Medan, 15 Juni 1975
Hari ini engkau terlahir ke dunia , anakku. Meski tidak seperti
harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki ,
aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat setelah melalui jalan
divakum. Telah ku persiapkan sebuah nama untukmu "Qaulan Syadida". Aku
sangat terkesan dengan janji Allah swt dalam surat Al Ahzab ayat tujuh
puluh , maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi
seorang yang kaya iman dan memperoleh telah dijanjikan Allah swt dalam
Al-Quran. Sungguh kelahiranmu telah mengajarkanku makna bersyukur.
*) 1981
Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam
tahun. Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti
saudarimu. Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana
engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang
kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari
sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak ku temukan dalam diri
saudarimu yang lain.
*) 1987
Putriku , sungguh aku pantas bangga padamu. Tahun ini engkau ikut Cerdas
Cermat tingkat nasional di TVRI. Dengan bangga aku menyaksikan engkau
tampil penuh percaya diri di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada
teman-temanku "itu anakku Qaulan" ... Meski tidak juara pertama , aku tetap
bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit satu
kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku. Tidak
seperti keempat kakakmu yang kalem dan cenderung memiliki sifat-sifat
perempuan , engkau justru sangat angresif , pemberani , agak keras kepala ,
meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas.
Jika hari Ahad tiba , engkau lebih suka membantuku membersihkan taman ,
mengecat pagar , atau memegangi tangga bila aku memanjat membetulkan
genteng bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang
alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti
saudarimu yang lain. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku , membuatku
sering memperlakukanmu sebagai anak lelakiku , dengan senang hati aku
menjawab pertanyaan-pertanyaanmu , membekalimu dengan pengetahuan dan
permainan untuk anak lelaki. Tak jarang kita berdua pergi memancing atau
sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat
aku mengajar.
Putriku , sungguh kekhawatiranku
berbuah juga. Engkau menolak bersekolah di Tsanawiyah seperti saudarimu.
Diam-diam tanpa sepengetahuanku engkau telah mendaftar di sebuah SMP
negeri. Bukan kepalang kemarahanku. Untunglah ibumu datang membelamu ,
jika tidak mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih
mulus. Tegarnya watakmu , bahkan tak setetes airmata jatuh dari kedua
matamu yang tajam menatapku. Putriku , jika aku marah padamu semata-mata
karena aku khawatir engkau larut dalam pola pergaulan yang tak benar ,
anakku. Terlebih-lebih saat engkau menolak mengenakan jilbab seperti
keempat kakakmu. Betapa sedih dan kecewa hatiku melihatmu , Nak...
*) 1993
Tahun ini engkau menamatkan SMA-mu. Engkau tumbuh menjadi gadis
cantik , periang , pemberani , dan banyak teman. Temanmu mulai dari tukang
kebun sampai tukang becak , wartawan , bahkan menurut ibumu pernah anggota
kopassus datang mencarimu. Putriku disetiap bangun pagiku , aku seolah
tak percaya engkau adalah putriku , putri seorang yang sering dipanggil
Ustadz , putri seorang kepala madrasah , putri seorang pendiri perguruan
Islam.
Putriku , entah mengapa aku merasa seperti
kehilanganmu. Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan
rambut hanya berbeda beberapa senti dengan rambutku. "Biar praktis dan
sehat" berkali-kali itu alasan yang kau kabarkan lewat ibumu. Jika
terjadi sesuatu yang tidak baik pada dirimu selama melewati usia
remajamu , putriku maka aku lah orang yang paling bertanggungjawab atas
kesalahan itu. Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami.
Dalam doa-doa malamku selalu ku bermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau
dipelihara oleh-Nya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku.
Kesedihan makin bertambah tatkala diam-diam engkau ikut SNMPTN dan
lulus di fakultas teknik. Fakultas teknik , putriku ?? Ya Rabbana , aku tak
sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak
laki-laki dan bukan satu pun mahrommu ?? Dalam silsilah keluarga kita tidak
satupun anak perempuan belajar ilmu teknik , anakku. Keempat kakakmu
menimba ilmu di institut agama dan ilmu keguruan. Ya , silsilah keluarga
kita adalah keluarga guru , anakku. Engkau kemukakan sejumlah alasan ,
bahwa Islam juga butuh arsitek , butuh teknokrat , Islam bukan tentang
ibadah melulu. Baiklah , aku sudah terlalu lelah menghadapimu , aku
terima segala argumen dan pemikiranmu , putriku. Dan aku akan lebih bisa
menerima seandainya engkau juga mengenakan busana Muslimah saat memulai
masa kuliahmu.
*) 1995
Tahun ini
tidak akan pernah ku lupakan. Akan kucatat baik-baik. Engkau putriku yang selalu ku sebut namamu dalam doa-doaku , kiranya Allah SWT mendengar
dan mengabulkan pintaku. Ketika engkau pulang dari kuliahmu;
subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu , aku
sampai tidak mengenalimu , putriku. Engkau telah berubah , putriku. Apa
sesungguhnya yang engkau dapati di luar sana. Bertahun-tahun aku
mengajarkan padamu tentang kewajiban Muslimah menutup aurat , tak
sekali pun engkau cela perkataanku meski tak sekali pun juga engkau
indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku kuliah , tiba-tiba engkau
mengenakan busana takwa itu ?? Apa pula yang telah membuatmu begitu mudah
menerima kebenaran ini ?? Putriku , setelah sekian lamanya waktu berlalu ,
kembali engkau mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur.
*) 1997
Putriku , kini aku menulis dengan suasana yang lain. Ada begitu banyak
asa tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu.
Engkau menjadi sangat santun, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat
saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya. Kini , hanya engkau
, aku dan ibumu yang mendiami rumah ini. Ku rasakan rumah kita seolah-olah
berpendar cahaya setiap saat dilantuni tilawah panjangmu. Gemercik suara
air tengah malam menjadi irama yang ku hafal dan pantas ku renungi.
Putriku , jika aku pernah merasa bahagia , maka saat paling bahagia yang
pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu
tengah menangis dalam sujud malammu. Selalu ku yakinkan diriku bahwa
aku lah si pemilik mutiara cahaya hati itu , yaitu engkau putriku.
*) 1998
Putriku , kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu maka itu amat
beralasan. Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum
laude. Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu ,
diantaranya "mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti
kakak-kakakmu terdahulu ??" Engkau begitu sederhana putriku , tanpa polesan
apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda , semua itu
justru membuatku semakin bangga padamu. Entah dari mana engkau bisa
belajar begitu banyak tentang kebenaran , anakku. Jika hari ini aku
meneteskan airmata saat melihatmu dilantik , itu adalah airmata kekaguman
melihat kesungguhan , ketegaran , serta prinsip yang engkau pegan teguh.
Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu , putriku.
*) 1 Agustus 1999
Putriku , bulan ini usiaku memasuki bilangan enam puluh tiga. Aku
teringat Rasulullah saw mengakhiri masa dakwahnya di dunia pada usia yang
sama. Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah. Penyakit jantung
yang ku derita selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat saat
ku dapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu. Tidak satu pun
dari mereka bersedia meneruskan perguruan yang telah ku bina selama
puluhan tahun. Aku sangat maklum , mereka tentu mempunyai pertimbangan
yang lain , yaitu para suami mereka. Sedih hatiku melihat mereka yang
telah ku didik sesuai dengan keinginanku kini seolah-olah bersekutu
menjauhiku. Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini , itu
dengan kondisi sangat lemah , putriku. Aku tak tahu pasti kapan Allah swt
memanggilku.
Putriku .... ku titipkan buku harianku
ini pada ibumu agar diserahkan padamu. Aku percaya padamu. Jika aku
memberikan buku ini padamu , itu karena aku ingin engkau mengetahui
betapa besar cintaku padamu , mengapa dulu aku sering memarahimu , maafkan buya , putriku. Kini hanya engkau satu-satunya harapanku. Aku
percaya perguruan yang telah ku bangun dengan tanganku sendiri ini
padamu. Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah pesantren.
Engkau masih ingat lapangan tempat kita dulu menaikkan layangan ?? Itu
adalah tanah warisan almarhum kakekmu. Di lapangan itulah ku rencanakan
berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau seorang
arsitek anakku, tentu lebih memahami bangunan macam apa yang sesuai
untuk kebutuhan sebuah asrama pesantren. Kuserahkan sepenuhnya
kepadamu , juga untuk mengelolanya nanti. Sebab aku yakin dari tanganmu ,
dari hatimu yang jernih , dari perkataan dan tindakanmu yang selalu
sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah fauzan'adzima , kemenangan
yang besar seperti yang telah Allah swt janjikan, yakinlah putriku.
Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia
dan akhirat. Kini ku sadari engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim
ibumu , tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah. Semoga Allah
swt menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku. Amien Ya
Rabbal 'Alamiin.
*) 12 Agustus 1999
Rabb , jika airmata ini bukan tumpah , bukan karena aku tidak
mengikhlaskan buyaku Engkau panggil , tapi sebab aku belum mengenali
buyaku selama ini , seutuhnya. Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya.
Rabb , perkenankan aku menjalankan amanah Buya dengan segenap ridha-Mu.
hanya Engkau , Yaa Mujib...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar