Idan
tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?"
Aku
mengangguk cemberut.
"Apa
jawabanmu kali ini?" godanya.
"Aku
tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar."
Idan
terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.
"Habis
jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan,
kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror."
Idan
tersenyum . "Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa
kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh
tiga."
"Aku
akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,"
komentarku.
Alis
Idan terangkat. "Kenapa?"
"Pernikahan
hanya memperumit hidup perempuan."
"Pernikahan
juga membuat hidup laki-laki lebih sulit."
"Persis!"
potongku.
"Untuk
apa menikah kalau yang kita dapat hanyakesulitan?"
"Mungkin
karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih
banyak?"
"Sok
tahu," cibirku. "Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang
keuntungan menikah."
"Aku
sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga."
"Tapi
kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa
perlu lagi menikah?"
Idan
tersenyum. "Ya, memang."
"Lebih
enak hidup seperti ini. Bebas!"
"Setuju.
Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih
menunggu calon yang pas."
Dan
aku menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."
"Itu
kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?"
"Ya,
" gumamku enggan.
"Bukan
karena kau sama sekali antimenikah."
Aku
menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin
juga digandeng seseorang saat datang ke pesta."
"Tapi
kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"
"Gandengan
pacar itu lemah. Gampang putus," komentarku pahit.
"Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi."
"Apa
susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman
susah. Banyak pengangguran."
"Idan!"
kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar
sambil tertawa.
"Kau
sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng
tetap?" tanyanya kemudian, lebih serius.
"Ya.
Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau
saja," aku terdiam.
"Apa?"
"Kalau
saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia
berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang
merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki,
menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."
"Pit,
laki-laki yang begitu sedikit sekali."
Aku
menggeleng. "Semua laki-laki binatang."
"Bagaimana
dengan aku? Aku laki-laki."
"Kau
bukan lelaki, Dan. Kau malaikat."
Idan
terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
"Idan!"
desisku. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"
"Pit,
kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan
mengajukan lamaran menjadi malaikat," dan ia kembali terkulai, mata
tertutup, lidah terjulur.
"Idan,
Idan," desahku.
"Kalau
kau memang mau menikah, berobatlah." Ia tergelak.
"Dan
kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang
saja dari golongan laki-laki."
"Aku
tidak bisa, Dan."
"Berarti
kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau
memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin
banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan ...?"
"Idan!"
walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan
konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah
memahamiku.
"Apa
kau pernah berpikir tentang ibumu?" katanya kemudian. Seperti biasa ia
bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. "Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan
tetap. Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan
menemani dan melindungimu."
"Jangan
bicara begitu," cetusku, kembali manyun.
"Satu,
ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku
tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu
yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard
kalau perlu."
"Baik,
baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah," Idan membungkuk dalam-dalam. "Jadi,
dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah, apa yang
ingin kau capai dengan itu?"
Aku
tertunduk lemas. "Itulah, Dan," desahku. "Aku tidak tahu.
Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan. Jadi menikah untuk alasan ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku.
Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan
alasan bagiku untuk menikah."
"Bagaimana
dengan keturunan?"
"Anak?
Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar
sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku
bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan
kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko
dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan
itu akan bertahan sepanjang hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur
di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian.
Kenapa, Dan? Untuk apa"
Idan
termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"
"Kau
terlalu banyak menonton film romantis ," olokku. "Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?"
"Berapa
lama?"
"Satu
sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan
imajinasi."
"Imajinasi?"
"Kalau
kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau
tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau
bisa jadi gila."
"Astaga,"
gumam Idan. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus
kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?"
"Gorila,"
jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
"Idan,"
keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan
masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus."
Wajahnya
serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar
sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting
sekalipun. Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik.
Kalau ibumu menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah.Tertawalah
keras-keras."
"Idan,
kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku. "Aku perlu solusi, dan
bukan ide-ide konyol."
Idan
membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya, Idan bicara dengan hati-hati. "Pit,
aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa
menyelesaikan kedua masalahmu. Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki.
Kedua, ketidakmengertianmu kenapa kau butuh seorang suami."
Aku
mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku
walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan
karenanya teramat sangat kocak.
"Sebelumnya,
aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban
terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"
Ku
tatap Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun.
Banyak yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan
menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu
siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah
gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada
satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan
orangnya."Ya. Aku percaya kepadamu."
"Kalau
begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu.
Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik
ideku ini. Percayalah."
"Idan!
" potongku tandas. "Ide apa?"
"Aku
ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpan cang pada ekspresi wajahku. "Kita akan
melakukan pernikahan."
"Apa?"
"Simulasi!"
lanjut Idan sesegera mungkin. "Tentu saja lengkap dengan semua
formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon...."
"Bulan
madu?"
Idan
mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi. Sekali lagi, simulasi.
Setelah itu kita akan menjadi suami istri --simulasi? sambil mempelajari kenapa
kebanyakan manusia y ang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah
tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak
sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang, merdeka
selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita bercerai
dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini Sebagai tes
untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa komitmen, tanpa
penalti. Bagaimana?"
"Idan,"
desisku. "Ini ide terbodoh y ang pernah kudengar."
"Semua
gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Idan mantap.
"Pikirkan,
Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu
sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya
dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat
dipercaya dan teguh pendirian...."
"Serius,
Idan, serius!"
"Dan
kau sama sekali tidak melakukanpengor banan apa pun. Kau tidak akan mengalami
kerugian apa pun."
"Kecuali
jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan...."
"Simulasi,"
Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
"OK.
Pernikahan simulasi," geramku. "Dan aku akan menyandang status janda
setelah kita bercerai."
"Simulasi."
"Idan!"
"Upit!"
"Oh,
Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
"Upit,
kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu
hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?"
Aku
berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng.
"Biarpun
wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan
malang manapun yang mencintaimu."
Matanya
berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"
Aku
menggeleng. "Aku bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang
selalu korslet tiap kali memikirkan jalan ke luar dari suatu problem serius.
Aku mengerti. Aku hanya kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan
masalahku."
"Justru
karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit," ekspresinya tampak
begitu tulus.
"Terima
kasih. Tapi ide itu memuakkan."
"Pikirkan
ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang
selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet,
tangguh...," ia berhenti saat melihat raut wajahku, "Ibumu akan
sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu."
Ia
diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di
mana pun."
Ucapannya
begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di antara
bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah lama
sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang tidak
butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang
warasnya dengan Idan.
"Apa
aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.
"Sesekali
mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi," matanya kembali
tertawa. "Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua,
kau bebas untuk meninjuku, menjambakku...."
"Idan,"
teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
Suaranya
bergetar. "Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas
kawin tersebut, tunai."
Dan
wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga
berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang
nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku
meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau
menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga
bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya
aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang
teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak
Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu.
Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya
gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia
mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk
berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon
putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya
ku beranikan diri untuk berbisik, "Kau pucat sekali."
"Aku
lapar. Tidak sarapan tadi pagi."
"Terlalu
nervous?"
"Telat
bangun. Aku nonton bola sampai subuh."
Aku
tersenyum.
"Bagaimana
aku tadi?" bisiknya.
"Meyakinkan.
Berapa lama kau latihan?"
"Hanya
waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan celanaku."
Ah,
Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah
simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
Pada
hari ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata
perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan
tidur. Esok paginya, aku
terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di sana,
sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan sepoci
kopi yang harumnya menggoda.
"Aku
ada rapat pukul se tengah delapan," seru Idan sambil membalik dadar
telurnya.
"Aku
mesti berangkat sebelum setengah enam."
Ku
cicipi nasi goreng buatannya. "Aku tidak tahu kau pintar memasak."
"Pramuka,"
komentar Idan ter senyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk
sarapan. "Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit."
"Percaya,
percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan
genting bocor, plus membabat rumput."
Idan
terbahak. "Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap
pagi."
"Apalagi
aku. Kita perlu cari pembantu."
"Jangan,"
Idan menggeleng. "Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar
berbeda."
"Jadi?"
Idan
menggaruk kepalanya. "Bisakah kau masak nasi tiap hari?" pintanya.
"Aku
punya rice cooker."
Ku
tatap wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan.
Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak,
kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin
ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
"Kalau
kau mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik."
Ia
tersenyum dan beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah.
Dilingkarinya tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
"Hari
pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,"
katanya saat kembali ke kursinya.
"Masih
banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya.
"Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang
terlambat."
Dahiku
berkerut. "Untuk apa?"
"Apa
kau tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?"
Aku
menggeleng. "Ibuku sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan
tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh."
"Tapi
aku suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau
pulang terlambat."
"Kau
kedengaran seperti diktator."
"Kurasa
aku tidak minta terlalu banyak."
"Itu
terlalu banyak untukku."
Idan
meletakkan sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir
kali aku melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali
ini. Ia benar-benar marah.
"Ingat,"
lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak
untuk mengaturku seperti itu."
Ia
menunduk lama sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang
makan itu menjadi sangat sunyi senyap. "Baik. Kalau itu maumu,"
desisnya kemudian.
Kami
melanjutkan sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali
tidak menduga permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk.
Tapi aku tak berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang
karenanya. Idan
meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap
ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.
"Aku
pergi, Pit," katanya dingin.
Aku
bangkit dari meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi.
"Sebagian teman-temanku menyarankan ini," ujarku sambil meraih tangan
kanan Idan dan menempelkannya di bibirku. "Kupikir ada baiknya kucoba. Oh,
ya. Mereka bilang kau harus mencium keningku."
Ia
membungkuk dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa
mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar
tidak tahu terima kasih! Aku
sengaja pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu
kafe yang belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan
sebagian untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan
kawan-kawan yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku
gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah
banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin
mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku
belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang
sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku
tertaut pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas
akad nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah
suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka
dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam. Aku benci kekalahan. Tapi kali
ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal dari semua ini.
Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir memang. Aku
yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah
terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua
belas malam dan Idan belum pulang?
Ku
coba menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan
berbagai tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon
rumahnya. Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada
di mana-mana. Inikah
balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi
tak urung, dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi
Idan tidak kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang
setengah jam lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku tiba di rumah, Idan tetap tidak ada.
Malam itu kulewatkan di sisi telepon, berpikir untuk menghubungi polisi dan
rumah sakit. Pukul tiga telepon berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas
dibenakku saat aku mengangkat receiver.
"Upit?"
"Idan?"
jeritku. "Kau di mana?"
"Pit,
aku minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?"
"Idan,
ini rumahmu!" meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di
pipiku. "Kau di mana?"
"Di
luar."
"Di
luar rumah?"
"Ya.
Dan aku lapar."
"Oh,
Tuhan...."
Aku
lari ke luar rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah
sudah berapa lama ia di sana.
"Kau
keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!" teriakku
kepadanya.
"Aku
juga rindu kepadamu!" balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih
melihat tawanya lagi.
"Di
mana saja kau dua hari ini?"
"Di
hotel kecil dekat kantor."
Ia
baru saja menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak
berkomentar ketika melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya.
Ia hanya makan dua kali lebih lahap. "Kenapa kau akhirnya memutuskan untuk
pulang?" suaraku bergetar.
"Aku
perlu baju bersih," ia tertawa malu. "Laundri hotel mahal
sekali."
Saat
ia mencuci piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung,
"Selain itu, aku khawatir karena kau sendirian di sini." Dan dadaku
tiba-tiba terasa ngilu.
"Aku
akan pulang terlambat besok," ucapku perlahan. "Aku harus lembur.
Dikejar deadline."
Ia
berhenti membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku
terpaku pada es krim di hadapanku.
"Oke,"
katanya. "Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?"
"Asal
kau sisakan cukup untukku," aku tersenyum.
Paginya
ku lihat lingkaran merah kedua di kalender.
Aku
bisa mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan
di ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action --genre yang
paling tidak kuminati, dan sepak bola? olahraga yang menurutku amat
membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannyamengeluarkan pasta gigi
dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa
kulakukan.
Hanya
satu yang aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap
Minggu pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan
teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing.
Untukku
yang selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri
lain, dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir
dengan acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami.
Aku tak sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku
dengan sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan
pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku
tak tega mengeluh dan protes. Tapi dipekan kelima kesabaranku tandas, dan pagi
itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas,
aku memintanya untuk tidak memancing. "Temani aku jalan-jalan ke mal sore
ini," pintaku.
"Kau
kan bisa pergi sendiri," katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk
kecil.
"Seingatku
kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke manapun."
"Aku
tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit," ia masih tetap tak memandang
ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. "Aku sudah janji dengan
kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru."
"Kau
bisa mencobanya minggu depan."
"Tadi
malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini," ia
tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. "Aku bisa
memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!"
"Minggu
depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi," gumamku.
"Pakai
voucher dariku saja," sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.
"Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas
ribu cukup?"
"Idan!
Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon."
"Aku
bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu."
"Oh,
Tuhan!"
Idan
berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang.
"Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi."
"Aku
sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar
dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan."
"Jadi?
Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku
oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan."
"Ini
bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian?
Aku perlu teman."
"Kalau
begitu ajaklah teman-temanmu."
"Sudah.
Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka."
Idan
mengerutkan keningnya. "Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?"
"Ya!"
"Kenapa
tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi.
Aku akan senang kalau kau ada di sana."
"Idan!"
jeritku. "Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak
bola dan lebih benci lagi memancing!"
Mata
Idan menyipit. "Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,"
desisnya.
"Ku
pikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali."
"Mengalah!"
suaranya meninggi. "Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau
sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa
memberiku...."
"Enam
kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara
satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!"
"Kita
bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu
denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan
Pavarotti dan Flamingo...."
"Placido
Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan
orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang
memperebutkan satu bola kulit!"
"Setidak-tidaknya
itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata
itu!"
"Kau
kekanak-kanakan!"
"Dan
kau, Tuan Putri, kau egois!"
Ia
menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping.
Aku
masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti inikah
perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan
kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat
mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku.
Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku
tidak pernah menuntut apa pun darinya.
Sebaliknya,
aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah --simulasi-- dengannya,
mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin,
memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat
sama banyaknya untukku ? Tidak!
Ku
buka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu
kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan
meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan
kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama
kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
"Kalau
kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,"katanya.
"Aku
tidak mau pergi ke mal."
"Kau
bilang tadi pagi...."
"Aku
tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu
kumat."
"Upit,
kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji
jam empat...."
"Aku
bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau
mau."
"Jangan
seperti anak kecil begini, Pit," geramnya. "Ayo!"
"Tidak!
Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!"
"Aku
bukan budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."
"Oke.
Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat
sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan
melar...."
"Idan!"
jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya. Ia terlambat mengelak dan
sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.
Aku
lari ke kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia
seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan
mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga
tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya
aku keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa
ia pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin
marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali
meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera
memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat
itu Idan datang. Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki
pintu gerbang. Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang
terkuak.
"Apa-apaan
ini, Pit? " tanyanya.
"Aku
pulang ke rumah Ibu."
Ia
masuk dan duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku. "Semudah ini kau
menyerah?"
"Ini
diluar dugaanku."
"Apa?"
"Aku
tidak mengira aku menikahi monster."
Idan
terdiam, menunduk.
"Aku...,"
katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."
"Aku
sudah terlalu gemuk."
Ia
menggeleng dengan ekspresi bersalah, "Tidak. Kau cantik."
"Aku
tidak butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti
apa-apa."
"Aku
sudah mencoba jadi suami yang baik."
"Kau
gagal."
"Setidaknya
aku mencoba. Kau... kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita
berhasil...."
"Simulasi."
Ia
menghela napas panjang dan mengangguk singkat. "Simulasi."
"Kau
salah, Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak.
Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka
menikah. Apalagi denganmu."
Ia
tak mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk
ke atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak
pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku
bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret
koporku keluar.
"Setidaknya
tunggulah sampai hujan reda," suara Idan menyambutku.
"Terlalu
lama," gumamku. "Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."
Aku
tak peduli hujan yang serta merta meng guyurku basah kuyup Saat aku membuka
pintu gerbang. Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan
ketika mobilku mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh
meter dari rumah, aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil
dan menendang pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat
itu aku melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku
dan mengunci mobil itu dari luar.
"Ayo
pulang," katanya.
Aku
menggeleng tanpa berani menatap wajahnya.
Dan
ia mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku
sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri.
Setiba
di dalam, ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
"Ganti
bajumu," katanya.
"Semua
bajuku di dalam kopor."
"Ambil
bajuku."
"Tidak
akan pernah!"
Ia
mencengkeram pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar,
"Ini bukan waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"
"Monster,"
desisku.
Malam
itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih
ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku
membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa
menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku.
Setelah
itu semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat.
Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari
salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran
muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan
merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga
akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala
dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat
menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah
duduk di dekat jendela, membaca.
"Ibu."
Ibuku
menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku. "Bagaimana?
Sudah enakan?"
"Idan
mana?" bisikku.
Ah,
pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku sekarang atau
setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan?
rutukku pada diri sendiri.
"Masih
di kantor. Sebentar lagi juga pulang."
Aku
sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
"Ibu
sudah berapa lama di sini?"
"Dari
pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"
Aku
mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling
menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan
memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore
itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap
untuk bicara lagi dengannya.
"Bagaimana,
Bu?" tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya
hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia
menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan
tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
"Tadi
bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun
dan tadi siang sudah mau minum susu."
Tangan
Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti,
jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan
merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
"Kalau
Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok."
Ibu
tertawa kecil. "Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau
mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak
capai?"
"Saya
pakai baterai Energizer, Bu."
Ibu
tertawa lagi, "Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu
tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia."
Ibu!
Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
"Sudah
tanggung jawab saya, Bu."
Alangkah
klisenya!
Sunyi.
"Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"
"Terima
kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi."
"Baik
kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau
ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia
mau."
"Ya,
Bu."
"Dan
jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan."
"Baik,
Bu."
Dan
saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku
ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin
menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena
ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah
berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia
harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya. Aku
membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia
mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku
memintanya membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena
aku kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku
memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang
tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang kelantai, mengupaskan apel yang
kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil
sedikit. Pijatannya dikakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar,
tidak terasa. Dan saat ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya
untuk menyalakan televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali
ia mulai mengangguk terlelap.
Semua
itu akan membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes,
mengeluh, atau bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali
tidak mengeluh, tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku
makin menyadari kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari
kekhawatiran -- dan kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari
keputusasaan.
Aku
dibuatnya merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya
sendiri, menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan.
Dan kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali
tak kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang
fajar, saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi
pertengkaran yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat
yang kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi
hanya karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan
Idan, hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak
hal lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan
membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku
tahu permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana
pun. Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran
konyol itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran
itu sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa
sebenarnya pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika
aku terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan
senyum lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia
memintaku untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat
wastafel agar aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah
menyediakan pakaian bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku,
hingga saat aku keluar dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika
aku kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi
kembali dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan
yang baru. Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu
cokelatku dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena
terharu.
"Kau
tidak ke kantor? " tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah
pertama yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
"Ini
hari Minggu, Pit."
"Aku
sudah sakit selama seminggu ?" bisikku tak percaya.
"Ya,"
Idan tersenyum. "Tapi aku senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa
tenang di kantor memikirkanmu."
"Ibuku
kan di sini."
"Ya.
Aku terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan
pekerjaanku minggu lalu. Maaf."
Aku
menunduk, bersembunyi dari ketulusan di matanya. Ku lirik jam di atas mejaku.
Pukul setengah delapan pagi. "Tidak main bola?"
Ia
menggeleng sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nenas. "Aku
mau memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku
cadangan."
Aku
tersenyum.
"Dia
kurang berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi,
siapa tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.
"Kau
mau pergi memancing nanti sore?"
Ia
menggeleng lagi.
"Kenapa?"
"Aku
harus memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi
terus, mereka bisa punah."
"Kalau
kau memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."
"Terima
kasih untuk apa?"
Untuk
menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi
yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari
ini."
Senyum
Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.
"Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal
sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"
Aku
mengangguk dengan leher tersumbat.
"Aku
juga janji tidak akan sering nonton film action lagi," katanya kemudian.
"Kita
memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu
asin."\
"Selamat
ulang tahun, Pit."
Aku
terlonjak duduk dan menyalakan lampu. "Idan! Untuk apa kau sepagi ini di
kamarku!"
"Memberimu
selamat ulang tahun," jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi
tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.
"Ayo!
Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!"
Ia
menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua
komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai
programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku,
lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan.
Idan
menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil
tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku.
Puisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan
tidak cukup romantis untuk itu.
"Kau
lihat?" Idan memotong renunganku.
"Apa?"
"Hadiahku."
Keningku
berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu
kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan
kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan
sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi
tak berdaya.
"Kau
tidak menemukannya?" tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku
menggeleng.
"Aku
menambah memori komputermu," akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku
yang tak berubah, menambah.
"Komputermu
sekarang bisa bekerja lebih cepat."
Aku
ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan
hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku
kecewa.
"Oh,"
hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau
boleh memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan kedua
tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti
hari-hari kemarin.
Di
kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti.
Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti
menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup
selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati ku ambil kartu yang menempel pada kotak
itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang
kerjaku.
Selamat
ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat
biasa. Mungkinkah? Aku keluar
untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal
ampun.
"Kenapa?
Idan melarangmu?"
"Dia
tidak tahu apa-apa."
"Kenapa
kau terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi
menghabiskan hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau
bisa mendapatkan semuanya?"
Ku
gigit bibir ku saat setetes air bergulir di pipiku.
"Ita,
akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap
denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya
mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama.
Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita
akan miliki segalanya...."
"Hentikan,"
potongku dengan suara bergetar.
"Kalau
kau minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang
waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut
sisa hidup ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak
akan berhenti sampai kau kembali denganku."
"Aku
tidak bisa...."
"Kenapa
tidak?"
Ya,
kenapa tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi
tetap hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
"Kau
tidak mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau
kau tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan
untuknya cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia
akan selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."
"Aku...."
"Akuilah,
Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."
Ku
tutup mikrofon dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku
rasanya terbakar dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan
mataku.
"Aku
tidak mencintaimu," gumamku.
"Lebih
keras lagi."
"Aku
tidak mencintaimu."
"Kau
berbohong."
Lama
sekali aku terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."
"Ita,"
suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."
Aku
tahu sejak awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat.
Tapi hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara
padanya tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak
mungkin menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku
itu, karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil
ia akan menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat
menyayangiku dan ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali
kepada Pram adalah yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti
akan didukung oleh Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun.
Kenapa aku harus segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada
diriku sendiri untuk mencari waktu yang tepat.
Tapi saat itu tak pernah datang. Setiap kali, aku
dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
"Aku
ingin kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh
masa idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang
pasti berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu
selesai. Dan aku hanya di sini sepuluh bulan lagi."
"Aku
tahu. Aku juga berpikir begitu. Tapi... Entahlah."
"Apa
kau tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"
"Aku...."
aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi,
bicaralah dengan Idan."
Sore
itu, aku pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan
malam itu juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Idan
sudah menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku
mendekati teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
"Kenapa
kau sudah di rumah?" tanyaku.
Idan
menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam
rumah.
"Ada
apa?"
"Sst!"
Ia
membawaku ke serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana
ada sebuah ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan
bantal-bantal yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar...
mawar putih?
"Ini
hadiah ulang tahun pertama perkawinan kita," katanya.
Mataku
beralih cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di
matanya ada sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
"Aku...
aku tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap ayunan
itu, menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."
Idan
tertawa. "Kau bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.
Ia
duduk diayunan itu. "Ayo," katanya sambil menarik tanganku.
Aku
duduk disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat
bahwa setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus
menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?
Idan
mulai berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan
sebuah kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di
kepalaku berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku
telah berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi
sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
"Pit,
kau tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Idan
membuyarkan renunganku.
"Ada
apa?"
Kutatap
matanya. "Dan, Pram pulang."
Dahinya
berkerut. "Pram?"
"Pacarku
yang pergi ke Jerman."
"Oh,"
ia mengangguk. "Kapan?"
"Sebulan
lalu, waktu aku ulang tahun."
Ia
mengangguk lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu. "Dia sudah
menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku
menggeleng.
"Lalu?"
"Dia
ingin menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya.
"Ia hanya di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera
bercerai."
"Oh."
Idan
tak mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan
dengan ringan, seolah-olah sambil lalu, "Kau yakin ia mencintaimu?"
Aku
mengangguk.
"Kau
yakin akan bahagia dengannya?"
Sekali
lagi aku hanya mengangguk.
"Kalau
begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut bahagia."
Ku
beranikan diri untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun
kekecewaan di sana. Rasa lega meruahi hatiku.
Idan
bertanya beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis
belasan tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau
ia tidak sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?"
tegurku.
"Ya?"
"Kau
tidak mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku
sedang berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan
untuk bercerai denganku."
Malam
itu aku terbangun saat Idan mengguncang bahuku.
"Pit,
bangun!"
"Ada
apa?" gumamku.
Jam
alarm di sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
"Ganti
baju cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal."
Aku
terlonjak duduk. "Apa?"
"Ganti
baju," perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku
terpaku sejenak sebelum akhirnya lari mengejar. "Kapan."
"Baru
saja."
"Di?"
"Rumah.
Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."
"Idan...."
Ia
membanting pintu kamar di depanku.
Aku
kembali ke kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas.
Ketika aku keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup.
Juga pintu kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan,
aku sudah siap."
Tidak
ada jawaban.
Aku
menyelinap masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku
bisa melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua
tangannya. Ia menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku
menyentuh bahunya. Tapi ketika untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia
tidak lagi menghindar, dan dalam rangkulanku ia menangis.
Hanya
saat itu Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi
Idan yang rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para
tamu dan menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris
mengerikan.
Sore
harinya, saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua
Idan, Kak Ira, menghampiriku.
"Pit,
bawa Idan pulang."
"Apa
tidak sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"
Kak
Ira menggeleng. "Coba lihat sendiri," katanya sambil menunjuk ke
halaman belakang.
Idan
ku temukan di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun
berhenti merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia
sedang bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya.
Ketika
aku mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan
kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara
jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak
menatapku. Aku sadar Kak Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan
jauh-jauh dari semua kenangan tentang ibunya.
"Aku
mau pulang, Dan, " ujarku sambil memegang tangannya. Ia menggeleng pelan.
"Aku
akan menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus
saja."
"Aku
tidak mau sendirian di rumah."
Idan
menghela napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan
iparnya dan keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku
dan berbisik, "Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa
menghiburnya dalam saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan
meninggalnya Mama. Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga
tahun."
Aku
terpana sesaat. Dadaku ngilu. Ku peluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana
bisa kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri
pernikahan ini secepatnya?
Sesampai
di rumah, Idan langsung menuju ke kamarnya.
"Kau
mau ku masakkan nasi goreng, Dan?"
"Nanti
saja. Aku tidak lapar."
"Kau
tidak makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?"
Idan
mengangguk dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
"Tunggu
di sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan lama."
Ketika
aku baru saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar
mandi. Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir
bersamaan. Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku
diambang pintu, tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah
lari keluar mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam
keadaan seperti itu. Kuhampiri Idan dengan ragu.
Perlahan
ku elus punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat
laun isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan
selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba
saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam pelukanku,
ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar dan
kubaringkan di ranjang. Ku buka kemejanya yang basah dan ku selimuti badannya
yang menggigil.
"Maaf,
Pit," bisiknya. "Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku.
Mereka...."
"Aku
tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku
buatkan teh panas, nanti kau minum, ya." Ia mengangguk dan aku beranjak
meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnya
sedikit teh yang ku bawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku
merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
"Terima
kasih."
"Kau
pernah melakukan lebih dari ini untukku."
"Bukan
untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan," ia tersenyum
nakal.
"Oh,
kau!" aku ikut tersenyum, lega.
"Dan
untuk menikah denganku," lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius.
"Setidak-tidaknya
sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "
Aku
tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, "Aku yang
mesti berterima kasih kepadamu."
"Untuk
apa?"
"Untuk
setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."
Idan
tersenyum kecil. "Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini
setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima
kasih."
"Jangan
memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih.
Mengalahlah sedikit."
Idan
tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu
melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
"Aku
masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku
ini," katanya.
"Entahlah,
Dan," aku tertawa kecil. "Mungkin aku sudah sangat capai berkilah
tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai
jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus,
keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan
ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."
"Apa
yang kau dapat setelah setahun kita menikah?" tanyanya dengan mimik lebih
serius.
Aku
terdiam sejenak. "Banyak," jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa
aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya
kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku
belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita
inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan
bersama."
Aku
ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti
gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
"Kau
memang selalu pintar bicara," Idan tersenyum.
"Kau
sendiri? Apa ya ng kau pelajari selama ini?"
"Hanya
satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau
pergi."
Aku
tertegun. "Apa maksudmu?"
Idan
bangkit dan duduk mencangkung menatapku. "Tahun ini adalah saat paling
bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi
berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam
waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia
paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan
kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan
itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."
Ku
tatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak
sangat tenang dan serius.
"Aku
masih belum mengerti," bisikku.
Terharu, ditunggu episode selanjutnya ☺️
BalasHapus