
itu menyisakan tangis dua sigung nakal
yang mengeras. Semua masa lalu itu, tidak
akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan
mereka, tidak peduli seberapa baik kehidupan mereka
sekarang.
"SEMUA VIRUS, bakteri,
dan sumber penyakit jahat lainnya selalu
datang dari hewan liar, Miss Headstone — " Pria
tinggi, kekar, dan tampan itu menyeringai. Mengangkat tangannya.
"Kau tahu, virus flu pertama
kali yang menyerang dunia tahun 1918, yang menewaskan
100 juta orang, itu jelas mutasi virus
flu dari hewan liar.... Sebagai ahli
biologi, konservasi dan sebagainya aku pikir kau pernah diajarkan
soal itu di bangku kuliah."
"Aku tahu itu—" Yashinta menukas,
tersinggung
"Juga Ebola, HIV/AIDS
yang berasal dari kera hutan pedalaman
Afrika. Dan berarus-ratus penyakit mematikan
lainnya.... Kau tahu, tahun 1960 virus
flu bermutasi lagi, mematikan jutaan orang
di seluruh dunia. Aku berani bertaruh,
dengan siklus penyakit flu empat puluh tahunan
tersebut, awal abad 21 nanti, mungkin
2008, 2010, empat puluh, lima puluh tahun dari
1960-an, juga akan terjadi mutasi flu dari hewan liar lainnya, dan itu
kemungkinan besar dari unggas.... Membawa virus flu yang
lebih mematikan, dan bisa jadi mengulang tragedi tahun
1918, ratusan juta meninggal. Jadi bagaimana mungkin kau akan membuktikan bahwa
virus, bakteri, dan semua penyakit jahat itu tidak berasal dari hewan
liar." Goughsky nama pemuda itu, terlihat begitu menikmati
perdebatan tersebut. Mereka sedang berdiri di
ramainya gala dinner yang diadakan
institusi donor (pemberi dana) konservasi alam terbesar dunia. Di
convention center salah satu hotel mewah London.
Sejak bekerja menjadi peneliti lingkungan hidup,
Yashinta sering terlibat dalam acara seperti ini. Mencari
pendanaan untuk proyek konservasi dan
penelitian flora-fauna langka di Indonesia. Termasuk
minggu-minggu ini saat menghadiri pertemuan aktivis di London. Awalnya
hanya Yashinta yang berbicara dengan Mr
dan Mrs Yoko, salah-satu pendiri
institusi donor raksasa
itu, membicarakan tentang konservasi elang
jawa. Entah mengapa, pemuda sialan ini,
tiba-tiba ikut mendekat, ikut berbicara.
Dan entah apa pasalnya mereka sudah berdebat soal
mutasi genetik virus penyakit mematikan dari hewan liar ke manusia.
"Aku tahu kalau semua penyakit itu dari
hewan liar, tapi bukan berarti mereka penjahatnya!" Yashinta
mendesis sebal. Siapa pula pemuda ini
yang mengganggu rencananya. Ia sejak kemarin
merencanakan memberikan proposal konservasi elang
jawa itu secara personal ke Mr dan
Mrs Yoko. Mencari waktu yang tepat.
Dan pemuda sialan ini tiba-tiba ikut masuk dalam
pembicaraan.
"Well, aku kan tidak
bilang mereka penjahatnya. Hanya bilang
fakta kalau semua virus itu berawal dari
hewan liar.. Come on, kau saja yang
terlalu mencintai hewan-hewan itu, keras kepala, tidak
mau mendengarkan kalimat orang lain dengan baik—" Goughsky
mengangkat bahunya. Tersenyum lebar ke arah Mr dan Mrs Yoko. Dasar penjilat,
pemuda ini pasti juga berkepentingan dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko, mungkin
untuk membiayai proyek sialan miliknya. Mencari perhatian di depan pasangan
ini. Yashinta mengatupkan rahang. Wajah cantiknya memerah.
"Goughsky benar, my darlingl" Mr Yoko
tertawa kecil, menengahi,
"Kau memang terlalu
mencintai hewan-hewan itu, sehingga selalu
otomatis bilang tidak untuk fakta yang menjelek-jelekkan mereka.
Kau tahu, terlalu mencintai terkadang membuat kita berpikir tidak rasional,
tidak fair, my dear-"
"Bukan itu maksudku," Yashinta menjawab
cepat berusaha mengendalikan diri,
"Aku setuju kalau
virus dan bakteri itu berasal dari
mereka, tapi manusialah yang mengganggu
keseimbangan alam, mengintervensi mekanisme
mutasi virus tersebut dengan polusi produk kimia, industri
yang berlebihan, perubahan iklim, kerusakan hutan, kapitalisme dan
sebagainya.... Jadi jelas, bukan hewan-hewan liar itu penjahatnya!"
"Well, bukankah dari
tadi di sini memang tidak ada yang
bilang hewan-hewan itu penjahatnya?" Goughsky nyengir lebar
sekali. Mrs Yoko yang sudah beruban tertawa, melambaikan tangan
"Sudah! Sudah, Goughsky, Jangan
diperpanjang lagi. Kau jangan membuat Yashinta
marah, Goughsky.... Hush! Mari, Yash sayang, kita mengambil sesuatu untuk
mengganjal perut. Biar perdebatan menyebalkan seperti ini dilanjutkan para
pria." Yashinta mendelik ke arah pemuda
sialan itu. Berusaha tetap sopan
menggandeng Mrs Yoko. Melangkah menuju meja hidangan.
"Kau mungkin lupa
namanya, pemuda itu Goughsky, ayahnya
Uzbekistan, ibunya dari negaramu, Indonesia.... Haha, dia memang
terkadang menjengkelkan seperti itu...."
"Kalian? Kalian sudah mengenalnya?"
Yashinta mengambilkan piring buat Mrs Yoko.
"Tentu saja my
sweetheart, kemarin kami baru saja
menyetujui salah satu proyek penelitiannya. Seratus ribu
dollar. Penelitian yang hebat."
"Kalian? Kalian sudah
memutuskan? Sudah memberikan dana itu ke
orang lain?" Yashinta menelan ludah. Apa yang ia cemaskan tadi
terbukti, kan? Pemuda sialan itu akan mengambil dana penelitiannya.
"Kau tetap akan mendapatkan dana
konservasimu, sayang. Kami tahun ini memutuskan untuk mendanai dua proyek
penelitian ekologi sekaligus. Mendanai peneliti yang
penuh semangat seperti kalian." Mrs
Yoko tertawa, melambaikan tangan. Yashinta ikut tertawa,
meski tawanya sedikit kebas. Lega.
Bercampur sisa-sisa perasaan sebal. Dan entahlah. Bercampur jadi
satu.
Itu pertemuan pertama
Yashinta dengan Goughsky. Pertemuan pertama
yang jauh dari mengesankan. Malah bagi
Yashinta amat menyebalkan. Yang sialnya,
entah mengapa ternyata diikuti dengan pertemuan-pertemuan lebih
menyebalkan berikutnya. Bukankah pernah dibilang
sebelumnya, Yashinta tidak terlalu suka
bergaul dengan teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu
malah membenci kolega lelaki. Benci melihat kelakuan
mereka yang sibuk mencari perhatian. Apakah
mereka akan tetap sibuk mencari perhatian
jika wajah dan fisiknya seperti Kak
Laisa? Bah! Mereka hipokrit sejati. Nah, ditambah
tingkah Goughsky yang suka mentertawakan,
menyeringai kepadanya seperti sedang menghadapi
anak kecil yang bandel dan keras
kepala, kebencian Yashinta bertumpuk-tumpuk sudah.
Celakanya, Mr dan Mrs Yoko sengaja
memberikan dana konservasi buat mereka berdua karena
proyek mereka bersisian, saling melengkapi:
tentang pemetaan dan konservasi elang jawa.
Maka Yashinta benar-benar meledak saat tahu
hal tersebut. Yashinta diberitahu saat sedang makan
malam di rumah Mr dan Mrs Yoko. Tahu kalau Goughsky ikut diundang saja sudah
membuat Yashinta mengkal, apalagi saat Goughsky dengan ringannya bilang,
"Miss Headstone ini
akan jadi sekretaris proyek yang baik.
Ia akan selalu melaporkan kemajuan program kepadaku, Mr Yoko."
Yashinta tidak ingin bekerja satu tim dengan pemuda Uzbek sialan ini. Apalagi
di bawah supervisinya. Tapi di meja makan itu seperti tak ada yang
memperhatikan raut merah padam keberatan Yashinta.
"Kalau tidak salah,
Goughsky kakak kelasmu di Belanda, bukan?
Terpisah tiga tahun? Jadi aku pikir dia
lebih pantas menjadi leader proyek ini,
sayang—" Mrs Yoko mengangguk setuju.
Memangnya kenapa? Yashinta mendesis sebal
dalam hati. Memangnya kenapa kalau dia lebih senior
dibandingkan dirinya. Ia bisa mengurus
proyek risetnya sendirian. Tidak perlu digabungkan
dengan pemuda sok pintar dihadapannya! Tapi
hingga makan malam itu usai, Yashinta masih
bisa mengendalikan diri. Berusaha terus
tersenyum. Mengangguk. Menurut. Meski ia kesal
sekali melihat gaya Goughsky
didepannya. Menyeringai, seolah-olah menganggap
dirinya peneliti kemarin sore, yang harus belajar lebih banyak.
Maka setahun terasa bagai seabad bagi Yashinta.
Proyek itu dimulai segera sekembalinya mereka dari pertemuan
di London. Basecamp konservasi dibangun di
Taman Nasional Gunung Gede. Berbagai peralatan didatangkan. Mereka
didukung oleh sebelas peneliti lokal, dari berbagai
universitas sekitar. Juga petugas Taman
Nasional, institusi terkait, dan penduduk setempat. Andaikata
proyek ini tidak penting. Andaikata Mr
dan Mrs Yoko bukan orang penting. Andaikata....
Sudah dari dulu Yashinta ingin menimpuk
pemuda setengah bule setengah melayu itu
dengan gumpalan tanah (sama seperti ia
menimpuk anak-anak nakal dulu). Mereka selalu
bertengkar di basecamp Selalu berdebat. Dan
karena Yashinta di bawah komando Goughsky, maka suka atau
tidak suka, ia lebih banyak makan hati.
"Tahu nggak sih,
temanku juga begini nih dulu. Bertengkar
mulu tiap hari, eh belakangan malah jadi suami
istri." Rekan peneliti lokal yang cewek seringkali menggoda Yashinta.
"Lu gila ya, ganteng gini
setiap hari malah diajak ribut Yash. Harusnya
disayang-sayang...." Tertawa.
Itulah masalahnya. Yashinta
sejak kecil Sudah keras kepala. Dan
penyakit orang keras kepala adalah jika
sejak awal ia tidak suka, maka
seterusnya ia akan memaksa diri untuk tidak
suka. Tidak rasional. Seringkali perdebatan
(pertengkaran) mereka sebenarnya karena kesalahan
Yashinta. Hal-hal kecil. Bahkan dalam
banyak kasus Yashinta sendiri yang mencari-cari
masalah. Ingin menunjukkan ketidaksukaannya. Jadi tidak aneh
jika Yashinta banyak melupakan detail yang
lebih besar. Seperti betapa tampannya Goughsky,
ergh, maksudnya bukan itu. Yashinta bahkan
tidak menyadari kalau Goughsky berbeda sekali
dengan tipikal teman lelaki yang dikenalnya
selama ini. Tidak sibuk mencari perhatian.
Bahkan sedikit marah jika rekan peneliti
lokal cewek lainnya bergenit-genit ria dengannya.
Goughsky juga tipikal
pemuda yang menyenangkan. Dekat dengan
penduduk setempat lokasi basecamp, suka bergurau,
dan yang pasti amat sabar. Kalau saja
Yashinta mau menghitung perdebatan mereka, hanya
Goughsky yang bisa sabar dengannya. Yang
lain sudah mengkal sejak tadi. Pemuda Uzbek
itu juga alim. Dia yang selalu
meneriaki rekan kerjanya untuk shalat. Terkadang meneriaki
Yashinta, yang dijawab teriakan pula. Membuat Yashinta mengomel
dalam hati, sejak kecil Yash sudah
terbiasa shalat malam bersama Kak Lais dan Mamak, tidak
perlu diteriaki, mentang-mentang muslim Uzbek, sok alim. Maka
jadilah setiap dua bulan sekali, saat
jadwal pulang ke lembah, Yashinta selalu mengeluhkan
siapa lagi kalau bukan Goughsky. Goughsky. Dan Goughsky.
"Ia bahkan hingga
sekarang tetap memanggilku, Miss Headstone....
Miss Headstone—" Yashinta berseru sebal, menirukan intonasi suara
Goughsky dengan jijik. Kak Laisa yang melihatnya
tertawa. Juga Cie Hui, Wulan, dan
Jasmine yang duduk melingkar di ruang depan rumah panggung.
"Dan bule sialan itu
selalu bilang, 'Memangnya kau tidak
diajarkan itu di bangku kuliah? Memangnya
dosenmu tidak pernah bilang itu?
Memangnya....' Bah! Bukan dia saja yang lulus
cumlaude di Belanda. Sok paling pintar!"
Intan yang sekarang sudah
tiga tahun cuek berlenggak-lenggok di depan
tantenya yang sedang bete. Memegang kedua
pipi tantenya, Sengaja menekan-nekannya. Meniru
ulah tantenya kalau lagi gemas dan mencubit pipi tembamnya.
Yang lain tertawa. Lihatlah, Intan persis meniru kelakuan Yashinta. Berseru,
"Iiihhh!" Sok mengerti apa itu gemas.
Mencubit pipi tantenya.
"Hush, kalian jangan
banyak tertawa, nanti bayinya keluar
mendadak seperti Kak Cie"
Ikanuri yang baru
bergabung duduk di ruang tengah rumah
panggung pura-pura marah. Menyuruh istrinya diam. Wulan dan Jasmine
sedang hamil tua. Sama seperti Cie Hui, Wulan dan Jasmine juga ingin anak-anak
mereka di lahirkan di perkebunan. Menghirup udara segar lembah untuk pertama
kalinya. Merasakan sejuknya. Menginjak rerumputan yang berembun.
Tertawa lagi menatap wajah Ikanuri yang serius
sekali saat mengatakan itu. Ruang tengah itu dipenuhi banyak
energi bahagia. Jadi siapa pula yang
peduli dengan suara mengkal Yashinta? Toh
yang lain menganggap keluhan Yashinta tidaklah
seserius itu. Bagaimana akan serius? Yashinta meski wajahnya sebal,
tapi setiap pulang selalu saja sibuk dan merasa berkepentingan untuk
menceritakan kelakuan Goughsky, Goughsky. Dan Goughsky. Masa yang begitu
dibilang benci?
"BAGAIMANA kabar bayi-bayinya?"
Goughsky bertanya, suaranya pelan. Sengaja, biar tidak
mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas
meter. Ada sepuluh menara seperti itu di
Taman Nasional Gunung Gede, masing-masing
berjarak seratus meter. Menyeruak di
tengah-tengah rimba, di atas kanopi
pepohonan. Dibangun dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling
tepat untuk mengintai elang jawa.
"Apa?" Yashinta
menoleh. Meski suaranya juga pelan, tapi
intonasinya tetap ketus. Ia sebal sekali,
setelah cuti dua minggu yang menyenangkan
di perkebunan, saat kembali ke basecamp,
siang ini, di jadwal pembagian tugas
mengintai mereka tertulis: Goughsky & Yashinta,
menara 9. Itu pasti kerjaan rekan
peneliti lokal yang bertugas menyusun jadwal. Sengaja
benar. Lihatlah, dari beberapa menara di
kejauhan, beberapa kolega peneliti melambai-lambaikan
tangan. Tersenyum. Mengacungkan jempol. Terlihat
jelas wajah puas mereka dari teropong.
"Apa kabar bayi-bayinya?" Goughsky
tersenyum, mengulang pertanyaan.
"Baik!" Yashinta
menjawab pendek. Menyeringai. Sejak kapan
mahkluk setengah bule setengah melayu ini bertanya soal pribadi?
Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal dalam hati.
Itulah tabiat keras kepala, jelas-jelas
sejak dulu Goughsky selalu peduli dengan anggota
timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
"Pasti salah satu nama anak itu Delima,
bukan?"
"Bagaimana kau tahu?" Yashinta melipat
dahinya. Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu,
"Yang memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak
Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan. Jadi mudah
ditebak, Laisa sejak awal sengaja
memberikan nama-nama batu permata ke mereka!"
"Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama
Intan?" Yashinta benar-benar melipat dahinya.
"Ssst!" Goughsky
menyuruhnya diam. Dari kejauhan terlihat
seekor burung terbang rendah. Teropong-teropong terangkat.
Juga milik peneliti di menara lainnya. Bukan. Itu bukan
elang jawa.
"Dari mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali?
Intan?" Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi.
Menyelidik.
"Loh, bukannya kau sendiri yang sering
menceritakan mereka? Keluarga di lembah indah itu? Sibuk bercerita saat makan
malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain peka mendengarnya.
Tentu saja aku tahu—"
"Tapi, tapi aku tidak bercerita
untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot. Goughsky hanya tertawa,
menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu sama saja seperti
kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala.
"Yash, aku tidak
tahu mengapa kau sebenci itu kepadaku....
Aku tadi kan hanya bertanya baik-baik, apa kabar bayi
Ikanuri dan Wibisana? Kau tidak perlu ketus, bukan?"
"Siapa pula yang ketus?" Yashinta
menyergah.
Goughsky menghela nafas.
Sudahlah. Memasang teropongnya. Kembali menyapu
langit hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil
menginventarisir jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai
masuk ke fase lebih penting. Menyiapkan system perlindungan.
Mulai dari pemetaan area konservasi,
sosialisasi kepada penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang
biakkan burung itu di luar ekosistem hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke
kebun binatang yang lebih maju misalnya.
Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang
teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana akan dapat? Jika
Yashinta hanya sibuk menyumpah-nyumpah dalam
hati. Yashinta ingat sekali, pertama kali
menara itu didirikan, Goughsky memberikan
latihan tentang insting, bagaimana menemukan elang-elang itu:
"Kita tidak menemukan
mereka.... Merekalah yang akan menemukan
kita.... Berlatihlah mengenali objek dengan baik.
Mengenali ciri-ciri fisik elang jawa dengan
sempurna. Kesempatan melihat mereka terbang di
langit hanya beberapa detik, dan kita
tidak mau menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang
jawa atau bukan. Kecuali kalian bisa menyuruh elang itu
untuk pose di langit sana, lantas
kalian mencocokkannya dengan gambar di buku—" Yang lain sih
tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta hanya
menatap sebal. Ia tidak perlu diajari
soal itu. Sejak kecil ia terlatih di
hutan. Belajar langsung dari ahlinya. Tahu apa coba mahkluk
setengah bule ini soal rimba?
"Tentu saja aku
tahu, aku dibesarkan di hutan salju
Uzbekistan. Sendirian. Yatim piatu. Menghadapi kerasnya
belantara. Umur dua belas tahun aku
harus berkelahi dengan beruang salju raksasa. Memitingnya
dengan tangan ini."
Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan
lengannya yang kekar. Saat itu mereka sedang menemukan jejak
beruang di lereng Gunung Gede. Menjawab
pertanyaan kolega peneliti lokal yang bertanya itu jejak apa. Yang
lain lagi-lagi terpesona. Dan Yashinta
lagi-lagi menatap sebal. Itu pasti bohong. Bule
sialan ini sengaja memancing-mancing emosinya,
karena semalam di basecamp, Yashinta menceritakan
kejadian Kak Laisa dan tiga harimau
di Gunung Kendeng. Mahkluk setengah-setengah ini
pasti tidak mau kalah dengannya. Mengarang
cerita-cerita menyebalkan itu.
"Hati-hati, Yash! Itu sarang landak,
biasanya ada sisa durinya." Goughsky sigap menarik lengan Yashinta.
"Aku tahu!" Yashinta
yang melamun, menjawab pendek. Menarik
kakinya yang terlanjur melangkah.
Senja membungkus lereng
Gunung Gede. Garis horizon terlihat merah. Kabut
turun melingkupi. Dingin. Mereka beriringan
berjalan menuju basecamp. Kembali dari
menara 9. Yashinta memperbaiki syal di
leher. Menyibak belukar di sebelahnya.
Menghindari sarang landak itu. Berdiam diri
sepanjang jalan. Diam-diam berpikir. Yang
itu sebenarnya ia tidak tahu. Bahkan
Yashinta tidak yakin apakah Kak Laisa
bisa mengenali sarang landak hanya dengan
melihat selintas di tengah remang senja
seperti ini? Melirik ke belakang Goughsky terlihat
melangkah santai. Mata birunya terlihat indah di remang senja. Yashinta
buru-buru menoleh ke depan lagi.
Kemajuan proyek konservasi elang jawa mereka
sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs Yoko datang di
bulan ke sembilan. Kunjungan selama seminggu.
Langsung membawa helikopter pribadi mereka.
Pasangan itu terlihat senang memperhatikan
foto-foto, peta area konservasi, rencana program sosialisasi, dan
sebagainya.
"Kemajuan yang baik,
very well.... Awalnya aku cemas kalian akan
lebih sering bertengkar dibandingkan mengerjakan
proyek ini, my dear." Mrs Yoko
menyentuh lembut lengan Yashinta.
"Tidak. Tentu saja kami tidak sibuk
bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa diandalkan.... Ia bisa
menjadi sekretaris proyek yang baik. Ia
pandai sekali kalau urusan catat-mencatat." Goughsky
yang menjawab. Sambil tertawa. Yashinta ikut tertawa.
Dua bulan terakhir, meski ia masih sering
bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti
batu yang terkena tetesan air, keras kepalanya mulai bisa berlubang dengan
sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut tertawa dengan gurauan pemuda Uzbek
itu. Tidak sibuk mendesis sebal dalam hati. Dan itu bermula
dua bulan lalu, saat jadwal pulang
rutin dua bulanan Yashinta ke perkebunan
strawberry, bule itu berbaik hati
mengantarnya ke bandara. Menyerahkan dua ukiran kayu
sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan.
"Aku membuatnya sendiri—"
"Tidak mungkin!" Yashinta
memotong. Bagaimana mungkin mahkluk setengah-setengah ini bisa
mengukir kayu seindah ini. Dengan
masing-masing bergambar beruang salju sedang bermain.
Pohon-pohon cemara. Bukankah ia tidak
pernah melihat Goughsky melakukan kerajinan tangan itu selama
di basecamp.
"Aku membuatnya saat kalian masih sibuk
mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah Yash sajalah. Percaya atau
tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu,
"Berikan ke Delima
dan Juwita, hadiah dariku. Dari paman
setengah-setengahnya.... Kalau kau tidak keberatan,
bisikkan ke telinga-telinga kecil mereka,
selamat datang di dunia yang indah."
Sejak saat itu, Yashinta sedikit
banyak menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa kecil
Goughsky benar. Ayahnya yang bekerja di
Siberia, salah-satu teknisi pengeboran ladang
minyak di sana. Sebelumnya, ayah Goughsky
pemah kerja di pengilangan minyak Arun,
Aceh, makanya menikah dengan wanita
Indonesia. Sayang, tragedi badai salju menghabisi
komplek ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur enam
tahun. Yatim piatu. Dibesarkan kerabat di
pinggiran hutan salju. Makanya pemuda Uzbek itu
jauh lebih tangguh dan tahu lebih
banyak tentang kehidupan liar dibandingkan Yashinta.
Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya.
Fase sosialisasi proyek kepada
penduduk lokal juga membuat Yashinta menyadari sisi lain
Goughsky. Pemuda bule itu memang
tidak sok akrab, sok alim, dan
sok sebagainya. Penduduk yang suka sekali
menangkapi elang jawa itu jauh lebih
menyukai Goughsky dibandingkan peneliti lokal
lainnya. Mereka lebih menurut dengan
kalimat-kalimat pemuda Uzbek itu. Yang meski
saat memberikan penyuluhan, intonasi melayunya
masih terdengar agak ganjil. Dan yang lebih
penting lagi, tentu saja Yashinta mulai
menyadari kalau mahkluk setengah-setengahnya itu cukup tampan.
Menatap mata birunya.... Jadi sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat
rukun, membuat rekan peneliti lokal lainnya lebih sering menggoda,
"Kalian sejak kapan pacaran?" Maka
Yashinta akan melotot marah.
"Apa kubilang dulu?
Bertengkar sekarang, bersenang-senang kemudian!"
Kalau yang ini, Goughsky ikutan melempar spidol. Membuat yang lain
semakin semangat menggoda.
Seminggu berlalu, Mr dan
Mrs Yoko kembali ke London dengan
setumpuk progress report, Yashinta baru tahu,
saat Goughsky kuliah di Belanda, Mr
dan Mrs Yoko-lah yang menjadi sponsor,
sekaligus menjadi anak angkat pasangan
tersebut. Jadi tidak mungkin Goughsky sibuk mencari perhatian
untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya itu. Justru
sebenarnya, Goughsky lah yang merekomendasikan
keluarga Yoko untuk mendanai penelitiannya,
Memasuki bulan-bulan terakhir
proyek konservasi mereka, kedekatan Yashinta dan Goughsky
sudah sedemikian rupa berubah. Tidak ada
lagi seruan-seruan sebal. Teriakan-teriakan
marah. Jawaban-jawaban ketus. Bagaimana tidak?
Saat Goughsky harus presentasi ke London,
Yashinta justru uring-uringan di basecamp,
Bosan. Tidak seru. Tidak ada yang jahil
dan mengajaknya bertengkar. Selama dua
minggu tidak ada yang menatapnya seperti anak
kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya. Benar-benar tidak ada.
Terasa sepi.
Ah, si bungsu keluarga
Lembah Lahambay, yang dulu muka imut
menggemaskan miliknya begitu riang menatap berang-berang mandi
di sungai, yang suka sekali berlarian dilereng lembah,
akhimya jatuh cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal bilang,
"Gough, selama kau
pergi dua minggu.... Kau tahu, ada
yang selalu berdiri di menara 9 malam-malam,
menatap bulan lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu." Yashinta menimpuk
rekan kerjanya dengan sepatu.
"KAU ada di Four
Seasons Hotel, Miss Headstone. Kamar suite
terbaik yang kami miliki. Aku manajer hotel ini, ada yang
bisa kubantu?"
Goughsky nyengir, menatap wajah
lebam Yashinta. Wajah yang mulai sadar.
Matanya mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang?
Seperti biasa, Si Mata Biru nya yang duduk di
sebelah lebih dulu mengendalikan situasi.
Menjelaskan sambil bergurau. Yashinta berusaha duduk.
Sakit. Semua bagian tubuhnya terasa sakit.
Tapi ia bisa beranjak duduk. Kaki kirinya
di gips. Tulangnya ternyata hanya retak,
tidak patah. Luka di badannya sudah
dikeringkan. Menyisakan gurat lebam membiru
hampir di sekujur tubuh. Kepalanya di bebat kain, ada dua
luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi.
Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal,
helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang sedang ada urusan
bisnis di Indonesia juga tiba. Pasangan
paruh baya itu kebetulan sedang berada di
sekitar Gunung Semeru. Berbaik hati
mengirimkan helikopter. Jadi tubuh pingsan Yashinta
bisa segera dilarikan ke rumah sakit
kota provinsi terdekat. Mendapatkan pertolongan pertama.
"Kau sama sekali tidak terlihat
cantik lagi, Miss Headstone." Goughsky nyengir
amat lebar. Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan
bantal-bantal.
Yashinta tidak menjawab. Tubuhnya masih
mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia otomatis akan
mendelik, menyahut ketus, pura-pura marah.
Ia sedang membiasakan diri menatap ruang
rawatnya yang terang benderang. Matanya
silau setelah pingsan dua puluh jam. Berjalan menyeret
kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di luar sana
semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.
"Jam berapa sekarang?"
"05.30, masih sempat untuk shalat
shubuh—" Yashinta memejamkan mata. Mengangguk.
Kepalanya masih terasa nyeri. Berusaha mengingat
kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru.
Kakinya yang menginjak
batuan getas. Jatuh, Menghajar dahan-dahan.
Entahlah.... ia lupa. Yang Yashinta ingat
ia justru sedang bermimpi setelah itu.
Duduk seharian melihat anak berang-berang bermain di sungai.
Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga Kak Laisa
menepuk bahunya. Mengajak pulang. Cahaya-cahaya
itu. Ia yang siuman. Tubuhnya yang terasa sakit.
Kakinya yang patah. Mengigit bibir, berjuang untuk keluar
dari lembah tempat ia jatuh. Melangkah
tertatih dengan bantuan dua tongkat kayu
di tangan. Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan
mereka. Kak Laisa?
"Kak Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
"Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima
belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak Laisa baik-baik
saja, Kau tahu, saat Profesor Dalimunte
menelepon, tiga monster sibuk menyela, sibuk
berteriak kapan kau tiba. Mereka seperti lupa
kalau Wawak mereka sedang sakit keras."
Yashinta tertunduk, menghela
nafas, sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan tubuh lemah
seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti
menunggunya.... Kak Laisa yang selalu ada
ketika ia butuh. Sekarang? Saat Kak
Laisa sakit keras dan membutuhkan adik-adiknya? Tubuh
Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan.
"Kau jangan menangis,
Yash." Goughsky menelan ludah. Meski
dia tipikal pemuda yang suka bergurau, Goughsky amat perasa.
Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan ia dengan masa-masa yatim piatu.
Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
"Aku harus pulang, Gough. Harus segera
pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
"Kau akan segera
pulang, Yash. Pagi ini juga. Aku
berjanji, paling lambat kita tiba di Lembah
Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
"Bagaimana? Bagaimana caranya?"
"Kalau Wawak sakit
gini, nggak asyik! Kemarin nggak ada
yang nemenin kita keliling perkebunan. Padahal Delima sudah
bawa sepeda BMX!"
Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki
kanan Wak Laisa. Mengeluh.
"Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda."
Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang sama) menimpali.
Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
"Wawak sakit apa
sih? Sudah dua hari kok nggak
sembuh-sembuh?" Delima bertanya, menghentikan gerakan
tangannya. Laisa tersenyum. Berusaha memperbaiki
duduknya. Cie Hui membantu, sekalian membenahi posisi
infus dan belalai plastik.
"Kalian jangan banyak
tanya, napa. Kata dokter tadi, Wak Laisa
nggak boleh banyak bicara dulu." Intan
yang duduk di samping Wak Laisa
dengan tissue di tangan menyergah. Menyuruh
adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
"Yeee.,.. Orang nanya gitu doang.
Emang nggak boleh!" Delima mendesis sebal dalam
hati. Persis sekali ulah Ikanuri dulu waktu
kecil. Bersungut-sungut. Meneruskan mengurut kaki Wak
Laisa.
Mereka baru saja selesai
shalat shubuh. Duduk berkeliling memenuhi
kamar Kak Laisa. Di luar semburat merah
semakin terang. Embun menggantung di buah
strawberry yang memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih
tenang. Menatap anak-anak mereka yang sejak tadi sibuk protes.
"Kan kalau Wawak
sehat, harusnya Wak Laisa bisa ngelanjutin
cerita sebulan lalu." Itu keluhan pertama Delima. Ia
menunggu cerita-cerita itu.
"Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita
jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan tangkai rumput. Membuat
kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima.
Tidak mengerti soal
kristal-kristal itu? Begini, kalian mencari
tangkai rumput yang lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas
pelan-pelan mengambil embun menggelayut di daun. Jangan
sampai pecah. Kemudian diletakkan di
telapak tangan. Membuat lukisan dengan kristal embun.
Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan siapa yang
paling indah.
Nah, karena sudah
terlanjur menjelaskan bagian yang ini,
kalian juga berhak tahu jawaban bagaimana
sebenamya Mamak mendidik anak-anaknya hingga
menjadi begitu cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat.
Ahklak yang baik. Tentu saja semua itu hasil
dari proses yang baik. Tidak ada
anak-anak di dunia yang instant tumbuh
seketika menjadi baik. Masa kanak-kanak
adalah masa 'peniru'. Mereka memperhatikan,
menilai, lantas mengambil kesimpulan. Lingkungan,
keluarga, dan sekitar akan membentuk watak
mereka. Celakalah, kalau proses 'meniru'
itu keliru. Contoh yang keliru. Teladan yang salah. Dengan
segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-anak yang keliru meniru
justru bisa tumbuh tidak terkendali.
Saat aku berkesempatan
mampir di lembah indah mereka, saat
bicara dengan Mamak yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun
(meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu hal: bercerita.
Mamak tidak bisa memberikan mekanisme pendidikan
canggih selain bercerita. Keluhan Delima pagi
ini tentang kelanjutan cerita dari Wawaknya
adalah warisan mekanisme belajar Mamak tersebut.
Selepas shubuh, meski
penat karena dua jam memasak gula
aren di dapur, seusai shalat bersama,
mengaji bersama, Mamak akan menyempatkan
diri lima belas menit hingga setengah jam
bercerita. Tentang Nabi-Nabi, sahabat Rasul,
tentang keteladanan manusia, tentang keteladanan
hewan dan alam liar (dongeng-dongeng), negeri-negeri
ajaib, dan sebagainya. Dari situlah imajinasi
mereka terbentuk. Tidak ada gambar-gambar, karena
Mamak tidak bisa membelikan mereka buku
cerita. Juga tidak ada televisi. Mereka
bisa melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka. Dan proses
bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan. Kerja
keras. Berdisiplin. Laisa sejak umur dua belas
tahun, terbiasa bangun jam tiga shubuh.
Shalat malam bersama Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil
Mamak mengajarkan ritus agama yang indah kepada mereka. Shalat maiam salah
satunya.
"Lais, seandainya kita
bisa mengukurnya seperti timbangan beras,
shalat malam yang baik seharga seluruh dunia dan
seisinya."
Dengan teladan yang ada
di depan mata, maka Yashinta kecil
saat usianya menjejak belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh
untuk shalat malam, gadis kecil itu melihat Mamak dan
Kakak-kakaknya, maka otomatis ia ikut.
Kebiasaan yang terus ada hingga mereka tumbuh
besar. Saat perkebunan strawberry memberikan
janji kehidupan yang lebih baik, Mamak dan
Kak Lais tentu saja tak perlu lagi
memasak gula aren selepas shalat malam.
Waktu itulah yang sering
digunakan Kak Laisa untuk berdiri di lereng
lembah. Menatap hamparan perkebunan, menghabiskan penghujung malam
ditemani Dalimunte Bersyukur atas kehidupan mereka. Apakah dengan cerita dan
teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan? Belum tentu.
Lihatlah Ikanuri dan Wibisana, dua sigung
itu tetap saja nakal tapi pemberontakan masa
kecil mereka memang khas ulah anak
kecil yang butuh proses untuk mengerti.
Saat cerita-cerita, teladan, berbagai kejadian
itu berhasil memberi sekali saja
pengertian, maka mereka akan berubah. Seperti
pagi ini, jika ada Ikanuri, maka yang
menjadi imam shalat bukan Dalimunte. Ikanuri
jauh lebih pandai mengaji. Suara dan
tartil-nya lebih baik. Meski dialah yang paling bandel
belajar mengaji dulu.
"Pagi ini biar Eyang
yang cerita...." Suara Eyang memutus
wajah-wajah cemberut Delima dan Juwita. Anak-anak menoleh.
Eyang tersenyum mendekat. Memperbaiki tudung rambutnya. Naik ke atas
ranjang besar Wak Laisa.
"Horee!" Delima
berseru senang. Eyang sama jagonya dengan
Wak Laisa kalau bercerita. Jangan dibandingkan
Abi mereka. Tidak seru. Kalau Abi
yang cerita, kebanyakan ngarangnya.
Pagi itu, saat semburat
matahari mulai menerabas jendela kamar Kak
Laisa yang dibuka lebar-lebar. Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah
Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa yang terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan
cerita. Pagi itu, saat kabut masih mengambang di atas hamparan merah
ranum buah strawberry, Mamak bercerita tentang: bidadari-bidadari surga.
Melanjutkan cerita Laisa ke anak-anak
sebulan yang lalu. Andaikata di sini ada Yashinta,
ia akan senang sekali, itu cerita favoritnya waktu kecil. Dan sungguh
di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah:
22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu
berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah.
Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman:
70). "Eyang, cantikan mana, bidadari
atau Delima?" Delima menyela. Membuat Kak
Laisa tertawa, meski kemudian tersengai.
Intan meraih tissue, membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta
dengan pedenya akan menyela Mamak,
"Hm.... Pasti tetap lebih cantik Yash,
kan?"
Andaikata ada seorang wanita penghuni surga
mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. Dan
niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan sesungguhnya
kerudung di atas kepalanya lebih baik
daripada dunia seisinya (Hadits Al Bukhari).
"Wuih? Keren. Memangnya
wangi bidadari itu seperti apa, Eyang?"
Delima sibuk menyela lagi.
"Berisik. Diam saja
napa, biar Eyang terus cerita." Intan
mendelik galak. Kak Laisa sekali lagi tertawa kecil.
Dulu Yashinta juga suka sekali memotong cerita.
"Bidadari itu kan
untuk perempuan? Kalau untuk anak laki
nyebutnya apa, Mak?" Dan biasanya Ikanuri yang kesal
cerita Mamak dipotong terus menjawab asal,
"Nyebutnya bidadara.... Bidadara-Bidadara
Surga!" Tidak dulu. Tidak sekarang.
Kanak-kanak selalu memberikan respon yang
sama atas mekanisme ini. Membuat imajinasi
mereka terbang, dan tanpa mereka sadari,
ada pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa
diselipkan.
Pagi semakin tinggi. Eyang terus bercerita
hingga lima belas menit ke depan. Kak Laisa memejamkan
matanya. Ia pagi ini benar-benar merasa
lelah. Tiga monster kecil ini memberikan
energi tambahan untuk bertahan lebih dari
48 jam. Tetapi waktunya tinggal sedikit lagi. Hanya
menunggu Yash, adiknya tersayang. Suara Mamak berkata
lembut terngiang di telinganya: bidadari-bidadari
surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat:
49).... Kak Laisa jatuh tertidur, dengan
sungging senyum dan satu kalimat doa:
Ya Allah, jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga....
Sementara ratusan kilometer dari arah barat.
Helikopter itu melesat dengan cepat. Sebelum matahari
tenggelam. Sebelum semuanya benar-benar
terlambat. Yashinta harus tiba di perkebunan strawberry.
"ADA yang berubah darimu, Yash!" Kak
Laisa memainkan matanya. Menahan tawa.
"Apanya?"
"Kau tidak sibuk lagi — " Muka Kak
Laisa terlihat jahil.
Yashinta menyeringai, sejak
kapan cqba Kak Laisa macam Kak
Ikanuri. Ikutan menggodanya. Mereka sedang duduk
di ruang depan rumah panggung. Beramai-ramai. Delima
dan Juwita yang baru enam bulan
tertidur lelap di ayunan. Wulan dan Jasmine
sebenarnya membawa box bayi. Tapi Mamak
sudah memasang dua ayunan dari kain, disambung
dengan tali. Menjuntai dari atap ruang
depan. Di dalamnya diberikan bantal-bantal
lembut. Kata Mamak, bayi lebih senang
tidur di ayunan kain, dibandingkan kotak. Lagipula
di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan.
"Sibuk apanya?" Yash yang
sedang memangku Intan bingung. Mengangkat bahu. Bukannya semua terlihat
biasa-biasa saja.
"Sudah sehari kau
pulang, tapi kau tidak sibuk Lagi
bilang Goughsky yang menyebalkan. Goughsky yang sok tahu.
Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa. Menggoda. Cepat
sekali muka Yashinta memerah. Seperti
lembayung senja. Membuat Cie Hui, Wulan, dan Jasmine
ikut tertawa.
"Dia tetap menyebalkan, kok. Tetap sok
tahu." Yashinta menukas cepat. Berusaha
mengalihkan perhatian dan muka merah padam
dengan memainkan tangan Intan.
"Tetap memanggilmu, 'Miss
Headstone'? 'Miss Headstone'!" Kak Laisa
menirukan intonasi Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini.
Bahkan Mamak ikut tertawa.
"Ada apa ini? Ada sesuatu
yang kami tidak tahu?" Ikanuri yang baru melangkah
masuk dari pintu depan bertanya. Diiringi
Wibisana dan Dalimunte. Mereka baru pulang
dari acara syukuran kecil di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah.
"Tidak ada apa-apa,
kok!" Yashinta menjawab sebelum yang
lain membuka mulut. Melotot kepada Kak Laisa.
"Ya, tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya
kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede. Mahkhluk setengah-setengah itu, kan
Yash?"
Malam itu menyenangkan menggoda
Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali menghindar.
Mengancam Kak Laisa dan yang lain
agar berhenti bertanya. Tapi semakin ia rnembantah
dan menghindar, semakin ia menunjukkan
perasaannya. Membuat ruang depan rumah panggung dipenuhi
tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di ayunan merengek.
“Tuh, kan, Pada berisik,
sih." Yashinta buru-buru melangkah mendekati
ayunan. Tangisan Delima menyelamatkannya.
Esok hari, saat berjalan bersisian
dengan Kak Laisa menemani Intan mengelilingi lereng perkebunan.
Berdiri membiarkan Intan yang sudah empat
tahun berjalan sendiri tidak tahu arah. Memetik
buah-buah strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang lengan
Yashinta lembut.
"Kau menyukainya?"
"Menyukai apaan sih, Kak?"
Yashinta yang segera tahu kemana arah bicara pura-pura tidak mengerti.
"Kau menyukai Goughsky?" Muka
Yashinta langsung tersipu. Wajah cantik itu
kebas, meski matanya terlihat sekali bercahaya, ditimpa
cahaya matahari pagi,
"Kalau begitu, apalagi
yang kau tunggu? Umurmu sudah 33
tahun, Bahkan di bagian dunia manapun, kau sudah
terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!" Kak Laisa tersenyum. Yashinta
tidak menjawab. Wajahnya yang menjawab.
Semakin tersipu. Berusaha menunduk.
"Akan menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak,
dan kami semua bisa berkenalan langsung dengan mahkluk setengah-setengah itu.
Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin melihat mata birunya. Apakah itu seindah
yang sering kau ceritakan!" Yashinta terbatuk pelan.
Entah hendak bilang apa. Beruntung Intan
mendekati mereka, berseru, memutus pembicaraan,
"Tante, Tante, buahnya besal-besal...
Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan Wawak pegang sepaluh, deh!"
Enam bulan kemudian,
akhirnya Goughsky ikut pulang ke Lembah
Lahambay. Si mata biru itu menyetujui ide
Kak Laisa. Jadi saat Yashinta malu-malu
mengajaknya, malu-malu menyampaikan undangan itu, Goughsky mengangguk
mantap. Kabar ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh
seruan,
"Wah, ada yang mau
ketemu dengan calon mertua!" Goughsky
ikut tertawa lebar. Yashinta
masih saja tersipu malu.
Urusan mereka sama seperti Dalimunte dan
Cie Hui, atau Ikanuri-Wibisana dengan Wulan-Jasmine.
Mereka tidak saling mengungkapkan perasaan secara
langsung. Tapi bukankah perasaan itu tidak
selalu harus dikatakan? Cara menatap, cara bertutur
sungguh cermin dari isi hati. Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta
tidak mengenal proses pacaran. Mereka tahu batas-batasnya.
Jadilah itu kunjungan
pertama Goughsky, kunjungan yang ditunggu-tunggu
Kak Laisa. Yang celakanya, ternyata justru sekaligus menjadi kunjungan
terakhir Goughsky. Pria Uzbek itu seperti biasa cepat menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru. Menjawab gurauan Kak Laisa dengan
baik. Membantu Yashinta lebih santai, yang
mukanya sepanjang hari memerah. Mengerti benar
menempatkan diri di hadapan Mamak, akrab
dengan Ikanuri dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan
Dalimunte,
"Tentu saja aku
tahu, Yash.... Aku sudah mengenal Profesor
Dalimunte ketika kuliah di Belanda. Membaca
banyak penelitiannya.... Yang aku tidak
tahu dan benar-benar tidak menduga selama ini, ternyata
Profesor punya adik sekeras kepala kau!" Tertawa. Dan sebelum senja
tiba, Goughsky sudah menjadi 'paman' yang hebat buat Intan.
Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan
itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan dengan Kak Laisa,
menggendong Intan di bahu, melewati
jalur-jalur batangstrawberry. Saat Kak Laisa
bilang tentang: apalagi yang kalian tunggu.
Goughsky mengangguk. Dia sudah mengenal dengan baik keluarga
ini dari cerita-cerita Yashinta di basecamp. Dan keluarga itu juga
sudah mengenal baik dirinya juga melalui
cerita-cerita Yashinta di perkebunan setiap pulang. Dia
menyukai Yashinta, bahkan sejak pandangan pertama di London. Goughsky
menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu?
Maka malam itu Goughsky
melakukan kesalahan fatal. Karena dia amat
yakin Yashinta juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah
lebih dari siap untuk berkeluarga. Tanpa bicara terlebih
dahulu dengan Yashinta, ketika mereka
berkumpul di ruang depan rumah panggung, sambil menyentuh
takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta. Saat Goughsky mengatakan
kalimat,
"Umurku enam tahun saat Ayah-Ibu
pergi ditelan badai salju.... Bertahun-tahun hidup tanpa keluarga....
Sesak atas kerinduan memiliki ayah, ibu,
kakak, adik, sebuah keluarga... Baru sehari
di sini, tidak pernah kubayangkan, seperti
menemukan kembali makna keluarga yang utuh.... Mamak,
aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga.... Malam
ini, ijinkan aku belajar kata-kata itu,
ijinkan aku menjadi bagian dari keluarga
ini.... Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh
mencintainya...."
Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi
sibuk merengek minta dibuatkan ukiran beruang salju juga
diam. Mamak menatap wajahGoughsky lamat-lamat.
Lantas menoleh ke arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya,
terharu. Cie Hui menggenggam jemari Dalimunte. Tersenyum.
Ikanuri dan Wibisana sih nyengir lebar,
lumayan, tapi masih saktian kalimat mereka dulu waktu melamar
Wulan dan Jasmine. Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang
entah mengapa justru diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan
perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia tidak melarang, tapi juga tidak
menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik, bertanggung-jawab,
pandai membawa diri, dan saling menyukai,
itu sudah cukup. Sisanya bisa dicari saat menjalani
pernikahan.
Lima belas detik senyap.
Sekarang semua menoleh ke arah Yashinta.
Dan celakanya, gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati
pintu depan. Menuruni anak tangga. Berlarian menuju lereng perkebunan.
"YASH!" Goughsky
terkesiap, bangkit berdiri, hendak mengejar.
Bingung. Tidak mengerti. Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi
seperti ini? Ada apa dengan Miss Headstone-nya?
"Biar.... Biar aku yang menyusulnya!"
Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak Laisa tahu
permasalahannya. Biar ia yang mengajak
bicara Yashinta. Goughsky yang tidak terlalu
paham masalahnya justru akan membuat
semuanya menjadi puing tidak terselamatkan. Membuat rasa suka
itu menjadi kebencian. Yashinta keras kepala. Gadis
itu sejak kecil amat keras kepala.
Sekali ia mengambil keputusan, maka butuh
waktu lama melunakkannya. Kak Laisa tahu
betul itu. Urusan ini benar-benar tidak akan mudah seperti
Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.
"Kau menyukainya?"
Kak Laisa bertanya tegas. Memegang lengan
Yashinta yang duduk menjeplak di lembabnya tanah. Bulan sabit
seperti digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang. Wangi semerbak
perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam. Menyeka matanya yang
basah.
"Kau menyukainya atau tidak?" Kak Laisa
mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa.
"Kakak tahu sekali
apa yang kau pikirkan, Yash.... Tahu
sekali.... Apa yang dulu Kakak sering
bilang? Kau tidak usah menunggu Kakak....
Menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan—"
"Tapi harusnya Goughsky
bilang ke aku.... Bilang sebelum
menyampaikannya ke Mamak!" Yashinta memotong.
"Apa bedanya, Yash?
Kau jelas menyukai Goughsky. Bukan itu
masalahnya, kan? Bukan soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari
begitu saja dari ruang depan?" Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya.
"Kalau kau marah Goughsky
tidak bilang dulu, kau sepatutnya marah pada Kakak... Karena Kakak
lah yang memintanya melakukannya segera." Kak Laisa
mendekap lembut bahu adiknya.Menatap hamparan
perkebunan. Senyap. Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga
truk di sana. Berjejer.
"Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya
menikah—"
"Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais
menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak.
"Kau tidak perlu
menunggu Kakak? Ya Allah, berapa kali
lagi Kakak harus bilang hingga kau akhirnya
mengerti?"
"Yash tidak akan menikah...." Gadis itu
memotong keras kepala.
"Tidak ada yang tahu
kapan Kakak akan menikah, Yash. Tidak
ada yang tahu.... Bahkan mungkin Kakak
ditakdirkan tidak akan pernah menikah....
Kau harusnya tahu persis itu." Suara
Kak Laisa serak. Menatap wajah adiknya
lamat-lamat. Adiknya yang sekarang mulai terisak. Membuat
Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit,
" Ya Allah, setelah
Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, apa aku
harus selalu menanggung penjelasan ini kepada
mereka.... Ya Allah, apa aku harus
selalu menjadi penghalang pernikahan adik-adikku....
Lais sungguh ihklas dengan semua
keterbatasan ini, Ya Allah. Sungguh,... Biarlah
seluruh bukit dan seisinya menjadi saksi,
Lais sungguh ihklas dengan segala takdirMu....
Tapi setiap kali harus mengalami ini,
menjadi penghalang kebahagiaan mereka...." Suara Kak Laisa
menghilang di ujungnya. Getir.
Dan Yashinta seketika
menangis tertahan. Memeluk Kak Laisa
erat-erat. Untuk pertama kalinya, kalimat seperti
itu meluncur dari mulut Kak Laisa.
Kalimat penjelasan. Sepenuh hatinya. Semua ini
memang benar-benar sederhana baginya.
Kesendirian. Rasa sepi. Kerinduan. Semua itu
benar-benar sederhana baginya. Ia merasa
cukup dengan segalanya....
Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh
telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-adiknya....
Tetapi pembicaraan di lereng perkebunan itu tidak
berguna. Meski tahu secara utuh apa yang ada di kepala Kak
Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun. Keras kepala.
Apa yang dulu dibilang Ikanuri benar.
Yashinta belum mengalami sendiri betapa susahnya
memutuskan untuk menikah, melintas Kak
Laisa. Apalagi dengan fakta menikahnya Yashinta,
maka sempurna sudah Kak Laisa dilintas
oleh seluruh adik-adiknya. Itu sungguh bukan
keputusan mudah. Dengan semua yang telah
dilakukan Kak Laisa demi mereka. Kak Laisa yang selalu
menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya.
Besok pagi, Goughsky yang
mendapatkan penjelasan dari Kak Laisa dan
Dalimunte pulang lebih dulu. Rekan-rekan peneliti
di basecamp urung menggodanya saat tiba.
Wajah lelah dan kusut Goughsky menjelaskan
banyak hal, Yashinta tiba tiga hari
kemudian. Langsung mengemasi barang-barang. Memutuskan
keluar dari proyek konservasi. Lebih banyak
diam. Matanya sembab. Mereka berdua sempat
bicara sebentar di malam sebelum kepulangan Yashinta ke
Bogor.
"Maafkan aku yang
tidak mengajakmu bicara lebih dulu."
Goughsky menatap bulan yang mulai penuh. Yashinta hanya diam.
Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin di
hati. Ia dari tadi ingin sekali
menatap wajah si mata birunya. Tapi
mati-matian menahan diri.
"Maafkan aku yang
tidak mengerti situasinya.... Meski mungkin
aku tidak akan pernah mengerti, tapi penjelasan Profesor
Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak pantas mendahului Kak
Laisa menikah.... Tidak pantas...." Yashinta tetap diam.
"Yash, aku akan tetap menunggu.... Aku
sungguh mencintaimu, entah bagaimana aku harus melukiskan perasaan
tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
Yashinta menggigit bibir.
Bagaimanalah? Kalau saja ia tidak menahan
diri, dari tadi ia sudah menghambur di
pelukan mahkluk setengah-setengahnya. Bilang
betapa ia juga amat mencintainya. Tapi ia
tidak akan pernah bisa melintas Kak
Laisa. Hubungan ini tidak akan berhasil.
Jika mereka tidak bisa bergerak ke
fase komitmen, pernikahan, maka lebih baik
ia mundur. Lebih baik mereka saling
menjauh. Menunggu. Menunggu hingga kapanpun, Yashinta
tertunduk. Bagaimanalah ia akan melintas?
Setelah begitu banyak kebaikan Kak Laisa?
Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak
Laisa yang menggendongnya pulang dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil
menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak memanggil Mamak. Gemetar
meletakkannya di bale bambu. Berbisik.
"Kakak mohon, bangunlah
Yash" Kak Laisa yang bahkan tulus
menukar nyawanya demi kesalamatan adik-adiknya. Kak Laisa yang
mengajarinya tentang alam,
"Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya
ketakutan saat seekor kukang melompat.
"Kau tahu? Saat ada
ular pemangsa yang mengancam sarangnya,
saat ada hewan buas lain yang mengincar
anak-anaknya, induk kukang akan habis-habisan
mempertahankan sarang. Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk
kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan kanannya, menjadikannya satu,
mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak kukang
digabungkan, itu menjadi racun mematikan.
Yang akan membunuh ular atau pemangsa lain
saat memakan tubuhnya.... Kau tahu apa
gunanya pengorbanan itu? Agar anak-anaknya tetap selamat.
Induk kukang mati bersama dengan pemangsanya!"
Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi
saat Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak. Tapi saat kuliah di Belanda,
bahkan prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang tersebut. Juga
beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa, yang
mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari alam
liar. Dan mungkin kebijakan seperti itulah
yang dimiliki Kak Laisa, mengorbankan seluruh hidupnya
demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah.
"Kaubawa ini, Yash!"
Goughsky yang berdiri di sebelahnya
mengulurkan sesuatu. Seuntai kalung, berhiaskan delima.
"Itu milik Ibu-ku.
Satu-satunya yang tersisa di rumah kami
saat badai salju itu pergi.... Aku akan selalu
menunggumu... Hingga kapanpun..." Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu
pembicaraan mereka enam bulan lalu.
Enam bulan sebelum SMS
Mamak terkirimkan. Yashinta memutuskan untuk
memulai proyek sendiri. Konservasi alap-alap
kawah. Peregrin. Pergi ke Gunung Semeru.
Goughsky juga berhenti dari proyek konservasi
elang mereka. Tidak kuasa melihat jejak
Yashinta di mana-mana. Membuat Mr dan Mrs
Yoko berteriak-teriak tidak mengerti. Kabar baiknya
proyek mereka sudah selesai di bulan
kedua belas. Hanya tinggal masa transisi
sebelum diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede.
Kak Laisa sejak
pembicaraan di lereng itu tidak banyak
lagi membujuk Yashinta. Dia sudah amat
lelah. Kalimat terakhir yang diucapkarmya
di lereng waktu itu menjelaskan betapa
lelahnya Kak Laisa. Kanker paru-paru nya
sudah stadium III. Semakin ganas. Susah payah
Kak Laisa menyembunyikan penyakit itu di
hadapan adik-adiknya. Meminum obat berkali-lipat
dosis normal menjelang jadwal pulang dua
bulanan mereka. Ia selalu ingin terlihat baik-baik
saja. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota provinsi.
Tetapi energi yang hebat itu, kecintaan
atas adik-adiknya, rasa cukup dan syukur
atas hidup dan kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang
semakin lemah. Sebulan yang lalu, ia terjatuh
di lereng perkebunan. Di tandu pulang.
Kak Laisa menolak dirawat di rumah sakit, jadi
peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan dari sana. Dua hari lalu,
setelah bertahan selama seminggu dengan infus dan belalai plastik, SMS itu terkirimkan.
"Pulanglah. Sakit kakak
kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin
minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam.
Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku sebelum semuanya terlambat,
pulanglah...."
SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah
indah itu. Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup. Aku
yang menerima SMS dari Mamak Lainuri
dua hari lalu, di senja itu akhirnya
tiba (sesungguhnya ada lima sms yang
terkirimkan; satu untukku). Berdiri sejenak
di atas bukit tertinggi Lembah Lahambay. Memarkir
motor besarku di jalanan. Jalan selebar
tiga meter yang sekarang beraspal mulus.
Tentu saja, bagianku tidak terlalu penting
di keluarga ini.
Hanya turis yang pernah mampir.
Pertama kali singgah, begitu terpesona melihat kehidupan mereka.
Begitu terpesona melihat lembah mereka.
Begitu terpesona melihat apa yang telah dilakukan
keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di rumah
Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu. Turis yang selalu singgah
dengan ransel besar di punggung.
Lihatlah, sore ini
sempurna merah. Langit terlihat merah.
Awan-awan putih terlihat memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa
melihat kanopi pepohonan. Hamparan perkebunan strawberry
sejauh mata memandang. Di batasi oleh sungai
besar dengan cadas setinggi lima meter itu. Di batasi kawasan hutan
konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang melenguh di kejauhan,
aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya. Dari atas
bukit ini, empat desa yang terdapat di lembah itu
terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah semi permanen yang
asri. Seperti villa-villa indah. Satu dua
lampu rumah mereka mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan.
Kerlip kuning yang menawan. Suara orang mengaji di surau
terdengar. Menunggu saat adzan maghrib
setengah jam lagi. Ayat-ayat itu terdengar
menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar. Buah
strawberry terlihat merah di seluruh tepian
perkebunan, ranum menggoda. Aku lembut memetiknya
satu. Menciumnya lekat-lekat. Buah yang
besar. Tersenyum. Memasukkan buah itu ke
saku jaket. Nanti akan bilang ke
Mamak Lainuri, aku baru saja memetik satu
buah strawberry mereka. Belum halal di
makan kalau belum bilang. Dan Mamak sambil tersenyum
akan bilang,
"Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya
memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang ke sini....
Dan selalu saja merasa wajib untuk
bilang sudah memetiknya.... Kau bagian dari keluarga
ini, anakku..."
Keluarga yang menyenangkan.
Meski mungkin sore ini, suka atau
tidak suka, siap atau tidak, waktu yang
berputar akan mengambil seseorang, akan
mengakhiri kisah hidupnya. Sungguh begitulah hidup ini. Datang.
Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu anggota keluarga yang
amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali menaiki
motor besarku. Menghidupkan mesin. Menderu. Meski derumnya lembut, tapi
amat bertenaga.
Tapi ada yang lebih
menderu lagi. Lebih bising. Aku menolehkan
kepala ke garis cakrawala, helikopter itu
mendekat. Terbang rendah dengan kecepatan
penuh. Membawa anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima
bersaudara, Aku tersenyum lebar, lantas menekan
pedal gas, meluncur menuju rumah panggung
itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan
kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang indah.
Satu jam lalu, saat
Intan, Juwita dan Delima duduk melingkar
di ranjang besar Wak Laisa. Menunggui
bersama yang lain, sibuk bercerita tentang
sekolah masing-masing (Wak Laisa yang meminta
mereka bercerita). Sibuk melaporkan ponten
masing-masing. Sibuk melaporkan soal 'Safe The
Earth'. Hamster belang Intan tiba-tiba ikut
loncat ke ranjang. Mengagetkan yang lain.
Tertawa. Tapi bagi Laisa yang sudah
lelah, kaget sekecil itu membuatnya tersengal. Peralatan
medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus. Dokter segera mengambil alih
urusan.
"RIO JAHAT!" Intan
berteriak sambil menangis. Mencengkeram
hamstemya, bersiap melemparkannya lewat jendela.
"Jangan, sayang.... Jangan
dilempar—" Cie Hui berusaha membujuk, berusaha
menarik tangan putrinya,
"Rio Jahat, Ummi!
Rio bikin Wawak pingsan! Intan benci!"
Gadis itu tidak mendengarkan. Maka rusuh dokter
mengembalikan kesadaran Laisa, rusuh pula yang lain
membujuk Intan agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster
belangnya.
Setengah jam berlalu,
situasi berangsur-angsur terkendali, meski tetap
tak sadarkan diri, nafas Kak Laisa kembali
normal. Hamster belang itu juga urung
dilempar, terlanjur loncat dan kabur duluan
saat Intan masih bersikukuh hendak
menghukumnya. Juwita dan Delima sekarang duduk
di pojok kamar. Takut-takut Mereka amat
gentar melihat Wak Laisa-nya yang mendadak
kejang-kejang. Melihat Dalimunte yang berteriak
cemas. Abi mereka yang berlarian mendekat. Mereka bahkan
menangis bingung.
Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar.
Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa amat bersalah. Semua
ini gara-gara hamster belang miliknya.
Berjanji dalam hati akan menghukumnya besok lusa. Eyang
Lainuri duduk di sebelah ranjang, membelai lembut jemari Kak
Laisa yang mulai membiru. Menatap wajah
sulungnya lamat-lamat. Wajah yang tetap tak
sadarkan diri. Usia Mamak saat itu sudah
tujuh puluh sekian, Mamak mengerti hanya
keajaiban yang bisa menyelamatkan Laisa. Saat itulah,
helikopter itu tiba. Suara baling-balingnya
sampai lebih dulu. Menderu. Lantas mendarat
di halaman gudang pengalengan. Empat ratus
meter dari rumah panggung. Membuat Mamak
menoleh. Siapa? Itu suara apa? Juga
Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang tidak tahu apa
kabar Yashinta selama 48 jam terakhir.
"Itu Yashinta — " Dalimunte
berkata pelan. Menelan ludah. Menghela
nafas lega. Akhirnya adik bungsu mereka tiba.
Ikanuri dan Wibisana
menuruni anak tangga. Menghidupkan mobil
modifikasi mereka. Meluncur menjemput ke gudang
pengalengan. Sama seperti Dalimunte, mereka
sudah tahu Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky. Maka
tidak seperti yang lain, yang datang
terburu-buru. Bergegas belarian di atas anak tangga.
Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri dan
Wibisana. Tertatih-tatih. Berkali-kali terhenti.
Goughsky melipat kursi dorongnya. Membawanya
menaiki anak tangga. Membukanya lagi di
beranda depan. Yashinta didudukkan kembali di
kursi roda. Mata gadis itu sembab,
sejak dari rumah sakit ia menangis. Tidak
sabaran dengan kecepatan maksimal helikopter.
Mendesah berkali-kali.
Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat.
Menatap resah hamparan biru lautan, wajah Kak Laisa yang terukir di gumpalan
awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut. Kursi dorong itu tiba di daun pintu
kamar. Mamak bangkit dari duduknya. Tidak
sempat bertanya kenapa Yashinta datang dengan kaki
mengenakan gips. Tidak sempat melihat
seksama tubuh putri bungsunya yang lebam. Mamak
langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah.
Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa Mamak membimbing kursi roda Yashinta
mendekati ranjang Kak Laisa. Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa
yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan membuka matanya saat Yashinta
menyentuh lembut jemari kakaknya,
"Kak Lais—" Serak Yashinta memanggil
kakaknya.
"Yash? ...."
"Kak Lais-"
"Yash... Itu Yash? Kau sudah tiba,
Yash? Kau ti-ba?" Percuma, meski membuka mata, Kak
Laisa sudah tidak bisa melihat
lagi. Kesadarannya sudah
habis. Matanya hanya melihat gelap.
"Kak Lais—" Yashinta
berseru tertahan. Gemetar menciumi jemari
kakaknya yang pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap
hari membersihkan gulma, membantu Mamak memasak gula aren, merawat satu
persatu batang strawberry. Menciumi tangan yang legam, yang
dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat, Yash.... Mendekat
kemari...." Kak Laisa berbisik. Suaranya
antara terdengar dan tidak. Dokter ingin
bilang ke Dalimunte agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi
urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu.
Biarlah Laisa sempurna di
kelilingi orang-orang yang amat dicintainya
dan mencintainya di penghujung waktunya. Yashinta
mendekatkan mukanya. Membiarkan Kak Laisa
meraba. Merasakan pipi adiknya yang berlinang air mata. Mengusap
kepala adiknya yang terbungkus perban. Melihat wajah adiknya dengan ujung-ujung
jari.
"Dali.... Di mana
Dali—" Kak Laisa lemah memanggil
Dalimunte. Ia ingin mereka semua ada di sampingnya
sekarang.
"Saya di sini,
Kak." Suara Dalimunte parau. Menyaksikan
Yashinta menangis sudah membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa
memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk di sebelah Yashinta.
"Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak
Laisa, menyentuhkannya ke wajah. Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung
itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu sama saja
dengan keluarnya bercak darah yang lebih
banyak. Mamak mengelapnya dengan lembut, tangannya bergetar.
"Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri
menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan Kak Laisa sambil
menangis.
"Ini, ini Wibisana....
Wibisana di sini—" Wibisana ikut duduk
di sebelahnya. Menyentuh jemari Kak Laisa.
"Intan.... Juwita.... Delima...." Intan
menarik tangan adik-adiknya mendekat. Intan
menyeka matanya yang basah. Naik ke atas ranjang.
Tangan Kak Laisa mengusap wajah tiga
monster kecil itu. Juwita dan Delima masih takut-takut.
Tapi pemahaman itu datang dengan cepat.
Mereka menatap amat sedih wajah Wawak yang meski
matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan
Mamak. Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung
rambutnya.
"Ya Allah, terima kasih atas segalanya....
Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan....
"Ya Allah, Lais
sungguh ihklas dengan segala keterbatasan
ini, dengan segala takdirmu.... Karena, karena kau
menggantinya dengan adik-adik yang baik...." Nafas Kak Laisa tersengal.
Satu dua.
"Yash-"
"Yash di sini, Kak." Yashinta memegang
lembut tangan Kak Laisa.
"Kau pulang bersama si mata biru mu?" Yashinta
mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
"Menikahlah, Yash....
Sekarang—" Kak Laisa tersengal. Nafasnya
benar-benar tidak terkendali lagi.
"Biar, biar Kak
Laisa masih sempat melihat betapa
bahagianya kau.... Biar, biar Kak Laisa masih
sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita." Yashinta tersedu.
Menciumi jemari kakaknya. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah?
Yashinta patah-patah menoleh
ke Mamak. Mamak mengangguk pelan. Menoleh
ke Dalimunte. Dalimunte mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan
Wibisana, dua sigung itu tidak memperhatikan,
lebih sibuk mengendalikan perasaan. Lebih
emosional dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak
Laisa. Terisak.
Menoleh ke arah Goughsky.
Pemuda Uzbek itu mengusap wajahnya.
Menggigit bibir menahan rasa sesak menyaksikan
semua ini sejak masuk kamar tadi.
Goughsky menyeka matanya. Lantas melangkah
mantap, mendekat. Menyibak adik-kakak yang
duduk berjejer. Duduk di sebelah Yashinta.
"Aku akan selalu mencintaimu, Yash."
Berbisik, meyakinkan. Yashinta tertunduk. Menggigit bibir.
"Menikahlah, Yash—" Kak Laisa
tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk. Cahaya matahari senja menerabas
indah bingkai jendela kamar. Berpendar-pendar jingga.
Sungguh senja itu wajah Kak Laisa
terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah wajah bidadari
surga.
Lima menit kemudian
pernikahan itu dilangsungkan. Dalimunte yang
menjadi wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung
lainnya menjadi saksi. Pernikahan terakhir di lembah indah mereka. Seusai
Goughsky mengucap ijab-kabul. Saat Yashinta
menangis tersedu. Ketika Mamak menciumi kening
bungsunya memberikan kecupan selamat. Saat
yang lain buncah oleh perasaan entahlah. Semua
perasaan ini.... Saat itulah cahaya
indah memesona itu turun membungkus lembah.
Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika
kalian bisa melihatnya. Di sambut lenguhan
penguasa Gunung Kendeng yang terdengar di
kejauhan. Kelepak elang yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap
kaca. Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas
mengambang di atas ranjang. Lembut menjemput. Kak Laisa tersenyum untuk
selamanya. Kembali. Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya
Bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya.
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari
bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu
berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik
jelita. (Ar Rahman: 70). Suara Mamak
berkata lembut saat kisah itu diceritakan pertama
kali terngiang di langit-langit ruangan:
bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan
dengan baik (Ash-Shaaffaat: 49)....