Ya
Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim
yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung
berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih
nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok
'malaikat' itu masih melekat dalam benakku.
Sore
tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit.
Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali.
Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan
untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk
dibaca.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,"Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?". Hufh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan,"Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?". Hufh…tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
"Bu
Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang
pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu" Hufh…aku hanya
menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan
seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah. Menikah. Semua
gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai
pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang
baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya.
Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang
yang soleh yang bersedia menjadi suamiku.
Tepat
disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai
sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu
rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa
kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan
padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu. Di dalam aku
melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring
diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup
dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut
kami ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu
segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun
tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap
mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing
didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
"Ini
pasti Dinda ya?" Tanya Bu Rahayu.
"I..iya
bu.." Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku
kembali tersenyum padanya.
"Sudah
besar ya? Berapa usia kamu sekarang?" Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat
aku ragu-ragu untuk menjawabnya.
"Ehm...27
tahun bu" Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap kali
ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa
mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
"Tahu
darimana Lis kalau aku sakit?" Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik
kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
"Dari
Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu
sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?" Mama balik bertanya.
"Tahulah
Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku" Jawab Bu Rahayu dengan mata
berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya.
Diapun mulai bercerita.
"Beberapa
hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan
istri oleh anakku...."
"Oh
iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?" Cerocos Mama
memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan
nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
"Anakku
itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?"
"Oh
iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!" Kata Mama seraya
menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku
sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun
bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda" Lanjut Bu Rahayu sambil melirik
kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan
mendengar cerita Bu Rahayu.
"Setelah
aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok
dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia
menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh
dengan
usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini" Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini" Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
"Sekarang
dia kemana bu?" Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku
menanyakan hal itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
"Sekarang
dia sedang menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar
lagi juga pulang" Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti
semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya,
sedangkan aku hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang
baru bagiku.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku
berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat
lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian
mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan
zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan
kedua tangannya juga padaku.
"Assalamu'alaikum"
Ucapnya lembut sambil menunduk.
"Wa..wa'alaikummussalam"
Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari
wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku
berdebar-debar.
Kudengar
Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul
Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga
memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya.
Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam. Tak
berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar
dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat
mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya
dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan
mereka dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
"Bu
Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang
pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu".
Apa
mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana. Sepanjang
perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku
sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku
sekarang adalah, apakah sosok "malaikat" itu yang menjadi harapan
Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati. Adzan Maghrib
sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu.
Hari
berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok "malaikat" itu.
Dan aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah
undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah.
Aku tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan
pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang
ikhwan1 yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini
sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu
dan berkaca mata.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku
tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email
padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka
padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak
antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi
kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis
balasan email untuknya. Wa'alaikumussalam.
Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan2, lebih baik kamu hubungi saja murabbi3nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.
Segera
kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku
sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit
beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku
bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu
pesan diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4. Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya. Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan. Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran4. Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya. Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan. Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
Aku
tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas
meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu.
Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini
menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan
Arini dulu.
"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh
memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian hari
malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus
ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah.
Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang
tidak pernah aku duga sebelumnya. Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk
masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan
sangat beda hari ini.
"Wah...wah!!
Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara
apa?" Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
"Tuh,
lihat saja Ma!" Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning
keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama
mengambil undangan itu dan membacanya.
"Undangan
pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah" Ucap Mama mengeja
huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
"Oh...ini
Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah
lamaran....siapa itu?"
"Fauzi
Ma!" Sahutku.
"Iya
Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?"
Tanya Mama penasaran.
"Ma,
jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan
menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah
sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?" Jawabku
meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
"Oh
iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini"
"Keluarganya
Bu Rahayu?" Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
"Iya.
Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?"
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
"Untuk
apa mereka kemari Ma?"
"Ya
sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau
kami bicarakan" Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar
untukku. Membicarakan apa?
"Siapa
saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?" Tanyaku makin penasaran.
"Nggak
banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin" Jawab Mama
tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama
menyebutkan
"anaknya
yang kemarin".
"Nanti
jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya"
Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan
Mama. Dia ikut? Sosok "malaikat" itu nanti malam akan datang? Oh
Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku
segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul
ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka.
Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
Sepulang
dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu
halaqah5ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami
atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya
menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel
terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku
yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis "Ayat
Ayat Cinta". Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai
penulis inspirasiku dalam menulis novel. Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan.
Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang
untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik
dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad saw dan
para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah
Menengah Pertama Islam Taman Qur'aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek,
tempat dimana acara temu penulis "Ayat Ayat Cinta" digelar, aku
melihat sosok "malaikat" yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu.
Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar
demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang
tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. 'Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. 'Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
"Suf,
ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel
lho!" Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
"Bener
akhi, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah
teman mereka" Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
"Ente
jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar
undangan?" Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku
bertanya-tanya. Undangan?!
"Ah,
antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang
tua" Sahut Yusuf.
"Lagi
sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu.
Ya terima deh nasib dijo..."
"Sstt!!"
Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
"Udah
yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit
lagi" Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin
bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang
tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
"Ya
Ma?" Sapaku langsung pada Mama.
"Din,
kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan
segera datang" Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
"Iya
Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu
Rahayu juga akan telat datangnya" Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu,
Yusuf saja masih ada di Senayan.
"Sok
tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan
membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah" Ucap
Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan
lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan
itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang
masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada
Yusuf?
Sampai
dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera
mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang
hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu. Selepas
mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang
menurutku aneh.
"Din,
coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus
deh!" Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam
lemariku.
"Untuk
apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju
yang berlebihan. Kayak mau pergi saja" Tolakku tanpa mau mengindahkan
permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok
dipakai keacara walimahan.
"Eh,
malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak.
Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?" Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya
Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa
sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan
ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul
tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa
mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan
hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan
minum dibelakang. Hatiku
tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang malam
ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil
namaku.
"Dinda!!
Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!" Teriak Mama.
"Iya
sebentar Ma!" Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku
bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku
dalam-dalam lalu kuhembuskan. Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu,
kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya.
Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu
kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu
Rahayu memuji penampilanku.
"Wah!!
Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah" Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu
membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok?!
"Ah,
Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya" Sahutku sambil meminta
diri. Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan.
Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya
hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di
belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi
siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan
keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya. Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku. Aku kembali kebelakang dan ku ambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya. Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku. Aku kembali kebelakang dan ku ambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
"Ya,
tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga
untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita
yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?"
"Ya
ya, betul betul" Sahut Papa.
"Saya
yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini"
Lanjut Pak Sardi.
"Saya
hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?"
"Prang!!"
Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku
terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa
kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku.
Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
"Ya,
kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami
sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan
Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini
menjadi langkah awal untuk kebaikan kita bersama"
"Amin!"
Jawab semuanya serentak.
Dalam
hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu?
Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu
denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga,
sebenarnya aku mau menerimanya. Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh
memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah
seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku
kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama
belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku
mendengar Mama memnggil namaku.
"Dinda!
Kesini sebentar Nak!"
Aduh!
Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak
berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
"Iya
Ma, sebentar" Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku
menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon
suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
"Kamu
sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?" Tanya Mama
sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
"Lalu
bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?" Tanya Mama yang sebenarnya
ingin langsung kujawab "Mau..mau!!" Tapi aku malu. Aku lebih memilih
untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu,
terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
"Dengan
segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki,
maka dengan menyebut nama Allah...." Kutarik nafasku perlahan.
"Aku menerimanya" Lanjutku.
"Aku menerimanya" Lanjutku.
Lega
rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf.
Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk.
Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi
sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan
senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya,
sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa
gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
Semuanya
sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan
walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar
Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah
ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat
alat shalat, satu buah Al-Qur'an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al
Ikhlas.
Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan
senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam. Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan
senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam. Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
"Apa
ini Ma?" Tanyaku heran.
"Surat
dari calon suamimu" Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa
sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh
Mama.
"Makasih
ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku" Ucapku sedikit serak.
"Iya.
Mama doakan supaya kamu selalu bahagia" Sahut Mama sambil membelai
kepalaku yang masih tertutup jilbab. Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat
dari Yusuf di atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat
membukanya. Tapi aku harus mencuci dulu semua piring-piring kotor didapur.
Setelah
selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti
harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan
kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf
bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku
menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku.
Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang
sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,
Assalamu'alaikum.
Wr. Wb
Kepada
yang terhormat
Dinda
Altharina Puteri
Di
tempat
Aku sengaja menulis surat ini
dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa yang aku
rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang
tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas
dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku
tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku
juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang yang
aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut
karena telah menyakiti perasaanmu. Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih
banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat lemah, aku takut bila
aku menolak permintaanya, sakitnya akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua
hari yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi
aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua kita
masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal
ini. Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang Islam
sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas
kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada 'nama' lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus 'nama' itu dan berusaha menggantinya dengan 'namamu'.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada 'nama' lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus 'nama' itu dan berusaha menggantinya dengan 'namamu'.
Jika
memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai
langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya
ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau
mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak
mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu. Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku. Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu. Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku. Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Wassalamu'alaikum.
Wr. Wb
Dari
Seorang Pengecut
Yusuf
Abdul Fattah
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata sudah tak dapat
lagi kubendung. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini
menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah
mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya.
Tiba-tiba aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku
temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan
perasaanku yang sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta padanya. Sekarang aku
mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku lebih
mengerti apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang
dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan
'nama' lain yang dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat yang
tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi
merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat
Yusuf jatuh hati padamu?
Aku
merasakan air mata kembali menetes membasahi kedua pipiku. Sebuah berita
menggembirakan yang baru saja aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja
berubah bagai kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya
hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan
pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi
jatuh sakit. Oh
Ya
Rabbi, tolonglah hambaMu ini. Aku bangkit dari dudukku. Aku berusaha
mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan hatiku yang tadi hancur berserakan.
Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah cukup malam dan aku teringat, aku belum
shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi
untuk mengambil air wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan
Mama dan Papa. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini. Malam ini akan kuadukan
semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan arti
dari sebuah makna cinta sejati.
Hari
ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya. Seusai shalat
subuh, tilawah qur'an beberapa halaman, dan wirid ma'tsurat aku langsung
bergegas mandi dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa8 pukul
sepuluh nanti. Seusai membereskan rumah, aku langsung membuat sarapan seperti
biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa. Di tengah
menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba Papa menegurku.
"Din,
kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?" Tanya Papa mengejutkanku
dari lamunan. Kupandangi wajah Papa dengan tatapan hampa.
"Iya
nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam saja. Seharusnya kamu senang
dong, kan semalam baru dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya" Imbuh
Mama melanjutkan. Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya
sangat menghancurkan hatiku. Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu
putih kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.
"Din!
Ada apa sih kamu?" Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
"Ehm....Pa,
Ma, ada yang mau aku bicarakan" Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku
semakin galau.
"Mau
membicarakan apa?" Tanya Papa. Ku tarik nafasku dalam-dalam.
"Setelah
semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak lamaran
Yusuf"
"Apa?!"
Teriak Papa dan Mama berbarengan.
"Iya
Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf" Kataku lagi
mempertegas perkataanku sebelumnya.
"Kamu
sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala persiapannya itu sudah ditentukan,
Dinda. Lagi pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya? Bukankah semalam kamu
kelihatan bergembira sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan Yusuf sampai
menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah
pikiran?" Tanya Mama dengan penuh ketegasan.
Andai
saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal
yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan
aku pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan
semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
"Dinda?"
Tegur Mama.
"Ya
Ma? Ehm...." Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan
Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa?
"Ehm...A,
aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih
baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku" Jawabku
sekenanya.
"Tapi
Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi
untuk apa lagi kau menolaknya?" Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam
seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.
"Yang
sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya yang
menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf" Aku hanya bisa
menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus do'a kupanjatkan pada
Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali bersuara.
"Din,
usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang
seperti Yusuf saja kamu tolak?" Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa
pertanyaan Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati.
"Aku
hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya,
Ma" Ucapku dalam hati. Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa.
Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku
dan kutuliskan semua kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang.
Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku.
Aku
tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak
akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan
hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang
terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu
padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam
bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas
diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar
menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa
mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku
yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing. Dan
yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu
mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau
berpikir kenapa
Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya,
saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya,
akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya.
Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma 'ashshobirin. Allah itu selalu bersama
orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan,
sabar dalam mengarungi kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang
tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang
berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka
untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu. Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu. Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
Hari
pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala pengantin Jawa karena
keluargaku dan keluarganya berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari
Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi
tetap terbalut oleh jilbab syar'i. Para undangan banyak sekali yang hadir. Tak
terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan
dua novelku. Diantara para undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka
adalah penggemar setia novelku. Aku tak tahu dari mana mereka tahu acara
pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat senang karena mereka sangat peduli
padaku. Aku hanya bisa mendo'akan mereka supaya mereka bisa menemukan jodoh
mereka dengan cinta.
Aku
duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang sudah
menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang
mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku pastinya. Sesekali dia
melebarkan senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan
tentunya.
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua
orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua
orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
"Barakallah
ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah" Ucapnya pelan.
Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku
hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu siapa
mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara,
"Syukran
ya Alifa sudah mau datang" Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi
yang kuketahui bernama Alifa. Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri.
Dua akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini
aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di
book fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya
Yusuf itu untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa 'nama lain' yang
ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama
itu adalah Alifa. Gadis itu adalah Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga
adalah Alifa. Bukan diriku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.
Selesai
akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di
kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan
harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa
menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa. Aku tak tahu kenapa Yusuf
membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua Yusuf
ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun pulang. Tinggal aku dan
Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga bingung. Aku memutuskan untuk
mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan dikamar. Entah
siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan mengambil air wudhu.
Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak
lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan
padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do'a yang
pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan
membacakan do'a yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus
kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih
padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku. Aku langsung
menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang
dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
Pukul
delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang
selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada
pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur
dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi
biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih
mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
"Maafkan
aku ya Din?" Ucapnya pelan. Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku
tak menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
"Aku
memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi
semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku,
membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus
menyakiti Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang
tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam
bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang
pengecut"
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
"Maaf,
jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku
ini. Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku
selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu" Ucap Yusuf
lagi pelan.
"Bagaimana
mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia" Ucapku
menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
"Aku
memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan
siapa-siapa dihatimu, tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan
Alifa" Sambungku sekenanya.
"Alifa?!"
Tanya Yusuf kaget.
"Dari
mana kau tahu tentang Alifa?" Aku bangkit dari
tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada
seorang wanita yang bernama Alifa.
"Kau
tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya
minta satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang
sah. Dan seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih
saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin
membantumu untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti
akan hal ini" Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Kembali
aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut
untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping
tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku
masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.
Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan
kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah
bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan
kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah
dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan
generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini. Tapi
semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur
membelakangiku dan mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat
itu gelap seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba
saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku
kembali sadar, bahwa ini hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku
yakin, akan ada berlimpah-limpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar
karenanya.
Rabbi,
kuatkanlah aku malam ini........
Waktu
seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur.
Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri
bergoyang karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku
masih dengan posisiku yang semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di
bagian pinggangku karena semalaman aku tidur dengan posisi miring
membelakanginya. Ku raih ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat
lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya
aku dengan keadaan seperti ini. Ingin berbuat sesuatu, tapi apa? Tiba-tiba aku
merasakan Yusuf bangkit dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku
enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia sekarang.
Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
"Din,
aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang"
Ucapnya padaku. Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku
bingung harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari
mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja
aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
"Kau
tidak boleh kemana-mana!" Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam.
Kulihat pandangannya seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih
berdiri di depan pintu sambil mengatur nafasku.
"Kenapa
aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan
menunggu hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat" Ucap Yusuf seolah
mempertegas pernyataannya yang pertama tadi.
"Kau
tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang
suami!" Kataku sambil diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku
yakin tatapanku begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi
raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
"Subuh
masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu sebagai
seorang suami yang bukan seorang pengecut!"
Matanya
tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak
sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya.
Tiba-tiba mataku basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku
menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku
tersadar. Mana mungkin Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta
untukkupun dia tidak punya. Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak
sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah tangisku aku berucap,
Ditengah tangisku aku berucap,
"Mungkin
aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena
seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah pernah
kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak
mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang
aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan
untukku? Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada
'nama lain' di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika di malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan
yang aku rasakan melainkan kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat hatiku?
Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di
malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!" Tanyaku
sambil terus menangis.
Aku
tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus
air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang
semakin sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya
aku menangis dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat
apapun. Aku semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk
hal ini saja dia tidak bisa mengambil keputusan. Akhirnya aku putuskan untuk
membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana
saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
"Pergilah!"
Ucapku tanpa memandang wajahnya.
"Pergilah
kemanapun kau suka. Pergilah ke tempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah
agar kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan
diriku disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!" Perintahku dengan
suara agak serak.
Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
"Pergilah!
Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu
tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah!
Pergilah!" Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku.
Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Tiba-tiba
Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia
mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun duduk
di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
"Subuh
masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku sebagai
seorang suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut".
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia
merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan ibadah
itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun aku
tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku
benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia
memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya
Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
Tiga
hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk melakukan
segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang
berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana
malam di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita
hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga.
Semua itu hanya impian belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat
Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah
hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam kamar
sambil membaca buku atau tilawah qur'an sambil sedikit menghafalnya.
Tadi
pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah menumpuk.
Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan
murid-muridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah
Pertama Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan
dia untuk libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang
tertunda kalau dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang
hari ini. Akupun menerima keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak
barang yang kami bawa sebab kami datang kesini langsung dari pesta walimatul
ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua Yusuf yang terletak
di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang
meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama dalam perjalanan
pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama. Suasana
didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang
kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan
Yusuf hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali
dan menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera.
Di
sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan
karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami.
Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota
Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan
Yusuf saling bertatap muka.
"Oh
iya, kalian ini suami istri kan?" Tanyanya sambil melihat kaca spion yang
ada di atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
"Kenapa
memang Pak?" Tanya Yusuf.
"Ah
tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari
hotel. Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah" Ucap Pak
Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya
menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak.
"Kenapa
Bapak bertanya seperti itu?" Tanyaku tiba-tiba.
"Tidak.
Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya
diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh
tahu?" Tukas Pak Burhan.
Aku
dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu.
Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang
harus aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab
dengan jawaban,
"Kami
seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak". Tapi aku hanya
bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
"Waduh!!
kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak
apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan
acuh tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan
sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah,
maka selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu
carilah jalan keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi
yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam mana pula kalian ini. Saya ini
hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga saya dan
istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang menurut kami
mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua." Jelas Pak Burhan panjang
lebar.
Aku
yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan Pak
Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah
pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan
seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku
perhatikan Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak
Burhan barusan.
"Kalau
saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?" Tanya Pak
Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf
menjawab,
"Baru
tiga hari Pak"
"Wah!
Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan selamat
ya? Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah! Bergembiralah
kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?" Tanya Pak Burhan membuatku
bingung.
"Berapa
ronde apanya Pak?" Yusuf balik bertanya.
"Ah!
Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak
mengerti. Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah
aku, namanya juga pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar" Tukas
Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan sesaat lalu kembali
terdiam.
Taksi
sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih
diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan
perkataan Pak Burhan. "Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu
banyak belajar"
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Sesampainya
dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini
telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua
Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan
Papa dengan penuh kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka.
Tak lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium
tangan Pak Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan
dengan memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami
selama tiga hari di hotel.
Setelah
cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang. Mulai hari
ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu.
Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di
pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka
memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka
hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
"Sudahlah
Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan sampai
mengecewakannya ya? Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami yakin
kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?"
Itulah
perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi
mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh, jauh,
dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam
pikiranku.
Aku,
Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin malam.
Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu membereskan
gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan
televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang
mengembang di wajahnya.
Aku
membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman
beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku banyak
menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya
membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya
marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal
kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu
untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal
itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering
membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu
pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai
berdarah. Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman
yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya
lagi. Diam-diam aku salut
pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi pengganti Mama di
kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat menguatkanku dalam
menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak
terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku
memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf
disana. Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk
kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih
berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku
dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan
mulai kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku
tengah terkejut menatap wajahnya.
"Kenapa
berdiri saja disitu? Ayo masuk!" Perintahnya padaku. Aku hanya mengangguk
dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat
tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang
ada tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau
mematikannya. Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri
rambutku perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya
membelakangiku.
Setelah
selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur.
Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada
disebelahku dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut
yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang
lebih pada hatiku yang semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo'a,
"Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa
menghadapi semua kenyataan ini. Amin"
Detik
berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan
minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai
seorang istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang
belum bisa 10 puasa menerimaku
sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah
kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan
yang dia berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku
pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal
ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu,
kini harus rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana
di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan
kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui
Arini dan Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar
cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra
sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya. Andai saja Arini tahu apa yang
aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis
dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali menangis bila melihat
atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia tengah
mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa
tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia
mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan
aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
"Do'akan
saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku
dan suami"
"Amin",
Sahut Arini mengamini. Mengingat
hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel Maharani
lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami
baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya
sekali kami melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk
makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum10. Hal itu sengaja aku
lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang
pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan
sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa
menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima
keadaan suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar
berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama
aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku
menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku
hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam
kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan. Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan. Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
"Ingin
lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah
sunnah"
Biasanya
ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi
kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf
memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang,
tapi aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet,
televisi, kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan
baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan rumah.
Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia,
sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup
mandiri. Aku hanya bisa meminta do'a restu mereka agar aku dan Yusuf memang
benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
Malam
ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang
sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan
laptop sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar
kertas berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya
tak ada jeda untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya
tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al
Mustofa namanya. Kali ini dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di
masjid. Alasannya kalau di masjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang
karena bapak-bapak disana sering mengajaknya berbincang-bincang terlebih
dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus ekstra lembur karena
banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai
shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku
mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas
wedang jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
"Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?" Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
"Ngetik apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk sekali?" Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar
pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak seguratpun
senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan
pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah
kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari
laptop.
"Ngetik
soal buat UTS11 besok" Jawabnya singkat.
"Memang
sebanyak itu?" Tanyaku lagi. Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak
pergi dari hadapannya.
"Jangan
tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar.
Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur
duluan ya?" Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi
dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku hendak
membuka pintu kamar, dia bersuara.
"Terima
kasih ya? Dinda" Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh
padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali lagi
mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa
mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang
untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, 'Dindaku
sayang'.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
"Terima
kasih ya? Dinda" Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku
memejamkan mata.
Di
tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak
tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar.
Betapa terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya.
Kulirik jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri
dia. Wajahnya begitu lelah terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya
juga sudah habis diminumnya. Aku juga melihat ketikan di komputernya. Masih
banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk
membantunya?
Sejenak
aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas Bambang, temannya
Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soal-soal yang
tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran matematika.
Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya? Apa tidak mengganggunya?
Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai malam
ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan
untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja
dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Bismillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung.
Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
"Ada
apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja" Ucap Mas Bambang dengan nada
kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Maaf
Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf" Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf
terbangun.
"Oh,
maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?" Tanya
Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya
Yusuf, bukan Yusuf.
"Maaf
ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata
pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?"
"Oh...iya.
Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia.
Ada apa rupanya ya?" Tanya Mas Bambang ingin tahu.
"Tidak
Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa
nomor ya Mas?"
"Setiap
soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40
nomor" Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal
yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang
cukup besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus
berputar dan malam semakin larut menjelang.
"Ya
sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam"
Ucapku masih dengan pelan.
"Ya...ya,
tidak apa-apa" Sahut Mas Bambang.
"Makasih
sekali lagi Mas, ya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Jawabnya menutup pembicaran.
Aku
langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama konsep
soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya
dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya.
Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat
asing bagiku. Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus
benar-benar berusaha untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu
terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima
belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan
kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint
semuanya di komputerku yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa
syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman
dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega rasanya hati ini karena
akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Ku
letakkan lima lembar soal itu di atas meja. Ku bereskan semua kertas-kertas
yang ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat
melaksanakan shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan
mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak
pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali
rasanya aku menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya,
menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku
merasakan ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja niatku untuk
menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah. Jika
memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan
berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan
menjalani hidup ini. Ku langkahkan
kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
"Dinda,
apa semua ini kamu yang mengerjakan?" Tanya Mas Yusuf ketika dia baru saja
terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan
balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
"Mengerjakan
apa?"
"Soal-soal
UTS ini?" Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca
dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
"Oh!
Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?"
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca soal-soal itu.
"Ehm....Tidak,
tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah
penulisannya" Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi
memeriksa soal-soal itu.
"Syukurlah
kalau begitu" Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng
dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
"Hari
semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh" Ucapku lagi pada Mas Yusuf.
Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
"Astaghfirullahal'adzim"
Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar
mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburu-buru.
Nasi
goreng yang ku buat sudah matang. Ku angkat dan kusajikan menjadi dua piring.
Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja
makan. Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa
kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk
mengambil air wudhu. Tapi karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian
saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia lupa membawa handuk.
Setelah
meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk
dan menyerahkannya pada Mas Yusuf.
"Mas,
ini handuknya!" Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan
mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang aku berikan padanya.
"Terima
kasih" Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah
keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci
pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian
dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
"Sudah
shalat Mas?" Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu
kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng
lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang kuiris tipis-tipis.
Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk
menghangatkan perutnya. Dia melahapnya
dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada
perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin sampai
detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal
sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku.
Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti
semalam. Rasanya indah sekali.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf
menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia
beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal
yang aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya
dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa
tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
"Hati-hati
di jalan ya? Jangan ngebut" Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi
dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah
motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
"Ada
apa lagi? Ada yang tertinggal?" Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
Dia menggeleng kemudian bersuara,
"Tidak
ada yang tertinggal namun ada yang terlupa..." Jawabnya membuat aku tambah
bingung.
"Apa
yang terlupa? Biar aku ambilkan" Ucapku.
"Tidak
usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas
bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu,
mungkin pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian
sambil di kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu
malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan ku balas"
Ucapnya panjang lebar membuat aku terhenyak.
"Tidak
perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri
untuk membantu suaminya" Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
"Ya.
Kalau begitu aku berangkat. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Dia
pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan menghilang
dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu yang
menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali.
Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam
pada sosok suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk
berangkat kerja.
Ponselku
berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku
kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi
ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone 'Merah Saga'nya Shoutul
Harokah, nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku
tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban
telepon dariku.
"Assalamu'alaikum.
Ada apa Mas?" Tanyaku segera tanpa basa-basi.
"Wa'alaikumussalam.
Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya
kita menginap di rumah Ibu" Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu yang
dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
"Acara
apa memangnya Mas?"\
"Acara
bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul Harokah dan
Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana" Sahutnya datar.
"Oh.
Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?"
"Ya.
Assalamu'alaikum" Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup
teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
"Wa'alaikumussalam"
Aku
terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas
Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk
yang pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia
mengajakku pergi bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku
impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa
menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering aku lihat. Tapi apakah
nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti apa yang aku impi-impikan
selama ini? Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak padanya.
Ku
selesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali
ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku
tersenyum kecil sambil membaca isi pesannya.
"Tunggu
sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg."
Aku
membalasnya.
"Baiklah.
Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg."
Aku
bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki hubungnku
dengan Mas Yusuf.
Waktu
berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku
langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok
lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas
Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot
jurusan Pasar Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung
lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di
dekat pintu. Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak
sedikit pula orang yang berebut untuk naik.
Disaat
yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa
beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara
ibu tua itu membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat
duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir.
Ibu itu hendak menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus
dan mendudukkan dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat
sangat. Peluh di wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan
memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku
mengalihkan pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu
itu. Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada
juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang
membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua
matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari
dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati.
Aku menemukan kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di wajahnya.
"Terima
kasih ya Nak?" Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di
pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di
jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir
tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat
seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil
menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya,
sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk
dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja.
Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu itu dan tersentuh
hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak
menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja
mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba
aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku sampaikan,
tentang 'amal kebaikan' di halaqah pekan kemarin.
"Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan
seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang
mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat.
Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di
dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba
tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk
memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.
Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab
Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka
ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di
sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang
berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak
akan dapat menyempurnakannya12 "
Aku
ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga
yang Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk
itu tidak menginginkan surga itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi
aku lebih yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan
Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus
berpanas-panasan sambil berdiri sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk
yang enak. Menurutku,
mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu
lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala.
Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting
di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi
pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka
juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka
bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan
kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo'a agar mereka semua bisa
lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan
tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil
yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil
yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin
menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang
banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu
sendiri. Ada yang
menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan,
atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa
bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat
dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana
pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan
masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu
tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar
dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan
yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan
yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala
hal, termasuk kemacetan. Yang pasti, sebagai
manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo'a kelak kota Jakarta ini bisa
mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan
rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata
sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang
jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab
lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot
tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu
masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang
keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah
menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon
Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
"Telepon
yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat di hubungi. Cobalah beberapa saat
lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut"
Itulah
jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas
Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku
kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil
tersenyum.
"Assalamu'alaikum"
Ucapnya dengan lembut.
"Wa'alaikumussalam"
Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
"Afwan
kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?"
"Iya.
Kamu pasti Alifa" Jawabku menimpalinya.
"Iya
aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?"
"Bagaimana
mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke
pernikahanku".
"Oh,
syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku"
"Tenang
saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh
iya, kamu ikut acara ini?"
"Iya.
Kamu sendirian? Yusufnya mana?"
"Mungkin
sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini"
"Oh
begitu" Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oh
iya hampir lupa" Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
"Ini"
Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku.
Aku menerimanya.
"Ini
undangan pernikahanku. Datang ya?" Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu
kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur
Maulana.
"Selamat
ya?" Ucapku padanya. Dia mengangguk.
"Kalau
begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari
pernikahanku nanti" Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
"Insya
Allah nanti aku sampaikan" Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari
hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas
Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak
lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book
fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya
tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
"Assalamu'alaikum.
Yusufnya kemana ukh13?" Tanyanya padaku.
Aku menggeleng,
"Wa'alaikumusslam.
Belum datang".
"Oh...Bukannya
bareng?" Aku
menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas
Yusuf sudah datang.
"Tadi
sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang
yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini" Jelasnya.
"Memang
Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?"
Tanyaku.
"Tadi
pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar.
Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah
Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak
tahu juga sih" Aku
terdiam sejenak.
"Randi!!
Ayo!" Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku
yang kutahu bernama Randi.
"Afwan.
Ana duluan. Asslamu'alaikum" Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang
yang tadi memanggilnya.
"Wa'alaikumussalam"
Sahutku.
Pikiranku
semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku
sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku
bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras. Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras. Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah
shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti
datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang
membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf
kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang
isinya,
"Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu
disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/
menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg."
Ku
kirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi
hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas
Yusuf. ternyata. Isinya,
"Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji.
Afwan"
Tiba-tiba
air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan
pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf,
tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku
yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak
mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang
juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk
tetap tersenyum melihat kedatangannya.
"Maaf
ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit.
Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia
tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengjak aku untuk menjenguknya. Kamu
tidak marah kan?" Cerocosnya begitu dia sampai di hadapanku.
Aku
memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus
menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia
tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap,
"Iya"
"Maksudnya?"
Tanyanya tidak mengerti.
"Coba
kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu
apa maksud dari jawabanku" Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah. Dia
terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan
keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku
segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
"Nih"
Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
"Apa
ini?" Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
"Undangan
pernikahan Alifa" Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia
berucap datar.
"Mungkin
inilah yang terbaik" Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan
menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
"Sebaiknya
kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku
yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya"
"Baiklah"
Sahutnya.
Motor
yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya.
Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing.
Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang
telah Allah janjikan itu, bisa juga kami rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang
dapat menentukan. Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya
dengan jelas. Aku hanya bisa berdo'a dalam diamku.
Hari
pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah
kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku
langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang
dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam
hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah
berbentuk seerhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya
yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu
dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk
disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman
penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar
tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari
ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari
pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau
ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang
lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya
selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku
tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, 'seharusnya aku yang ada
di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu'.
Astaghfirullah!!
Aku tak mau su'udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki
halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan
undangan wanita di pisah oleh hijab. Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat
seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat
menikah.
"Barakallah
ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah"
"Syukran
ya?" Ucapnya.
Aku
mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah
katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa
meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf
berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan
sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya. Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya. Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.
Tiga
bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air
mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku.
Kenapa seseoang yang taat beragama,rajin beribadah dan membaca Al-Qur'an, serta
seorang yang terbiyah seperti dia bisa membohongiku? Aku tak pernah habis
pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam
acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan
puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok
seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku. Aku melihat suamiku
tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya
yang bertuliskan 'Save Palestine'. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh
semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt
menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku
yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika
kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari
kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang
benar-benar Mas Yusufku. Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku
dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri.
Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu
pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah terlanjur bilang
padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia
pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi
ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf
disana.
Dengan
gontai ku langkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang
bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin
mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul
11.30 WIB, menandakan bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera
saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid
Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan / akhwat yang berpeluh dan berkeringat
tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan
Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri
memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.
Ku
selonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika
aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil
menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli
sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku. Diwaktu yang
sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Ku lemparkan senyum
padanya lalu ku arahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi
terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah
dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong
padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus
berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak
ingin bersu'udzan padanya. Tapi.....
Seketika
air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah
berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur
bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat.
Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami
melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang.
Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin
sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali
mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala
itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa
berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku
hanya menggeleng dan menjawab,
"Nggak.
Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?"
Lalu
Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang
entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang
ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak
habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya.
Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang
membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah
banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau
topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di
Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka
takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina.
Ya...memang
masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya.
Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam
wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
"Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan
dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan
perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai
tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang
bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak
akan ditolong"
Dari
jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia
sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha
mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir
keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama
Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan
menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia
untuk menghampirinya.
"Assalamu'alaikum"
Ucapku padanya.
"Wa'alaikummussalam"
Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
"Afwan,
ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?" Tanyaku sambil mengarahkan
pandanganku pada orang yang kumaksud.
"Oh,
iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?"
"Iya.
Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut
munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?"
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
"Ada
apa ya Rin?" Tanyaku langsung padanya.
"Ehm...keadaan
Alifa sekarang tidak begitu baik" Jawabnya dengan nada sedih.
"Memang
dia kenapa?" Ririn mulai
menjelaskan.
"Seminggu
setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil
yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang
bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur...." Ririn memutus
perkataannya. Aku hanya bisa diam sambil meringis mendengarnya. Dalam hati aku
terus beristighfar.
"Lalu
keadaan Alifa sekarang bagaimana?" Tanyaku setelah tadi aku sempat
terkejut mendengarnya.
"Keadaan
terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya
dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah.
Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan
kematian suaminya yang sangat tragis. Dan pada akhirnya dia harus dilarikan ke
rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah" Jelas Ririn.
Aku
diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn
memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak
dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan
padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah
yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.
Tanpa
terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia
menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di
sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami
habis melakukan aksi munaoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan
orang-orang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan
merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.
Biasanya
sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku
untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa
tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang
tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring
tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa
bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju
stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya
dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat
kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk
itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian
datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara
menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun
tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di pinggangnya terdapat
sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh
penumpang kereta.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas menanyakan perihal tersebut padaku.
"Kamu
memberikannya uang lima ribu Nda?" Tanyanya dengan memanggilku dengan
sebutan 'Nda'. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir
dari namaku, 'Nda'.
"Apa
menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?" Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk.
Nadia mengangguk.
"Menurutku
itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?"
"Ada.
Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan
semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai
ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih
berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja
keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini
pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan
hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan
membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?" Jelasku pada Nadia.
Nadia
mengangguk lagi. Sesaat
lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta
yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak
penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta
menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini
mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian
rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas mereka.
Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu
masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan
kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi
oleh pandanganku. Beberapa menit setelah
kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang
dilayangkan oleh seorang laki-laki.
"Hei!
Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah
busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami
dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu
diri!" Bentak salah seorang dari penumpang yang aku tidak tahu siapa dia.
Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat
kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata
yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang
penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang
tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu
tua yang tadi menadahkan tangannya padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis
sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang
menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya. Orang yang berpakaian rapi
yang satunya lagi mengusap-usap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa
menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu.
Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga
uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
"Hei!
Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi
kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!"
Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua
penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang
laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega
melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa?
Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah
keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di
musnahkan. Setelah ku rasa
tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku
putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
"Cukup-cukup!!"
Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana
sedang memperhatikanku. Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin
aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat
kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku.
Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah swt.
"Tidak
sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu.
Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas
kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut
keluar dari mulut kalian sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya
karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu
ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian
merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa
benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan
kalian" Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
"Apa
maksud perkataanmu hei?" Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang
mengenakan kemeja berwarna biru tua.
"Apa
kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan
hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian
menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega
sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian
menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang
mengkilap itu?"
"Hei!
Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?"
Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
"Apakah
kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian
melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana
hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang
kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu
kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah
padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!"
Dua
lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus
saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena
pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
"Apa
yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang
sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai
seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina
seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan? Coba
kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan
hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu
menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk
mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya
karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu
diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada
di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan.
Bahkan untuk mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia,
kalian malah menghujaninya dengan cacian"
Itulah
ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung
sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua
orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
"Saya
yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang
berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum
sempurna?"
"Hei,
jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan
kami" Sahut lelaki berkemeja merah marun.
"Kalau
kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai
saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, Belum sempurna iman
seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri14. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian
juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar
bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu. Saya yakin kalian pasti tidak
mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?"
"Apa
maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?" Kali ini laki-laki
berkemeja biru tua yang bertanya.
"Allah
berfirman dalam Qur'anNya, Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin
dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata15. Saya harap, kalian bisa
memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar
jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok
itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon diingat akan hal itu.
"Saya
hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu
adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan.
Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau
semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi
ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya
karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah bersama hinaan-hinaan
kaliantadi. Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan
pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari
uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu.
Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar
yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah bersabda, Orang-orang
yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud
manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke
sebuah penjara dalam neraka Jahanam16. Mereka ditutupi oleh api paling panas
dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka17.
"Jadi
sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan
kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam
bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang-orang yang sombong.
Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan
dihina. Sepatutnyalah kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah
yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan
kita akan banyak hal. Tentang kebersihan, kesabaran dalam menghadapi hidup, dan
sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa
syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah
muslim sejati"
Dua
lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali
kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka
mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah
mengucapkan terima kasih padaku, mereka menyalami ibu tua yang kini ada
disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus
ribuan.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh Palestine di Monas.
Tepat
di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia.
Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut
dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan
kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua
lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa
sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di
stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan
tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang
yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak
yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun
Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku
pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna coklat. Tepat di
sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah
kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua
kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas,
pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini
tengah dirawat di rumah sakit karena suaminya meninggal, juga kejadian di
kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah
istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku
menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas
Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab
pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Ku lihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Ku lihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang.
Hanya
buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru
aku jalani bersama Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku.
Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini.
Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku
harianku.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku
kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku
memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu
Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan
mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak
bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang
bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Ku
mantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri
malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar
bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami.
Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan
sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu. Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras
yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo'a,
"Ya
Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami
kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin"
Sisa-sisa
hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih
terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang
banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di
Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini
adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah.
Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk
meneruskan tulisanku.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton
televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu
kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar
berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak
tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi
pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas
membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku
setelah shalat dhuha nanti.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.
Aku
keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak
penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan
segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa
syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Di tengah derasnya hujan yang belum
juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku
kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah
meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan
layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan
tubuhnya dan bertanya padaku.
"Ada
apa dari pihak penerbit menelepon?"
"Memberi
tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses" Jawabku singkat
tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer. Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan
susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah
bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar
untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.
"Nih
Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh" Kataku sambil menyodorkan
segelas susu padanya. Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku
masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya.
Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku.
Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan
menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku
tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu
mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan? Dia berjalan
ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat,
terakhir kami memadu kasih.....3 minggu yang lalu. Hatiku kembali berdebar. Mataku
menatap penuh tajam ke arah matanya.
Di
tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana,
komputer belum sempat aku matikan. Aku masih belum mengerti kenapa Mas Yusuf
mengajakku bercinta. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga.
Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah
berbohong padaku. Entahlah.
Dua
hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk
Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan
pada Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk
kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.
Di
kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang
perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah
ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku
memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu
mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Ku cium tangannya sambil berkata.
"Ibu,
saya Dinda, sahabatnya Alifa"
"Oh..iya,
iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa" Sahut ibu paruh baya
itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil
air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus
kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini
terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan
tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya
kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi
siapa saja yang memandangnya. Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya,
aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia
bernama Bu Ratih.
"Sejak
kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?" Tanyaku sambil terus berdiri di samping
Alifa.
"Sejak
keadaannya semakin parah Nak. Ya...sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk
kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa
sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin...." Bu Ratih
memutuskan kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi
terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan ku berikan padanya sambil
mengelus-elus bahunya.
"Sabar
ya Bu?" Ucapku padanya.
Bu
Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku
basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam
sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat
lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang
untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama
dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak.
Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan
sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya
berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja dorongnya.
Dokter
Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek
selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya
sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk
mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa
berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
"Bagaimana
dok keadaanya? Apa ada kemajuan?" Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng.
"Belum
ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya
dilakukan tindakan" Jawab dokter itu tenang.
"Tindakan
apa dok?" Tanyaku menimpali.
"Tindakan
untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia
memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu
Alifa ini baru seminggu menikah bukan? Masa-masa itu adalah masa-masa dimana
pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stres
kemudian sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga
sangat terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya
yang baru seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat
tragis" Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan
seksama.
"Lalu
bagaimana dengan kandungannya dok?" Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja
mengejutkanku.
"Kandungan?
Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?"
"Iya"
Sahut dokter melisa.
"Usia
kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya
tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak
bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus
ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan
menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya
yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari
seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama
pernikahannya" Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku
hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih
tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat
ucapan dokter Melisa barusan,
"Tapi
kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia
kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura
atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia
menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal"
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
"Sehingga
Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang
seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya"
Alifa
memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil
suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan
kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku
belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya
aku dapatkan dari seorang suami. Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
"Nak
Dinda"
"Eh...Ya
Bu?" Sahutku.
"Kenapa
melamun?" Aku
menggeleng.
"Tidak
Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do'akan semoga Alifa
bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh"
"Terima
kasih ya Nak?' Ucap Bu Ratih. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,
"Aku
akan membantumu, Alifa. Insya Allah" Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan
terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
"Yang
tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua
ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah.
Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumusslam.
Terima kasih ya Nak Dinda?" Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift.
Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku tumpangi,
tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa membuat Alifa tersadar
dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan
bayi yang tengah dikandungnya.
Setelah
sampai dirumah, tak ku temukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia
masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat
maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa
cemas itu menyusup ke dalam dada. Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum
pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi
kabar atau pun sms.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.
"Maaf,
nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau
tinggalkan pesan setelah nada berikut...."
Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Ku putuskan
untuk mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera
membaca pesanku dan langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur
dengan tenang.
Awalnya
aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku
tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor
telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang.
ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan
kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
"Halo..."
Ucap Mas Bambang dari sebrang sana. Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya
perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang
sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari
mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah
mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang
menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah
jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi
menjengknya?
Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.
Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.
Pukul
satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan
sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah
minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat
tidur sambil termenung sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam
ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil
menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat
tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin
shalat tahajud. Setelah
mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat
padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan
dengan tilawah Al-Qur'an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan
shalat witir tiga rakaat.
Ku
lepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela
kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan
hanya di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu. Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Aku
melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil
kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah
sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku
ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk mewawancarai seorang narasumber untuk
keperluan majalah di tempatku bekerja.
Ku
urungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam
suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini
tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
"Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku.
Hanya Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat
dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku, Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku. Rabbi, Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku? Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan. Ya Allah, Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon. Ya Allah, Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku. Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia."
Tuhanku, Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku. Rabbi, Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku? Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan air mataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku. Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan. Ya Allah, Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon. Ya Allah, Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku. Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia."
Seusai
merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan
tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur
dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.
Pagi
hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka.
Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.
"Dari
mana Mas?" Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
"Mas,
kamu dari mana aku tanya?"
"Sudahlah!"
Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
"Kamu
selalu mau tahu saja urusanku"
Aku
benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam
jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
"Yang
pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan"
"Ya
aku tahu hal itu" Sahutku berusaha untuk tenang.
"Lagipula
tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang
yang beriman.Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak
pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon hand phone mu tidak aktif. Akhirnya
aku kirim sms. Apa telah kau baca?" Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
"Lalu
kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku
khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi
biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman
tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata
dan itu adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak
membalas sms ku?"
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan ragu-ragu.
"Aku...aku
habis dari rumah Bule Rinta..."
"Bule
Rinta?!" Putusku dengan penuh tanya.
"Ada
apa dengan Bule Rinta?"
"Kemarin,
dirumahnya ada acara....selametan anaknya yang mau di khitan.." Jawab Mas
Yusuf tenang.
"Selametan?
Dirumah Bule Rinta ada selametan?"
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
Mas Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
"Kenapa
kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku
tahu kan aku bisa datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa kamu
pergi sendiri?"
"Ya...ya,
karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan
dilaksanakan baru aku kasih tahu" Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
"Kamu
terlalu Mas" Ucapku sambil menahan tangisku di tenggorokan.
"Kamu
anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang
sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas,
mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri
kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak
melupakan hal itu.
"Tolonglah
Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah
setahun kita menikah. Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan bahagianya
menjadi seorang istri. Katakan padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau tidak
mencintaiku? Apakah ini kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak
kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?"
Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat
lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di
tempatnya berdiri kini.
"Mungkin
sudah saatnya aku mengatakan hal ini" Ucapku dengan penuh ketegasan. Ku
seka air mataku. Mas Yusuf terlihat penasaran.
"Di
dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah ada cinta yang menghiasi.
Tapi aku berharap tidak pernah ada pula kata perceraian di antara kita. Karena
Allah sangat membenci hal itu. Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu
akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup
bahagia tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau
menceraikanku....."
"Apa
maksudmu?" Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap kedua matanya.
"Nikahi
Alifa......"
"Apa?!
Apa maksud perkataanmu?" Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
"Nikahi
Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang janda..." Ucapku menegaskan.
"Janda?!
Alifa sudah menjadi janda?"
"Ya.
Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda. Seminggu setelah pernikahannya
suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Sekarang kondisi Alifa menurun
dan kini dia dirawat dirumah sakit"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar