Kamis, 24 Mei 2012

About Me

Zodiak : Taurus Girl

Makanan : Nasi goreng, Mie ayam, Ayam goreng, Capcay (hampir semuanya suka, kecuali yang berbau seafood hihihi)

Minuman : Es teh manis, Jus Alpukat, Es jeruk (tapi kalo dikasih air putih aja juga gak apa-apa hahaha)

Aktris Indonesia : Nabila Syakieb, Asmirandah

Aktor Indonesia : Dude herlino, Reza Rahardian

Aktris Luar Negeri : Yoon Eun-hye

Aktor Luar Negeri : Jack Efron, Joo Ji-hoon, Lee Min-ho

Band Indonesia : Ungu

Band Luar Negeri : Westlife

Penyanyi Indonesia : Agnes Monica

Penyanyi Luar Negeri : Christian Bautista, Anggun C. Sasmi

Film Indonesia : Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, 3 hati 2 dunia 1 cinta

Film Luar Negeri : Harry Potter, The Matrix

Mobil : Jazz, X-over, Yaris (yang pasti warna putih dong)

Warna : Pink, Biru langit, Hitam, Putih

Handphone : Nokia

Laptop : Acer, Toshiba

Sepatu : Wedges ukuran 38

Perhiasan : Cincin, Kalung

Buah : Semangka, Pear, Pisang, Pepaya, Alpukat

Sayuran : Wortel, Tomat, Brokoli

Protein : Tempe, Tahu

Daging : Ayam, Ikan Teri (gak suka ikan! )

Muka : paling suka sama mata, bulu mata, alis

Tangan : paling suka sama jari-jari tangan yang kadang lentik dan ngondek wuahahaha

Gak suka PESELINGKUH

Suka banget KEJUJURAN

Susah buat YAKIN ato percaya sama orang

Motor : Honda

Mie : Rasa Ayam Bawang dan mie goreng (jangan rasa soto! )

Sifat : Keras kepala, Kadang marah-marah gak jelas, Jutek (kata orang-orang), Peduli sama temen (tapi kadang dimanfaatin sama temen)

Sikap : Tegas, Galak

Prioritas utama adalah Keluarga dan Karir (cinta?? Ntar juga ngekor kalo keluarga sama karir sukses, Amien :) )

»»  READ MORE...

Satu Jam Saja --- Lala Karmela

Jangan berakhir aku tak ingin berakhir
Satu jam saja ku ingin diam berdua
Mengenang yang pernah ada

Jangan berakhir karna esok takkan lagi
Satu jam saja hingga ku rasa bahagia
Mengakhiri segalanya

Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti
Satu jam saja itu pun tak mungkin
(tak mungkin lagi) tak mungkin lagi

Jangan berakhir ku ingin sebentar lagi
Satu jam saja izinkan aku merasa
Rasa itu pernah ada

Jangan berakhir karna esok takkan lagi
Satu jam saja hingga ku rasa bahagia
Mengakhiri segalanya

Tapi kini tak mungkin lagi
Katamu semua sudah tak berarti (tak berarti)
Satu jam saja itu pun tak mungkin (tak mungkin)
Tak mungkin lagi wooo

Jangan berakhir ku ingin sebentar lagi
Satu jam saja izinkan aku merasa
Rasa itu pernah ada
(izinkan aku merasa) rasa itu pernah ada

»»  READ MORE...

Kembali --- Afgan

Tak ku sangka kau di sana entah dengan siapa
Sebulan sudah aku mencarimu
Kasih sungguh aku tak tahu
Dimana dimana oh kasihku

Bila ada tutur kata yang tak kau terima
Tapi mengapa kau harus begitu
Teganya engkau pergi dariku
Kembali kembali oh kasihku

Ketika bersama merajut cinta
Tertawa bahagia kita berdua
Ku ingin kembali bertegur sapa
Kasih jangan biarkan

Kini hatiku hampa
Sunyi sepi tanpa cinta

Bila ada tutur kata yang tak kau terima
Tapi mengapa kau harus begitu
Teganya engkau pergi dariku
Kembali kembali oh kasihku

Ketika bersama merajut cinta
Tertawa bahagia kita berdua
Ku ingin kembali bertegur sapa
Kasih jangan biarkan

Kini hatiku hampa
Sunyi sepi tanpa cinta
Kini hatiku hampa
Sunyi sepi tanpa cinta

»»  READ MORE...

Maafkan Aku


Ibu terimakasih telah melahirkan aku ke dunia ini

Mulai dari segenggam darah dalam janin Mu

Nafas yang Engkau berikan kini mengalir dalam jiwaku

Ayah terimakasih atas seluruh cucuran keringat Mu

Untuk memberikanku dan Ibu sesuap nasi

Teringat semua jerih payah Mu untuk kehidupanku dan Ibu

Tapi...

Maaf jika kehadiranku ini tak seperti apa yang Kalian harapkan

Ini adalah takdir untuk menguji kesabaran Ibu dan Ayah

Melalui aku yang dikirim oleh-Nya

Tak pernah ku mau seperti ini, dan tidak akan pernah ada yang mau

Apa dayaku menginginkan yang lebih

Dapat hidup diantara Kalian penuh cinta kasih

Mungkin Kalian akan malu dengan keadaan ku

Atau bahkan membuangku ke tempat yang hina

Tapi.... Ku mohon kepada Ibu dan Ayah

Ijinkan aku untuk hidup satu hari saja diantara Kalian



»»  READ MORE...

Rabu, 23 Mei 2012

Selamat Jalan Abi

Ruang tunggu klinik itu masih penuh pengunjung. Aku duduk di salah satu sudut bersebelahan dengan seorang wanita seusiaku. Rasa letih yang amat sangat dan linunya persendian ditingkah pula oleh pening di kepala yang semakin terasa berat. Wangi parfum dari wanita muda di sebelahku menghentak-hentak rasa mual dalam perut ini.... Syukurlah namaku segera dipanggil oleh seorang perawat yang manis. Segera aku masuk ke ruang kerja dokter. Seraut wajah tegar menyambutku dengan senyum tipis. Aku pun duduk di kursi seberang meja berhadapan dengannya.

" Nyonya A ?" tanyanya. Aku mengiyakan. " Saya sudah lihat hasil laboratoriumnya , nyonya positif." Lanjutnya pula." Bagaimana dok ?" tanyaku berharap ketegasan. " Anda hamil." Disebutkannya usia kandunganku yang rupanya sedang dalam masa emesis.Oh alangkah sulitnya kuungkapkan perasaan hatiku ketika itu. Bertahun-tahun aku menantikannya.

Tuhanku, hanya sebaris kalimat syukur meluncur dari bibirku yang bergetar menahan haru. Dengan cermatnya sang dokter memeriksaku. Sedemikian telitinya hingga aku merasa begitu lama waktu merayap. Akhirnya dokter yang cekatan itu mengatakan bahwa keadaanku normal-normal saja. Begitu pula janin yang kukandung. Diberinya aku resep vitamin dan pelancar metabolisme. Aku pulang dengan rasa bahagia yang tak terkata. Hilang rasa letihku. Hilang segala rasa sakit dalam tubuhku terhapus oleh rasa bahagia menyadari hadirnya buah hati dalam rahimku.

Setiba di rumah, kutumpahkan rasa bahagiaku dalam sujud syukur di hadapan Yang Maha Tinggi.Sungguh karunia-Nya tak pernah putus-putusnya menyirami hidupku.Ilahi, kalau bukan karena Engkau tak mungkin kukenal shalat, tak mungkin kukenal hidayah dan ni’matnya beribadah kepada Engkau. Segala puji hanyalah bagi-Mu.Suamiku,Kunantikan engkau pulang dengan hati girang. Ingin kukabarkan segera berita gembira ini. Kutahu telah sekian lama kau nantikan berita ini terucap dari bibirku. Aku pun hampir tak sabar menanti.Namun hingga senja hari lewat kau belum juga kembali.

Hidangan yang telah kusiapkan mulai menjadi dingin. Kuhibur hatiku barangkali engkau sedang menghadapi banyak pekerjaan. Kusibukkan pikiranku dengan tadarus Qur’an dan wirid ma’thurat. Semoga engkau tetap dalam lindungan Allah.Menjelang Isha barulah engkau pulang. Dalam kepenatan kutangkap kilatan cahaya dari sepasang matamu yang teduh. Bersinar kemilau namun sulit untuk kutafsirkan. Lalu dengan lembut engkau minta maaf karena terlambat pulang. Ada urusan penting rupanya hingga engkau tertahan sekian lama. Buatku sendiri, melihat dirimu saja sudah cukup menenteramkan perasaanku, menghapus penantian yang terasa amat panjang. Hanya saja melihat engkau letih begitu, kuurungkan niatku untuk menyampaikan berita itu. Biarlah kutunggu hingga hilang penatmu, kunanti hingga engkau segar kembali …

Usai shalat ‘isha berjamaah, engkau mengajakku berbicara. Ketika itu fahamlah aku kilat bahagia apa yang bersinar di matamu saat kau pulang tadi. Ini adalah momen yang sangat penting dalam hidupku. Dapat kurasakan kebahagiaanmu dan akupun bahagia pula karenanya. Namun, tiba-tiba serasa ada yang menghentak dalam dadaku. Sesungguhnya apa yang kau katakan adalah ikrar dan cita-cita kita sejak lama. Tetapi saat ini aku merasakannya sebagai sesuatu yang teramat berat. Aku memerlukan segunung ketabahan dan kekuatan iman !Perasaan manusiawiku kepadamu sungguh tak dapat kugambarkan bagaimana. Meski begitu aku menyadari kecintaan kepada Allah harus kutempatkan di atas segalanya. Apa yang ada padaku saat ini bukanlah milikku.

Karunia Allah sajalah yang membuatkku dapat merasakan ni’matnya iman dan islam di sisimu. Dan kini, mestikah kutahan-tahan apa yang bukan milikku ketika Sang Pemilik memintanya ?Tetapi, haruskan kulepaskan kebahagiaan yang baru saja kurasakan ? Haruskah ???Suara gemuruh bertalu-talu seperti hendak memecahkan dadaku. Bertarung antara suara hati nuraniku melawan emosi dan nafsu. Antara keikhlasan dalam cinta kepada-Nya dan cinta manusiawiku kepada suami dan anakku yang belum lagi terlahir.Ilahi, mestikah aku kehilangan saat-saat bahagia yang tengah kugenggam dengan merelakan suamiku pergi yang entah kapan akan kembali atau bahkan tidak akan pernah kembali lagi ...?Dan anakku, ia akan menjadi yatim sebelum sempat memandang wajah ayahnya.Lalu, bagaimanakah akan kuhadapi hidup ini tanpa dirinya lagi, tanpa bimbingan dan perlindungannya ?Sanggupkah aku ???Di puncak pergulatan batin, saat itulah gelegar dahsyat menghentikan bisikan iblis dalam batinku bagai suara guntur mengatasi gemuruh hujan.

" Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya……"" Katakanlah : jika bapak-bapakmu, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq…

"Bagai canon menghancurkan dinding konstantinopel, rontoklah bayang-bayang ego-ku. Batu karang di lautan jiwa ini luruh berkeping-keping. Aku tersadar dalam pemahaman yang segar tentang hakikat cinta.Ya Allah, wahai Kekasih, asal Engkau tidak tinggalkan aku dalam lautan cinta ini, asal Engkau tidak murka padaku, aku tidak peduli !Hanya keselamatan dari-Mu lebih melapangkan hati hamba-Mu ini. Aku berlindung dengan nur wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan menjamin kebaikan di dunia dan akhirat dari amarah-Mu yang akan menimpa diriku dan murka-Mu yang akan membinasakanku.

Kumohon ridha-Mu sampai kuperolehnya.Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu juga …….Ada rasa lapang di dada. Kubiarkan hawa kepasrahan mengisi paru-paru. Duka kali ini terasa begitu manis. Ada rasa sesak yang terangkat ketika malaikat membukakan pintu langit. Saat kau bertanya bagaimana pendapatku; dengan mantap kukatakan padamu :" Bukankah sejak kita menikah telah kita ikrarkan bahwa perkawinan ini adalah bagian dari perjuangan ? Telah kita tetapkan syahid di atas keingininan yang lainnya, ingatkah kau ?Kini, apakah aku akan menghalangimu untuk menggapai cita-cita kita itu ?

Tidak, bang Jundi. Karunia Allah yang diberikan kepada kita dalam Iman dan Islam jauh lebih besar ketimbang pengorbanan yang harus kita lakukan saat ini. Benar, kasihku padamu tak terhingga besarnya. Namun itu semua karena cinta kepada Allah jua. Berangkatlah, bang. Insha Allah saya akan tabah. Hanya saja tolong doakan agar saya teguh hati meniti perjalanan hidup ini hingga Allah mempertemukan kita kembali di akhirat kelak….

"Usai berkata begitu kumintakan maafmu kalau-kalau selama kita bersama terdapat sikapku yang kurang kau sukai. Engkau hadiahi aku dengan senyum penuh makna. Takjub aku akan akhlakmu. Engkau begitu memuliakanku selama ini padahal aku bukanlah orang yang pantas menerima kehormatan seperti itu. Pedih hati ini mengingat cacat-celaku, namun terobat perasaanku ketika engkau katakan bahwa engkau sangat berharap doa dariku.Malam merayap perlahan. Rembulan tersenyum lembut ketika kusibak tirai jendela kamar. Aku masih terjaga ketika engkau telah terlelap dalam letihmu setelah seharian bekerja.

Dalam hening kutatap wajahmu, kukirim sebait doa yang tumpas di kesunyian.Suamiku, sungguh kasih sayang Allah yang tak terhingga ketika mempertemukanmu kepadaku sebagai suami yang begitu bersih buatku. Ketika itu aku tengah tersaruk-saruk meninggalkan masa-masa kebodohan. Tanganku menggapai-gapai mencari pokok tempat bergantung. Ketika itulah atas takdir Allah tangan kokohmu menyambutku, membimbingku dari alam ketidakpastian ke dalam cahaya Islam yang cemerlang. Kaubawa aku dalam hidup penuh makna di bawah bimbingan rabbanimu. Kauluruskan cara berfikir, berasa dan bertindakku selaras dien yang hanif ini.Lalu kau arahkan aku agar dapat berjalan sendiri.Hidup bersamamu bukannya dalam taburan madu. Aku sering kau tinggalkan ketika tugas mewajibkanmu untuk pergi. Namun itulah cara terbaik bagiku. Dengan begitu sandaranku kepada Allah menjadi lebih kokoh. Dan kini kau akan meninggalkanku untuk cita-cita tertinggimu. Firasatku mengatakan kau tak akan kembali .

Sesaat aku teringat anak kita. Ah anak kita. Aku belum sempat lagi mengabarkannya kepadamu. Semoga ia mewarisi sifat baikmu. Apakah yang harus kuperbuat kini ?Dalam doa yang kudus kumohon pertolongan dari-Nya. Kuhapus air mata yang menetes agar tak sempat terlihat olehmu.

Namun, ikatan batin kita demikian kuatnya, melampaui dimensi ruang dan waktu, mengatasi mimpi indah yang mengabarkan suara hati dari lubuk jantung yang paling dalam.Tiba-tiba saja engkau terjaga dari lelapmu. " Adakah yang ingin dinda katakan ?" suaramu lirih seperti desir angin menyibak padang ilalang.Mestikah kukatakan kepadamu tentang si kecil yang denyut kehidupannya mulai berlagu dalam rahimku ?Wahai suamiku, bukan aku ragu akan keteguhanmu bila mendengar kabar ini sebab aku percaya engkau seorang yang istiqamah. Hanya saja aku ingin menutup serapat mungkin pintu fitnah yang dapat kutimbulkan terhadapmu dariku dan anak kita.

Tetapi dapatkah kusembunyikan hal ini darimu ? Apakah keterjagaanmu merupakan isyarat dari Allah? Dan bukankah inipun merupakan satu bentuk ujian dari-Nya ?Kudekati dirimu. " Bang Jundi." Panggilku. " Janganlah apa yang akan saya sampaikan ini menjadikan penghalang dari langkah yang telah abang putuskan."Engkau tersenyum tanpa mengurangi perhatianmu akan kata-kataku." Insha Allah sepeninggal abang nanti saya tidak akan merasa sendirian….sebab senantiasa ada Allah dan.ada jundi kecil yang akan saya jaga sebaik-baiknya " kataku. Hening sesaat. Sejenak kulihat kau tertegun. Aku mengerti perasaanmu. Bukankah sudah lama kau nantikan hadirnya buah cinta kita ?" Abang," sambungku ," bukannya saya sangsi akan keteguhan hati abang, tapi karena saya tidak ingin isteri dan anakmu ini menjadi fitnah bagi tekad suci kita. Abang tak boleh surut melangkah. Jangan abang risau karena masih ada saya yang akan membesarkan anak kita …dan ada Allah yang akan melindungi kami selalu" Aku berusaha untuk tetap tegar.

Kusingkirkan jauh-jauh perasaan iba-kewanitaanku yang kutahu menjadi titik lemahku.Kau rengkuh aku penuh kasih sayang. " Dinda," ujarmu, " engkau adalah sebaik-baik ni’mat yang Allah anugerahkan pada ku "Ah suaramu itu begitu sejuk seperti percik air surga. Ada rasa damai di hati.Ada rasa hangat menyelinap di relung-relung jiwa . Tengah malam belum lagi lewat ketika kita berdua sama-sama bersujud menghadapkan wajah dan hati kita kepada Allah. Semburat nur Ilahi serasa meliputi kita berdua.Suamiku, tidak lama setelah itu engkau benar-benar berangkat menuju bumi jihad.Ambon manise hingga kini masih menangis. Bumi Aceh sudah lama merintih. Belum lagi lagu lama di Palestina, Bosnia, Kosovo, Moro, Azerbaijan, Chechnya dan belahan bumi lainnya yang menjerit ditikam pisau kezaliman.Berangkatlah, kekasih. Jangan biarkan serdadu thaghut itu merobek jantung orang-orang yang lemah dan anak-anak yang tak berdosa. Bila teringat anak kita, ingat-ingatlah bahwa di sana lebih banyak lagi anak-anak yang terpaksa lahir sebelum waktunya. Dahsyatnya perang membuat mereka harus cepat dilahirkan.

Sementara itu usia anak kita makin bertambah jua. Gelinjang halus bagai semangat yang menyelinap ke seluruh sel tubuhku.Mulai terasa ia bergerak dan menendang-nendang dengan gagahnya seperti kau… yang dengan gagahnya menyerbu musuh di medan-medan pertempuran.Allahu Akbar !Suamiku, rinduku padamu bukanlah keinginan untuk bermesra dan memadu kasih, tapi …aku rindukan suasana beribadah bersamamu. Ingin shalat di belakangmu, ingin mencium tanganmu , meminta maaf dan berdiskusi denganmu sebab setiap kata yang terucap dari bibirmu adalah tarbiyah bagiku dan memberiku kekuatan ketika aku kau tinggalkan.

Bila rindu datang mengganggu, kubuka kembali buku-bukumu. Terhibur hati ini. Kurasakan seolah-olah kau hadir di sisiku. Namun terkadang bisikan yang tak kuingini datang juga. Betapa pintarnya syetan mencari jalan untuk melemahkanku. Teringat aku akan kata-katamu bahwa cinta Allah mengatasi segalanya. Akupun bermunajat kepada Allah agar diberi kekuatan dan ketabahan dan semoga Ia mengampuniku.Bang Jundi, tujuh bulan usia anak kita dalam rahimku ketika suatu malam aku bermimpi berjumpa denganmu. Kau nampak sangat elok dan bercahaya. Kulihat rembulan di atasmu, kupandang bergantian antara kau dan rembulan namun kau nampak lebih indah…… bahkan bintang-bintang pun tak dapat menandingi parasmu.

Aku terjaga. Hilang segala sedih dari hatiku. Sejuk perasaanku. Aku pun bersujud memohon barakah Allah atasmu.Esok harinya seisi rumah kita nampak bercahaya kemilau. Benderang luar biasa. Semerbak wangi membuatku terheran-heran. Wanginya…sulit untuk kukatakan. Belum pernah kucium wangi seharum ini.Sahabat-sahabatku di jalan Allah yang berta’lim di rumah kita ribut saling bertanya satu sama lain. Tiada seorangpun di antara kami yang memakai parfum !Baru kudapat jawabnya ketika Ayah dan seorang sahabatmu berta’ziah ke rumah. Ya, engkau sudah berada di tempat yang jauh …….Tidak, kekasih. Tidak patah semangatku dengan kepergianmu. Aku tahu engkau telah menepati janji.Engkau tidak mati! Engkau tetap hidup!!!!!


" Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang-orang yang gugur di jalan Allah,mati ; bahkan mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya …."" Di antara orang-orang mu’min itu ada para rijal yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur ada pula yang menanti-nanti (giliran) dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya." Selamat jalan, bang Jundi. Nantikan aku di sana. Kepergianmu adalah satu kepastian. Kini, ujian dan derita yang mesti kuhadapi tidak lagi kurasakan sebagai luka namun bagai angin sejuk yang menyegarkan semangat juangku. Hari-hari berlalu dalam deru semangat yang tak pernah pupus. Saat kelahiran anak kita kian dekat. Nyeri yang hebat mulai melilit-lilit dalam perutku. Aku tak bisa lagi berjalan. Hari itu kubaca surah Yusuf, surah Maryam, surah Luqman dan surah Muhammad berulang-ulang. Kuhadiahkan buat anak kita yang bakal lahir. Tak jadi soal laki-laki atau perempuan. Yang terpenting ia berakhlak mulia dan menjadi anak yang shalih yang bakal menyambung tugas para nabi, menyebarkan syi’ar Islam di muka bumi ini.

Ya Allah, tabahkan hatiku. Semoga dosaku akan turut terhapus dengan lahirnya anak dalam kandunganku ini ,Ketika saatnya tiba, sahabat-sahabat kita yang tulus membawaku ke rumah sakit. Jerit si buyung yang lahir memecah jagat raya….pekik tangisnya menghapus segala rasa sakitku. AlhamduliLlah dia selamat. Dia tampan dan gagah sepertimu, dia rijal sepertimu.Saat kutatap anak kita, hatiku tiba-tiba rawan. Sanggupkah aku menjadi ibu yang baik ???Akupun berbisik padanya ," Wahai ananda, janganlah kau ikuti sifat ibumu yang buruk. Milikilah sifat yang terpuji. Engkau adalah harta yang paling berharga.

" Kucium ia penuh kasih disaat tangis pertamanya memecah bumi.Kunamai anak kita dengan nama yang pernah kau sebut dulu. Semoga Allah mengabulkan doa dalam nama yang indah itu. Suamiku,Satu langkah telah kutempuh. Beribu-ribu langkah lagi membentang di hadapanku. Badai gelombang yang garang harus kuhadapi. o¬nak dan duri yang terserak sepanjang perjalanan harus kulewati. Angin puting beliung pun harus kulampaui. Berat memang. Apalagi kuharus melangkah tanpamu. Namun kuyakin Allah senantiasa melindungiku.

Aku tahu cinta dan nafas perjuanganmu senantiasa mengisi hatiku. Ada rasa bangga mengenang dirimu.Dengan ‘izzah inilah kan kubesarkan buah hati kita.Kekasihku, Satu lagi janji harus kupenuhi. Aku ingin menghantarkan anak kita agar dapat menyusulmu. Kuingin ia pun sampai ke gerbang kecintaan-Nya. Aku akan tetap melangkah. Selangkah demi selangkah aku menapak. Satu langkah lagi. Ya satu langkah lagi!


Sumber : www.halalkanakuayah.facebook.com
»»  READ MORE...

With My Friends






























»»  READ MORE...

Temani Aku --- SHE

kucoba tutup hariku
lewati hari bersamamu
lupakan kenangan yang lalu
saat kau masih disisiku

dan kini kau kembali
inginkan ku jadi milikmu
mengulang kisah yang tlah lalu
namun untuk selamanya


(dengarlah kini ku katakan)
temani aku disini
jangan pernah pergi lagi
kuingin kau ada di sisiku kini dan selamanya
yakinkan hatimu sayang
jika aku yang kau pilih
pastikan diriku yang terakhir di dalam hatimu


»»  READ MORE...

Makasih ^_^

  1. Dia adalah sosok kakak yang aku mau
  2. Dia adalah sosok kakak yang selalu ada untukku
  3. Dia adalah sosok kakak yang perhatian dengan adiknya
  4. Dia adalah sosok kakak yang siap kapan saja membantuku
  5. Dia adalah sosok kakak yang rela mengorbankan waktunya untukku
  6. Dia adalah sosok kakak yang dapat membuatku tersenyum disaat ku terjatuh karena Dia
  7. Dia adalah sosok kakak yang sempat menjauhiku agar aku dapat dekat dengan Dia
  8. Dia adalah sosok kakak yang pertama aku kenal dikelas (dengan gayanya yang nyentrik hihihi)
  9. Dia adalah sosok kakak yang selalu mengkhawatirkan keadaan ku
  10. Dia adalah sosok kakak yang tak pernah lelah membantuku
  11. Dia adalah sosok kakak yang selalu mau direpotkan oleh ku
  12. Dia adalah sosok kakak yang selalu menyemangatiku
  13. Dia adalah sosok kakak yang akan marah kalau aku melakukan hal-hal yang menurutnya tidak baik
  14. Dia adalah sosok kakak yang memberiku kejutan saat hari ulang tahun ku
  15. Dia adalah sosok kakak yang rela difitnah demi membantuku
  16. Dia adalah sosok kakak yang mau kapan saja meminjamkan pundaknya saat ku menangis
  17. Dia adalah sosok kakak yang selalu mendengarkan semua keluhan ku
  18. Dia adalah sosok kakak yang mau menjadikan dirinya sebagai tempatku bersandar
  19. Dia adalah sosok kakak yang selalu mencoba membuatku tertawa
  20. Dia adalah sosok kakak dengan kesederhanaannya
  21. Dia adalah sosok kakak yang terkadang marah-marah tidak jelas denganku
  22. Dia adalah sosok kakak yang siaga saat ku terkena musibah
  23. Dia adalah sosok kakak yang selalu berusaha menjagaku
  24. Dia adalah sosok kakak yang tak pernah malu ketika berjalan atau berbicara denganku
  25. Dia adalah sosok kakak yang selalu bertanya "sehatkan???" kepadaku
Yaaa itu mungkin beberapa sosok yang aku inget dari kamu ka. Satu hal yang harus kamu tau, posisi kamu sebagai kakak aku itu lebih penting dibandingkan posisi teman, sahabat, ataupun pacar sekaligus. Karena kakak-lah yang selama ini selalu ada buat aku, yaa emang sih aku sempet berharap Dia bisa kaya kakak, tapi aku sadar kalau ternyata emang kakak-lah kakak aku.
hhhhmmm meskipun sekarang kakak masih seneng lajang, berarti aku masih boleh yaa repotin kakak?? Hihihi. Tapi tenang aja, aku ngerepotin kakak cuma selama kakak belom punya pacar aja ko (gak tau yaa kalo ntar kakak udah punya pacar, aku masih ngerepotin atau gak hihihi). Yaaa mungkin pasti masih ngerepotin sih, tapi yooo aku tau lah ka batesan aku sebagai ade mu tuh kaya gimana. Makanya cepet-cepet punya pacar deeh biar gak direpotin aku terus hahaha, tapi pacarnya kalo bisa yang sayang sama aku juga yoo (kan enak tuuh jadi punya 2 kakak yang siap buat jagain aku wuahahaha).
Aku inget pas kakak jemput aku di Terminal, kakak itu baru bangun tidur, eeehh nyempetin buat jemput aku. Nganterin tugas presentasi ke kontrakan padahal udah malem banget terus lagi ujan dan itu tuh kakak abis latihan teater. hhhmm pas aku keilangan juga, ada yang bilang kalo kakak ini-lah terus itu-lah. Maaf yooo ka kalo selama ini aku selalu ngerepotin terus-terusan. Oya aku juga inget kalo kakak mau jagain aku, terus jagain aku yaa ka, mau aku udah punya seseorang yang bisa jagain aku pun, aku tetep maunya kakak yang jagain aku.
Aku juga bakalan lebih mandiri lagi dari sekarang dan harus bisa nyelesein masalahku sendiri. Bener katamu "kalo belum bener-bener siap, jangan coba-coba!!" (kaya iklan opo yooo??? Yang buat anak ko coba-coba hahaha).
Dan yang pasti aku gak mudah nangis cuma karna perasaan ku ke seseorang. Mungkin kakak yang selalu liat aku nangis ketimbang ketawa, biarin ka orang-orang liat aku ceria, asal jangan liat aku yang lagi menyedihkan. Sosok kakak yang terbaik buat aku cuma kamu ka.... senyum
Makasih buat semua yang udah kakak kasih ke aku (hhhmm boneka dan tirai Tazmania nya juga yaa sengihnampakgigi )
»»  READ MORE...

Sabtu, 19 Mei 2012

Mr. D

Hari ini awal pertemuan aku sama Mr. D. Kesan pertama aku ketemu Dia yaa baik, sopan, ramah, tapi Dia terlalu jaim (gara-gara pertama ketemu kali yaa?? Hahaha).

Kita makan, jalan di sekitar tempat itu aja. Dan yang pasti gak cuma berdua aja makannya, kita di temenin sahabat yang sekaligus orang yang ngenalin aku sama Dia.

Tapi ada perasaan bersalah pas aku ketemu Dia, kenapa yaa??

Yang pasti aku gak dijemput dan dianter sama Dia pulang, aku tetep dianter dan dijemput sama adikku.

Aku tetep jaga perasaan ini entah buat siapa yang aku pilih

»»  READ MORE...

Kamis, 17 Mei 2012

Quotes

Membuka hati untuk seseorang itu tidak mudah, dibutuhkan kepercayaan dan keyakinan diri yang tinggi. Dan tidak diperbolehkan menengok lagi ke belakang karna akan menggagalkan keyakinan diri tersebut. Cukup sudah meninggalkan kesan yang sedih atau bahagia, karna semuanya hanya akan terwujud di masa datang, bukan di masa lalu. Anggap saja semua cerita masa lalu adalah sebuah kenangan indah, maka kita tidak akan merasa kecewa ataupun gembira dengan masa-masa lalu itu. Dan akan merasa lebih tenang saat menapaki masa atau cerita yang akan datang bersama seseorang yang baru, atau dengan orang yang lama tapi dalam cerita yang berbeda.

Melupakan seseorang dengan alasan karna Dia telah menyakiti perasaan kita itu bukanlah tindakan yang benar atau salah. Sejujurnya sekuat apapun kita untuk melupakannya, itu adalah hal yang mustahil dilakukan, kecuali jika kita amnesia. Tapi ada cara yang lebih baik dibandingkan apabila kita harus melupakannya, yaitu kita harus berani menunjukkan perasaan tidak mudah menyerah yang dalam artian tanpa tangis atau merasa tegar dihadapannya. Karna jika kita terlihat lemah, maka Dia akan merasa puas telah menyakiti hati kita. Meskipun hati kita sebenarnya menangis, tapi cobalah untuk tetap tegar didepannya.

Benci dan Cinta itu bedanya tipis, seperti perbedaan antara sahabat dan musuh. Yang tadinya kita saling benci, tetapi jika orang yang kita benci itu adalah jodoh yang Allah swt tulis di Lauhful Mahfudz, maka dengan kata lain perasaan benci itu akan berubah menjadi cinta. Sebaliknya jika orang yang dekat dengan kita dan akan merencanakan hubungan ke tahap yang lebih serius, tapi Allah tidak menakdirkan kita dengannya, maka hubungan percintaan tersebut akan berubah jadi perasaan saling benci. Begitupun dengan persahabatan dan permusuhan, sangatlah tipis bedanya. Jadi jangan pernah kita merasa paling "wah" padahal kita ini kecil dihadapan sang Khalik.

Tak ada siapapun yang tahu siapa jodoh kita, jika kita pertanyakan itu kepada siapapun, maka sama saja seperti kita menanyakan kapan kematian merenggut orang yang tanya. Iya... Jodoh dan kematian adalah sama-sama takdir Allah swt yang tidak dapat kita gadaikan oleh apapun dan siapapun, kita harus dapat menerima apa yang telah Allah swt takdirkan kepada kita dengan rasa yang Ikhlas dan penuh rasa sabar agar dapat kita pertanggungjawabkan di Akhirat kelak.

»»  READ MORE...

Sabtu, 12 Mei 2012

Miss You

butiran air mata ini hanya untuk mu Ma
tubuh ini ku jadikan kobaran semangat untuk mu Pak
dan sikap ini ku jadikan ketegasan untuk mu De
 

Jauh disini ku menahan rindu
Hingga tak terasa tetesan air mata pun mengalir di pipiku
Ingin rasanya ku peluk dan cium kalian
Tapi jarak harus memisahkan kita
 

Andai kalian tahu
Rinduku ingin bertemu
Hanya bayanganlah yang slalu datang
Mencoba kurangi rasa rindu dalam dada

Apa kalian juga merasakannya ??
 
Slalu saja ku teringat akan kalian yang jauh disana
Kebersamaanlah yang tak dapat ku lupakan
Dan sampai kapan pun ku kan tetap sayang
Meski foto dan bayangan yang jadi obat rinduku
 
»»  READ MORE...

My Story

Ini kisah hidupku yang berawal dari aku dilahirkan tanggal 4 Mei dari pasangan suami istri yang mungkin hidup berkecukupan. Aku anak sekaligus cucu pertama dari kedua keluarga orang tua ku, mungkin aku patut bangga karna aku terlahir pertama, tapi bukan kebanggaan yang aku dapat, melainkan beban karna aku menjadi panutan untuk saudara-saudara ku yang lain. Meskipun begitu aku senang, karna aku dimanja dan disayang oleh kedua keluarga besar ini. Karna aku terlahir pertama, maka aku tidak boleh membuat mereka kecewa sama kelakuan ku yang mayoritasnya keras kepala dan terkadang tempramen, tapi cukup ngadepin semua masalah pelik disekitar keluarga ku.
Nggak banyak orang yang tahu sama masalah ku, mereka cuma sahabat terdekat ku aja. Karna aku emang gak bisa terbuka sama apa yang lagi aku rasain. Aku juga bukan tipe orang yang mau ngumbar setiap masalahnya ke publik, aku ngerasa ngumbar aib ku kalo aku harus cerita ke banyak orang. Kadang aku lebih suka cerita di buku ato tulisan.
Masalah ... Apa sih yang kita tahu tentang masalah ??
Yaa semua orang pasti tahu itu, karna manusia gak bakalan jauh dari masalah. Bahkan orang itu gak pernah bisa sabar kalo dia gak diberi ujian berupa masalah. Karna masalah lah yang membuat seseorang itu tahu jati dirinya dan cara menyelesaikan masalahnya sendiri tuuh seperti apa.
Dan aku pun juga pernah mempunyai masalah, gak cuma sekali dua kali ato satu dua masalah yang aku harus selesain, tapi banyak dan itu ngeharusin aku buat tetep sabar dan tegar, yaa walaupun harus sampe nangis juga.
Mulai dari aku di fitnah , kerenggangan antara aku dan orang tua , kerenggangan hubungan orang tua sama keluarga mereka , masalah aku di sekolah yang pernah bolos gara-gara pusing mikirin masalah orang tua yang sering berantem , nilai aku yang sempet jatuh gara-gara mikirin orang tua yang mutusin buat cerai pas aku mau UN , penghasilan orang tua yang kadang gak menentu dan menjadi perdebatan dirumah , ekonomi yang sempet gak karuan dan akhirnya pernah merasakan ada dibawah kaya roda yang kadang dibawah kadang diatas , sakit yang aku rasain dan diharuskan untuk check-up terus yang butuhin biaya gak sedikit. Itu baru sebagian besar masalah yang aku hadapi dan aku rasa belum semuanya aku selesain. Aku butuh proses buat selesain semua masalah itu, karna fisik dan psikis seseorang gak mudah buat dipaksa. Tapi aku bersyukur karna Allah swt kasih aku semua masalah-masalah ini, itu tandanya Beliau sayang sama aku dan yakin kalo aku bisa nyelesein masalah yang Beliau beri.
Dibilang pengen menyerah ada , dibilang capek ada , dibilang pengen nangis sih udah pasti ada , dibilang gak sanggup buat sabar juga ada. Tapi mau gimana lagi, ini ujian yang harus aku lakuin. Kalo aku berhasil berarti aku termasuk orang yang sabar dan tegar. Tapi ada saatnya aku capek dan ngerasa pengen menyerah sama takdir. Karna sampe kapanpun aku ngerasa gak bisa selesein semua masalah ini. Yaa dan aku juga cenderung tertutup sama orang tua ku.
Anak mana yang tega ngeliat orang tuanya berantem selisih pendapat sampe keluar kata "CERAI" ??  Jawabannya udah pasti gak tega dan gak mau ngeliatnya, tapi kalo aku diharuskan ngeliat kenyataannya kaya gini. Sempet mikir buat ngehapus kata cerai dan perpisahan dari pikiran manusia. Karna percuma aja hidup kalo isinya nangis dan nangis.

»»  READ MORE...

Senin, 07 Mei 2012

My Birth ** 04 Mei 2012 **

Teng jam 00.00 aku deg-deg an, tapi sebelum tanggalnya emang udah ada yang ngucapin sih (Mr. D) hahaha. Dan Dia ngucapin beberapa menit di pas hari H nya hihihi senengnya (tapi dia ngucapin di jejaring sosial, bukan ke aku aku langsung, yaa seenggaknya sih sms atau telepon ke no ku), tapi no problem yang penting dia "inget" yaa seenggaknya dia tau lah aku ulang taun.
hhhhmmm sehari sebelumnya aku nginep dirumah Upil (sahabatku, sekaligus kaka ku hahaha) dan aku dapet cipika-cipiki dari mamahnya (wuiiiiihh seneng banget lho, yaa emang bukan mamahku tapi bisa terobatilah hihihi). Dihari itu aku pake baju pink lengkap sama kerudung dan aksesoris yang serba pink juga tentunya (bukan banci pink ko hahaha).
Karna pas dihari jum'at dan jadwal padet banget sampe pulangnya pun sore, alhasil aku dikerjain abis-abisan sama temen-temen ku (apalagi si Dani, pacarnya Upil tuuh). Bayangin aja aku dikunciin di kelas kosong sendirian selama hampir 2 jam an (huuuusshh haus lagi :( ). Udah aku dobrak-dobrak itu pintu tetep aja gak bisa dibuka, yaa iyalah wong diganjel dari luar sama temen-temen (tapi sayang, dia gak masuk pas matkul 1-2). eeehhh pas dikunciin, tau-tau ada yang masuk dan tebak siapa ?? Yaa dia juga dimasukin ke kelas bareng aku (so sweeet deh hahaha, tapi tetep aja mau dikunciin berdua terus sepi juga gak bakalan terjadi apa-apa. Emangnya sinetron gitu hahaha). 


Yaaa ampuuun seharian dikerjain. Mulai dari dikunciin di kelas kosong, bulu mataku di acak-acak, dicipratin air sedikit, digelitikin (lengkap deh hari itu). Oya aku makan siang pertama kalinya di Kantin Bude deket kampus bareng temen-temen (ada Mr. yang dulu sempet aku suka juga lho hehehe).
Sorenya abis pulang kuliah, aku makan kue pancong bareng temen-temen (wuuuiiiissshhh maknyuuus deh pokonya hahaha) ditambah soda susu yang hhhmmm bikin tenggorokan sendawa terus wkwkwk. Yaaa pulang makan sekitar jam 7 an malem lah, walaupun tempat dan makanannya sederhana tapi itu bener-bener seruuu abis hihihi (sayangnya, dia gak ikut. Aku berharap hari itu jadi hari spesial aku dan dapet kejutan dari Dia, tapi yaa itu cuma harapan kosong aja ternyata. Dia tau ulang taun aku aja udah bersyukur banget, eeehhhhh aku malah minta lebih dari Dia. Jangan mimpi deeh Ndry !!). 
Masih berlanjut ternyata hari penyiksaanku. Malemnya kaka ku atau abang ku disini, Dia ngasih kejutan kue buat aku (wuuuiih seneng hahaha) yang bertuliskan "happy b'day INDRI" lengkap sama lilin angka 18 nya hahaha. Selain kue, dia juga ceplokin aku pake telor sama terigu (wuiiish bauuuu banget, masih mending kalo ada airnya. Ini cuma telor sama terigu aja, kan kering banget) hhhhmmmm kebayangkan bau amisnya gimana ??. Yaapppss dia lah yang ngasih aku kejutan, ternyata bukan dari orang yang aku harapin kejutan itu ada, tapi dari orang yang gak aku sangka-sangka malah aku dapetin kejutan itu (bukannya bermaksud buat banding-bandingin kamu sama kaka ku, tapi kenyataannya emang kaya gitu. Ternyata hubungan kaka-adik lebih deket dibanding hubungan suka-sukaan, meski bukan kaka beneran tapi aku cukup nyaman dan seneng). Karna kuenya masih bersisa banyak, aku bawa kue itu ke kelas dan aku bagiin ke temen-temen, biar mereka juga tau betapa senengnya aku dan bisa berbagi kesenangan sama mereka.










Hari H atau jum'at itu bener dikasih banyak kejutan sama temen-temen. Dan dihari minggunya aku juga ngerayain ulang taun ku bareng orang tua dan sahabat-sahabat ku (sayang cuma Icha sama Dhara aja). Itu pertama kalinya aku tiup lilin kue ulang taun bareng mamah sama bapak disaksiin temen-temen ku dan kita saling nyuapin kue. hhhmm gak bisa diungkapin kata-kata deh senengnya tuuh kaya gimana. (yang penting aku berasa jadi putri di negeri dongeng hahaha). Oya mamah masakin gudeg lengkap sama tulang-tulangnya tambahannya, salah satu makanan favorit ku dirumah hihihi. 


















 

Dan tetep masih berlanjut. Hari seninnya aku masak nasi liwet dirumahnya Dhara (tetep cuma aku, Dhara, Icha yang bisa ngumpul. Tapi ada orang tuanya Dhara juga ko). Berhubung ulang taunnya Dhara deketan sama aku, jadi aku inisiatif rayain ulang taun kita barengan. Yaa tau lah nasi liwet tuuh lauknya apa aja, meski cuma sederhana tapi rasanya "waah" banget, restoran kalah deeh hahaha. Oya aku dapet kado dari Icha, sepasang piama warna biru-pink yang lucu banget hihihi.
Ini adalah perayaan ulang taun pertama aku yang bener-bener spesial yang di temenin sama orang-orang yang spesial juga tentunya. Semoga doa dari semua temen-temen, sahabat, keluarga, dan semuanya menjadi doa yang dijabah oleh Allah SWT, Allahumma Amien ^_^ dan aku tetep jadi Indry yang selalu tegas dan sabar ngadepin semua ujian dari Allah SWT dan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya, Allahumma Amien

»»  READ MORE...

Jumat, 04 Mei 2012

Fakta Tentang Kamu

  1. Dia adalah laki-laki pertama yang mengajak ku jalan-jalan
  2. Dia adalah laki-laki pertama yang foto denganku disaksikan orang-orang
  3. Dia adalah laki-laki pertama yang aku kenalkan pada kedua orang tua ku
  4. Dia adalah laki-laki pertama yang nonton di bioskop denganku
  5. Dia adalah laki-laki pertama yang fotonya aku pasang di handphoneku (foto kita berdua)
  6. Dia adalah laki-laki pertama yang memotretku diam-diam
  7. Dia adalah laki-laki pertama yang memasang foto kita berdua di handphonenya
  8. Dia adalah laki-laki pertama yang mengantar dan menjemputku ke kampus
  9. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku dapat melupakan seseorang di masa lalu
  10. Dia adalah laki-laki pertama yang pernah mengkhawatirkan keadaanku
  11. Dia adalah laki-laki pertama yang membuat aku senang dengan tingkahnya
  12. Dia adalah laki-laki pertama yang sempat membuatku benar-benar menangis karna rasa ini
  13. Dia adalah laki-laki pertama yang memanggilku dengan sebutan "manyuuun"
  14. Dia adalah laki-laki pertama yang mengatakan "spagetty nuklir" buatanku
  15. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku berharap dapat bersandar dipundaknya
  16. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku berharap dia dapat mengusap air mataku saat menangis
  17. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku berharap dia dapat menyemangatiku ketika aku benar-benar terjatuh
  18. Dia adalah laki-laki pertama yang sempat membuatku cemburu
  19. Dia adalah laki-laki pertama yang tidak bisa aku tebak jalan pikiran dan hatinya
  20. Dia adalah laki-laki pertama yang aku berikan kejutan saat hari ulang tahunnya
  21. Dia adalah laki-laki pertama yang memberikan potongan kuenya kepadaku
  22. Dia adalah laki-laki pertama yang membuatku merasa nyaman saat didekatnya
  23. Dia adalah laki-laki pertama yang pernah membuatku ragu dengan perasaan ini
  24. Dia adalah laki-laki pertama yang sempat meyakinkanku bahwa dia sudah tidak menyukai Merpati itu
  25. Dia adalah laki-laki pertama yang memujiku kalau aku pantas memakai baju batik
Semua ini adalah beberapa fakta tentang kamu yang mungkin hampir setahun ini kita saling kenal, dan ternyata ada kesenangan dan kekecewaan selama ini. Tapi aku senang bisa kenal sama kamu. Apa mungkin aku adalah perempuan pertama yang bisa lakuin hal-hal kaya gitu ke kamu?? yaapps jawabannya cuma kamu yang tau ...
Jadi perasaan apa ini sebenernya ?? Semua yang kamu lakuin ke aku serba pertama buatku. Jujur beberapa dari itu adalah mimpi-mimpi konyol ku saat SMP, dan sekarang terwujud sama kamu.
Makasih selama setahun ini kamu mau jadi seseorang yang cukup spesial buatku /(^_^)\
»»  READ MORE...

Rabu, 02 Mei 2012

Bidadari - bidadari Surga

"PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benartidak ada waktu lagi. Anak anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
Wajah keriput nan tua itu menghela nafas. Sekali. Dua kali. Lebih panjang. Lebih berat. Membaca pesan itu entah untuk berapa kali lagi. Pelan menyeka pipinya yang berlinang, juga lembut menyeka dahi putri sulungnya, wanita berwajah pucat yang terbaring  lemah di hadapannya. Mengangguk. Berbisik lembut: "Ijinkan, Mamak mengirimkannya, Lais.... Mamak mohon...."
Pagi indah datang di lembah itu. Cahaya matahari mengambang di antara kabut. Embun menggelayut di dedaunan strawberry. Buahnya yang beranjak ranum nan memerah. Hamparan perkebunan strawberry terlihat indah terbungkus selimut putih sejauh mata memandang. Satu bilur air mata akhirnya ikut menetes dari wanita berwajah redup yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Mereka berdua bersitatap satu sama lain, lamat-lamat. Lima belas detik senyap. Hanya desau angin lembah menelisik daun jendela. Ya Allah, sungguh sejak kecil ia menyimpan semuanya sendirian. Sungguh. Demi adik-adiknya. Demi kehidupan mereka yang lebih baik. Ia rela melakukannya. Tapi, sepertinya semua sudah usai. Waktunya sudah selesai. Tidak lama lagi. Sudah saatnya mereka tahu. Sudah saatnya.... Perempuan berwajah pucat di atas ranjang berusaha tersenyum, dengan sisa-sisa tenaga. Sedikit terbatuk, bercak darah merah mengalir dari sela bibir bersama dahak. Bernafas sesak. Semakin kesakitan. Namun sekarang  muka tirusnya mengembang oleh sebuah penerimaan. Ia perlahan mengangguk. Tangan tua itu demi melihat anggukan putri sulungnya, tanpa menunggu lagi gemetar menekan tombol ok. Message transmitted. Maka! Dalam hitungan seperjuta kedipan mata. Melesat Berpilin. Berputar. Seketika saat tombol ok itu ditekan, jika mata bisa melihatnya, bak komet, bagai anak panah, macam rudal berkecepatan tinggi, 203 karakter SMS itu berubah menjadi data binari 0-1-0-1! Menderu tak-tertahankan menuju tower BTS (base transmitter station) terdekat. Sepersekian detik lagi lantas dilontarkan sekuat tenaga menuju satelit Palapa C-2 ratusan kilometer di atas sana, berputar dalam sistem pembagian wilayah yang rumit, bergabung dengan jutaan pesan, suara, streaming gambar, dan data lainnya dari berbagai sudut muka bumi (yang hebatnya tak satupun tertukar-tukar), lantas sebelum mata sempat berkedip lagi, pesan tersebut sudah dilontarkan kembali ke muka bumi! Pecah menjadi empat. Bagai meteor yang terbelah, pecahan itu berpendar-pendar sejuta warna menghujam ke empat penjuru dunia.  Empat nomor telepon genggam! Tak peduli di manapun itu berada. Tak peduli sedang apapun pemiliknya. Kabar itu segera terkirimkan. Melesat mencari empat nomor telepon genggam yang dituju. Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian……… 
"HADIRIN yang kami hormati, tiba saatnya kita mengundang ke atas panggung, seseorang yang sudah kita tunggu-tunggu sejak tadi. Seseorang yang seolah-olah akan – maaf – membuat lima profesor sebelumnya terasa membosankan dan membuat mengantuk" Tertawa. Ruangan besar itu buncah oleh tawa.
".... Banyak sekali catatan hebat yang dimilikinya, tapi anehnya, meski banyak, sekarang kita sama sekali tak perlu menyebut satupun. Ah, bukan karena akan merepotkan membaca daftar super-panjang itu, tapi buat apa lagi, semua sudah hafal, bukan? Jadi buat siapapun di ruangan besar ini, siapapun di antara lima ratus peserta Simposium Fisika Intemasional ini yang tidak mengenal sosoknya. Yang, oh, betapa malangnya peserta itu—" Tertawa lagi.
"Buat peserta malang itu, saya akan memperkenalkan pembicara utama simposium kita hanya dengan memperlihatkan cover sebuah majalah: Science!" Dengan sedikit dramatis, moderator simposium fisika itu sengaja mengangkat tinggi-tinggi majatah yang dimaksud.
"Inilah jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia. Yang memiliki reputasi paling hebat di antara sejenisnya. Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa menurunkan laporan tidak lazim, utuh sebanyak 49 halaman, hmm, itu bisa dibilang hampir seperempat tebal majalah ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli fisika yang kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat sana. Judul penelitiannya adalah:  'Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah'. Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas.
"Penelitian yang amat mengesankan, mengingat hari ini, ketika kehidupan sudah begitu tidak-pedulinya dengan fakta-fakta dalam agama, pembicara utama kita siang ini justru datang dengan sepuluh bukti bahwa bulan memang pernah terbelah 1.400 tahun silam dalam hasil penelitian mutakhirnya. Bukan main. Lengkap tak terbantahkan, sebagai salah satu mukjijat Nabi penutup jaman. Benar-benar terbelah dua seperti kalian sedang membelah semangka, bukan penampakan sihir, apalagi ilusi mata seperti yang dituduhkan dan dipahami banyak orang sejak dulu. Lantas setelah dibelah, dua potongan bulan tersebut disatukan kembali, seperti bulan yang biasa kita lihat sekarang. Itu benar-benar pernah terjadi!" Moderator itu berhenti sejenak. Membiarkan ruangan besar dipenuhi sensasi yang diinginkannya. Terpesona. Ingin tahu. Rasa kagum Sejenis itulah.
"Well, meski kalau dipikir-pikir sebenarnya pembuktian hebat atas bulan yang pernah terbelah itu tidak terlalu mengejutkan kita, bukan? Hanya soal waktu dia akan membuktikannya. Mengingat profesor muda kita adalah orang pertama di negeri ini yang berkali-kali menulis di jurnal paling prestisius dunia itu. Mendapat pengakuan dari berbagai institusi penelitian dunia, dan selalu konsisten berusaha membuktikan berbagai transkripsi dan sejarah religius dari sisi ilmiahnya...."
Muka-muka yang memadati ruang konvensi besar itu terlihat semakin bercahaya oleh antusiasme. Seperti anak kecil yang dijanjikan mainan baru. Atau seperti anak kecil yang melihat penuh rasa ingin tahu toples penuh gula-gula. Menunggu tak sabaran moderator yang terus ngoceh tentang fakta yang sebenamya mereka sudah tahu semua. Termasuk jurnal itu. Tadi pagi dibagikan gratis ke seluruh peserta.
".... Namanya terdaftar dalam 100 peneliti fisika paling berbakat di dunia. Dan tidak berlebihan jika mantan koleganya di Princenton University berandai-andai dia akan menjadi salah-satu kandidat kuat penerima nobel fisika beberapa tahun ke depan. Jadi buat peserta yang tidak sempat mengenalnya secara langsung, hari ini setelah enam bulan berusaha  menculiknya dari jadwal laboratorium yang tidak masuk-akal, dari berbagai penelitian yang serius, sistematis dan kaku... hari ini dengan bangga kami hadirkan sosok yang sebaliknya memiliki wajah dan kepribadian santun menyenangkan ini...." Gadis moderator itu tersenyum lebar, terlihat amat senang membuat seluruh peserta simposium menunggu tak sabaran kalimat-kalimat perkenalannya. Menikmati posisinya sebagai 'penguasa' jadwal acara.
"Ah-ya, soal wajah dan kepribadian yang santun menyenangkan? Kalian tahu, yang menarik ternyata bukan hanya wajah profesor ini yang terlihat santun menyenangkan. Well, di tengah kesibukannya sebagai peneliti, pakar, dan apalah namanya yang serba serius dan menuntut banyak waktu itu, profesor muda kita tetap hidup dengan segala romantisme bersama keluarga kecilnya. Lihatlah, hari ini dia datang dengan istrinya yang terlihat cantik, selamat siang Nyonya!" 
Muka-muka tertoleh. Penuh rasa ingin tahu. Mereka belum pernah melihat istri sang Profesor, meski dengan begitu banyak publisitas selama ini. Tersenyum. Wanita cantik berkerudung yang duduk di sebelah sang Profesor, baris kedua dari depan itu ikut balas tersenyum, layar LCD raksasa di depan  plenary hall menayangkan paras cantiknya.Mengangguk anggun. Sedikit bersemu merah.
"Ada yang berminat mendengar kisah indah pertemuan mereka?" Moderator menyeringai lebar.
Hampir seluruh peserta simposium meski tertarik, menggdeng. Mereka jauh-jauh datang dari berbagai universitas ternama ke ruangan besar itu jelas-jelas ingin mendengarkan paparan mutakhir temuan fisika, bukan celoteh moderator.
"Baiklah karena kalian  memaksa, maka dengan senang hati saya akan menceritakan bagian tersebut..." Wajah-wajah terlipat. Gumam keberatan.
"Keluarga yang hebat meski tidak menyukai publisitas.... Masa kecil yang penuh perjuangan... kalian tahu, Profesor kita sudah membuat kincir air setinggi lima meter saat ia masih kanak-kanak.... Perkenalan di kontes fisika, terpesona oleh kecantikan remaja... Profesor kita mengejar hingga ke Bandara, haha...." Lima menit berlalu, peserta simposium mulai jengkel
".... Perkebunan strawberry yang indah.... Masa kecil yang begitu mengesankan...." Satu-dua peserta sengaja mulai berdehem (lebih keras).
".... Baik, baik." Akhirnya gadis di podium menyadari ruangan mulai gerah, tersenyum lebar tidak-sensitif, "Karena saya pikir kalian sedikit mulai tak-sabaran mendengar perkenalan yang sebenarnya amat penting dari saya, baiklah, hadirin, berikan sambutan yang paling meriah, inilah salah-satu profesor fisika termuda, ternama, yang pernah ada di negeri ini, profesor kebanggaan kita, Profesor Da-li-mun-te!"
Tepuk-tangan bak dikomando menggema bagai dengung lebah. Pemuda berumur 37 tahun itu tersenyum lebar. Melepas genggaman mesra, berbisik lembut ke istrinya. Berdiri. Lantas melangkah sigap menuju podium. Dengan langkah panjang-panjang. Rambutnya tersisir rapi mengkilat. Matanya tajam memandang, Rahangnya kokoh. Eskpresi wajahnya meski  santun menyenangkan seperti yang dibilang moderator cerewet itu, sebenamya terlihat keras mengiris, sisa gurat masa kecil yang tidak selalu beruntung.
Hari ini Profesor Dalimunte mengenakan kemeja krem. Rapi seperti biasa. Meski 'gelang karet' gaya anak muda di tangan kanan membuatnya terlihat lebih kasual, untuk tidak bilang sebenarnya sedikit tidak matching dengan busana rapinya. Gelang itu macam gelang karet yang bertulisan 'solidarity forever', 'united for all', 'long live friendship', yang sedang trend di anak muda. Itu gelang pemberian Intan, putri sulungnya yang berumur sembilan tahun. Bertuliskan, 'Safe The Planet!' Minggu-minggu ini, Intan menjadi ketua panitia 'Earth Day' di sekolah. Memaksa siapa saja mengenakan gelang itu. Satu gelang bernilai sumbangan 5.000 perak. Nanti uangnya buatbeli tong sampah yang bakal dikirim ke daerah-daerah korban bencana alam. Makanya Intan sibuk benar berpromosi. Termasuk ke Eyang Lainuri (malah seminggu lalu mengirimkan selusin gelang ke perkebunan strawberry buat tukang-tukang kebun); buat apa coba di pedalaman indah nan sederhana itu penduduknya pakai gelang? Ah, Intan memang keras kepala soal proyek "Safe The Planet" -nya, lihatlah satu gelang juga terpasang rapi di leher hamster belang miliknya, meski yang bayar lima ribu perak, ya Ummi.
Profesor Dalimunte memperbaiki speaker di atas podium. Pelan mengetuk-ngetuknya. Berdehem. Tepukan mereda. Peserta konvensi perlahan duduk kembali. Menatap antusias ke depan.
"Baik, pertama-tama, terima-kasih atas perkenalan yang hebat,  panjang, dan superlengkapnya. Meski saya pikir kau agak berlebihan dengan menceritakan bagian romantisme pertemuan itu, Anne!" Dalimunte menganggukan kepala kepada moderator, tersenyum,  "Tapi terima kasih atas sentuhan keluarganya:  profesor muda kita tetap hidup dengan segala romantisme bersama keluarga kecilnya.... Anne, setidaknya dengan kalimat terakhir itu, kau membuatku terlihat sedikit lebih manusiawi. Bukan seperti daftar penelitian yang kulakukan sepanjang tahun: sistematis, serius, dan kaku. Ya, profesor fisika juga manusia biasa, bukan—" Tertawa. Ruangan besar itu ramai oleh tawa.
"Hadirin, sebelumnya maafkan saya untuk dua hal...." Profesor Dalimunte mengusap wajahnya yang sedikit berkeringat, "Pertama karena saya hanya punya waktu lima belas menit untuk memenuhi segala keingintahuan kalian. Saya harap itu cukup setelah hampir enam bulan kalian menunggu kesempatan ini. Kalian tahu, ada banyak pekerjaan di laboratorium, belum lagi dengan segala tenggat waktunya. Di samping itu, kalian tahu persis, saya  tidak terlalu menikmati dikelilingi puluhan wartawan dengan kameranya. Semua popularitas ini.... Jadi ijinkanlah saya untuk memulai langsung topik kita hari ini—"
Wajah-wajah terlihat semakin antusias. Tangan-tangan wibuk menggenggam pulpen bersiap mencatat. Takut benar ada fakta terucap  yang  terselip di ingatan dan lalai di catat takut benar terlihat sebagai orang paling bodoh dalam ruangan simposium fisika internasional tersebut. Ini lima belas menit yang penting.
".... Seperti yang telah kalian baca di jurnal tersebut bulan dibelah dua sudah menjadi fakta religius ratusan tahun silam. Salah-satu mukjizat Nabi penutup jaman. Ada banyak perdebatan, ada banyak penelitian yang justru mencoba membuktikan kalau itu semua keliru. Ternyata tidak. Keajaiban itu memang pernah terjadi! — Bagaimana mungkin ada satu potongan translasi religius yang keliru? Kitab suci keliru? Hadist yang salah? Sungguh lelucon yang tidak lucu. Itu tidak mungkin terjadi!" Profesor Dalimunte dengan muka serius menunjuk slide gambar bulan terbelah dua di layar LCD raksasa depan ruangan.
"Tapi seperti yang saya bilang tadi, untuk kedua kalinya maafkan saya, karena hari ini saya memutuskan untuk tidak membicarakan penelitian yang sudah dimuat dengan baik oleh jurnal populer yang selama ini sekuler dan diskriminatif, 'Science'. Kalian bisa membaca sendiri seluruh buktinya di majalah tersebut, dan jika masih ada pertanyaan, kolega dan staf saya di laboratorium dengan senang hati membalas e-mail pertanyaan, pesan, ajakan diskusi, atau apapun dari kalian....
“Hari ini sesuai kesepakatan dengan panitia simposium lima menit setiba saya di sini, saya akan menyajikan pembuktian fakta religius penting lainnya. Bukan tentang bulan, tapi isu yang lebih besar. Lebih mendesak untuk disampaikan. Perubahan topik ini sebenarnya kabar baik bagi kalian, karena kalian akan menjadi orang pertama yang mendengarkan progress penelitian terbaru kami: Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi menjelang hari kiamat...." Slide bergerak cepat. Sekarang memunculkan sebuah translasi kitab suci.
Wajah-wajah dalam ruang besar nampaknya tidak terlalu keberatan dengan perubahan topik yang mendadak tersebut. Buru-buru mencoret judul catatan di atas kertas. Profesor Dalimunte tersenyum lebar menatap sekitar dengan rileks. Lima ratus undangan. Lima ratus ahli fisika dari berbagai penjuru dunia. Meski tidak terlalu menyukai publisitas, dia amat terlatih untuk urusan mengendalikan massa seperti ini. Dulu dia belajar dari guru terbaiknya.
"Pernahkah dari kita bertanya tentang detail kabar tanda-tanda hari akhir? Hari kiamat? Membacanya? Mendengamya? Pasti pernah. Dan setidaknya bagi siapapun yang masih mempercayai janji hari akhir tersebut, maka tidak peduli dari kitab suci agama manapun, berita-berita tersebut boleh dibilang mirip satu sama lain... Ahya, maaf, saya tidak akan membahas soal mirip tidaknya, itu urusan pakar, ahli agama yang relevan. Biar mereka yang menjelaskan kalau sebenarnya kabar tersebut bersumber dari satu muasal. Penelitian fisika terbaru kami hanya bertujuan memaparkan fakta ilmiahnya—"
"Salah satu berita yang membuat kita tercengang adalah kabar peperangan besar, yang dikenal beberapa agama lain dengan sebutan Armageddon. Pertempuran hebat. Penyerbuan. Penguasaan wilayah.... Menarik. Amat menarik. Karena salah satu diantara kita mungkin pernah melipat dahi, bagaimana mungkin begitu banyak sumber dalam berbagai riwayat sahih terpercaya justru menyebutkan peperangan besar itu akan dilakukan dengan pedang, dengan tangan? Jika kalian berkesempatan membaca, maka akan menemukan berbagai translasi religius menulis begitu. Pertempuran satu lawan satu.... Nah, pertanyaan bodohnya adalah: lantas di mana teknologi nuklir hari ini? Di mana senjata pemusnah massal? Satelit? Senjata kimia? Bioteknologi?
"Bagi semua yang pemah mendengar cerita tentang tanda-tanda akhir jaman, bukankah seolah-olah masa itu kembali ke masa-masa pertempuran konvensional? Berita tentang ulat-ulat yang dikirimkan dari langit? Keluarnya dua pasukan jahat yang menghabiskan seluruh air sungai yang mereka  lewati? Pepohonan yang menyembunyikan bangsa Yahudi— maaf jika ini terlalu detail—" Dalimunte tersenyum, tapi heberapa peserta simposium yang datang dari sekutu Negara bersangkutan tidak terlalu berkeberatan dengan kalimat itu, lebih asyik melihat layar LCD raksasa di depan.
"Kita semua tahu, translasi itu sama sekali tidak menyinggung soal senjata-senjata pemusnah massal. Nuklir misalnya! Ingat kasus Nagasaki dan Hiroshima, perang dunia ke-2. Dua kali tembak, selesai sudah! Bagaimana mungkin di akhir jaman nanti orang-orang seolah lupa menggunakan teknologi hebat itu? Apalagi hari kiamat mungkin baru terjadi ratusan tahun, atau ribuan tahun lagi. Kita tidak bisa membayangkan akan secanggih apa teknologi senjata saat itu? Jadi jika benar-benar terjadi Armageddon, apa susahnya melepas dua tiga rudal berhulu nuklir jutaan kiloton ke daerah musuh? Selesai sudah. Atau jangan-jangan dua tiga ratus tahun ke depan manusia malah sudah bisa membuat koloni pertama di Mars! Jangan-jangan maksud peperangan tersebut adalah peperangan antar planet. Jangan-jangan Ya'juj dan Ma'juj yang dikurung di suatu tempat oleh Dzulkarnen itu, yang hingga hari ini kita tidak  tahu di mana lokasi tembok penjaranya justru datang dari planet lain. Masuk akal bukan—"
"Tetapi ternyata tidak. Terlepas dari bagaimana menafsirkan  berbagai  translasi religius ini, sepertinya kemungkinan-kemungkinan yang saya sebutkan tadi amat berlebihan, sejauh ini belum ada buktinya. Kabar peperangan besar tersebut sepertinya memang akan sesederhana itu. Benar-benar sesederhana itu. Saya menyimpulkan demikian: sesederhana itu... Maka, pertanyaannya jika semua teknologi senjata tadi tidak digunakan saat pertempuran akhir jaman, lantas ke manakah ilmu pengetahuan yang telah diakumulasi beratus-ratus tahun oleh manusia? Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Apakah ketika hari kiamat  tiba, peradaban manusia justru sedang kembali ke titik apa adanya?" Dalimunte diam sejenak. Menatap seluruh ruangan.
Mengesankan melihatnya membanjiri peserta simposium dengan berbagai pertanyaan, entah lima ratus peserta itu mengerti atau tidak. Terus menyajikan dengan cepat berbagai slide, termasuk pertanda dari berbagai kitab suci lainnya. Beberapa peserta simposium yang tidak terlalu mengerti transkripsi religius yang terpampang di layar raksasa LCD menandai besar-besar catatannya (berjanji dalam hati: nanti akan dicari tahu penjelasannya). Sama seperti dengan beberapa peserta yang tidak tahu, lupa, atau malah sama sekali tidak mengerti tentang mukjijat bulan terbelah oleh Nabi penutup jaman di majalah 'Science' sebelumnya. Ruangan besar simposium fisika itu lengang, hanya suara pulpen menggores kertas yang terdengar.
"Apakah seolah-olah kemajuan ilmu pengetahuan seperti siklus naik turun? Hadirin, jawabannya adalah: Ya! Jika kita ibaratkan, maka  peradaban manusia persis seperti roda. Terus berrputar. Naik turun. Mengikuti siklusnya. Ada suatu masa, ketika kemajuan ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, manusia menguasai teknologi-teknologi hebat, lantas entah oleh apa, mungkin karena peperangan, bencana alam, atau karena entahlah, di masa-masa berikutnya kembali meluncur ke titik terendahnya.... Jika kita ingin berpikir sejenak, siapa bilang ribuan tahun silam manusia masih primitif? Masih bodoh? Tidak mengenal teknologi telepon selular? Internet? Penerbangan ke bulan, dan sebagainya?
"Ingat, disadari atau tidak, ada fakta religius yang tertulis indah di kitab suci: Salah seorang sahabat Nabi Sulaiman, maksud saya Solomon buat hadirin yang mengenalnya dengan nama itu. Saya garis bawahi, saat  itu, seorang manusia, pernah bisa memindahkan dalam sekejap sepotong kursi dari satu titik ke titik lainnya yang berjarak ratusan kilometer sebelum mata sempat berkedip! Seorang manusia. Spektakuler! Anda tidak akan pernah menemukan kemampuan teknologi sehebat itu hari ini! Belum. Kita yang amat bangga dengan kemajuan peradaban, bahkan tidak bisa memindahkan fisik sebutir telur dengan apapun itu wahana dan caranya, kecuali di film-film, yang aktornya lantas seolah-olah ketinggalan kaki, tangan, atau telinga—" Dalimunte menyeringai. Ruangan itu sejenak ramai oleh tawa.
".... Kita sejauh ini hanya bisa bangga dengan kode binari. Transfer data. Jaringan telekomunikasi. Internet dan sebagainya, Tapi tidak untuk teknologi memindahkan fisik sebuah benda. Lantas, bagaimana mungkin kita tidak mewarisi teknologi hebat sahabat Nabi Sulaiman tersebut setelah  ribuan tahun berlalu? Bagaimana mungkin tidak ada penjelasannya dan kita sekadar mempercayai kalau itu kondisi luar biasa. Karomah. Keajaiban. Bukankah kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah? Seperti halnya bulan yang terbelah. Tentu saja ada penjelasan masuk akal atas transfer fisik kursi tersebut, harus ada penjelasan ilmiahnya, kita saja yang belum tahu. Atau mungkin tidak akan pemah tahu. 
“Nah, masalahnya kenapa kita tidak mewarisi penjelasan penting tersebut? Jawabannya, mungkin saja karena peradaban, kemajuan teknologi itu persis seperti siklus naik turun. Masa-masa silam, masa-masa itu, manusia pernah menguasai berbagai teknologi hebat tersebut, malah mungkin pernah memiliki rumus sederhana seperti rumus phytagoras untuk menjelaskan bagaimana memindahkan kursi ke tempat lain. A kuadrat sama dengan B
kuadrat plus C kuadrat. Tapi entah oleh apa ilmu pengetahuan itu kemudian musnah. Seperti roda yang berputar, peradaban manusia kembali lagi ke titik terendahnya.... Analog dengan hal itu, dan akan dibuktikan dengan serangkaian penelitian ilmiah kami, jadi sama sekali tidak mengherankan jika  saat dunia menjelang masa senjanya, kita juga akan kehilangan senjata-senjata hebat yang ada sekarang dalam pertempuran besar itu. Dan dunia kembali ke peperangan dengan tangan, dengan pedang. Peperangan konvensional. Itu benar-benar masuk akal. Itu sesuai dengan kabar dari berbagai translasi religius ini....
“Maka pertanyaan pentingnya sekarang adalah: oleh apa? Oleh apa kita akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut? Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang  akan menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak  berfungsi lagi. Mati—"
Dalimunte sengaja berhenti mendadak. Sejenak. Tersenyum. Meraih gelas besar di hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa haus ingin tahu menggantung di langit-langit ruangan. Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu gagasan hebat, jawaban atas pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang akan disampaikan profesor muda di depan mereka. Saat Dalimunte telah meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang terpampang di layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannya yang memegang pointer layar LCD. Telepon genggam di saku celananya mendadak bergetar. 
"Maaf, sebentar—" Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta simposium. Siapa? Menelan ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan lain-lain, yang lazimnya dinonaktifkan dalam situasi simposium seperti ini. Satu lagi untuk urusan keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang tahu nomor telepon genggam urusan keluarganya. Siapa? Keliru. Bukan dari siapa tepatnya pertanyaan Dalimunte barusan. Namun: ada apa? Apa yang sedang terjadi?  Wajah Dalimunte seketika mengeras, cemas. Sedikit terburu-buru meraih telepon genggam. SMS. Kenapa harus dengan SMS? Jika penting bukankah bisa langsung menelepon? Itu berarti Mamak Lainuri yang mengirimkan. Mamak tak pandai benar berbicara lewat HP, selalu merasa aneh. Setetah terdiam sejenak menatap layar HP, Dalimunte gemetar menekan tombol open. SMS itu terbuka. Gagap membaca kalimatnya. Menggigit bibir. Menyeka dahi yang berkeringat. Terdiam lagi satu detik. Dua detik. Lima detik. Lantas dengan suara amat lemah berkata pendek di depan speaker. "Maaf. Cukup sampai di sini— "
Kalimat yang membuat seluruh ruangan simposium itu riuh. Seketika. Gaduh. Seruan-seruan kecewa.  Dalimunte sudah turun dari podium. Tidak peduli kalau Anne, si moderator yang cerewet buru-buru bangkit dari kursinya, mendekat, coba bertanya apa yang sedang terjadi. Tidak peduli beberapa koleganya juga ikut mendekat, ingin tahu. Tidak peduli dengung suara lebah. Apalagi kilau blitz kamera wartawan yang sejak tadi rakus membungkus tubuhnya. Tidak peduli. Dalam hitungan detik Dalimunte sudah menggenggam tangan istrinya yang berkerudung biru. Berbisik dengan suara bergetar. Lantas melangkah keluar dari ruangan. Bergegas. Meninggalkan berlarik tanya dari lima ratus peserta simposium internasional fisika itu. Bagaimana dengan gelombang elektromagnetik tadi?
PESAWAT AIRBUS 3320 milik maskapai penerbangan Italiano Sky itu melesat membelah pesisir Eropa. Malam hari. Pukul 19.30 di sini. Speaker di pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut menyapa penumpang: "... Signore e signori, Vaereo atterera tra 5 minuti all'aeroporto di Roma. Si prega di allaciare di cinture di skurezza... Informiamo i signori pesseggeri che e tra Giacarta e Roma vi sono sette ore di differenza….. Senior & Seniorita, pesawat akan segera mendarat di Bandara Roma lima menit lagi. Harap kenakan sabuk pengaman Anda.... Perbedaan waktu Jakarta dan Roma"
"Bangun, Ikanuri!" Wibisana menyikut lengan adiknya. Ikanuri menguap, menggosok matanya, "Sudah sampai?" Wibisana mengangguk.
Wajah mereka berdua mirip sekali. Rambut. Matanya. Ekspresi wajah. Bahkan bekas luka kecil di dahi. Bedanya, yang satu baretnya di sebelah kanan, yang satu di sebelah kiri. Selain itu, nyaris 99,99% mirip, termasuk tinggi, lebar dan bentuk perawakan tubuh. Jadi seperti sepasang kembar kalau mereka berdiri berjajar. Padahal mereka sedikit pun tidak kembar, apalagi kembar identik. Mereka berdua hanya lahir di tahun yang sama, terpisahkan sebelas bulan. Yang satu beramur 34 tahun (Wibisana), yang satunya (Ikanuri) 33 tahun. Menariknya, meski Ikanuri lebih muda, dia lebih dominan dalam urusan apapun dibanding Wibisana. Makanya orang-orang justru berpikir Ikanuri-lah yang menjadi kakak. 
"Kau mimpi apa?" Wibisana tertawa melihat wajah Ikanuri yang mengernyit, berusaha mengusap-usap matanya yang sedikit merah.
"Biasa! Mimpi dikejar-kejar Kak Lais pakai sapu lidi! Sialan, kali ini ia berhasil memukul pantatku! Sakit sekali — " Ikanuri menjawab seadanya, nyengir. Pura-pura mengusap punggungnya. Ikut tertawa.
Demi mendengar celetukan adiknya, Wibisana tertawa lebih lebar. Bagian itu kenangan masa kecil favorit mereka, olok-olok masa lalu yang menyenangkan untuk diingat, meski telah berkali-kali diingatnya. Nyengir lebar. Sementara Ikanuri sudah sibuk merapikan kemeja biru yang dikenakannya. Membungkuk memasang tali sepatu. Tadi sengaja dilepas, agar bisa rileks tidur di kursi penerbangan kelas ekonomi, yang tempat duduknya ekstra sempit buat penerbangan jarak jauh.
"Ini apa?" Wibisana mendorong pelan laptop di atas tatakan meja, ikut membungkuk, mengambil kertas yang tidak sengaja jatuh dari saku kemeja Ikanuri saat memasang tali sepatu.
"Oo itu —, biasa titipan Juwita! Kau bacalah! Papa, questi sono i miei desideri.. 1. Pizza, 2. Spagheti, 3. Miniatur Colloseum, 4. Miniatur Menara Miring, 5. Kaos bola Del Piero, 6. Kaos bola Totti, 7. Kaos bola Materazzi, 8. Kaos bola Zidane," Wibisana tertawa kecil lagi, menghentikan membaca daftar panjang di kertas tergulung itu.
"Haha, bagaimana mungkin 'sigung kecil' itu tidak tahu kalau Zidane sudah tidak main bola lagi di Juventus? Lagipula Zidane sudah lama pindah ke liga Spanyol, bukan? Sudah pension pula sejak piala dunia. Tidak adalah kaosnya di sini—"
"Mana pula anak itu akan peduli," Ikanuri menerima kertas pesanan tersebut dari Wibisana, melipatnya. "Kau tahu, Juwita seminggu terakhir sengaja benar membuka buku pintarnya tentang Italia. Mendaftar semua pesanan ini. Entahlah, sempat atau tidak membeli semuanya, apalagi kaos-kaos bola ini. Buat apa coba Juwita titip kaos bola, jelas-jelas ia anak perempuan, kan? Titipannya kali ini benar-benar akan merepotkan. Mungkin tidak semua akan bisa kubelikan..."
"Kalau begitu, bersiap-siaplah melihat wajah sok merajuknya saat kau nanti pulang!" Wibisana nyengir lebar, "Anak itu memang pintar membuat orang lain susah.... Pandai menipu. Jago pura-pura merajuk. Haha, mirip benar dengan tabiat buruk ayahnya waktu kecil."
Ikanuri mengusap rambut. Ikutan nyengir. Bergumam dalam hati, Wibisana pasti juga mengantongi daftar puluhan pesanan yang sama dari Delima, anaknya. Bukankah kemarin Juwita bilang, ia mengirimkan daftar pesanannya ke Delima lewat email. Anak-anak mereka yang berumur enam tahun itu mirip benar ayahnya masing-masing. Kompak urusan beginian, meski sering sekali justru sibuk bertengkar saat sedang bermain bersama. Sebenarnya perangai Delima-Juwita memang copy-paste perangai ayah-ayah mereka berdua waktu kecil dulu. Pesawat Boeing kapasitas dua ratus penumpang itu bersiap meluncur ke landasan bandara. Gemerlap lampu kota Roma terlihat indah dari bingkai jendela. Menawan. Wibisana melipat laptopnya.
"Kau sudah selesaikan revisi presentasinya?"
Wibisana mengangguk mantap, "Kali ini, petinggi pabrik itu tidak akan menolak.... Kita akan memberikan lebih banyak keuntungan dibandingkan perusahaan dari China itu!"
Ikanuri mengangguk kecil. Memasukkan kertas pesanan gadis kecilnya ke  saku. Menepuk-nepuk saku kemeja. Ini perjalanan bisnis yang penting. Pembicaraan besok pagi di salah satu kedai kopi elit dekat Piazza de Palozzo akan menentukan rencana ekspansi pabrik kecil milik mereka. Sebenarnya dibandingkan pesaing raksasa industri China itu mereka tidak ada apa-apanya. Pabrik butut itu tak lebih dari bengkel modifikasi mobil. Mereka hanya punya modal nekad. Keberangkatan ini juga pakai acara pinjam uang Mamak Lainuri segala. Ah, sejak kecil memang inilah yang mereka miliki. Nekad. Bandel. Keras kepala. Di samping tentang teriakan 'kerja-keras', 'kerja-keras', 'kerja-keras' yang selalu diocehkan Kak Laisa saat galak melotot sambil memegang sapu lidi, memarahi mereka.
Sejak kecil Ikanuri dan Wibisana sudah kompak. Kakak-beradik yang selalu bisa saling mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesikan tender hak pembuatan sasis salah-satu mobil balap tersohor produksi Italia. Seperti biasa, pesaing mereka (juga pesaing pengusaha-pengusaha lokal lainnya), datang dari negeri Panda, China. Mereka sejak kecil selalu berdua. Tidak terpisahkan. Sekarang saja rumah mereka berseberangan jalan. Dengan istri dan satu gadis kecil usia enam tahun masing- masing. Delima dan Juwita. Bahkan, percaya atau tidak, Ikanuri dan Wibisana menikah di hari, tempat, dan penghulu yang sama. Delima dan Juwita juga lahir di hari yang sama. Jadi meski tidak kembar secara biologis, Ikanuri dan Wibisana lebih dari 'kembar'.
Lima menit berlalu, burung besi berukuran jumbo itu mendarat dengan mulus di landasan. Penumpang yang seratus persen sudah terjaga bergegas menurunkan tas-tas dari bagasi. Bersiap turun setelah penerbangan belasan jam. Menggerak-gerakkan badan. Berusaha mengusir pegal.
"Biar aku saja yang menghubungi mereka!" Ikanuri yang melihat Wibisana mengeluarkan HP-nya, ikut mengeluarkan dua telepon genggam miliknya. Satu untuk urusan bisnis. Satu untuk urusan keluarga. Dua-duanya dikeluarkan. Perlahan menekan tombol ON. Menyalakannya. Tadi saat keberangkatan, galak sekali pramugari pesawat menyuruh penumpang mematikan HP. Yeah, penumpang dari Indonesia memang bebal bin bandel soal beginian. Mereka lupa, maskapai yang mereka naiki bukan maskapai domestik kelas kampung yang cuek dengan standar internasional keamanan penerbangan.
"Mereka berjanji menjemput di bandara, bukan?" Wibisana duduk kembali, membiarkan penumpang lain bergegas turun duluan.
"Yap, tenang saja, Italiano Silsilia itu pasti akan menjemput kita. Kalau tidak, paling sial kita nyasar lagi di negeri orang, haha," Ikanuri tertawa, menunggu dua telepon genggamnya booting. Dua detik berlalu. Lantas menekan phonebook. Tetapi sebelum dia melakukannya, HP untuk urusan keluarganya keburu bergetar duluan. SMS. Juga bergetar di saat bersamaan HP milik Wibisana. Itu juga HP urusan keluarga. Siapa? Ikanuri dan Wibisana menelan ludah. Saling bersitatap satu sama lain. Siapa yang mengirimkan SMS? Hanya ada enam orang yang tahu nomor itu, dan mereka berdua diantaranya. Keliru. Bukan dari siapa pertanyaan tepatnya Ikanuri dan Wibisana barusan. Tapi lebih tepat: ada apa? Apa yang terjadi? Wajah mereka berdua mendadak mengeras, cemas, SMS? Ini pasti Mamak Lainuri. Yang lain pasti selalu menelepon jika ada urusan penting. Bukankah seumur-umur Mamak tidak pernah mengirimkan SMS. Menggunakan HP-nya saja, Mamak tak mahir benar. Jika Mamak yang kirim, ini pasti penting sekali.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru menekan tombol open. Gagap membaca kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama lain lagi. Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 198 penumpang beranjak turun. Dan seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan melangkah mendekati pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa sudah dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting, besok pagi. Lupa dengan segalanya. Ikanuri terbata berkata: "Il Volo.. per Jakarta.. C'e un volo per Jakarta questa sera?"
Apa ada…penerbangan kembali ke Jakarta... malam ini juga? DUA PULUH RIBU kilometer dari langit malam kota Roma yang cemerlang oleh cahaya. Di sini, pagi justru sedang beranjak meninggi. Pukul 06.00. Udara berkabut. Putih membungkus puncak Semeru. Pemandangan luas menghampar begitu memesona. Tebaran halimun yang indah. Empat gunung di sekitarnya terlihat menjulang tinggi, mengesankan melihatnya. Berbaris. Gunung Bromo. Tengger. Merbabu. Seperti serdadu. Uap mengepul dari kawah Semeru. Angin mendesing lembut. Samudera Indonesia memperelok landsekap, terlihat terbentang nun jauh di sana. Membiru. Sungguh pemandangan yang hebat.
Tangan yang memegang teropong binokuler berkekuatan zoom 25 kali itu sedikit gemetar. Brrr.... Dingin. Suhu menjejak 4 derajat celcius di atas sini, ketinggian 3150 meter dpl (di atas permukaan laut). Jaket tebal yang membungkus, topi lebar, slayer besar tak membantu banyak. Hanya karena terbiasa dan antusiasme tak terbilanglah yang membuat gadis berumur 34 tahun itu tetap bertahan dari tadi shubuh persis di tubir kawah Semeru. Mukanya seolah tidak peduli dengan dinginnya pagi, malah menyeringai oleh senyum senang. Mata hitam indahnya bercahaya. Wajah cantik itu amat bersemangat. Rambut panjangnya menjuntai, mengelepak pelan oleh deru angin pagi.... Ia sudah lama menunggu kesempatan ini. Dingin dan sukarnya trek terjal pegunungan bukan masalah. Ia menguasai medan sulit seperti ini sejak Dulu, sejak ingusan, ia belajar langsung dari jagonya.
"Arah pukul dua belas! Arah pukul dua belas!" Gadis itu tiba-tiba berseru tertahan.
"Mana? Di mana?"
"Lima belas meter dari bibir kawah. Dinding dekat batu cokelat! Batu cokelat, bukan yang hitam." Gadis itu berbisik antusias ke teman-teman di belakangnya, berusaha mengendalikan volume suaranya.
"Mana? Di mana?" Dua rekannya, cowok-cewek, dengan usia tidak beda, dengan pakaian sama tebalnya bertanya lagi sambil beringsut mendekat. Mengarahkan binokuler masingmasing ke arah yang ditunjuk gadis satunya barusan.
"Batu besar arah jam dua belas! Batu besar cokelat—"
"Batu besar? Cokelat?"
"PKAAAK!" Lenguh suara nyaring itu sempurna sudah memecah hening puncak Semeru. Bagai menguak kabut. Bagai membelah halimun. Membuat wajah-wajah sontak tertoleh, mendongak.
"PKAAAK!" Sekali lagi membuncah pagi.
"Terbang! Ada yang terbang."
"Di mana? Di mana?"
"Arah pukul delapan. Di atas. Di atas, sebelah kiri!" Gadis yang duduk paling depan, yang membungkuk di tubir kawah Semeru itu berseru semakin tertahan. Wajahnya semakin antusias. Berbinar-binar senang. Binokuler ditangannya bergerak gesit. Rambut panjangnya bergerak anggun. Zoom in. Teropong model canggih itu berdesing oleh perintah auto focus. Persis di atas mereka, seekor burung alap-alap kawah gunung, dengan bentang sayap berukuran 45 cm, bagai pesawat falcon, mungkin juga F-14 menderu melesat. Bukan main.  Sempurna seperti sedang menyibak gumpalan putih kabut. Bicara soal kecepatan dan manuver terbang, sumpah tidak ada yang mengalahkan Peregrin, inilah sang penguasa kawah gunung. Bukan elang. Bukan garuda. Bukan pula Rajawali. Tapi alap-alap (kawah). Merekalah penguasa langit sejati. Burung yang hidup di tempat tertinggi di  dunia. Di tempat paling eksotis di seluruh muka bumi. Yang mampu terbang hingga ke ketinggian pesawat terbang.
"PKAAAK!" Alap-alap kawah itu terbang melesat seolah hendak menghujam ke dinding dekat gumpalan batu cokelat. Sarangnya! Tiga orang yang mengawasi dari sisi lereng seberangnya melotot melalui binokuler. Sungguh, pemandangan yang menakjubkan. Gerakan tubuh alap-alap kawah itu persis bagai pesawat tempur yang menyerbu. Dan sedetik sebelum tubuhnya seakan-akan hendak menghantam dinding kawah, sayapnya terlipat ke belakang. Begitu anggun, begitu mulus, kecepatannya berkurang dalam hitungan sepersekian detik. Lantas bagai seorang ballerina sejati, sekejap, sudah mendarat sempurna. Perfecto! Gadis yang duduk di depan menggigit bibir. Terpesona. Menghela nafas. Sungguh pertunjukan atraksi alam yang spektakuler. Binokulernya mendesing. Mode: full zoom in. Sekarang ia bisa melihat bulu leher Peregrin  yang kemerah-merahan seperti menatapnya dari jarak sedepa saja. Kuku-kuku kaki tajam induk alap-alap kawah itu menggenggam mangsa yang baru didapatnya pagi ini. Tiga ekor anaknya menyembul dari dalam sarang. Ber-pkak, pkak lemah, meski riang. Paruh yang terjulur. Warna emas itu. Positif! Tidak salah lagi!
"Ya Allah! Itu jelas-jelas Peregrin varian baru! Jenis baru.... Ini, ini berarti  Bidadari-Bidadari Surga Editor By. I-One  Editor By. I-One Gold Level untuk bantuan penelitian kita. Thanks, God! Akhirnya. Akhirnya! Seratus ribu dollar Amerika untuk konservasi mereka...."
Gadis yang duduk paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya. Terlihat amat senang. Lega. Menghempaskan pantatnya ke bebatuan.  Dua temannya ikut mengangguk-angguk beberapa detik kemudian. Sepakat soal varian baru tersebut setelah melihatnya lebih jelas dengan binokuler masing-masing. Ikut tertawa lega.
Yashinta nama gadis itu. Team leader kelompok penelitian kecil burung dan mamalia endemik. Selain peneliti dari lembaga penelitian dan konservasi nasional di Bogor, ia juga koresponden foto National Geographic. Mengumpulkan foto-foto alam yang indah dan insightfull untuk majalah itu.
Pagi ini, setelah berkutat seminggu di puncak Semeru, mereka akhirnya berhasil menemukan sarang burung langka tersebut. Awal yang baik dari riset berbulan-bulan ke depan untuk memetakan perangai dan tingkah-laku alap-alap kawah varian baru. Proyek konservasi jangka panjang. Yashinta meraih kamera SLR di tas pinggangnya. Senyum riang  itu tak kunjung lepas dari wajah memerahnya. Ini akan jadi foto yang hebat, desisnya senang. Bisa jadi photo cover majalah. Membuka lensa kamera. Bersiap mengambil foto induk Peregrin yang sedang memberi sarapan tiga anaknya. Saat itulah, saat Yashinta sibuk mengarahkan lensa 600/6.4 mm, lensa dengan kemampuan merekam tahi lalat di pipi soseorang dari jarak seratus  meter, telepon genggam satelit yang ada disaku celana gunungnya mendadak berdengking-dengking. Kedua temannya menoleh. "Ssst!" Menyeringai mengingatkan. Mana boleh bersuara saat mereka mengamati burung. Lihatlah, meski jarak mereka nyaris lima puluh meter dengan sarang alap-alap kawah, induk burung itu mendadak menoleh. Terganggu. 
Yashinta nyengir, maaf, buru-buru meraih HP-nya. Yang berdengking adalah HP satelit urusan keluarga, yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Tiba-tiba jantung gadis itu berdetak lebih kencang. Dari siapa? Ah-bukan, bukan itu pertanyaan tepatnya, tapi ada apa? Apa yang terjadi? S-M-S? Itu pasti Mamak. Bukankah Mamak tidak pernah menggunakan HP-nya? Tidak pernah terbiasa? Yang lain pasti selalu menelepon. Kenapa pagi ini tiba-tiba Mamak mengirimkan SMS? Sedikit terburu-buru Yashinta menekan tombol oke. Terbata membaca pesan 203 karakter tersebut. Seketika, hilang sudah senyum riang itu. Seketika hilang sudah wajah menggemaskan kemerahan terbakar cahaya matahari pagi di puncak Semeru itu. Yashinta dengan tangan bergetar menurunkan kamera canggih SLR-nya. Menelan ludah, menyeka dahi, lantas berbisik lemah, "Aku harus pulang! Aku harus pulang!"
Senyap. Gumpalan kabut yang membungkus puncak Semeru mendadak membungkus sepi. Yashinta sudah bergegas turun dari tubir kawah. Sambil jalan, sembarangan memasukkan peralatan ke dalam ransel. Tidak peduli tatapan terperangah dua temannya.  Tidak peduli dua ekor Peregrin lainnya dengan anggun terbang mendekat ke sarang di batu cokelat. Tidak peduli. Apalagi pemandangan hebat dari puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Yashinta berlarian menuruni lereng terjal. Pulang. Ia harus segera pulang! Itu pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang mendadak basah, sambil terisak menangis, meluncur menuruni cadas bebatuan secepat kakinya bisa. Bergegas....
"ADUH, Intan lagi sibuk, Mi!" Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu.
"Intan harus pulang, sayang...."
"Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung, Bentar lagi juga bel!"
"Sekarang, Intan! Tadi Ummi sudah bicara sama Headmaster Miss Elly! Intan boleh ijin selama diperlukan— "
"Yee, Ummi, Intan kan lagi ngurus Safe The Planet! Mana lagi  seru-serunya. Besok kan Intan mau keliling bawa-bawa gelang karet ke Pasar Induk bareng teman-teman.... Mana boleh Intan ijin sekolah...." Gadis kecil yang gigi atasnya sedang tanggal satu itu malas memberesi tas, penggaris, crayon, kertas gambar, buku-buku, pensil di atas mejanya. Sengaja melakukannya pelan-pelan. Teman-teman kelasnya sibuk menoleh, menonton.
Dalimunte yang berdiri di belakang, tersenyum mengangguk. Berusaha membuat nyaman teman-teman Intan, meski apa daya ekspresi mukanya jadi terlihat aneh. Mereka baru saja tiba di sekolah alam itu. Menjemput putri mereka persis di tengah pelajaran melukis—favorit Intan. Rusuh sejenak bicara dengan kepala sekolah. Menjelaskan. Headmaster Miss Elly yang apa daya nge-fans berat sama Profesor Dalimunte, jangankan soal sepenting ini, soal Intan pilek sedikit saja langsung boleh ijin tiga hari, mengangguk.  Tidak masalah.
"Memangnya kita mau kemana sih, Mi? Mendadak benar!" Gadis kecil berumur sembilan tahun itu memasukkan crayon biru terakhirnya ke dalam tas. Menoleh ke wajah Ummi yang seperti tidak sabaran ikut membantu berberes- beres. Padahal sejak setahun terakhir mana pernah coba Ummi bantu-bantu beres kamarnya, Intan kan sudah besar, bisa sendiri.
"Perkebunan strawberry!" Dalimunte yang menjawab, pendek.
"EYANG LAINURI?" Mata hitam gadis kecil itu membulat. Dalimunte mengangguk, mengusap lehernya.
"HORE!!" Intan mendadak malah semangat menyeret tas sekolahnya yang berat itu. Wajah malasnya tadi langsung sirna. Ia malah  tidak perlu ditunggu lagi, langsung maju ke depan. Membawa kanvas lukisnya. Pamitan ke Miss Ani, guru kelas 5-nya (dua tahun terakhir Intan loncat kelas dua kali). Lantas, tanpa diminta memimpin berjalan di depan Dalimunte dan Ummi sambil melambaikan tangan ke teman-temannya.
"Eh, sebentar-"
"Apa sayang?" Langkah Ummi ikut terhenti.
"Gelang karetnya kelupaan! Intan kan mesti bawa gelang karet buat Eyang! Biar pamanpaman yang ngurus kebun bisa pake gelang, biar mereka pakai dua gelang setiap tangannya!" Ia nyengir, tertawa kecil, senang atas idenya. Berhenti sejenak. Mendekati teman-temannya yang masih sibuk menonton. Dalimunte untuk ke sekian kalinya melirik jam di pergelangan tangan. Mendesah. Semoga belum terlambat.

"Come on, why nan avete due posti per noi? Any flight, questo e molto importante!" Wajah Ikanuri terlihat memelas.
Dulu Ikanuri jagonya soal menipu orang lain dengan wajah sok memelas. Kak Laisa yang suka mengejar-ngejarnya dengan sapu lidi, berkali-kali tertipu soal ini. Sok memelas sakit (malas sekolah). Sok memelas sakit  (malas bantu Mamak Lainuri). Sok memelas sakit (malas ngurus kebun). Sakitnya si bisa macam-macam. Sakit kaki-lah. Sakit tangan. Bisul. Bahkan panu pun bisa jadi alasan Ikanuri.
"Mi displace, tutti i voli dall'italia sono pieni da una settimana fa! Questa settimana c'e la finale di Champions League!. Maaf, penerbangan kemanapun dari Italia sudah penuh sejak seminggu lalu! Minggu ini final Liga Champion, Senior! Seluruh jadwal penerbangan penuh dari Roma!"
"Ayolah! Bagaimana mungkin kalian tidak punya dua kursi untuk kami? Di kelas apapun. Penerbangan apapun. Ini penting sekali! Dua tiket saja!"
"Senior tidak mengeri. Ini final Liga Champion—"
"Solo due biglietti?"
"Questa e la finale di Calcio—"
"Sepak bola sialan! Kenapa pula semua orang sibuk menonton 22 orang berebut satu bola! Kenapa mereka tidak dikasih 22 bola juga saja!" Ikanuri memotong kalimat gadis itu, meremas rambutnya. Memaki. Teringat kaos bola titipan putrinya. Ini juga gaya favorit Ikanuri waktu kecil dulu kalau menipu guru di kelas (ketahuan bolos). Atau ketahuan mencuri uang di kelpeh plastik Mamak Lainuri. Sok bego tidak mengerti. Ah, tapi sekarang ekspresi itu  benar-benar  jujur. Lagipula sejak puluhan tahun silam, Ikanuri sudah insyaf. Kapok. Mengerti benar maksud Kak Laisa yang suka berteriak, 'kerja keras!', 'kerja keras!', 'kerja keras!'
"Bisa tolong cek jadwal penerbangan maskapai lainnya, please?"
Wibisana yang berdiri agak dibelakang Ikanuri menyibak maju ke depan. Berusaha tersenyum ke gadis penjaga loket biro perjalanan di Bandara Roma yang sejak tadi berkali-kali tersenyum tanggung menghadapi seruan-seruan Ikanuri. 
"Percuma, Senior, Benar-benar full. Anda lihat rombongan di sana! Rombongan kedutaan negara Anda. Mereka hari ini juga ingin ke Jakarta. Tidak ada lagi tiket tersisa. Tidak buat mereka. Juga tidak buat, Senior. Maaf—"
Gadis penjaga itu mencoba ikut bersimpati. Menunjuk lima orang yang bergerombol diruang tunggu. Wibisana dan Ikanuri menelan ludah.
"Jadi apa yang harus kami lakukan?" Ikanuri bertanya putus-asa. Gadis itu diam sejenak. Mengetikkan sesuatu.
"Kalau Senior mau, saya bisa melakukan reservasi penerbangan dari bandara lain...." Menekan-nekan keyboard komputernya.
Wajah Ikanuri sedikit cerah oleh kemungkinan baik tersebut. "Dari mana? Verona? Milan? Tidak masalah. Asal hari ini juga—"
"Maaf, bukan dari Italia, Senior. Tadi sudah saya bilang, malam ini  digelar pertandingan final Liga Champion di Roma, ditambah pula ini musim kunjungan ke Vatikan, Sakramen Agung. Jadi seluruh penerbangan ke kota-kota di Italia penuh. Juga negara-negara di sekitar. Vienna, Austria juga penuh. Hm.... Paling dekat.... Ergh, dari Paris, Perancis! Mau??"  Perancis? Rona kabar baik itu seketika padam.
"YASH! BERHENTI SEBENTAR, YASH!!" 
Dua rekan Yashinta patah-patah menuruni bebatuan gunung ketinggian 3000 meter dpl. Yashinta  tidak  menoleh.  Mata,  tangan,  kakinya  konsentrasi  penuh  menjejak  trek  yang sempit dan berbahaya.
"YASH, TUNGGU — " Terus menuruni bebatuan.
"Yash, kan tidak semua orang seatletis kamu naik-turun gunung! Kalau keseleo. Benar-benar celaka, tahu!"  Tersengal-sengal.
Yashinta,  gadis  berambut  panjang  itu  demi  mendengar  seruan  dengan  intonasi  setengah memohon, setengah sebal itu, akhimya menahan langkahnya, menoleh. Berpegangan ke salah satu batu besar. Jurang terjal, menganga di kiri kanan mereka. Bukan hanya soal keseleo, tapi  lalai sedetik saja, mahal sekali harganya. Bagi kebanyakan orang yang mengerti, sebenarnya turun  dari  gunung  jauh  lebih  berbahaya  dibandingkan  naiknya—  apalagi  dengan  stamina yang terkuras habis waktu mendakinya.
"Ada apa, sih?"  Teman  cowoknya  bertanya  setelah  berhasil  mendekat.    Satu  kata,  satu  tarikan  nafas.  Hosh, Hosh,  Hosh.  Uap  mengepul  dari  mulut.  Kedua  rekannya  membungkuk  memegangi  perut. Capai. Gila, mereka lima belas menit meluncur dengan kecepatan tinggi non-stop dari puncak Semeru.
"Aku harus pulang!"
"Iya, kami tahu kau harus pulang, tapi ada apa?"
Yashinta tidak menjawab, ia malah menurunkan ranselnya. Mengeluarkan botol 500 mili minuman  berion,  pengganti  keringat.  Melemparkannya  ke  dua  rekannya  yang  masih tersengal.
"Trims, Yash." Masih tersengal. Lengang  sejenak.  Yashinta  (yang  sedikitpun  tidak  tersengal)  memperbaiki  posisi peralatan  di  ransel  berukuran  semi  carrier-nya.  Mengencangkan  syal  di  leher.  Angin  pagi bertiup  pelan.  Terasa  begitu  menyenangkan.  Membelai  anak  rambut.  Menelisik  di  sela-sela kuping. Yashinta mengusap dahinya. Menatap langit pagi yang membiru. Gumpalan halimun. Ya Allah, ini sama persis seperti di lembah itu. Sama persis.  Lembah itu.... Rasa  haru  itu  menelisik  lagi  hatinya.  Mengiris  membusai  perih  di  mata.  Yashinta mengusap ujung-ujung  matanya,  Ya  Allah, apa  yang sebenarnya terjadi?  Berpilin.  Berputar. Terlemparkan. Dua puluh lima tahun silam. Kenangan-kenangan itu kembali sudah. Di  sini  juga  angin  selalu  bertiup  menyenangkan.  Tidak  pagi.  Tidak  siang.  Tidak  juga malam.  Tapi  sepanjang  hari,  sepanjang  malam.  Angin  selalu  berhembus  lembut  membelai anak-anak rambut.
"Masih jauh, Kak?" Kaki-kaki  kecil  itu  menjejak  air  anak  Mingai  setinggi  mata-kaki.  Kecipak-kecipak.  Sungai yang jernih. Di tengah hutan ini ada puluhan cabang anak sungai kecil seperti ini.
"Masih—"  Tubuh  gendut  dan  gempal  yang  lima  belas  senti  lebih  tinggi  dibandingkan  anak kecil  di  belakangnya  menjawab  pendek.  Burung-burung  berhamburan  dengan  suara  ramai saat dua anak itu membelah jalanan setapak rimba.
"Seberapa jauh lagi? Lima menit? Sepuluh menit?"  kecipak-kecipak. Bebatuan licin menyembul dari permukaan sungai.
"Masih jauh! Dan kau jangan sampai terpeleset, YASH!" Suara  nyanyian  puluhan  burung  memenuhi  langit-langit  hutan.  Cahaya  pagi  menerobos sela  dedaunan,  menerabas  sela-sela  putihnya  kabut.  Membuatnya  seperti  mengambang. Bahkan  seolah-olah  kalian  bisa  menangkap  berkas  cahaya  itu.  Mereka  sejak  setengah  jam lalu  menelusuri  hutan.  Tangkas  yang  satunya,  yang  berjalan  di  depan,  berjalan  sambil menebas ujung-ujung semak belukar yang menjuntai ke batang sungai, menghalangi mereka.
Kedua anak perempuan itu sebenarnya berbeda umur cukup jauh. Yang besar sudah sekitar enam  belas  tahun,  yang  kecil  baru  enam  tahun.  Tapi  karena  perawakan  yang  lebih  besar sepertinya tidak akan tumbuh  normal, sebaliknya  yang  lebih kecil tumbuh  lebih cepat, maka mereka seperti berbeda umur dua-tiga tahun saja. Mereka  lahir  disebuah  lembah  indah  yang  sempurna  dikepung  hutan  belantara.  Terpencil dari  manapun.  Dua  jam  perjalanan  dari  kota  kecamatan  terdekat.  Namanya,  Lembah Lahambay.  Persis  di  tengah-tengah  bukit  barisan  yang  membentang  membelah  pulau. Deretan gunung-gunung kecil. Ada sebelas puncak gunung setinggi 1.500-2.000 meter dpl di kawasan lembah itu. Terselip  disana-sini,  ada  sekitar  empat  perkampungan  radius  sepuluh  kilo  di  Lembah Lahambay.  Berjauhan  satu  sama  lain.  Paling  dekat  terpisah  satu  kilometer.  Satu perkampungan  paling  banyak  terdiri  dari  30-40  rumah  panggung.  Perkampungan  mereka terletak  paling  tepi,  paling  bawah,  berbatasan  langsung  dengan  hutan  rimba.  Tapi  meski disekitar  kampung  banyak  terdapat  sungai,  celakanya  posisi  kampung  itu  tetap  lebih  tinggi dari manapun. Sungai besar yang ada di bawah kampung terpisah oleh dinding cadas setinggi lima meter, yang membuat kampung itu seperti sempurna terpisah dari rimba. Untuk menuruni dinding cadasnya saja sudah sulit bukan main. Maka tidak seperti desa-desa  yang  lazimnya  dekat  dengan  hutan  (yang  otomatis  berarti  dekat  dengan  sungai),  disini penduduk menanam sawah tadah hujan, bukan bercocok-tanam dengan sawah irigasi. Mereka hanya  berharap  pada  siklus  kebaikan  langit.  Selebihnya  bekerja  mencari  rotan,  damar, kumbang hutan, hingga belakangan menjual burung, kukang, jangkrik, dan apa saja yang laku di kota kecamatan.
"Masih  jauh,  Kak?  Lima  menit?  Sepuluh  menit?"  Gadis  kecil  yang  berumur  enam  tahun bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut.
" Masih!"  Laisa  nama kakaknya, kali  ini  menjawab dengan nada  sebal. Itu pertanyaan  yang ke dua puluh  sepanjang  perjalanan  mereka.  Adiknya  selalu  saja  suka  bertanya.  Berulangkali,  Tidak bosan-bosannya. Malah pakai "menit-menitan" segala. Bisa sabar dikit kenapa!
Lembah  Lahambay  selalu  terbungkus  kabut  di  pagi  hari,  ketika  kehidupan  di  rumah-rumah  mulai  menyeruak  sejak  kumandang  adzan  shubuh  dari  surau.  Asap  putih  mengepul dari dapur. Melukis langit-langit lembah. Pertanda kehidupan sudah dimulai. Satu-satunya  akses  dari  kota  kecamatan  ke  lembah  itu  hanyalah  jalan  bebatuan  selebar tiga meter. Di desa atas, satu kilometer dari kampung mereka, yang penduduknya lebih maju dan  lebih  berada, ada dua  mobil  starwagoon tua yang  sering  bolak-balik ke kota kecamatan. Terkentut-kentut  membawa  hasil  kebun,  hutan,  atau  apa  saja  penduduk  lembah  tersebut, melewati  jalanan  buruk.  Naik  turun.  Di  desa  atas  juga  ada  sekolah  dasar,  meski  seadanya. Bagaimana tidak seadanya? Hanya ada satu guru untuk semua kelas. Kelas? Itu bahasa yang lebih  halus  untuk  menyebut  bangunan  jelek  beratap  seng  karatan,  berdinding  anyaman bambu, berlantai semen pecah-pecah. Mereka  terbiasa  dengan  semua  keterbatasan.  Terbiasa  dengan  kehidupan  terpencil.  Jadi wajar  sajalah  melihat  dua  anak  perempuan  merambah  hutan  di  pagi  buta.  Pemandangan lumrah  di  lembah  ini!  Anak-anaknya  tumbuh  dan  akrab  dengan  kehidupan  sekitar.  Tadi selepas shalat shubuh jamaah, persis saat perkampungan masih gelap, selepas belajar mengaji Juz'amma dengan Mamak, Kak Laisa akhirnya bilang akan menemani Yashinta pergi melihat berang-berang. Kabar  yang  membuat Yashinta  langsung  berseru riang tak henti selama  lima menit. Bergegas melepas mukena kumalnya.
Sebulan  lalu  saat  Kak  Laisa  membantu  Mamak  mengumpulkan  damar  jauh  di  tengah hutan.  Kak  Laisa  tidak  sengaja  menemukan  tebat  (bendungan)  yang  dibuat  berang-berang. Hebatnya  di  sana  ada  lima  ekor  anak  berang-berang  yang  sedang  berenang.  Lucu  sekali melihatnya.  Meski  kemudian  Kak  Laisa  benar-benar  menyesal  menceritakan  apa  yang dilihatnya  kepada  Yashinta,  apalagi  dengan  menambahinya  dengan  kalimat:  lucu  sekali melihatnya. Menceritakan itu ke Yashinta sama saja dengan mengundang masalah. Maka tak kunjung henti setiap malam Yashinta merajuk ingin ke sana. Menarik-narik baju gombyor Kak Laisa. Jengkel.  Atau  mungkin  pula  akhirnya  lelah  dengan  bujukan  adiknya,  pagi  ini  Laisa memutuskan mengajak Yashinta untuk melihat langsung. Waktu paling baik melihat berang-berang adalah pagi hari. Semakin  pagi semakin baik.
"Hati-hati, Lais! Jaga adikmu!"  Mamak Lainuri berkata tajam dari bingkai pintu. Itu pesan Mamak tadi sebelum berangkat.
"Yash, kan sudah besar, Mak! Tidak perlu dijaga!"  Yashinta  yang  justru  menjawab,  sambil  nyengir. Memasang sepatu bot butut miliknya. Juga caping anyaman di kepala.
"Apa sih serunya lihat berang-berang? Gitu-gitu saja! Mana ada coba lucunya"  Satu kepala anak lelaki menyembul dari belakang Mamak. Mukanya terlihat jahil.
"Iya, apa coba lucunya!"  Satu  lagi  kepala  anak  lelaki  menyusul.  Wajah  mereka  berdua  mirip  benar.  Kompak  seperti biasa, menyeringai nakal ke arah Yashinta.
"Biarin! Pokoknya lucu!"  Yashinta cemberut, tidak mempedulikan kedua kakaknya.
"Yang  keren  tuh  lihat  Harimau.  Kemarin  aku  dan  Ikanuri  sempat  lihat  satu  di  atas  Gunung Kendeng—"
"Ah-ya,  harimau.  Benar.  Itu  baru  lucu.  Malah  anak-anknya  ada  enam,  Yash.  Lebih  banyak. Lucu-lucu banget— "
"Iya, Kak? Harimau beneran?"  Gerakan tangan Yashinta yang sedang mengenakan tas kecilnya terhenti. Matanya membulat. Bertanya ingin-tahu.
" Wibisana! Ikanuri!" Mamak Lainuri mendesis. Menyuruh dua sigung nakal itu diam.
Kedua  anak  lelaki  itu  kompak  tertawa.  Nyengir.  Jangan  pernah  cerita  sesuatu  ke Yashinta.  Adik  terkecil  mereka  benar-benar  tipikal  anak  yang  suka  penasaran.  Ingin  tahu segalanya.  Tentu  saja  mereka  tadi  hanya  bergurau.  Seperti  biasa  mudah  sekali  menggoda Yashinta.  Tapi  Mamak  Lainuri  tidak  suka  gurauan  mereka.  Tidak  pantas  menjadikan 'harimau' sebagai bahan bergurau.
"Lais berangkat, Mak. Assalammualaikum—"
"Waalaikumsalam.  Jaga  adikmu.  Dan  pulang  segera,  Lais.  Hari  ini  banyak  pekerjaan  di ladang!"
Gadis tanggung  berumur enam  belas tahun  itu  mengangguk. Sigap  melangkah  menuruni anak  tangga.  Yushinta  langsung  ngintil  mengikuti.  Lihatlah,  meski  baru  enam  tahun, Yashinta benar, ia sudah cukup besar untuk urusan ini. Tangkas menjejak rumput yang masih berbilur  kristal  embun.  Tubuhnya  meski  terlihat  kecil  dan  ringkih,  tidak  kalah  atletisnya dibanding Kak Laisa yang gendut dan gempal. Hutan, semakin lama semakin lebat. Hiruk-pikuk  burung  memenuhi  atas  kepala  semakin  ramai.  Seperti  orkestra.  Ada  yang berdengking, berkicau, bernyanyi, bahkan ada yang seperti ngoceh tanpa henti. Itu burung si penggosip.  Sibuk  bicara,  meski  tidak  penting.  Dengking  uwa  (semacam  monyet)  dari kejauhan  menimpali.  Kuak suara ayam  hutan. Nyamuk  besar-besar berdesing di  atas kepala. Sarang  laba-laba.  Mereka  sudah  berjalan  hampir  satu  jam.  Menyusuri  jalan  setapak  yang kadang ada, kadang hilang di tengah hutan.
"Masih jauh, Kak?"  Kak Laisa tidak menjawab.
"Masih jauh, Kak?"
"Ssst—" Kak Laisa menghentikan langkahnya. Yashinta yang sedikit kaget karena Kak Laisa berhenti mendadak, memegang lengan Kak Laisa  dari  belakang.  Ingin  tahu.  Menyeruak  ke  depan.  Tapi  Kak  Laisa  malah  menahan kepalanya.  Mendelik  menyuruhnya  tetap  di  belakang.  Dan  tentu  saja  memberi  kode:  jangan berisik. Mereka sejak lima belas menit tadi sudah turun dari jalan setapak, menyusuri sungai kecil berbatu-batu itu. Kak Laisa melanjutkan langkahnya pelan-pelan. Yashinta mengerti, tidak perlu dijelaskan dua  kali,  ikut  melakukannya.  Menghilangkan  suara  kecipak  kaki  di  atas  air.  Lima  belas meter.  Kak  Laisa  melangkah  mengendap-endap  menaiki  tepi  sungai.  Yashinta  tanpa  banyak bicara  ikut.  Kalau  sudah  begini,  berang-berang  itu  pasti  sudah  dekat,  deh.  Yashinta  nyengir lebar. Juga ikut mendekam di balik sebatang pohon besar, di belakang Kak Laisa.
"Di depan sana—" Kak Laisa berbisik.  Wajah  Yashinta  sudah  merah  saking  antusiasnya.  Ia  melapas  caping  anyamannya (kepalanya  gerah)  lantas  merangkak  mengintip  dari  balik  batang  besar  itu.  Mana?  Mana? Mana? Suara getas ranting patah terdengar. Kak Laisa meucubit lengannya. 
"Jangan berisik!" Mendesis. Yashinta  manyun  sebentar.  Kan  tidak  sengaja.  Merangkak  lebih  hati-hati.  Memperhatikan tempat  yang  ditunjuk  Kak  Laisa.  Memang  ada  bendungan  tiga-lima  meter  di  depan  mereka. Bendungan  dari  batang  roboh  yang  persis  melintang  di  tengah  sungai.  Yang  sekarang dipenuhi dedaunan, ranting-ranting, dan tanah liat. Mana  anak  berang-berangnya?  Yang  ada  hanya  dua  ekor  burung  Meninting.  Sibuk bercengkerama  di  atas  bebatuan.  Loncat-loncat.  Mengembangkan  sayap  indah  hitam bergaris-garis putih milik mereka. Saling menggoda.
Saat  Yashinta  siap  mengeluh  ke  Kak  Laisa  sekali  lagi.  Bertanya  man-na  anak  berang-berangnya.  Pelan  terdengar  suara  kecipak  dari  pohon  roboh  di  tengah-tengah  bendungan. Splash—Aih! Mata Yashinta langsung melotot. Membesar. Splash. Splash. Splash— Yashinta berseru tertahan.  Sekali lagi dicubit Kak Laisa. Untung  seruan  itu  tidak  terlalu  keras.  Jadi  tidak  ada  yang  terganggu.  Gadis  kecil  itu mendekap  sendiri  mulutnya.  Menyeringai  cemberut,  menoleh  ke  arah  Kak  Laisa  yang nyengir galak. Splash— Itu  suara  berang-berang  ke  lima  yang  meluncur  ke  dalam  kolam  bendungan  buatan mereka. Bukan  main,  lima  anak  berang-berang  itu  meluncur anggun. Naik turun. Kepalanya celap-celup.  Satu-dua  jahil  mengejar  ikan-ikan  kecil  yang  banyak  berkeliaran  di  sela-sela mereka.  Celap-celup.  Sungai  itu  jernih.  Jadi  Yashinta  bisa  melihat  hingga  ke  bebatuan dasarnya. Dua ekor kepiting yang tadi nangkring di pinggir kolam sungai segera menyingkir. Juga  menyingkir  sekumpulan  udang  yang  sedang  berjemur  di  bonggol  kayu.  Menyisakan burung  Meninting  yang  terus  cuek  berloncatan  da  atas  batu,  tidak  peduli  dengan  lima  anak berang-berang. Mulut Yashinta terbuka. Terpesona.
Kak Ikanuri dan Kak Wibisana salah seratus persen, deh! Kata siapa anak berang-berang tidak  lucu?  Yashinta  sekarang  saking  gemasnya  malah  sudah  merangkak  keluar  dari  balik batang,  ingin  melihat  lebih  dekat.  Laisa  hendak  menarik  tasnya,  mencegah.  Tapi  demi melihat  ekspresi  muka  Yashinta  yang  begitu  sumringah,  urung.  Ia  tidak  ingin  menganggu kesenangan  adiknya.  Akhirnya  hanya  tersenyum  tipis,  membiarkan.  Itu  sungguh  senyum pertamanya sepanjang pagi  ini, atau  juga sepanjang  minggu  ini  sejak Yashinta  menyebalkan selalu merajuk minta diantar. Ah, Kak Laisa memang jarang tersenyum.
Berang-berang  itu  terus  berkejaran  di  beningnya  air  kolam.  Uap  mengepul  dari  inang sungai.  Suara  lenguh  uwa  terdengar  dari  kejauhan.  Kicau  ramai  burung-burung,  Matahari pagi semakin terik. Permainan cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air bendungan  terlihat  memesona.  Pagi  yang  indah.  Benar-benar  pagi  yang  indah  di  Lembah Lahambay.  Menyaksikan  sendiri  lima  anak  berang-berang  berenang,  saling  bercengkerama, persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan batu saja. Itu sungguh hanya ada dalam mimpi berjuta orang.... Ada apa?
Yashinta  menyeka  matanya  yang  basah.  Menatap  datar  kedua  temannya  yang  nafasnya sudah  kembali  normal.  Dingin  angin  pagi  menyergap  lereng  Gunung  Semeru.  Cahaya  yang menembus  kabut  terlihat  menawan.  Yashinta  menarik  nafas  pelan.  Ia  tidak  tahu  apa  yang telah  terjadi.  Tepatnya  belum.  Yang  ia  tahu,  ia  harus  pulang  segera.  SMS  itu  amat mencemaskan. Terlebih  tiba-tiba  semuanya  terasa  ganjil.  Sesak.  Kenangan  itu  kembali  bagai  tontonan audio-visual  dari  layar  teve  LCD  sejuta  pixels.  Begitu  nyata.  Begitu  dekat.  Seolah  ia  bisa menyentuhnya. Menyentuh wajah Kak Laisa yang pagi itu tersenyum tipis....
"Ada apa, Yash?" Teman ceweknya bertanya lagi.
"Aku  harus  pulang!"  Yashinta  menjawab  pendek,  menaikkan  kembali  ransel  ke  pundaknya. Meneruskan langkah. Bergegas.
"RIO... RIO...." Intan, gadis kecil berumur sembilan tahun itu berseru-seru. Sibuk. Naik turun tangga.  Melongok  ke  balik  kursi,  meja,  ranjang,  lemari,  apa  saja.  Lari  keluar,  mencari  di halaman.
"Rio... Rio.... Aduh, kemana, sih?" Intan balik lagi ke dalam rumah. Berlarian menaiki tangga lagi. Kuncir rambutnya yang berpita biru bergoyang.
Dalimunte mengusap wajah. Melirik jam di pergelangan tabgan untuk ke sekian kali. Satu jam  lagi,  pesawat  yang  sudah  dipesan  staf  lab-nya,  take-off.  Kalau  mereka  terlambat,  maka baru  besok ada penerbangan  yang  sama. Tidak  banyak  jadwal penerbangan ke kota provinsi itu.  Kota  itu  terhitung  terpencil  jika  dilihat  dari  sisi  jumlah  penumpang  angkutan  udara. Maskapai itu saja harus disubsidi pemerintah daerah setempat agar bisa terus beroperasi. Ummi, juga sama seperti Intan, ikut sibuk membantu. Mencari hamster belang putrinya.
"Ditinggal saja ya, sayang—" Ummi membujuk.
"Yee, mana boleh. Wak Laisa kan suka banget sama hamster belang Intan, nanti pasti ditanya kalau nggak dibawa!" Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa. 
"Ditinggal saja ya, Wak Laisa tidak akan nanya, kok—" 
"Nggak  bisa.  Lagian  kalau  ditinggal  yang  kasih  makan  belang  siapa,  Mi?  Rio....  Rio.... Sembunyi di mana, sih?"  Intan  terus  berseru-seru  sambil  menarik  selimut  tempat  tidurnya.  Biasanya  si  belang  suka tiduran di bawah ranjang.  Tidak ada. Menyeringai. Eh, bukankah tadi ia juga sudah periksa tempat ini.
"Nanti Ummi titip tetangga sebelah buat ngurus, ya?" 
"Nggak mau!"  Intan melotot. Keras kepala. Demi melihat ekspresi  itu,  Ummi  menghela  nafas,  kehabisan kalimat berikutnya. Beruntung  sebelum  seisi  rumah  diobrak-abrik  Intan,  hamster  belang  itu  dengan  cueknya nongol  di  dapur.  Berlenggak-lenggok  bak  model.  Sibuk  menyeka-nyeka  mulutnya.  Tanpa ampun, langsung disambar Intan. Gadis keril itu berlarian berteriak, 
"UMMI, ABI, HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!"  Mobil  sport  keluaran  terbaru  itu  melesat  keluar  dari  gerbang  rumah  setelah  Intan  duduk manis  di  kursi  belakang.  Dalimunte  mencengkeram  setirnya  erat-erat.  Sayang,  baru  tiba  di tikungan depan komplek perumahan, Ummi berseru tertahan, 
"Tas Ummi! Tas tangan Ummi tertinggal!" Dalimunte mendesis sebal. 
"Ada kartu ATM, credit card, kartu identitas, semuanya di sana! Harus diambil, Bi!"   Ummi  setengah  membujuk,  setengah  memaksa.  Mobil  sport  itu  berbalik  arah  lagi.  Rusuh sejenak mencari tas tangan Ummi (yang sebenarnya tergeletak di meja ruang depan). Lima  belas  menit,  mobil  sport  itu  kembali  meluncur  keluar.  Baru  tiba  di  jalan  besar, giliran Intan yang berseru panik, 
"Tas sekolah Intan, tas sekolah Intan ketinggalan, Bi!" Dalimunte benar-benar mendesis sebal. 
"Harus  diambil,  Bi!  Kan  di  tas  ada  gelang  karet  'Safe  The  Plane'  Intan,  please….please...." Mobil  sport  itu  berbalik  arah  lagi.  Kali  ini  tidak  sulit  menemukannya,  karena  kaki  Intan tersangkut tas sekolahnya sendiri persis mau masuk rumah. Sepuluh  menit,  mobil  sport itu kembali  meluncur  keluar. Dan kali  ini Dalimunte benar -benar  mendesis  mengkal.  Saat  tiba  di  gerbang  tol,  dia  baru  menyadari  laptop  miliknya tertinggal.  Seluruh  hidupnya  ada  di  situ,  hasil  penelitian,  nomor  kontak,  agenda,  bahkan catatan  kesehariannya.  Dengan  muka  mengeras,  dia  terpaksa  memutar  kembali  setir.  Maka setengah  jam  kemudian  saat  mobil  sport  itu  benar-benar  berada  di  atas  jalan  tol  menuju bandara, yang tersisa hanya wajah merah bin bete Dalimunte.
"Bi, jangan marah, ya! Kan yang terakhir tertinggal laptop Abi...."  Intan nyengir sambil memeluk hamster belangnya. Menahan tawa. Ummi menyeringai kecil, tersenyum tanggung melihat ekspresi wajah putrinya. Dalimunte hanya berdehem tanggung.
"Abi,  sih,  pakai  terburu-buru  berangkatnya....  Lihat,  tuh,  sandal  Abi  malah  ketukar-tukar." Intan  mendekap  mulut. Ummi  yang  justru tidak kuasa  menahan tawa  melihat kaki  suaminya yang  menginjak  pedal  gas  dan  kopling.  Intan  benar.  Warna-warni  (mana  suaminya  masih pake kaos kaki segala). Dalimunte  akhirnya  ikutan  nyengir.  Manyun.  Tertawa  kecil.  Meski  sekejap  kemudian melirik lagi jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi pesawat itu take-off.

"Si,  si..  What?  NO!  Assolutamente  no!  like  i  told  you,  siamo  arivati  a  Roma  half  hour  fa, Albertino...  saya  mendengar  suara  Anda,  Albertino...  APA?  Tidak!  Tentu  saja  tidak.  Sesuai janji kami sudah tiba di Roma setengah jam lalu, Albertino—"
"Teng-tong-teng-tong....I passeggeri del treno Eurostar (diretto a Paris dslle ore 10.00) sono pregati di recarsi velocemente al binario 9...."  Roma  Termini  (stasiun  kereta  api  pusat)  itu  meski  terhitung  sepi,  karena  orang-orang sibuk  menonton  pertandingan  final  sepak  bola,  tapi  tetap  berisik  oleh  suara  teng-tong-teng speaker pengumuman.
"Tidak.  Tidak  bisa,  Albertino.  Tidak  bisa.  Kami  harus  segera  kembali  ke  Jakarta.  Sekarang juga.  Pagi  ini  juga.  Ya!  Ya!  Pertemuan  itu  batal  —Hallo?  Kau  mendengarnya,  Albertino? BATAL!"  Belepotan  Ikanuri  menjelaskan  lewat  telepon  genggamnya.  Satu  karena  dia bersama  Wibisana  sedang  terburu-buru  membawa  ranselnya  mencari  peron  nomor  9.  Dua karena  bahasa  Italianya  jauh  dari  lancar,  campur-campur.  Campur  Inggris,  malah  kadang campur bahasa Indonesia.
"Albertino,  Anda  tidak  mengerti.  Saya  harus  kembali  sekarang  juga  ke  Jakarta.  Kau  masih menunggu  di  bandara?  BANDARA?  Tidak.  Kami  sekarang  di  stasiun  kereta  Roma!  Apa? Bukan  bandara, kami  sekarang ada di stasiun kereta! Roma Termini. Tidak. Ya  Allah, tentu saja kami tidak naik kereta dari Jakarta, Albertino. Bagaimana mungkin?—"
"Teng-tong-teng-tong....  Panggilan  terakhir  untuk  penumpang  Kereta  Lokal  Chievo3000. Harap segera menuju peron nomor 7...."
"Kau  dengar?  Tidak  usah  ditunggu.  Kami  harus  pulang  malam  ini  juga  ke  Jakarta,  kau dengar? Ya? Ya?  Albertino, pertemuan besok batal! Batal! BATAL!  Kau dengar?  Apa?  Ah, sialan—" Ikanuri memaki. Wibisana yang berlari-lari kecil di sampingnya menoleh.
"Sinyalnya terputus—" Ikanuri menelan ludah.
"Tung-tong-teng-tong....  Kereta  ekspres  menuju  Swiss  Benin  nomor  12  dibatalkan  karena alasan  cuaca  buruk.  Badan  metereologi  meramalkan  akan  turun  hujan  lebat  di  selatan  Swis. Kemungkinan  longsor.  Penumpang  bisa  melapor  ke  loket  penjualan  tiket  kami  untuk  full-refund,  atau  meminta  klaim  kamar  hotel  jika  memutuskan  untuk  menunggu  kereta  besok pagi. Seluruh staf dan manajemen Trenitalia, dengan rendah  hati meminta maaf..."
"Ini semua gara-gara sepak-bola sialan itu, bah!"  Ikanuri bersungut-sungut. Menyeret kopernya.
"Andaikata Kak Laisa ada di sini, kau pasti sudah dipukulnya dengan sapu lidi berkali-kali!" Wibisana  menarik  nafas  pendek,  memperlamban  langkah  kaki,  papan  elektronik  yang bertuliskan  angka  9  (peron  tujuan  Paris,  Perancis  lewat  Pegunungan  Alpen,  Swiss)  sudah  di depan  mereka. Mencoba untuk  lebih rileks.  Ada  gunanya  juga setelah  setengah  jam terakhir terburu-buru, mereka tidak terlalu terlambat, masih ada waktu lima menit lagi. Tadi  keluar  dari  Bandara  Roma  amat  terburu-buru.  Meneriaki  taksi  terburu-buru. Memaksa  sopir  taksi  (yang  keturunan  India  itu)  untuk  terburu-buru,  ngebut  menuju  stasiun kereta. Beruntung jalanan lengang. Persis setengah jam lagi Final Piala Champion di Stadion Olimpico,  penduduk  kota  Roma  sudah  dari  tadi  duduk  manis  di  stadion  atau  depan  teve masing-masing.  Sialnya,  meski  lengang,  di  mana-mana  ada  konsentrasi  massa  yang  bersiap nonton  bareng  lewat  layar  teve  raksasa.  Mending  nontonnya  di  lapangan,  ini  justru  digelar persis di tengah-tengah perempatan jalan. Benarlah  adigum  itu,  bagi  penduduk  Roma,  sepak  bola  sudah  jadi  agama.  Jadi,  terpaksa taksi  berputar-putar  mencari  jalan  yang  perempatannya  tidak  vorbodden.  Itu  sama  saja menyisir seperempat kota Roma dengan kecepatan tak kurang 70 mil per-jam.
"Aca, aca, ini lewat mana, hei?"  Sopir India itu juga ikutan panik dengan teriakan-teriakan Ikanuri. Setelah  berpikir  lima  belas  detik  di  depan  gadis  penunggu  counter  biro  perjalanan, Wibisana  akhirnya  memutuskan  untuk  segera  ke  Paris.  Itulah  pilihan  terbaik  yang  ada. Memutuskan  ke  Paris  dengan  menumpang  kereta  ekspres  lintas  negara,  Eurostar.  Soal perjalanan  menggunakan  kereta  api,  benua  Eropa  nomor  satu.  Di  sini,  untuk  mengililingi Eropa,  kalian  cukup  menumpang  kereta  lintas  negara.  Kabin  kereta  yang  nyaman,  bisa sekalian jadi hotel tempat beristirahat. Semuanya amat memadai. Tanpa perlu repot melewati pemeriksaan  paspor  dan  visa  setiap  kali  melintasi  perbatasan.  Ke  sanalah,  Ikanuri  dan Wibisana terburu-buru. Mengejar kereta malam.
"Dipukul Kak Laisa berkali-kali? Maksudmu?"  Ikanuri  balik  bertanya,  sedikit  bingung  dengan  kalimat  kakaknya  barusan.  Wajahnya  masih tegang sejak dari bandara tadi. Wibisana tertawa kecil, berusaha lebih santai, 
"Kau sudah tiga kali memaki setengah jam terakhir, bukan? Kalau sampai Kak Laisa tahu, itu berarti sembilan kali pukulan sapu lidi —" Ikanuri nyengir. Mengerti kalau Wibisana sedang bergurau  soal  masa  kecil  dulu.  Terus  melangkah.  Mereka  akhirnya  tiba  di  depan  pintu gerbong kereta. Lampu peron berpendar-pendar menawan.
"Tiketnya, Senior—" Wibisana menyerahkan tiket ke penjaga.
"Paspor dan Visanya, Senior—" Ikanuri   menarik   travel-binder.   Tidak   banyak   cakap menyerahkan dokumen perjalanan, meski  tadi  sebenarnya  di  pintu  gerbang  stasiun  juga  sudah  diperlihatkan  kepada  petugas imigrasi.
"Indonesia, Senior? Ah, saya tahu Pulau Bali. Cantik, bukan?" Wibisana dan Ikanuri mengangguk. Malas bicara.
"Jika  sempat  suatu  saat  saya  hendak  ke  sana,  berlibur,  menghabiskan  masa  pensiun....  Wah, kalian  jauh-jauh  dari  Indonesia,  tapi  tidak  untuk  menyaksikan  pertandingan  final  Liga Champion  Juventus-Manchester United, Senior?" Penjaga itu berbasa-basi. Ikanuri kali ini benar-benar menggeleng tidak peduli.
"Ah  saya  mengerti,  tim  sepakbola  negara  Anda  tidak  terlalu  bagus,  tidak  menarik  untuk ditonton, tapi di sini beda, senior...."  Ikanuri mendesis sebal; buruan periksa tiketnya.
"Selamat  menikmati Eurostar, Senior. Semoga nyaman. Asal kalian tahu, gara-gara final  itu, malam  ini  kami  hanya  punya  tujuh  penumpang….  Kecuali  jadwal  kereta  setelah  selesai pertandingan; nah yang itu baru full-booked!" Penjaga itu tertawa lebar, mengembalikan tiket ke Wibisana.
Pintu otomatis kereta berdesis terbuka nyaris tanpa suara. Ikanuri dan  Wibisana tak terlalu  mendengarkan tawa riang penjaga  itu, sudah  membawa koper masuk. Melangkah di sepanjang lorong. Mencari nomor kabin mereka. Melihat interior kereta,  mereka  segera  menyadari,  setidaknya  kereta  ini  lebih  dari  cukup  untuk  beristirahat setelah  penerbangan  belasan  jam.  Menurut  gadis  penjaga  counter  tadi,  butuh  waktu setidaknya  dua  belas  jam  untuk  tiba  di  Paris,  Perancis.  Melewati  setidaknya  dua  ibukota negara-negara  eksotis  Eropa.  Andai  saja  situasinya  lebih  baik,  mungkin  ini  bisa  jadi perjalanan  hebat,  bisa  menjadi  trip  perayaan  atas  suksesnya  kesepakatan  bisnis  dengan produsen mobil balap itu.
Ikanuri  menghela  nafas,  teringat  telepon  yang  terputus  barusan,  pelan  melemparkan kopernya  ke  kursi.  Wibisana  menutup  pintu  kabin.  Juga  memikirkan  hal  yang  sama.  Tapi lupakan! Lupakan soal pertemuan di Piaza de Palozzo besok pagi. Lupakan soal kesepakatan bisnis  itu,  meski  mereka  butuh  bertahun-tahun  untuk  mendapatkan  kesempatan  tersebut.  Itu bisa  diurus  nanti-nanti,  jika  masih  sempat.  Jika  produsen  itu  belum  keburu  memilih  partner bisnis dari China. Pulang segera ke Lembah Lahambay jauh lebih penting. Itu benar-benar jauh lebih penting.
ANAK KECIL berumur dua belas tahun itu sedang sibuk menyusun balok-balok   bambu   di pinggir  sungai  yang  mengalir  deras.  Mukanya  serius.  Mulutnya  sedikit  terbuka.  Kepalanya terus  berpikir.  Sekali,  dua  kali,  tiga  kali,  berkali-kali,  dia  menyusun  ulang  balok-balok  itu. Jatuh,  disusun  kembali.  Gesit.  Terampil  tangannya  mengikatkan  tali  rotan.  Memukul  ujung bambu  dengan  batu  agar  melesak  lebih  dalam  ke  tepi  sungai.  Cahaya  matahari  pagi  yang meninggi menyinari Wajahnya. Herhenti  sejenak.  Menyeka  keringat.  Lantas  beranjak  ke  tepi  sungai.  Mengambil  kincir yang  tersandar  di  cadas  batu  setinggi  lima  meter.  Kincir  dari  batang  bambu  itu  benar-benar seadanya.  Jauh  dari  kokoh.  Tapi  itulah  usaha  terbaiknya.  Sudah  seminggu  terakhir  dia sembunyi-sembunyi  membuatnya.  Selepas  pulang  sekolah.  Selepas  membantu  Mamak Lainuri dan Kak Laisa di ladang. Kapan saja ada waktu luang. Dia akan berlari ke tubir cadas sungai. Mengerjakan proyek rahasianya jadi bagaimanalah akan kokoh dan baik bentuknya. Kakinya  sedikit  bergetar  membawa  kincir  yang  lumayan  besar  untuk  anak  dua  belas tahun seumurannya. Arus air sungai yang deras membuatnya semakin sulit melangkah. Hati-hati kincir itu diletakkan di atas susunan balok bambu. Anak itu menghela nafas lega. Tinggal memperbaiki  posisinya.  Akhirnya  satu  kincir  terpasang  sudah.  Celananya  basah.  Bajunya juga  basah.  Sedikit  belepotan  tanah  liat  cadas  sungai.  Dia  melangkah  ke  pinggir  sungai. Tersenyum senang melihat pekerjaannya. Kincir itu mulai bergerak pelan mengikuti arus air. Dan  bumbung  kosong  bambu  yang  dibuat  sedemikian  rupa  mulai  berputar,  mengalirkan  air sungai  ke  atas.  Tumpah  saat  tiba  di  putaran  tertingginya.  Berhasil!  Anak  kecil  itu menyeringai  lebar.  Masih  perlu  setidaknya  empat  kincir  lagi  hingga  akhirnya  tiba  di  atas cadas sana, pagi ini dia harus menyelesaikan dua di antaranya. Dengan demikian, setidaknya dia  bisa  membuktikan air-air  ini  bisa dibawa ke atas dengan  lima kincir  bersambung. Bukan dengan  kincir  raksasa  yang  selama  ini  selalu  dianggap  solusi  terbaiknya.  Dia  beranjak memasang pondasi balok-balok bambu berikutnya di dinding cadas. Kali  ini  jauh  lebih  sulit.  Cadas  itu  keras  untuk  dihantam  meski  dengan  ujung  bambu runcing  sekalipun.  Berkali-kali  ujung  bambunya  penyok.  Terpaksa  dipampas  lagi  dengan golok.  Setengah  jam  berlalu,  pondasi  sederhana  di  dinding  cadas  sungai  itu  akhirnya  jadi. Kali  ini  benar-benar  lebih  sulit  memasangkan  kincir  kedua  yang  tersandar  di  dinding  cadas. Berat.  Tidak  mudah  mengangkatnya.  Tidak  kehabisan  akal,  anak  kecil  itu  mengambil  tali rotan  yang  telah  disiapkannya.  Menyangkutkan  ujung-ujungnya  di  salah  satu  pohon  besar lima meter di atas cadas. Lantas pelan-pelan menarik kincir itu ke atas. Matahari  sudah  benar-benar  tinggi  ketika  ia  berhasil  meletakkan  kincir  itu  di  pondasi dinding  cadas.  Bajunya  penuh  oleh  licak  lumpur.  Berhenti  sejenak.  Sekali  lagi  tersenyum riang  melihat  pekerjaannya.  Lantas  melangkah  ke  sungai  yang  mengalir  jernih.  Berusaha membersihkan muka dan tubuh yang kotor. Saat itulah, saat dia sekalian menyelam di sungai sedalam pinggang  itu, saat asyik  menikmati sejuknya arus deras  sungai, terdengar gemerisik dedaunan diinjak dari jalan setapak mulut rimba. Mengangkat kepala.
"DALIMUNTE! APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?" 
Tanpa tedeng aling-aling teriakan itu meluncur, menyergap. Dalimunte,  nama  anak  kecil  berumur  dua  belas  tahun  itu  seketika  gagap.  Kak  Laisa bersama  Yashinta,  muncul  dari  gerbang  jalan  setapak  hutan  belantara,  turun  ke  anak  sungai yang mengalir deras.
"BUKANNYA kau seharusnya ada di sekolah, Dali? Apa yang kau lakukan di sini?"  Kak  Laisa  mendesis galak,  melangkah  mendekat. Seram  benar  melihat tampangnya. Bahkan Yashinta  yang  sepanjang  perjalanan  pulang  tadi  hatinya  berbunga-bunga,  ikut-ikutan  takut mendengar seruan Kuk Laisa. Berdiri mengkerut di belakang Kak Laisa.
"Ee,ee, Dalimunte sakit, Kak!" Anak lelaki itu menyeringai, terdesak, sembarang mengarang. Meniru kelakuan dua adik  lelakinya  yang  memang jago ngarang kalau sudah ketahuan salah begini.
"BOHONG! Sakit apa?" Kak Laisa melotot. Semakin dekat.
"Errgh, pilek...."
"Bagus sekali! Pilek, pilek tapi kau main air!"  Kak Laisa menukas tajam, tangkas menyambar ranting yang kebetulan hanyut di dekat kaki-kaki mereka, dan tentu saja ranting itu gunanya buat menunjuk-nunjuk dada Dalimunte.
"Sejak kapan kau berani bolos sekolah, hah?"  Kak Laisa menghardik.
Dalimunte  mencicit  Aduh,  dia  pikir  Kak  Laisa  dan  Yashinta  bakal  lama  lihat  berang-berangnya.  Dia  pikir  akan  cukup  waktu  mengerjakan  kincir-kincir  ini  sebelum  Kak  Laisa kembali.  Ternyata  perhitungannya  keliru.  Dia  memang  sudah  tak  sabar  menunggu  waktu senggang  menyelesaikan  pekerjaan  yang  sudah  direncanakan  dan  dikerjakannya  berbulan-bulan.  Mumpung  Kak  Laisa  pagi  ini  tidak  ada  di  rumah  untuk  mengawasi.  Makanya memutuskan  bolos  sekolah.  Selama  ini  sedikitpun  tidak  tersedia  waktu  yang  cukup  untuk menyelesaikan kincir-kincirnya. Lepas sekolah dia langsung keladang. Hari ahad juga begitu, sepanjang hari harus ke ladang. Padahal pertemuan di Balai Desa dilakukan besok pagi.
"Kalau kau bolos, berarti Ikanuri dan Wibisana juga bolos!"  Kak Laisa bertanya menyelidik, menusuk dadanya lebih keras.
Dalimunte  meringis.  Soal  itu  tidak  usah  ditanya  lagi,  meski  ada  Kak  Laisa  sekalipun Ikanuri  dan  Wibisana  rajin  bolos,  apalagi  jika  Kak  Laisa  tidak  ada.  Lebih  berani  melawan. Tadi pagi sih mereka bertiga pamitan ke Mamak, memakai seragam, menuju sekolah di desa atas. Tapi  baru  tiba  di  pertigaan  jalan  bebatuan  selebar  tiga  meter  itu,  Ikanuri  dan  Wibisana sudah kabur duluan, naik starwagoon tua yang kebetulan lewat ke kota kecamatan. Dalimunte sebenamya jauh lebih nurut. Dia meski terkadang bosan sekolah, tapi tidak pernah membolos. Tadi  pagi  saja,  butuh  waktu  sepuluh  menit  di  pertigaan  itu  hingga  akhirnya  dia  berani memutuskan untuk ikut membolos. Menyelesaikan kincir airnya.
"Apa yang kau kerjakan di sini? JAWAB!"  Kak Laisa menghardik  lagi. Lebih kencang. Mengkal karena yang diteriaki sejak tadi malah menunduk bengong. Dalimunte hanya diam.  Menelan ludah. Tetap menunduk.
"APA YANG KAU KERJAKAN DI SINI?" Dalimunte membisu.
"KAU  ANAK  LELAKI  DALIMUNTE!  Anak  lelaki  harus  sekolah.  Akan  jadi  apa  kau  jika tidak  sekolah?  Pencari  kumbang  di  hutan  sana  seperti  orang  lain  di  kampung  ini?  Penyadap damar?  Kau  mau  menghabiskan  seluruh  masa  depanmu  di  kampung  ini?  Setiap  tahun berladang  dan  berharap  hujan  turun  teratur?  Setiap  tahun  berladang  hanya  untuk  cukup makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?"
Yashinta  yang  berdiri  di  belakang  Kak  Laisa  ikut  tertunduk.  Hilang  sudah  semua kesenangannya  setelah  melihat  anak  berang-berang.  Yashinta  memainkan  caping anyamannya  pelan-pelan.  Menggigit  bibir.  Kalau  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  yang dimarahi,  Yashinta  tidak  terlalu  sedih.  Mereka  memang  bandel.  Tapi  kalau  Kak  Dalimunte yang dimarahi?  Kan,  Kak Dalimunte selalu  baik. Membantu Mamak. Membantu Kak Laisa. Suka  membuatkan  Yashinta  mainan.  Yashinta  ingin  menyela,  membujuk  Kak  Laisa  agar berhenti, tapi melihat muka Kak Laisa yang merah padam macam kumbang membuat niatnya urung.
"Kau  tahu!  Mamak  setiap  hari  ke  ladang!  Setiap  sore  ke  hutan  mencari  damar! Mengumpulkan  uang  sepeser  demi  sepeser  agar  kalian  bisa  sekolah!  Lantas  apa  yang  kau berikan sebagai rasa terima kasih? BOLOS SEKOLAH!! BERMAIN AIR??" Dalimunte  tertunduk  dalam-dalam.  Menyeka  matanya  yang  tiba-tiba  panas,  berair.  Dali tidak sedang bermain air, Kak Lais. Sungguh —
"KAU  BENAR-BENAR  TIDAK  TAHU  MALU!  MAU  JADI  APA  KAU  KALAU  BESAR NANTI??"
Tidak.  Kak  Lais  keliru.  Dali  mengerti  benar.  Mamak  sudah  bekerja  keras  demi  mereka. Mengerti benar Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kanak-kanak dan remajanya agar bisa membantu  Mamak  setiap  hari  tanpa  lelah  demi  adik-adiknya  sekolah.  Dalimunte  menyeka matanya. Menangis, rusukan ranting  Kak Laisa di dada terasa sakit sekali, tapi  hatinya  lebih sakit  lagi.  Sungguh  dia  tidak  bolos  demi  sesuatu  yang  percuma.  Dia  tidak  sedang  main  air. Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
"KAU DENGAR KATAKU?!" Dalimunte terisak, mengangguk.
"PULANG!  PULANG  SANA!!"  Kak  Laisa  keras  memukul  lengan  Dalimunte  dengan ranting. Yang dipukul menyeka hidungnya yang kedat. Sakit. Tangannya terasa pedas, perih. Tapi hatinya tertusuk lebih sakit. Dia tahu. Tentu saja dia tahu, Dalimunte melangkah pelan, menyusuri inang sungai.
Kak  Laisa  sekarang  menatap  tajam  Yashinta.  Tanpa  perlu  di  teriaki  dua  kali,  Yashinta buru-buru  melangkah,  mengikuti  Dalimunte  dari  belakang.  Menuju  tepi  sungai.  Menaiki tangga  dari  kayu  setinggi  lima  meter  itu.  Kampung  mereka  terpisah  dari  hutan  oleh  cadas setinggi  lima  meter  itu. Tiba di  hamparan semak  belukar,  berjalan tiga ratus  meter  lagi  baru akan  tiba  di  perkampungan.  Atap  seng  yang  sudah  karatan  dari  rumah-rumaah  panggung penduduk  terlihat  berbaris.  Seadanya.  Yang  paling  ujung,  yang  paling  tua,  dan  yang  paling kecil, itulah rumah mereka.
"Sakit, Kak?"  Yashinta  yang  berjalan  dibelakang  Dalimunte  berbisik  pelan,  berusaha  mensejajari  langkah kakaknya. Kak Laisa berjalan sepuluh meter di belakang mereka. Masih mengawasi galak. Dalimunte hanya mengangguk. Matahari semakin terik. Dikejauhan suara elang mengitari rimba terdengar gagah. Satu bunga rumput terbang, hinggap di dahi Yashinta.
"Nanti Yashinta kasih minyak urut—"  Yashinta berbisik pelan, mengambil bunga rumput di dahinya. Dalimunte mengangguk lagi. Senyap.  Angin  lembah  membuat  ujung-ujung  semak  bergoyang.  Terasa  menyenangkan. Caping anyaman Yashinta bergerak-gerak.
"Anak berang-berangnya ketemu?" Dalimunte bertanya pelan. Giliran Yashinta yang mengangguk.
"Lucu?" Yashinta mengangkat dua jempolnya, 
"Top banget, deh!" Dalimunte  tersenyum  tipis,  meski  kemudian  meringis  lagi,  lengannya  yang  tadi  dipukul terasa perih. Mereka terus berjalan  menyusuri  jalan setapak, tanpa bercakap-cakap  lagi.  Kak laisa terus melotot di belakang.
Matahari hampir tiba di puncaknya. Terik membakar lembah. Ah,  meski  belum  satupun  yang  menyadarinya,  hari  ini  garis  kehidupan  masa  depan mereka  yang  cemerlang  sudah  dimulai.  Hari  ini,  garis  kehidupan  sederhana  dan  apa  adanya milik  mereka  mulai  menjejak  masa-masa  depan  yang  gemilang.  Anak-anak  terbaik  dari Lembah Lahambay. Anak-anak yang mengukir indahnya perjuangan hidup, Yashinta dengan berang-berangnya,  Dalimunte  dengan  kincr  airnya.  Ikanuri  dan  Wibisana,  entah  dengan apanya. Dan Kak Laisa dengan segala pengorbanannya.
Lihatlah,  meski  Dalimunte  tidak  sempat  menyaksikannya  sendiri,  kincir  airnya  ternyata sempurna  bekerja.  Air  itu  perlahan  bergerak  naik.  Dari  kincir  pertama.  Naik  terus  ke  atas, berputar  seiring  arus  air  sungai  memutarnya.  Tumpah.  Langsung  disambar  kincir  air  yang kedua.  Kincir  air  yang  kedua  itu  lantas  bergerak  pelan.  Berkereketan.  Pondasinya  bergetar. Tapi pelan mulai berputar, air itu naik lagi, berputar terus. Tumpah.... Masih butuh tiga kincir air lainnya di cadas itu.

"Bi, kenapa Abi tiba-tiba jadi pendiam?" Intan menarik ujung kemeja Dalimunte, 
"Sakit gigi, yee?" Nyengir lebar. Dalimunte  mengusap  wajahnya.  Tersadarkan  dari  kenangan.  Menatap  keluar  jendela pesawat.  Hamparan  awan  menggumpal  putih  nremenuhi  sekeliling.  Mereka  berada  di ketinggian 30.000 kaki.
"Abi masih marah gara-gara hamster Intan, ya?" Dalimunte   perlahan   menggeleng,   lembut   mengusap kuncir rambut putrinya. Tersenyum. Tentu  saja  tidak.  Hamster  belang  itu  sekarang  pasti  mendekam  gelisah  di  ruang  kargo pesawat. Dulu, putrinya suka sekali  menyelundupkan  hamster dalam  saku  bajunya. Lolos di pintu  pemeriksaan.  Maka  hebohlah  pesawat  itu  saat  hamster  belangnya  ternyata  menyelinap turun, lantas  masuk ke salah satu kotak makanan  yang dibawa pramugari untuk penumpang. Loncat. Berlarian di dalam pesawat yang sedang terbang persis di atas lautan.
"Kamu sekarang bawa gelang karetnya, sayang?"  Dalimunte  merubah  posisi  duduknya,  bertanya  lembut.  Ah,  seharusnya  dia  bisa  lebih  rileks sekarang, mereka sudah duduk nyaman di atas pesawat.
"Bawa. Memangnya kenapa, Bi?"
"Abi minta satu lagi—" Intan  tertawa,  mengambil  tas  sekolah  di  bawah  kakinya,  mengeluarkan  satu  gelang. Menjulurkan gelang itu. Dalimunte hendak mengambil dari tangan putrinya. Tapi Intan tidak melepaskan gelangnya.
"Abi bayar dulu lima ribu!" Dalimunte tertawa kecil, mengeduk saku celananya, kosong.
"Minta sama, Ummi!" Ummi ikut tertawa, mengeluarkan tas tangannya.
Seharusnya  perjalanan  ini  menyenangkan.  Mereka  hampir  setiap  dua  bulan  sekali berkunjung  ke  perkebunan  strawberry  Mamak  Lainuri.  Dan  itu  selalu  menjadi  perjalanan yang menyenangkan. Berkumpul bersama yang lain. Apalagi Intan, menikmati benar menjadi kakak-kakak  bagi  Juwita  dan  Delima  (maksudnya  menikmati  merintah-merintah  mereka). Menikmati  masakan  Wak  Laisa.  Berjalan  keliling  kebun  bersama  Eyang  Lainuri,  atau  yang lebih seru Iagi, ikut Tante Yashinta melihat berang-berang di pagi buta.
Tadi  mereka  amat  terlambat  datang  di  bandara.  Seharusnya  pesawat  itu  sudah  take-off lima  belas  menit  lalu.  Tapi  kolega  peneliti  Dalimunte  yang  mengerti  situasinya  berbaik  hati menelepon kantor pusat maskapai penerbangan tersebut dari lab. Hari ini, pakar fisika ngetop seperti Profesor Dalimunte sudah seperti selebritis saja, apalagi salah satu petinggi maskapai itu  sama  persis  dengan  Headmaster  Miss  Elly,  fans  berat  Profesor  Dalimunte,  maka  mereka berbaik  hati  menunda  penerbangan.  Toh,  penumpang  lain  tidak  berkeberatan  setelah  tahu yang naik ke pesawat terakhir adalah Profesor Dalimunte.
"Eh,  Ummi  sudah  telepon  Eyang  Lainuri  kalau  kita  mau  datang?  Biar  Eyang  masak  yang banyak. Masakan kesukaan Intan: rebung bakar!"  Intan nyengir.  Teringat sesuatu. Ummi tersenyum simpul, bagi putrinya kunjungan ini mungkin tidak jauh berbeda dengan kunjungan-kunjungan sebelumnya. Mengangguk.
"Tapi mengapa mendadak benar, Mi?" 
"Mendadak apanya?"
"Kita  pulang!  Kenapa  mendadak  benar?  Orang  kalau  mau  hujan  saja  ada  guntur-geledeknya..."
"Wak Laisa sakit, sayang—"  Dalimunte yang menjawab, setelah menghela nafas. Cepat atau lambat Intan akan tahu.
"Sakit? Mana bisa Wak Laisa sakit?"  Mata Intan membesar, sedikit pun tidak percaya. Kan, Wak Laisa tuh terlihat tambun. Gemuk meski  gempal.  Mana  bisa  sakit?  Lah,  Abi  saja  tidak  kuat  gendong  Intan  naik  tangga  kayu cadas sungai. Hanya Wak Laisa yang kuat gendong. Jadi mana bisa sakit?
"Bukannya sebulan lalu Wak Laisa sehat walafiat, Bi?"  Intan menggaruk rambutnya. Sok berpikir. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja. Dalimunte menatap datar wajah putrinya yang amat ingin tahu. Itulah yang Abi juga tidak mengerti,  sayang.  Sebulan  lalu  Wak  Laisa  memang  terlihat  sehat.  Hanya  sedikit  pucat.  Soal pucat, sudah sejak dulu Kak Laisa memang sedikit pucat. Tapi ia masih sibuk bekerja. Sibuk dengan  keseharian.  Tidak  pernah  mengeluh,  bahkan  sejak  mereka  masih  kecil  dulu.  Tidak pernah  sakit.  Kak  Laisa  selalu  sigap  dan  disiplin  menghadapi  rutinitasnya.  Jadi  mana mungkin  Kak  Laisa  sakit?  Tapi  SMS  dari  Mamak  Lainuri  pasti  serius.  Benar-benar  serius. Dalimunte menelan ludah, mengusap lembut rambut putrinya. Dokter  bilang  mungkin  minggu  depan,  mungkin  besok  pagi,  boleh  jadi  pula  nanti malam....  Bagaimana mungkin kalimat itu tidak serius?
ANGIN MALAM bertiup lembut. Menyelisik sela-sela dinding anyaman bambu. Malam  beranjak  datang.  Rumah  panggung  kecil  itu  akhirnya  lengang,  setelah  sejak maghrib tadi terdengar riuh oleh hardikan-hardikan. Hanya suara burung hantu dari kejauhan yang menghias malam, ditingkahi derik jangkrik bernyanyi. Langit terlihat cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasinya. Di sana ada Taurus, ada Pisces, ada Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi yang tidak memiliki nama. Tadi siang, hingga sore benar-benar ribut. Kak  Laisa  setiba  di  rumah  panggung  langsung  menyiapkan  bekal  makanan  seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte —yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi,  menunggu rumah. Ia belum pernah diajak-ajak ke  ladang…  Kata  Mamak  ia  masih  terlalu  kecil.  Ladang  itu  tidak  jauh  hanya  satu  kilo  dari kampung.  Seperti  tetangga  lainnya,  Mamak  bertanam  padi.  Musim  ini  kabar  baik,  hujan datang  teratur.  Maksudnya,  saat  nugal  (masa  tanam)  hujan  turun,  saat  akan  panen  seperti sekarang, hujan justru berkurang. Kalau sebaliknya, bisa celaka. Bisa urung tanam, atau gagal panen karena busuk. Menjelang  ashar  Mamak  Lainuri,  Kak  Laisa  dan  Kak  Dalimunte  pulang.  Biasanya Mamak  langsung  ke  hutan,  menghabiskan  dua  jam  sebelum  maghrib  mencari  damar,  rotan, atau apalah. Tapi hari ini tidak. Mamak sudah mendapatkan laporan Kak Laisa soal kejadian tadi  siang,  jadi  wajah  Mamak  terlihat  marah  sepanjang  sore.  Mamak  sebenarnya  tidak  suka marah.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Melotot,  dan  anak-anaknya  langsung  mengerti. Bagaimanalah  Mamak  akan  sempat  marah?  Mamak  sudah  terlanjur  lelah  dengan  jadwal harian. Bangun jam empat shubuh, menanak nasi, membuat gula aren, menyiapkan keperluan ladang.  Lantas  berangkat  ke  ladang.  Nanti,  baru  lepas  isya,  setelah  anak-anaknya  tidur  baru bisa istirahat. Itupun setelah menyelesaikan anyaman, rajutan atau apalah. Tapi sore ini Mamak tidak dapat menahan marah. Bukan karena Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana  sekaligus  bolos  sekolah,  kasus  bolos  itu  sudah  biasa.  Sudah  bebal  dua  sigung  itu diceramahi Tetapi lebih karena baru selepas maghrib Ikanuri dan Wibisana pulang ke rumah. Selama ini, meski suka bolos, Ikanuri dan Wibisana paling hanya bermain-main ke manalah. Pulang  sebelum  lembah  gelap.  Tapi  apa  yang  dilakukan  mereka  seharian  ini?  Mereka  baru pulang  setelah  yang  lain  selesai  shalat  maghrib.  Ikanuri  dan  Wibisana,  berani  sekali  ikut menumpang  mobil  starwagoon  tua  ke  kota  kecamatan,  membantu  tauke  desa  atas  menjual sayur-mayur di sana. Mereka  pulang  sambil  tersenyum  lebar  membawa  bungkusan  dari  kota,  upah  kerja seharian,  tapi  Mamak  tidak  peduli.  Terlanjur  marah.  Maka  kena  omellah  Ikanuri  dan Wibisana.  Tentang  mau  jadi  apa  mereka?  Sekolah!  Sekolah  jauh  lebih  penting  daripada bekerja. Kalian tidak akan jadi apa-apa kalau bodoh sepertiMamak! Kalian pikir hidup susah itu  menyenangkan?  Hanya  karena  menyadari  adzan  isya  akan  segera  berkumandang  dari suraulah omelan Mamak akhirnya terhenti. Menyuruh mereka ambil wudhu. Shalat maghrib! lantas  makan  bersama  di  hamparan  tikar.  Lebih  banyak  berdiam  diri.  Padahal  Kak  Laisa masak ikan asap. Menu yang terhitung istimewa buat keluarga miskin mereka. Tapi itu tidak cukup membantu suasana. Lepas isya, setelah Dalimunte mengajak Ikanuri dan Wibisana shalat di surau; dan kali ini dua  sigung  nakal  itu  menurut  barulah  ruang  tengah  rumah  panggung  itu  terasa  lebih  lega. Lampu  canting  besar  di  dinding  kerlap-kerlip.  Ikanuri  dan  Wibisana  belajar  di  atas  tikar pandan. Membaca, entah benaran membaca atau hanya pura-pura agar tidak kena marah lagi. Mereka sekali dua saling  berbisik pelan, 
"...iya, itu katanya jalan pintas menuju kota kecamatan..." 
"...aku dengar dari pemburu harimau di kota kecamatan tadi...".  Terdiam saat Mamak menoleh. 
"...lewat jalan itu lebih cepat..."
Yashinta  asyik  menggambar  berang-berangnya  tadi  pagi.  Dalimunte  entah  mengerjakan apa dengan kertas-kertas besar diujung tikar satunya. Kak Laisa dan Mamak duduk di sebelah Yashinta, menganyam topi pesanan. Malam beranjak matang.
"Eh, Kak Lais, Yashinta nanti boleh sekolah, kan?"  Yashinta  mendadak  menghentikan  gerakan  tangannya,  menoleh  ke  Kak  Laisa.  Ia  teringat kata-kata Kak Laisa tadi siang di sungai bawah cadas.
"Apa?" Kak Laisa yang sibuk dengan anyaman bertanya balik,
"Eh, nanti Yashinta boleh sekolah, kan?" Yashinta  bertanya  sekali  lagi,  ragu-ragu.  Ah,  kalau  ia  sekolah,  Mamak  dan  Kak  Laisa  pasti lebih repot lagi mencari uangnya.
"Sekolah! Lepas panen ladang musim ini Yashinta masuk sekolah!"  Mamak Lainuri yang menjawab. Beneran? Yashinta menyeringai. Matanya membulat. Mamak mengangguk selintas, tetap konsentrasi  menganyam.  Yashinta  sudah  tersenyum  riang.  Tadi  kan,  Kak  Laisa  bilang  anak lelaki  harus  sekolah.  Kalau  anak  perempuan?  Lihat,  Kak  Laisa  kan  anak  perempuan. Makanya  ia  tidak  sekolah.  Yashinta  berpikiran  pendek.  Jadi  dipikirkan  sepanjang  hari.  Ia tidak tahu kalau sebenarnya Kak Laisa yang memutuskan mengalah untuk tidak sekolah agar adik-adiknya bisa sekolah. Asyik, asyik, ternyata ia juga akan sekolah. Biasanya, kalau bicara soal sekolah begini, Ikanuri dan Wibisana otomatis akan nyeletuk sama seperti tadi pagi, 
"Memangnya asyik sekolah?"  Tapi karena  mereka  berdua  malam  ini  lagi  alim,  mereka  hanya  sibuk  belajar,  berbisik-bisik. Meneruskan membaca buku.
"Kak Laisa, lihat gambar berang-berangnya, deh! Bagus, kan?"  Yashinta  menghentikan  gerakan  tangannya  lagi.  Menyeringai  sambil  menyodorkan  kertas gambarnya, Kak Laisa menoleh, menyimak. Tersenyum. Mengangguk. Yashinta menyeringai senang, kan  jarang-jarang  Kak  Laisa  tersenyum.  Mamak  Lainuri  juga  beranjak  mendekat  melihat gambar Yashinta. Ikut tersenyum. Yashinta  memang  berbakat  melukis. Meski  hanya dengan pensil,  gambarnya  tetap  bagus.  Lima  berang-berang  itu  terlihat  begitu  nyata.  Andai  saja  ia bisa membelikan putri bungsunya crayon  warna.  Mamak menghela nafas pelan, meneruskan menganyam. Sejak dulu Yashinta sudah minta dibelikan.
Ikanuri dan Wibisana juga melirik selintas, meski lantas sok serius kembali lagi ke buku. Dalimunte masih sibuk dengan kertas-kertasnya. Entah membuat apa. Sejurus,  Yashinta  menguap.  Beranjak  membereskan  pensil  dan  kertas  gambar.  Sudah hampir  pukul  21.00.  Saatnya  tidur.  Hanya  ada  satu  kamar  di  rumah  panggung  itu.  Mamak, Kak Laisa dan ia tidur di kamar, beralaskan kasur butut. Sementara, Dalimunte, Wibisana dan Ikanuri tidur di ruang tengah. Pakai tikar pandan dan sarung.
"Ah-iya, Ikanuri lupa —" 
Entah  kenapa  Ikanuri  tiba-tiba  bangkit  dari  belajarnya.  Semua  menoleh.  Langkah  Yashinta tertahan. Ikanuri mengambil bungkusan kecil dari kota kecamatan tadi. Lantas menyerahkannya ke Yashinta.
"Buat, Yashinta!"
" Apa-an?" Yashinta bertanya sambil menguap.
"Buka saja—"  Ikanuri nyengir. Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali,  membuka  ikatan kantung plastik kecil. Sekejap terdiam  memegang  kotak  berwarna  itu.  Seperti  tidak  percaya.  Satu  detik.  Dua  detik.  Lantas berseru senang sekali.
"CRAYON 12 WARNA—"  Yashinta tertawa lebar. Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya. 
"TERIMAKASIH, KAK!"  Ah,  malam  itu,  di  tengah  sejuknya  angin  malam  menilisik  lubang.-lubang  dinding.  Ditengah gemerlap sejuta bintang di angkasa sana. Malam itu, Mamak Lainuri setelah seharian bekerja,  setelah  sepanjang  malam  mengkal  melihat  ulah  anak  lelakinya,  akhirnya  bisa tersenyum lebar. Juga  Kak Laisa....
 "Abi, Tante Yashinta juga pulang, kan?"  Dalimunte  yang  mendorong  koper  sepanjang  lorong  garbarata  pesawat  mengangguk pelan. Ummi berjalan di belakang. Asyik.  Asyik.  Kalau  begitu  ia  bisa  lihat-lihat  kamera  keren  Tante  Yashinta.  Lihat-lihat foto yang  indah. Dulu waktu Intan  masih kecil, Tante Yashinta  yang suka  ngajarin  melukis. Makanya Intan suka dengan pelajaran itu di sekolah.
"Oom Ikanuri? Oom Wibisana juga pulang, Bi?"  Dalimunte  mengangguk  lagi.  Teringat  sesuatu.  Urusan  ini  benar-benar  membuatnya  tak sempat  berpikir  panjang.  Bagaimana  mungkin  dia  belum  menghubungi  mereka  satu  pun? Sejak menerima SMS di konferensi fisika. Itu berarti tiga jam berlalu, dan dia belum tahu apa yang  sedang  dilakukan  adik-adiknya.  Juga  kabar  Kak  Laisa  dan  Mamak  Lainuri  di perkebunan  strawberry.  Dalimunte  mengeluarkan  HP  dari  sakunya.  Antrian  penumpang keluar dari pintu garbarata membuat langkah terhenti. Menyalakan telepon genggam.
"Kalau begitu Delima dan Juwita juga datang.... Horee!"  Intan tertawa lebar. Meraba tasnya. Ia  bisa  memaksa  mereka  berdua  memakai empat gelang karet "Safe The Planet". Meski sedikit nyengir ketika kemudian membayangkan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Pasti mereka lagi-lagi suka jahil ngerjain Intan.
Dulu  pernah  hamster  belang  Intan  disembunyikan  di  tong  belakang  perkebunan.  Untung ada Wak Laisa yang belain. Perasaan Oom Ikanuri dan Oom Wibisana nurutnya hanya sama Wak Laisa, deh, Sekarang? Kata Abi tadi kan Wak Laisa lagi sakit. Jadi tidak ada yang belain Intan kalau lagi dikerjain Oom Ikanuri dan Oom Wibisana. Ah, Wak Laisa paling sakit perut atau mencret-mencret, tidak bakal serius ini. Masih bisa menemani Intan jalan-jalan di kebun strawberry. Intan sibuk mikir sambil memperhatikan Abi yang menunggu nada sambung. Orang dewasa tuh rumit, ya? Kenapa pula coba tampang Abi tegang begini sejak tadi dari sekolah. Cemas karena Wak Laisa sakit? Lah? Kan dikasih oralit, mencret Wak Laisa paling juga sudah sembuh. Intan jago kok bikin minuman itu.

PAGI BERIKUTNYA datang lagi. Wak  Burhan  mengumandangkan  adzan  shubuh.  Meski  sudah  sepuh,  suara  Wak  Burhan yang  tanpa  speaker  dari  surau  terdengar  menggema  di  perkampungan  bawah  Lembah Lahambay.  Dalimunte  terkantuk-kantuk  menarik  sarung  adik-adiknya.  Kerlip  lampu  canting semakin lemah, minyak tanahnya hampir habis.
"Bangun Ikanuri! Wibisana!"
Yang dibangunkan hanya  menggeliat  sebal.  Menarik bantal. Lantas menutupkannya   ke   kepala.  Dalimunte  menggosok-gosok  mata,  sedikit  terhuyung  berdiri.  Pagi  ini  penting baginya.  Sebenarnya  juga  bagi  seluruh  penduduk  kampung.      Seperti    kesepakatan    minggu  lalu,    bakal      ada  pertemuan  rutin  tahunan  di  balai  kampung.  Membicarakan  soal  panen ladang-ladang  mereka,  perbaikan  jalan  bebatuan  selebar  tiga  meter  itu,  perselisihan  antar tetangga  (jika  ada),  perambah  hutan  dari  luar  lembah  yang  semakin  sering  masuk,    hal-hal kecil.  Dulu,  waktu  Babak  masih  ada,  Babak-lah  jadi  wakil  di  pertemuan,  mereka  bersama-sama datang ke balai kampung. Asyik menyimak pembicaraan. Dalimunte  menguap sekali  lagi,  melangkah  mengambil kopiah. Mamak sejak  jam empat tadi  sudah  sibuk  di  dapur,  masak  air  enau,  Ditemani  Kak  Laisa.  Brr...  dingin.  Musim kemarau,  dinginnya  semakin  terasa  menusuk  tulang.  Tapi  Dalimunte  semangat  shalat  di surau. Teringat ada hal penting yang harus dikerjakannya hari ini. Itulah kenapa kemarin dia nekad bolos, dia ingin melakukannya sendiri sebelum pertemuan kampung dilakukan.
Suara  kokok  ayam  hutan  terdengar  dari  kejauhan.  Juga  lenguh  pagi  uwa.  Beberapa tetangga  membawa  obor  bambu  menuju  surau.  Jalanan  kampung  masih  gelap.  Obor  itu sekalian  juga  penerangan  di  surau.  Tidak  banyak  peserta  shalat  shubuh,  paling  berbilang enam-tujuh orang. Dan satu-satunya peserta anak kecil, ya, Dalimunte. Sekembali  dari  surau,  Ikanuri  dan  Wibisana  masih  tertidur,  saling  membelakangi punggung,  dengan  kaki-kaki  menyilang.  Dalimunte  nyengir  melihat  posisi  aneh  itu,  malas membangunkan lagi; menuju kertas-kertasnya yang ditumpuk di atas meja. Siapapun  di  lembah  itu  tahu  persis,  di  sekolah  Dalimunte  dikenal  sebagai  anak  yang paling pintar, meski sekolah ini benar-benar seadanya. Dan satu bakat besar milik Dalimunte (meski  untuk  yang  ini  tidak  semua  penduduk  lembah  tahu),  dia  suka  sekali  mengutak-atik sesuatu.  Diam-diam  melakukannya  di  sela-sela  membantu  Mamak  di  ladang,  Apa  saja. Menciptakan  alat-alat  yang  aneh.  Seperti  keranjang  aneh  penangkap  udang,  alat  panjang penyadap damar, dan sebagainya.
Ahad  pagi,  hari  ini  sekolah  libur.  Selepas  Kak  Laisa  meneriaki  Ikanuri  dan  Wibisana bangun  agar  shalat  shubuh,  sesudah  sarapan  nasi  goreng,  benar-benar  hanya  nasi  yang digoreng  plus  potongan  cabai  dan  bawang  merah,  mereka  beramai-ramai  berangkat  ke  balai kampung. Pertemuan rutin warga kampung.
"Kakak bawa apa, sih?"  Yashinta bertanya, melihat kertas-kertas yang dipegang Dalimunte.
"Biasa, penemu. Paling juga bawa peta harta karun—"  Ikanuri dan Wibisana nyengir. Tertawa menggoda. Mereka berdua selama ini juga suka jahil merusak kertas-kertas atau apa saja yang dikerjakan Dalimunte. Dalimunte tidak mempedulikan.
Balai  kampung  itu  sudah  ramai  saat  mereka  tiba.  Pertemuan  sengaja  dilakukan  sepagi mungkin,  biar  selepas  acara,  mereka  masih  sempat  bekerja  di  ladang.  Kursi-kursi  bambu berjejer rapi. Sudah disiapkan sejak semalam oleh pemuda kampung. Wak   Burhan,   sesepuh   kampung   berdehem,   setelah memastikan semua warga hadir, mengetukkan  palu  dari  bonggol  bambu,  segera  memulai  pertemuan.  Warga  kampung  diam memperhatikan.  Pertama,  mereka  membicarakan  soal  kesepakatan  lumbung  kampung. Berapa kaleng yang harus disetorkan setiap rumah untuk cadangan padi kampung. Per-kepala atau  per-hasil  panen.  Lima  belas  menit  penuh  seruan-seruan.  Usul-usul.  Kalimat-kalimat keberatan. Usul-usul lagi. Satu dua kalimat tidak penting. Satu dua usul lagi. Setuju. Beres. Mamak  Lainuri  menyeka  dahi.  Meski  lima  kaleng  itu  benar-benar  akan  mengurangi penghasilan  ladang  mereka  yang  tidak  luas,  cadangan  padi  selalu  penting.  Dua  tahun  silam saat  ladang  mereka  terkena  hama  belalang,  lumbung  kampung  memastikan  perut  anak-anaknya  tetap  kenyang.  Setidaknya  panen  kali  ini  semoga  masih  ada  sisa  buat  membeli seragam sekolah buat Yashinta.
Lebih  banyak  lagi  waktu  dihabiskan  untuk  membahas  soal  perambah  hutan  dari  daerah lain,  Seruan-seruan  marah  makin  ramai.  Memaki.  Mengancam.  Wak  Burhan,  yang  masih terhitung  saudara  Mamak  Lainuri  (dan  juga  warga  kampung  lainnya)  menengahi.  Sepakat melaporkan soal itu ke polisi hutan kota kecamatan. Separuh dari hutan di Lembah Lahambay itu  adalah  kawasan  taman  nasional.  Daerah  konservasi.  Hanya  lokasi-lokasi  tertentu  yang dibolehkan  diolah,  meski  penduduk  setempat  sendiri  kadang  juga  melanggarnya  dengan menangkapi  uwa, kukang, atau binatang dilindungi  lainnya. Tapi perlakuan perambah  hutan itu  memang  mencemaskan,  mereka  tega  membawa  senso  (gergaji  mesin)  besar,  dan  tanpa ampun mulai menebangi pohon-pohon raksasa. Perbaikan  jalan  bebatuan  tiga  meter  itu  diputuskan  hanya  dalam  hitungan  menit. Keputusannya  adalah:  Menunggu.  Menunggu  pemerintah  kota  berbaik  hati  sajalah.  Mereka sudah  terlalu  repot  dengan  kehidupan  sehari-hari  untuk  ditambahi  memperbaiki  jalan sepanjang  dua puluh  kilometer  itu.  Lagipula  desa-desa  sekitar  mereka  juga  menolak  memperbaikinya,  agar  perambah  hutan  tidak  semakin  sembarangan  masuk  membawa  truk-truk yang akan mengangkuti kayu gelondongan hasil jarahan. Membicarakan  perselisihan  batas  ladang,  sepakat  memberikan  tanda  baru  untuk  setiap batas  kebun.  Jadwal  pengajian  mingguan.  Gotong-royong  perbaikan  tangga  kayu  di  cadas setinggi  lima  meter  sungai.  Sumbangan  rutin  buat  acara  besar  (Maulid,  Isra  Mi'raj).  Dan beberapa masalah kecil lainnya.
"Masih ada yang ingin dibicarakan?"  Dua jam berlalu sejak tadi pagi, Wak Burhan sekarang menatap seluruh balai kampung. Lengang sejenak.
"Masih ada?"  Wak Burhan bertanya sekali lagi. Sepertinya  sudah  selesai.  Tidak  ada  lagi  yang  hendak  melaporkan  sesuatu.  Wak  Burhan tersenyum,  meraih  pentungan  dari  bongkol  bambu,  bersiap  menutup  pertemuan.  Saat  itulah, saat  penduduk  kampung  menggeliat  santai  karena  pertemuan  sudah  selesai,  saat  mereka beranjak  merapikan baju  yang terlipat, tiba-tiba Dalimunte mengangkat tangannya. Awalnya ragu-ragu, tapi karena sudah kadung, sudah sejak seminggu lalu meniatkan diri, maka sambil menggigit bibir, Dalimunte menaikkan tangannya lebih tinggi, Muka-muka tertoleh. Muka-muka bingung. Bukannya sudah selesai? Mamak  Lainuri  mengernyitkan  dahi.  Kak  Laisa  yang  merasa  ganjil,  menyikut  bahu Dalimunte  yang  duduk  di  sebelahnya.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  sejak  tadi  hanya  jahil tertawa-tawa saling berbisik menganggu dan sibuk berkomentar terhenti cengirannya. Hanya mata Yashinta yang membesar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, kau ingin menyampaikan sesuatu Dalimunte?"  Wak  Burhan  meletakkan  palu  bonggol  kayunya.  Tersenyum  tipis.  Itu  janggal  sekali, pertemuan tahunan  itu  meski diikuti oleh  seluruh  penduduk kampung, hanya pria dewasalah yang bicara. Sisanya menonton.
"Ergh, eee, iya Wak...."  Dalimunte menelan ludah, amat gugup dengan tatapan penduduk lainnya.
"Baik. Apa yang ingin kau sampaikan, Dalimunte?"   Wak Burhan tersenyum lebih lebar, mengeluarkan sirih dari mulut. Dia mengenal sekali anak Lainuri  yang  satu  ini.  Rajin  shalat  berjamaah  di  surau.  Masih  anak-anak.  Tapi  siapa  bilang dia  masih  anak  ingusan  umur  dua  belas  tahun.  Sejak  Babak  mereka  meninggal,  anak-anak Lainuri tumbuh berbeda dengan yang lain, tumbuh menjadi anak-anak yang bisa diandalkan.
"Ergh, sebentar—"  Dalimunte  dengan  tangan  sedikit  bergetar  membawa  kertas-kertasnya  ke  depan.  Saking gugupnya, beberapa kertas berjatuhan. Dalimunte patah-patah mengumpulkannya. Mamak  Lainuri  masih  mengernyitkan  dahi.  Kak  Laisa  menatap  lebih  bingung.  Buat  apa kertas-kertas itu? Penduduk lain menunggu.
"Ee, maaf kalau, maaf kalau—"  Dalimunte mengusap dahinya.
"Kau tidak perlu gugup begini, Dalimunte. Katakan sajalah. Kami akan mendengarkan!"  Wak Burhan mengangguk mantap padanya.
Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  Kak  Laisa,  menatap  Mamak  Lainuri.  Menatap Yashinta. Lantas sedikit tersenyum tanggung demi melihat wajah adiknya. Lihatlah, adiknya dengan  bola  mata  membulat  penuh  rasa  ingin  tahu  balas  menatapnya.  Ekspresi  yang  sama seperti  setiap  kali  Yashinta  diajak  melihat  anggrek  hutan  raksasa.  Atau  melihat  pohon  salak hutan. Atau melihat sigung berkejaran. Tidak. Yashinta sedikitpun tidak merasa ganjil dengan Dalimunte  yang  tiba-tiba  berdiri  di  tengah  balai  kampung.  Yashinta  hanya  ingin  tahu. Baiklah,  Dalimunte  menekuk  ibu  jari  kakinya,  ini  semua  mudah.  Tersenyum  penuh penghargaan sekali lagi ke arah Yashinta. Maka meluncurlah penjelasan itu.
"HALLO! HALLO! PROFESOR—"  Ikanuri  terdengar  berteriak  di  seberang  sana.  Meningkahi  berisiknya  suara  krsk  telepon genggam.
"Kau kemana saja, Dalimunte? Aku sejak sejam lalu berusaha menelepon. Hallo? Hallo? Ya, kau  dengar?  Aku  sejak  tadi  menelepon  kau.  Tidak  ada  sinyal,  Dali.  Sama  sekali  tidak  ada. Akhirnya  justru  kau  yang  menghubungi  sekarang.  Bah,  sejak  kapan  kau  mematikan  HP urusan keluarga?"
"Tadi di pesawat—"
"Apa? Hallo? Oo, pesawat. Kau sudah di mana?" Sinyal  sambungan  langsung  internasional  itu  payah,  putus-putus.  Dengan  jeda  waktu bicara lama pula. Jadi kalian bicara sekarang, baru tiga detik kemudian terdengar di seberang sana. Juga sebaliknya.
"Kami  persis  di  pegunungan  Alpen,  Swiss.  Ya  ampun,  ini  benar-benar  sialan  semua  urusan ini. Ada  longsor  yang  menimbun  jalan  kereta!  SWISS.  Kami  di  SWISS,  bukan  ITALIA, PROFESOR.  Hallo?  Hallo?  Tidak.  Kami  tidak  berangkat  dari  Roma.  Sepakbola  sialan  ini membuat  semua  penerbangan  dari  kota-kota  di  Italia  penuh  hingga  dua  hari  ke  depan. Terpaksa berangkat dari Paris. PARIS, bukan SWISS—" Suara gemuruh hujan terdengar dari latar suara Ikanuri.
"Tidak.  Tidak.  Kami  akan  terbang  dari  Paris,  Dalimunte.  Dengan  penerbangan  besok  pagi, jika semua tanah sialan ini berhasil dibersihkan. Di sini sedang hujan deras. Ada tebing yang longsor.  Tanahnya  memenuhi  jalanan  kereta.  Apa?  Sialan.  SUARANYA  PUTUS-PUTUS, DALIMUNTE!  APA?  Oo-Juwita,  Delima,  dan  Ummi  mereka  sudah  dalam  perjalanan  ke sana. Seharusnya dua-tiga jam lagi tiba di bandara. Kau sudah dijemput di bandara?"  Ikanuri entah untuk ke berapa kalinya memaki.
Sementara  di  sini,  sambil  menelepon,  Dalimunte  melangkah  cepat  menuju  lobi  depan bandara.  Mobil  jemputan  perkebunan  strawberry  sudah  menunggu  sejak  tiga  jam  lalu. Perjalanan  Jakarta  menuju  ibukota  provinsi  ini  hanya  butuh  satu  jam.  Tujuh  jam  berikutnya dihabiskan dengan perjalanan darat menuju Lembah Lahambay. Dulu itu menjadi perjalanan yang  menantang.  Terpaksa  tiga  kali  ganti  kendaraan.  Satu  kali  menumpang  bus  ke  kota kabupaten.  Satu  kali  lagi  menumpang  angkutan  pedesaan  terbuka  menuju  kota  kecamatan. Terakhir  naik  starwagoon  tua  itu  menuju  perkampungan.  Sekarang  tidak  lagi,  sejak perkebunan strawberry punya cabang pabrik pengalengan di kota provinsi, akses ke sana jauh lebih mudah.
"Apa? Hallo? YASHINTA? Aku tidak tahu, Dalimunte!"  Ikanuri berteriak, suara hujan semakin deras, 
"Aku  sudah  hampir  sepuluh  kali  menghubungi  telepon  genggam  satelit  Yashinta.  Tidak  ada sinyal.  APA?  HALLO?  TIDAK  TAHU!  Aku  tidak  tahu!  Tentu  saja  ia  baik-baik  saja, Dalimunte—" Kedua kakak-beradik  itu (satu di Italia, satu di sini)  mengernyit  berbarengan. Dalimunte melipat  dahinya  lebih  lebal,  terlihat  amat  cemas.  Dia  juga  sudah  tiga  kali  mengontak  HP Yashinta tadi. Sama. Sama sekali tidak ada sinyal.
"Mematikan  HP?  Tidak  mungkin  ia  sudah  di  pesawat,  bukan?  Apa?  Oo  Terakhir  aku ditelepon Yashinta tadi  malam. Ia  menginap di punggung  lereng Semeru.  Apa? Tentu tidak, Dalimunte. Kenapa pula kau persis seperti Mamak, mencemaskan hal-hal kecil. Anak itu dua kali  lebih  atletis  dibandingkan  Kak  Laisa,  apalagi  dibandingkan  kau!  DIA  AKAN  BAIK-BAIK SAJA, DALIMUNTE!" Pembicaraan itu terdiam sejenak. Kelu. Dalimunte menelan ludah mendengar nama Kak Laisa disebut Ikanuri.
"Kau sudah menelepon Mamak di kampung?"  Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya. Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan merasa ganjil setelah menyebut nama Kak Laisa.
"Baik.  Baik.  Jika  kau  tiba  tujuh  jam  lagi  bilang  Mamak,  aku  dan  Wibisana  akan  berusaha segera  tiba  di  sana,  Dalimunte.  Ya  ampun,  apa  yang  sering  kubilang  dulu?  Kau  seharusnya sudah  menemukan  alat  agar  kami  bisa  pindah  kemana  saja  dalam  sekejap,  Profesor.  Bukan hanya  mengurus  soal  bulan  yang terbelah,  itu kan sudah  jelas pasti  benar, Mamak dulu  juga sudah  bilang  itu  benar  dalam  cerita-ceritanya  lepas  Shubuh,  tak  perlu  kau  buktikan—" Ikanuri mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.
Lengang.  Dalimunte  mengusap  wajahnya  sekali  lagi.  Terdiam.  Bukan  karena  gurauan Ikanuri  soal  penelitiannya.  Wibisana  dan  Ikanuri  berdua  memang  sejak  kecil  kompak  sudah suka  mengganggu  'penelitian-penelitiannya'.  Menyembunyikan  alat-alatnya.  Dalimunte terdiam karena memikirkan sesuatu. Cemas.
"Abi, jadi naik nggak?"  Intan  berseru  memanggil  dari  dalam  mobil.  Putrinya  sudah  duduk  rapi  memeluk  si  belang. Sopir perkebunan strawberry juga sejak dari tadi menunggu. Dalimunte  menghela  nafas.  Ya  Allah,  bertambah  satu  lagi  hal  mencemaskan.  Yashinta! Kemana pula adik bungsunya itu? Ganjil sekali HP satelitnya tidak ada sinyal. Apa dia harus cek GPS (global positioning system) agar tahu posisi Yashinta? Tapi kalau HP satelitnya saja mati,  apalagi  GPS-nya.  Itu  satu  paket  dengan  gagdet  canggih  Yashinta.  Dalimunte  setelah menghela nafas untuk kesekian kalinya, beranjak menghempaskan pantat di jok mobil. Mengangguk, memberikan kode jalan ke sopir.
"MAKSUDMU, kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali?"  Salah  seorang  pemuda  bertanya,  memecah  lengang  setelah  Dalimunte  selesai  menunjukkan gambar-gambarnya. Dalimunte mengangguk mantap.
"Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?"  Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya. Dalimunte  mengangguk  sekali  lagi.  Bahkan  kincir-kincir  itu  bisa  sekalian  digunakan sebagai pembangkit listrik.
"Itu  lima  meter  tingginya,  Dalimunte!  Sebesar  apa  kincir  yang  harus  kita  buat  agar  bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."  Pemuda itu berseru sedikit putus-asa.
"Tidak besar. Tidak besar!"   Dalimunte   menjawab cepat. Setelah   lima   menit menjelaskan  kertas-kertasnya  dengan  terbata-bata,  meski  masih  gugup,  dia  jauh  lebih  tenang  sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"
"Mustahil!   Itu   tidak   mudah   dilakukan—"   Pemuda yang lainnya menimpali, memotong, 
"Bagaimana  kau  akan  memastikan  kincir-kincir  itu  bisa  bergerak  bersamaan?  Menyusunnya agar bisa sesuai satu sama lain? Memasangnya di cadas batu?"
"Ergh, dengan, dengan disusun secara tepat...."
"Secara tepat? Bah, secara tepat menurutmu itu apa. Kau tahu tidak ada yang sekolah hingga kelas enam di sini selain kau...."  Tertawa, beberapa penduduk menyeringai.
"Lantas bagaimana pula kau akan  memastikan air  itu bisa dialirkan  sejauh satu kilometer ke ladang-ladang kita?" Yang lain berseru. Bertanya.
"Dengan pipa-pipa—"
"Pipa-pipa? Itu pasti mahal membuatnya, Dalimunte! Belum lagi kayu-kayu. Pasak besi, Rel pemutar! Mana cukup uang kas kampung...."  Mengeluh.
"Tidak! Tidak mahal, hanya dengan pipa bambu—"
"Bambu? Omong-kosong! Kincir air itu tidak akan cukup kuat. Babak-babak kita dulu pernah membuatnya,"  Seruan-seruan sangsi terdengar. Balai kampung itu ramai kembali oleh seruan-seruan.
"Ergh, aku sudah membuat dua kemarin.... Sudah ada di sungai bawah cadas—"   Dalimunte  mencoba  meningkahi  keramaian  setelah  terdiam  sebentar,  dia  tidak  menyangka akan  ada  banyak  pertanyaan,  seruan  ragu-ragu  semacam  ini.  Sepanjang  pagi  tadi  dia  hanya memikirkan hanya bilang soat idenya. Sisanya terserah Wak Burhan. Ternyata —
"Kau sudah buat dua? Lantas apa kincirnya bekerja?"  Pemuda yang lain mendesak. Ingin tahu. Mata-mata serempak memandang ingin tahu. Dalimunte seketika terdiam. Dia tidak tahu itu. Mana sempat lihatnya, keburu disuruh pulang Kak Laisa. Jangan-jangan kincirnya malah roboh  duluan  tidak  cukup  kokoh  dihantam  arus  deras  sungai.  Dalimunte  mulai  ragu  dengan idenya. Menatap sekitar mencari dukungan. Wak Burhan hanya diam. Seruan-seruan semakin ramai terdengar.
Dalimunte  menelan  ludah.  Tertunduk.  Sia-sia.  Idenya  akan  mubazir.  Tidak  ada  yang menanggapinya  serius.  Persis  seperti  selama  ini,  penduduk  kampung  seolah  sudah  pasrah dengan  takdir  cadas  lima  meter  itu.  Mereka  toh  dulu  sudah  berkali-kali  membuat  kincir  air raksasa, dan tidak ada hasilnya. Dalimunte perlahan mengumpulkan kertas-kertas, tertunduk, menelan ludah.
"Tentu saja kincir-kincir itu bekerja!"  Seseorang  tiba-tiba  berseru.  Berseru  dengan  suara  lantang  sekali.  Membuat  dengung  lebah terdiam. Seketika. Dalimunte menoleh. Gerakan  tangannya terhenti. Dia kenal sekali intonasi suara itu.  Kak Laisa! Kak Laisa sudah berdiri dari duduknya. 
"Kita  bisa  melakukannya.  Apa  susahnya  membuat  kincir-kincir  itu.  Jika  Dalimunte  bisa membuat  dua  dengan  bambu  seadanya,  kita  bisa  membuatnya  yang  lebih  bagus,  lebih kokoh."  Kak Laisa berseru, melangkah ke depan.
Mata-mata  sekarang  memandang  Kak  Laisa.  Gadis  tanggung  berumur  enam  belas  tahun itu dengan berani justru 'galak' membalas tatapan penduduk lainnya yang jelas-jelas lebih tua dan  lebih  besar  darinya.  Kak  Laisa  terlihat  begitu  yakin  dengan  setiap  kalimatnya.  Sama sekali tidak terlihat gugup.
"Itu akan membuang-buang tenaga, Lais— "  Pemuda yang tadi menyahut, berusaha menurunkan intonasi suaranya.
"Tidak ada yang akan membuang-buang tenaga, Tidak ada, Jogar—"  Kak Laisa menukas cepat. Lebih galak.
"Siapa yang akan memastikannya akan berhasil, Lais? Kita dulu pernah membuat kincir besar itu. Dan percuma saja, terlalu besar, air sungai tidak cukup kuat untuk memutarnya, cadas itu terlalu tinggi!"  Salah satu orang tua memotong. Berusaha menjelaskan.
"Kalian  tidak  mendengarkan  dengan  baik  kalau  begitu.  LIMA  KINCIR  AIR.  Dalimunte bilang lima kincir air! Bukan kincir raksasa—"
"Apa bedanya? Siapa yang akan menjamin itu berhasil?"
"Tidak  ada.  Tidak  ada  yang  menjamin  itu  akan  berhasil.  Benar!  Itu  akan  membuang-buang tenaga  jika  gagal!  Tapi  jika  berhasil?  Kita  sudah  bertahun-tahun  hanya  menggantungkan nasib  ladang  kita,  hidup  kita,  kampung  kita,  dari  kebaikan  hujan.  Sudah  saatnya  kita membuat  irigasi  sendiri  untuk  ladang-ladang  itu.  Berpuluh-puluh  tahun  sejak  kincir  raksasa itu  gagal  dibuat  tidak  ada  lagi  yang  memikirkan  bagaimana  caranya  mengangkat  air  sungai dari  bawah  cadas.  Tidak  ada  salahnya  mencoba  kincir-kincir  air  itu.  Lima  kincir  bertingkat. Itu  masuk  akal.  Semasuk  akalnya  seperti  kita  berharap  benih  di  ladang  tumbuh  saat  musim penghujan! —"  Kak Laisa berkata lantang dan cepat. Amat meyakinkan.
Seruan-seruan terdengar lagi dibalai kampung. Lebih ramai dibanding saat membicarakan perambah  hutan  tadi.  Seruan-seruan  ragu-ragu,  seruan-seruan  sangsi,  meski  sekarang anggukan-anggukan kecil mulai bermunculan.
"Tidak ada salahnya, bukan?"  Laisa menatap sekitar. 
"Sampai kapan kita harus mengalah atas cadas lima meter itu! Sampai kapan?" Penduduk justru saling bersitatap.
"Baik. Sekarang siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"  Kak  Laisa  berseru  dari  tengah-tengah  balai  kampung,  menghentikan  dengung  lebah  untuk kedua kalinya. Menatap tajam. Muka-muka  masih  saling  bersitatap  satu-sama-lain.  Sedetik.  Dua  detik.  Dalimunte menggigit  bibir.  Sia-sia.  Urusan  ini  tidak  selancar  yang  dibayangkannya.  Ide  lima  kincir  air itu percuma. Lihatlah, tidak ada yang hendak mengacungkan tengan, meski Kak Laisa terlihat amat yakin dengan idenya.
"Siapa yang setuju dengan usul Dalimunte?"  Kak Laisa bertanya tegas. Sekali lagi.
Tiga puluh detik berlalu. Tetap lengang. Yashinta  yang  pertama  kali  mengangkat  tangannya,  takut-takut  (entah  ia  mengerti  atau tidak urusan itu). Muka gadis kecil enam tahun itu menyeringai menggemaskan seperti biasa. Orang-orang  menoleh.  Wak  Burhan  menyusul,  ikut  megangkat  tangan  dengan  mantap, sambil tersenyum ke arah Yashinta. Lantas Mamak Lainuri, Ikanuri, Wibisana, terus ibu-ibu kampung lainnya, hingga orang tua, dan akhirnya pemuda-pemuda itu. Kak  Laisa  tertawa  lebar.  Menyikut  bahu  Dalimunte  yang  berdiri  di  sampingnya. Anggukan  dan  seruan  'kenapa  tidak'  sekarang  ramai  keluar  dari  mulut  penduduk.  Mereka akan mencobanya. Sekali lagi! Tertawa lebar dengan ide lima kincir air itu.
Dalimunte mengigit bibir. Menghela nafas, lega. Hari itulah saat Dalimunte menyadari sesuatu. Memang dia yang memulai ide lima kincir air  tersebut,  tapi  semua  orang  tahu,  karena  Kak  Laisa-lah  ide  itu  akhirnya  dikerjakan.  Hari itulah,  Dalimunte  belajar  satu  hal:  bagaimana  bicara  yang  baik  di  hadapan  orang  banyak. Belajar  langsung  dari  Kak  Laisa  yang  entah  bagaimana  caranya  menguasai  benar  hal tersebut. Begitu yakin. Begitu tenang. Dalimunte  mungkin  tidak  akan  pernah  tahu.  Tidak  pernah!  Kak  Laisa  sama  gugupnya seperti  dia,  sama  gentarnya  bicara  di  tengah-tengah  balai  kampung  itu.  Tetapi  Kak  Laisa tidak  akan  pernah  membiarkan  adik-adiknya  kecewa.  Tidak  akan  pernah  membiarkan adiknya  merasa  malu.  Jika  harus  ada  yang  kecewa  dan  malu,  itu  adalah  ia.  Bukan  adik-adiknya. Bagi Laisa, sejak  babak pergi,  hidupnya  amat sederhana. Adik-adiknya  berhak atas
masa depan yang lebih baik dibandingkan dirinya. Lagipula Laisa akhirnya mengerti kenapa Dalimunte  bolos  sekolah  kemarin.  Maka  demi  rasa  sesal  telah  memukul  lengan  Dalimunte, keberanian itu muncul begitu saja. Memberikan energi yang luar biasa. Begitu yakin. Begitu tenang.  Dan  tidak  hanya  hari  itu  Laisa  melakukannya.  Sungguh  tidak.  Ia  melakukannya berkali-kali sepanjang umurnya. Demi keempat adik-adiknya.
"DALIMUNTE sudah di mana?"
"Sudah  naik  mobil  jemputan  perkebunan  strawberry,  bersama  Kak  Cie  Hui  dan  Intan."
Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan. Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan. Di depan Sana  belasan  lampu sorot berkekuatan ribuan watt  menerangi  lokasi  longsoran tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian dan  pasukan  militer  Swiss  dari  kota  terdekat  tiba  di  lokasi.  Membawa  alat-alat  berat  untuk membersihkan  tanah  liat  yang  menumpuk  sepanjang  lima  belas  meter.  Mereka  terbilang taktis  dan  gesit.  Ada  sekitar  dua  peleton  pasukan  di  sana.  Tapi  hujan  yang  turun  semakin deras,  membuat  pekerjaan  semakin  sulit.  Apalagi,  baru  saja  bersih  lima  meter,  tebing  itu longsor lagi. Lebih banyak.
"Signori, siete pregati di rientrare nelle carrozze, per favore? Senior, sebaiknya kalian segera masuk kembali ke gerbong, please?"  Gadis berambut pirang, petugas berseragam yang melayani penumpang kabin kereta (macam pramugari di pesawat terbang) berteriak dari pintu gerbong dengan toa. Ikanuri menoleh, mendesis sebal.
"epiu confortevole dentro— "  Gadis itu membujuk lagi.
"Sebentar Lagi—"  Ikanuri yang bete sejak tadi, menjawab mengkal seruan itu ( dengan bahasa Indonesia pula). Gadis itu mengernyit, tidak mengerti.
Mereka baru tiga jam dari Roma. Kereta beranjak melintasi perbatasan Swiss. Tidak bisa tidur,  meski  kabin  itu  amat  lega  dan  nyaman.  Saat  sedang  berusaha  menelepon  Yashinta, Mamak  Lainuri,  dan  Dalimunte  kereta  tiba-tiba  berhenti.  Aneh.  Kereta  itu  kereta  express, mana  boleh  berhenti  sembarangan  macam  kereta  di  Indonesia.  Ada  apa?  Ikanuri  dan Wibisana  beranjak  keluar  dari  kabin.  Segera  mencari  tahu.  Dan  segera  pula  menyumpah-nyumpah (Ikanuri) saat tahu masalahnya. Karena  sebal,  Ikanuri  dan  Wibisana  memutuskan  turun  dari  kereta,  ingin  melihat langsung pekerjaan pembersihan rel.  Masinis  berbaik  hati  meminjami dua  jaket hujan  besar. Malam  ini,  kereta  hanya  berpenumpang  tujuh  orang.  Penumpang  yang  lain  sibuk  tidur  di kabin masing-masing. Tidak peduli. Siapa pula yang mau hujan-hujanan di luar dengan suhu nyaris nol derajat celcius. Masinis itu malah santai menonton siaran live sepak bola Juventus-Manchester  United  dari  teve  mungilnya.  Kejadian  ini  berkah  baginya,  dia  jelas  tidak  boleh menonton saat menjalankan kereta.
"Kau sudah telepon Yashinta lagi? Tersambung?" Wibisana mengangguk, sudah. Terus menggeleng, tidak tersambung.
"Kenapa pula di situasi sepenting ini HP anak itu dimatikan?" 
Ikanuri  mendengus  jengkel.  Menatap  putus  asa  puluhan  petugas  kepolisian  dan  pasukan militer  yang  seliweran  membersihkan  rel  kereta.  Lihatlah,  dinding  tebing  itu  longsor  lagi setelah mereka berhasil memindahkan separuh tumpukan lumpur di atas rel. Bisa  tidak  sih  mereka  berpikir  jenius  seperti  Dalimunte!  sepuluh  persen  saja  dari  otak hebat  Dalimunte.  Dinding  tebing  itu  harusnya  di  tahan  dulu.  Diberikan  konstruksi  penahan, atau  entahlah  yang  penting  bisa  mencegah  longsoran  baru.  Baru  dibersihkan  rel  keretanya. Kalau begini urusannya, masih butuh berjam-jam lagi kereta ini bergerak. Bah! Percuma juga mereka taktis dan gesit kalau melakukannya dengan bodoh.
"Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?"  Ikanuri bertanya.
"Lima  menit   lalu    mereka    bilang   sudah  di     bandara,  menunggu  jadwal penerbangan dua jam  lagi."  Wibisana menjawab.
"Semoga kita bukan yang terakhir tiba." 
"Tentu tidak, Ikanuri—"
"Semoga kita tidak datang terlambat."  Ikanuri mengeluh sekali lagi. Itu benar-benar keluhan tertahan. Wibisana menepuk-nepuk bahu Ikanuri. Tersenyum. Berbisik, 
"Tidak akan terjadi apa-apa, Ikanuri.  Kita akan tiba tepat waktu. Berdoalah, Kak Laisa akan baik-baik saja...." Hujan turun semakin deras. Badai semakin kencang.

Empat jam setelah Dalimunte dan keluarganya mendarat di bandara kota provinsi, giliran Jasmine,  istri  Ikanuri,  Wulan,  istri  Wibisana,  beserta  anak-anak  mereka,  Juwita  dan  Delima tiba  di  sana.  Repot  sekali  Juwita  dan  Delima  mendorong  sepeda  BMX  mereka  keluar  dari lobi kedatangan bandara. Tadi meski Ummi mereka berdua memaksa buruan, kedua anak nakal usia enam tahun itu justru  kompak  memaksa  membawa  sepeda  BMX  spesialis  trek  gunung  masing-masing,
"NGGAK  MAU!  Juwita  harus  bawa  sepeda!  Kan,  asyik  buat  keliling  kebun  strawberry bareng Eyang Lainuri dan Wawak Laisa!"  Karena  rumah  mereka  berseberangan  halaman,  maka  jika  yang  satu  membawa  sepeda, otomatis yang lainnya juga ikutan bawa. Tidak mau kalah. Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal  mereka  membawanya.  Jadi terlihat sedikit  mencolok saat dua anak perempuan berumur enam tahun itu mendorong sepedanya dari counter pengambilan bagasi bandara.
"Mi, Kak Intan sudah sampai, belum?" Delima bertanya,
"Masih di perjalanan, di mobil jemputan perkebunan—" Wulan, Ummi Delima  memasukkan telepon genggamnya ke tas tangan. Barusan  menelepon Cie Hui, Ummi Intan.
"Eh, Mi, Kak Intan bawa sepeda juga, nggak?"  Juwita yang bertanya ke Umminya.
"Tidak  tahu,  sayang.  Yang  Ummi  tahu  Kak  Intan  pasti  bawa  gelang  'Safe  The  Planet'-nya"
Jasmine,  Ummi  Juwita  tertawa  kecil.  Membantu  memotong  tali  rafia.  Perkebun  strawberry mengirimkan jemputan kijang kapsul, jadi dua sepeda itu terpaksa diikat diatas mobil. Dua  gadis  kecil  itu  menyeringai,  bersitatap  satu  sama  lain,  idih,  pasti  Kak  Intan  maksa-maksa  lagi  makai  gelang  itu.  Perasaan  baru  dua  minggu  lalu  mereka  dikirimi  satu  kotak. Disuruh-suruh  jual  ke  teman-teman  di  sekolah.  Ditanyain  tiap  hari  lewat  telepon  dan  email. Orang mereka berharapnya kak Intan juga bawa sepeda, kan asyik bisa bertiga keliling kebun strawberry  bareng  Eyang  atau  Wawak.  Siapa  pula  yang  mau  dipaksa-paksa  pakai  gelang karet norak itu.
"Mi, Tante Yashinta sudah di mana?"
"Nggak tahu, sayang—"
"Tante Yashinta juga pulang, kan?"
"Nggak tahu. Harusnya iya—"
"Abi kapan tibanya dari Itali, Mi?"
"Ummi nggak tahu, Delima. Keretanya masih terjebak badai—"
"Eh, Wak Laisa emang sakitnya apaan sih, Mi?" 
"Nggak tahu, Delima—"    Ummi melotot, ia sibuk membantu  sopir  mengikat sepeda,  Delima justru  sibuk bertanya.
"Terus yang Ummi tahu apaan, dong? Payah nih!"  Delima nyengir, sedikitpun merasa tidak berdosa dengan celetukannya. Imbalannya lengan Delima dicubit. Meringis. Dua gadis kecil itu benar-benar menyerupai Ikanuri  dan  Wibisana  waktu  kecil.  Bedanya,  mereka  lebih  jago  bicaranya,  ngeles.  Terlatih. Lah, mereka belajar dari guru terbaiknya: Abi-nya yang sering kasih contoh di rumah.
Setengah  jam  berlalu,  mobil  kedua  melesat  menuju  perkampungan  Lembah  Lahambay. Melewati  hampir  tiga  ratus  kilo  perjalanan.  Kota-kota  kabupaten.  Kota-kota  kecamatan. Pedesaan.  Hutan-hutan  lebat.  Semak-belukar.  Pohon  bambu.  Perkebunan  kelapa  sawit. Perkebunan  karet.  Padang  rumput  meranggas.  Naik  turun  lembah.  Melingkari  bukit  barisan. Sungai-sungai  yang  meliuk.  Persawahan.  Menyaksikan  monyet  yang  berani  bergelantungan di tepi-tepi hutan. Satu-dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu  semua  sebenarnya  pemandangan  yang  menarik,  sayang  tidak  untuk  situasi  saat  ini. Juwita  dan  Delima  pun  sejak  separuh  perjalanan  akhirnya  lebih  banyak  tertidur.  Lelah bertengkar di atas mobil. Bertengkar soal siapa yang akan duduk di tengah-tengah Eyang dan Wawak  Laisa  pas  makan  malam,  padahal  percuma  juga  mereka  rebutan  sekarang,  toh  Kak Intan biasanya ngusir mereka dari kursi strategis itu. Juwita dan Delima tertidur dengan wajah polos. Saling memegangi jidat.  Bagi mereka, urusan ini sederhana.
OMELAN  MAMAK  LAINURI  malam  itu  hanya  mempan  seminggu.  Ikanuri  dan  Wibisana memang  rajin  sekolah,  sok  rajin  belajar,  shalat  di  surau,  lancar  ngajinya,  tidak  banyak bertingkah,  patuh  dengan  Kak  Laisa  selama  seminggu  terakhir.  Namun  lepas  satu  pekan, tabiat lama mereka kembali lagi. Lebih parah malah. Ahad  berikutnya,  seperti  kesepakatan  pekan  lalu,  penduduk  kampung  bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte. Lelaki  dewasa,  mulai  dari  orang  tua  hingga  pemuda  tanggung,  setengah  hari menghabiskan  waktu  di  hutan,  menebang  belasan  batang  bambu  besar-besar,  setidaknya  tak kurang  satu  jengkal  diameternya.  Setengah  hari  lagi  dihabiskan  untuk  memotong-motong, mengikatnya  dengan  tali  rotan,  memakunya  dengan  pasak  besi.  Wak  Burhan  dua  hari  lalu juga  memutuskan  menggunakan  uang  kas  warga  kampung,  membelinya  di  kota  kecamatan, beserta semen dan keperluan pondasi lainnya.
Sementara   ibu-ibu   dan   gadis   tanggung   membantu meyiapkan kue-kue kecil macam serabi, putri salju,  juga teh panas. Beserta pula  makan siang. Meski  seadanya, hanya dengan sayur  terong  dan  sambal  terasi,  tapi  setelah  lelah  bergotong-royong  seperti  ini,  makan sepiring  nasi  yang  masih  mengepul  terasa  nikmat  nian  walau  tanpa  lauk.  Apalagi  mereka mengerjakan kincir air itu langsung di pinggir sungai bawah cadas. Asyik benar duduk di atas bebatuan sambil menyantap makan siang. Jika sudah sampai sejauh  ini,  maka tak ada  lagi  yang sibuk  bertanya apa semuanya akan berhasil.  Apa  salahnya  mencoba  (lagi).  Maka  sesiang  itu,  Dalimunte  sibuk  membentangkan kertas-kertas  miliknya,  sibuk  menjelaskan  bagan  konstruksi  yang  telah  dibuatnya. Sebenarnya ganjil sekali melihatnya, lihatlah, tubuh kecil Dalimunte terselip di antara belasan lelaki  dewasa  lainnya.  Wajah-wajah  yang  mengangguk-angguk  mendengarkan penjelasannya, tidak banyak bicara.
Ahad  ini seluruh penduduk kampung 30-40 atap rumah  itu  berkumpul di pinggir  sungai. Semua  bekerja,  membantu.  Tak  terkecuali  Yashinta,  ia  membantu  mengangkut  bebatuan dengan  keranjang  rotan,  bakal  pondasi  kincir.  Anak-anak  kecil  lainnya  juga  sibuk mengumpulkan pasir. Yang sedikit besaran, terampil melubangi ruas bambu. Membuat 'pipa-pipa'. Jika pun tidak ikut bekerja, anak-anak kecil lainnya sibuk 'menonton' di pinggir sungai sambil  bermain-main.  Membuat sekitar ramai oleh teriakan (juga tangisan setelah satu sama lain bertengkar).
"Lais, kau lihat Ikanuri dan Wibisana?" Mamak bertanya pelan.
"Ee..  bukannya  tadi  ada  di  sana,  Mak?"  Laisa  menoleh,  menyeka  dahinya,  melepas  gagang pelepah  nyiur,  uap  mengepul  dari  dandang  besar  penanak  nasi,  menunjuk  kelompok  anak lelaki tanggung yang asyik membuat pipa-pipa.
"Tidak ada, Lais"
"Ee, tadi ada di sana, Mak...."
"Benar-benar  sigung  bebal!  Kemana  pula  mereka  pergi  ketika  semua  sedang  sibuk  bekerja. Bikin malu keluarga saja!"  Mamak Lainuri mendesis sebal. Memperbaiki bebat kain di kepala. Laisa  menelan  ludah.  Mengangguk  dalam  hati.  Kemana  pula  Ikanuri  dan  Wibisana sekarang.  Lihatlah,  semua  penduduk  kampung  berkumpul  di  sini,  bergotong-royong,  dan mereka berdua entah kabur kemana. Menatap sekitar. Berkeliling. Tidak ada. Di dekat cadas Yashinta  sedang  tertawa  bersama  teman  sepantarannya,  ada  satu  yang  terpeleset  di  air  saat membawa  keranjang  pasir,  basah  kuyup.  Di  sisi  lain,  Dalimunte  masih  sibuk  menunjuk-nunjuk  kincir  air  yang  mulai  berbentuk.  Tidak  ada  Ikanuri  dan  Wibisana.  Juga  tidak  ada  di antara anak-anak lainnya.
"Apa perlu Lais cari, Mak?" Mamak Lainuri berpikir cepat, 
"Nanti.  Lepas  dzuhur  kalau  tidak  kelihatan  juga  ekornya,  kau  cari  mereka.  Dasar  tak  tahu malu.  Tidak  pernah  ada  di  keluarga  kita  yang  berpangku  tangan  saat  orang  lain  sibuk bekerja—" Mamak mengomel tertahan.
"Jangan-jangan mereka ikut starwagoon ke kota lagi, Mak!" Muka  Mamak  mendadak  memerah.  Sebal.  Kemungkinan  itu  benar-benar  membuat Mamak marah. Apa tidak kapok juga keduanya setelah diomelin minggu lalu.
"Ee, atau hanya pulang sebentar ke rumah disuruh Dali ambil sesuatu—"  Laisa  menelan  ludah.  Menyesal  kemungkinan  soal  starwagoon  itu.  Mencoba  membuat Mamak  lebih  nyaman.  Percuma.  Kalimat  itu  keliru,  kalau  dengan  Laisa  saja  mereka  berdua enggan  menurut,  apalagi  dengan  Dalimunte.  Mana  mau  mereka  disuruh-suruh  begitu.  Dan jelas Laisa keliru kalau membayangkan urusan kali ini sesederhana itu.
Menjelang dzuhur, dua kincir air  selesai. Dengan pasak  besi,  bebatan  batang rotan, kincir bambu itu terlihat kokoh. Disandarkan di dinding cadas sungai. Dalimunte tersenyum senang, juga  yang  lain.  Sejauh  ini  rancangan  Dalimunte  hanya  keliru  satu  hal,  jumlah  potongan bambu  yang  dibutuhkan.  Beberapa  lelaki  dewasa  terpaksa  masuk  lagi  ke  hutan,  mengambil belasan bambu berikutnya.
"Mak, Ikanuri dan Wibisana belum kelihatan juga—"  Laisa berbisik ke Mamak. Muka  Mamak  yang  sedang  membawa  piring-piring  plastik  kentara  sekali  jengkel. Sementara  penduduk  kampung  berkumpul  di  pinggir  sungai,  duduk  membuat  kelompok-kelompok  di  atas  bebatuan.  Wak  Burhan  menyuruh  mereka  makan  siang.  Istirahat  hingga satu jam ke depan. Beberapa selepas makan beranjak ke surau. Shalat dzhuhur.
"Kau cari sekarang, Lais. Bila perlu seret saja dua sigung bebal itu kemari—" 
Mamak  menahan  marah.  Bagaimana  pula  ia  tak  marah,  tadi  salah  satu  tetangga  sebelah rumah  sempat  bertanya  di  mana  Ikanuri  dan  Wibisana.  Pertanyaan  itu  tidak  serius,  hanya bertanya apa kedua anak itu sakit? Pulang? Tidak enak badan? Mamak hanya tersenyum tipis, mengangguk. Bagi Mamak urusan ini sensitif sekali.
Laisa  tidak  perlu  diperintah  dua  kali,  segera  bergegas  meletakkan  ceret  air  yang digunakannya  untuk  mengisi  gelas-gelas.  Melepas  kain  celemek  butut.  Lantas  beranjak menyeberangi  sungai.  Ia  sama  sekali  tidak  punya  ide  di  mana  Ikanuri  dan  Wibisana  berada. Meski  begitu,  tempat  yang  pertama  kali  harus  diperiksa  adalah  rumah.  Siapa  tahu  mereka berdua sedang tidur mendengkur di bale bambu. Tidak  ada.  Laisa  tidak  menemukan  Ikanuri  dan  Wibisana  saat  tiba  di  rumah  sepuluh menit  kemudian.  Mungkin  mereka  bermain-main  di  desa  atas.  Laisa  menyeka  keringat  di leher.  Matahari  siang,  terik  membakar  lembah.  Dari  surau,  Wak  Burhan  mengumandangkan adzan. Baiklah. Mamak menyuruhnya mencari. Itu artinya cari sampai dapat. Tidak ada kata kembali  ke  pinggir  sungai  itu  tanpa  Ikanuri  dan  Wibisana.  Maka  tubuh  gemuk  dan  gempal Laisa beranjak menuruni anak tangga rumah panggung. Percuma. Satu  jam  berlalu. Ikanuri dan  Wibisana  tidak ada di desa atas. Starwagoon tua itu juga terparkir rapi di halaman rumah pemiliknya. Laisa menyeka keringat yang mengucur semakin deras,  satu kilo  berjalan,  sia-sia. Memutuskan untuk  memeriksa tempat kedua anak itu  suka  bermain-main.  Tidak  ada.  Mereka  tidak  ada  di  Curug  Cuak  (air  terjun).  Tidak  ada juga  di  jembatan  gantung  desa  satunya  lagi.  Tidak  ada  di  tempat  biasa  mereka  mancing. Tidak ada. Laisa menelan ludah. Matahari sudah tergelincir dari puncaknya. Sudah pukul tiga. Laisa dan  penduduk  kampung  terlatih  sekali  membaca  jam  dari  gerakan  matahari  dan  bayangan pepohonan.  Di  pinggir  sungai,  penduduk  kampung  sudah  sejak  tadi  meneruskan  pekerjaan. Jangan-jangan dua sigung itu sudah kembali ke pinggir sungai? Laisa mendesis jengkel. Baik, ia  akan  kembali  ke  sana  sambil  menyelusuri  jalan  yang  berbeda  dari  berangkatnya  tadi. Melewari kebun-kebun penduduk. Siapa tahu dua anak  itu tiduran di  pondok rumbia  ladang padi mereka.
Angin lembah bertiup lembut, Laisa menghela nafas sedikit lega, itu membantu banyak di tengah  terik  matahari  awal  musim  kemarau.  Kebun  penduduk  terlihat  menguning.  Batang padi  merekah  oleh  bilur-bilur  buahnya  yang  montok.  Sebulan  lagi  mereka  panen  bersama. Penduduk  kampung  lembah  itu  umumnya  berladang.  Jika  sudah  dua-tiga  kali  mereka menanam  padi,  biasanya  diganti  dengan  kopi  atau  lada.  Atau  diseling  dengan  jagung  dan sejenisnya. Apa saja yang hasilnya bisa dijual di kota kecamatan. Setengah  jam  lagi  berlalu.  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  ada  di  pondok  rumbia  ladang mereka.  Laisa  mendengus  sebal.  Meneruskan  langkah  kaki.  Harapan  satu-satunya,  dua  anak nakal itu sudah kembali ke pinggir sungai setelah berpuas diri bermain. Saat itulah, saat Laisa mulai  putus  asa,  tanpa  sengaja  sudut  matanya  yang  terlatih  menangkap  gerakan  dedaunan pohon  mangga  kebun  Wak  Burhan,  di  kejauhan  lembah.  Tidak  lazim.  Angin  tidak  akan membuat  cabangnya  bergoyang  sedemikian  rupa.  Dan  tidak  ada  uwa  atau  monyet  yang sampai di sini, sungai dengan cadas lima meter itu bagai "tembok besar" membuat kampung mereka seolah terpisah dari hutan rimba. Laisa  mendekat.  Menyelidik.  Menatap  tajam  pohon  mangga  yang  sedang  ranum-ranumnya  berbuah.  Daunnya  yang  rimbun  seperti  dipenuhi  benjol-benjol  buah  yang  besar-besar.  Dahan  pohon  itu  bergoyang-goyang  lagi.  Laisa  melangkah  semakin  cepat.  Tinggal sepelemparan  batu,  tinggal  lima  belas  meter,  akhirnya  ia  bisa  melihat  bayangan  yang membuat pohon itu bergerak.
"Cepat, Ikanuri—" Berbisik tertahan. 
"Sebentar." Suara itu ikut tertahan. 
"Kak Laisa! Ada Kak Laisa! Cepat turun..." 
"Sebentar, celanaku tersangkut—" GEDEBUK!
Ikanuri  yang  bergegas  turun  dari  pohon  mangga  malah  terjatuh,  kehilangan  keseimbang saat buru-buru,  menimpa  Wibisana  yang sudah turun duluan. Tidak tinggi  benar, hanya satu meter, karena mereka sudah tiba di dahan terendah. Tapi itu membuat pelarian mereka gagal total.  Ikanuri  yang  sibuk  mengaduh  selama  lima  detik,  memberikan  waktu  yang  cukup  bagi Laisa untuk mengenali siapa.
"IKANURI! WIBISANA!"  Persis  seperti  radio  yang  tiba-tiba  disetel  kencang-kencang.  Laisa  berseru  galak.  Berlari mendekat.  Ikanuri  dan  Wibisana  tersedak.  Menatap  jerih  Kak  Laisa  yang  mendekat.  Berusaha menyembunyikan bukti kejahatan
"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?" 
"Ergh,  ee,  kita  sedang  memeriksa  pohon  mangga  Wak  Burhan,  benar  begitu  kan,  Wibi?—"  Ikanuri  menjawab  cepat,  khas  Ikanuri,  seadanya  bin  ngarang,  dengan  wajah  sama  sekali merasa tidak berdosa. Wibisana tidak kalah begonya ikut mengangguk, 
"Ya, Kak. Kita lagi menghitung jumlah buahnya. Ada berapa gitu—" 
"DIAM!!"
"Err, bener Kak. Ada seratus sembilan puluh—" 
"DIAM!!  Kalian  benar-benar  tak  tahu  malu!  Semua  orang  bekerja  di  cadas  sungai,  kalian justru di sini. MENCURI MANGGA!"  Kak  Laisa  semakin  galak,  semakin  dekat,  tangannya  cepat  mematahkan  salah  satu  ujung dahan semak  belukar. Ikanuri dan Wibisana tahu persis apa yang akan terjadi. Mereka beringsut mundur. Laisa semakin  dekat.  Tertahan,  gerakan  Ikanuri  dan  Wibisana  tertahan  pohon  mangga  di belakangnya. Ujung dahan di tangan Laisa sudah terarah sempurna ke dada mereka berdua.
"Katakan apa ini? Apa yang kau lihat?"  Kak  Laisa  menunjuk  dua-tiga  buah  mangga  hampir  ranum  yang  tergeletak  di  ujung  kaki mereka. Terjatuh dari saku celana.
"Eee, aku tidak melihat apa-apa, ya kan Wibi?"
"Ya, ya, kami tidak melihat apa-apa. Memangnya ada apaan—" Kak Laisa benar-benar jengkel.
"Berani  sekali  kalian  mencurinya.  BERANI  SEKALI  Tidak  ada  di  keluarga  kita  yang menjadi pencuri meski hidup kita susah, TIDAK ADA."   Kak Laisa berseru marah. Menusuk nusukkan ujung dahan itu ke dada Ikanuri. Mereka berdua terdiam. Ikanuri meringis. Tidak sakit, hanya berpura-pura saja. Dia sudah kebal dipukul Kak Laisa.
"Apa  yang  kalian  lakukan  sepanjang  siang?  Main-main  di  Curug  Cuak?  Lantas  pulang mencuri  mangga  Wak Burhan Tidak tahu  malu.  Apa  yang  akan dibilang  Wak  Burhan kalau dia tahu! APA COBA!?"  Diam, Ikanuri dan Wibisana bungkam.
"Kalian tidak pernah jera. Tidak pernah! Mau jadi apa kalian, hah? MAU JADI APA??" Kak Laisa mendesis.
"Kalau  Mamak  tahu  kalian  mencuri  lagi,  kalian  pasti  dihukum  tidak  boleh  masuk  rumah malam ini. Kalau Mama tahu...."  Kak  Laisa  menelan  ludah,  berusaha  mengendalikan  diri.  Kalau  Mamak  tahu  Ikanuri  dan Wibisana ternyata justru sedang mencuri saat orang lain sibuk bekerja? Itu benar-benar akan jadi marah besar.
"Pulang. Kalian ikut denganku ke pinggir sungai, sekarang—"    Laisa melotot, menatap galak. Memberikan perintah. Ikanuri dan Wibisana tetap bungkam seribu bahasa.
"AYO, PULANG!" Tusukan  ujung  dahan  itu  semakin  kencang,  Ikanuri  meringis,  tapi  dia  tetap  tidak  beranjak berdiri.
"PULANG KATAKU! SEKARANG!!"
"TIDAK MAU!"  Ikanuri entah apa  yang  sedang ada di kepalanya,  tiba-tiba  berteriak tidak kalah kencangnya. Melawan. Menepis kasar ujung dahan di dadanya.
"APA KAU BILANG? AYO, PULANG!"
"TIDAK MAU!" Ikanuri melotot. Dua  ekor  burung  pipit  terbang  rendah  di  bawah  pohon  mangga  itu.  Mendesing  menjauh mendengar keributan.
"Kami  tidak  mau  pulang.  Tidak  mau.  Kau  bukan  Kakak  kami,  kenapa  pula  kami  harus menurut!"  Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras. Kalimat  itu  benar-benar  membungkam  waktu.  Selaksa  senyap  di  bawah  pohon  mangga. Seekor  elang  melenguh  di  atas  sana,  suaranya  seperti  dibatukan  udara.  Terdiam.  Laisa sempurna membeku.
"A-pa.... A-pa yang kau katakan?"
"Kau bukan Kakak kami! Kenapa pula kami harus nurut"  Ikanuri  mengatakannya  sekali  lagi.  Lebih  lantang.  Lebih  kencang.  Beranjak  berdiri,  malah. Melawan semakin berani.
"LIHAT!  Kulit kau  hitam. Tidak seperti kami,  yang putih. Rambut kau gimbal, tidak seperti kami,  lurus.  Kau  tidak  seperti  kami,  tidak  seperti  Dalimunte  dan  Yashinta.  KAU  BUKAN KAKAK KAMI. Kau pendek! Pendek! Pendek!"  Kali ini kalimat Ikanuri benar-benar bak roket yang ditembakkan tiga kali di lubang yang sama.  Berdebum.  Membuat  lubang  besar  itu  menganga  lebar-lebar,  hitam  pekat.  Laisa terperangah. Sesak. Nafasnya sesak seketika. Ya Allah, apa yang barusan dikatakan adiknya. Apa  ia  sungguh  tak  salah  dengar?  Laisa  gemetar.  Tangannya  yang  mencengkeram  ranting bergetar, terlepas.
"Kenapa? Kenapa kau diam? Kau marah kami mengatakan itu, hah?"  Ikanuri tanpa rasa iba bertanya bengis. Laisa  menelan  ludah. Matanya tiba-tiba  berair.  Ya  Allah,  aku  mohon,  jangan  pernah, jangan  pernah  buat  aku  menangis  di  depan  adik-adikku.  jangan  pernah!  Itu  akan  membuat mereka  kehilangan  teladan.  Laisa  meremas  pahanya  kencang-kencang.  Berusaha mengalihkan rasa sakit di hati ke rasa sakit di tubuhnya.
"Kami tidak akan lagi menurut... Kau bukan Kakak kami. Bukan! Bukan! BUKAN!"  Ikanuri berseru amat puas. Berkali-kali.
"Hentikan Ikanuri. Hentikan...." Laisa berseru, terbata.
"Kau bukan kakak kami!"
"Hentikan  Ikanuri,  atau  kau  kuadukan  pada  Mamak,  dan  kalian  akan  dihukum  tidak  boleh masuk rumah selama seminggu,"  Laisa berkata dengan suara bergetar. Menahan tangis.
"Kau jelek! Jelek! JELEK!"
"Hentikan Ikanuri—"
"Pendek! Pendek!"
"Hentikan, Ikanuri. Aku mohon — "
"Jelek! Jelek! Pendek! Pendek!"  Ikanuri tertawa lepas. Lantas beranjak melangkah dari bawah pohon mangga dengan seringai penuh  kemenangan,  disusul  oleh  Wibisana  (yang  tertunduk  dalam-dalam,  sedikit  merasa ganjil dengan teriakan kasar Ikanuri). Laisa  sudah  jatuh  terduduk.  Sempurna  jatuh  terduduk.  Menatap  punggung  adik-adiknya yang menghilang dari balik semak belukar. Seekor jangkrik di batang pohon mangga berderik. Pelan. Meningkahi isak tertahan.Gadis tanggung berumur enam belas tahun itu mendekap wajahnya. Ia tak kuasa lagi menahan sedih di hati. Bukan karena Ikanuri melawannya, karena toh  selama  ini  Ikanuri  selalu  berani  melawan.  Tapi  karena  itu  benar!  Ya  Allah,  apa  yang dikatakan  adiknya  benar  sekali.  Ia  bukan  siapa-siapa  bagi  mereka.  Ia  bukan  Kakak  mereka. Seluruh penduduk lembah itu juga tahu. Ia bukan kakak mereka. Senyap. Hanya tangis tertahan yang terdengar. Senyap. Juga hanya tangis tertahan yang terdengar di sini.
Kereta ekspress Eurostar melesat membelah perbatasan Swiss-Perancis. Kecepatan super tinggi.  Maximum  speed.  Masinisnya  berusaha  membayar  dua  jam  waktu  yang  terbuang  di pegunungan  Alpen.  Setelah  untuk  ketiga  kalinya  tebing  itu  longsor  lagi  saat  dibersihkan, beberapa  insinyur  dari  dewan    terdekat  akhirnya  tiba  di  lokasi  dengan  helikopter,  mereka memberikan  saran  konstruksi  darurat  untuk  menahan  laju  longsoran  berikutnya.  Satu  jam berlalu,  sejak  dinding  seadanya  dipasang,  kereta  ekspress  itu  bisa  kembali  melesat  menuju Paris. Menjejak batangan baja relnya. Hujan sejak lima belas menit lalu juga sudah berhenti. Jalan kereta  yang  meliuk  melangkahi pegunungan sudah  lama digantikan oleh  hamparan tanah luas. Perkebunan anggur. Hamparan padang rumput. Pohon cemara tinggi-tinggi sudah tertinggal  di  belakang,  Sepuluh  menit  lagi  Eurostar  akan  tiba  di  perbatasan  tanah  bekas kekuasaan  Kaisar  Louis,  Perancis.  Wibisana  memutuskan  tidur.  Lelah.  Membiarkan  Ikanuri yang sejak kereta berjalan lagi tadi tetap terjaga. Pukul 03.30 dini hari di sini. Di luar terlihat gelap.  Hanya  sesekali  cahaya  lampu  yang  berasal  dari  rumah  pedesaan  kecil  pedalaman Swiss terlihat. Seperti kerlip kunang-kunang dari kejauhan. Indah. Mengembalikan semua kenangan.
Wibisana  menggeliat, merubah posisi tidurnya.  Kabin  itu  luas. Lazimnya diisi  berempat, karena mereka hanya berdua, jadi nyaman tidur di kursi panjang berhadapannya. Tapi Ikanuri tidak tidur,  ia tidak  bisa tidur sejak kereta  jalan  lagi,  ia  justru sedang sibuk  menyeka ujung-ujung matanya. Ikanuri terisak pelan. Tertahan. Menatap kosong keluar melewati jendela kereta. Kunang-kunang, Ya  Allah,  dia  jahat  sekali.  Jahat!  Dua  puluh  lima  tahun  silam.  Seperempat  abad  lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu.  Wajah  Kak  Laisa  yang  seperti  tak  percaya  mendengar  dia  mengatakan  kalimat-kalimat menusuk  itu.  Ikanuri  tersedan.  Lihatlah,  wajah  Kak  Laisa  sekarang  seperti  mengukir sempurna  di    bayangan    jendela    kereta.  Wajahnya    yang    tersenyum,  wajahnya  yang  selalu melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua.... Ikanuri  tersungkur.  Tergugu.  Dia  benar-benar  tidak  tahan  lagi  Menangis  terisak.  Ya Allah,  jika  ada  yang  bertanya  siapa  yang  paling  penting  dalam  hidupnya....  Jika  ada  yang bertanya: Siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.
CELAKA.  Benar-benar  celaka.  Kesibukan  penduduk  Lembah  Lahambay  hari  itu  ternyata tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam. Menjelang  maghrib  setelah  dipotong  istirahat  shalat  ashar,  lima  kincir  air  itu  sudah berderet  rapi  di  dinding  cadas  sungai.  Lubang-lubang  pondasi  sudah  dituangi  cor  semen. Belum  terpasang.  Meski  pondasinya  sudah  siap,  lima  kincir  itu  baru  akan  dipasang  minggu depan, jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering. Wak  Burhan,  para  orang  tua,  pemuda  dewasa,  menyeringai  lega  melihat  pekerjaan mereka.  Lembah  mulai  remang,  Wak  Burhan  menghentikan  gotong-royong.  Cukup  untuk ahad  ini.  Kesibukan  di  pinggir  sungai  itu  memang  berhenti  ketika  mereka  beramai-ramai beranjak pulang. Mandi. Berganti pakaian. Siap menjemput malam, beristirahat. Tetapi kesibukan lainnya mendadak menyusul. Lebih ramai dari sebelum-sebelumnya. Laisa  setelah  hampir  setengah  jam  menangis  di  bawah  pohon  mangga  beranjak  kembali ke pinggir sungai. Menyeka luruh sisa-sisa tangis. Berusaha senormal mungkin saat bilang ke Mamak  kalau  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  mau  nurut.  Mereka  bermain-main  di  ladang,  dan justru  lari  menghindar  saat  disuruh  pulang.  Mamak  mengomel,  berjanji  dalam  hati  akan menghukum dua sigung itu nanti malam. Meneruskan pekerjaan memberesi peralatan masak.
Senja mulai turun, jingga membungkus lembah. Sementara Yashinta sejak tadi hanya duduk-duduk saja di pinggir sungai selepas asyik mengejar capung air bersama teman-temannya. Tetapi  keliru.  Laisa  yang  berpikir  Ikanuri  dan  Wibisana  setelah  pergi  meninggalkan dirinya  akan  kembali  ke  rumah  itu  keliru.  Juga  Mamak  yang  sudah  berencana  membuat aturan  main  baru  di  rumah  saat  mengomel  nanti  malam.  Keliru,  Ikanuri  dan  Wibisana ternyata  tidak  pulang-pulang.  Juga  saat  mereka  sudah  bersiap-siap  shalat  berjamaah.  Dua sigung itu tetap tidak kelihatan batang hidungnya. Lepas maghrib, saat orang-orang pulang dari surau, denting kecemasan itu mulai tumbuh. Mamak Lainuri menatap cemas dari bingkai jendela depan yang masih terbuka. Kemana pula dua anak nakalnya pergi?
Adzan  isya.  Lepas  shalat  isya.  Lembah  sempurna  gelap.  Dan  sedikit  pun  tidak  kelihatan tanda-tanda  batang  hidung  Ikanuri  dan  Wibisana.  Mamak  semakin  cemas.  Menatap  siluet hutan rimba dengan nafas bergetar. Pukul 19.30. Tegang sekali. Pukul 20.00, Mamak Lainuri akhirnya menyererah. Sejengkel  apapun  ia  dengan  Ikanuri  dan  Wibisana,  dawai  kecemasannya  sudah berdenting terlalu tinggi. Ia menyambar obor di depan pintu. Melangkah cepat ke rumah Wak Burhan.  Kak  Laisa,  yang  meski  hatinya  masih  bagai  buah  tersayat-sayat  sejak  kejadian  tadi sore ikut ke rumah Wak Burhan. Mamak hendak melapor. Dua anaknya belum pulang.
"Belum pulang bagaimana, Lainuri?"
"Belum pulang, Bang! Ikanuri dan Wibisana belum pulang ke rumah!" Mamak mengusap wajahnya, tegang, cemas.
"Sejak kapan?" Wak Burhan menyemburkan sirihnya.
"Sejak tadi siang—"
"Ada yang tahu tadi siang anak itu kemana?"  Wak Burhan menyambar obor di depan pintunya, memotong kalimat Mamak.
"Ee, tadi siang, tadi siang mereka bermain-main di ladang—"  Laisa menjawab patah-patah. Serba salah. Ia tidak ingin menceritakan pertengkaran itu. Tidak ingin orang tahu kalau Ikanuri mengatakan kalimat kasar itu.
"Dan belum pulang?" Wak Burhan memotong lagi. Cemas.
"Belum, Wak—"
"Sekarang sudah hampir setengah sembilan,"  Wak Burhan menyimak gerakan bulan malam ketiga belas di atas sana, 
"Ya Allah, Lainuri. Ini benar-benar mencemaskan." Mamak menelan ludah, wajahnya mengeras, amat tegang.
"Apa yang harus kulakukan, Bang?" Wak  Burhan  bergumam.  Seperti  membaca  mantra  sajalah.  Berhitung  dengan  cepat. Lantas berseru cepat.
"LAIS, BUNYIKAN BEDUK DI SURAU! Panggil seluruh pemuda kampung, suruh kumpul di balai, SEKARANG!" Wak Burhan menyemburkan ludah sirinya. 
"Dan kau Lainuri, ikut denganku ke balai pertemuan!" Ini serius. Serius sekali. Semua orang  juga tahu, kampung  mereka  berada di dekat hutan rimba. Di seberang cadas sungai, di  hutan rimba sana,  malam-malam begini ada sejuta mara bahaya  mengintai.  Pemuda  dewasa  saja  berpikir  dua  kali  kalau  harus  mencari  kumbang masuk jauh-jauh ke dalam sana. Mereka biasanya hanya merambah dekat-dekat dengan cadas sungai. Itupun harus berombongan. Dua anak kecil? Laisa  tidak  perlu  diteriaki  dua  kali.  Dengan  tangan  gemetar,  ikut  merasakan  ketegangan yang  segera  meninggi,  langsung  berlari  menuruni  anak  tangga.  Semoga  adik-adiknya  tidak kenapa-napa.  Semoga  mereka  hanya  bermain  di  desa  atas,  memutuskan  untuk  tidak  mau pulang.  Atau  entah  pergi  ke  manalah.  Semoga  mereka...  Ya  Allah,  kenangan  masa  lalu  itu serentak  menyergapnya.  Ya  Allah!  Wajah  robek  tak  berbentuk.  Tubuh  tercabik-cabik bersimbah darah. Laisa menggigil. Ketakutan. Kakinya yang berlari terasa berat sekali. Bangkai korban sang siluman memenuhi pelupuk matanya. Hanya  dalam  waktu  lima  belas  detik.  Beduk  masjid  melenguh  kencang.  Kentongan bambu telah di pukul ramai-ramai. Sahut-menyahut. Bertalu-talu. Semua penduduk kampung keluar.  Hilang  sudah  lelah  tadi  siang.  Disingkirkan  jauh-jauh.  Benar-benar  rusuh.  Mereka mengenali  ramai  bunyi  kentongan  itu.  Terakhir  terdengar  dipukul  delapan  tahun  silam. Mereka berkumpul di balai kampung. Membawa obor. Membawa golok. Membawa tombak. Apa  saja  senjata  yang  bisa  dibawa.  Wajah-wajah  cemas.  Tegang.  Balai  kampung  ramai kembali. Wak  Burhan  berdiri  di  tengah-tengah  balai  kampung,  Kerlip  cahaya  obor  membasuh wajah tuanya. Umur  Wak Burhan  sudah  berbilang tujuh puluh, tapi dia  masih gagah. Masih tegap  sekali.  Dalam  situasi  serius  seperti  ini,  kedut  wajahnya  terlihat  amat  mengesankan. Kumis melintang. Rahang kokoh. Mata yang tajam. Makanya penduduk kampung amat segan padanya.
"Dua  orang  mencari  ke  desa  atas.  Dua  orang  mencari  ke  desa  seberang.  Kau  dan  teman-temanmu ke Curug Cuak.... yang lain ikut aku...."  Wak Burhan membagi kelompok-kelompok dengan cepat.
"Satu jam dari sekarang, saat bulan berada persis di atas gunung Kendeng, semua kembali ke sini... Jika Ikanuri dan Wibisana tidak ditemukan juga, seluruh rombongan akan dipecah dua, kita harus menyusuri hutan rimba. Kita harus melakukannya—" Kepala-kepala mengangguk. Seruan-seruan kecil setuju.
Sekejap. Pencarian  itu dimulai.  Mamak Lainuri sudah sejak tadi  hanya terduduk di kursi bambu.  Dipegangi  oleh  ibu-ibu  lainnya.  Mamak  semaput.  Wajahnya  pucat  oleh  perasaan gentar. Ya Allah, ia seperti bisa melihat kejadian delapan tahun silam. Seperti tergambar jelas di  depannya.  Wak  Burhan  yang  waktu  itu  lebih  muda,  juga  dengan  cepat  memberikan perintah. Orang-orang yang membawa obor. Tombak. Golok. Pencarian hingga dinihari. Dan hasilnya? Mamak Lainuri jatuh pingsan lagi. Laisa berusaha menyeka keringat di wajah Mamak. Dalimunte yang terlalu kecil untuk ikut rombongan pencari duduk tertunduk di dekatnya, gentar.  Yashinta  memeluk  lutut.  Bahkan  ia  masih  terlalu  kecil  untuk  ingat  banyak  kejadian. Masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?"  Laisa mengangguk pelan ke arah Dalimunte. 
Cahaya  obor  rombongan  pencari  yang  bergerak  terlihat  mulai  menjauh.  Ada  yang menaiki  lembah,  ke  desa  atas.  Menyeberangi  ladang-ladang.  Ke  kiri.  Ke  kanan.  Kerlap-kerlip.  Meski  nyaris  separuh  penduduk  kampung  mencari  Ikanuri  dan  Wibisana,  balai kampung  tetap  ramai.  Seluruh  penduduk  membawa  anggota  keluarganya  ke  sini.  Tidak  ada yang  ingin  meninggalkan anak-anaknya di rumah  setelah  mengerti  maksud  bunyi kentongan tadi.  Mereka  bermalam  di  balai  kampung  bersama-sama.  Di  atas  kursi-kursi  bambu  Saling bersitatap ketakutan.
Laisa  menggigit  bibir.  Mengusap  wajahnya  berkali-kali.  Gelisah  melihat  sekitar.  Ia sungguh  cemas.  Ini  pasti  gara-gara  ia  tadi  siang  mengancam  adik-adiknya.  Ya  Allah…  Ini semua  salahnya.  Mereka  pasti  enggan  pulang  gara-gara  dibilang  akan  dihukum  tidak  boleh masuk  rumah,  harus  tidur  di  bale  bambu,  bawah  rumah.  Apakah  ia  harus  menceritakan pertengkarannya  ke  Mamak?  Tidak.  Itu tidak  perlu,  dan  jelas  tidak  bisa  dilakukannya.  Tapi kalau  terjadi  kenapa-napa  dengan  Ikanuri  dan  Wibisana?  Ya  Allah,  semoga  tidak.  Semoga mereka hanya bermalam di desa atas.
Gemerlap  bintang  di  atas  entah  kenapa  pelan  mulai  diselimuti  gumpalan  awan  hitam. Seperti  menambah  tinggi  tingkat  kecemasan.  Hening.  Mencekam.  Sudah  pukul  22.00. Lembah  itu  mulai  hening.  Suara  jangkrik  berderik  pelan  mereda.  Uhu  burung  hantu. melemah. Suara uwa menghilang. Malam beranjak matang. Satu jam berlalu. Rombongan pencari satu per satu kembali. Melapor. Hasilnya kosong. Maka benar-benar tegang sudah balai kampung itu.
"Hati-hati... Tetap dalam rombongan, jangan ada satupun yang terpisah—"  Wak  Burhan  berkata  dengan  intonasi  suara  tegas  tanpa  kompromi.  Kelompak  lelaki  dewasa yang sudah terbagi menjadi dua rombongan tersebut, mengangguk
"Saat pijar matahari pagi terlihat di kejauhan, saat merah terlihat menyemburat membungkus lembah, kita berkumpul lagi di sini.... Sebelum itu, cari sampai dapat. Periksa seluruh semak belukar, jangan sampai ada yang tertinggal. Pastikan kalian mengenali bercak darah...." Mamak  Lainuri  yang  sudah  siuman  mengeluh  tertahan.  Kalimat  Wak  Burhan,  kalimat terakhir Wak Burhan bukan lagi perintah mencari orang yang masih hidup. Bercak darah….
"Hati-hati,  jangan  sampai  ada  yang  terpisah  dari  rombongan.  Sang  siluman  mungkin  masih mencari korban berikutnya...."
Balai  kampung  itu  terdiam.  Seruan-seruan  terhenti.  Menelan  ludah.  Nama  itu  akhirnya tersebutkan  sudah.  Sang  Siluman.  Laisa  sudah  menggigil  ketakutan.  Wak  Burhan memberikan  instruksi  dua-tiga  kalimat  lagi.  Lantas  dua  rombongan  bergerak  meninggalkan bangunan.  Rombongan  membawa  obor  itu  menghilang  di  tengah  gelapnya  hutan  rimba seberang cadas lima belas menit kemudian. Menyisakan ketegangan yang meninggi.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja?"  Dalimunte  bertanya  mencicit.  Cemas.  Dari  tadi  ia  tidak  bisa  memejamkan  mata.  Tegang.
Sementara Yashinta di sebelahnya sudah jatuh tertidur. Meringkuk di atas kursi bambu balai kampung. Kali ini Laisa hanya diam membeku. Tak kuasa mengangguk.
Delapan tahun... delapan tahun silam. Ia menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya. Babak mereka dibawa pulang dari hutan persis saat semburat jingga pagi tiba. Setelah pencarian enam jam tanpa henti. Setelah hutan rimba. Muka yang robek tak berbentuk. Tubuh yang tercabik-cabik itu dibawa pulang. Sudah tak bernafas. Babak diterkam penguasa rimba, sang siluman, itulah nama seram menakutkan harimau Gunung  Kendeng.  Waktu  itu umurnya  baru delapan, Dalimunte empat, Ikanuri dan Wibisana dua tahun. Yashinta masih di kandungan.
Hari itu, babak mereka pergi. Malam itu yang mereka tahu Babak hanya bilang hendak mencari kumbang bersama dua temannya  ke  hutan  rimba  seberang  cadas,  tidak  jauh.  Tapi  entah  apa  pasalnya,  rombongan mereka  terpisah.  Dua  temannya  panik.  Pulang,  segera  melapor.  Tidak  ada  yang  mengerti, bagaimana  mungkin  mayat Babak  justru ditemukan  jauh sekali dari cadas  sungai. Masuk ke dalam hutan rimba. Bukankah Babak seperti penduduk lainnya amat hafal dengan hutan itu? Bagaimana mungkin babak malah tersasar jauh ke sana? Seruan-seruan ganjil terdengar, Semua  orang  tahu  tentang  pemikat  sang  siluman,  penguasa  Gunung  Kendeng.  Membuat siapa  saja  yang  berani  merambah  wilayahnya  di  malam  hari  akan  tersesat  di  dalam  hutan. Hanya  berputar-putar  saja  di  satu  titik,  lantas  tanpa  disadarinya  sudah  masuk  ke  dalam perangkap sang siluman.
Sudah  delapan  tahun  berlalu  kejadian  mengenaskan  itu  tidak  terjadi  lagi  di  lembah mereka.  Dulu,  waktu  Laisa  masih  kecil,  ia  dua  kali  melihat  kejadian  serupa.  Salah  satu penduduk kampung yang tidak pulang-pulang hingga malam hari, besoknya ditemukan sudah dengan  tubuh  tercabik-cabik.  Orang  dewasa  di  kampung  itu  mengerti  benar,  kalau  Ikamuri dan Wibisana sampai berani masuk ke dalam hutan rimba, pencarian mereka malam ini akan berakhir sama. Juga  Wak  Burhan.  Siapa  yang  akan  lupa  lima  belas  tahun  silam  saat  anak  tunggal  Wak Burhan yang berumur dua puluh empat tahun ditemukan keesokan paginya, hanyut di sungai deras  dengan  wajah  berbilur  cakaran.  Yang  membuat  Wak  Burhan  tinggal  sendirian  hingga hari ini, karena istrinya sudah kapan tahun meninggal.
"Kak, apa Ikanuri dan Wibisana baik-baik saja—"  Dalimunte pelan menyentuh lengan Laisa, bertanya cemas ke sekian kalinya. Laisa menoleh. Menggigit bibir. Entah menjawab apa. Ia sama sekali tidak mendengarkan pertanyaan  Dalimunte. 
Kenangan  buruk  itu  membungkus  kepalanya. Kemana  adik-adiknya malam ini? Kemana Ikanuri dan Wibisana? Kemana, ya Allah.... Dan  entah  mengapa  akhirnya  kesadaran  itu  ditanamkan  di  kepalanya.  Laisa  mendadak ingat  sesuatu.  Ia  ingat  pernah  mendengar  pembicaraan  Ikanuri  dan  Wibisana  beberapa  hari lalu setelah kejadian starwagoon tua itu. Ia tahu. Laisa tahu di  mana  harus  mencari adiknya. Mukanya menyeringai oleh buncah cemas tak tertahankan. Berdiri. Bergegas.
"Kak Lais, hendak kemana?" Dalimunte memotong. Tercekat. Hendak kemana? Pertanyaan      Dalimunte      barusan      menyadarkan      Laisa  tujuan  sebenarnya  Ikanuri  dan Wibisana. Ya Allah, Laisa gemetar seketika saat benar-benar baru  menyadari adiknya  dulu. 
"Jalan pintas  terdekat  menuju  kota kecamatan sebenarnya melalui Gunung Kaideng. Hanya delapan kilo jika melewati gunung itu...."  Ikanuri dan Wibisana langsung menuju ke jantung sarang Siluman, entah apakah dua sigung nakal itu menyadarinya atau tidak.
"Aku ikut—"
"TIDAK!! Kau tetap di sini, menjaga Mamak dan Yashinta—"
"Aku ikut!"  Dalimunte  menjawab  tegas.  Cepat  berlari  ke  dalam  rumah.  Suara  kakinya  membuat  lantai rumah panggung mereka berderak. Sejurus, dia sudah keluar lagi, membawa tombak panjang peninggalan Babak.
"Aku ikut kemana pun Kak Laisa pergi malam ini—"  Tegas  sekali  Dalimunte  berkata.  Wajahnya  dipenuhi  ekspresi  penghargaan.  Keberanian? Tentu saja dia takut, dia tahu kakaknya akan pergi ke Gunung  Kendeng. Tapi, sumpah, Dali tidak takut mesti harus memasuki daerah terlarang itu. Lihatlah wajah Kak Lais, wajah yang selalu  berani  dalam  hidupnya,  demi  adik-adik  mereka.  Wajah  yang  selalu  melindungi. Melihat wajah itu, Dali tidak akan pernah takut lagi.
Laisa  menelan  ludah.  Wajah  tegang  itu  dibasuh  cahaya  obor  yang  dibawanya.  Kerlap-kerlip. Menatap adiknya sejenak. Berpikir cepat. Lantas mengangguk. Tak apalah. Tak apalah adiknya  ikut.  Ya  Allah,  sekali  ini  tolong  baiklah  dengan  kami,  tolong....  Laisa  menggigit bibir. Lantas melangkah menuruni anak tangga. Diikuti langkah Dalimunte. Lima menit lalu Laisa memutuskan juga mencari adiknya. Ia tahu di mana adiknya berada malam  ini.  Mereka  berdua  pasti  memutuskan  kabur  dari  rumah,  pergi  ke  kota  kecamatan. Jalan  pintas.  Ia  tahu,  hanya  Ikanuri  dan  Wibisani  yang  menganggap  wanti-wanti  tentang harimau Gunung Kendeng itu lelucon. Ingatlah dua minggu lalu mereka malah memperolok-olok Yashinta soal berang-berang yang lucu. Bagi mereka harimau-lah yang lucu. Dalimunte demi melihat kakaknya berdiri, dengan ikut berdiri.  Melihat kakaknya berlari pulang ke rumah  mengambil obor dan golok, dengan cepat  mengikuti. Mamak Lainuri  yang masih  semaput tidak  bisa  bicara  hanya  menatap  kosong  mereka  berdua.  Tidak  ada  warga  di balai  kampung  yang  bisa  mencegah.  Terlalu  penat  setelah  kerja  seharian.  Penat  dengan segenap kecemasan. Tidak ada. Hanya membiarkan. Maka bergeraklah dua obor itu menuruni cadas sungai. Menyeberangi sungai.
Masuk ke gerbang hutan rimba. Pukul  02.00.  Empat  jam  berlalu.  Rombongan  lelaki    penduduk  kampung  terus  menyisir rimba  belantara.  Karena  mereka  harus  memastikan  setiap  semak-belukar  bersih  ditelusuri, pergerakan  mereka  lamban.  Berteriak-teriak  memanggil.  Suara  itu  membuat  diam  binatang hutan. Kosong. Sejauh ini kosong. Tidak ada selain babi hutan yang melintas, berlari dengan anak- anaknya. Tidak ada selain desau burung malam yang terbang berderak, terganggu. Langit semakin kelam. Gerakan  Laisa  dan  Dalimunte  jauh  lebih  cepat.  Karena  mereka  langsung  menuju  satu titik. Gunung Kendeng. Semakin masuk ke dalam hutan, pepohonan semakin lebat. Golok di tangan Laisa tangkas memotong semak belukar yang menghalangi langkah. Sudah sejak dua jam  lalu  jalan  setapak  yang  biasa  digunakan  penduduk  mencari  damar,  rotan,  menghilang. Mereka harus menerabos semak belukar, belalai rotan, dan tumbuhan berduri lainnya. Jarang sekali  ada  penduduk  yang  merambah  hingga  ke  atas  gunung.  Jalan    setapak  hanya  ada  di  tempat-tempat  biasa  merek  menyadap  damar,  mencari  rotan,  menangkap  kumbang,  dan sebagainya. Pukul  02.30,  Laisa  berhenti  sejenak.  Memperhatikan  semak  di  depannya.  Jantungnya berdetak amat kencang. Seketika.
"Ada apa, Kak?" Dalimunte mendekat, ikut melihat ke depan.
Laisa  menelan  ludah,  mendekatkan  obor  ke  ujung  dahan  salah  satu  pohon  kecil.  Patah. Khas  sekali.  Itu  bukan  karena  uwa,  bukan  karena  binatang  liar.  Tapi  dipatahkan  oleh manusia. Benar. Ya Allah, ia benar, Ikanuri dan Wibisana baru saja melewati gunung ini.... Laisa menggigit bibir. Cepat! Ia harus buru-buru. Meski harapan itu kecil, meski janji itu bagai  embun  yang  segera  sirna  oleh  cahaya  matahari  pagi,  ia  harus  buru-buru.  Menyusul Ikanuri  dan  Wibisana.  Semoga  belum  terlambat.  Semoga  adik-adiknya  belum  kenapa-napa. Semoga belum.... Golok di tangan Laisa galak  membabat ujung-ujung  semak di depan  yang menghalanginya. Laisa kalap, tangannya gemetar, kakinya apalagi. Tapi rasa cinta yang besar itu  membungkus  segenap  ketakutan.  Adik-adiknya,  dimanapun  saat  ini  dua  sigung  nakal  itu berada.... mereka membutuhkan dia, kakaknya. Laisa terus maju dengan kecepatan tinggi.

GERBANG perbatasan Perancis. Juga Melesat. Eurostar melesat dengan kecepatan tinggi
" Apa yang sedang kau pikirkan, Ikanuri?"
"Tidak. Tidak apa-apa...." Senyap sejenak. Hanya deru roda kereta menghujam batangan baja.
"Kau barusan menangis?"
"Tidak!"
"Kau menangis — "
"TIDAK. Aku tidak menangis—" Jawaban itu serak. Hening lagi. Desau suara pendingin kabin terdengar pelan. Cahaya  lampu  rumah-rumah  pinggiran  Perancis  terlihat.  Lebih  banyak  lagi  perkebunan anggur. Di luar Sana masih gelap. Wibisana menatap datar wajah adiknya.
"Aku hanya takut. Takut terlambat tiba—"  Ikanuri berkata pelan. Tertunduk menatap keluar jendela. Berusaha menyeka matanya. Wibisana menelan ludah. Menepuk lembut bahu Ikanuri.
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri, tidak akan...." Ikanuri hanya diam. Berusaha mengendalikan dirinya.
"Kau tahu, kenapa?" Wibisana tersenyum getir. Ikanuri  menoleh.  Susah  sekali  menyembunyikan  perasaan  hati.  Susah.  Sejak  tadi,  sejak seluruh  kenangan  itu  buncah  kembali  memenuhi  memori  kepalanya,  semua  terasa  sesak. Matanya berkaca-kaca lagi. Sejak tadi dia menangis, malah tanpa sengaja membuat Wibisana terbangun dari tidurnya. Dia tidak bisa berpura-pura lagi. Mengenang semua itu membuatnya benar-  benar  tersentuh.  Biarlah.  Biarlah  Wibisana  melihatnya  menangis.  Maka  Ikanuri tergugu menyeka pipinya. Wibisana  menelan  ludah,  terdiam  sejenak...  Menatap  wajah  sendu  Ikanuri  lamat-lamat, lantas mengulang pertanyaan itu dengan segenap perasaan, 
"Kita tidak akan terlambat, Ikanuri.... Kau tahu, kenapa?" Ikanuri menggeleng, pelan.
"Ka-re-na.... Karena  Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk kita. Tidak pernah. Kak Laisa tidak pernah sedetik pun datang terlambat dalam hidupnya untuk kita... Kak Laisa tidak pernah mengingkari janji-janjinya, demi kita adik-adiknya... Ya Allah...."  Suara Wibisana terputus. 
Menggantung di langit-langit kabin. Hilang ditelan suaranya sendiri yang bergetar, Wibisana ikut tertunduk. Ikanuri menyeka matanya. Terisak lebih kencang. Kereta ekspress Eurostar itu terus melesat menuju Paris! Itu benar sekali. Kak Laisa tidak akan pernah terlambat.

Karena  malam  itu  sempuma  sudah  Laisa  menunaikan  janjinya.  Tepat  waktu.  Tak terlambat sedetik pun. Selepas dari pohon mangga Wak Burhan, usai bertengkar dengan Kak Laisa, Ikanuri dan Wibisana memang akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah. Mereka berpikir  pendek:  Kak  Laisa  pasti  mengadu  ke  Mamak  tentang  mencuri  mangga.  Kak  Laisa pasti  juga  mengadu  kalau  mereka  sudah  menghinanya  soal  bukan  kakak  kami  itu.  Jadi mereka pasti disuruh tidur di bale bambu bawah rumah. Bisa jadi dihukum selama seminggu. Tidur di luar selama seminggu itu sama saja dengan mengusir mereka. Sekalian, kalau begitu lebih baik mereka kabur saja. Mereka tidak  ingin kabur ke desa  atas. Pasti  segera ketahuan. Setelah  berdebat sebentar, Ikanuri dan Wibisana memutuskan kabur ke kota kecamatan. Ada dua puluh kilo jika mereka harus berjalan lewat jalan batu lebar tiga meter itu. Artinya mungkin baru besok siang tiba disana. Terlalu  lambat,  masih  bisa disusul oleh starwgoon  yang  berangkat pagi-pagi  buta, dan pelarian  mereka  diketahui.  Maka  tanpa  berpikir  panjang,  Ikanuri  dan  Wibisana  mengambil jalan  pintas.  Gunung  Kendeng.  Mereka  tahu  jalan  pintas  itu  dari  percakapan  orang-orang, pemburu, di kota kecamatan dua minggu lalu.
Berangkatlah dua kakak-adik nakal itu. Agak sedikit lambat, memutari desa, karena tidak mungkin  melewati  pinggiran  sungai  tempat  orang-orang  sedang  bekerja  membuat  kincir. Pukul  20.00,  saat  pertama  kali  Mamak  berlari  ke  rumah  Wak  Burhan,  mereka  berdua  baru setengah  jam  perjalanan  dari  gerbang  masuk  ke  dalam  hutan  rimba.  Melangkah  pasti. Bintang-gemintang  dan  bulan  malam    tiga-belas    membuat  perjalanan  mereka  mudah dilakukan, meski tanpa bantuan obor dan golok. Pukul 22.00 saat rombongan pencari mulai masuk ke hutan rimba, masalah mereka mulai serius.  Awan  mendung  yang  menutupi  langit  membuat  rimba  gelap  seketika.  Hanya  kerlip kunang-kunang, tapi itu tidak membantu banyak. Apalagi tidak ada lagi jalan setapak. Tanpa golok,  mereka  hanya  menyibak  dan  mematahkan  semak-belukar  dengan  tangan  untuk memudahkan  langkah. Sekali dua  beristirahat. Bersitatap satu sama  lain. Semakin  masuk ke dalam,  mereka  berdua  semakin  menyadari  ini  semua  keliru.  Benar-benar  keliru.  Mereka terlalu menganggap sepele banyak hal. Menggampangkan masalah. Salah perhitungan. Pukul  24.00  saat  Laisa  dan  Dalimunte  menyusul,  Ikanuri  dan  Wibisana  benar-benar dalam  masalah. Mereka  masih  jauh dari kota kecamatan,  jangankan kota kecamatan, puncak
Gunung  Kendeng  pun  belum  terlihat.  Mereka  tertahan  di  punggung  Gunung  Kendeng. Ikanuri  dan  Wibisana  tersesat.  Dua  anak  kecil  yang  meski  amat  ringan  menganggap  semua perkataan  orang,  jelas-jelas  masih  anak  kecil,  mulai  mengkerut  ketakutan  saat  menyadari setiap  lima  belas  menit  mereka  berjalan,  mereka  sempurna  kembali  lagi  ke  titik  semula. Berputar-putar. Begitu-begitu saja. Ikanuri  mulai  mengeluh.  Wibisana  mengusap  dahinya  yang  berkeringat.  Ini  semua menakutkan....  Dan,  hei,  bukankah  mereka  pernah  (sebenarnya  sering)  mendengar  kisah tentang  harimau  Gunung  Kendeng  yang  dulu  setiap  tahun  mencari  tumbal?  Hei,  bukankah Babak  juga  salah  satu  dari  tumbal  itu.  Cemas.  Ikanuri  dan  Wibisana  tersengal.  Berjalan semakin  cepat.  Percuma.  Kembali  lagi  ke  titik  semula.  Hei,  bukankah  ini  pertanda  sang siluman mengeluarkan jerat pamungkasnya? Pukul 02.00, sempurna  sudah keduanya  mengkerut takut. Setelah  hampir dua  jam  hanya bolak-balik  di  tempat  yang  sama,  mereka  memutuskan  untuk  bertahan  di  Sana.  Menunggu besok,  ketika  cahaya  matahari  memudahkan  menentukan  arah.  Wajah  mereka  pucat  oleh perasaan  gentar,  cemas.  Tubuh  mereka  mulai  gemetar.  Sedikit  saja  suara  gerakan  di  sekitar, cukup  sudah  untuk  membuat  jantung  mereka  berdetak  lebih  kencang.  Ikanuri  dan  Wibisana berdiri  saling  membelakangi  punggung.  Mematahkan  batang  semak  belukar  yang  besar, berusaha mempersenjatai diri.
Saat itu, Laisa dan Dalimunte sudah dekat sekali. Tetapi  pukul  02.30  mendadak  hutan  di  sekitar  mereka  lengang.  SEMPURNA LENGANG.  Seperti  ada  yang  jahil  menekan  mati  tombol  volume  derik  jangkrik  dan serangga lainnya. Ikanuri  dan  Wibisana  saling  menoleh.  Bersitatap  dengan  cahaya  mata  redup.  Ganjil sekali.  Suasana  hutan  yang  mendadak  lengang  terasa  amat  ganjil.  Bahkan  angin  pun  seolah takut berdesau.  Langit gelap, pekat. Awan hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya nafas cepat mereka yang menderu. Apa yang sedang terjadi? Ada apa? Wahai,  kalian  seharusnya  lima  kali  lebih  takut  saat  di  sekitar  kalian  mendadak  senyap, hening.  Bukan  takut  saat  mendadak  ada  suara  teriakan  atau  cekikikan.  Wahai,  senyap  yang datang  tiba-tiba,  itu  berarti  pertanda  ada  maut  besar  yang  mengintai.  Pertanda  kehadiran kekuasaan besar yang mengendalikan sebuah tempat. Dan itu benar. Saat itulah, lima  belas detik kemudian, suara gerung pelan  itu terdengar menggantung di langit-langit  hutan rimba.  Awalnya pelan, semakin  lama semakin  mengeras. Gerungan  maut sang siluman.
"RRRRR-"  Ikanuri dan Wibisana seperti sudah mati rasa. Berdiri kaku. Terkencing-kencing.
"RRRRR-"  Mata-mata itu terlihat menakutkan dari balik semak. Cemerlang.  Mengerikan.  Semakin  mendekat.  Semak  belukar  itu  pelan  bergoyang,  lantas  tersibak. Tiga  harimau  dewasa  sebesar  anak  sapi  mendekat.  Berkilauan  kuning  legam  dengan  loreng hitam.  Ikanuri  dan  Wibisana  membeku  sudah.  Tidak  bisa  menggerakkan  tubuh  lagi. Menggigil. Satu detik. Satu meter lebih dekat.
"RRRRR-"  Lima detik. Tinggal lima meter. Sepuluh detik. Tiga ekor harimau itu berhitung dengan situasi, mengukur bagaimana cara terbaik  menerkam  Ikanuri  dan  Wibisana.  Waktu  benar-benar  berjalan  lambat,  untuk  tidak bilang seperti terhenti. Aroma kematian menggantung pekat di langit-langit hutan. Hanya soal kapan. Hanya soal detik. Saat  Ikanuri  dan  Wibisana  hampir  jatuh  pingsan,  ketakutan.  Saat  harimau  terbesar  yang berada paling dekat bersiap meloncat. Saat itulah Kak Laisa menunaikan janjinya.
"TIDAK! TIDAK BOLEH!" Terhenti. Gerakan tubuh harimau terbesar itu terhenti.
"TIDAK! PUYANG TIDAK BOLEH MEMAKAN MEREKA!" 
Kak Laisa, entah apa  yang ada di kepalanya,  yang sedetik  baru tiba di  sana,  sedetik terpana menyaksikan  pemandangan  di  depannya,  tanpa  berpikir  panjang,  seperseribu  detik  langsung loncat dari balik semak, menerobos ke tengah kerumunan. Mukanya terlihat begitu tegang. Ia sungguh  gentar.  Ia  sungguh  ketakutan.  Siapa  pula  yang  tidak  akan  jerih  melihat  tiga  ekor harimau dari jarak dua meter tanpa penghalang? Tapi perasaan itu, perasaan melindungi adik-adiknya membuat Laisa menyeruak, nekad masuk ke  kematian. Mengacung-acungkan obornya ke depan. Tiga  harimau  itu  mundur  satu  langkah.  Menahan  terkaman.  Sedikit  jerih  melihat  obor Laisa. Ekor mereka bergerak. Berhitung dengan situasi baru.
"RRRRR-"  Harimau  -harimau  itu  menggerung  lagi.  Amat  menakutkan.  Tubuh  mereka  yang  hampir sebesar anak sapi itu terlihat lebih jelas, tertimpa cahaya obor Kak Laisa. Kerlap-kelip. Kulit yang tebal, mengkilat. Wajah, taring, cambang, sungguh menakutkan.
"Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh—"   Kak Laisa mencicit, berkali-kali mengibas-ngibaskan obornya.
"RRRR-"
"Pergilah Ikanuri, Wibisana. Pergi dari sini! PERGI!"   Kak  Laisa  mendorong  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  pucat  pasi  di  belakangnya.  Sementara wajah Kak Laisa terus bersitatap dengan harimau-harimau itu. Menjaga segala kemungkinan. Gerungan  terdengar  semakin  keras.  Tiga  harimau  itu  mengambil  posisi  baru.  Tidak masalah. Empat mangsa lebih baik dari dua.
"Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!"  Kak  Laisa  berseru panik. Situasinya  semakin  mencekam. Harimau-harimau kembali  bersiap. Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit.
"Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!"  Kak Laisa membentak. Suaranya parau. Panik. Mereka tidak punya waktu lagi. Gemetar  Dalimunte  masuk  ke  dalam  lingkaran,  patah-patah  menarik  tubuh  membeku Ikanuri  dan  Wibisana  ke  luar.  Laisa  terus  menatap  tiga  ekor  harimau  itu.  Menelan  ludah. Mencoba menahan mereka dengan obor yang teracung.
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi"
"RRRRR-"
"Dali, bilang Mamak, maafkan Lais—"  Kak  Laisa  berkata  dengan  suara  semakin  serak.  Ia  tahu,  malam  ini  harimau-harimau  ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang menggantikan adik-adiknya.... Ia tahu, waktunya  sudah  selesai.  Biarlah  begitu.  Biar  ia  yang  menahan  mereka  sementara  adik-adiknya berlari....
Suara gerungan itu tiba di puncaknya. Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam. Laisa    dengan  mata  bercahaya,    buncah    oleh    air  mata  menatap  ke  depan.  Menunggu. Bersiap.  Sementara  Dalimunte  yang  sedikit  pun  tidak  mengerti  apa  yang  sedang  dilakukan Kak  Laisa,  tunggang  langgang  menarik  tubuh  Ikanuri  yang  sempat  terjatuh,  mereka  harus kabur sesegera mungkin dari situ. Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang bersitatap  dengan  mata  Laisa,  tiba-tiba  bergoyang.  Harimau  itu  menggerung  keras.  Laisa menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap. Tapi  hei,  kenapa?  Kenapa  belum  ada  satu  pun  harimau  yang  menerkamnya?  Dua  detik. Tetap begitu. Tiga detik? Tidak ada yang bergerak. Wahai, apa yang telah terjadi?
Keajaiban  itu!  Hanya  kuasa  Allah  yang  tahu  apa  yang  sesungguhnya  sedang  terjadi malam  itu,  sang  siluman  entah  oleh  kekuatan  apa  mendadak  mengurungkan  niatnya menerkam  tubuh  pasrah  Laisa.  Lima  detik  berlalu,  harimau  terbesar  setelah  sekali  lagi menggerung  lebih  keras,  perlahan  melangkah  mundur.  Memberikan  perintah,  memutar tuhuhnya. Pergi. Dua harimau lainnya mengikuti. Dalimunte  yang  terjerambab  di  semak  belukar  setelah  berlari  sepuluh  langkah  bersama adik-adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh mereka yang terjerambab. Begitu saja Lima detik. Lima belas detik. Senyap. Hening. BAGI penduduk di lembah itu, legenda tentang harimau Gunung Kendeng selalu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mungkin dulu sengaja dibuat begitu agar penduduk kampung  tidak  berani  merambah  wilayah  berbahaya  tersebut.  Cerita  itu  juga  dikisahkan  ke anak-anak agar  mereka tidak sejahil dan  segampang Ikanuri dan  Wibisana  yang  bebal  justru melintasi sarang harimau. Atau setidaknya membuat anak-anak yang susah disuruh tidur dan banyak merengek segera beranjak naik ke atas dipan.
Alkisah,  di  lembah  dan  gunung  itu,  ratusan  tahun  silam  bangsa  harimau  dan  manusia hidup  damai  berdampingan.  Penduduk  lembah  tidak  mengganggu  mereka,  harimau  juga sebaliknya.  Itu  perjanjian  tak  tertulis  para  leluhur.  Hingga  pada  suatu  ketika,  masa-masa berdamai itu berakhir oleh sebuah kejadian. Salah seorang penduduk kampung yang berburu di dalam hutan tidak sengaja masuk ke wilayah terlarang. Entah apa pasal, pemburu itu malah menombak  seekor  anak  harimau.  Maka  rusaklah  perjanjian  tersebut.  Kelompok  harimau meminta  ganti  rugi.  Nyawa  ditukar  nyawa.  Tapi  penduduk  kampung  menolak.  Mereka menolak menyerahkan pemuda yang melakukan kesalahan tersebut. Kelompok harimau gunung memutuskan balas dendam. Maka terjadilah pertikaian. Lebih banyak  lagi  harimau  yang  mati  terbunuh.  Suatu  malam,  sekelompok  harimau  yang  tersisa mengambil  belasan  anak-anak  kecil  dari  kampung  secara  diam-diam  sebagai  ganti-rugi. Bertahun-tahun  tidak  ada  yang  tahu  ke  mana  anak-anak  itu  menghilang.  Sebagian  bilang mereka  berubah  jadi  harimau.  Sebagian  yang  lain  bilang  dijadikan  tumbal.  Yang  pasti  sejak hari itu, manusia dan harimau di lembah dan gunung terus saling menyerang. Atas  kejadian  itu,  harimau  kemudian  disebut  sang  siluman,  karena  mencuri  sembunyi-sembunyi  anak  kecil.  Sejak  hari  itu  juga,  kata-kata  puyang  (atau  kakek)  disematkan  kepada harimau.  Karena  legenda  itu  mewariskan  pemahaman  bahwa  harimau  yang  ada  di  puncak gunung sekarang tidak lain adalah kakek-kakek (anak-anak) mereka dulu yang dicuri.
Sejak  delapan  tahun  silam,  populasi  harimau  di  Gunung  Kendeng  sebenamya  semakin terdesak.  Perambah  hutan  membuat  mereka  mulai  tersingkir.  Belum  lagi  harga  kulit  dan taring  mereka  yang  mahal.  Harimau  Gunung  Kendeng,  diburu  oleh  kelompok-kelompok pemburu  profesional  dari  kota  provinsi.  Dengan  bedil.  Perangkap  besi.  Legenda  itu  tinggal cerita  belaka.  Tinggal  sebutan,  nama-nama.  Tidak  ada  penduduk  yang  menganggapnya serius.  Masih  disampaikan  kepada  anak-anak  hanya  agar  mereka  mengerti  kalau  gunung  itu berbahaya.  Tapi  meskipun  begitu,  semua  penduduk  mengerti  benar  berapa  pun  jumlahnya sekarang harimau tetaplah binatang berbahaya.
Setengah jam berlalu dari kejadian hebat itu.... Setelah  sepotong  lereng  gunung  tempat tiga  harimau  tadi  bersiap  menerkam  Ikanuri  dan Wibisana  kembali  ramai  oleh  derik  jangkrik,  ramai  kembali  oleh  serangga  malam,  Laisa menuntun adik-adiknya, pulang. Obor sudah padam. Tidak sengaja padam saat kejadian seru tadi.  Tombak  Dalimunte  juga  entah  tercecer  di  mana.  Terjatuh.  Tidak  ada  yang  sempat memikirkannya.  Mereka  berjalan  pelan.  Beriringan.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  mulai  bisa bernafas  normal  melangkah  tertunduk  di  depan.  Sementara  masih  banyak  sekali  pertanyaan yang menyesaki kepala Dalimunte. Laisa  tidak  banyak  bicara.  Ujung  tangannya  masih  berkedut  sekali, dua kakinya  masih sering  gemetar  menopang  tubuh.  Sisa  perasaan  gentarnya  tadi  saat  tiga  harimau  itu  bersiap menerkam. Tapi karena  ia  ingin  buru-buru pulang, agar Mamak tak terlalu  lama  menunggu, tak  terlalu  lama  menanggung  cemas,  Laisa  meneguhkan  hati,  membujuk  kakinya  agar berjalan senormal mungkin.
Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat Wak  Burhan  dan  penduduk  kampung  masih  sibuk  dan  mulai  putus  asa  mencari  Ikanuri  dan Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini. Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang. Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah.
"Ikanuri, Wibisana, Dalimunte...."  Berkata pelan. Langkah adik-adiknya di depan ikut terhenti. 
"Lihatlah! Kunang-kunang yang indah—" Ikanuri dan Wibisana mengangkat kepalanya.
"Suatu hari nanti...."  Kak Laisa terdiam  sebentar,  ia tersenyum amat tulus sambil  menatap wajah  adik-adiknya  di  remang  semburat  merah  langit,  wajahnya  sungguh  kontras  dengan mereka, ia berkulit hitam, sementara adik-adiknya putih, ia berambut gimbal, sementara adik-adiknya lurus, 
"Suatu  hari  nanti,  sungguh  kalian  akan  melihat  berjuta  kerlip  cahaya  lampu  yang  jauh  lebih indah di luar sana, di luar lembah kita..."  Satu kunang-kunang berdesing di depan mereka. Kepala Dalimunte tertunduk.
"Ikanuri,  Wibisana,  suatu  saat  nanti  kalian  akan  melihat  betapa  hebatnya  kehidupan  ini.... Betapa  indahnya  kehidupan  di  luar  sana.  Kalian  akan  memiliki  kesempatan  itu,  yakinlah.... Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua ini terwujud...." Dalimunte menyeka ingusnya.
"Tapi  sebelum  hari  itu  tiba,  sebelum  masanya  datang,  dengarkan  Kakak,  kalian  harus  rajin sekolah,  rajin  belajar,  dan  bekerja  keras.  Bukan  karena  hanya  demi  Mamak  yang  sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana, Dalimunte, kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput...."  Dalimunte sudah menangis pelan.
"Kelak kalian akan melihat kerlip cahaya yang lebih indah...."  Dalimunte sudah terisak.
Dia mengerti. Amat mengerti segalanya. Juga di sini Ikanuri juga benar-benar menangis.  Lihatlah! Menara Eiffel terlihat cemerlang. Penghujung tahun begini. Menara  Eiffel  bagai  pohon  natal  raksasa.  Kerlip  berjuta  lampu  kota  Paris  yang  tersaput selimut salju putih tak mau kalah, terlihat begitu mempesona. Seperti sejuta kunang-kunang. Menyeruak berpendar-pendar. Ikanuri  mendekap  wajahnya.    Umurnya  sekarang  tiga  puluh  enam.  Wibisana  tiga  puluh tujuh.  Kejadian  itu  lebih  seperempat  abad  silam  berlalu.  Ya  Allah,  Kak  Laisa,  Kak  Laisa tidak  pernah  datang  terlambat  untuk  mereka.  Tidak  sedikit  pun.  Seperti  kalimat  Kak  Laisa pagi itu, Kak Laisa menunaikan seluruh janjinya. Tidak ingkar sekalipun. Tidak pernah....
Kereta  eskpress  Eurostar  itu  melesat  membelah  indahnya  kota  Paris.  Semburat  merah muncul  di  angkasa.  Pagi  datang  menjelang.  Membuat  gemeriap  lampu  kota  yang  belum dimatikan terlihat begitu menawan. Kabut pagi menambahinya. Syahdu.
"Sudahlah, Ikanuri—" Wibisana mendekap bahu adiknya.
"Kau tahu.... Kau tahu, waktu itu aku mengatakan Kak Laisa bukan kakak kita. Kau tahu itu!" Ikanuri  tersedak.  Mendekap  wajahnya.  Dia  tidak  bisa  menahan  lagi  perasaan  itu.  Dan melihatnya tertunduk menangis sungguh menyedihkan. Wahai, kalian akan lebih terharu saat melihat  seseorang  yang  selama  dikenal  nakal,  tukang  jahil,  bebal,  atau  apalah  tiba-tiba menangis. Sungguh.
"Kak Laisa tidak pernah marah dengan itu, Ikanuri."  Wibisana mengusap bahu adiknya.
Ikanuri justru tersedan lebih keras. Itu benar sekali. Kak Laisa tidak pernah marah soal itu sedikitpun.  Tidak  pernah.  Bahkan  Kak  Laisa  tidak  pernah  mengungkit-ungkitnya  lagi.  Ya Allah,  karena  itulah  dia  merasa  bersalah  sekali.  Menyesalinya  sepanjang  hidup.  Dua  puluh lima  tahun  berlalu,  ketika  takdir  kehidupan  yang  lebih  baik  menjemput  keluarga  sederhana mereka  di  Lembah  Lahambay,  bahkan  dia  tidak  pernah  meminta  maaf  soal  itu.  Meski  Kak Laisa sebenarnya sudah memaafkan detik itu juga di bawah pohon mangga tersebut. Tapi dia selama  ini  tidak  pernah  merasa  harus  meminta  maaf.  Bagainiana  jika  mereka  terlambat  dan tidak ada waktu lagi?
"Tolong.... Tolong sambungkan sekali Iagi ke Mamak—"  Ikanuri menyeka matanya. Berusaha mengendalikan diri.
Wibisana  mengerti.  Mengambil  HP  di  saku.  Pelan  menekan  nomor  HP  Mamak  Lainuri. Tadi  berkali-kali  mereka  menelepon  ke  perkebunan  strawberry,  kata  Mamak,  Kak  Laisa masih  tertidur  (atau  begitulah  yang  dokter  bilang).  Mereka  tidak  ingin  membangunkan  Kak Laisa. Biarlah mereka akan menelepon lagi. Suara tunggu itu bernyanyi satu kali. Dua kali.
"Assalammualaikum...." Suara renta Mamak terdengar.
"Waalaikumussalam..."  Wibisana  menelan  ludah  suaranya  bergetar,  berusaha  tersenyum.  Tangannya  yang  satu  lagi masih mendekap bahu Ikanuri, menenangkan.
"Kak Lais sudah bangun, Mak?—"
"Sudah. Sebentar, anakku — "  Senyap.  Suara  Mamak  yang  bertanya  pada  dokter  terdengar  samar-samar.  Handsfree. Dokter mengaktifkan handsfree, agar Kak Laisa bisa bicara meski sambil terbaring,
"Silahkan, Pak Wibisana, Pak Ikanuri, kalian bisa bicara sekarang, tapi jangan lama-lama, Ibu Laisa masih dalam kondisi kritis. Silahkan,—" Dokter berkata dari seberang. Ikanuri dan Wibisana justru terdiam. Menelan ludah.
"Kak Lais—" Bergetar.
"I-ka-nu-ri?" Terbatuk. 
"Itu kau di sana, Ikanuri?—" Samar suara Kak Lais terdengar dari speaker telepon genggam. Ikanuri seketika kehabisan kata-katanya, kecuali tangis. Benar-benar kecuali tangis.

Satu minggu berlalu. Hari ini seluruh kampung bersuka-cita. Sejak shubuh mereka sudah berkumpul  di  pinggir  cadas.  Beramai-ramai,  bergotong-royong  memasang  kincir-kincir  di atas  pondasinya.  Benar,  Perhitungan  Dalimunte  sejauh  ini  tepat.  Saat  ikatannya  dilepas, kincir  pertama  yang  terbenam  di  air  sungai  berderak  mulai  berputar  mengikuti  arus,  sambil membawa air di ujung-ujung bumbungnya. Naik. Terus naik. Lantas tumpah persis di puncak kincir. Mengisi bumbung bambu kincir kedua. Kincir kedua pelan, mulai ikut berputar.
"NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Penduduk  kampung  berseru-seru.  Wajah  mereka  tegang.  Meski seringai  yakin  mulai  terpancar  di  sana-sini.  Kincir  mereka  kokoh,  pondasinya  kuat.  Tidak akan  ada  yang  salah.  Susunannya  tepat,  konstruksinya  baik.  Percuma  mereka  punya  jagoan pintar macam Dalimunte. Kincir  air  kedua  sedikit  bergetar  membawa  air  terus  berputar.  Naik  ke  atas.  Tumpah. Mengisi bumbung kincir ketiga.
"NAIK!  NAIK!  NAIK!"  Seruan  penduduk kampung semakin meriah. Satu-dua anak kecil malah  bertepuk-tangan.  Macam  nonton  kumedi  putar  di  kota  kecamatan.  Wak  Burhan  yang berdiri  di  depan  kerumunan  melepas  topi  anyaman  rotan.  Menyeka  keringat  di  dahi, pertanyaan  terbesarnya  adalah  apa  cukup  kekuatan  air-air  yang  terus  mengalir  ke  atas  itu untuk  memutar  lima  kincir  air?  Dulu  saat  mereka  membuat  kincir  raksasa,  masalah terbesamya air deras sungai tidak cukup kuat memutarnya. Tapi  kincir  air  yang  ketiga  justru  berputar  lebih  cepat.  Dalimunte  sudah  menghitung kemungkinan  itu.  Membuat  kincir-kincir  tersebut  proporsional  mengecil  hingga  ke  atas. Menyusunnya  dengan  posisi  lebih  condong,  lebih  mudah  digerakkan.  Dia  juga  membuat klahar bantalan pemutarnya jauh lebih licin dengan gemuk yang dibeli Wak Burhan dari kota kecamatan.
"NAIK! NAIK! NAIK!"  Kincir keempat bergerak meyakinkan.
"NAIK! NAIK! NAIK!"   Seruan semakin ramai. Yang membuat penduduk semakin yakin, sejauh ini air itu sudah naik empat meter, tinggal satu meter lagi. Tinggal satu kincir lagi. Kincir  kelima  berderak  sebentar.  Pondasinya  di  dinding  cadas  bergetar.  Membuat  nafas tertahan. Bumbung bambu pertamanya menerima tumpahan air dari kincir keempat. Penuh. Lantas pelan, mulai ikut berputar. Dan  akhirnya,  air  dari  bumbungnya  tumpah  persis  di  atas  cadas  setinggi  lima  meter. Pinggir sungai itu buncah sudah oleh tawa-gembira. Seruan-seruan senang. Tepuk-tangan 
"Bah! Apa kubilang! Kita pasti berhasil!" Beberapa pemuda saling memukul lengan, tertawa. 
"Benar! Kita pasti berhasil!" 
"Bukan main, kau hebat Dali!"  Yang lain mengangkat tubuh kecil Dalimunte. Mengaraknya ke tengah sungai. Tertawa lebih keras.
"CBYUR!" Terjatuh.Terpeleset bebatuan. Pemuda-pemuda itu basah kuyup. Juga Dalimunte. Tertawa lebih lebar. Wak Burhan menghembuskan nafas lega. Engkau sungguh baik ya, Rabb. Menatap wajah Dalimunte  yang  tertawa-tawa,  bangkit  dari  air  sungai  sedalam  pinggang.  Menatap  wajah Lainuri yang berdiri bersama ibu-ibu kampung lainnya. Wajah Lainuri yang tersenyum lebar. Menatap  wajah  Laisa  yang  tersenyum  lebih  lebar.  Wajah  Yashinta  yang  berdiri  dengan teman-teman sepantarannya. Ikut berteriak-teriak riang meski mereka tidak mengerti benar. Menatap wajah Ikanuri dan Wibisana. Dua sigung bebal itu bersama anak-anak tanggung lainnya ikut melompat ke inang sungai, ikut menyirami Dalimunte dengan air. Tertawa-tawa. Benar-benar melupakan kejadian heboh seminggu lalu. Pagi ini, kabar baik memenuhi langit-langit  lembah.  Engkau  sungguh  pemurah,  Rabb.  Wak  Burhan  memasang  topinya. Berteriak menyuruh mereka mulai bekerja. Hari ini mereka harus menyelesaikan sambungan pipa-pipa bambu  sepanjang  satu  kilo.  Dengan  begitu,  ladang-ladang  mereka  mulai  bisa  diairi.  Dengan begitu,  lepas  panen  bulan  depan,  mereka  langsung  bisa  mengolah  tanah  lagi.  Tidak  perlu menunggu musim penghujan, Sekarang, nasib mereka berada di tangan mereka sendiri.
Tujuh  puluh  tahun  tinggal  di  kampung  itu,  tidak  pernah  Wak  Burhan  merasakan antusiasme  hidup  yang  begitu  hebat.  Meski  baru  seminggu  lalu  dia  seperti  kembali  melihat hantu masa  lalunya. Tapi  itu tidak terjadi.  Kecemasan kembali terulangnya kejadian delapan tahun  silam  tidak  terbukti.  Saat  mereka  benar-benar  putus-asa,  mulai  berangsur  pulang setelah  lelah  menelusuri  hutan  rimba,  saat  bersiap  melaporkan  kejadian  itu  ke  polisi  di  kota kecamatan,  saat  tiba  di  balai  kampung,  Ikanuri  dan  Wibisana  justru  ditemukan  sudah berbaring kelelahan, dikelilingi ibu-ibu yang berusaha memberikan minum. Laisa  dan  Dalimunte  terbata  menceritakan  apa  yang  terjadi.  Satu  patah,  dua  kali  helaan nafas.  Mereka  juga  lelah.  Naik  turun  Gunung  Kendeng  bukan  urusan  mudah,  apalagi  dalam situasi  buruk  seperti  itu.  Maka  cerita  mereka  hingga  kapanpun,  mungkin  tak  akan  pernah terlupakan.  Mungkin  berpuluh-puluh  tahun  ke  depan  tetap  dikenang  penduduk  kampung.
Tidak  ada  yang  tahu  apa  yang  terjadi,  kenapa  tiga  harimau  itu  urung  menerkam  Laisa.  Satu dua  bilang  mungkin  harimau  itu  sudah  kenyang,  habis  memangsa  babi  liar.  Satu  dua  bilang harimau itu mungkin takut dengan obor api. Satu dua berseru, mungkin harimau itu lagi sakit gigi. Semakin dibicarakan, semakin ngaco seruan-seruan penduduk. Malah  ada  yang  menduga  mungkin  karena  Laisa  mewarisi  Jurus  Pesirah,  ilmu  silat mengendalikan  harimau  yang  konon  dulu  pernah  dikuasai  leluhur  mereka.  Atau  mungkin pula  harimau  itu  takut  melihat  mata  melotot  Laisa,  bukankah  minggu  lalu  saat  Laisa  galak berseru-seru  soal  ide  lima  kincir  di  balai,  pemuda  kampung  saja  jerih  melihatnya,  nah, apalagi harimau itu. Entahlah. Laisa tidak banyak berkomentar, ia hanya bilang ia juga takut malam  itu,  tapi  apalagi  yang  harus  dilakukannya?  Ia  tidak  punya  pilihan  selain  melindungi adik adiknya. Tidak sempat berpikir panjang.
Hanya  Dalimunte  yang  bisa  memberikan  penjelasan  lebih  masuk  akal.  Itu  pun  setelah Dalimunte sudah sekolah di kota provinsi,  mulai tenggelam dengan kecintaannya atas  buku-buku.  Kata  Dalimunte  pada  suatu  kesempatan  saat  mereka  berkumpul,  berdasarkan  buku-buku  yang  dibacanya,  binatang  meski  tidak  memiliki  akal-pikiran  tapi  mereka  memiliki insting, naluri. Perasaan. Mereka bisa menyayangi anak-anaknya, melindungi sarangnya, tahu kerabatnya  sedang  dalam  bahaya,  sakit,  dan  sebagainya.  Sehingga  mereka,  meski  tidak seintens  manusia  dalam  menerjemahkan  perasaannya,  dalam  kondisi  tertentu,  bisa  mengerti binatang  lain,  bisa  mengerti  komunikasi  perasaan  dengan  mahkluk  yang  tidak  sejenis dengannya. Itulah  yang  terjadi  malam  itu.  Harimau  yang  paling  besar,  yang  paling  menakutkan, meski  selintas,  meski  sekejap,  dari  tatapan  matanya  ke  Kak  Laisa,  ia  akhirnya  tahu  betapa Kak  Laisa  mencintai  adik-adiknya.  Betapa  Kak  Laisa  siap  mengorbankan  hidupnya  demi adik-adiknya.  Harimau  itu  mengerti.  Lantas  memutuskan  pergi.  Itu  penjelasan  Dalimunte kepada  Intan  yang  beranjak  sekolah  dan  sibuk  bertanya  saat  mereka  berkumpul  bersama mengenang kejadian  itu di perkebunan  strawberry. Dan  itu  lebih dari cukup untuk  membuat Intan, Juwita, dan Delima terdiam, lantas menatap terpesona pada Wak Laisa.
Menjelang  senja,  saat  matahari  bersiap  menghujam  di  balik  puncak  Gunung  Kendeng, pipa-pipa  bambu  sudah  tersambung  rapi.  Diperlukan  76  batang  bambu  untuk  mencapai ladang.  Seperti  tarian  ular,  air  bening  yang  mengalir  melewati  pipa  bambu  membasahi ladang-ladang mereka. Bukan main, ini semua benar-benar kabar baik. Wak  Burhan  setelah  puas  menatap  air  tumpah  membanjiri  ladang-ladang  mereka, beranjak  mengajak penduduk kampung pulang. Lembah  mulai remang. Saatnya  beristirahat. Esok  masih  panjang,  masih  banyak  pekerjaan  yang  harus  dilakukan.  Dan  malam  ini, perjalanan  panjang  itu  telah  dimulai  dengan  perasaan  lega.  Menyenangkan.  Hanya  Ikanuri dan Wibisana yang merasa ganjil selepas pulang dari ladang. Karena tadi siang Wak Burhan menyuruh  mereka  memetik  habis  buah  mangga  di  ladangnya.  Membagi-bagikannya  ke penduduk kampung yang sedang gotong-royong.
"Sayang,  yang  besar-besar  minggu  lalu  rontok  dimakan  kelelawar  harusnya  itu  jatah Yashinta—" Wak Burhan tersenyum memberikan sekantong buah mangga ke Yashinta. Ikanuri dan Wibisana hanya saling lirik, merasa bersalah.
MOBIL KIJANG itu pelan masuk ke halaman rumah. Rumput  yang terpotong rapi  menghampar bagai  beludru. Pohon duku, jeruk, durian, dan kakao  yang  dibonsai  berbaris  rapi.  Minggu-minggu  ini  buahnya  masih  terlalu  muda  untuk dipetik,  tapi  melihatnya  sudah  cukup  menyenangkan.  Rumah  panggung  itu  terlihat  terang. Belasan lampu neon bersinar lembut. Ramai. Beberapa penduduk terlihat duduk berkerumun di kursi bambu yang tersusun di depannya. Juga di teras. Mereka serempak berdiri saat mobil jemputan kebun strawberry itu mulai memasuki halaman rumah. Tidak.  Tentu  saja  itu  bukan  rumah  panggung  paling  kecil,  paling  reot,  paling  jelek  di ujung  lembah.  Itu  masih  rumah  yang  lama,  masih  di  lokasi  yang  sama,  tapi  sekarang  sudah bertambah tiga kali lipat ukurannya, sudah berdiri kokoh, beratap genteng. Meski masih sama dinding  kayunya,  sudah  berdiri  asri.  Halamannya  yang  sejak  dari  dulu  sudah  luas,  sekarang dipenuhi  bebungaan  dan  pohon-pohon  bonsai.  Rumah  panggung  itu  juga  terlihat  modern dengan instalasi listrik dan rangkaian ornamen kaca warna-warni. Kampung  itu  sejak  dua  puluh  tahun  silam  pelan  tapi  pasti  memang  berubah  jadi  lebih baik. Lebih maju. Hari ini, seluruh rumah-rumah di Lembah Lahambay berjejer rapi, dengan sanitasi  dan  halaman  yang  rapi.  Jika  kalian  sempat  datang  ke  sana,  kalian  seperti  melihat deretan bangunan villa-villa dari kayu di lembah yang amat indah. Itu tentu termasuk rumah tua Mamak Lainuri.
Tidak  ada  lagi  hamparan  semak  belukar.  Juga  ladang-ladang  padi  tadah  hujan  di  sekitar kampung.  Apalagi  kebun  mangga  Wak  Burhan.  Yang  ada,  sejak  memasuki  lembah  radius dua  kilo  meter,  hanya  perkebunan  strawberry  yang  membentang  luas.  Hijau  sepanjang  mata memandang. Buah  merah  yang  beranjak ranum terlihat mengundang, bergelantungan,  meski senja  yang  beranjak  malam  membuat  remang  sekitar.  Kebun-kebun  itu  separuhnya  milik penduduk  kampung,  yang  bentuk  dan  susunannya  dibuat  sedemikian  rupa  agar  sama  seperti separuh lainnya, milik Kak Laisa.  Berbaris. Polybag pohon strawberry terlihat seperti lajur-lajur tentara yang berbaris rapi. Jalan  setapak  yang  sudah    diaspal  melingkari  kebun-kebun.  Memudahkan  untuk mengangkut  buah  strawberry  saat  panen  tiba.  Juga  menjadi  trek  mengasyikkan,  naik  turun lembah  mengelilingi  perkebunan.      Satu  bangunan  besar  terlihat  di  tengah  hamparan  hijau perkebunan.  Itu  gua  penyimpanan  sementara  sebelum  buah  strawbeery  dibawa  ke  kota provinsi.  Lampu-lampu  bangunannya  bersinar  redup.  Malam  ini,  lima  truk  milik  gudang berjejer, besok pagi-truk itu berangkat ke pusat pengalengan. Orang-orang  yang  tadi  duduk  di  kursi  bambu  beranjak  mendekat.  Mengerubungi  mobil jemputan perkebunan. Dalimunte membuka pintu mobil. Melangkah turun.
"Akhirnya kau tiba, Dali —" Orang-orang berseru, memeluknya. Dalimunte  menelan  ludah.  Menatap  wajah-wajah  bersimpati  itu.  Balas  memeluk.  Dia mengenalinya.  Amat  mengenal.  Mereka  adalah  tetangga-tetangga  kampung.  Satu  dua terhitung  teman  sepermainan  masa  kecil.  Mereka  seperti  sedang  bersiap.  Bukan.  Bukan bersiap menyambutnya. Bersiap untuk urusan lain. Dalimunte sekali lagi menelan ludah
"Ayo, kalian jangan menghalangi Dali, biarkan dia masuk—"  Seorang lelaki  setengah  baya  berkata tegas, menyeringai,  menyuruh kerumunan  menyingkir.
Itu Bang Jogar, pemuda yang paling banyak bertanya soal urusan lima kincir air dulu di balai kampung.  Umurnya  sekarang  lima  puluh.  Kepala  kampung  (jika  lembah  indah  itu  masih layak  disebut  kampung).  Wak  Burhan  sudah  meninggal  sepuluh  tahun  silam.  Bang  Jogar dipilih  dengan  suara  bulat  oleh  penduduk  menjadi  penerus.  Kerumunan  tetangga  menyibak. Memberikan jalan.
"Ayo, Dali. Mamak Lainuri sudah menunggu kau dari tadi—" Dalimunte mengangguk,   
"Apa Kak Laisa baik-baik-baik saja?"
"Aku tidak tahu, Dali. Dokter lebih tahu urusan itu  kan tahu, abang-abangmu ini di kampung mana  pernah  sekolah  hingga  kelas  enam  kecuali  kau  dan  anak-anak  kami  sekarang,"  Bang Jogar tertawa, bergurau, mencoba menghibur  Dalimunte yang cemas.
"Tapi terakhir kali aku atas, lima menit lalu, Laisa sudah siuman. Kata Mamak Lainuri, Laisa sempat bicara dengan Ikanuri dan Wibisana lewat telepun, Hei! Kalian bantulah  koper-koper Dalimunte dari mobil. Jangan macam anak  uwa, sibuk menonton saja. Atau seperti kubilang tadi, ikut mengaji yasin di surau sana!—"   Bang Jogar meneriaki pemuda-pemuda tanggung di kursi bambu.
Cie Hui, istri Dalimunte membantu Intan, yang baru bangun tidur, turun dari mobil. Intan menggendong ransel  sekolahnya,  menyeka  anak rambut dari kening. Tadi sempat tertidur di mobil.  Dibangunkan  Abi  persis  masuk  areal  perkebunan  strawberry.  Si  belang  sudah  loncat saat  pintu  mobil  dibuka.  Hamster  itu  amat  familiar  dengan  areal  perkebunan.  Setiap  dua bulan  mereka  pulang,  si  belang  selalu  ikut.  Malah  menurut  Oom  Ikanuri,  si  belang  punya pacar  hamster  liar  lembah.  Ah,  pasti  Oom  Ikanuri  ngibul,  kan  Oom  Ikanuri  memang  suka bohong.  Dalimunte  beranjak  menaiki  anak  tangga,  diikuti  Cie  Hui  dan  Intan  (yang  masih menguap).
Menghela nafas tertahan, masuk ke ruang depan. Ruangan yang dulu menjadi tempat dia, Ikanuri  dan  Wibisana  tidur  bertiga.  Dengan  sarung  beralaskan  tikar  pandan,  bersama  angin malam yang menembus dinding berlubang. Dalimunte menatap sekitar, beberapa ibu-ibu dan anak gadis tetangga berkerudung rapi, duduk di tepi-tepi ruangan, melingkar membaca yasin bersama-sama.  Kebiasaan  setempat  jika  ada  urusan  seperti  ini.  Di  surau  kampung  yang sekarang  berubah  menjadi  masjid  kecil  tapi  megah,  lelaki  dewasa  juga  bersama-sama membaca yasin. Suara mereka terdengar hingga sini. Dalimunte menelan ludah untuk kesekian kalinya. Jika sudah sampai membaca yasin agar yang  sakit  dimudahkan  urusannya,  berarti  sakit  Kak  Laisa  serius  sekali.  Menghela  nafas pelan.  Terus  melangkah  menuju  kamar  Kak  Laisa.  Wajah-wajah  terangkat,  melihat rombongan.  Tersenyum  kepada  Intan  yang  menoleh  ke  sana  ke  mari.  Intan  hanya  nyengir membalas tatapan itu, berpikir pendek, ramai betul lagi ada kendurian, ya? Apa yang sebenamya terjadi? Dalimunte mengusap wajah. Bagaimana mungkin semua tiba-tiba jadi terlihat sendu seperti ini? 
Bukankah  satu  bulan  lalu  saat  mereka  pulang  bersama,  jadwal  berkumpul  rutin  mereka, Kak  Laisa  terlihat  sehat-sehat?  Tertawa-tawa  menggendong  Intan,  Juwita  dan  Delima bergiliran  menuruni  dinding  cadas  sungai.  Berkeliling  kebun  strawberry  dengan  sepeda BMX.  Mengawasi  gudang  penyimpanan.  Bahkan  Kak  Laisa  masih  sempat-sempatnya mencari sendiri umbut (ujung rotan) di hutan untuk membuat masakan surprise bagi mereka. Menu favorit Yashinta, Ikanuri dan Wibisana, dan juga ponakannya. Kak  Laisa  tak  sedikitpun  terlihat  sakit.  Riang  meladeni  Intan,  Juwita  dan  Delima  yang bertengkar memperebutkan foto Tante Yashinta. Galak meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang selalu  saja  jahil  entah  melakukan  apa  kepada  anak-anak.  Meladeni  Ikanuri  dan  Wibisana yang masih saja suka mengganggu Kak Laisa dengan celetukan-celetukan. Tertawa. Bermain kembang api bersama anak-anak kampung. Membuat langit lembah bercahaya oleh gemerlap nyala kembang api. Membakar jagung di halaman rumah bersama tetangga-tetangga.
Kak Laisa tidak berubah sedikit pun, persis seperti melihat foto masa lalunya, hanya saja sekarang piguranya terlihat kecokelatan. Umurnya sekarang empat puluh tiga. Tapi  ia  masih sama  disiplinnya,  terus  bekerja  keras  mengurus  kebun,  mengurus  Mamak,  mengurus  pabrik pengalengan, mengurus sekolah di lembah, mengurus apa-saja. Melakukan banyak hal. Masih sama atletisnya,  masih dengan tubuh gemuk tapi  gempalnya. Padahal kalau  Kak Laisa  ingin duduk-duduk santai,  tidak  masalah. Pabrik  itu punya  belasan pekerja.  Warga dari kampung atas  dan  seberang.  Juga  turut  bekerja  di  perkebunan  beberapa  insinyur  pertanian  lulusan institut pertanian kota provinsi. Sekarang?  Ya  Allah,  bagaimana  mungkin  seluruh  rumah  terlihat  seperti  sedang  bersiap melepas  kepergian  seseorang.  Yasin  yang  dibacakan?  Warga  yang  berkumpul?  Dalimunte menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa? Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa.  Terhenti. Langkahnya terhenti seketika persis di bawah bingkai pintu.  Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini? Kamar  Kak  Laisa  penuh  dengan  peralatan  medis.  Selang  infus,  belalai-belalai  plastik. Layar  bertuliskan  garis-garis  hijau.  Alai-alat  bantu  lainnya.  Tabung  oksigen.  Masker.  Kaki Dalimunte  bergetar.  Matanya  mencari  di  sela-sela  peralatan  medis  yang  pasti  didatangkan dari  rumah-sakit  kota  provinsi.  Mata  Dalimunte  akhirnya  menemukan  sosok  itu.  Menatap nanar  tubuh  besar  (tapi  pendek)  itu.  Yang  terbaring  lemah  di  atas  ranjang.  Mamak  Lainuri duduk di sebelahnya, menoleh karena mendengar seruan-seruan dari luar. Mamak bertanya lirih. Siapa yang telah tiba? Dalimunte. Dalimunte justru sudah terpaku bersitatap dengan mata redup Kak Laisa.
YASHINTA mematut-matut di depan cermin. Menyeringai sendiri. Tersenyum amat lebar. Lihat. Ayo lihat, Yash pagi ini mengenakan seragam merah-putih. Mamak membelikan dari kota kecamatan. Sebenarnya baju itu dibeli di pasar  loak,  baju  bekas,  tapi  itu  tidak  penting.  Yash  juga  tahu,  kok.  Hatinya  sedang  senang. Semalam  berkali-kali  terbangun.  Pukul  sepuluh,  sebelas,  dua  belas,  satu,  dua,  tiga,  sampai Kak  Laisa  mendengus  jengkel,  karena  setiap  kali  Yashinta  terbangun,  ia  menarik-narik  baju gombyor Kak Laisa, berisik bertanya jam berapa sekarang. Menunggu  pagi  seperti  menunggu  waktu  seribu  bulan,  tak  sabaran.  Maka  saat  akhirnya kokok  ayam  hutan  akhimya  terdengar  dari  kejauhan,  Yashinta  semangat  langsung  mandi  di sungai.  Ini  hari  pertama  sekolahnya.  Bukan  main.  Rasanya  susah  dijelaskan.  Lihatlah  muka imut Yashinta  bersenandung riang. Memasukkan  buku tipis ke dalam tas, pensil  yang  sudah diraut, penggaris bambu. Crayon 12 warna dari Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Lantas sudah duduk rapi di meja makan. Siap untuk sarapan. Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  nyengir  melihat  kelakuan  Yashinta.  Bagi  mereka  tingkah Yashinta  mirip  sekali  dengan  mahkluk  planet  lain.  Mana  ada  coba  penduduk  bumi  yang semangat  seperti  adiknya  berangkat  sekolah.  Tapi  Dalimunte  tidak,  dia  tersenyum  lebar, menyeringai  membesarkan  hati  Yashinta,  yang  justru  saat  sudah  siap  berangkat  bersama-sama malah gugup, mendadak sakit perut.
Panen  bersama sebulan  lalu sukses  besar, Mamak Lainuri tak kurang dapat empat puluh kaleng  padi.  Setelah  dipotong  zakat,  juga  padi  cadangan  untuk  lumbung  kampung,  juga delapan belas kaleng untuk persediaan beras mereka selama setahun, sisanya masih lumayan, yang  seluruhnya  dijual  ke  kota  kecamatan.  Ditambah  tabungan  Mamak  dari  menjual  damar, rotan, gula aren, dan anyaman rotan selama ini, uangnya cukup sudah untuk membayar biaya sekolah  Yashinta,  Ikanuri,  Wibisana  dan  Dalimunte.  Tahun  ini,  Dalimunte  duduk  di  kelas enam.  Sementara  Ikanuri  dan  Wibisana  kelas  empat.  Itu  berarti  setahun  lagi  Mamak  harus memikirkan kelanjutan sekolah Dalimunte. Sekolah lanjutan di kota kecamatan. Yang berarti akan lebih banyak lagi uang yang diperlukan. Mamak  meski  terlihat  biasa-biasa  saja,  tapi  soal  itu  benar-benar  penting  baginya.  Lepas panen,  Mamak  langsung  menggarap  lagi  ladang  mereka.  Tidak  ada  istilah  berleha-leha. Menanaminya  dengan  jagung.  Lebih  keras  bekerja.  Lebih  lama  menyadap  damar  di  hutan. Begitu  juga dengan  Kak  Laisa, tubuh gendut tapi  gempalnya terlihat semakin  hitam. Terlalu lama  terpanggang  terik  matahari.  Beruntung  kehidupan  di  kampung  jauh  lebih  baik  sejak irigasi  lima  kincir  air  dibuat.  Beruntung  pula  perangai  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  ikutan membaik  sejak  kasus  itu.  Meski  masih  sering  membantah,  masih  sering  melawan,  masih sering kabur disuruh mengerjakan sesuatu, mereka jauh lebih menurut. Ikanuri  dan  Wibisana  mulai  mengerti  arti  tanggung  jawab.  Tidak  percuma  Kak  Laisa saban hari mengejar-ngejar mereka dengan sapu lidi teracung dan berteriak-teriak 
"Kerja keras!" "Kerja keras!" "Kerja keras!" Dua sigung nakal itu sudah jarang bolos sekolah. Sudah  rajin  membantu  Mamak  di  Ladang.  Sekali  dua  malah  tanpa  disuruh  pergi  ke  hutan  mengumpulkan  kayu  bakar  dan  rotan.  Kejadian  di  puncak  Gunung  Kendeng  sedikit  banyak membuat  mereka  sungkan  dengan  Kak  Laisa.  Lah,  harimau  saja  ngeri  lihat  Kak  Laisa melotot, apalagi mereka, kan? Ihhh.
Siang  itu  panas  membakar  lembah.  Musim  kemarau  tiba  di  minggu-minggu  puncaknya. Yashinta  menyeka  keringat  di  dahi  tidak  hanya  sekali.  Berjalan  pelan-pelan  mengiringi
Ikanuri  dan  Wibisana.  Daun  pisang  yang  tadi  diambilkan  Dalimunte  percuma,  perjalanan pulang  dari  kampung  atas  tetap  menyiksa  wajah.  Ini  bulan  ketiga  sekolahnya.  Sejauh  ini ponten  pelajarannya  bagus-bagus.  Yashinta  jelas  mewarisi  ketekunan  dan  kecerdasan Dalimunte, bukan tabiat iseng bin kenakalan Ikanuri dan Wibisana. Tiba  di  rumah  panggung  mereka  menghabiskan  makan  siang  yang  telah  disiapkan  Kak Laisa  sebelum  berangkat  ke  ladang  tadi  pagi.  Shalat  dzhuhur  (Dalimunte  yang  jadi  imam), kemudian  Dalimunte  meneriaki  Ikanuri  dan  Wibisana  agar  buruan  menyusul  Mamak. Yashinta  sudah  boleh  ikut  ke  ladang  sekarang.  Meski  kerjaannya  di  sana  hanya  belajar  di bawah pondok, belajar membuat anyaman bambu, mengerjakan PR, apa saja.
"HUUUU! HUUUU!!"
"HUUUU!"  Mamak  membalas  teriakan  Dalimunte.  Kempat  adik-kakak  itu  menuruni  lereng landai  kebun.  Di  Lembah  Lahambay,  teriakan  seperti  itu  lazim.  Untuk  saling  memberitahu posisi. Dengan suara seperti pekikan burung. Mamak melambaikan tangan dari kejauhan. Kak Laisa dan Mamak sedang membersihkan gulma di pojokan ladang. Batang jagung sudah setinggi kepala. Subur, dengan air yang terus mengalir. Mereka berempat berbelok, Mendekat
"Mak, tadi ada guru baru di sekolah, Yash—"  Yashinta yang pertama kali melapor. Menurunkan daun pisang di atas kepalanya.
"Siapa?" Mamak bertanya pendek, tanpa menoleh, tangannya tetap gesit menyiangi rumput di sela-sela batang jagung.
"Eh, siapa, Kak?" Yashinta nyengir, justru bertanya padii Ikanuri.
"Tahu, siapa—" Ikanuri melangkah tidak peduli, maksudnya dia memang tidak peduli dengan siapa  guru  baru  tadi,  bukan  tidak  peduli  dengan  pertanyaan  Yashinta.  Mengambil  arit  yang tergeletak di dekat Kak Laisa, ikut membantu.
"Ada yang KKN"
"Eh, iya, KKN, Mak. Gurunya dari KKN." Yashinta, memotong kalimat Dalimunte, 
"KKN itu dari mana ya, Kak?"  Yashinta  duduk  menjeplak  di  sekitaran  mereka. 
Teduh  di  bawah  batang  jagung,  jadi  ia tidak  perlu  sendirian  di  pondok  yang  terletak  di  tengah-tengah  ladang.  Menyeka  keringat yang  mengucur  tambah  deras.  Gerah.  Tubuhnya  terlihat  lekat.  Mamak  mengangguk,  ia mengerti.  Seminggu  lalu  Wak  Burhan  juga  bilang  soal  itu.  Katanya  ada  rombongan mahasiswa dari kota provinsi. Posko mahasiswa  itu ada di kampung atas, tapi  beberapa dari mereka  juga  akan  melakukan  beberapa  proyek  KKN  di  kampung  bawah.  Jarang-jarang  ada pendatang dari kota di lembah itu. Dulu pernah ada Mahasiswa yang juga KKN, tapi program mereka kebanyakan hanya penyuluhan dan ceramah. Dulu-dulunya  juga  pernah  ada  pejabat  entah  dari  mana  yang  datang  ke  Lembah.  Lebih  tak jelas  lagi  apa  gunanya  mereka,  hanya  nanya-nanya,  membawa  kertas,  entahlah.  Tanpa sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi penduduk kampung.
"Ikanuri, Wibisana, menebas rumputnya yang benar!"  Kak Laisa mendelik, menatap tajam Ikanuri dan Wibisana.
"Sudah benar, kan?"  Ikanuri nyengir. Sejak tadi dia dan Wibisana tidak medengarkan percakapan. Asyik bermain-main dengan arit. Kak  Laisa  melotot, benar apanya, kedua sigung  nakal  itu  seperti  membuat  lajur-lajur di atas gulma. Sengaja membuat huruf nama-nama mereka, seperti bonsai berbentuk huruf di taman-taman. Membuat tulisan: Ika-Wibi Keren.
"Lagian biar nyeni, Kak! Artistik—" Wibisana tertawa. Kak  Laisa  melotot,  mengancam.  Ikanuri  dan  Wibisana  menelan  ludah.  Yaah,  kan  hanya bergurau, nanti-nanti bakal dipangkas juga semuanya. Nanti-nanti maksudnya minggu depan, atau  setelah  panen  jagung.  Dengan  enggan  dua  sigung  nakal  itu  membersihkan  huruf-huruf nama mereka.
Yashinta  asyik  meneruskan  anyaman  rotannya.  Ia  sudah  lancar. Sekali  dua  terdengar batuk.  Keringat  mengucur  semakin  deras  dari  dahinya.  Musim  kemarau  ini  entah  sampai kapan. Biasanya tidak selama ini. Seminggu dua minggu, lazimnya diseling hujan deras yang sedikit  mendinginkan  lembah.  Dua  hari  terakhir  kenapa  pula  badannya  terasa  tidak  enak. Tetapi  Yashinta  terlanjur  asyik  meneruskan  anyamannya.  Sambil    sesekali    memperhatikan  Kak    Laisa  yang  tangkas  membersihkan  gulma.  Lihat,  satu  jam  berlalu,  luas  gulma  yang berhasil dibersihkan Kak Laisa, masih lebih banyak dibandingkan luas Kak Ikanuri dan Kak Wibisana dijumlahkan, dikalikan dua pula.
Matahari  mulai  tenggelam  di  balik  Gunung  Kendeng,  Mamak  menyuruh  Dalimunte memberesi  perlengkapan.  Menyimpannya  di  pondok.  Saatnya  pulang.  Kak  Laisa  membantu berbenah-benah.  Menggendong  keranjang  berisikan  sayur-mayur.  Mereka  berjalan
beriringan.  Lembah  itu  hening.  Langit  terlihat  merah.  Angin  bertiup  pelan,  menyenangkan. Rombongan  burung  layang-layang  terbang  pulang  ke  sarang.  Kelelawar  mengepak-ngepakkan sayap bersiap memulai ritual malamnya. Yashinta berkali-kali batuk lagi.
"Kau baik-baik saja, Yash?" Kak Laisa bertanya. Yashinta mengangguk, sambil berusaha mensejajari langkah Kak Laisa.

"Kenapa  Kak  Lais  tidak  bilang?"  Dalimunte  menangis,  tersendat,  jemari  tangannya  gemetar mengusap  bibir  perempuan  umur  empat  puluh  tiga  tahun  yang  terbaring  lemah  di  atas ranjang. Ada bercak darah di sana. Keluar bersama dahak,
"Tidak.  Tidak  boleh  ada  yang  menangis,  Dali...."  Kak  Laisa  berkata  pelan,  nafasnya  sedikit tersengal, 
"Kau anak lelaki. Di keluarga ini anak lelaki tidak boleh menangis"
"Tapi  kenapa  Kak  Lais  menyimpannya  sendirian....  Kenapa  Kak  Laisa  tidak  bilang  kalau selama  ini  sakit?  Ya  Allah,  selama  itu.  Bahkan  Kak  Lais  menyimpan  semuanya  sendirian selama ini.... Sejak kami kecil, sejak kami masih nakal suka membantah—"  Dalimunte tergugu.
Mamak ikut menyeka sudut matanya. Cie hui, mendekap Intan yang entah mengapa juga ikut tertunduk.  Intan  menggigit  bibir.  Bingung.  Cemas.  Ia  keliru,  ternyata  Wak  Laisa  sakitnya tidak  sekadar  mencret-mencret.  Aduh,  kalau  kelihatannya  sudah  begini  itu  artinya  serius sekali. Lihat, Wak Laisa batuk lagi, terus ada darah pula keluar dari bibirnya.
"Ingat  kata  Kakak  dulu  saat  kau  berangkat  sekolah  di  kota  provinsi,  tidak  ada  yang  boleh menangis,  kau  akan  menemukan  tempat-tempat  baru,  teman-teman  baru,  kau  akan  belajar banyak.... Hei, tidak  ada  yang  boleh  menangis dengan  semua kabar baik  itu. Juga  hari  ini.... Lihatlah, kau amat membanggakan Kakak—"  Kak Laisa terbatuk pelan. Dahak sekali lagi keluar bersama darah.
Dalimunte menyeka darah itu dengan jemarinnya. Semakin tergugu. Bagaimana mungkin dia  tidak  akan  menangis?  Lihatlah,  seseorang  yang  amat  dihargai  sepanjang  hidupnya berbaring  lemah  di  hadapannya,  tetap  sama  seperti  dulu.  Memberikan  perlindungan. Memberikan  janji-janji  yang  selalu  ditunaikan.  Mengubur  cita-citanya  sendiri  demi  adik-adiknya.  Bahkan  hingga  saat  ini,  ketika  tubuhnya  terlihat  amat  lemah,  Kak  Laisa  tetap berusaha tersenyum menyuruhnya tidakk menangis.
"Kak  Lais  selalu  menyimpannya  sendirian,  demi  kami....  Kak  Lais  selalu  mengalah,  demi kami—"  Kalimat Dalimunte terhenti, dia tak kuasa  melanjutkan  hanya  bisa  mencium  jemari tangan yang terkulai lemah itu. Berbagai kenangan masa lalu berdesing memenuhi kepalanya. 
"Kak  Lais  bekerja  sepanjang  hari  membantu  Mamak  demi  kami,  Kak  Lais  mempermalukan diri demi kami,  Kak Lais  bahkan  menerobos hujan deras, tidak peduli dingin,  jemari tangan menggigil demi kami..."  Dalimunte tidak bisa menahan lagi perasaannya. Dulu saja, waktu kecil ia sudah mengerti.
"Dali…, tidak ada yang boleh menangis—"
"Ta-pi, tapi Dali tidak tahan lagi. Dali tidak tahan—"
"Kemarilah, anakku...."  Mamak berbisik lirih dari belakang.
Dalimunte memeluk pinggang Mamak. Senyap. Hanya tangis tertahan di ruangan itu. Dokter perkebunan yang sejak sebulan lalu merawat  Kak  Laisa  menatap  dengan  mata  berkaca-kaca.  Intan  ikutan  menyeka  pipinya.  Ia tidak  tahu  kenapa  ikut  menangis.  Ia  sedih,  sedih  sekali  melihat  Wak  Laisa  yang  kuat menggendongnya  naik  turun  cadas  sungai,  sekarang  pucat  pasi,  bergerak  saja  susah  di  atas ranjang.  Mamak  mengusap  rambut  Dalimunte,  berbisik  menenangkan.  Wajah  keriput berumur enam puluh tahun  itu terlihat amat sendu. Ia-lah  yang paling tahu urusan  ini. Sejak tiga puluh tahun silam. Sejak Laisa mulai mengerti arti tanggung-jawab. Umur  Laisa  saat  itu  sebelas  tahun.  Kelas  empat  Umur  Dalimunte  tujuh  tahun.  Sudah setahun  Dalimunte  tertunda  sekolah  karena  Mamak  tidak  punya  uang.  Mamak  ingat  sekali. Hari itu. Pagi itu. Laisa mendekatinya dari belakang. Pukul empat shubuh. Saat Mamak sibuk memasak gula enau. Saat yang lain masih tertidur lelap.
"Biar. Biar Lais yang berhenti sekolah, Mak..."  Putri sulungnya tersenyum tulus, menatap dengan mata bercahaya.
"Kau harus terus sekolah, Lais!" Mamak menatap tajam Laisa.
Menggeleng, "Lais tahu  Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam  baru Dali. Biar  Lais  yang  berhenti sekolah.  Lagipula  Lais   anak perempuan.  Buat  apa  Lais  sekolah tinggi-tinggi.  Biarlah  Dalimunte  yang  sekolah.  Lais  membantu  Mamak  mencari  uang  saja. Dengan begitu nanti Ikanuri dan Wibisana juga bisa sekolah.... Juga Yashinta...."  Putri  sulungnya menyentuh lengannya.  Menatap dengan yakin dan mengerti benar apa yang telah dikatakannya.
Mulai  shubuh  itu,  Mamak  tahu  persis  satu  hal.  Laisa  yang  bersumpah  membuat  adik-adiknya sekolah menjadikan sumpah itu seperti prasasti di hatinya. Tidak. Laisa tidak pernah menyesali  keputusannya.  Tidak  mengeluh.  Ia  melakukannya  dengan  tulus.  Sepanjang  hari terpanggang  terik  matahari  di  ladang.  Bangun  jam  empat  membantu  memasak  gula  aren. Menganyam  rotan  hingga  larut  malam.  Tidak  henti,  sepanjang  tahun.  Mengajari    adik-adiknya    tentang    disiplin.    Mandiri.  Kerja  keras.  Sejak  kematian  Babak  diterkam  harimau, Mamak  sungguh  tidak  akan  kuasa  membesarkan  anak-anaknya  tanpa  bantuan  putri sulungnya,  Laisa.  Semua  kesulitan  hidup  masa  kecil  itu.  Laisa  membantunya  melaluinya dengan  wajah bergeming. Wajah yang tidak banyak mengeluh.
Wajah yang sekarang terlihat amat lelah.... Terbaring lemah karena kanker paru-paru stadium IV. Penyakit yang disimpannya sendiri sejak sepuluh tahun silam. Karena ia tidak ingin merepotkan adik-adiknya. Bagi Laisa, yang berhak  merepotkan  itu  adik-adiknya,  bukan  dia.  Setiap  kali  kunjungan  dua  bulanan,  Laisa tetap riang menyambut anak-anak. Tertawa mengajak mereka melakukan banyak hal. Itu pula yang  membuatnya  bisa  bertahan  selama  ini. 
Sepuluh  tahun  kanker  itu  seolah  tak  kuasa menggerogoti fisiknya. Sayangnya,  satu  bulan  yang  lalu,  seluruh  energi  dari  penerimaan  jiwa  atas  pilihan  hidup yang hebat itu berakhir sudah. Kalah. Fisiknya tidak kuasa lagi, kanker itu sudah menjalar ke mana-mana. Meski semangat hidupnya masih tinggi, meski dengan semua spirit itu, tubuhnya tidak kuasa lagi bertahan. Maka didatangkanlah dokter dari kota provinsi (yang juga sepuluh tahun terakhir diam-diam merawatnya, hanya Mamak yang tahu). Juga peralatan medis, juga perawat-perawat  Kak  Laisa  satu  bulan  terakhir  bertahan  tidak  memberitahu  adik-adiknya hingga  tadi  pagi.  Satu  bulan  terbaring  tidak  berdaya.  Setelah  Mamak  membujuknya. Akhirnya pesan 203 karakter itu terkirimkan. Ketika ia merasa waktunya sudah tiba. 
Tugasnya hampir usai. Wajah yang sekarang terlihat amat lelah. Meski tetap berusaha  tersenyum  didepan  adiknya.  Wajah  yang  menatap  Dalimunte  yang sedang memeluk pinggang Mamak, Dalimunte yang menangis.

DUA HARI selepas Yashinta pulang batuk-batuk dari ladang, balai kampung ramai dipenuhi oleh  penduduk.  Sejak  lepas  shalat  isya.  Ada  pertemuan  di  balai.  Rombongan  mahasiswa KKN  dari  kampung  atas  datang.  Tapi  yang  pergi  ke  balai  hanya  Laisa,  Dalimunte,  Ikanuri dan Wibisana. Mamak menjagai Yashinta yang gering. Batuk-batuk Yashinta dua hari lalu diladang ternyata serius. Yashinta malah sudah tidak masuk sekolah dua hari. Tubuhnya panas. Hari  pertama  sakit,  gadis  kecil  itu  tetap  memaksa  berangkat,  percuma,  tiba  di  desa  atas kakinya  yang  gemetar  tidak  bisa  diajak  melangkah,  jatuh  pingsan.  Dalimunte  terpaksa menggendongnya pulang. Dua  hari  berlalu,  sakit  Yashinta  semakin  parah.  Bergantian  mereka  menunggui. Mengompres.  Membuat  ramuan  dedaunan.  Rebusan.  Apa  saja  yang  lazim  dilakukan penduduk  lembah  unruk  meredakan  panas  dan  batuk.  Malam  ini,  Mamak  yang  menunggui Yashinta. Udara  lembah  terasa  dingin.  Sejak  sore  tadi  awan  hitam  berarak  memenuhi  langit. Akhirnya  setelah  dua  bulan  kemarau  menggantang  lembah,  hujan  nampaknya  akan  turun. Angin malam menderu kencang, pertanda bakal turun hujan lebat
"Mamak kau tidak datang, Lais?" Wak Burhan bertanya.
"Yash masih wakit, Wak—"  Laisa menjawab pendek. Mengambil tempat duduk bersama adik-adiknya.
Balai kampung itu sudah  ramai.  Obor-obor  membuat  ruangan  terang-benderang.  Angin  yang  menerobos membuat cahaya obor bergoyang, kerlap-kerlip. Di  depan  sana  berjejer  enam  orang  mahasiswa  yang  dua  hari  ini  sibuk  disebut-sebut warga  kampung.  Laisa  menatapnya  lamat-lamat.  Mengesankan  melihat  kakak-kakak mahasiswa  itu.  Mengenakan  jaket  kuning.  Mahasiswa  Universitas  kota  besar  dari  seberang pulau.  Yang  wanita  terlihat  cantik  dan  cerdas.  Yang  lelaki  terlihat  gagah  dan  pintar. Tersenyum  lebar,  percaya  diri  menatap  sekitar.  Mengangguk.  Laisa  menelan  ludah.  Dulu  ia pernah  bermimpi  menjadi  seperti  ini.  Bermimpi  melihat  dunia  luar  yang  lebih  luas. Kesempatan  yang  lebih  lapang,  yang  lebih  besar  dibanding  Lembah  Lahambay  ini.  Ah,  itu mimpinya  enam  tahun  silam.  Usianya  sudah  tujuh  belas  sekarang,  sudah  amat  terlambat untuk  melanjutkan  sekolah  kelas  empatnya.  Ia  sudah  mengubur  cita-cita  itu  dalam-dalam. Lagipula  jika  ia  sekolah,  siapa  yang  akan  membantu  Mamak  mencari  uang  buat  adik-adiknya?
Wak Burhan mengetukkan palu bonggol bambu, pertemuan dimulai. Enam mahasiswa ini berbicara  lantang.  Tegas.  Meyakinkan.  Salah  satu  dari  tiga  mahasiswa  lelaki  bicara  soal konstruksi kincir air. Memuji-muji penduduk kampung  yang telah  membuatnya,  lantas sama seperti  Dalimunte  dulu,  dia  juga  membawa  kertas-kertas.  Membentangkannya  lebar-lebar. Bicara tentang listrik. Lampu-lampu. Kincir air itu bisa dijadikan generator listrik. Dalimunte menjadi  orang  yang  paling  tertarik  atas  rancangan  itu.  Mengangkat  tangannya  berkali-kali, bertanya.  Penduduk  kampung  juga  terpesona.  Apalagi  dijanjikan  ada  bantuan  soal  dinamo, kabel-kabel,  peralatan  instalasi,  dan  lainnya  dari  universitas.  Wak  Burhan  tak  butuh  waktu semenit  untuk  mengetukkan  palunya.  Proyek  KKN  listrik  kincir  air  itu  disetujui.  Minggu depan mereka mulai bergotong-royong, Dua  mahasiswa  lainnya,  cowok-cewek,  mungkin  berasal  dari  fakultas  pertanian,  bicara soal  ladang-ladang  mereka.  Bibit  yang  digunakan.  Pengolahan  tanah.  Rotasi  tumbuhan.
Lantas  ujung-ujungnya:  jadwal  penyuluhan.  Penduduk  Lembah  mengangguk-angguk.  Wak Burhan  mengetuk  palu;  dengan  demikian  setiap  malam  Kamis  dan  Sabtu  ada  penyuluhan pertanian di  balai kampung. Meski program  KKN  yang satu  ini tidak sekongkret  listrik, tapi penduduk  kampung  bisa  menerimanya.  Setidaknya  janji  ada  penganan  kecil  dan  sekoteng hangat setiap jadwal penyuluhan sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka hadir. Dua  mahasiswa  berikutnya  menjelaskan  tentang  kemandirian  ekonomi.  Nah,  yang  ini benar-benar  membuat  penduduk  kampung  pusing.  Koperasi.  Simpan-pinjam.  Kesempatan kredit.  Akses  modal.  Bahkan  Dalimunte  saja  yang  sejak  tadi  antusias  mendengarnya, menguap  lebar-lebar.  Juga  ada  jadwal  penyuluhan.  Wak  Burhan  bilang  cukup  seminggu sekali,  malam  Selasa.  Jadwal  mereka  sudah  penuh.  Sebenarnya  sih,  Wak  Burhan  kalau  bisa malas memberikan jadwal untuk penyuluhan yang satu ini. Dua mahasiswa itu berunding. Lantas mengangguk.
Malam  beranjak  matang.  Pukul  22.00,  sudah  larut  untuk  ukuran  penduduk  lembah. Mereka  biasanya  beranjak  tidur  pukul  sembilan.  Jadi  mahasiswa  terakhir,  demi  melihat penduduk  kampung  sudah  tidak  terlalu  memperhatikan,  hanya  sempat  bicara  lima  belas menit. Bicara soal sanitasi. Kebersihan. Posyandu. Pemeriksaan kesehatan. Bilang ada posko kesehatan  di  kampung  atas.  Yang  bisa  dimanfaatkan  warga  setempat  untuk  berobat.  Lima belas  menit  tepat,  penjelasannya  selesai.  Kabar  baik,  ternyata  tidak  ada  jadwal  penyuluhan untuk yang satu ini. Wak Burhan mengetuk palu.      Pertemuan usai.
Lepas pertemuan, Laisa berusaha mendekati mahasiswa wanita yang bicara terakhir, ingin minta  tolong  periksa  Yashinta  yang  sedang  sakit.  Tapi  karena  di  luar  guntur  berkali-kali menyalak, petir berkali-kali menyambar, enam mahasiswa KKN itu sudah terlanjur bergegas kembali  ke  kampung  atas,  mengenakan  jas  hujan  besar  dan  payung.  Lagipula  Ikanuri  dan Wibisana  memaksa  pulang  buruan.  Sudah  mengantuk.  Maka  di  tengah  deru  angin  yang semakin menggila, mereka juga bergegas kembali ke rumah panggung.
"Ternyata  mereka  tidak  hanya  melakukan  penyuluhan-penyuluhan  seperti  yang  KKN  dulu, Mak."  Laisa melapor setiba di rumah. Mengibas-ngibaskan rambut. Hujan deras turun persis mereka tiba di halaman. Mamak  hanya  mengangguk  selintas.Terkantuk  menunggui  Yashinta  yang  tidur  sambil mengerang.  Panas.  Kompres  kain  yang  membungkus  dahi  Yashinta  seperti  sia-sia.  Suhu badannya  tidak  turun-turun.  Di  luar  hujan  deras  terdengar  membuncah  atap  seng.  Gemuruh. Satu  dua  tampias.  Menetes  di  dalam  rumah.  Laisa  buru-buru  mengambil  baskom  dan  kain. Menampung tetesan air. Ikanuri  dan  Wibisana  sudah  beradu  punggung  di  ruang  depan.  Bergelung.  Tidur.  Hanya Dalimunte yang berdiri di depan pintu kamar. Memperhatikan Yashinta dengan wajah sedikit cemas.
"Masih panas, Mak?" Mamak mengangguk. Terlihat amat lelah.
"Mamak sebaiknya tidur, biar Lais yang jaga sekarang."  Kak Laisa mengambil posisi di sebelah Yashinta. Mengganti air kompres.  Mencelupkan kain. Memerasnya. Meletakkannya di dahi Yashinta lagi.
"Kau juga tidur, Dali!" Laisa menyuruh Dalimunte.
Dalimunte menelan ludah, beringsut ke ruangan depan. Dia tidak tega melihat Yashinta yang terus  mengerang,  lantas  sekali  dua  batuk,  terdengar  kesakitan.  Mamak  bersandar  di  dinding, berusaha memejamkan mata. Hujan turun semakin deras. Pukul  24.00,  persis  tengah  malam,  saat  Dalimunte  sudah  lelap  tertidur.  Mamak  juga sudah  tertidur.  Kak  Laisa  mendadak  berseru-seru.  Panik.  Terbangun.  Mamak  langsung terbangun  juga  Dalimunte,  yang  setengah  terkantuk,  setengah  terjaga  mendekat.  Lihatlah, tubuh Yashinta menggelinjang. Kejang. Matanya mendelik, menyisakan putih. Kak Laisa berteriak tambah panik.
"Yashinta, Mak! YASHINTA!" Mamak Lainuri berusaha memegangi tubuh Yashinta. Ikut tegang. Panik. 
Meski lebih banyak bingungnya. Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada dokter di sini. Tidak ada.  Mamak  berusaha  menyeka  keringat  yang  mengalir  deras  dari  leher  Yashinta.  Berusaha memberikan  ramuan.  Mengompres.  Apa  saja  yang  terpikirkan  olehnya.  Percuma,  mata Yashinta semakin mendelik. Dalimunte mencicit melihatnya. Jantungnya berdetak kencang, takut. Ya Allah, apa yang sedang  terjadi.  Ada  apa  dengan  Yashinta.  Berusaha  mendekat,  tapi  setelah  mendekat  malah menjauh lagi, tidak mengerti harus melakukan apa. Saat Mamak semakin bingung, saat Ikanuri dan Wibisana yang terjaga ikut mendekat dan bergumam  jerih,  saat  tubuh  Yashinta  semakin  tidak  terkendali,  Kak  Laisa  mendadak  berlari ke ruangan depan, Kak Laisa menendang pintu depan. Berdebam. Lantas diikuti oleh tatapan bingung Mamak, entah apa yang akan dilakukannya, Kak Laisa sudah berlari menghambur ke tengah derasnya hujan. Angin menderu kencang, masuk ke dalam rumah, mengirimkan bilur-bilur air, membuat perabotan berderak.
Kak  Laisa  berlari  sekuat  kakinya  ke  kampung  atas.  Tidak  peduli  tetes  air  hujan  bagai kerikil  batu  yang  ditembakkan  dari  atas.  Tidak  peduli  tubuhnya  basah-kuyup.  Tidak  peduli malam yang gelap gulita. Dingin membungkus hingga ujung kaki. Musim kemarau begini, dimalam  hari,  suhu  Lembah  Lahambay  bisa  mencapai  delapan  derajat  celcius.  Kak  Laisa berlarian menaiki lembah. Terpeselet. Sekali. Dua kali. Tidak peduli. Petir menyalak. Guntur menggelegar.  Ia  ingat. Ia  ingat  kakak-kakak  mahasiswa  tadi  menyebut-nyebut  soal  obat  dan dokter. Mereka pasti bisa membantu. Ia harus segera. Waktunya terbatas.

Dalimunte sudah bisa duduk lebih  tenang. Duduk tertunduk.
"Kemari, sayang...." Laisa memanggil pelan Intan. Intan melangkah mendekat 
"Wawak sakit, ya?" Laisa menggeleng, tersenyum.
Wawak baik-baik saja. Intan menelan ludah. Memasang wajah tidak percaya. Wawak pasti bohong. Laisa pelan mengangkat lengannya. Memperlihatkan dua gelang karet, "Safe The Planet". Intan  menyeringai,  akhirnya  ikut  tersenyum.  Tuh,  kan,  hanya  Wak  Laisa  yang  mau  (dan benar-benar niat) pakai dua gelang. Abi saja ogah, hanya beli doang. Intan menyentuh lembut lengan  Wak  Laisa.  Tidak  panas.  Menyentuh  dahi  Wak  Laisa,  juga  tidak  panas.  Kalau  tidak panas, kenapa tubuh Wak Laisa dipenuhi infus?
"Yang sakit apanya?" Intan bertanya macam dokter saja.
Wak Laisa tersenyum lagi, batuk. Intan meraih kotak tissue, meniru Eyang. Ikut membersihkan darah dari pipi Wak Laisa. Dalimunte  menatap  wajah  lelah  itu.  Mendongak.  Cahaya  lampu  neon  bersinar  lembut. Dia tahu banyak urusan ini, meski dia baru menyadarinya belasan tahun kemudian. Kak Laisa yang  tidak  pernah  menangis  di  depan  adik-adiknya.  Tidak  pernah.  Sesakit  apapun,  sesesak apapun  rasanya.  Kak  Laisa  yang  selalu  berusaha  terlihat  semua  baik-baik  saja.  Dia  ingat sekali kejadian  malam  itu. Ingat. Bagai  bisa  melihatnya kebali dari pendaran cahaya Lampu neon.  Melihat  kembali  tetes  air  dari  tubuh  Kak  Laisa  yang  membuat  ruangan  depan tergenang. Wajahnya yang kesakitan....
"Si belang mana, sayang?" Intan menoleh ke Ummi, tuh kan, Wak Laisa pasti nanya, 
"Eh, tadi langsung loncat dari mobil. Pasti nyari pacarnya yang dibilang Oom Ikanuri —" Tertawa kecil. Laisa berusaha tertawa mendengar celetukan Intan. 
Mahal sekali  harganya, tubuh tambun tapi gempal  itu bergerak-gerak tertahan. Membuat garis hijau di layar peralatan medis terputus-putus. Berdengking. Yang membuat Intan ikutan pias. Takut. Kenapa Wak Laisa jadi semaput? Kan, hanya tertawa? Dokter melangkah, mendekat, memeriksa peralatan, Cemas, lantas berkata ragu-ragu, 
"Eh, maaf Pak Dalimunte, sepertinya Ibu Laisa harus ditinggal istirahat, jangan banyak bicara dulu—"
Laisa  yang  perlahan  kembali  terkendali  menggeleng,  memberikan  kode  gerakan  tangan  ke dokter.  Biar.  Biarlah  mereka  berada  di  kamar  ini.  Ia  ingin  terus  terjaga  menunggu  adik-adiknya  pulang  satu  per  satu.  Ia  ingin  menatap  wajati  mereka  satu  persatu.  Ia  ingin  bicara, ingin mendengar Intan bercerita. Ia ingin Intan tahu kalau Wawak-nya baik-baik saja. Dokter menelan  ludah,  berhitung  sejenak.  Berdiskusi  sebentar  dengan  Mamak  dan  Dalimunte. Baiklah. Tidak banyak yang bisa dilakukannya lagi. Tidak ada salahnya.

Malam  itu, Laisa untuk kesekian kalinya tiba tepat waktu. Menggedor pintu rumah kepala kampung atas. Terbata-bata bilang tentang sakit Yashinta. Mahasiswa  itu  mengangguk,  ia  mengenali  Laisa.  Salah  satu  dari  penduduk  kampung  bawah yang tadi dua tiga kali bertanya. Tanpa pikir panjang langsung menyambar jas hujan, sepatu bot,  dan  peralatan  medis.  Kepala  kampung  atas  yang  ikut  terbangun  berbaik  hati meminjamkan starwagoon tuanya. Mobil itu segera meluncur. Hujan  turun  semakin  deras.  Mobil  hanya  bisa  dipakai  hingga  batas  ladang-ladang. Terpaksa  berjalan  lima  ratus  meter.  Kakak-kakak  mahasiswa  itu  berbaik  hati  menerobos hujan.  Laisa  mengikuti  dari  belakang.  Tubuhnya  yang  tanpa  pelindung  apapun  menggigil. Tadi  hampir  satu  jam  ia  mendaki  lembah  untuk  tiba  di  kampung  atas.  Normalnya  hanya  setengah  jam,  tapi  di  tengah  jalan  tadi,    kakinya  menghantam  tunggul  Batang  kayu  yang sudah  mati.  Sakit  sekali.    Memar  malah    (esok  lusa  baru    tahu  kalau  tulang  mata  kakinya bergeser).  Seperti  ditusuk  seratus  sembilu  saat  berusaha  dijejakkan  ke  tanah.  Tapi  Laisa menggigit  bibirnya  kencang-kencang,  terus  mendaki  lembah.  Memaksa  kakinya  melupakan rasa  sakit.  Rasa  sakit  yang  sebenarnya  membuat  Laisa  menitikkan  air  mata.  Ia  mencengkeram  pahanya.  Mengusir  rasa  sakit  di  kaki.  Yashinta  menunggu  pertolongan  dirumah. Ia harus  maju terus. Maka sama  sulitnya  saat ia  berlari-  lari kecil  mengikuti  langkah kakak-kakak mahasiswa didepannya menuruni lembah.
Mereka    datang    tepat  waktu,    kakak-kakak  mahasiswa  tahun  terakhir  di  fakultas kedokteran  itu  segera  mengurus  Yashinta.  Membuka  peralatan  medisnya.  Memeriksa Yashinta  dengan  cepat.  Lantas  menyuntikkan  sesuatu.    Lepas  lima  menit,  Yashinta  mulai lebih terkendali. Sementara hujan deras terus membuncah atap seng. Guntur menggelegar di luar sana. Dalimunte menatap lamat-lamat Kak Laisa. Kak  Laisa  yang  duduk  di  dapur,  dekat  pintu  belakang  sejak  tiba.  Kak  Laisa  yang meringkuk  memegangi  kakinya.  Bengkak.    Mata  kaki  itu    terlihat  merah.  Wajah  Kak  Laisa meringis,  menahan  rasa  sakit  yang  teramat  sangat.  Bahkan  jika  tidak  tersamarkan  oleh  air yang  masih  menetes  dari  rambutnya,  dia  sungguh  bisa  melihat  Kak  Laisa  mengeluarkan  air mata.  Jika  tidak  tersamarkan  oleh  gigilan  kedinginan,  dia  bisa  melihat  Kak  Laisa  yang gemetar menahan rasa nyilu di kakinya yang dipaksa terus berjalan menuruni lembah.
Dalimunte  menelan  ludah.  Air  hujan  dari  tubuh  Kak  Laisa  tergenang  di  sekitarnya. Membasahi  lantai  papan.  Badan  itu  kuyup.  Basah.  Kedinginan.  Kesakitan.  Tapi  Kak  Laisa tidak pernah mengeluh. Tidak pernah. Laisa  menyadari  Dalimunte  yang  memperhatikannya.  Ia  menyeringai  galak,  menyuruh Dalimunte kembali ke ruang depan. Tinggalkan aku. Aku baik-baik saja. Dalimunte  mengigit  bibir,  perlahan  membalik  badannya.  Malam  itu  Dalimunte  akhirnya mengerti satu hal: Kak Laisa tidak akan pernah menangis di depan adik-adiknya. Tidak akan pernah.

KAU HARUS TETAP SEKOLAH!
"DALIMUNTE baru saja tiba di perkebunan strawberry..." 
Wibisana  memasukkan  telepon  genggamnya  ke  saku.  Ikanuri  mengangguk.  Terbatuk  pelan. Kerongkongannya  sedikit  sakit.  Ini  mungkin  gara-gara  kehujanan  di  Pegunungan  Alpen, Swiss  semalam.  Atau  karena  kelelahan,  kurang  tidur,  setelah  belasan  jam  tanpa  jeda melanglang buana. Atau juga karena dia terlalu banyak sesak mengenang masa kecil itu.
"Jasmine  dan  Wulan  juga  sudah  tiba  di  kota  kabupaten.  Lancar.  Perjalanan  mereka  tidak banyak masalah. Kata Jasmine; Juwita dan Delima tertidur di mobil." 
Wibisana  menghela  nafas.  Jelas  perjalanan  akan    lebih  lancar  jika  kedua  putri  mereka sudah tertidur. Biasanya mereka berdua sibuk minta berhenti setiap kali melihat apalah. Sibuk berteriak-teriak,  bertengkar.  Pernah  Juwita  dan  Delima  membuat  rombongan  dari  kota provinsi  terhenti  total  hanya  gara-gara  mereka  melihat  ada  burung  kwao  yang  melintas  didepan  mobil,  lantas  hinggap  di  pohon.  Memaksa  Abi  mereka  menangkap  burung  itu,  tidak mau mendengarkan penjelasan kalau tinggi pohonnya saja hampir dua puluh meter. Ikanuri mengusap wajah lelahnya. Layar  raksasa  penunjuk  jadwal  dan  status  penerbangan  di  langit-langit  gedung  ultra-modern  Paris  International  Airport  memamerkan  kecanggihannya.  Tidak  kurang  tiga  puluh baris  jadwal  penerbangan  terpampang  otomatis  di  layar  tersebut.  Merah.  Hijau.  Kuning. Display yang mengagumkan. 
Moskow,  Departure  07.30.  California,  Departure  07.35.  Riyadh,  Arrive  07.40.  Singapore, Departure 07.40. Hongkong, Delay 07.45. Jakarta, Departure 07.45.
Ikanuri  melirik  jam  di  pergelangan  tangan,  masih  satu  setengah  jam  lagi  jadwal penerbangan  mereka.  Mengusap  wajah  sekali  lagi.  Masih  lama,  seharusnya  mereka  masih punya waktu untuk sarapan. Menikmati sepotong donut dan segelas kopi gaya Perancis. Tapi perutnya  tidak  lapar.  Dia  penat  itu  benar,  lelah  tentu  saja.  Tapi  dia  tidak  mengantuk  atau lapar. Tadi kereta Eurostar tiba di  stasiun Gare de Nord, Paris pukul 05.30 (hanya terlambat setengah  jam,  meski  terhenti  oleh  longsoran  itu  selama  dua  jam).  Mereka  shalat  shubuh  di kabin  kereta.  Lantas  langsung  meluncur  menuju  bandara.  Menumpang  subway  Paris-Bandara. Segera check-in.
"Kau sudah menelepon Yashinta, lagi?" Ikanuri bertanya. Wibisana mengangguk, 
"Tetapi, tetap tidak ada nada sambungnya…." menelan ludah.
Ikanuri  menghela  nafas  panjang.    Nah,  setelah  nyaris  sepuluh  jam  tidak  berhasil menghubungi Yashinta, dia akhirnya  ikut cemas. Tidak ada nada sambung? Selama  itu kah? Kemana pula anak itu di waktu sepenting dan semendesak ini? Apa masih di puncak Semeru? Mengamati  alap-alap  kawah?  Tidak  mungkin  sinyal  telepon  genggam  satelitnya  tidak menjangkau daerah tersebut. Lantas kemana anak ini hingga telepon genggamnya tidak aktif? Kehabisan  baterai?  Tidak  mungkin.  Yashinta  pendaki  gunung  profesional.  Ia  selalu membawa baterai cadangan.
"Kau sudah telepon Goughsky?" Ikanuri teringat
Wibisana  seperti  tersadarkan.  Kenapa  tidak  terpikirkan  sejak  tadi?  Semua  kepanikan  ini membuat  kepala  mereka  tumpul.  Ya!  Goughsky.  WNI  keturunan  Uzbekistan  itu  kolega Yashinta  di  lembaga  konservasi,  Bogor.  Tiga  tahun  terakhir,  di  mana  ada  Yashinta,  di  situ juga  ada  Goughsky.  Dan  sebaliknya.  Mereka  kompak  tidak  hanya  urusan  konservasi.  Lebih dari  itu....  Meski  sayangnya  enam  bulan  terakhir  hubungan  mereka  berantakan. Bermasalah. Ah, Goughsky pasti tahu di mana Yashinta. Kalau pun tidak, anak itu rela menukarkan nyawa untuk memastikan di mana Yashinta sekarang
Wibisana buru-buru menarik HP dari saku celana. Sebenarnya  inilah  urusan  paling  pelik  dari  hubungan  kakak-adik    yang    mengesankan  tersebut.  Saat kehidupan  lebih baik datang menjemput, janji-janji kesempatan  lebih besar diluar  Lembah  Lahambay  tiba,  saat  itulah  mereka  menyadari  jika  Kak  Laisa  semakin 'tertinggal'  dibelakang.  Bukan.  Bukan  soal  pendidikan,  toh,  meski  tidak  sekolah  Kak  Laisa tetap seperti tahu segalanya. Bukan pula soal kesempatan melakukan hal-hal besar, toh meski tetap  di  lembah,  Kak  Laisa  sungguh  tetap  bisa  melakukan  hal-hal  besar,  Kak  Laisa  bahkan berhasil  merubah  wajah  seluruh  lembah.  Kesejahteraan  penduduk,  pendidikan  anak-anak, akses  atas  kesempatan.  Dan  tentu  saja    juga  bukan  soal  materi  dan  sebagainya,  karena  jelas Kak Laisa boleh menguasai seluruh Lembah Lahambay dengan perkebunan strawberry-nya.

Dua bulan setelah kejadian sakit Yashinta,  instalasi  listrik pertama akhirnya terpasang di rumah-rumah  kayu.  Mahasiswa  KKN  itu  membuktikan  kalau  bantuan  dari  kampus  tidak omong-kosong.  Maka  terang-benderanglah  lembah  tersebut.  Bukan  main.  Anak-anak  yang selama ini hanya terbiasa dengan lampu canting dan ribuan larik kunang-kunang mengerjap-ngerjap  menatap  bohlam  lampu  belasan  watt.  Berpendar-pendar.  Seperti  melihat  pesawat UFO  mendarat,  dengan  mahkluk  angkasa  di  dalamnya  (ini  celetukan  Ikanuri  yang  asal ngarang  saat  pertama  kali  melihat  bohlam  lampu  di  surau).  Kincir  air  itu  berfungsi  ganda, dengan  generator  yang  terpasang,  sekarang  sekaligus  menjadi  pembangkit  tenaga  listrik.
Dalimunte belajar banyak dari kakak-kakak mahasiswa Semakin menyukai membuat sesuatu. Sesuatu yang berguna. Tapi lebih banyak lagi yang dipelajari Kak Laisa. Selepas  mahasiswa  KKN  itu  pulang  ke  kota  provinsi,  Laisa  membujuk  Mamak  untuk mulai  menanam  strawberry di kebun  mereka. Laisa nyaris  menghabiskan satu minggu untuk membujuk Mamak. 
"Aku  tidak  akan  membiarkan  Dalimunte,  Ikanuri,  Wibisana,  dan  Yashinta  putus  sekolah karena  mengganti  tanaman  di  kebun,  Mak.  Aku  tahu,  kalau  aku  gagal,  mereka  bisa  putus sekolah  kehabisan  bayaran,  tapi  sungguh  aku  tidak  ingin  itu  terjadi....  Aku  ingin melakukannya,  karena  justru  dengan  beginilah  kita  akhirnya  berkesempatan  memiliki  uang yang  cukup  buat  sekolah  Dali  di  kota  kecamatan  tahun  depan....  Lais  mohon,  ijinkan  Lais menanam buah itu."   Kak Lais, menyeka wajahnya yang berkeringat, menggenggam lengan Mamak. Meyakinkan.
"Kita  tidak  pernah  menanamnya,  Lais...."  Mamak  menatap  lamat-lamat  wajah  sulungnya. Menghela nafas pelan. Ia selalu yakin dengan Laisa. Tetapi menanam strawberry di lembah ini? Bahkan Mamak baru kali itu mendengar ada buah yang bernama strawberry.
"Laisa  sudah  mencatatnya,  lihat,  Mak!  Kakak-kakak  itu  bilang  banyak  hal.  Lihat.  Laisa bahkan menggambar banyak petunjuk dari kakak-kakak mahasiswa..."  Laisa memperlihatkan buku tulis butut sisa sekolahnya tujuh tahun silam. 
Tulisan-tulisan yang jelek dan kecil. Ilustrasi-ilustrasi seadanya. Tidak  susah  menyiapkan  polybag,  bibit-bibit,  hingga  menjualnya  ke  kota  kecamatan. Kata  kakak-kakak  itu,  buah  strawberry  mahal  sekali  di  supermarket  kota  provinsi,  harus didatangkan  dari  negara  lain  pula.  Lembah  mereka  cocok  untuk  menanam  strawberry. Iklimnya tepat. Suhunya tepat. Ketinggiannya baik. Dan tanahnya subur. Laisa berbinar-binar memperllihatkan angka-angka. Perhitungan keuntungan yang lebih besar dibanding menanam jagung,  atau  padi.  Tubuh  Laisa  yang  hanya  setinggi  dada  Mamak  terlihat  bergerak-gerak antusias. Maka, karena Mamak tak kuasa melarang Laisa, separuh kebun akhirnya ditanami dengan strawberry setelah panen jagung berikutnya. Keputusan besar. Dan amat beresiko. Dalimunte tidak  banyak  berkomentar. Ikanuri dan  Wibisana  nyengir, sepertinya  lebih  mudah  mengurus polybag-polybag  ini  daripada  menyiangi  gulma  setiap  hari,  bukan?  Hanya  Yashinta  yang berseru-seru  riang,  melihat  gambar-gambar  buah  strawberry  sepertinya  buah  merah  ranum mereka akan lucu-lucu. Tetapi Laisa keliru. Tidak mudah. Sungguh tidak mudah. Meski  ia  memiliki  pengetahuan  bagaimana  menanam  strawberry,  namun  mengurus ratusan  polybag  bukan  pekerjaan  gampang.  Delapan  bulan  berlalu,  kebun  strawberry  itu gagal total. Separuh batangnya mati oleh musim penghujan, terendam. Separuh lagi buahnya busuk  saat  diangkut  ke  kota  kecamatan  untuk  dibawa  ke  kota  provinsi.  Itu  terjadi  saat
Dalimunte  menjelang  ujian  akhir.  Kabut  buram  menggantung  di  mata  Kak  Laisa. Bagaimanalah?  Aduh,  situasi  jadi  amat  muram.  Meski  Mamak  sekalipun  tidak menyalahkannya,  Kak  Laisa  belakangan  lebih  banyak  menghabiskan  waktu memandangi separuh kebun yang dipenuhi polybag hitam. Kosong dengan batang strawberry yang layu. Panen jagung sisa setengah lahan mereka juga ternyata buruk. Gerimis  membasuh  lembah.  Laisa  berdiri  mematung.  Sendirian  di  tepi  ladang.  Tubuh gempal  dan  pendek  itu  basah.  Senja  membungkus  ladang.  Langit  mulai  gelap,  lembayung jingga  tenggelam  di  balik  Gunung  Kendeng.  Satu  dua  burung  layang-layang  terbang menerobos bilur air hujan. Melenguh. yang justru menambah senyap suasana.
"Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa menoleh. Dalimunte melangkah mendekat. Amat pelan. Tertunduk. 
Lantas sedikit ragu-ragu menyerahknn daun pisang. Laisa menggeleng.  Sudah basah. Biarkan saja.  Dari  tadi  siang  ia  di  kebun.  Menatap  kegagalannya.  Sengaja  belum  pulang  meski  adzan maghrib sebentar  lagi terdengar. Ia amat enggan  pulang. Hari  ini Dalimunte  menerima  hasil ujian sekolahnya. Mamak minggu lalu sudah bilang, mereka hanya punya uang buat Yashinta yang  mulai  masuk  kelas  dua,  dan  Ikanuri  serta  Wibisana  yang  menginjak  kelas  lima.  Tapi tidak untuk Dalimunte yang akan melanjutkan sekolah di kecamatan. Senyap.  Dalimunte  ikut  melepas  daun  pisang  dikepalanya.  Membiarkan  tubuhnya  basah  seperti Kak  Laisa.  Berdiri  di  sebelah  Kak  Laisa,  ikut  menatap  kebun  mereka.  Onggokan  kantong-kantong plastik hitam. Seekor elang melintas rendah. Begitu anggun di garis horizon lembah. Lengang tiga menit.  Hanya gerimis yang terus membasuh dinginnya tanah.
"Kata Mamak, kakak bisa mencobanya lagi tahun depan...."  Dalimunte berkata pelan, antara terdengar dan tidak. Menunduk, menggigit bibirnya. Laisa  menoleh.  Dalimunte  sudah  lebih  tinggi  darinya  sekarang.  Setahun  berlalu  sejak kincir air dibuat, bahkan Ikanuri dan Wibisana sudah lebih tinggi dari Laisa. Mereka berdiam diri lagi.
"Sebenamya... sebenarnya, Dali juga tidak senang sekolah. Sungguh — "  Dalimunte  berkata  serak.  Dia  membuang  ingus.  Dari  lima  bersaudara,  Dalimunte-lah  yang paling mudah terharu.
"Kakak tahu, Dali bahkan lebih suka bekerja di kebun membantu Mamak, membantu Kakak. Dali tidak suka sekolah. Jadi Kakak tidak usah sedih...." Laisa menelan ludah. Menggigit bibirnya.
"Dali  kan  bisa  belajar  dari  mana  saja.  Pinjam  buku.  Tidak  mesti  sekolah.  Dali  tidak  harus membuat Kakak susah—"
"kau bicara apa, Dali!" Laisa memotong suara adiknya.
"Dali tidak  ingin sekolah. Dali tidak  ingin  membuat Kak Lais sedih. Tak  ingin  lihat Mamak kerja keras dipanggang matahari. Dali tidak ingin sekolah—"
"kau harus tetap sekolah!" Laisa memotong sekali lagi kalimat adiknya, berkata dengan suara serak.  Tapi  kalimat  itu  terdengar  hambar,  tidak  setegas  seperti  biasanya.  Bagaimanalah? Untuk membayar uang pangkal saja tidak ada. Apalagi ongkos Dalimunte bolak-balik ke kota kecamatan. Bagaimana mungkin ia bisa menjanjikan itu?
"Dali tidak ingin sekolah. SUNGGUH—"
"DIAM!" Suara Kak Laisa bergetar. 
"Kau tetap sekolah Dali!" Dalimunte  terisak,  mengusap  matanya. 
Tertunduk  dalam-dalam.  Lihatlah,  gara-gara  dia harus  sekolah  Kak  Laisa  harus  bekerja  sepanjang  hari  di  ladang.  Kenapa  hanya  Kak  Laisa yang bekerja keras. Dali juga bisa. Dali juga mau, agar Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta terus sekolah. Rinai air hujan tumpah bersama rinai kesedihan di hati Dalimunte.
"Tidak tahun ini, tidak sekarang.... Tapi kau harus terus sekolah, Dali...."  Laisa berbisik pelan memecah sedan.
"Jika  Mamak  tidak  punya  uang  tahun  ini,  maka  Mamak  akan  punya  tahun  depan...  paling lambat  tahun  depan  kau  harus  kembali  sekolah...  Kau  dengar  kakak...  kau  dengar  kakak, Dali?  Kakak, kakak berjanji akan melakukannya Sungguh—" Laisa mengenggam lengan adiknya. Berusaha menahan serak di kerongkongan. Ia tidak ingin menangis di depan Dalimunte.
Lihattah,  sebenarnya  kalau  kalian  tidak  terbiasa  dengan  pemandangan  ini,  maka  kalian akan  menduga,  justru  Laisa  lah  yang  menjadi  adik  dari  Dalimunte.  Padahal  mereka  hanya berjarak enam tahun satu sama lain. Tubuh Laisa tidak akan tumbuh lagi. Dalimunte membuang ingusnya.
"Ayo, kita pulang—"  Kak  Laisa  pelan  menarik  tangan  Dalimunte,  tersenyum  tulus.  Tadi  sepanjang  hari  ia  benar- benar  bersalah  atas  keputusannya  mengganti  tanaman  di  ladang  delapan  bulan  silam.
Seharian Laisa pergi ke kebun karena tidak kuasa menunggu Dalimunte di rumah membawa kabar  kelulusannya  seperti  Mamak  dan  yang  lain.  Tetapi  gerimis  ini  menumbuhkan  satu pemahaman baru baginya. Pembicaran senja ini menanamkan semangat baru. Tidak.  Tentu  saja  urusan  ini  berbeda  dengan  dirinya  dulu.  Dalimunte  selalu  memiliki kesempatan  untuk  kembali  sekolah.  Tidak  sekarang,  tahun  depan  dia  akan  kembali melanjutkan sekolah di kota kecamatan. Sepanjang ia terus bekerja keras demi adik-adiknya. Kesempatan itu pasti akan datang.
"Berapa nilai rata-rata ujian akhirmu?"  Laisa bertanya, sambil berjalan menyusuri jalan setapak yang sekarang licak oleh lumpur.
Dalimunte  pelan  menyebutkan  angka,  berusaha  mengimbangi  langkah  gesit  kakaknya  didepan.  Ujung-ujung  semak  bergoyang  terkena  gerakan  mereka.  Memercikkan  bulir  air  yang menggelayut  di  ujung-ujung  daunnya.  Benang  sari  bunga    belukar    luruh, menerpa    anak  rambut.   Laisa tersenyum lebar mendengarnya. Jika ada yang bertanya siapa paling pintar didunia  ini, siapa paling pandai,  maka  ia akan  menjawabnya dengan bangga itulah Dalimunte, adiknya.
SEBENARNYA  dengan  segala  keterbatasan  Mamak,  ada  solusi  yang  lebih  baik  agar Dalimunte  tetap  bisa  melanjutkan  sekolah  di    kota  kecamatan.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang memang  malas  sekolah  dengan  sukarela  menawarkan  diri  berhenti.  Tapi  demi  mendengar kalimat itu, Kak Laisa langsung melotot galak. Sekali dua sigung nakal itu berhenti sekolah, maka mereka tidak akan pemah kembali lagi. Ikanuri dan Wibisana ber-yaa kecewa. Yashinta yang masih kecil, malam itu juga menawarkan diri berhenti, berkata pelan sambil memainkan crayon 12 warnanya, 
"Biar Kak Dali saja yang sekolahh, anak laki kan harus sekolah. Yash, kan... Yash kan anak perempuan. Biar Yash yang berhenti...." Membuat  ruang  depan  rumah  kayu  butut  itu  lengang.  Mamak  pelan  mengusap  wajahnya. 
Kak  Laisa  menelan  ludah.    Senyap.  Tidak.  Solusi    terbaik,  tetap  Dalimunte  yang  menunda sebentar sekolahnya. Mamak  membiarkan  Laisa  kembali  menanami  ladang  mereka  dengan strawberry, kali  ini   malah   membiarkan seluruhnya ditanami. 
"Belajar dari kesalahan, Mak. Laisa tahu apa yang harus Laisa lakukan sekarang."  Mamak tidak kuasa mencegah niat bulat sulungnya, apalagi Dalimunte ikut mendukung. Jadi kepalang  tanggung,  sukses  atau  gagal  seluruhnya.  Kak  Laisa  menanami  kembali  seluruh kebun mereka dengan strawberry.
Wak  Burhan  yang  mencoba  menasehati  Laisa  juga  mengalah.  Laisa  tetap  keukeuh memesan  bibit  strawberry  ke  universitas  tempat  kakak-kakak  KKN  dulu.  Kebun  mereka terlihat amat berbeda dibandingkan yang lain. Satu dua tetangga menatap ganjil. Ikut prihatin, bagaimana  mungkin  lembah  ini  ditanami  stober?  Stowber?  Beri-beri?  Ah,  menyebut namanya saja mereka susah. Laisa benar, ia belajar banyak dari kesalahannya.
Empat  bulan  berlalu,  setelah  hari-hari  terpanggang  matahari  saat  menyiapkan  polybag-polybag  baru;  mengejar-ngejar  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  masih  saja  bandel  bolos  sekolah; memasukkan pupuk kandang ke dalam polybag, meneriaki Ikanuri dan Wibisana yang sibuk mencuri  mangga,  membersihkan  gulma  dan  hama,    (dan  lagi-lagi  mengejar-ngejar  Ikanuri dan  Wibisana  yang tidak kapok-kapoknya  bolos  sekolah)  lepas  musim penghujan  yang dulu menggenangi  polybag,  kabar  baik  itu  akhirnya  tiba.  Empat  ratus  pohon  strawberry  merekah subur  dari  kantong-kantong  plastik  hitam.  Bukan  main.  Empat  bulan  berlalu  lagi,  hari-hari dihabiskan dengan kerja keras, pagi-sore di kebun, bahkan Kak Laisa baru pulang saat adzan magrhib  terdengar,  telaten  merawat  satu  demi  satu  batangnya.  Mencurahkan  seluruh perhatian ke kebun satu hektar itu. Dan  Mamak akhirnya tersenyum  lebar, buah-buah  merah ranum  mulai  bermunculan dari batang-batangnya.  Membuat  seluruh  penduduk  kampung  tercengang.  Belum  pernah  mereka melihat  buah  seindah  itu.  Yashinta  yang  paling  girang.  Menghabiskan  sore  selepas  sekolah dengan  menghitungi  satu  demi  satu  buahnya.  Malah  membawa-bawa  kertas.  Dicatat  satu persatu perpohon. Ikanuri dan  Wibisana? Standarlah,  mereka  juga  sibuk  mencuri  buah-buah strawberry yang mulai matang...
Dalimunte  yang  sekarang  punya  waktu  lebih  banyak  membantu  Mamak  dan  Kak  Laisa, mengambil  perannya  saat  buah  merah  ranum  strawberry  siap  dipanen.  Ia  menyiapkan teknologi  pengalengan  sederhana.  Dengan  gentong-gentong  besar  dari  tanah  yang  banyak dijual  di  kota  kecamatan.  Jadi  tak  ada  lagi  buah  yang  busuk  ketika  tiba  di  kota  provinsi. Sukses besar.  Meski  Ikanuri  dan  Wibisana  mencuri  buah-buah  itu  hingga  sepuluh  kilo  setiap  hari selama dua tahun, tetap tidak akan habis saking bagusnya panen kebun mereka. Kakak-kakak dari  kota  provinsi  berbaik  hati  mengirimkan  truk  pengangkut,  seminggu  setelah  menerima surat dari Laisa. Kabar baik itu akhirnya tiba di Lembah Lahambay. Satu  tahun  berlalu.  Usia  Kak  Laisa  sekarang  sudah  menjelang  dua  puluh  tahun. Dalimunte  empat  belas,  Ikanuri  sebelas  (hampir  dua    belas),  Wibisana  sebelas  (baru  lewat sepuluh), dan Yashinta sembilan tahun. Satu tahun penuh kerja keras, kerja keras, kerja keras, dan pengharapan. Senja itu, gerimis kembali membasuh lembah indah tersebut. 
"Mamak menyuruh Kakak pulang." Laisa  menoleh,  tersenyum  lebar  melihat  Dalimunte  melangkah  mendekat.
Adiknya mengulurkan  payung.  Ikut  tersenyum.  Seekor  elang  terbang  berputar  di  tengah  larik  bulir hujan. Langit mulai gelap. Batang-batang strawberry bergoyang lembut oleh hujan.  Satu dua buah sisa  panen seminggu lalu masih menggelantung. Terlihat merah ranum. Kemilau kristal air menambahi kesan indahnya. 
"Kau  sudah  pulang  dari    kota  kecamatan?"  Dalimunte  mengangguk  mantap. 
Tadi  dia  dan Mamak  mendaftar  sekolah.  Sekalian  membeli  banyak  barang  keperluan.  Seragam  baru  buat Yashinta. Sepatu baru buat Ikanuri dan Wibisana. Juga baju baru buat Mamak dan Kak Laisa. Sudah lama sekali Mamak tidak punya baju baru. Kak Laisa juga, selama ini membeli barang loakan, yang selalu gombyor, kebesaran buatnya.
"Kalau  Dali  sekolah  minggu  depan,  berarti  Dali  tidak  bisa  bantu  Mamak  dan  Kak  Lais lagi...." Dali menunduk, berdiri di sebelah Kak Laisa, berpegangan ke pagar kebun.
"Kau tetap bisa membantu." Kak Laisa berkata ringan.
"Tapi,  Dali  setiap  shubuh  harus  menumpang  starwagoon,  baru  pulang  lepas  magrhib. Bagaimanalah Dali bisa membantu?"
"Kau  tetap  bisa  membantu,  Dali.  Dengan  belajar  sungguh-sungguh.  Dengan  nilai-nilai  yang baik. Kau akan membantu banyak Mamak dengan semua itu."  Kak  Laisa  menggenggam  lengan  adiknya.  Menatap  wajah  Dalimunte  yang  sekarang  lima belas senti lebih tinggi darinya. Dalimunte terdiam, menggigit bibir. 
"Berjanjilah—" Dalimunte mengangguk. Mengusap ujung-ujung matanya.

"Kemarilah, Dali.... Kemari...." Kak Laisa berkata lirih. Mamak melepas dekapan kepala Dalimunte. Dalimunte beranjak mendekat ke ranjang Kak Laisa.
"Kau, kau sungguh adik yang amat membanggakan...."  Kak  Laisa  menatap  Dalimunte  lamat-lamat.  Tersenyum.  Bercak  darah  mengalir  lagi.  Intan lembut menghapusnya.
"Lihatlah....  Siapa  yang  paling  pandai  di  keluarga  kita?  Siapa  yang  paling  pintar?  Kau, Dalimunte.  Babak  pasti  bangga  padamu.  Dan  kau,  kau  selalu  menepati  janjimu....  Belajar, bekerja keras, bersungguh-sungguh." Kak Laisa mengenggam lengan
"Kau punya istri yang cantik. Anak yang manis dan juga pandai seperti ayahnya. Semua itu. Semua itu seharusnya membuat kau tersenyum, Dali. Bukan menangis seperti ini— " Kak Laisa tertawa kecil, lantas terbatuk.
"....Itu semua karena Kakak... itu semua sungguh karena kakak." Dalimunte mengusap ujung-ujung matanya. Kak Laisa tersenyum tulus. Terus  menggenggam  lengan Dalimunte dengan  sisa-sisa tenaga,
"Maukah  kau  menceritakan  penelitian  terbarumu  pada  Kakak?  Biar  Kakak  mendengarkan... Yang tentang apa?—"  Kak Laisa terbatuk.
Bersitatap satu sama lain. Lima belas detik. Dalimunte  mengangguk  perlahan.  Pelan  menarik  nafas.  Berusaha  mengendalikan  emosi. Bahkan  dalam  kondisi  yang  menyedihkan,  Kak  Laisa  tetap  tidak  berubah.  Selalu  ingin mendengar  apa  yang  sedang  dikerjakannya.  Apa  yang  sedang  dilakukannya.  Cie  Hui, membantu  Mamak  kembali  duduk  di  kursi.  Intan  beringsut  naik  ke  atas  ranjang  besar.  Biar lebih leluasa membersihkan setiap kali bercak darah keluar dari bibir. Meski  Kak  Laisa tidak  mengerti, karena semakin  ke sini apa  yang dikerjakan Dalimunte semakin  rumit  baginya.  Meski  Kak  Laisa  tidak  paham  sedikitpun,  tapi  ia  selalu  ingin mendengar  apa  yang  sedang  dilakukan  Dalimunte.  Menatap  wajah  Dalimunte  yang  selalu antusias menjelaskan penelitiannya. Penuh penghargaan. Tetap sama seperti dua puluh tahun silam. Masa-masa ketika akhirnya Dalimunte menyadari satu hal. Kak Laisa yang semakin tertinggal di belakang.

TIGA TAHUN berlalu sejak panen pertama kebun strawberry yang sukses besar. Luas kebun itu  mekar  menjadi  lima kali  lipat. Mamak dan  Kak Laisa dengan keleluasaan uang  yang ada mulai membeli lahan-lahan di dekat kebun mereka. Mulai memperkerjakan remaja tanggung tetangga rumah untuk merawat batang-batang strwaberry. Wak Burhan dan tetangga lainnya, satu dua juga mulai menanami kebun mereka dengan strawberry, mencoba peruntungan, tapi mereka tidak setelaten Kak Laisa. Tiga tahun berlalu sejak panen pertama. Usia Kak Laisa dua puluh tiga tahun. Dalimunte tujuh belas,  menjelang ujian akhir di sekolah  lanjutan pertamanya. Beranjak  melewati  masa-masa remaja tanggung. Dan seperti halnya remaja tanggung, Dalimunte mulai mengenal kata cinta  dan  romantisme.  Serba  tanggung.  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  beranjak  remaja,  sudah sekolah  di  kota  kecamatan.  Kelas  satu.  Umur  mereka  empat  belas.  Prospek  sekolah  di  kota kecamatan benar-benar membuat perangai Ikanuri dan Wibisana berubah banyak. Itu artinya mereka  bisa  naik  starwagoon  setiap  hari  tanpa  perlu  diteriaki  Mamak  lagi.  Dan  yang  lebih penting, tidak perlu disuruh-suruh kerja di kebun karena mereka baru pulang saat starwagoon itu kembali ke lembah menjelang senja. Sementara Yashinta sudah menjejak kelas enam sekolah dasar.  Tubuhnya  bongsor,  sekarang  lebih  tinggi  dibandingkan  Kak  Laisa.  Yashinta  tumbuh menjadi  gadis  kecil  yang  amat  manis.  Rambut  panjangnya  dikuncir  rapi.  Kulitnya  kuning langsat.  Ia  terlihat  amat  berbeda  di  rumah  panggung  yang  mulai  diperbaiki  di  sana  sini. Sementara  Mamak  rambutnya  sudah  mulai  beruban.  Kulit  Mamak  legam  seperti  Kak  Laisa, karena terpanggang matahari saat mengurus kebun strawberry.
Tiga tahun berlalu, hari itu Mamak, Kak Laisa bersama-sama yang lain berangkat ke kota provinsi.  Melihat  Dalimunte  mengikuti  lomba  karya  ilmiah.  Gedung  serba  guna  universitas kota  provinsi  itu  ramai  oleh  pengunjung.  Dipadati  oleh  berbagai  peralatan  hasil  rakitan. Ikanuri  dan  Wibisana  entah  dari  tadi  pagi  menghilang  kemanalah.  Yashinta  menggandeng Mamak, beserta Kak Laisa  berjalan  mengelilingi  gedung. Melihat satu demi satu stand  yang dipenuhi peralatan peserta lomba. Mereka berdiri lama di depan rakitan Dalimunte. Kak Laisa mengerjap-ngerjap terpesona, 
"Bisakah kau menjelaskan ini sebenarnya apa, Dali?" Dalimunte  tersenyum.
Kak  Laisa  selalu  peduli  dengan  apa  yang  dikerjakannya.  Selalu bertanya.  Ingin  tahu,  meski  kadang  tidak  terlalu  mengerti  apa  yang  sebenarnya  Dalimunte jelaskan.  Yashinta  dan  Mamak  berdiri  mendekat.  Ikut  mendengarkan.  Tapi  sebelum  Dali sempat  menjelaskannya,  Ikanuri  dan  Wibisana  mendadak  masuk  ke  dalam  stand.  Berseru sambil  menarik  kuncir  rambut  Yashinta.  Tangan  Yashinta  yang  berusaha  memukul  tangan jahil  Ikanuri  malah  menghantam  rakitan  Dalimunte.  Pyar!  Rakitan  alat  fermentasi  buah strawberry itu roboh seketika. Berserakan.
"IKANURI, WIBISANA, bisa nggak sih kalian sehari saja tidak nakal?"  Kak Laisa mendesis marah.
Wajah-wajah  pengunjung  lainnya  tertoleh.  Ingin  tahu  keributan    yang    sedang terjadi.  Dalimunte    pias    melihat  rakitannya  roboh.  Berusaha  membenahi.  Dibantu Yashinta  setelah mengaduh kaget dan menimpuk Ikanuri dan Wibisana dengan gumpalan tisu. Seorang gadis remaja tanggung dari kerumunan pengunjung ikut jongkok. Ikut membantu membenahi  serakan  logam  dan  kayu.  Seketika  muka  Dalimunte  yang  pias  memerah.  Amat merah.
"Cie Hui? Kau... kau juga datang?" Berkata terbata.
Gadis  tanggung  berbilang  enam  belas  tahun  itu  tersenyum  manis.  Wajah  keturunannya juga  merekah  merah,  tersipu,  mengangguk.  Dan  Dalimunte  sontak  kehabisan  kata.  Cie  Hui teman sekelasnya di kota kecamatan. Lihatlah, Dalimunte seperti anak-anak lain, tidak peduli sepintar apapun dia, tetap tumbuh menjadi remaja tanggung dengan segala dunianya. Setahun terakhir, Dalimunte mulai merasakan cinta monyet itu. Dengan segala perasaan-perasaan itu. Kerusakan  akibat  kenakalan  Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  berakibat  fatal.  Rakitan Dalimunte toh sudah selesai dinilai. Ia kalah sebelas poin dari juara ketiga (yang berasal dari sekolah  lanjutan  atas).  Tapi  sepanjang  perjalanan  pulang,  Ikanuri  dan  Wibisana  yang  jahil terus  menggodanya  soal  Cie  Hui.  Dasar  Dalimunte,  semakin  digoda,  semakin  terbukalah semuanya.  Mukanya  merah  padam.  Berkali-kali  berusaha  menghindar.  Percuma.  Bahkan Yashinta yang selama ini tidak pernah jahil, ikut-ikutan nyeletuk, 
"Emangnya  kakak sudah boleh pacaran, ya?" Membuat Mamak ikut tertawa.
"Apa  kau  menyukainya?"  Kak  Laisa  bertanya  saat  mereko  berdua  di  kebun  strawberry beberapa hari kemudian. Muka Dalimunte langsung merah padam.
"Kakak  hanya  memastikan,  kau  tidak  perlu  menjawabnya"  Kak  Laisa  tersenyum  simpul.
Meneruskan memotong ranting-ranting batang strawberry yang menguning. Hari-hari itu Dalimunte menyadari sesuatu. Dia memang menyukai Cie Hui sejak pertama kali  mengenalnya.  Cinta  pertamanya.  Tapi  kesadaran  itu  mendatangkan  pemahaman  yang lebih besar, lebih penting: Kak Laisa. Apakah Kak Laisa pernah jatuh-cinta sepertinya?
Kesadaran  itu  mencungkil  berbagai  potongan  dialog  yang  dulu  dianggap  Dalimunte biasa-biasa  saja. Berbagai percakapan tetangga. Amat tidak  lazim,  Kak  Laisa  yang sekarang sudah berumur dua puluh tiga tahun tapi belum menikah. Di lembah itu, rata-rata anak gadis menikah di usia delapan  belas. Mamak dulu  juga  menikah di umur segitu. Tetapi  Kak  Laisa sudah dua puluh tiga, dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan segara menikah. Gadis  tua.  Itu  istilah  yang  disematkan  ke  perempuan  yang  lepas  dua  puluh  belum  juga menikah  di  Lembah  Lahambay.  Dalimunte  menatap  lamat-lamat  punggung  Kak  Laisa. Hamparan  kebun  strawberry  itu  lengang.  Beberapa  pekerja  sibuk  mengurus  batang-batang strawberry  Beberapa  menyusun  polybag  baru.  Memasukkan  pupuk  kandang.  Menyiapkan bibit. Gadis tua. Itulah isi percakapan tetangga selama ini. Dalimunte menelan ludah. Apakah Kak  Laisa  pernah  jatuh  cinta  sepertinya?  Apakah  Kak  Laisa  tidak  terganggu  dengan  bisik-bisik itu? Inilah  sebenarnya  urusan  paling  pelik  yang  menyergap  hubungan  mengesankan  kakak-adik di lembah indah itu. Gadis tua.
"KAK  LAIS  bilang  aku  bisa  sekolah  di  mana  saja.  Aku  tidak  mau  sekolah  di  sini.  TIDAK MAU!" Yashinta merajuk. Matanya melotot. Laisa mencengkeram lengannya. Bersitatap satu sama
"YASH TIDAK MAU SEKOLAH DI SINI!" Laisa tidak mengendurkan cengkeramarmya. 
"Yash tidak mau sekolah di sini... Yash mohon, jangan paksa Yash..."  Yashinta mulai menangis. Tertunduk.
Laisa menelan ludah. Lembut menatap wajah adiknya.  Ia  baru  saja  mengantar  Yashinta  mendaftar  sekolah  di  kota  kecamatan.  Setahun  lagi berlalu.  Sekarang  giliran  Yashinta.  Tadi  semangat  sekali  berangkat  menumpang  truk angkutan strawberry. Semangat melihat hamparan luas halaman sekolah lanjutan pertama itu. Di  sini  pula  Ikanuri  dan  Wibisana  sekolah.  Kelas  tiga.  Sedangkan  Dalimunte  sudah melanjutkan sekolah di kota provinsi. Meski tidak juara, lomba karya ilmiah, itu memberikan kesempatan meneruskan sekolah di sekolah lanjutan atas terbaik kota provinsi. Beasiswa.
"Yashinta marah dengan orang di dalam tadi?" Yashinta diam, Menggigit bibimya. 
"Yash marah?" Yashinta  mengangguk.  Pelan.  Bagaimanalah  ia  tidak  akan  marah.  Ketika  formulir pendaftarannya akan ditandatangani Kak Laisa, petugas itu kasar menegur, 
"Harus orang tua atau wali murid yang menandatangani, bukan pembantu yang mengantar—"
"Ia kakakku—" Yashinta yang menjawab.
"Bagaimana mungkin ia kakakmu?" Petugas itu menatap keheranan.  Lihatlah, Yashinta  yang  bongsor sejengkal  lebih tinggi dibanding  Kak Laisa.  Apalagi wajah Yashinta  yang  amat  manis.  Dibandingkan  dengan  adiknya,  Kak  Laisa  memang  lebih  mirip seseorang yang disuruh mengantar.
"Ia  kakakku—"  Yashinta  menjawab  ketus,  tersinggung  dengan  tatapan  petugas.  Meski umurnya  baru  dua  belas  tahun,  Yashinta  mengerti  benar  soal  beginian.  Soal  tatapan  mata seperti ini. Kalimat-kalimat seperti ini. Ia berkali-kali mengalaminya.
"Kakakmu? Kalian sungguh berbeda. Ia lebih pend... Baiklah-" Maka  Yashinta  merajuk,  berlari  ke  luar  ruangan  pendaftaran.  Melempar  formulir pendaftarannya.  Tidak.  Tidak  ada  yang  boleh  menghina  kakaknya.  Ia  tidak  akan  sekolah  di sini. la bisa sekolah di mana saja ia mau, tapi bukan di sini.
“Yash  seharusnya  tidak  marah.  Yash  seharusnya  terbiasa"  Kak  Laisa  duduk  di  sebelah.  Ikut bersandarkan kursi panjang. Menghela nafas.  Mendekap bahu adiknya. Yashinta hanya diam. Meletakkan tas barunya.
Minggu  lalu,  dan  juga  minggu-minggu  lalunya,  waktu  ia  bermain-main  bersama  anak tetangga  di  lembah,  beberapa  remaja  tanggung  juga  seringkali  menunjuk-nunjuknya. Berbisik.  Tertawa.  Yash  tahu  apa  yang  sedang  mereka  bicarakan.  Mereka  pasti  senang membanding-bandingkan  ia dengan  Kak  Laisa. Maka  marahlah Yashinta. Melempar  mereka dengan butiran tanah. Berteriak-teriak. Membuat Wak Burhan yang kebetulan lewat terpaksa turun tangan.
"Mereka menghina Kak Lais, Wak!" Yashinta mengadu  marah.
Wak  Burhan  mengusap  rambut  panjang  Yashinta.  Tersenyum  bijak.  Sejak  dulu,  anak-anak kampung  memang  suka    memperolok-olok  Laisa.  Hanya  saja  karena  Yashinta  masih  terlalu kecil  sajalah,  hingga  Yashinta  tidak  menyadarinya.  Remaja-remaja  tanggung  itu  sedang senang-senangnya  rumpi.  Mengolok-olok.  Laisa  yang  berbeda  dengan  anak-anak  Mamak Lainuri lainnya. Laisa yang berbeda dengan penduduk kampung lainnya.   Bahkan sekali-dua meski  dengan  intonasi  berbeda  orang  dewasa  di  lembah  itu  juga  suka  membicarakan  Laisa yang  belum  menikah-menikah  juga,  Wak  Burhan  malah  juga  pernah  berkunjung,  berbicara dengan Mamak Lainuri soal kenapa Laisa belum menikah.
"Yash seharusnya terbiasa. Lihat, Ikanuri dan Wibisana terbiasa. Dalimunte juga terbiasa—"
"Tapi mereka menghina Kak Lais!" Yashinta memotong.
" Mereka hanya merasa heran—"
"Mereka  menghina. Yash tidak  suka. Pokoknya Yash tidak suka. Yash tidak  mau sekolah di sini!" Yashinta menjawab ketus. Laisa tersenyum. 
Suka  atau  tidak,  mau  atau  tidak,  Yashinta  harus  membiasakan  diri.  Seperti  Ikanuri  dan Wibisana yang tidak peduli dengan olok-olok itu. Atau seperti Dalimunte yang memang tidak pernah mendengarkan sedikitpun olok-olok tersebut. Karena tidak ada gunanya.  Tidak ada manfaatnya.  Adiknya Yashinta harus (segera) terbiasa....
MALAM ITU, rumah panggung mereka ramai. Kak  Laisa  baru  saja  menyelesaikan  renovasi  rumah.  Sekarang  rumah  panggung  reot seadanya  itu  berubah  menjadi  bak  villa  indah.  Masih  berlapis  kayu,  tapi  sekarang  tanpa lubang-lubang.  Atapnya  digantikan  genteng,  sudah  tak  tampias  lagi.  Hamparan  halaman ditanami  beludru  rumput  dan  bonsai  pepohonan.  Perkebunan  strawberry  mereka  sekarang sudah puluhan hektar, memenuhi separuh lembah hingga cadas  lima meter sungai. Tidak ada lagi lima kincir bambu di sana. Sekarang digantikan dua pasang kincir bertingkat-tingkat dari batangan  aluminium  dan  pondasi  beton  yang  lebih  kokoh.  Ada  banyak  hal  besar  yang dikerjakan Kak Laisa tiga tahun terakhir. Seiring majunya perkebunan strawberry, Kak Laisa juga merenovasi sekolah seadanya di kampung atas. Jalanan selebar tiga meter itu juga sudah di aspal tipis. Memudahkan truk-truk pengangkut buah strawberry berlalu-lalang.
Malam itu, Dalimunte yang sudah kuliah di institut teknologi ternama luar pulau, mudik. Kejutan.  Benar-benar  kejutann,  Dalimunte  pulang  bersam  Cie  Hui.  Gadis  keturunan  yang dulu mereka lihat di kota provinsi. Umur Dalimunte sudah dua puluh satu tahun, sudah bukan remaja  tanggung  lagi.  Ikanuri  dan  Wibisana  beranjak  delapan  belas,  sudah  di  tahun  terakhir sekolah lanjutan atas kota kabupaten. Mereka masih suka menggoda Dalimunte soal Cie Hui, tapi konteksnya jauh berbeda. Bukan lagi gurauan remaja tanggung atau anak-anak. Lagipula Ikanuri  dan  Wibisana  lebih  asyik  menghabiskan  waktu  di  bengkel.  Mereka  memang menyukai  mengotak-atik  mesin.  Cinta  sekali  dengan  mobil.  Beruntung  Kak  Laisa  berbaik hati  membelikan starwagoon tua, dengan  janji  mereka tetap akan  meneruskan kuliah di kota provinsi tahun depan.
Yashinta tumbuh menawan. Gadis kecil itu sekarang sudah lima belas. Setahun lagi harus melanjutkan sekolah di kota kabupaten. Ia tetap sekolah di kota kecamatan yang dulu pernah dibencinya. Meski tidak kunjung terbiasa, Yashinta mengalah. Bisik-bisik tetangga soal fisik Laisa  juga  sebenarnya  jauh  berkurang  karena  meski  dengan  segala  keterbatasannya,  fakta Laisa  melakukan  banyak  hal  untuk  lembah,  anak-anak  yang  bersekolah,  bantuan  menanam strawberry di kebun-kebun, membuat kehidupan lembah jauh lebih baik. Jadi  penduduk  kampung  walau  tetap  membicarakan  Laisa  yang  hingga  usia  dua  puluh tujuh tahun tetap belum menikah, intonasinya lebih karena prihatin. Ingin membantu mencari jalan keluar. 
"Cepat atau lambat juga akan datang, Mak!" Itu jawaban ringan Kak Laisa setiap kali Mamak mengajak membicarakannya (atau jika ada tetangga yang berbaik hati bertanya). 
"Lihat,  Wak  Burhan  besok  akan  menikah  untuk  kedua  kalinya.  Padahal  umurnya  sudah delapan puluh! Cepat atau lambat giliran Laisa pasti akan tiba pula, bukan?"  Kak Laisa tertawa.
Itu benar, besok Wak Burhan akan menikah dengan janda tua dari desa atas. Umur calon istri  Wak  Burhan  berbilang  enam  puluh  tahun,  sudah  bercucu  sebelas.  Malam  itu,  mereka ramai-ramai  berkumpul  di  rumah  untuk  menyiapkan  keperluan  acara  besok.  Wak  Burhan masih  terhitung  kakak  sepupu  Mamak.  Jadi  rumah  panggung  mereka  jadi  tempat  'mempelai perempuan' bersiap-siap. Yashinta  ditemani  Cie  Hui  memasang  hiasan-hiasan  janur.  Penduduk  kampung  itu  sibuk. Minggu-minggu  selepas  lebaran,  memang  waktu  yang  tepat  melangsungkan  hajat  besar. Pernikahan. Mamak dan ibu-ibu lainnya menyiapkan hidangan besok. Dalimunte dan pemuda lainnya menyiapkan panggung acara. Kak Laisa ikut mengerjakan banyak hal. Jelas ia sudah terbiasa menangani tatapan ingin tahu. Menanggapi ibu-ibu tetangga yang menggodanya, 
"Jadi kapan Lais akan menyusul?" Laisa hanya tersenyum simpul.
Setiap kali ada pernikahan di lembah itu, Laisa selalu membantu mengerjakan banyak hal. Terbiasa  dengan  kalimat  prihatin,  gurauan,  bahkan  bisik-bisik  tetangga.  Menjawab  dengan senyuman,  kalimat  ringan,  atau  ikut  tertawa.  Tapi  apakah  Laisa  seringan  itu  menghadapi fakta  bahwa  ia  belum  menikah-menikah  juga?  Dalimunte  tahu  persis  jawabannya.  Seperti malam  itu,  saat  semua  jatuh  tertidur  kelelahan  lepas  menyiapkan  keperluan  acara  besok. Larut malam. Bintang Indah bertebaran di angkasa. Cerah. Lembah itu berpendar-pendar oleh cahaya bohlam lampu di bawah dan cahaya bintang di langit.
"Kak Lais belum tidur?" Laisa  menoleh,  tersenyum.  Dalimunte  melangkah,  mendekat.  Laisa  berdiri  di  depan  bingkai jendela yang dibuka lebar-lebar.
"Bulan yang indah, bukan?" Kak Lais menunjuk ke atas.
Dalimunte mengangguk. Menelan ludah. Dia tahu, Kak Laisa tidak menghabiskan waktu setengah  jam  dini  hari  seperti  ini  hanya  untuk  menikmati  menatap  rembulan.  Bersenyap
seorang  diri  pukul  dua  pagi.  Tentu  ada  banyak  hal  yang  sedang  dipikirkannya.  Kalimat-kalimat  tetatngga.  Usianya  yang  sebentar  lagi  tiga  puluh.  Entahlah.  Tapi  Kak  Laisa  selalu ingin  terlihat  semua  baik-baik  saja  di  depan  adik-adiknya.  Sejak  setahun  lalu,  Dalimunte ingin sekali menanyakan hal tersebut.
"Apakah kau menyukai Cie Hui?" Kak Laisa justru yang mendahuluinya bertanya. Muka Dalimunte memerah. Tersipu.
"Ergh, maksud Kak Lais?"
"Kata Yashinta tadi, Cie Hui bilang kalian tidak pacaran. Hanya teman dekat—"  Kak Laisa tertawa kecil. 
"Aneh, bukan? Bagaimana mungkin gadis itu mau bermalam di sini tanpa hubungan penting di antara kalian?" Dalimunte  nyengir,  mengusap  wajahnya  yang  semakin  memerah.  Benar.  Mereka  belum sekalipun  bilang  soal  perasaan  itu.  Mereka  amat  dekat,  itu  benar.  Tapi  ikrar  saling  suka  itu belum terucap. Bagaimana dia akan melakukannya jika Kak Laisa belum?
"Cie  Hui  gadis  yang  cantik.  Ia  juga  baik.  Ia  mudah  sekali  akrab  dengan  Mamak  dan Yashinta." Kak Laisa bergumam, menatap wajah Dalimunte yang salah-tingkah, 
"Dali, kau seharusnya tidak membuat Cie Hui menunggu lama—"
TETAPI DALIMUNTE kali ini memutuskan untuk bebal. Dalimunte  tidak  mendengarkan  kata-kata  Kak  Laisa.  Dalimunte  benar-benar  membuat Cie  Hui  menunggu  lama,  terlalu  lama  malah.  Tujuh  tahun  berlalu.  Dan  dia  belum  juga mengatakan  perasaan  itu.  Meski  hampir  setiap  pulang  ke  Lembah  Lahambay,  Cie  Hui  ikut serta. Bahkan gadis keturunan yang sekarang sudah berkerudung itu sudah dianggap Mamak menjadi anggota keluarga.
Lulus  dari  institut  teknologi  ternama  itu,  Dalimunte  melanjutkan  sekolah  di  universitas terbaik  di  Amerika.  Mendapatkan  beasiswa  selama  tiga  tahun  untuk  menyelesaikan  jenjang doktor ilmu fisikanya. Masa-masa itu bahkan Cie Hui lebih banyak lagi menghabiskan waktu di  perkebunan  strawberry.  Menginap  lama  di  sana.  Ikut  membantu  Kak  Laisa  dan  Mamak mengurus  kebun.  Dua  tahun  sejak  pulang  dari  Amerika,  dan  memutuskan  bekerja  di laboratorium  institut  teknologi  ternama,  Dalimunte  tetap  tak  kunjung  mengatakan perasaannya. Cie Hui hanya bilang, 
"Kami hanya teman biasa, Mak!" setiap kali Mamak atau Yashinta bertanya kapan.
"Apa  sebenarnya yang  kau  tunggu,   Dali?"  
Itu juga pertanyaan  berkali-kali  yang  disampaikan  Kak  Laisa  setiap  dua  bulan  jadwal Dalimunte dan yang lain pulang ke lembah. Dan Dalimunte hanya diam, tidak menjawab. Tentu saja Dalimunte amat menyukai Cie Hui. Cinta pertamanya. Tetapi urusan ini tidak mudah.  Pelik.  Dia  sungguh  tidak  akan  pernah  bisa  mengambil  keputusan  sepenting  itu
sebelum  Kak  Laisa  menikah.  Tabu  sekali  di  lembah  itu  jika  ada  adik  yang  mendahului kakaknya menikah. Melintas. Akan menjadi gunjingan seumur hidup.
"Kau tidak harus menunggu aku, Dali!"  Laisa menggenggam erat lengan Dalimunte.
Malam itu, malam yang kesekian mereka berdiri di  lereng  lembah,  menatap  bintang-gemintang.  Di  antara  ribuan  polybag  strawberry.  Malam itu, umur Kak Laisa sudah tiga puluh tiga tahun, Dalimunte dua puluh tujuh. Janji kehidupan yang  lebih  baik  di  luar  lembah  sudah  sepenuhnya  tiba.  Dan  kehidupan  di  lembah  sendiri sudah jauh lebih baik dibandingkan masa kanak-kanak mereka. Mereka  selepas  isya  tadi,  habis  melakukan  syukuran  besar  di  rumah.  Lulusnya  Ikanuri dan  Wibisana.  Akhirnya,  dua  sigung  nakal  itu  menyelesaikan  kuliahnya.  Warga  kampung berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan semacam  itu  seperti  mereka sering  berkumpul di  balai kampung dulu.  Kehidupan di  lembah jauh lebih baik sekarang.
"Kami lulus sarjana saja itu sudah menjadi keajaiban dunia ke delapan dan ke sembilan. Jadi jangan paksa kami untuk ambil S2 seperti Dalimunte — " 
Ikanuri  tertawa  saat  Kak  Laisa  menyuruh  mereka  melanjutkan  sekolah  lagi.  Dan  itu  benar, beberapa  minggu  kemudian  dari  kelulusan  universitas  kota  provinsi,  dua  sigung  itu  lebih memilih  sibuk  dengan  hobi  kecil  mereka  dulu.  Membongkar-bongkar  mesin  mobil.  Mereka sekarang punya bengkel besar di kota provinsi. Kak Laisa yang memberikan modal. Sementara Yashinta benar-benar tumbuh menjadi gadis yang menawan. Cantik luar biasa. Umurnya sekarang dua puluh. Tahun kedua di jurusan Biologi universitas ibukota. Malam ini ia  juga  pulang.  Lihatlah,  Yashinta,  dengan  rambut  tergerai  panjang,  mata  hitam  indah  dan tubuh tinggi semampai, terlihat seperti bidadari di rumah panggung itu. Amat kontras dengan Kak  Laisa.  Gadis  itu  juga  tumbuh  dengan  pemahaman  yang  baik      atas  hidup.  Mencintai kehidupan sekitar. Menghabiskan waktu dengan kegiatan mendaki gunung, menyelami lautan, konservasi alam. Setiap kali  ia pulang,  itu   saja dengan  berhari-hari  menghabiskan waktu dihutan  rimba  dekat  lembah.  Menginventarisir  satwa  di  dalamnya.  Hasil  jepretan  kameranya sudah ribuan  lembar. Yashinta amat atletis untuk urusan  ini. Ia  bahkan dua kali  lebih atletis dibanding Kak Laisa.
"Kau tidak harus menunggu aku, Dali—"  Kak  Laisa  menghela  nafas  panjang.  Mengulang  kalimatnya.  Memecah  lenyap.
Mendekap pinggang Dalimunte yang tiga jengkal lebih tinggi darinya. Dalimunte hanya menunduk, menelan ludah. Bagaimanalah? Dulu Kak Laisa bahkan tega mempermalukan  diri  sendiri  agar  adik-adiknya  tidak  mendapat  malu.  Kak  Laisa  bekerja-keras  di  masa  kecilnya  demi  adik-adiknya.  Bagaimanalah  dia  sekarang  sampai  hati mendahului Kak Laisa? Justru mempermalukan Kak Laisa? Itu akan jadi aib besar di lembah. Belum  menikah  di  usia  tiga  puluh  tiga  tahun  saja  cukup  sudah  membuat  tetangga  banyak bertanya, apalagi jika adik-adiknya melintas.
"Kau sudah cukup umur Dali. Punya pekerjaan hebat di ibukota. Cie Hui amat menyukaimu. Kau  tahu,  selama  ini  ia  bahkan  lebih  banyak  menghabiskan  waktu  di  sini  dibandingkan  di rumah orang tuanya di kota kecamatan, bukan?" Tertawa.
Dalimunte  ikut  tertawa  kecil.  Semerbak  wangi  perkebunan  di  malam  hari  menyergap ujung  hidung.  Malam  sudah  amat  larut.  Pukul  dua  pagi.  Dia  selalu  menemani  Kak  Laisa menghabiskan  malam  setiap  kali  pulang  ke  lembah.  Menatap  pemandangan  lembah  yang indah.  Dulu  waktu  mereka  kecil,  Kak  Laisa  juga  suka  melakukannya.  Dan  Dalimunte  tahu persis itu.
Dulu  Kak  Laisa  menghabiskan  malam  dengan  berpikir  tentang  sekolah  adik-adiknya. Bagaimana  mencari  uang  agar  adik-adiknya  tidak  putus  sekolah.  Membantu  Mamak  yang setiap hari terpanggang matahari di ladang. Sekarang? Dalimunte menghela nafas pelan, Kak Laisa  tidak  pernah  sekalipun  mendapat  bagian  untuk  merasakan  bahagia  dalam  hidupnya. Apa yang sekarang Kak Laisa pikirkan? Usianya? Kesendiriannya?
"Berjanjilah kau tidak akan membuat Cie Hui menunggu lebih lama lagi. Berjanjilah, Dali—" Suara  Kak  Laisa  kembali  memecah  sepi.Dalimunte  hanya  menatap  senyap  hamparan  kebun strawberry. Urung menanyakan hal penting tersebut.

Mobil  jemputan kedua tiba di Lembah  Lahambay. Juwita  dan   Delima  berteriak-teriak  ribut    saat    turun.  Bertengkar  soal  sepeda  BMX  mereka.  Ummi  mereka  berdua  menghela nafas, berusaha melerai. Kehabisan akal. Gara-garanya sepele, mereka bertengkar soal sepeda siapa  yang  duluan  harus  diturunkan.  Tetangga  yang  sedang  berkumpul  di  beranda  rumah panggung berkerumun, ikut bingung mencari solusinya.
"Lihat, lihat, Bak Wo Jogar turunkan dua-duanya serempak. Satu-dua-tiga-..."  Bang Jogar tertawa, tangan kekarnya mengangkat kedua sepeda itu sekaligus dari atas mobil,
ikut berseru meningkahi seruan kedua sigung kecil tersebut. "Nah, adil, kan?"
Juwita  dan  Delima  hanya  nyengir.  Bilang  terima  kasih  (setelah  dicubit  Ummi  masing-masing). Mendorong masuk sepeda mereka ke garasi, sebelah rumah. Mereka  lagi-lagi  berisik  saat  naik  ke  rumah  panggung.  Ribut  soal  siapa  yang  duluan salaman  dengan  Eyang  Lainuri  dan  Wawak  Laisa.  Saling  dorong  saat  masuk  kamar.  Tidak mempedulikan  tatapan  tetangga  yang  sedang  mengaji  yasin.  Tetapi  dua  sigung  kecil  itu seketika  terdiam  saat  melihat  ke  dalam  kamar.  Melihat  infus,  belalai,  dan  peralatan  medis lainnya.  Menelan ludah. Benar-benar terdiam. 
Juwita  dan  Delima  malah  takut-takut  melangkah  masuk.  Menatap  sekitar  penuh  tanda-tanya.  Aduh,  kenapa  jadi  begini?  Kalau  begini  mana  ada  coba  acara  keliling  perkebunan pakai  sepeda  BMX.  Balapan  dengan  Wawak  Laisa?  Lupa  dengan  pertengkaran  mereka barusan. Siapa yang lebih dulu menyalami Wak Laisa? Wak Laisa sedang tidur. Jatuh tertidur saat Dalimunte menceritakan penelitian Elektromagnetik Antar Galaksi satu jam  lalu.  Ia  awalnya  berusaha  mendengarkan  dengan  sungguh-sungguh,  berusaha  untuk mengerti apa yang sedang dijelaskan Dalimunte, tapi fisiknya semakin lemah, konsentrasinya menghilang, Laisa akhirnya jatuh tertidur.
Sementara  Cie  Hui  memijat  kaki  Mamak  yang  juga  rebahan  di  kursi  panjang  dekat ranjang. Mamak juga lelah setelah hampir seminggu senantiasa terjaga menemani Kak Laisa. Intan  masih  duduk  di  atas  ranjang,  sebelah  Wak  Laisa.  Menatap  wajah  wawak-nya  yang meski pucat pasi, begitu tenang dalam tidumya. Dalimunte  menyalami  Jasmine  dan  Wulan.  Menyilahkan  mereka  mendekat  ke  ranjang besar  tersebut.    Bang  Jogar  menyuruh    beberapa      pemuda  tanggung  membawa  plastik tambahan  masuk.  Dokter  memeriksa  ulang  panel  panel  peralatan.  Suster  menyiapkan beberapa suntikan dan obat.
"Apakah  Kak  Lais  akan  baik-baik  saja?"  Wulan  sambil  mendekap  kepala  Juwita  (yang mendadak alim) bertanya lirih.
"Aku tidak tahu—" Dalimunte menelan ludah.
"Apakah  Kak Lais akan  baik-baik saja?" Jasmine  mengulang pertanyaan  serupa. Lebih  lirih. Menggigit bibir. Dalimunte menggeleng. Hening sejenak.
"Ikanuri dan Wibisana sudah di Paris, tadi sempat telepon—" Dalimunte mengangguk. Memberikan kursi.
Sementara  Intan  pelan  melambaikan  tangannya  ke  Juwita  dan  Delima  agar  mendekat, duduk  bertiga  di  atas  ranjang  besar  Wak  Laisa.  Ketiga  gadis  kecil  itu,  malam  ini  untuk pertama  kalinya  rukun.  Mana  pernah  coba  Intan  mau  memberikan  posisi  duduk  ke  adik-adiknya, selama ini yang ada juga Intan galak mengusir mereka jauh-jauh!

WAKTU BERLALU. Dan urusan Dalimunte-Cie Hui  berubah  serius sekali.  Jika Dalimunte bisa keukeuh bertahan menunggu Kak Laisa menikah bertahun-tahun lagi, tapi ada yang tidak bisa. Cie Hui.  Enam  bulan  selepas  syukuran  syukuran  Ikanuri  dan  Wibisana,  Cie  Hui  datang  ke perkebunan  strawberry  sambil  menangis.  Bersimpuh  di  pangkuan  Mamak  dan  Kak  Laisa. Perjodohan.  Keluarga  Cie  Hui  di  kota  kecamatan  memutuskan  untuk  menjodohkan  Cie  Hui dengan kerabat mereka di China. Benar-benar rusuh perkebunan itu.
"Aku sudah bilang,  Kak Lais.... Aku sudah bilang ke Dalimunte.  Tapi,  tapi  ia   tetap  tidak  bisa  mengambil keputusan...."  Gadis manis berkerudung lembut itu menangis di pangkuan Kak Laisa.
"Ayah  memaksaku  menikah  segera.  Kak  Lais  tahu,  di  keluarga  kami  tidak  ada  anak  gadis yang belum menikah hingga usiaku. Ayah memaksaku memilih.... Jika Dalimunte tidak ingin menikah denganku.... Jika Dalimunte tidak—" Cie Hui terisak mengadu. Siang  itu  juga  Kak  Laisa  menyuruh  Dalimunte  pulang  ke  Lembah  Lahambay. Meneleponnya langsungke laboratorium, 
"Kau  naik  pesawat  pertama  dari  sana,  DALI!  Malam  ini  juga  kau  sudah  harus  tiba  di perkebunan strawberry! KAU DENGAR?" Sudah lama Kak Laisa tidak berkata setegas itu di hadapan adik-adiknya. Apalagi kepada Dalimunte  yang  sejak  kecil  menurut.  Perintah  itu  juga  menyebar  ke  yang  lain. 
Karena  Cie Hui  sudah  dianggap  seperti  anggota  keluarga  di  rumah  panggung  itu,  Yashinta  juga  ikut pulang dari kota provinsi. Juga Ikanuri dan Wibisana. Semua berkumpul. Ruang  depan  yang  dulunya  dipakai  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  tidur  beralaskan tikar  pandan  itu  senyap.  Malam  itu,  hujan  gerimis  membasuh  lembah.  Dalimunte  yang terakhir tiba di rumah, dan langsung diajak bicara. Yang lain sudah menunggu sejak sore tadi. Cie  Hui  masih  menenangkan  diri  di  kamar.  Tadi  sore,  utusan  keluarganya  dari  kota kecamatan memaksa pulang. Hanya karena Kak Laisa bilang, 
"Semua akan  baik-baik saja!  Bilang ke  Kokoh, tunggu  hingga  malam  ini  berakhir."  Kerabat Cie Hui mengalah. Mereka tertunduk.  Pelan  menghela  nafas.  Kak Laisa menatap wajah adik-adiknya satu persatu. Lamat-lamat.
"Kakak tidak pernah meminta kalian menunggu. Tidak pernah,"  Kak  Laisa  memecah  senyap.  Ini  kali  pertama  mereka  membicarakan  masalah  yang  super-sensitif tersebut bersama-sama.
"Dalimunte,  kau  sudah  dua  puluh  delapan.  Wibisana  hampir  duapuluh  enam,  Ikanuri  dua puluh  lima,  dan  Yashinta  dua  puluh  dua.  Kalian  sudah  tumbuh  begitu  dewasa.  Tampan  dan cantik.  Seperti  yang  Kakak  impi-impikan,  kalian  tumbuh  dan  memiliki  kesempatan  lebih besar dibandingkan  lembah  ini. Tidak  menghabiskan  hidup  hanya  menjadi pencari kumbang dan damar di rimba"  Suara Kak Laisa bergetar,  membuat yang lain semakin tertunduk. Di  luar  gerimis  mulai  menderas.  Suara  bilur  air  hujan  membasuh  rumput,  genteng,  bebatuan  terdengar  sakral menyenangkan.
" Kalian sudah cukup umur untuk mengambil kesempatan berikutnya. Sudah lebih dari cukup umur  untuk  menikah.  Apa  lagi  yang  kalian  tunggu?  Dali,  bahkan  Kakak  sudah  bilang  enam tahun lalu agar kau tidak membuat Cie Hui menunggu terlalu lama—" Dalimunte menelan ludah.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh. Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan. Masing-masing memiliki jadwal. Giliran—"
"Aku tidak akan menikah sebelum Kakak menikah."  Dalimunte memotong, dengan suara pelan tertahan.
"Kau tidak perlu menunggu Kakak Dali!"  Kak Laisa Berkata tegas. Menatap tajam Dalimunte.
"Aku tidak akan menikah—"
"Dengarkan Kakak bicara,  Dali!"  Kak Laisa  menatap tajam. Dalimunte  tertunduk  dalam-dalam.  Ikanuri  dan  Wibisana  mengusap  wajahnya.  Yashinta memeluk Mamak, matanya mulai berair.
"Buat  apa  kau  memikirkan  apa  yang  dipikirkan  orang  atas  pernikahan  kau.  Buat  apa  kau memikirkan  apa  yang  dipikirkan  orang  atas  Kakak-mu.  Buat  apa  kau  memikirkan kekhawatiran,    rasa  cemas,    yang  sejatinya  mungkin  tidak  pernah  ada.  Hanya  perasan-perasaan. Lihatlah, Kakak baik-baik saja." Dalimunte  menyeka ujung-ujung  mata. Itulah  masalahnya, semua terlihat  baik-baik saja. Bahkan  sejak  kecil  dulu  Kak  Laisa  selalu  berusaha  terlihat  baik-baik  saja  di  hadapan  adik-adiknya.  Memutuskan  berhenti sekolah demi  mereka sekolah.  Bekerja keras. Dan  semuanya tetap baik-baik saja.
"Jangan paksa Dali menikah.... Jangan paksa Dali...."
"Tidak  ada  yang  memaksamu!  TIDAK  ADA!  Tapi  jika  kau  tetap  keras  kepala,  kau  akan kehilangan  Cie  Hui  selamanya.  Kau  mencintainya,  Cie  Hui  juga  amat  mencintai  kau  dan keluarga  kita!  Kau  akan  membuat  semuanya  binasa  dengan  segala  kekeras-kepalaan  dan omong-kosong melintas itu..." Kak Laisa berkata serak.
"Dali tidak akan menikah sebelum —"
"Kau jangan membantah kakak, DALI!"  Suara  Laisa  yang  meninggi  tersedak  diujungnya.  Bergetar.  Tubuhnya  menggigil  menahan sesak perasaan. Ya Allah, ia sungguh tidak pernah sampai hati membentak adik-adiknya,...
Yashinta sudah menangis sambil memeluk Mamak. Malam itu pembicaraan tersebut berakhir sia-sia. Dalimunte  tetap  tak  kuasa  mengambil  keputusan.  Dia  terlalu  menghargai  Kak  Laisa. Mengalahkan akal sehat atas pendidikan hebat yang diterimanya selama ini Kak Laisa sudah melakukan banyak hal untuk mereka, jadi amat tidak adil jika dia mempermalukan Kak Laisa dengan  melintas. Malam  itu, saat hujan  menderas, Cie Hui  menangis  menuruni anak tangga. Keluar  dari  kamamya.  Berlari  menerabas  hujan.  Amat  mengharukan  melihatnya.  Sementara Dalimunte  hanya  tertunduk  diam  seribu  bahasa.  Ikanuri  dan  Wibisana  mengantar  Cie  Hui pulang  ke  kota  kecamatan.  Tidak  ada.  Harapan  itu  benar-benar  sirna.  Perjodohan  itu  akan terjadi. Malam  itu, di antara suara guntur  menggelegar, Cie Hui kembali  ke kota kecamatan membawa pusara hatinya. Menyisakan senyap di ruang depan rumah panggung. Mamak  akhirnya  tak  kuasa  menahan  tangis.  Itu  tangisan  pertama  sejak  Babak  dulu meninggal. Memeluk Kak Laisa dan Yashinta erat-erat. Mamak tahu. Tahu betapa Kak Laisa menanggung  separuh  beban  keluarga  ini  sejak  kecil.  Menciumi  wajah  Kak  Laisa  (yang matanya juga berkaca-kaca).
PUKUL EMPAT dini hari. Laisa sendirian berdiri di lereng kebun strawberry. Menatap gemerlap cahaya  bintang dan  bulan separuh. Akhirnya  setelah  nyaris enam  jam hujan  deras  itu  terhenti.  Awan  hitam  menggumpalnya  habis  sudah  menumpahkan  air.  Yang lain  sudah  jatuh tertidur di  kamar. Ikanuri dan  Wibisana tidak  bicara  banyak selepas pulang dari kota kecamatan.  Kalau dua sigung  nakal  itu  saja  ikut tersentuh secara  emosional dalam urusan ini, apalagi yang lain, Yashinta, enam jam lalu di ruang tengah rumah, malah berseru tertahan  soal  betapa  keras  kepalanya  Dalimunte.  Betapa  Dalimunte  tega  membuat  Mamak dan Kak Laisa menangis. Lantas lari masuk kamar. Membanting pintu keras-keras.
"Boleh aku bergabung—"  Laisa  menoleh.  Menatap  datar  Dalimunte  yang  mendekat.  Sejenak  diam.  Lantas  tersenyum. Mengangguk.
Dua kakak adik itu berdiri bersisian. Tubuh gempal Laisa hanya sedada tinggi Dalimunte. Menatap  hamparan  pohon  strowberry  yang  sedang  berbuah.  Merah  ranum.  Minggu-minggu ini panen besar.
"Maafkan Dali yang keras kepala—" Dalimunte berkata pelan. Laisa  menoleh.  Mengangguk.  Tidak.  Ia  tidak  ingin  membicarakan  keributan  enam  jam  lalu. Ia tidak bisa memaksa Dalimunte. Mereka bukan kanak-kanak lagi seperti dulu.
"Apakah Kak Laisa marah?" Laisa  menggeleng. Menggenggam erat lengan  Dalimunte.
"Aku tidak akan memukulmu dengan rotan, Dali—" Tertawa kecil. Senyap sejenak.
"Boleh. Bolehkah Dali bertanya sesuatu?" Laisa mengangguk.
"Apa... apa yang  sebenarnya  Kak Lais pikirkan setiap kali  berdiri di  sini  menatap  langit dan lembah?" Dalimunte bertanya pelan.
Laisa tersenyum, "Banyak hal—"
"Banyak?"
"Ya, tentang masa lalu kita. Tentang hari ini, Tentang masa depan kita. Kau tahu, kalian sejak kecil  dulu  sudah  amat  membanggakan  Mamak  dan  Kakak.  Lihat,  kincir  air  itu,  Dali  yang buat.  Tanpa  itu,  tidak  akan  ada  perkebunan  strowberry  sekarang.  Tidak  akan  ada  lampu-lampu....  kehidupan  warga  kampung  yang  lebih  baik...  Kakak  juga  mengenang  Ikanuri  dan Wibisana yang suka bolos. Kabur naik starwagoon tua, Yashinta yang selalu memaksa minta diantar  melihat  sesuatu  di  hutan.  Ladang  jagung  kita.  Semua  kejadian-kejadian  itu.  Tiga harimau  itu.  Masa  lalu  yang  indah—  Kakak  juga  memikirkan  tentang  hari  ini.  Perkebunan strowberry Mamak. Penduduk lembah yang semakin makmur. Fasilitas sekolah yang semakin baik. Pengalengan buah di kota provinsi. Kau yang sudah jadi peneliti fisika hebat di Ibukota. Ikanuri  dan  Wibisana  yang  ambisius  sekali  dengan  bengkel  mobilnya.  Yashinta  yang  amat mencintai  lingkungan dan  konservasi  entahlah.  Dan  Mamak  yang  terlihat  bahagia menghabiskan waktu di kebun kita. Mamak yang tidak pernah mrmbayangkan kehidupan kita akan  sebaik  ini.....  Kakak  juga  memikirkan  tentang  masa  depan....  Ah,  kalau  kau  menikah, maka rumah panggung  ini akan segera ramai, Dali.  Anak-anak  yang pintar. Ayahnya pintar, pasti  anaknya  jauh  lebih  pintar....  Kau  tahu,  aku tidak  bisa  membayangkan  akan  seperti  apa anak-anak Ikanuri dan Wibisana nanti.... Kalau Yashinta itu jelas sudah. Anak-anaknya akan tampan dan cantik... Ia saja sekarang pasti telah membuat puluhan teman mahasiswanyajatuh hati....  Kalau kalian satu persatu mulai  berkeluarga, perkebunan  ini  akan ramai oleh celoteh anak-anak—" Hening lagi sejenak.
"Apakah,  apakah  Kak  Lais  tidak  pernah  memikirkan  yentang  itu  saat  berdiri  sendirian  di sini?" Dalimunte menelan ludah.
"Memikirkan apa?"
"Umur Kak Lais? Pemikahan? Kesendirian? Pernahkah Kak Lais memikirkan diri sendiri...." Laisa tertawa, melambaikan tangannya, 
"Dali, tentu saja sekali dua datang. Sebenarnya dulu lebih sering datang. Tapi buat apa Kakak membuang-buang  waktu  memikirkan  tersebut.  Hidup  Kakak  sudah  amat  indah  tanpa  perlu memikirkan hal-hal itu. Melihat kalian tumbuh dewasa. Dengan segala kesempatan hebat. Itu sudah  amat  membahagiakan  Kakak.  Melihat  anak-anak  lembah  berkesempatan  sekolah. Kehidupan  mereka  yang  lebih  baik  dengan  perkebunan  strawberry  ini.  Itu  sudah  lebih  dari cukup. Kau  tahu,  seperti  yang  Kakak  bilang  dulu,  jodoh  ada  di  tangan  Allah.  Mungkin  dalam urusan  ini,  Kakak  tidak  seberuntung  dibandingkan  dengan  memiliki  adik-adik  yang  hebat seperti  kalian....  Dulu  memang  mengganggu  sekali  mendengar  pertanyaan  tetangga,  tatapan mata  itu,  tetapi  mereka  melakukannya  karena  mereka  peduli  dengan  kita.  Satu  dua menyampaikan rasa peduli itu dengan cara yang tidak baik, namun itu bukan masalah. Kakak tidak  pernah  merasa  kesepian,  Dali.  Bagaimana  mungkin  Kakak  akan  kesepian  dengan kehidupan seindah ini.... Kau benar, aku juga sering memikirkan umur. Sekarang usiaku tiga puluh  empat  tahun.  Tapi  apa  yang  Kakak  harus  lakukan?  Itu  semua  ada  di  tangan  Allah. Yang lebih penting aku pikirkan, dengan sisa waktu yang mungkin tidak sedikit lagi, apakah masih  berkesempatan  melakukan  banyak  hal  di  lembah  ini,  berkesempatan  melihat  kalian melakukan hal-hal hebat di luar sana. Berkesempatan membuat Mamak dengan keseharian di perkebunan...,"  Kak Laisa tersenyum tulus.
"Hanya itu? Sesederhana itu?" Dalimunte menelan ludah. Kak Laisa tertawa, 
"Apalagi  yang  harus  aku  pikirkan,  Dali?  Bukankah  kehidupan  di  lembah  ini  hanya sesederhana itu?" Dalimunte terdiam. Mengusap wajahnya. Dia keliru. Sungguh keliru. 
Bahkan  Kak  Laisa  sedikitpun  tidak  pernah  memikirkan  dirinya  sendiri.  Apalagi memikirkan tentang  sebutan gadis tua  yang disandangnya, pernikahan. Ya  Allah,  Kak  Laisa memang  seringan  itu  menanggapi  segala  keterbatasan  hidupnya.  Bagi  Kak  Laisa,  adik-adiknya jauh lebih penting. Pertanyaan  itu,    pertanyaan  yang  selalu  dia  ingin  sampaikan,  ternyata  sederhana  sekali jawabannya. Kak Laisa tidak pernah sekalipun berkeberatan dengan takdir kehidupannya.
PEMBICARAAN dini hari itu membuat perubahan besar. Akhirnya  setelah  menatap  begitu  lama  wajah  Kak  Laisa  yang  tersenyum  amat  tulus, Dalimunte memutuskan untuk menikah. Maka rusuhlah perkebunan sepagi itu. "Keluarga Cie Hui sudah berangkat ke kota provinsi. Mereka berangkat ke China hari ini juga —"  Itu  jawaban  dari  seberang  telepon  saat  Dalimunte  bertanya  ke  kediaman  Cie  Hui  di  kota kecamatan. Panik sudah.
Ikanuri  dan  Wibisana  yang  masih  menguap  diteriaki  agar  segera  menyiapkan  mobil. Yashinta  bergegas  menyiapkan  segala  sesuatu.  Mereka  harus  segera  menyusul.  Hari  itu, teknologi  telepon  genggam  belum  ada.  Jadi  tidak  ada  cara  untuk  mengontak  Cie  Hui  yang sedang menuju bandara. Celaka. Urusan ini benar-benar celaka, jika sampai Cie Hui menaiki pesawat  yang  membawanya  ke  ibukota,  lantas  terus  menuju  ke  China,  maka  berakhirlah semuanya. Pusara yang sama juga akan tertanam dalam- dalam di hati Dalimunte. Yashinta berteriak-teriak menyuruh Ikanuri lebih cepat lagi.
"Cepat,  Kak.  Lebih  cepat.  Katanya  nih  mobil  sudah  dimodifikasi  macam  mobil  balap.  Ini mah siput saja lebih cepat!" 
Mereka  sudah  tertinggal  empat  jam  di  belakang.  Ikanuri  yang  sialnya  masih  mengenakan sarung  mengeluarkan  gumam  tak  jelas.  Tersinggung  dengan  teriakan  Yashinta.  Berlima mereka  memadati  mobil  modifikasi  bengkel  Ikanuri  dan  Wibisana  tersebut.  Mamak menunggu di rumah. Rumah keluarga Cie Hui di kota kecamatan kosong. 
"Maaf,  Nak  Dali,  justru  Nona  Cie  Hui  yang  memaksa  agar  perjodohan  itu  segera dilangsungkan. Memaksa mereka berangkat segera dini hari tadi...." 
Pembantu rumah Cie Hui  menjelaskan terbata-bata,  ikut  merasa  sedih. Dalimunte  mengeluh tertahan.  Dia  sungguh  telah  membuat  kesalahan  besar.  Rasa  putus  asa  yang  besar  karena menunggu bertahun-tahun itu berubah menjadi kebencian sekarang, Sekarang  Wibisana  yang  mengemudikan  mobil.  Dari  tadi  Ikanuri  gatal  menjitak  kepala Yashinta yang berisik protes. Melesat menuju kota provinsi. Melewati hampir tiga ratus kilo perjalanan. Kota-kota kabupaten. Kota-kota kecamatan Pedesaan. Hutan-hutan lebat. Semak-belukar.  Pohon  bambu.  Perkebunan  kelapa  sawit.  Perkebunan  karet.  Padang  rumput meranggas.  Naik  turun  lembah.  Melingkari  bukit  barisan,  Sungai-sungai  yang  meliuk. Persawahan.  Menyaksikan  monyet  yang  berani  bergelantungan  di  tepi-tepi  hutan.  Satu  dua babi liar yang nekad menyeberangi jalan aspal. Itu  semua  sebenarnya  pemandangan  yang  menarik,  sayang  tidak  untuk  situasi  saat  ini. Kak Laisa  yang duduk di  belakang, di tengah-tengah Yashinta dan Ikanuri  malah sepanjang jalan  sibuk  memisahkan  tangan-tangan  mereka  (yang  sibuk  bertengkar).    Dalimunte  mengusap  wajahnya berkali-kali. Tegang. Sial, dua puluh kilometer menjelang kota provinsi, ban mobil meletus. 
"Ya  ampun,  bagaimana  mungkin  Kak  Ikanuri  dan  Wibisana  bisa  bikin  mobil  balap  kalau hasil  modifikasinya  hanya  begini?"  Yashinta  mengeluh  setengah  kecewa,  setengah  sebal.
Ikanuri  sekarang  benar-benar  menjitak  kepala  Yashinta.  Terpaksalah  perjalanan  itu  terhenti hampir setengah jam tintuk mengganti ban. Dan saat mereka akhirnya tiba di bandara, mereka benar-benar terlambat. Bertanya rusuh tentang  jadwal  penerbangan.  Memaksa  masuk  pintu  check-in.  Dua  petugas  yang  menjaga pintu  pemeriksaan  terlihat  bingung  menghadapi  seruan-seruan  memaksa  Yashinta.  Wajah mengeras  Ikanuri  dan  Wibisana.  Wajah  tegang  memohon  Dalimunte.  Berhasil.  Kak  Laisa seperti  biasa  dengan  tatapan  mata,  akhirnya  berhasil  mcmbujuk  petugas.  Berlarian  menuju ruang tunggu bandara. Tapi  mereka tiba di  bandara sudah amat terlambat. Dalimunte  masih  sempat melihat Cie Hui  bersama  Koh  Acan  dan  istrinya  berjalan  di  balik  kaca  tebal  menuju  garbarata  prsawat. Berteriak  memanggil. Percuma.  Kaca  itu kedap suara. Memukul-mukulnya. Sia-sia. Cie Hui sudah  masuk  kedalam  garbarata.  Kali  ini  Kak  Laisa  tidak  berhasil  memaksa  petugas  pintu boarding mengijinkan mereka menerobos masuk ke landasan pacu bandara. Itu prosedur yang tidak bisa dilanggar dengan alasan apapun.
Dalimunte  menatap  kosong  pesawat  yang  mulai  berputar  menuju  runaway.  Bersiap berangkat.  Lima  menit,  Pesawat  itu  menderu  lepas  landas.  Menuju  langit  yang  membiru. Menyisakan  lengang  di  balik  kaca  tebal  ruang  tunggu.  Yashinta  tertunduk,  menyeka  ujung-ujung  matanya.  Ikanuri  dan  Wibisana  bergumam  kecewa.  Kak  Laisa  mendekap  sedih pinggang Dalimunte. Lima belas menit hening. Dalimunte tetap menatap kosong langit. Mereka tidak akan bisa mengejar Cie Hui lagi. Jadwal penerbangan ke ibukota hanya ada satu kali dalam sehari. Dia juga  tidak  tahu  nomor  telepon  ke  sana.  Memberitahukan  kalau  dia  sudah  bisa  mengambil keputusan.  Memberitahukan  kalau  dia  bersedia  menikah.  Urusan  ini  ternyata  berakhir menyedihkan.
Kak  Laisa  membimbing  Dalimunte.  Beranjak  pulang.  Semua  ini  terasa  menyakitkan. Sesak.  Mereka  berjalan  beriringan  melewati  pintu  masuk  menuju  ruang  tunggu.  Kembali  ke perkebunan strawberry.... Sungguh sesak rasanya. Mata Dalimunte berkaca-kaca....
"Da-li—" Suara itu memanggil tertahan. Dalimunte mengangkat kepalanya. Kak Laisa ikut menoleh.
"Da-li—" Itu suara Cie Hui. Gadis  keturunan  itu  berlari  keluar  dari  garbarata.  Dalam  gerakan  lambat  sepersejuta  detik yang amat mengharukan. Cie Hui berseru. Menangis. Melompat memeluk Dalimunte.
"Cie—" Dali seketika kehabisan kata-kata.
"Ia  amat  menyukaimu,  Nak"  Koh  Acan,  ayah  Cie  Hui  ikut  melangkah  mendekat,  melepas topi  putih  kupluk  di  kepalanya.  Muslim  keturunan  itu  menghela  nafas  panjang,  "Kau  tahu, meski tadi pagi  ia  sendiri  yang  meminta perjodohan  itu dipercepat, tapi ta tidak kuasa untuk melangkahkan  kakinya  ke  dalam  pesawat.  Tidak  kuasa....  Hanya  berbisik  berkali-kali  di dalam  garbarata,  'Dali  akan  menyusul,  Dali  akan  menyusul,  Papa'....  Berdiri  mematung  di depan pintu pesawat.... Tidak bisa melakukannya. Ia sungguh amat menyukaimu, Nak!"
Dalimunte  dan  Cie  Hui  sudah  berpelukan,  seolah  dunia  milik  berdua.  Tidak  peduli sekitar. Menangis. Kak Laisa tersenyum lebar. Inilah romantisme  yang (selalu) diceritakan  moderator cerewet di konvensi  internasional itu,  juga  konvensi-konvensi  lainnya.  Di  majalah-majalah.  Di  koran-koran  yang  banyak menulis tentang Profesor Dalimunte.  Inilah romantisme Strawberry cinta Dalimunte dan Cie Hui.
PERNIKAHAN Dalimunte - Cie Hui berlangsung satu bulan kemudian. Pernikahan  yang  meriah.  Halaman  luas  rerumputan  itu  dipasang  dua  tenda  besar. Penduduk  empat  desa  di  Lembah  Lihambay  ramai  memenuhi  kursi-kursi.  Tidak  terhitung kolega Dalimunte darii bukota. Saat itu dia belum mendapatkan gelar profesor, tapi berbagai penelitian  yang  dilakukannya  telah  membuat  Dalimunte  terkenal.  Juga  tamu-tamu  dari  kota kecamatan,  kota  kabupaten,  hingga  kota  provinsi,  kenalan  Kak  Laisa  dalam  bisnis perkebunan strawberry. Di salah satu kursi undangan bahkan duduk rapi Bupati setempat. Tetapi  ada  yang  sedikit  berbeda  dibandingkan  dengan  banyak  pernikahan  di  lembah tersebut  sebelumnya.  Wak  Burhan  beberapa  hari  sebelum  acara  berlangsung  meminta penduduk  kampung  untuk  tidak  membicarakan  soal  melintas.  Tidak  sibuk  menggoda  Kak Laisa soal kapan ia akan menikah juga. Urusan ini tidak pantas dibicarakan. Tidak buat Laisa yang  telah  melakukan  banyak  hal  untuk  lembah  mereka.  Jadi  pernikahan  itu  berlangsung 'sebagai mana mestinya'.
Dalimunte  dan  Cie  Hui  terlihat  amat  bahagia,  meski  saat  selesai  ijab-kabul,  Dalimunte dan  Cie  Hui  menangis  lama  memeluk  Kak  Laisa,  berbisik  ribuan  kata  maaf  (lebih  lama dibanding  saat  bersimpuh  di  pangkuan  Mamak).  Membuat  yang  lain  terdiam.  Menghela nafas.  Meski tidak ada  yang  jahil  membicarakannya,  semua orang tahu,  melintas  macam  ini sungguh di luar kebiasaan kampung. Dalimunte dan Cie Hui menghabiskan masa-masa bulan madu di perkebunan strawberry, baru  lepas  satu  bulan  kemudian  mereka  kembali  ke  ibukota,  memulai  kemball  kesibukan  di laboratorium.  Ikanuri  dan  Wibisana  kembali  ke  kota  provinsi  seminggu  setelah  pernikahan, mereka semakin sibuk dengan bengkel modifikasi mobil. Berencana membangun pabrik kecil di  luar  pulau,  di  kota  yang  lebih  besar.  Mengejar  ambisi  besar  mereka:  pembuat  spare-part mobil  balap. Yashinta  juga segera kembali ke kota provinsi,  minggu-minggu depan  ia  mulai menyiapkan ujian tugas akhir kuliahnya.
Meninggalkan  Kak  Laisa  dan  Mamak  Lainuri  di  perkebunan  strawberry.  Seperti  selama ini.  Bedanya,  di  keluarga  itu  sudah  terjadi  pernikahan  pertama.  Entahlah  apa  yang  sejatinya dipikirkan Kak Laisa, tapi kenyataan ia sudah dilintas Dalimunte tetap fakta hidup yang harus diterimanya.  Dan  seperti  biasa,  semuanya  terlihat  baik-baik  saja.  Kak  Laisa  juga  kembali menyibukkan  diri  dengan  pembangunan  pusat  pengalengan  baru  di  kota  provinsi.  Sering berpergian,  bolak-balik.  Mengurus  perkebunan  yang  semakin  luas.  Mulai  melibatkan penduduk  kampung  atas  dan  kampung-kampung  lainnya.  Menjadikan  mereka  petani  cluster dari bisnis tersebut.
Kak Laisa dan Mamak Lainuri mungkin tidak akan pernah kesepian, karena meski jadwal pulang  bersama  yang  lain  hanya  dua  bulan  sekali,  perkebunan  itu  tetap  ramai  oleh  pekerja, anak-anak  tetangga,  juga  remaja  tanggung  lainnya  yang  sibuk  membantu  selepas  pulang sekolah.  Ramai  bermain-main  di  hamparan  rumput  rumah.  Kak  Laisa  juga  sering  kali menghabiskan  malam  dengan  bermain  kembang  api  bersama  mereka.  Mendirikan  taman bacaan. Dan memberikan berbagai kesempatan bagi anak-anak lembah lainnya untuk belajar dan  bermain  yang tidak pernah  ia dapatkan waktu kecil. Tapi di  luar  seluruh kegiatan  hebat tersebut, tetap tidak ada yang tahu seberapa sepi hidup Kak Laisa.
Lepas  pernikahan  Dalimunte,  penduduk  setempat  juga  sudah  jauh  berkurang  menggoda Laisa.  Mereka  sekarang  lebih  banyak  prihatin,  sebagian  besar  malah  mulai  terbiasa.  Hanya Wak  Burhan  yang  masih  terus  sibuk  mencarikan  Laisa  Jodoh.  Percuma.  Semua  itu  seperti menjadi kesia-siaan besar. Dalimunte  selepas  pulang  ke  ibukota  juga  sibuk  mencarikan  jodoh  buat  kakaknya.  Kali ini  dia  melakukannya  dengan  sungguh-sungguh,  sekali  dua  malah  mengorbankan  jadwal  di laboratorium.  Dalimunte  memutuskan  untuk  melibatkan  diri  seperti  Wak  Burhan.  Di  tengah amat keterlaluannya warga ibukota dalam menilai tampilan fisik dan materi, kesempatan Kak Laisa untuk mendapatkan jodoh tetap lebih besar di sini. Mungkin jodoh Kak Laisa terselip di sini. Harus dijemput dengan baik.
Enam  bulan  berlalu,  di  jadwal  pulang  dua  bulanan  mereka,  Dalimunte  mengajak  salah satu  temannya.  Tepatnya  kakak  kelas  waktu  dia  kuliah  di  institut  teknologi  ternama  dulu. Usianya sepantaran dengan Kak Laisa, tiga puluh lima tahun. Dalimunte sudah mengenalnya sejak masih tingkat pertama kuliah dulu. Kakak mentor. Aktivis masjid kampus. Fasih benar bicara  soal  mencari  jodoh  bukan  dilihat  dari  wajah  dan  kecantikan  pasangan,  tapi  dari
"kecantikan  hati".  Sekarang  calon  jodoh  Kak  Laisa  tersebut  malah  lebih  dikenal  sebagai salah-satu  penceramah  agama  terkenal  di  ibukota.  Statusnya  duda.  Istri  kenalan  Dalimunte tersebut meninggal tanpa anak tiga tahun lalu, dan sekarang memutuskan untuk menikah lagi. Karena  Daiimunte  amat  yakin  bahwa  kakak  kelasnya  itu  tidak  akan  menilai  seseorang dari  tampilan  wajah  dan  fisik,  sambil  tersenyum  lebar  dan  penuh  penghargaan,  Dalimunte menyebutkan Kak Laisa sebagai salah satu pilihan yang baik. Cepat sekali proses itu terjadi, bahkan  kakak  kelasnya  merasa  tidak  perlu  melihat  foto-foto  Kak  Laisa.  Hanya  mendengar apa yang dilakukan Kak Laisa, tentang Lembah Lahambay, dan segalanya, dia merasa sudah menemukan pengganti mendiang istrinya yang tepat. 
"Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama ini. Lihat, adiknya saja gagah seperti kau!" Itu jawaban yang hebat, Benar-benar kabar baik. Dalimunte tertawa riang.
Tetapi  Dalimunte  sungguh  keliru,  ketika  malam  itu  akhirnya  mereka  tiba  di  rumah panggung, ketika untuk pertama kali  mantan kakak kelasnya di  institut teknologi  itu  melihat Kak  Laisa, respon  yang diharapkannya sungguh  jauh dari  baik. Sebenamya respon  yang ada tidak  jauh  beda  dengan  jodoh-jodoh  yang  dibawa  Wak  Burhan  selama  ini  tetapi  mengingat latar  belakang  pemahaman  agama  kakak  kelasnya...  Malam  itu  ruangan  depan  rumah panggung entah mengapa terasa gerah, meski lembah sedang menjelang musim penghujan.
"Bukankah  Kak  Laisa  'cantik'  seperti  yang  kau  sebutkan  selama  ini  dalam  ceramah-ceramahmu.  Apalagi  yang  kurang!"  Dalimunte  sedikit  tersinggung,  berkata  ketus  esok  pagi saat menyuruh salah satu sopir perkebunan mengantar kenalannya tersebut kembali lebih dini ke kota provinsi.
"Tapi maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati" 
Dalimunte  sudah  terlanjur  membanting  pintu  mobil.  Dia  tidak  membenci  kenalannya tersebut secara personal. Tapi Dalimunte lebih membenci kenyataan bahwa: terkadang betapa munafiknya  manusia  dalam  urusan  ini.  Lihatlah,  kenapa  pula  temannya  tersebut  mesti berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah di manalah hari ini. Dalimunte membenci ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika mencari jodoh. Sungguh jika ada yang ingin  menilai  secara  objektif,  Kak  Laisa  masuk  tiga  dari  empat  kriteria  utama  yang disebutkan Nabi dalam memilih jodoh.
Jelas  Kak  Laisa  salehah.  Saleh  dalam  hubungan  dengan  Allah,  juga  saleh  dalam hubungan dengan  manusia. Kak Laisa selalu pandai  mensyukuri  nikmat Allah dalam  bentuk yang  lengkap.  Ritus  ibadah  yang  baik  dan  ihklas,  juga  kesalehan    memperbaiki  kehidupan lembah. Dari  sisi  materi.  Jelas  Kak  Laisa  lebih  baik  dari  gadis  lain.  Perkebunan  strawberry  Kak Laisa  membentang  nyaris  dua  ribu  hektar.  Meski  Kak  Laisa  selalu  bilang  ini  perkebunan Mamak, semua orang tahu, semuanya berkat kerja keras Kak Laisa. Dan dari sisi keturunan, Kak Laisa memang bukan turunan raja atau bangsawan ternama, tapi  keluarga  mereka  terhormat,  pekerja  keras,  tidak  pernah  meminta-minta,  berdusta,  atau melakukan  hal  buruk  lainnya.  Sejak  dulu  Babak  mengajarkan  tentang  harga  diri  keluarga, mengajarkan  tentang  menjaga  nama  baik  keluarga  lebih  penting  dibandingkan  soal  kalian turunan  siapa.  Menjadi  keluarga  yang  jujur  meski  keadaan  sulit.  Berbuat  baik  dengan tetangga  sekitar,  dan  sebagainya.  Jadi  kenapa  harus  mempersoalkan  kecantikan?  Bukankah itu hanya ada di urutan keempat?
"Keluarga  yang  baik hanya dapat terjadi ketika suami  merasa senang  menatap  istrinya, Dali. Merasa tenteram —"  Kak  Laisa  berkata  pelan,  menatap  gumpalan  awan  tipis  yang  menutupi  bintang-gemintang dan purnama.
Dalimunte  hanya  diam.  Seperti  biasa  mereka  menghabiskan  sepertiga  malam  terakhir dengan  berdiri  di  lereng  perkebunan  strawberry.  Kak  Laisa  tidak  banyak  berkomentar  atas kejadian  semalam  dan  tadi  pagi.  Seperti  biasa,  menganggapnya  kejadian  lazim  berikut. Bukankah  selama  ini  juga  perjodohan  yang  dilakukan  Wak  Burhan  bernasib  sama.  Yang dijodohkan  mundur  teratur  setelah  melihatnya  (satu  dua  malah  kasar  segera  pergi  dari rumah).  Dalimunte  saja  yang  terlalu  naif  berharap  banyak  atas  kenalannya  tersebut,  tidak proporsional, tertipu tampilan mutut. Kesalehan mulut.
"Kau tahu,  jika  suami  merasa tersiksa  melihat wajah dan  fisik  istrinya, dan  juga sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Bukankah kau juga tahu kisah tentang sahabat  Nabi,  yang  meminta  bercerai  karena  fisik  dan  wajah  pasangannya  tidak menenteramkan hatinya—" Laisa tetap berkata ringan.
Dalimunte  menelan  ludah,  menatap  lamat-lamat  wajah  Kak  Laisa.  Tahun-tahun  itu, Dalimunte  sudah  mulai  sibuk  dengan  berbagai  penelitian  tentang  transkripsi  religius,  jadi bagaimana  mungkin  dia  tidak  tahu  berbagai  kisah  tersebut.  Dia  tahu.  Dia  juga  tahu  persis kalimat  bijak  kalau:  ketika  salah  satnnya  justru  memutuskan  untuk  bersabar  atas  pasangan yang  tidak  beruntung  dari  tampilan  wajah  dan  fisik  tersebut,  maka  surga  menjadi  balasan buatnya. Tidakkah hari ini, ada yang mengerti hakikat kisah tersebut.
"Kakak tidak sakit hati?" Dalimunte berusaha melepas senyap di hatinya.
"Kenapa harus sakit hati, Dali?" Kak Laisa melambaikan tangan. Dalimunte menunduk. Mengusir rasa sesalnya atas kejadian ini.
"Tetapi  yang  membuat  Kakak  bingung,  kenapa  kenalanmu  itu  tetap  datang  meski  telah melihat foto-foto, Kakak?" Kak Laisa tersenyum, mengenggam lengan Dalimunte. Dalimunte hanya diam. Itu salahnya!

"INTAN, ajak adik-adikmu!" Cie Hui berkata pelan.
Intan tak perlu disuruh dua kali, menggamit tangan Juwita dan Delima. Turun dari tempat tidur.  Itu  kamar  mereka  bertiga.  Kamar  terluas  di  rumah  panggung  perkebunan  strawberry, lantai  dua.  Ada  tiga  tempat tidur  yang  berjejer  di  dalamnya.  Dulu  hanya  satu  ranjang  besar, tapi  karena  Intan,  Juwita  dan  Delima  sibuk  bertengkar  saat  tidur,  sibuk  saling  memukul guling,  Wawak  Laisa  menggantinya  dengan  tiga  ranjang  kecil.  Masing-masing  satu  (yang tetap saja percuma, masih tetap sibuk saling melempar bantal sebelum tidur ) Shubuh  sekali  lagi  datang  di  Lembah  Lahambay.  Semburat  jingga  tipis  menghias  garis horizon  lembah.  Semalam,  lepas  satu  jam  menunggui  Wawak  Laisa  yang  tertidur,  Cie  Hui menyuruh  mereka  beranjak  tidur.  Satu  dua  tetangga  juga  mulai  pamit.  Malam  beranjak semakin tinggi. Pengajian Yasin di ruang depan dan surau dihentikan, besok disambung lagi.
Penduduk  kampung  yang  duduk-duduk  di  kursi  halaman  bertahan  beberapa  jam  lagi.  Bang Jogar menyuruh mereka pulang saat menjelang tengah malam. Dalimunte  menunggui  Wak  Laisa  di  kamar.  Tertidur  di  kursi  sebelah  ranjang.  Eyang Lainuri dibimbing Wulan dan Jasmine beranjak ke kamar. Tidur. Eyang Lainuri terlalu lelah. Sudah  seminggu  terakhir  kurang  tidur  menunggui  Kak  Laisa  bersama  dokter  dan  perawat. Malam  ini  ia  bisa  tidur  lebih  baik.  Dalimunte  yang  menggantikan  berjaga.  Kata  dokter selepas  memeriksa  seluruh  status peralatan pukul  sepuluh  malam,  Wak Laisa  baik-baik  saja. Semua fungsi tubuhnya terkendali. Intan hanya menguap sok mengerti, sementara Juwita dan Delima sudah jatuh tertidur. Digendong Ummi masing-masing ke kamar besar di lantai dua. Cie Hui menyerahkan tiga mukena kecil. Ketiga gadis kecil itu sudah kembali dari kamar mandi.  Wudhu.  Biasanya  setiap  jadwal  pulang,  paling  susah  membangunkan  Juwita  dan Delima.  Mereka  selalu  saja  pura-pura  tidur,  menaruh  bantal  di  kepala,  bergelung  dibalik selimut, dan trik macam Abi nya dulu. Tapi pagi ini mereka bangun tepat waktu seperti yang lain.  Menurut  saat  diajak  Intan  ke  kamar  mandi.  Dan  tidak  banyak  bicara  saat  mengenakan mukena  (tidak  jahil  saling  tarik,  berisik).  Wajah-wajah  basah.  Shalat  shubuh.  Dalimunte, Mamak Lainuri, dan yang lain sudah duduk menunggu. Shubuh  yang  menyenangkan.  Udara  pagi  terasa  sejuk.  Di  surau  entahlah  siapa  yang sedang mengumandangkan adzan. Tidak ada lagi suara keras Wak Burhan. Sudah sejak lama pula penduduk kampung dan anak-anak tidak perlu lagi membawa obor ke surau.
"Ummi, Wak Laisa shalatnya gimana?"   Juwita  bertanya  pelan  sambil  melipat  mukena,  selesai  shalat.  Kan,  biasanya  Wak  Laisa  ikut mereka,  berjejer  di  sebelah  Eyang.  Biasanya  juga  selepas  shalat  Wak  Laisa  suka  bercerita tentang  sahabat-sahabat  Nabi.  Bercerita  apa  saja.  Sekarang  Wak  Laisa  kan  sakit  parah? Shalatnya pasti susah.
"Wak Laisa shalat sambil berbaring, sayang." 
" Emangnya boleh, ya?"   Juwita  melipat  dahi.  Jasmine  mengangguk.  Meski  kemudian  pelan  menghela  nafas.  Tentu
Juwita  sedikit  kesulitan  bagaimana  membayangkan  shalat  seperti  itu.  Dan  akan  lebih  susah lagi  membayangkan  bagaimana  sulitnya  Kak  Laisa  shalat  dengan  kondisi  tubuh  yang  amat menyedihkan. Dibalut infus dan belasan belalai plastik. Tetapi  mereka  benar-benar  terkejut,  saat  beranjak  ke  kamar  perawatan  Wak  Laisa. Lihatlah,  Wak  Laisa  ternyata  shalat  sambil  duduk.  Bersandarkan  bantal-bantal.  Wajah  itu pucat, terlihat lemah, dan sedikit gemetar, tapi matanya. Matanya terlihat begitu damai. Wak Laisa shalat shubuh sambil duduk.
Selepas kejadian malam itu, Dalimunte tidak patah arang meski perjodohan dengan kakak kelasnya  gagal  total.  Kak  Laisa  meski  sekali  dua  bilang,  Dali  tidak  perlu  memaksakan  diri mencarikan  jodoh  buatnya,  mengalah.  Membiarkan  Dalimuinte  yang  justru  semakin  hari semakin terlihat semangat, 
"Kakak sendiri yang bilang jodoh itu di tangan tangan Alloh. Hanya soal waktu. Jadi biarkan Dali terus berusaha. Semoga akhimya jodoh kakak datang." Kak Laisa hanya mengangguk.
Namun sepertinya semua upaya Dalimunte akan sia-sia. Kali  ini Dalimunte  memutuskan untuk tidak mengajak yang bersangkutan ke Lembah Lahambay sebelum memastikan banyak hal.  Dalimunte      memulainya  dengan  mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan memadai untut Kak Laisa. Menjelaskan Kak Laisa dengan baik dan lengkap Memperlihaikan foto.  Terhenti.  Proses  itu  diulang  lagi.  Mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan memadai  untuk  Kak  Laisa.  Menjelaskan  siapa  sebenarnya  Kak  Laisa  dengan  baik  dan lengkap.  Memperlihatkan  foto.  Terhenti.  Mencari  seseorang  yang  dia  pikir  cukup  baik  dan memadai untuk Kak Laisa...
Enam bulan berlalu. Tetap sia-sia. Belum ada hasil Proses itu selalu terhenti. Enam bulan berlalu lagi. Sekarang giliran Yashinta yang lulus dari kuliah S1-nya. Kabar baik berikutnya di lembah indah mereka. Siang itu Mamak Lainuri, Dalimunte, Cie Hui, Ikanuri, dan Wibisana duduk di kursi  baris  terdepan.    Berjejer.  Menatap  bangga  Yashinta  yang  begitu  cantik  dengan  toga wisudanya.  Hari  itu  resmi  sudah  menjadi  harinya  Yashinta.  Ia  lulus  dengan  predikat cumlaude, terbaik. Menjadi wakil wisudawan saat memberikan sambutan.
"Untuk Mamak, yang setiap malam berdoa buat Yash dan kami.... Yang doanya mungkin saja telah membuat langit diaduk-aduk...." Gadis cantik itu mulai tersendat, ia tiba di penghujung sambutannya, 
"Untuk  Kak  Dalimunte  yang  selalu  menjadi  teladan,  mengajarkan  proses  belajar,  mengajar, mengajarkan  tentang  ketekunan....  Untuk  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  yang  meski  nakal, selalu  dimarahi  Mamak,  namun  memberikan  pemahaman  ke  Yash  tentang  menjalani  hidup dengan rileks dengan indah"  Gadis itu tertawa, menyeka matanya.
"Dan... dan..." Yashinta terdiam. Tersendat
Dalimunte  yang tahu kalimat apa  yang akan disampaikan Yashinta sekarang,  menggenggam tangan Kak Laisa yang duduk di sebelahnya. Menatap wajah Kak Laisa yang juga menangis tertahan melihat Yashinta berdiri di panggung  Wisuda.
"Dan  untuk  Kak  Laisa...."  Yashinta  terbata,  "Untuk  Kak  Laisa  yang  telah  mengorbankan seluruh  hidupnya  demi  kami...  Yang  selalu  mengajarkan  makna  kata  bekerja  keras,  bekerja keras....  Yang  demi  Yash,  demi  Kak  Dalimunte,  demi  kami  semua...  dulu  memutuskan berhenti  sekolah....  Untuk  Kak  Laisa  yang  selalu  menepati  janji...  tidak  perah  datang terlambat buat kami.... Kami, kami tidak  akan pernah  melihat  Kak  Laisa  berdiri  di sini, tapi bagi kami, Kak Laisa-lah yang selalu berdiri di sini...."
Aula  besar  itu    lengang.    Tidak  ada    yang    tahu  siapa  sesungguhnya  Kak  Laisa.  Apa perannya datam cerita  yang  disebutkan Yashinta. Tapi ucapan  itu amat tulus, dari hati  yang menjadi  saksi  langsung  atas  masa  lalu  tersebut.  Maka  sempurna  sudah  kalimat  Yashinta membuat  yang  lain  tersentuh.  Menggantung  di  langit-langit  ruang  wisuda.  Kak  Laisa mengusap pipinya yang basah.
"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang  itu....  Sungguh...."  Dan  Yashinta  tidak  kuasa  lagi  melanjutkan  kalimatnya.
Melangkah  turun.  Sedikit  berlari  menuju  kursi  Mamak  dan  Kak  Laisa.  Memeluk  Kak  Laisa dan Mamak erat-erat. Menciumi rambut gimbal Kak Lais. Berang-berang  itu  selalu  penting  baginya.  Enam  bulan  kenudian,  Yashinta  akan melanjutkan studi S2-nya di Eropa. Ia  mendapatkan  beasiswa penelitian konservasi  ekologi, bahkan  beasiswa  itu  ditawarkan  saat  Yashinta  masih  menulis  tugas  akhir  kuliah  Sl-nya. Kecintaannya atas alam tumbuh subur sejak  melihat anak  berang-berang tersebut. Dan sejak kecil Yashinta sudah belajar dari guru terbaiknya soal mengenal alam.
"Kalau dulu kita yang mengajak Yash ngelihat anak harimau di Gunung Kendeng, pasti tadi juga  disebut-sebut,  Ikanuri  nyengir,  tertawa  kecil  melihat  Yashinta  yang  masih  mememeluk Kak Laisa.
"Yap!  Bisa  jadi  lebih  lebih  mengharu  biru  dari  ini  kalimat-kalimatnya.  Harimau  ini,  kan. Lebih keren dibanding berang-berang."   Wibisana menimpali, dengan wajah sok serius Mengangguk-anguk.
Dalimunte  menyikut  dua  sigung  yang  tidak  kecil  lagi  itu.  Tapi  Mamak  dan  Kak  Laisa  ikut tertawa.   Benar-benar  terlupakan  masa-masa  delapan  belas  tahun  silam.  Hari  ini,  Yashinta  bukan gadis  kecil  berkepang  umur  enam  tahun  lagi.  Saat  ini  umurnya  sudah  dua  puluh  empat,  dan Yashim tumbuh menjadi gadis yang cantik menawan. Lihatlah, lepas prosesi wisuda itu, ada banyak sekali teman lelaki Yashin yang pura-pura mengajak foto bersama, 
"Buat kenangan terakhir, Yash!" atau seruan ragu-ragu dari wajah merah mereka,
"Ah-ya, boleh aku minta nomor teleponmu?" Yashinta hanya melotot.
Saat  itu  tidak  ada  yang  tahu,  kalau  bertahun-tahun  terakhir  Yashinta  amat  membenci kelakuan teman lelakinya sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian  jika  wajah  dan  fisiknya  seperti  Kak  Laisa?  Omong-kosong.  Mereka  tidak  benar-benar menyukai dirinya. Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor lebah  tertarik  atas  indahnya  kelopak  bunga.  Seperti  seekor  rubah  yang  tertarik  pasangannya
karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta.
Perkebunan strawberry malam itu terang benderang. Kak  Laisa  sama  seperti  saat  kelulusan  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  merayakan kelulusan  Yashinta  di  hamparan  halaman  rumah  pangung.  Mengundang  tetangga.  Semua berkumpul.  Meriah.  Meja-meja  panjang  tersusun  rapi.  Kursi-kursi  dipenuhi  wajah  riang.  Makanan terhampar.... Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika malam beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak pulang. Menatap  Mamak  dan  Kak  Laisa  dengan  tatapan  kagum  dan  hormat.  Lihatlah,  anak-anak  di keluarga  ini  berhasil  menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah  lulusan S3, doktor,  sekolah  luar  negeri.  Tidak  pernah  terbayangkan,  anak-anak  yatim,  yang  sejak  kecil ditinggal Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan. Wak  Burhan  yang  terlihat  paling  bahagia.  Menebar  senyum.  Menepuk  bahu  Dalimunte berkali-kali, berkata lebar, 
" Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"
"HALLO  PROFESSOR,  kami  sudah  di  Singapore.  Ya.  Transit  sebentar.  Lima  belas  menit lagi  langsung  ke  Jakarta.  Apa?  Oh,  ?sudah!  Tiketnya  sudah  diurus  staf  pabrik....  Kami berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang Mamak kami akan tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa? Jemputan? Tidak usah, aku akan pakai  mobil  modifikasi  bengkel  di  sana  saja.  Itu  lebih  cepat.  Ya?  Lebih  cepat,  Professor—"
Ikanuri  tetap  saja  harus  berteriak-teriak,  meski  tidak  ada  lagi  badai  seperti  di  Pegunungan Alpen Swiss, semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising lalu-lalang  penumpang  sudah  macam  deru  hujan  deras  saja,  belum  lagi    teng-tong-teng pengumuman. Mereka  ahirnya  tiba  setelah  penerbangan  non-stop  dua  belas  jam:  Perancis-Singapore.
Sudah  siang.  Matahari  tiba  di  garis  tertingginya.  Setelah  hampir  sehari  semalam  tidak menyentuh  makanan,  Wibisana  memaksakan  diri  mampir  ke  salah  satu  kedai  fast-food bandara. Sambil  menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir belasan  jam membuat pusing kepala. Merusak  bio-ritme.  Rambut  semrawut.  Kemeja  berantakan.  Malah  salah  satu  kaki  celana panjang  Ikanuri  tergulung  sembarangan.  Habis  shalat  dhuzhur,  lupa  dirapikan.  Meletakkantas laptop dan barang bawaan sembarang di sekitar meja makan.
"Tidak.  Aku  tidak  tahu....  BELUM!  Apa?  Aku  sudah  puluhan  kali  menelepon  HP  satelit Yashinta.  Dasar  sialan.  Kemana  pula  anak  ini  sekarang....  Jangan.  Jangan  bilang  Kak  Laisa kalau  HP  Yashinta  tidak  bisa  dihubungi.  Ya  Allah,  itu  akan  membuatnya  berpikiran  yang tidak-tidak. Kau tidak  boleh  bilang.... Tentu saja  aku sekarang  ikut cemas, Profesor! Ikanuri mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara Dalimunte.
Pelayan  mengantarkan  kue  donut  besar-besar.  Wibisana  yang  sedang  menatap  adiknya bicara  via  telepon  genggam  dengan  Dalimunte  di  perkebunan  strawberry  mengalihkan tatapan.  Aroma  kue  itu  cukup  mengundang,  meski  mereka  tetap  tidak  berselera  makan. Menelan  ludah.  Kalau  saja  ada  Juwita,  Delima,  dan  Intan,  ketiga  anak-anak  nakal  itu  pasti bisa  menghabiskan  menu  ini  dalam  sekejap,    satu    menit.  Itu  bahkan  sudah  termasuk  waktu yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
"Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia yang  mencari  kemana  anak  itu.  Apa?  Semoga  tidak....  Semoga  tidak,  Dali.  Yashinta  pasti baik-baik  saja.  Kau  berlebihan.  ANAK  ITU  SUDAH  MENDAKI  27  GUNUNG  DI SELURUH DUNIA ....  SEMUA BAIK-BAIK SAJA! Baiklah, bilang Mamak dan Kak Laisa kami paling telat akan tiba malam ini...."  Ikanuri meletakkan telepon genggam di atas meja. Meski wajahnya terlihat kusut dan cemas, sedetik kemudian dia akhimya bisa tersenyum.
"Apa kata Dali?" Wibisana bertanya. 
"Kak Laisa sudah membaik. Pagi tadi sudah bisa shalat Shubuh sambil duduk. Dokter bilang, ada sedikit kemajuan." Wibisana ikut tersenyum, lega, 
"Apa kubilang, Kak Laisa akan baik-baik saja. la akan baik-baik saja—"
"Tapi kata dokter, kanker paru-parunya sudah stadium IV ," 
Ikanuri  menelan  ludah.  Senyumnya  terhapus.Stadium  IV?  Itu  berarti  tak  ada  lagi kemungkinan untuk operasi. Terdiam.  Wibisana melepaskan kue donut yang dipegangnya. Bagaimana mungkin mereka selama ini tidak tahu? Umur  Laisa  hampir  empat  puluh  (tepatnya  tiga  puluh  tujuh  tahun)  ketika  akhirnya kesempatan baik itu datang. Kesempatan baik?
" Kau sungguh-sungguh?" Dalimunte bertanya sekali lagi. 
"Tentu  saja,  Dali.  Istriku  juga  sudah  melihat  foto  dan  bio-data  Laisa.  Itu  akan  jadi  pilihan yang  baik  dalam  urusan  ini—"  Tersenyum.  Kolega  riset  Dalimunte  di  laboratorium  itu  tersenyum tulus. Istriku? Nah inilah yang sedikit menjadi masalah. Kolega Dalimunte tersebut, calon jodoh Kak Laisa kali ini, sudah beristri. Umurnya juga sudah empat puluh. Mereka sudah menikah  lima  belas    tahun,    dan  kabar    buruknya  hingga  hari  ini  belum  mendapatkan  anak  juga. Istrinya,  yang  memiliki  masalah  dengan  rahim  dan  kesuburan,  memberikan  kesempatan kepada suaminya untuk menikah lagi. Dalimunte    tahu  persis  kalau  rekan  kerjanya    tersebut  sedang  mencari  istri  kedua.  Tapi butuh tiga bulan untuk meyakinkan, hingga akhimya menyebutkan nama Kak Laisa ke rekan kerjanya  tersebut.  Kak  Laisa  menjadi  istri  kedua?  Sungguh    awalnya    Dalimunte  tidak  bisa  membayangkan. Tetapi lihatlah, mungkin itu jalan keluar yang baik semua urusan ini. Setelah berbicara  banyak  dengan  Cie  Hui,  diam-diam  juga  bicara  dengan  Wak  Burhan  dan  Mamak saat jadwal rutin pulang dua bulan sekali. Keputusan itu diambil.
"Sudah  menjadi  kodrat  manusia  hidup  berkeluarga,  Dali.  Menjadi  istri  kedua,  ketiga  atau keempat tidak selalu pilihan yang buruk seperti yang dibayangkan banyak orang ini. Jika ada alasan  yang  baik,  penjelasan  yang  baik,  itu  bisa  menjadi  jalan  keluar  yang  bijak,  bukan? Allah membolehkan seorang lelaki memiliki empat istri dalam waktu bersamaan jika dia bisa berlaku adil, tentu karena ada alasan baiknya Allah menyimpan banyak sekali rahasia dalam sebuah pernikahan...." Wak Burhan menghela nafas.
"Kalau Kakakmu tidak berkeberatan, Mamak hanya bisa bilang ya,"   Mamak memperbaiki tudung kepala (setelah terdiam lama), 
"Kau bicarakan dulu baik-baik dengan Laisa. Sampaikan dengan baik-baik...." Maka  Dalimunte  segera  kembali  ke  ibukota.  Dia  berfikir  lebih  baik  berbicara  dengan kolega  risetnya  lebih  dulu.  Jika  semuanya  baik,  memastikan  kolega  risetnya tidakberkeberatan  dulu  dengan  tampilan  wajah  dan  fisik  Kak  Laisa,  maka  lebih    mudah membicarakannya  lebih  lanjut    dengati  Laisa.  Dan  kabar  baik  itu  benar-benar  tiba.  Rekan kerjanya  100%  tidak  keberatan  meski  telah  melihat  foto  Kak  Laisa.  Istri  pertamanya  juga tidak keberatan.
"Kau tahu,  justru istrikulah  yang menyarankan aku menikah lagi."  Rekan  kerja  Dalimunte  menatap  lamat-lamat  wajah  istrinya  yang  duduk  di  sebelahnya.  Itu kunjungan  ketiga  Dalimunte  ke  rumah  mereka  yang  asri,  sepelemparan  batu  dari  rumah Dalimunte dan Cie Hui. 
"Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya. Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami.... Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi—"  Pasangan  itu  saling  menggenggam  tangan.  Dalimunte  tersenyum  menatapnya.  Ini mungkin  jalan  keluar  yang  baik.  Menyelesaikan  masalah  keluarga  mereka,  sekaligus menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu poligami itu buruk.
"Aku  akan  mencintai  Laisa  dengan  baik,  Dali.  Akan  menjadi  suami  yang  adil.  Meski  amat susah  membayangkan  harus  membagi  cintaku....  Semoga  ia  tidak  keberatan  menjadi  istri kedua....  Semoga  ia  memberi  kesempatan  padaku  untuk  belajar  dalam  proses  sulit  ini.  Ia sungguh  pilihan  yang  baik.  Isttriku  menyetujuinya,  dan  aku  sudah  berjanji  kepada  istriku, akan  membuat  pernikahan-pernikahan  kami  bahagia....  Bilang  kepada  Mamak  dan  Laisa, kami akan datang memperkenalkan diri minggu depan. Kami akan melamar Laisa."  Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan strawberry.  Sekarang  menyelesaikan  bagian  penting  berikutnya.  Menjelaskan  kepada  Kak Laisa tentang: posisi istri kedua.

Hamster  belang  itu  mengangkat-angkat  kepalanya.  Berjinjit.  Kedua  kaki  depannya memegang  erat-erat  buah  strawberry  matang.  Menggigit.  Menjilat.  Lucu  sekali  melihatnya sibuk  menaklukkan  buah  merah  tersebut.  Intan  duduk  di  sebelah  Wak  Laisa,  tertawa.  Juga juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat.
"Wawak sudah mendingan?"  Sejenak  Juwita  menolehkan  kepala,  menatap  Wak  Laisa  yang  ikut  tersenyum.  Menonton kelakuan Rio, hamster belang Intan.
Laisa  mengangguk.  Pagi  ini  ia  merasa  lebih  kuat  (seperti  dulu,  meski  fisiknya  sakit, semangat  yang  tinggi  selalu  memberikan  kekuatan,  kehadiran  tiga  sigung  kecil  ini  juga membuat  Kak  Laisa  kembali  merasa  kuat,  meski  entah  hingga  kapan).  Bosan  jadi  pusat perhatian, dan sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
"Wawak haus? Intan ambilin minum buat Wawak, ya?" Wak  Laisa  mengangguk.  Gadis  kecil  sembilan  tahuti  ini  turun,    melangkah  keluar ruangan.  Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga Dalimunte.
Cie Hui, Wulan dan Jasmine ada di ruang belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul. Cemas  menunggu  kabar  sakitnya  Laisa.  Mereka  belum  mengaji  yasin  lagi.  Kabar membaiknya  Laisa  membuat  situasi  rumah  sedikit  riang>  Cie  Hui  memutuskan  membuat makan  besar.  Dibantu  anak  gadis  tetangga  lainnya.  Tetangga  sekitar  yang  berkumpul  sejak dua  hari  lalu  pasti  tidak  sempat  masak  di  rumah.  Mereka  bahkan  menghentikan  aktivitas sehari-hari.
"Yee,  Kak  Intan  ngapain  pula  bawa  gelang-gelang  ini?  Juwita  dan  Delima  hampir  berseru berbarengan  saat  Intan  kembali  sambil  membawa  nampan  air  minum  (  dengan  beberapa gelang "Safe The Planet"-nya).
"Nih, buat kalian—" Intan melotot, menyerahkan dua gelang.
"Mending gratis."  Mulut  Juwita  kumur-kumur  protes.  Orang  dibayar  lima  ribu  saja  mereka  tetap  tidak  mau pakai.  Lah,  ini  justru  disuruh  bayar  lima  ribu.  Delima  ikut-ikutan  malas  menerimanya.  Tapi daripada  nanti  Kak  Intan  marah-marah,    terus    nyubit    perut.  Mending  ngalah.  Nanti  kan sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
Kak  Laisa  yang  berbaring  bersandarkan  bantal  tertawa  kecil.  Juwita  dan  Delima  benar-benar  mirip  kedua  ayahnya.  Dulu  meski  bandel,  melihat  kelakuan  Ikanuri  dan  Wibisana sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua sigung  kecil  itu  membuat  masa  kecil  dan  remajanya  yang  sulit  dan  penuh  kerja  keras, menjadi berwarna dan berisik sepanjang hari. Mereka  sejak  dulu,  selalu  menjadi  adik-adik  yang  baik.  Hanya  soal  bagaimana  mereka menunjukkannya  saja  yang  sedikit  berbeda  dengan  anak-anak  lain.  Mereka  hanya  menuntut perhatian. Sayangnya, Mamak setiap hari sibuk bekerja. Juga dirinya. Kebersamaan di rumah hanya  ada  lepas  maghrib,  itupun  dengan  wajah-wajah  lelah.  Maka  dua  sigung  kecil  itu  juga sibuk mencari perhatian. Nakal. Ikanuri  dan  Wibisana  sejak  dulu  memang  beda,  dan  sekarang  tabiat  jahil  mereka sempurna diwarisi oleh Juwita dan Delima.
"JIKA ada seseorang yang tidak mempermasalahkan usia, dan apapun dari Kakak.... Jika ada seseorang  yang  tetap  bersedia  menikah  walau  telah  melihat  foto-foto  Kakak....  Namun, namun...."
"Katakan saja, Dali. Langsung ke pokok permasalahan."  Kak  Laisa  memotong  lembut,  menatap  wajah  adiknya  lamat-lamat.  Bukan  sekali  dua  ini mereka  membicarakan  urusan  perjodohan.  Bukan  pula  sekali  dua  ini  mereka  melakukan pembicaraan  di  lereng  perkebunan  strawbery  saat  malam  tiba  di  penghujungnya.  Ia  amat mengenal  intonasi,  mimik  muka,  bahkan  helaan  nafas  Dalimunte  saat  bicara.  Jadi  kenapa adiknya harus merasa amat sungkan.
"Katakan saja, Dali. Namun kenapa?"  Kak  Laisa  bertanya  sekali  lagi,  memegang  lengan  adiknya.  Tingginya  hanya  sedada Dalimunte.  Hamparan  buah  strawberry  terlihat  remang  di  bawah  cahaya  rembulan.  Jadwal pulang  dua  bulanan  mereka.  Semuanya  berkumpul,  kecuali  Yashinta,  yang  masih  kuliah  di Belanda. Hanya menelepon saat mereka ramai duduk di beranda rumah panggung.
"Dali  yakin dia pilihan  yang  baik.  Jodoh  yang  baik.... Dia teman riset Dali  di  lab. Umurnya empat puluh. Saleh. Berakhlak baik. Dari keluarga yang baik. Namun..."  Dalimunte  menelan  ludah.  Deskripsi  yang  penuh  informasi  dalam  satu  tarikan  nafas  itu terhenti. Kak Laisa tersenyum, namun apa?
"Dia  sudah  menikah....  Maksud  Dali,  mereka  sudah  lima  belas  tahun  menikah,  dan  istrinya tidak  bisa  mengandung.  Istrinya  yang  meminta  dia  menikah  lagi....  Maksud  Dali,  mereka sudah  melihat  foto  dan  biodata  Kakak.  Istrinya  juga  sudah  setuju....  Mereka  benar-benar keluarga  yang  menyenangkan,  keluarga  yang  bahagia....  Dia  berjanji  akan  mencintai  Kak Laisa  dengan  baik,  istrinya  juga  berjanji  akan  menerima  Kak  Laisa  dengan  baik...."  Dalimunte  menghela  nafas.  Terhenti  sejenak.  Setelah  tertahan,  penjelasan  itu  akhirnya meluncur bagai bebat air yang jebol, Lengang,   Hanya   terdengar   suara   burung   hantu di kejauhan.
"Dia sudah menikah.... Maksud Dali, apakah Kak Laisa bersedia jadi istri kedua?" Dalimunte bertanya ragu-ragu. Meski dengan intonasi suara yang lebih baik. Lebih jelas. Sekali lagi hanya lengang.
Dan sungguh tidak ada keputusan malam itu. Kak  Laisa  hanya  tepekur.  Tertunduk  menatap  ribuan  polybag  strawberry  yang membentang  luas  memenuhi  lereng  lembah. Entahlah apa  yang dipikirkan  Kak  Laisa. Entah apa  yang  sedang  berkecamuk  di  kepalanya.  Dalimunte  ikutan  terdiam.  Tidak  bertanya  lagi. Urusan  ini tentu saja tidak  mudah. Istri kedua?  Apakah ada wanita di dunia  ini  yang dengan mudah  memutuskan  menjadi  istri  kedua?  Meski  dengan  banyak  alasan  bijak.  Apakah  harga diri  Kak  Laisa  terganggu  dengan  pertanyaan  itu?  Setelah  sekian  lama  tidak  mendapatkan jodoh, setelah sekian lama ditolak baik secara halus atau kasar sekalian, pilihan yang tersedia baginya ternyata hanya istri kedua? Ya Allah? Hanya lengang. Tidak ada keputusan malam itu. Dan juga tidak malam-malam berikutnya saat jadwal pulang. Mamak tak kuasa membantu Dalimunte memberikan penjelasan kepada Kak Laisa.  Wak Burhan  juga  meski  dulu  amat  yakin  bahwa  solusi  yang  baik  bagi  Laisa  dalam  urusan  ini adalah  menjadi  istri  kedua  juga  tidak  bisa  membantu  banyak.  Ikanuri  dan  Wibisana  yang akhirnya tahu masalah itu dari Dalimunte juga diam. Menelan ludah. Dalimunte sengaja tidak memberitahu  Yashinta,  karena  pasti  adik  terkecil  mereka  akan  menolak  mentah-mentah pilihan tersebut.
Empat  bulan    berlalu,  Dalimunte    terpaksa    berbohong  kepada  rekan  risetnya  saat  dia mulai meminta jawaban, 
"Kak  Laisa  membutuhkan  waktu  lama  untuk  memutuskan.  Aku  tidak  tahu  berapa  lama
lagi...." Kabar baiknya, rekan riset Dalimunte tidak terlalu mendesak, 
"Tak  masalah,  Dali.  Laisa  memang  harus  memikirkannya  matang-matang.  Tidak  hanya persiapan  dirinya  sendiri,  tapi  ia  juga  harus  mempersiapkan  diri  bagaimana  tetangga  sekitar akan menilainya... Kau tahu, untuk tiba di keputusan menikah lagi, kami berdua memerlukan waktu hampir lima tahun. Jadi aku bisa menunggu kabar baik dari Kak Laisa beberapa bulan lagi,"  Tersenyum.  Itu  kunjungan  ke  sekian  kali  Dalimunte  ke  keluarga  itu.  Kali  ini  bersama  Cie Hui. Bagaimana tetangga sekitar akan  menilainya? Dalimunte terdiam  lama,  menelan  ludah.
Urusan  ini  jelas-jelas  tidak  lazim  di  Lembah  Lahambay.  Gadis  tua  saja  sudah  menjadi  aib. Dilintas adiknya menikah pula. Dan sekarang satu lagi status baru Kak Laisa: istri kedua. Itu benar-benar tidak lazim. Meski  bukan  jadwal  rutin  seharusnya,  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  pulang  lagi  ke lembah  satu  minggu  kemudian.  Wak  Burhan  meninggal.  Di  usia  88  tahun.  Proses  kematian yang  indah. Tanpa sakit. Tanpa proses. Wak  Burhan  meninggal  saat sujud   shalat shubuh di surau.    Membuat  jamaah  bingung  karena  imam  mereka  tidak  kunjung  bangkit  untuk  duduk tasyahud  akhir.  Ternyata  Wak  Burhan  yang  suara  kerasnya  selalu  menghias  Lembah Lahambay sudah meninggal. Yashinta yang sejak kecil dulu amat dekat dengan Wak Burhan (karena  sering  mengadu  soal  Kak  Laisa)  ingin  memaksakan  diri  pulang.  Tapi  Dalimunte melarang, Yashinta sedang melakukan riset S2-nya.
"Kata Mamak tadi sebenarnya  tidak ada yang tahu berapa persis umur Wak Burhan.... Nisan itu hanya sembarang menulis tahun lahir.... Mamak pun tidak tahu."  Kak Laisa memecah sunyi lereng perkebunan. Jadwal bicara mereka penghujung malam.
"Bagaimana  Mamak  akan  tahu?  Mamak  saja  tidak  tahu  kapan  tahun  lahirnya  sendiri?  Juga tanggal  lahir  kita,  bukan?  "  Dalimunte  tertawa  kecil.  Bergurau.  Itu  benar,  waktu  mereka mendaftar  sekolah  dulu,  mereka  mengisi  sembarang  kolom  tanggal  lahir.  Mamak  dan kebiasaan penduduk  lembah, selalu lalai untuk mencatat tanggal  lahir. Mereka hanya  ingat si anu  lahir  saat  musim  tanam  tahun  kapan.  Musim  penghujan  tahun  kapan,  musim  paceklik, dan seterusnya. Tidak ada yang mencatat detail hingga hari dan bulan.
"Wak  Burhan  terlihat  senang  sekali  tahun-tahun  terakhir  meski  hidup  sendiri....  Dia  bangga sekali  dengan  penghidupan  pang  baik  di  lembah.  Dia  juga  bangga  sekali  denganmu, Dalimunte.  Berkali-kali  bilang  ke  anak-anak  yang  belajar  ngaji  di  surau  soal  pentingnya sekolah, 'Biar kalian bisa jadi Oom Dalimunte yang hebat. Sering masuk tipi' — "   Kak Laisa tersenyum, menatap langit cerah, mengenang masa-masa lalu itu. Semua  penduduk  lembah  tahu,  Wak  Burhan  meski  menikah  dua  kali,  hampir menghabiskan  hidupnya sendiri. Istri  muda (istri  kedua)  Wak  Burhan  yang dulu  menikah di usia  tujuh  puluhan  sudah  meninggal  lima  tahun  silam.  Anak  satu-satunya  dari  istri  pertama juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng.
"Aku  ingat  sekali  kata-katanya,  yang  selalu  diucapkan  setiap  kali  bertandang  ke  rumah, bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..."  Kak Laisa mendadak terhenti.  Menghela nafas.
Dalimunte  yang  berdiri  di  sebelahnya  menoleh.  Dia  juga  pernah  mendengar  kalimat  itu dari  Wak  Burhan.  Sudah  hampir  lima  bulan  mereka  tidak  membicarakan  perjodohan  itu. Sungkan.  Dalimunte  takut  menyinggung  perasaan  Kak  Laisa.  Malam  ini?  Dalimunte  ikut menghela nafas panjang. Malam ini mungkin  tidak  membicarakan hal  itu  setelah kematian Wak Burhan.
"Apakah, ergh, apakah  Kak Laisa  enggan dengan sebutan  istri kedua?  Maksud Dali, apakah Kak  Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah  berdiam diri  satu sama  lain, Dalimunte  akhirnya  memutuskan  untuk  membicarakan  hal  tersebut.  Mungkin  ini  saat  yang tepat. Kak Laisa menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat, 
"Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang dipikirkan  orang  lain,  buat  apa  kau  mencemaskan  apa  yang  akan  dinilai  orang  lain...  Tentu saja bukan itu masalahnya."
"Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak kunjung mengambil keputusan? Setidaknya untuk  bilang  ya  atau  tidak....  Wak  Burhan  dulu  pernah  bilang,  jika  ada  alasan  baiknya, menjadi istri kedua tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga mengijinkan....  Dan  Dali  yakin  sekali,  mereka  juga  akan  menjadi  bagian  yang  tepat  bagi keluarga kita...." Kak Laisa diam sejenak. Membiarkan angin pagi menelisik rambut gimbalnya. Dingin.
"Setiap  kali  menatap  hamparan  perkebunan  strawberry  ini,  aku  selalu  merasa,  Allah  amat baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali  mendengar kabar kalian. Mendengar apa  yang telah  kalian  lakukan.  Aku  merasa,  Allah  benar-benar  baik  kepada  kita.  Kakak  sungguh merasa  cukup  dengan  semua  ini....  Umurku  hampir  empat  puluh  tahun,  Dali.  Setelah  sekian lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar sudah  menjadi  kodrat  manusia  untuk  menikah,  berkeluarga.  Mungkin  Wak  Burhan  benar. Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima kenyataan  jika  memang  menjadi  takdirku  hidup  sendiri,  jika  memang  tak  ada  lelaki  yang menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini. Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita. Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu...."  Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi.
"Apakah  Kakak  tetap  menginginkan  menikah?  Tentu  saja,  Dali.  Namun  jika  perjodohan  itu harus datang,  Kakak tidak  ingin  proses  itu  justru mengganggu kebahagiaan  yang  sudah ada. Bukan  karena  sebutan  istri  kedua  itu,  Dali,  Bukan  pula  karena  cemas  apa  yang  akan dipikirkan  tetangga.  Tetapi  Kakak  tidak  mau  pernikahan  itu  menganggu  kebahagiaan  yang telah ada...."
Malam  itu setelah  bicara  hingga  shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa yang  mengumandangkan  adzan  tersebut  sekarang).  Akhirnya  keputusan  itu  diambil. Dalimunte  akhirnya  mengerti  mengapa  begitu  lama  keputusan  itu  terbelengkalai,  Kak  Laisa enggan  menyakiti  perasaan  istri  pertama  calon  perjodohan  ini.  Butuh  berkali-kali menyakinkan  Kak  Laisa  kalau  pernikahan  itu  justru  karena  permintaan  istri  pertama. Sungguh tak akan ada yang tersakiti. Tentu saja, di hati paling dalam istri pertama proses ini mungkin  akan  menyakitinya  karena  ia  tetap  manusia  yang  memiliki  perasaan,  tapi  kasus  ini amat berbeda. Mungkin inilah solusi terbaik buat dua masalah yang bersisian. Shubuh itu akhirnya keputusan penting itu berhasil diambil.
KAK  LAISA  terlihat  gugup  sepanjang  pagi  (bahkan  sebenarnya  sejak  semalam).  Meski  ia berusaha  menyembunyikannya dengan  menyibukkan diri,  memastikan semua baik-baik saja, wajahnya yang memerah tak bisa menyembunyikan perasaan Dua  minggu  sejak  kematian  Wak  Burhan.  Selepas  pembicaraari  penting  shubuh  itu, Dalimunte  menyerahkan  foto-foto  dan  profile  rekan  risetnya.  Juga  foto  istri  pertamanya. Menceritakan  banyak  hal.    Menjawab  banyak  pertanyaan.  Lantas  Laisa  mengangguk, mempersilahkan mereka segera datang untuk saling berkenalan.
Siang ini rombongan dari ibukota akan tiba. Yang lain juga pulang, Hari ini penting bagi keluarga mereka. Ikanuri dan Wibisana lebih dulu pulang. Mereka sekarang sudah memiliki bengkel besar di kota seberang pulau, bengkel yang  di  kota  provinsi  diurus  orang  kepercayaan  Mereka.  Yashinta  tetap  tidak  bisa  pulang, semakin  sibuk  dengan  penelitian  tahun  terakhir  S2-nya.  Tapi  ia  menyempatkan  menelepon berkali-kali.  Telepon  pertama  penuh  dengan  rajuk  keberatan.  Bagaimanalah  Kak  Laisa  akan menjadi  istri  kedua?  Ya  Allah,  apakah  Kak  Laisa  harus  melemparkan  harga  dirinya? Merendahkan  martabatnya  menjadi  istri  kedua?  Dalimunte  bahkan  sampai  marah menjelaskan banyak alasan. Telepon kedua, ketiga dan berikutnya lebih banyak diam (meski tetap  merajuk).  Dan  akhirnya  menangis  tersedu  saat  Kak  Laisa  sendiri  yang  menjelaskan keputusan itu.
"Kalau Yash tidak suka, Kakak akan membatalkannya, sayang. Sungguh, kalau Yash tidak setuju — " Yashinta yang menelepon dari apartemennya di Belanda menyeka pipi.  Ia tidak akan pernah membantah Kak Lais, Dulu tidak, apalagi sekarang.
Menjelang  dzhuhur,  dua  kijang  kapsul  jemputan  pengalengan  buah  strawberry  itu  tiba. Kak  Laisa  berkali-kali  memperbaiki  kerudungnya.  Berkali-kali  merapikan  pakaian.  Ia  amat gugup. Mamak hanya tersenyum simpul. Mengenggam jemari Laisa. Menenangkan. Berbisik, semua akan baik-baik saja, Lais. Dan  urusan  sepanjang  siang  itu  berjaian  lancar,  tidak  sesulit  yang  dicemaskan  Laisa. Rekan  riset  Dalimunte  hanya  datang  seorang  diri.  Istrinya  sakit,  sudah  dua  hari  mual  dan muntah.  Terlalu  lemah  untuk  melakukan  perjalanan  jauh.  Rekan  Dalimunte  pandai menempatkan diri dalam urusan tersebut. Melontarkan humor dan pujian yang baik. 
"Aku  akhirnya  mengerti  bagaimana  Dalimunte  bisa  menjadi  ahli  fisika  yang  hebat....  Tapi kau tidak lagi masih dipukul Laisa dengan rotan, bukan?"  Tertawa.  Membuat  suasana  tegang  mencair  dengan  cepat.  Cie  Hui  juga  membantu  banyak Kak  Laisa.  Pertemuan  itu  tidak  semenakutkan  yang  dipikirkan  Laisa.  Justru  berjalan menyenangkan.
Mereka  shalat  dzhuhur  sebelum  melakukan  pembicaraan.  Menghabiskan  makan  siang. Mengelilingi perkebunan strawberry. Dalimunte benar, inilah kesempatan terbaik Kak Laisa. Rekan risetnya pilihan yang tepat. Dia sama sekali tidak mempersalahkan tampilan wajah dan fisik Kak Laisa. 
"Bagiku kau secantik apa yang kau kerjakan untuk lembah ini, Lais!"  Menatap  penuh  penghargaan.  Ah,  dalam  banyak  kasus,  kesalehan  seseorang  memang  tidak bisa  diukur  dari  tampilan  mulut,  tulisan  dan  apalagi  pakaian.  Dan  kebersamaan  sepanjang siang  (bersama-sama  dengan  yang  lain)  itu  sudah  menjadi  proses  perkenalan  yang  baik.
Memahami  visi  dan  misi  berkeluarga  masing-masing.  Memahami  cara  berpikir  masing- masing.  Maka  memang  tidak  perlu  lagi  pembicaraan  formal.  Semuanya  berjalan  santai. Mengalir.  Apa adanya. Sekali  dua,  Kak  Laisa  memberanikan  diri  melirik  rekan  kerja  Dalimunte.  Memerah mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya sedang  alim,  mereka  tidak  sibuk  menggoda  Kak  Laisa  yang  tersipu.  Dalimunte  hanya tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.
Selepas  shalat  isya,  lepas  menghabiskan  makan  malam  di  depan,  sambil  memandang hamparan  perkebunan  strawberry  yang  remang  oleh  cahaya  lampu,  rekan  riset  Dalimunte akhirnya  menyampaikan  maksud  dan  tujuannya  dengan  serius.  Menatap  wajah  Kak  Laisa sambil tersenyum, 
"Laisa  mungkin  sudah  mendengar  beberapa  hal  tentang  aku,  sudah  tahu  beberapa  tabiat, perangai....  Hari  ini  aku  datang  memperkenalkan  diri  secara  langsung,  sekaligus  ingin mengenal  secara  langsung.  Terus  terang,  aku  merasa  amat  diterima  di  keluarga  ini....  Kalau saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang dariku...."  Rekan  kerja  Dalimunte  memberikan  hadiah  dari  istrinya  untuk  Laisa.  Seperangkat  kain bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
"Aku  amat  mencintai  istriku,  tidak  pernah  sekalipun  terlintas  untuk  menikah  lagi,  tapi  aku berjanji,  jika  urusan  ini  berjalan  sesuai  yang  direncanakan,  aku  akan  belajar  banyak bagaimana  membagi  cinta  dengan  adil....  Dan  aku  berharap  Laisa  bisa  memberikan kesempatan  untuk  melakukannya,  menjalani  prosesnya  dengan  indah  dan  baik....  Aku sungguh ingin meneruskan proses ini...."
Malam  itu sepertinya urusan benar-benar akan berjalan sesuai  yang direncanakan. Meski berusaha  untuk  tetap  terkendali  seperti  selama  ini,  muka  tersipu  dan  memerah  tidak  bisa menyembunyikan  perasaan  Kak  Laisa.  Mamak  Lainuri  juga  tersenyum  bahagia.  Malam  itu sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba. Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain. Yang  sungguh  membuat  semua  kebahagiaan  sesaat  itu  lenyap  tak  berbekas.  Malam  itu, Kak  Laisa  untuk  pertama  kalinya  tidak  menghabiskan  penghujung  malam  dengan  berdiri  di hamparan perkebunan. Ia tertidur  lelap di kamarnya. Juga  yang  lain. Tapi kesunyian  lembah mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota. Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit dua  jam  lalu.  Kondisinyn  memburuk. Tapi  bukan soal sakitnya  yang  merusak rencana.  Kata dokter  ia  hanya  lelah  dan  terlampau  banyak  pikiran.  Anemia,  penyakit  kebanyakan  ibu-ibu lainnya.  Hanya  perlu  istrirahat  total  selama  sebulan.  Yang  membuat  semuanya  mendadak berubah  haluan  seratus  delapan  puluh  derajat  adalah  saat  dokter  memeriksa  secara menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang hamil muda. Gugup rekan kerja Dalimunte  mendengar  berita  itu. Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah. Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba. Gugup  membangunkan  Dalimunte.  Memutuskan  pulang  segera  ke  ibukota.  Gugup menjelaskan  kabar  bahagia  tersebut  ke  Mamak  dan  Kak  Laisa.  Awalnya  tidak  ada  yang memikirkan  kalau  kabar  bahagia  itu  akan  memiliki  banyak  implikasi  penting.  Tidak  ada.
Ikanuri  dan  Wibisana  menawarkan  diri  segera  mengantar  ke  kota  provinsi,  agar  bisa  naik pesawat siang ini yang menuju ibukota. Tidak ada yang berpikir tidak-tidak.  Hanya  Kak  Laisa  yang  berdiri  di  daun  pintu,  menatap  kosong  mobil  yang  dikemudikan Ikanuri  membelah  lengangnya shubuh  Lembah  Lahambay. Cahaya  lampunya  menghilang ditikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia dua puluh empat jam terakhir. Kabar baik itu, ternyata bagai pisau bermata dua.
"Sungguh maafkan, Dali—" Dalimunte tertunduk lama sekali. 
"Tidak ada yang perlu dimaafkan—"  Kak  Laisa  menggenggam  erat  lengan  Dalimunte,  menenangkan.  Meski  suara  itu  sebenarnya sedikit berbeda dari biasanya. Serak. Bergetar. 
Malam ini, satu bulan sejak kunjungan rekan kerja Dalimunte ke perkebunan strawberry. Satu  bulan  yang  berjalan  menyedihkan.  Apa  yang  dibilang  berkali-kali  oleh  rekan  kerja Dalimunte?  Ia  amat  mencintai  istrinya.  Jika  saja  istrinya  bisa  mengandung  anak-anaknya, maka ia tidak akan menikah lagi. Ini semua bukan salahnya. Dan jelas bukan maunya kenapa kabar baik tentang kehamilan tersebut justru tiba persis saat dia di titik serius untuk menikah lagi  (dengan  Kak  Laisa).  Rekan  kerja  Dalimunte  amat  menyesal.  Meminta  maaf  sungguh-sungguh  saat  tadi  siang  kembali  berkunjung.  Mencium  jemari  Mamak.  Menatap  Kak  Laisa penuh  rasa  sesal.  Dengan  hamilnya  istrinya,  dia  tidak  akan  pernah  tega  untuk  menikah  lagi. Meski  isterinya  mendesak  untuk  tetap  meneruskan  rencana  tersebut,  menenggang  perasaan Kak Laisa, tapi dia sungguh tidak bisa melakukannya.
"Apakah Kak Laisa kecewa?" Dalimunte tertunduk.
"Mungkin tidak," Laisa menjawab pelan, menggeleng, 
"Kakak sudah terbiasa, Dali.... Esok lusa, kesibukan dan waktu akan membuatnya terlupakan. Mungkin  yang  kali  ini  butuh  waktu  cukup  lama.  Membersihkan  harapan-harapan  yang terlanjur datang." Dalimunte  menggigit  bibir.  Dia  sama  sekali  tidak  menyangka  akan  seperti  ini  jalan ceritanya.  Kesempatan  baik  itu?  Dalimunte  mengusap  wajah  kebasnya.  Perjodohan  yang urung  itu  merubah  banyak  hal.  Rekan  kerjanya  memutuskan  berhenti  dari  lab.  Mereka  juga pindah dari perumahan asri yang hanya sepelemparan batu dari rumah Dalimunte 
"Aku  merasa  amat  bersalah,  Dali.  Jadi  biarkan  aku  pergi.  Sekali  lagi  bilang  Laisa,  maafkan aku. Maafkan bila proses ini telah menyakiti hatinya."  Itu kalimat terakhir saat rekan kerjanya pulang tadi sore. Diantar sopir perkebunan,
Bulan sabit tergantung elok di antara bintang-gemintang. Minggu-minggu ini panen besar strawberry.  Minggu-minggu  ini  harusnya  menjadi  saat  yang  menyenangkan  bagi  seluruh warga kampung. Menjadi hari berpesta bagi Lembah Lahambay. Entahlah apa yang persisnya ada  di  kepala  Kak  Laisa  sekarang.  Entahlah  apa  yang  sedang  berkecamuk  di  kepalanya. Ternyata kesempatan terbaiknya itu juga berakhir menyedihkan.
LAISA  BENAR,  waktu  dan  kesibukan  perlahan  akan  mempu  membuatnya  melupakan harapan-harapan  yang  terlanjur  tumbuh.  Setahun  berlalu.  Usianya  sekarang  menjejak  39, Dalimunte  33,  Wibisana  hampir  31,  Ikanuri  30,  dan  Yashinta  27.  Mamak?  Entahlah,  tidak ada  yang  tahu  persis  berapa  usia  Mamak  Lainuri  sekarang.  Mamak  hanya  ingat,  lahir  pas masa-masa pemberontakan revolusioner.
Setahun  berlalu,  di  antara  berbagai  proses  perjodohan  Kak  Laisa  yang  berjalan menyakitkan, kabar baik tetap datang silih berganti. Cie Hui mengandung. Itu menjadi berita besar  Lembah  mereka.  Membuat  rumah  panggung  itu  buncah  oleh  kebahagiaan.  Sekarang sudah  sembilan  bulan.  Dalimunte  dan  Cie  Hui  memutuskan  untuk  melahirkan  di  Lembah Lahambay, 
"Biar ia menjadi anak lembah ini. Biar ia bisa mencium segarnya udara lembah.... Biar ia bisa menjejakkan kakinya di embun rerumputan...."  Begitu  kata  Cie  Hui  riang.  Maka  sudah  seminggu  ini  mereka  pulang  ke  perkebunan.
Menunggu hari H. Sejenak melupakan berbagai riset mutakhir Dalimunte di laboratorium. Kabar  baik  kedua  adalah:  Yashinta  akhirnya  menyelesaikan  pendidikan  masternya. Cumlaude.  Lulusan  terbaik.  Ia  jelas-jelas  mewarisi  kecerdasan  Dalimunte,  meski  juga mewarisi  tabiat  keras-kepala  Ikanuri  dan  Wibisana.  Hari  ini  tiba  di  kota  provinsi  setelah penerbangan transit (Hongkong, Singapore dan Jakarta) dari Belanda. Benar-benar kebetulan yang  menyenangkan.  Mamak  dan  Dalimunte  menjemput  di  bandara.  Sementara  Kak  Laisa menemani Cie Hui di perkebunan.
Lihatlah,  gadis  itu  terlihat  begitu  cantik  saat  keluar  dari  pintu  kedatangan.  Wajahnya sedikit  memerah  di  terpa  matahari  terik.  Mengenakan  sweater  hijau.  Dengan  syal  sewarna Yashinta  mirip  sudah  dengan  putri-putri  negeri  bersalju.  Kuncir  rambut  panjangnya bergoyang-goyang.  Sedikit  berlari  menghambur  ke  Mamak,  berpelukan.  Menangis.  Dua tahun  lebih  Yashinta  tidak  pulang.  Hanya  telepon.  Jadi  setelah  sekian  lama  rasa  rindu  itu menggumpal, pertemuan  ini amat  mengharukan,  Dalimunte  mengacak-acak rambut adiknya. Tertawa (sebenarnya menahan rasa harunya).
Mereka tidak  langsung  berangkat  meski Yashinta sudah tiba.  Masih  menunggu setengah jam  lagi.  Pesawat  dari  kota  seberang  pulau,  yang  membawa  Ikanuri  dan  Wibisana.  Dua sigung  nakal  itu  juga  pulang.  Kejutan.  Benar-benar  kejutan  saat  dua  sigung  tersebut  keluar dari pintu kedatangan. Karena mereka tidak datang hanya berdua. Ikanuri dan Wibisana sudah punya bengkel besar di kota seberang pulau. Malah menurut Ikanuri  beberapa waktu  lalu,  mereka  merencanakan untuk mulai  membuat pabrik  spare-part, suku cadang. Bisnis dan kehidupan mereka sudah amat matang. Beberapa tahun terakhir, Kak Laisa juga sudah sering bertanya kapan mereka akan menikah. Sama seperti saat menasehati Dalimunte dulu, 
"Kalian tidak perlu menunggu kakak, tidak perlu— "
Berbeda dengan Dalimunte yang kisah cintanya diketahui massal satu keluarga (juga satu lembah), Ikanuri dan Wibisana amat tertutup soal ini. Saat itu tidak ada yang tahu, dua sigung nakal  itu  bahkan  telah  membuat  calon  pasangan  masing-masing  menunggu  lebih  lama dibandingkan  Cie  Hui.  Tanpa  kepastian.  Bahkan  tanpa  kesempatan  sedikitpun  untuk mengenal keluarga di perkebunan strawberry. Tidak ada  yang pernah  menyangka, dua sigung  yang dulu amat bebal, keras kepala, dan selalu  melawan  Kak  Laisa,  bertahun-tahun  terakhir  berkutat  dengan  masalah:  tidak  akan menikah  sebelum  Kak  Laisa  menikah.  Bagaimana  mungkin  Kak  Laisa  akan  dilintas  untuk yang  kedua  dan  ketiga  kalinya?  Itu  benar-benar  akan  menyakiti  perasaan  Kak  Laisa.  Maka mereka  membuat  calon  pasangannya  menunggu  selama  tujuh  tahun  terakhir  ini.  Dikenalkan pun tidak. Lebih lama dibandingkan Dalimunte dan Cie Hui.
Namun sejak kejadian perjodohan  yang urung  itu. Calon pasangan   mereka   yang   mulai  serius  memaksa.  Bahkan orang tua masing-masing juga ikutan meminta kepastian, hari ini, benar-benar  kejutan.  Lihatlah,  Ikanuri  dan  Wibisana  datang  bersama  Wulan  dan  Jasmine. Berjalan bersisian di pintu kedatangan bandara, mendekat. Membuat Dalimunte, Mamak, dan Yashinta  tercengang.  Dua  sigung  itu  akhirnya  memutuskan  memperkenalkan  Wulan  dan Jasmine. Maka  lebih  tercengang  lagi  saat  ikanuri  dan  Wibisana  bilang  mereka  sudah  saling mengenal sejak masih kuliah.
"Kalian tidak memberitahu kami soal hubungan kalian sudah selama itu?"   Dahi Dalimunte terlipat, menggelengkan kepala.
"Waktu  Kak  Ikanuri  dan  Kak  Wibisana  wisuda  dulu,  kenapa  Yash  tidak  dikenalkan sekalian?" Yashinta menyela.
Wibisana  hanya  mengangkat  bahu.  Ikanuri  memegang  stir  mobil  modifikasi  hanya  tertawa kecil.Maka  perjalanan  enam  jam  menuju  perkebunan  benar-benar  menjadi  tidak  terasa. Banyak sekali potongan romantisme Dalimunte dan Cie Hui. Wulan dan Jasmin tipikal gadis yang  menyenangkan.  Cantik.  Berpendidikan.  Dari  keluarga  yang  terhormat.  Mereka  berdua masih  sepupu  satu  sama  lain.  Ikanuri  dan  Wibisana  meski  bukan  saudara  kembar,  tapi kesamaan  diantara  mereka  melebihi  kembar  identik.  Bukan  hanya  soal  wajah  dan  tampilan fisik  yang  sama  (hanya  dibedakan  bekas  luka  di  pelipis),  cerita  asmara  mereka  juga  mirip. Mengenal Wulan dan Jasmine di hari yang sama. Menyampaikan perasaan di hari yang sama. Menghabiskan  waktu  bersama  di  hari  yang  sama.  Di  kejar  orang  tua  Wulan  dan  Jasmine  di hari  yang  sama  (karena  mereka  jahil  bergaya  pemuda  benua  amerika  latin,  bermain  gitar, bernyanyi keras-keras di depan pintu rumah  Wulan dan Jasmine saat menyatakan perasaan). Dan berbagai kesamaan lainnya. Cerita-cerita  itu  membuat  perjalanan  menuju  perkebunan  strawberry  ramai.  Ramai  oleh celetukan Yashinta.
"Dulunya Yash pikir, tidak akan ada wanita di dunia ini yang menyukai Kak Ikanuri dan Kak Wibisana. Ternyata masih ada ya—"  Yashinta nyengir, menggoda. Dan seperti biasa, tangan Ikanuri terangkat, bersiap menjitak.
Senja tiba, langit jingga, mobil balap modifikasi itu pelan memasuki hamparan perkebunan strawberry. Satu  minggu  berjalan  meriah.  Penuh  seruan  jahil  nan  menggoda  Yashinta.  Seruan  Kak Laisa  yang  senang  melihat  Wulan  dan  Jasmine.  Penjelasan-penjelasan.  Meski  di  sana-sini bercampur  dengan  ketegangan.  Cemas.  Dan  Rusuh.  Cie  Hui  melahirkan  di  hari  kelima mereka berkumpul. Lebih cepat lima hari dari jadwal.
"Ini  pasti  gara-gara  Yash  terlalu  banyak  tertawa,  anaknya  jadi  tak  sabaran  ingin  keluar." Ikanuri berlarian menghidupkan mobil, Dalimunte terhuyung menggendong Cie Hui. Dibantu Wibisana.
Mereka  sedang  makan  malam,  seperti  biasa  ramai,  jadi  benar-benar  terperanjat  saat  Cie Hui  merintih  kesakitan.  Ikanuri  meneriaki  Wulan  dan  Jasmine  untuk  menyiapkan  peralatan bayi  (yang  sudah  disiapkan  Kak  Laisa  beberapa  hari  lalu).  Dalimunte  berseru  jengkel, lupakan soal popok dan  sebagainya  itu, Cie Hui  sudah  amat kesakitan,  bayi  itu  menendang-nendang kuat, meronta. Buat apa pula coba popok bayi saat ini? Maka  malam  itu  juga  mobil  balap  modifikasi  Ikanuri  dan  Wibisana  melesat  keluar  dari halaman rumah panggung. Tidak seperti waktu Yashinta dulu sakit parah, lereng itu sekarang mudah  saja didaki. Dan  jelas tidak  seperti wakru  Yashinta sakit dulu, di kampung atas (jika masih  layak  disebut  kampung),  sudah  ada  puskesmas,  lengkap  dengan  dokter  dan  bidan. Kesanalah mereka bergegas membawa Cie Hui. Intan. Itu nama pemberian Kak Laisa. Sejak kecil Intan memang sudah terlihat bakatnya. Tidak sabaran. Keras kepala. berisik. Suka mencari perhatian. Meski cerdas dan banyak akal. Lahir  setelah  keras  kepala  tidak  mau  keluar-keluar  juga.  Setelah  dua  jam  berkutat  dengan bukaan  tujuh.  Hampir  saja  Bidan  menyerah.  Hampir  saja  menyarankan  untuk  dibawa  ke rumah  sakit  di  kota  kabupaten  untuk  operasi  caesar,  bayi  perempuan  itu  akhirnya  nongol begitu  saja.  Seperti  sengaja  membuat  yang  lain  bete.  Panik.  Langsung  menangis  kencang. Membuat cair seluruh ketegangan. Dalimunte  tidak  pernah  melihat  Mamak  sebahagia  ini.  Gemas,  menciumi  wajah  merah cucu tersayang, Intan. Tersenyum riang sambil memperbaiki tudung kepala. Rambut Mamak sudah memutih. Tapi lihatlah, wajahnya seperti lebih muda sepuluh tahun. Intan benar-benar menguasai perhatian seluruh anggota keluarga. Dalimunte menghela nafas dalam. Kak Laisa benar, dulu dia tidak seharusnya menunggu begitu lama untuk menikah. Mamak meski tidak pernah bilang, selalu merindukan menimang cucu-cucunya. Intan membuat rumah panggung itu lebih ramai. Lebih hidup. Teriakannya setiap pagi (atau setiap minta susu) membuat rusuh yang lain.  Berebutan menggendong. Maka  seperti  sudah  mengerti  saja,  kalau  lagi  dicuekin,  bayi  kecil  itu  akan  mulai  sibuk menangis keras-keras. Sengaja benar.
SAYANGNYA,  meski  dengan  semua  pemahaman  tersebut,  dengan  melihat  sendiri  semua kenyataan  itu  (menyaksikan  kebahagiaan  Mamak  saat  menggendong  Intan),  Ikanuri  dan Wibisana  sempurna  mengulang  kejadian  sebelumnya.  Mereka  berdua  membuat  Wulan  dan Jasmine  menunggu  lebih  lama  lagi. Tetap tidak  ada kepastian. Padahal  setiap  jadwal pulang dua  bulanan,  Wulan  dan  Jasmine  sekarang  juga  ikut  pulang.  Ikut  menghabiskan  hari  di perkebunan strawberry. Menjadi bagian anggota keluarga.
Enam  bulan berlalu.  Tetap  tidak  ada  tanda-tanda  hubungan  mereka  akan  melangkah  ke tahapan  yang  lebih  serius.  Kak  Laisa  tidak  hanya  sekali  mengajak  bicara  Ikanuri  dan Wibisana,  soal  melintas,  tentang  tidak  usah  menunggu.  Sudah  berkali-kiili.  Tetapi  kedua sigung itu hanya mengangguk. Nyengir, lantas berkata ringan, 
"Siapa pula  yang akan  menunggu  Kak  Lais?  Kita hanya  belum siap  saja, kok. Kak Lais sok ditunggu sih!!"
"Usia  kalian  sudah  lebih  dari  tiga  puluh  tahun.  Sudah  memiliki  pekerjaan  yang  baik. Memiliki  rumah.  Sudah  matang.  Apa  lagi  yang  kalian  harus  siapkan?"  Kak  Laisa  ikut tertawa,  kembali  bertanya  serius.  Ikanuri  dan  Wibisana  lagi-lagi  hanya  menimpali  sambil bergurau. Yang justru sebenarnya malah menutupi masalah besar mereka berdua.
Dulu  waktu  kasus  Dalimunte,  mereka  berdua  sebenarnya  tidak  habis  pikir  bagaimana mungkin  Dalimunte  harus  menunggu  begitu  lama  hingga  akhirnya  mengambil  keputusan. Mereka  juga  dulu  begitu  sebal  saat  harus  mengantar  malam-malam  Cie  Hui  yang  menangis pulang  ke  kota  kecamatan.  Tidak  bisa  mengerti  mengapa  Dalimunte  yang  jenius  dan  amat rasional  bisa  jadi  sekeras  kepala  itu?  Seolah-olah  melemparkan  seluruh  akal  sehat  yang dimilikinya. Begitu sulitkah untuk mengambil keputusan melintas Kak Laisa?
Sekarang  mereka sesungguhnya paham ternyata urusan  itu  memang tidak  mudah. Setiap pulang  dua  bulanan,  menyaksikan  Kak  Laisa  yang  tersenyum  riang  menggendong  Intan. Membawa Intan mengelilingi perkebunan strawberry. Mengenalkannya dengan tetangga lain. Makan  malam,  meriah.  Penuh  tawa.  Tapi  di  penghujung  shubuh,  menyasikan  sendiri  Kak Laisa yang berdiri di lereng lembah. Sendirian. Senyap. Melihat paradoks tersebut. Membuat mereka tidak pernah  memiliki gambaran  masalah  yang utuh.  Apa  yang selama  ini  dirasakan Kak Laisa? Apakah yang sesungguhnya Kak Laisa rasakan?
Ikanuri  dan  Wibisana  tidak  seberuntung  Dalimunte  dalam  urusan  ini.  Mereka  tidak memiliki  mekanisme  berbicara  serius  dengan  Kak  Laisa,  seperti  Dalimunte  yang  suka menemani  berdiri  di  lereng  perkebunan.  Jadi  enam  bulan  berlalu,  yang  terjadi  hanya percakapan  penuh  gurauan,  jawaban-jawaban  ngarang,  dan  sebagainya.  Tanpa  kemajuan yang berarti.
Enam  bulan  lagi  berlalu.  Dua  sigung  nakal  itu  tetap  tidak  bisa  mengambil  keputusan. Justru  sibuk  mengingat-ingat  masa  lalu.  Segala  kebaikan  Kak  Laisa  kepada  mereka.  Segala keburukan mereka kepada Kak Laisa, maka dua sigung itu makin ringkih dengan keputusan. Bagaimanalah mereka ekan membuat Kak Laisa dilintas untuk yang kedua dan ketiga kalinya sekaligus?  Ya  Allah,  meski  Kak  Laisa  terlihat  baik-baik  saja,  meski  Kak  Laisa  bilang  ia memang  baik-baik saja tapi  mereka tidak akan tega  melakukannya. Tidak setelah  menyadari Kak Laisa mengorbankan seluruh masa kecil dan remajanya untuk mereka. Dalimunte  akhirnya  melibatkan  diri  dalam  urusan  tersebut.  Memberikan  banyak penjelasan. Menjawab banyak pertanyaan, tapi tetap tidak ada hasilnya. Yashinta dalam satu dua pembicaraan di ruang depan, juga ikut mendesak. 
"Susah  amat  sih?  Semakin  lama  tidak  ada  kepastian,  nanti  semakin  banyak  dosanya,  tahu!" Nyengir.  Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  menatap  datar  Yashinta.  Adik  mereka  belum merasakan sendiri betapa semua ini tidak mudah.
"Atau  menunggu  Kak  Wulan  dan  Kak  Jasmine  dijodohkan  seperti  Kak  Cie  Hui  dulu?  Hati-hati  loh,  sekarang  saja  Kak  Wulan  dan  Kak  Jasmine  sudah  tidak  bisa  ikut  ke  perkebunan, bukan?"  Tertawa. Mamak dan Cie Hui juga ikut tertawa mendengar gurauan Yashinta. Ikanuri melotot sebal,  tangannya  seperti  biasa  terangkat.  Malam  itu  Wulan  dan  Jasmine  memang  tidak  bisa ikut pulang ke perkebunan. Ada acara keluarga.
"Eh,  eh,  lihat,  lihat!"  Yashinta  berseru.  Menunjuk  Intan  yang  sejak  tadi  duduk  menatap sekitar. Perlahan mulai berdiri. Perhatian di beranda berpindah. Menoleh.
" Aduh mau belajar jalan ya? Sini sayang, sini sama Tante Yash.... Kaki-kaki kecil Intan sedikit bergetar menopang tubuhnya. Muka  menggemaskan  itu  menyeringai.  Mulutnya  terbuka.  Mata  besar  beningnya  menatap sekeliling. Usia Intan hamir setahun, masanya belajar berjalan.
"Ayo, ayo..., Tang-ting-tung! Intan manis, ayo jalan.." Yashinta tertawa, berseru memberikan semangat Yang lain ikut tertawa.
Kaki  Intan  bersiap  melangkah.  Membuat  percakapan  soal  Ikanuri  dan  Wibisana terlupakan. Wajah Mamak berseri-seri. Apalagi Kak Laisa. Ikutan duduk jongkok di sebelah Yashinta. Memberikan semangat. Mata hitam  besar Intan  mengerjap-ngerjap. Sejenak. Dan seperti  mengerti  benar kalau  ia sedang menjadi pusat perhatian, bayi kecil itu mendadak duduk kembali begitu saja. Nyengir lebar.  Seolah-olah  hendak  berjalannya  tadi  hanya  tepu-tepu.  Membuat  yang  lain  terdiam, 'kecewa'  (meski  kemudian  tertawa).  Sejak  kecil  Intan  memang  sudah  begitu.  Sok-jadi  pusat perhatian. Intan  sudah  benar-benar  bisa  berjalan  ketika  akhirnya  Ikanuri  dan  Wibisana  berhasil mengambil  keputusan  penting  tersebut.  Saat  usia  Ikanuri  dan  Wibisana  hampir  tiga  puluh lima  tahun.  Bukan.  Tentu  saja  bukan  karena  Wulan  dan  Jasmine  akan  dijodohkan  orang  tua mereka masing-masing,
Siang itu, Kak Laisa terbata menelepon adik-adiknya. Teknologi telepon genggam sudah tiba  di  lembah  mereka.  Dan  mereka  sudah  memiliki  enam  nomor  penting  untuk  keluarga. Waktu  itu,  Dalimunte  terpaksa  bergegas  meninggalkan  konvensi  fisika  di  Kuala  Lumpur, melupakan  kalau  presentasinya  penting  sekali  untuk  karir  penelitiannya  (dia  baru  saja mendapatkan  gelar  profesor).  Bergegas  terbang  langsung  ke  Jakarta,  Transit  sebentar menjemput Cie Hui dan Intan, yang sudah pandai berlari. Ikanuri  dan  Wibisana  juga  segera  meninggalkan  pekerjaan  di  bengkel  mereka.  Pulang. Kabar  dari  Kak  Laisa  mengkhawatirkan.  Lupakan  soal  tender  suku  cadang  salah  satu perusahaan otomatif lokal. Nanti-nanti bisa diurus. Mereka harus segera pulang. Yashinta  yang  sedang  menyelam  di  Kepulauan  Kaimana,  Papua  juga  pulang.  Membuat sebal  kolega  penelitiannya  dari  Inggris.  Karena  secara  teknis,  Yashinta  yang  menjadi  guide riset  tentang  konservasi  terumbu  karang.  Jadi  kalau  guide-nya  pulang,  siapa  yang  akan memandu mereka?
"Mamak  sakit  keras....  Pulang....  Kalian  harus  segera  pulang....  Berangkat  dengan  pesawat pertama."  Hanya  itu kalimat terbata Kak Laisa. Lebih  banyak seruan tertahan, dan denting kecemasan.
Maka  mereka  tidak  perlu  menunggu  dua  kali.  Segera  pulang.  Bagaimanalah?  Bukankah Mamak tidak pernah sakit selama  ini?  Mamak  yang terlihat selalu kuat. Selalu  sehat. Paling juga  dulu-dulu  hanya  demam  biasa.  Sehari  dua  sudah  membaik  dengan  sendirinya.  Tetap mengerjakan  banyak  hal.  Memasak  gula  aren.  Menganyam  anyaman  rotan.  Ke  kebun. Membersihkan gulma. Hanya perlu di kerok dan  berbekam. Sembuh. Bagaimanalah  Mamak sekarang sakit keras? Itu enar-benar mencemaskan.
Mereka tiba di bandara kota provinsi hampir bersamaan. Ikanuri langsung mengemudikan mobil  balap  modifikasi  yang  diantar  karyawan  bengkelnya.    Menuju  rumah  sakit  kota provinsi  dengan  kecepatan  tinggi.  Mamak  dirawat  di  sana.  Berlarian  sepanjang  koridor. Sejenak  tidak  mempedulikan  Intan  (yang  teganya)  malah  puf  di  saat-saat  penting  tersebut Membuat bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun. Dan langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di depan  pintu  ruang  rawat  Mamak.  Lihatlah,  Mamak  terbaring  lemah  di  atas  ranjang.  Pucat. Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang. Yashinta  yang  pertama  kali  menghambur.  Memeluk  Kak  Laisa,  bertanya  cemas,  berseru cemas,  gemetar  mendekat.  Menatap  wajah  Mamak  yang  sedang  tertidur.  Dua  belalai  plastik membalut  lengan.  Peralatan  medis  yang  berdesis  pelan.  Dalimunte  ikut  mendekat,  menelan ludah. Ikanuri dan Wibisana kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan Intan  (yang  seperti  biasa  berseru-seru  senang  setiap  kali  melihat  Wak  Laisa  dan  Eyang Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)
"A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik saja?"  Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak. Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk,
"Masa  kritis  Mamak  sudah  lewat....Kata  dokter  Mamak  sudah  terkendali,  sudah  mulai membaik—"
Terlihat  sekali  bagaimana  ekspresi  wajah  empat  kakak  beradik  itu  berubah.  Dalimunte langsung  mendekap  Ikanuri  dan  Wibisana.  Menghela  nafas  panjang.  Tersenyum  lega. Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan tangis.  Kalian  akan  menangis  karena  perasaan  lega  yang  luar  biasa.  Bagaimana  tidak? Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari Sorong.  Transit  sebentar  di  Jakarta.  Wajah  Mamak  dengan  rambut  berubannya  terus terbayang di  jendela pesawat, saat  menatap biru  lautan. Membuatnya  mengaduh  berkali-kali dalam perjalanan. Yashinta  menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak  yang tertidur pulas.  Wajah  itu  masih pucat,  tapi  Kak  Laisa  benar,  hela  nafas  Mamak  sudah  terkendali.  Rona  muka  Mamak tenteram.  Yashinta  menciumi  jemari  Mamak.  Mendekapnya  ke  pipi.  Seperti  tidak  pernah bertemu  bertahun-tahun  lamanya,  padahal  mereka  baru  saja  pulang  sebulan  yang  lalu. Dan Yashinta  menangis  lagi.  Ia  tadinya  sungguh  takut.  Takut  kehilangan.  Dalimunte  mendekap kepala  adiknya.  Menenangkan.  Ikanuri  dan  Wibisana  ikut  menyeka  matanya  yang  berkaca-kaca.  Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain.
Ya  Allah,   mereka   sungguh   saling  mencintai   karena Engkau. Intan  mendadak  menangis  kencang-kencang.  Terlupakan.  Gadis  kecil  itu  sibuk  protes. Menggerak-gerakkan  pantatnya.  Apalagi  kalau  bukan  untuk  membuat  bau  tak  sedap  itu menguar di ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.
Satu  jam  berlalu,  Cie  Hui  membawa  Intan  ke  pengalengan  strawberry  di  kota  provinsi. Ada  penginapan  karyawan  di  sana.    Mengganti  popok  Intan  yang  super  bau.  Beristirahat. Yashinta  meski  tidak  mau  meninggalkan  Mamak,  meski  memaksa  tetap  menunggui, menjelang  malam  ikut  menyusul,  ia  terlampau  lelah  dengan  perjalanan  jarak  jauh.  Dan  Kak Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit, kau hanya akan menambah masalah—"  Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
Menyisakan  Laisa,  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana  di  ruang  rawat  Mamak.  Duduk  di kursi  plastik  yang  diberikan  perawat.  Dokter  yang  merawat  Mamak  ternyata  mengenali Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi. Senyap.  Ruangan rawat inap itu hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski lelah,  Dalimunte  tidak  bisa  tidur.  Juga  Ikanuri  dan  Wibisana.  Kak  Laisa  perlahan memperbaiki  selimut  Mamak.  Lantas  menatap  wajah-wajah  kusut  adiknya.  Tersenyum. Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana. Dua  sigung  yang    tidak  kecil  lagi  itu  mengangkat  kepala.  Menatap  Kak  Laisa  yang sekarang persis duduk di depannya.
"Ikanuri, Wibisana..." Kak Laisa berkata  lembut  menyentuh  lengan  adik-adiknya,
"Kita memang tidak akan pernah tahu.... Tidak pernah bisa menebak, menduga. Tetapi suatu  hari  nanti,  salah-satu  dari  anggota  kelarga  yang  amat  kita  dntai  pasti  akan  pergi.  Siap atau tidak, suka atau tidak...." Dalimunte mengusap  wajahnya.   Menatap  Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa.   
"Lihatlah....  Mamak  sekarang  tertidur  nyenyak....  Begitu  damai,  begitu  tenang,  begitu bahagia.  Karena  Mamak  sudah  amat  bahagia  dengan  hidupnya.  Memiliki  kalian,  sebagai anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbesar  yang tidak pernah dibayangkan  Mamak. Mamak tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan strawberry..." Ikanuri dan Dalimunte menahan  nafas. Tertunduk. Mereka  juga tidak  mengerti apa  yang hendak  dikatakan  Kak  Laisa.  Tapi  kalimat-kalimat  itu  menusuk.  Kepergian  dari  anggota keluarga yang kita cintai?
"Ikanuri,  Wibisana....  Kakak  berkali-kali  bilang,  tidak  baik  membuat  Wulan  dan  Jasmine menunggu  terlalu  lama....  Kalian  tidak  seharusnya  menunggu  Kakak.  Karena  kita  tidak pernah  tahu  apa  yang  akan  terjadi  besok  lusa.... Kalau  kalian  ingin  pernikahan  kalian  masih sempat  dilihat  langsung  Mamak,  sempat  disaksikan  oleh  Mamak,  segeralah  menikah... Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap bersama  kita.  Menghabiskan  hari  tuanya  di  perkebunan  strawberry.  Tetapi  kalau  kalian tetapkeras  kepala  menunggu  sesuatu  yang  mungkin  tidak  akan  pernah  terjadi...."  Kak  Laisa terdiam sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya. Ruangan itu hening lagi.
"Kalau  kalian  tetap  keras  kepala  menunggu  Kakak,  maka  kalian  mungkin    akan  kehilangan kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak katakan?  Pernikahan  kalian  akan  membuat  rumah  panggung  kita  lebih  ramai.  Anak-anak kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda.  Lihatlah,  Intan, meski tadi membuat suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan, bukan...."  Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi. Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya diambil. Pernikahan  kedua  dan  ketiga  di  keluarga  itu  terjadi  sebulan  kemudian.  Mamak  pulang dari  rumah  sakit  setelah  dirawat  empat  hari  lagi.  Meski  masih  lemah,  tapi  wajah  Mamak sudah segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat 
"Bagaimana  mungkin  Mamak  sakit?  Sakit  hati  pula.  Bukankah  selama  ini  Mamak  selalu bahagia, meski kami bandel dan nakal? Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain tertawa.
Ikanuri  dan  Wibisana  kembali  ke  kota  seberang  pulau  seminggu  kemudian.  Langsung meminang  Wulan dan  Jasmine. Mereka   lagi-lagi    melakukannya  di  saat   yang   bersamaan. Dengan  cara  yang  sama  pula,  sama-sama  hiperbolik  (meski  menyentuh),  "Ayah,  Ibu,  aku tidak bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti Kak  Laisa  dengan  ribuan  hektar  kebun  strawberry-nya.  Aku    juga  tidak  sepintar  Profesor Dalimunte  yang  terkenal  itu.  Tetapi  aku  punya  hati.  Hati  yang  terlanjur  mencintai  Wulan (jasmine;  saat  Wibisana  yang  bicara  dengan  calon  mertuanya).... Terima  kasih  banyak  telah membesarkan  putri  kalian  hingga  menjadi  begitu  cantik,  begitu  menawan.  Dengan  segenap rasa.  Ayah,  Ibu,  ijinkanlah  aku  meminangnya...."  Membuat  orang  tua  Wulan  dan  Jasmine berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga merekasaling  bercerita,  terpaksa  manyun  satu  sama  lain  karena  baru  tahu  kalimat  indah  calon menantu mereka fotokopi satu sama l.iin. Urung saling menyombong. Ikanuri  dan  Wibisana  memutuskan  untuk  menikah  di  hari  yang  sama.  Di  Lembah Lahambay, lembah indah mereka.
KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling terlihat.  Tapi  kebahagiaan  yang  melingkupi  rumah  panggung  atas  pernikahan  'kembar' Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian biasa-hiasa saja. Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak muda  yang  sedang  mendirikan  tenda-tenda.  Sibuk  membuat  gerbang  janur  kuning.  Batang pisang  disusun  rapi.  Bertingkat.  Menyusun  pot-pot  bonsai,  Malah  Bang  Jogar  yang  meski tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung harimau dari janur  di  depan  gerbang  halaman  rumput.  Membuat  yang  lain  tertawa.  Bang  Jogar  sengaja hendak mengenang masa lalu itu.
Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di beranda  rumah.  Menyelak  ibu-ibu  dan  anak  gadis  tetangga  yang  sedang  duduk  berbaris, menyiapkan  makanan  buat acara  besok. Mengiris  buncis.  Memarut kelapa. Muka  Kak Laisa terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya, tapi urung, ada rombongan  pembawa  panci  di  belakangnya,  ingin  lewat.  Gulai  opor  mengepul.  Membuat terlupakan. Ikanuri  dan  Wibisana  siangnya  juga  mencari  Kak  Laisa,  bertanya  tentang  siapa  saksi pernikahan  mereka  besok  Tidak  ada,  Kak  Laisa  tidak  ada  di  rumah.  Di  cari  di  bawah panggung tidak ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan suara berbeda, suara yang bergetar, 
"Kakak  kalian  sedang  ke  kota  kabupaten,  membeli  kekurangan  bumbu  dapur,  ayam,  dan perlengkapan lainnya — "  Ikanuri  dan  Wibisana  hanya  mengangguk,  itu  biasa  terjadi.  Selalu  Kak  Laisa  yang  belanja, menyiapkan  keperluan  pernak-pernik  acara.  Dalimunte  akhirnya  menunjuk  Bang  Jogar menjadi saksi.
Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa baru  pulang  dari  kota  kabupaten.  Tidak  ada  bungkusan  belanjaan,  tidak  ada  barang-barang bawaan, mukanya pucat, 
"Biar,  biar  aku  berjalan  sendiri—"  Berbisik  lemah  pada  sopir  pengalengan  strawberry. Melangkah  masuk  ke  halaman,  tetap  tersenyum  menyapa  (dan  disapa  yang  lain).  Bahkan Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil.
Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat semuanya terbungkus kabut. Tidak  ada  yang  tahu  kalau  Kak  Laisa  tadi  pagi  terbatuk  berkali-kali  di  kamar  mandi. Bercak darah keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah gejala  pertama  sakitnya  Kak  Laisa  yang  paling  terlihat.  Mamak  hendak  memanggil Dalimunte. 
"Tidak,  Mak....  Jangan  beri tahu  mereka.  Jangan.  Ini  akan  mengganggu  kebahagiaan  Ikanuri dan Wibisana.... Bagaimana mungkin mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—" Kak Laisa tersenggal menarik nafas. Mamak  menatap  sulungnya  lamat-lamat.  Menggenggam  tangan  Laisa  erat-erat.  Mata Mamak  yang  keriput  berdenting  air  mata.  Ia  tahu  persis.  Sejak  sulungnya  masih  belasan tahun.  Sejak  sulungnya  bersumpah  untuk  selalu  terlihat  baik-baik  saja  di  hadapan  adik-adiknya,  maka  Laisa  bersungguh-sungguh  dengan  sumpahnya.  Mamak  tertunduk,  menyeka bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte.
"Tapi kau harus segera ke dokter, Lais—"
"Tidak  usah,  Mak.  Tidak  sekarang....  Mereka  akan  bertanya-tanya  kalau  aku  tidak  ada  dirumah...."  Laisa menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?
"Kau  harus  ke  dokter,  Lais....  Lihatlah  darah  ini...."  Mamak  menelan  ludah,  menatap  getir bercak darah di baju Laisa.
Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir pengalengan  strawberry.  Ke  rumah  sakit.  Sempat  pingsan  di  ruang  ICU,  karena  ia  terlalu lemah.  Membuat  sopir  pabrik  pengalengan  yang  mengantar  bingung  tujuh  keliling,  gugup, gemetar  hendak  menelepon  Dalimunte,  tapi  pesan  Laisa  di  mobil  sebelum  mereka  turun membuat dia takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat sembuh  yang  sungguh  mengagumkan,  memaksa  seluruh  bagian  tubuhnya  menurut,  Laisa mulai membaik,
"Aku  harus  pulang,  Dok.  Tidak  ada  pilihan  lain.  Besok  Ikanuri  dan  Wibisana  menikah, bagaimana  mungkin  aku  tidak  di  sana?"  Laisa  menggeleng  tegas  saat  Dokter  memaksanya untuk  dirawat  inap.  Laisa  benar-benar  memaksa  tubuhnya  menurut.  Ia  pulang  sore  itu  juga. Dengan  muka  masih  pucat.  Dengan  tubuh  masih  lemah.  Menggunakan    sisa-sisa  tenaganya. Berseru lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan, 
"Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba mohon  kokohkanlah  kaki  Laisa  seperti  kaki  Bunda  Hajra  saat  berlarian  dari  Safa-  Marwa.... Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak  boleh  melihat aku sakit..."  Satu titik air mata mengalir di pipinya. Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung atas, ketika kakinya  bengkak  menghantam  tungul  kayu.  Ketika  sendi  mata  kakinya  bergeser.  Itu  juga doanyna  di  Gunung  Kendeng.  Itulah  doa  yang  paling  disukai  Laisa.  Doa-doa  itu  mengukir langit.
Energi  pengorbanan  itu  sungguh  luar  biasa  (untuk  tidak  mengharukan),  jika  kalian  bisa melihatnya  seperti  nyala  api,  maka  mungkin  energi  itu  bisa  membuat  terang  benderang seluruh  Lembah  Lahambay.  Malam  itu  Kak  Laisa  sudah  kembali  riang  bersama  yang  lain. Duduk  di  beranda  depan,  membuat  kue  kecil-kecil  bersama  tetangga.  Intan  duduk  manis  di pangkuannya. Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar. Mengusir fakta kanker paru-paru stadium satu.
Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu mereka di perkebunan strawberry. Baru selepas itu kembali ke kota seberang pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan modal tambahan untuk mulai membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka tidak terlalu sibuk dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing. Dalimunte  kembali  ke  ibukota  lepas  satu  minggu  dari  acara  pernikahan.  Intan menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan Eyangnya, 
"Da-da-" Dan kemudian menangis kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-da  itu  maksudnya  lambaian  perpisahan.  Dikiranya  hanya  da-da  doang.  Memaksa  balik kembali  ke  perkebunan  strawberry.  Tapi  Dalimunte  dan  Cie  Hui  hanya  tertawa.  Sejak  kecil Intan  selalu paling semangat pulang ke  lembah.  Di  sana  ia  benar-benar  menikmati  memiliki Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal minta ampun.
Yashinta  pulang  dua  hari  kemudian.  Ia  sudah  bekerja  di  lembaga  konservasi,  Bogor. Mulai  melibatkan diri di  berbagai riset, program  perlindungan, dan  sebagainya tentang alam sekitar. Ia juga sudah  menjadi koresponden  foto majalah National Geographic. Sudah punya berbagai  gagdet  canggih,  termasuk  telepon  genggam  satelit  dan  kamera  dengan  lensa  super zoom-nya..
Hari-hari itu, usia Kak Laisa sudah 43, Dalimunte 37, Ikanuri menjelang 35, Wibisana 34, dan  Yashinta  31  tahun.  Sebenarnya  kekhawatiran  Ikanuri  dan  Wibisana  soal  melintas berlebihan. Tidak ada lagi tetangga yang sibuk bertanya kapan Kak Laisa akan menikah saat pernikahan kembar itu berlangsung. Mereka sudah terbiasa. Juga tidak ada lagi yang menilai
Kak  Laisa dilintas untuk kedua dan ketiga kalinya sekaligus  merupakan aib  besar. Tetangga kampung  sudah  menerima  kenyataan  itu.  Tidak  sibuk  bisik-bisik.  Jadi  meski  tak  ada  Wak Burhan yang mengingatkan, pernikahan kembar itu berjalan normal.
Setelah  yang  lain  kembali  sibuk  dengan  aktivitas  masing-masing,  rumah  panggung  itu kembali sepi (dalam artian yang berbeda). Menyisakan Kak Laisa dan Mamak. Entahlah apa yang  sesungguhnya  berkecamuk  di  kepala  Kak  Laisa  di  tengali  sepinya  malam.  Di  tengah senyapnya  lereng  perkebunan  strawberry.  Tidak  ada  yang  tahu.  Dengan  berita  kanker  paru-paru  stadium  satu  yang  ia  tutup rapat-rapat  kecuali  dengan  Mamak,  maka  benar-benar  tidak ada  yang  tahu  apa  yang  selalu  Laisa  pikirkan  saat  menatap  tangit  penghujung  malam. Menatap  bulan  dan  gemintang  di  Lembah  Lahambay.  Apakah  memang  sesederhana  yang selalu ia sampaikan kepada Dalimunte: Ia sudah terbiasa dengan kesendiriannya.
Dalimunte  tetap  berusaha  mencarikan  jodoh  buat  Kak  Laisa.  Tapi  tiga  tahun  terakhir intensitasnya  tidak  setinggi  sebelumnya.  Kak  Laisa  belakangan  sepertinya  tidak  lagi  terlalu bersemangat  menanggapi  pembicaraan  tersebut.  Hanya  tersenyum.  Tidak  berkomentar.  Dan celakanya, meski dengan konteks berbeda, lagi-lagi kejadian menyakitkan itu terulang. Perjodohan yang gagal lagi.
Setahun  selepas  pernikahan  Ikanuri  dan  Wibisana,  Kak  Laisa  didekati  seseorang. Seseorang  yang  terlihat  begitu  baik,  warga  baru  lembah,  mengaku  pensiunan  dini  tentara, pindah  untuk  mencari  ketenangan  di  lembah.  Tinggal  di  kampung  mereka,  lantas  setelah enam bulan berinteraksi dengan penduduk lembah, bilang merasa tertarik dengan Kak Laisa. Usianya  sudah  55  tahun,  berbeda  sebelas  tahun  dengan  Kak  Laisa,  penuh  perhatian,  seolah-olah bisa menerima keterbatasan Kak Laisa apa adanya. Dalimunte  awalnya  sudah  tidak  suka  dengan  orang  itu.  Apalagi  Mamak  (yang mengingatkannya  pada  masa  lalu).  Juga  yang  lain.  Yashinta  malah  terus  terang  kasar menyatakan  keberatannya  di  depan  orang  tersebut.  Semua  terlihat  terlalu  sempurna.  Terlalu banyak kebetulan. Dan terlalu lainnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah proses itu. Apalagi meski  Kak Laisa tidak terlalu  bersemangat  menanggapinya, proses  itu terus mengalir seperti air.  Semakin  hari  semakin  dekat.  Mulai  mengajak  bicara  Mamak.  Dan  pelan  tapi  pasti rencana pernikahan itu mulai serius.
Beruntung. Kedok orang tersebut terbuka sebelum semuanya terlanjur kadung. Polisi dari kota  provinsi  menangkapnya.  Dia  penipu.  Buronan.  Sudah  dua  kali  menipu  di  tempat  lain. Menikah  hanya  untuk  menguras  harta  istrinya.  Pura-pura  tertarik  dengan  Kak  Laisa  hanya untuk menguasai perkebunan strawberry. Entahlah  apa  ending  seperti  ini  kabar  baik  atau  kabar  buruk  bagi  Kak  Laisa.  Yang  pasti sejak  kejadian  tersebut,  Kak  Laisa  mulai  enggan  menanggapi  pembicaraan  perjodohan dengan  Dalimunte.  Ia  seperti  sudah  mengubur  dalam-dalam  keinginan  untuk  menikah. Melupakannya.  Kak  Laisa  seolah  sudah  bersiap  menerima  kalau  ia  memang  ditakdirkan hidup sendirian selamanya. Mungkin saja Kak Laisa sudah benar-benar terbiasa.
"ABI,  Tante  Yash  ikut  pulang,  kan?"  Intan  yang  duduk  di  ranjang  besar  menoleh,  bertanya pada Dalimunte. Dalimunte  yang  sedang  berbicara  dengan  dokter  tentang  kondisi  terakhir  Kak  Laisa mengangguk seadanya.
"Sudah  sampai  di  mana,  sih?  Kok  nggak  ada  kabar-kabarnya  seperti  Oom  Ikanuri  dan  Oom Wibisana?" Intan bertanya lagi. Lebih serius, ingin  tahu.
Dalimunte  kali  ini  benar-benar  menoleh  ke  putrinya.  Terdiam.  Sudah  sampai  di  mana? Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak maghrib.  Mereka  sudah  shalat  berjamaah  (kecuali  Juwita  dan  Delima  yang  memaksa  ikut shalat  gaya  duduk  Wawak  Laisa).  Sudah  makan  malam,  meski  makannya  di  kamar  Wak Laisa. Menghampar sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama. Kondisi  Wak  Laisa  tidak  memburuk,  juga  tidak  membaik.  Ia  sepanjang  pagi  bisa  duduk bersandarkan  bantal, tapi setelah siang, karena  lelah, kembali tiduran. Batuknya  masih. Juga bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima sih dari tadi  ingin  ikut-ikutan, tapi  Kak Intan  melotot. Menyuruh  mereka  menyingkir. Siang itu  Bang  Jogar  menghentikan  membaca  yasin  di  surau  dan  beranda  rumah.  Mereka  masih berkumpul  di  bawah  panggung,  tapi  satu  dua  menjelang  malam  kembali  ke  rumah  masing-masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati.
"Yeee, Abi kok malah melamun?" Intan berseru, nyengir. Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi.
"Tante Yash masih di jalan, sayang —"  Kak  Laisa  yang  justru  menjawab.  Suaranya  sedikit  serak.  Matanya  yang  tadi  terpejam, perlahan terbuka.  Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat.
Dalimunte  yang  masih  berdiri di depan dokter terdiam.  Apa  yang  hendak dikatakan  Kak Laisa? Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan diri sejak kemarin untuk bertanya di  mana Yashinta sekarang. Setelah  lebih sehari semalam, tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang jelas adalah Kak Laisa.
"Emangnya Wak Laisa tahu? Kan Wawak sejak tadi tidur;'"  Intan menyeringai. Beringsut mendekat. Laisa berusaha mengangguk. Tersenyum. 
Tentu  saja  ia  tahu.  Kedekatan  adik-kakak  itu  sungguh  menembus  batas-batas  akal  sehat. Tentu  saja  Laisa  tahu....  Itulah  kenapa  dia  tidak  bertanya  ke  Dalimunte  di  mana  Yashinta, adik terkecilnya, berada sekarang. Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini. Bagaimana tidak?  Lima  belas  jam ]alu, tepatnya saat ia  shalat shubuh  sambil duduk tadi pagi, ia baru saja membangunkan adiknya. Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang.
"Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal, 
"Kenapa ia harus sibuk melarang-larang. Bah!" Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk.
Malam  itu  Ikanuri  dan  Wibisana  dihukum  tidur  di  bale  bambu  bawah  rumah  panggung. Malam  beberapa  bulan  setelah  kejadian  di  Gunung  Kendeng  itu.  Dua  sigung  nakal  itu  lagi-lagi  bolos  sekolah,  padahal  Mamak,  Kak  Laisa,  dan  Dalimunte  sibuk  mengurus  kebun strawberry.  Tidak  hanya  sibuk,  tapi  cemas  apakah  kali  ini  mereka  akan  berhasil  atau  gagal total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota kecamatan.
"Kenapa  sih  ia  harus  sibuk  lapor  Mamak....  Sok  ngatur.  Lihat,  dua  tiga  tahun  lagi,  pastilah kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...."  Ikanuri  bergelung, terus ngomel. Gerimis  membasuh  lembah. Deru angin  lembah  membawa rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
"Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis. Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti.
Yashinta  saat  itu  sembunyi-sembunyi  hendak  mengantarkan  selimut  buat  kakaknya,  biar tidak  kedinginan  di  luar.  Desisan  yang  membuat Yashinta  membeku.  Saat  itu  usia  Yashinta delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta yang  akan  ia  simpan  seumur  hidupnya.  Gemetar  Yashinta  kembali  menaiki  anak  tangga,  ke atas.  Urung  memberikan  selimut.  Nafasnya  tersengal.  Kak  Ikanuri  jahat.  Jahat  sekali. Menghina  Kak  Laisa  seperti  itu.  Ingin  rasanya  Yashinta  berteriak.  Menimpuk  Kak  Ikanuri dengan  bongkahan  tanah.  Tapi  ada  hal  lain  yang  membuatnya  lebih  sesak:  Ia  bukan  kakak kita. Ia pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.
Malam  itu  ingin  sekali  Yashinta  langsung  bertanya  pada  Mamak,  bertanya  pada  Kak Dalimunte,  apa  maksud  kata-kata  Kak  Ikanuri  barusan.  Apa  benar  Kak  Laisa  bukan  kakak mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang lain  sudah  jatuh  tertidur  (termasuk  dua  sigung  nakal  di  bawah  rumah),  Yashinta  masih terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa.
Lembut  jemari Yashinta  mengusap  wajah  Kak Laisa. Rambut gimbalnya.  Wajah dengan kulit  hitam.  Hidung  pesek.  Mulut  Kak  Laisa  yang  sedikit  terbuka,  memperlihatkan  gigi-gigi besar,  tidak  proporsional.  Yashinta  menelan  ludah,  Membandingkan  wajah  itu  dengan wajahnya  melalui  cermin  peraut  pensil.  Kak  Laisa  sungguh  berbeda....  Tapi  bagaiman mungkin Kak Laisa bukan kakaknya? Dan  Yashinta  entah  oleh  kekuatan  apa,  tidak  pernah  kuasa  menanyakan  soal  itu  kepada yang  lain.  Tidak  pada  Mamak.  Tidak  pada  Kak  Dalimunte.  Tidak  pada  dua  kakaknya  yang nakal  itu.  Pernah  ia  hampir  terlepaskan  bertanya  pada  Wak  Burhan,  tapi  segera  menutup mulutnya.  Bagaimanalah  kalau  itu  semua  benar?  Bagaimanalah  kalau  Kak  Laisa  memang bukan  kakaknya?  Yashinta,  sejak  sekecil  itu  sudah  amat  menghargai  Kak  Laisa. Ketakutannya  atas  kemungkinan  jawaban  tersebut,  membuatnya  bungkam  selama  puluhan tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak akan ada bedanya. Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya.
"Tapi  Tante  Yash  sekarang  sudah  di  mana,  Wak?  Kok  nggak  nyampe-nyampe,  sih?"  Intan bertanya ingin rahu. Yang ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam.  Tertidur. Di manakah Yashinta?

Seekor peregrin melenguh. Melintas  kabut  yang  menutupi  lereng  terjal  Semeru.  Kepakan  sayapnya  terlihat  elok. Bagai  pesawat  tempur  F-16.  Menderu  membelah  senyap.  Menerabas  pucuk-pucuk  pohon. Lantas  bagai  ballerina  sejati,  berhenti  tepat  sebelum  menghantam  salah  satu  dahan,  anggun mendarat. Perfecto, Peregrin  itu  melenguh  lagi.  Kemudian  loncat menuruni dahan kayu  satu demi  satu.  Hingga  tiba  di  semak-semak.  Satu  meter  dari  tanah  basah  lereng  Semeru. Kepalanya  bergoyang-goyaitg.  Ekornya  bergerak-gerak.  Suaranya  mendesis,  tapi  sekarang terdengar  seperti  cicitan  iba,  menatap  ke  bawah.  Menatap  ke  tubuh  yang  terbanting,  tidak sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir. Di sekitar tubuh itu, dua ekor bajing juga ikut mendekat.  Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari kesana-kemari. Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari. 
Berhenti.  Ikut  menatap  tubuh  yang  tergolek  lemah  itu.  Dan,  ya  Allah,  siapa  bilang  tidak ada lagi harimau jawa di Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka itu  sudah punah di rimba Semeru seperti  sebuah  kesia-siaan  besar. Lihatlah, seekor harimau jawa,  yang  lebih  besar dibandingkan penguasa Gunung  Kendeng, berjalan  memutari  belukar itu. Berhenti sejenak. Mendengkur. 
RRR.   Tapi  itu  bukan  dengkuran  bahaya.  Itu  dengkuran  penuh  rasa  iba.  Seperti  induk  melihat anaknya  terluka.  Menatap  tubuh  yang  tergolek  lemah.  Lantas  berpulang  lagi.  Seperti  seekor penjaga.  Begitu  saja  yang  dilakukan  harimau  besar  itu  dua  puluh  jam  terakhir.  Ya  Allah, hanya  Wak Burhan  yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk  Lembah Lahambay pernah memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu.
Tubuh  itu  adalah  Yashinta.  Gadis  manis,  34  tahun.  Yang  dua  puluh  jam  lalu  bergegas menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras. Naas,  setelah  rekor  mendaki  27  gunung  di  seluruh  dunia  dengan  seluruh  stamina  fisik yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah. Yashinta  kehilangan  keseimbangan.  Lantas  tubuhnya  mental.  Bagai  burung  tanpa  sayap, menghujam  masuk  ke  dalam  lembah  menganga.  Sekali.  Dua  kali.  Berkali-kali  tubuhnya menghantam dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut di ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal. Seketika tak sadarkan diri.
Telepon genggam satelit  itu sudah sejak  lima  belas detik  lalu  jatuh  menghajar  bebatuan. Pecah  berhamburan.  Dan  gadis  cantik  itu  tergolek  tak  berdaya  di  atas  rumput.  Sempurna terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua ratus meter di  belakang. Tidak  melihat saat Yashinta  jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja turun  sambil  mengomel  soal  betapa  cepatnya  kaki  Yashinta.  Lupa  memperhatikan  dahan kayu  yang  patah.  Lupa  memperhatikan  jejak  kaki  Yashinta  sudah  tidak  ada  lagi  di  jalan setapak.
Yashinta  dengan  muka  luka,  kaki  patah,  tergolek  tak  berdaya.  Dua  puluh  jam  lamanya, hingga  keajaiban  itu  terjadi.  Hingga  kecintaan  pada  saudara  karena  Allah,  rasa  berserah  diri yang  tinggi  kepada  kuasa  langit,  ritual  ibadah  yang  penuh  pemaknaan,  kebaikan  dengan sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal sehat itu.
Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari pingsannya. Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh. Pertolongan  mahasiwa kedokteran  yang sedang  KKN  itu tepat waktu. Panasnya  mereda. Batuknya  berkurang.  Muka  pucatnya  kembali  memerah.  Satu  minggu  kemudian  gadis  kecil itu malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang bergeser setelah  menghajar  tunggul  kayu  di  lereng  lembah,  membuatnya  tersiksa  hampir  sebulan. Diurut  berkali-kali  oleh  Wak  Burhan.  Benar-benar  ngeri  melihat  Kak  Laisa  diurut. Bagaimanalah?  Persendian  itu  dipaksa  kembali  ke  tempat  semula.  Kak  Laisa  menggigit gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak.
Dua  sigung  kecil  itu  saja  yang  selama  ini  tidak  peduli  dengan  Kak  Laisa  ikut  jerih melihatnya. Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu karena  memaksakan  diri  malam-malam  menjemput  mahasiswa  KKN  di  kampung  atas.  Tapi Kak  Laisa  tidak  mau  membicarakan  kejadian  malam-malam  di  tengah  hujan  Itu  ia  sudah kembali  sibuk.  Meski  kakinya  belum  sembuh  benar,  Kak  Laisa  tetap  memaksakan  diri bekerja  di  kebun.  Makanya  butuh  waktu  sebulan  untuk  sembuh  total,  karena  lagi-lagi persendian itu bergeser.
Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay. Burung  berkicau  bagai  orkestra.  Kabut  putih  mengambang.  Ditembus  sinar  matahari. Berlarik-larik seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya.
"Kau benar kuat mengangkat segitu, Yash?"
"He-eh."  Yashinta  mengangguk,  merengkuh  dua  belas  batang  umbut  rotan  (ujung  rotan  yang  masih muda).  Di  potong  potong  sepanjang  enam  jengkal.  Bisa  disayur.  Bisa  juga  dijual  ke  kota kecamatan. Harganya lumayan mahal.
Kak  Laisa  pagi  ini  mengajak  Yashinta  mencari  umbut  rotan  di  pinggir  hutan.  Sekalian melihat lima anak berang-berang itu lagi. Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak. Terhuyung. Tubuh kedl Yashinta terhuyung. 
"Kau benaran kuat, Yash?"
"He-eh."  Yashinta  mengangguk  lagi.  Berpegangan  kokoh  ke  ranting  semak  belukar.  Menggigit  bibir.
Lantas  mulai  melangkah.  Sebentar  lagi  ia  juga  terbiasa  kok  dengan  berat  ini.  Awalnya bergetar,  tapi  perlahan  kakinya  mulai  mantap  menyusuri  jalan  setapak.  Tuh  kan,  Yashinta kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum. Suara burung semakin ramai  menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing  berlarian di dahan-dahan  tinggi.  Kecipak  suara  air  mengalir  di  sungai  kecil  terdengar  menyenangkan, Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya.
"Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan?"
"He-eh."  Yashinta langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.
Mereka  tiba  di  anak  sungai  yang  lebih  lebar.  Harus  meniti  jembatan  kayu  kecil  untuk menyeberanginya.  Yashinta  kembali  bersenandung.  Semakin  lama,  dua  belas  potong  umbut rotan di pundaknya semakin terasa ringan. Sayang,  seekor  kodok  yang  sedang  mematung  di  jembatan  kayu  itu  tiba-tiba  loncat. Yashinta  berseru  kaget.  Kodok  itu  cueknya  justru  loncat  ke  perut  Yashinta.  Gadis  kecil  itu reflek  menghindar.  Celaka!  Kakinya  kehilangan  keseimbangan.  Berdebum.  Tubuhnya  yang melintir terjatuh dari atas jembatan.
"YASH!" Kak Laisa berseru tertahan. Tinggi  jembatan  itu  hanya  satu  meter.  Masalahnya  air  sungai  di  bawah  dangkal,  hanya sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta menghantam bebatuan.
"YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah. Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya.  Gemetar menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.
"YASH.... YASH!" Tubuh  adiknya,  ya  Allah,  pelipis  adiknya  berdarah.  Luka.  Cairan  merah  itu  menggenangi sungai.  Membuat  garis  panjang.  Kak  Laisa  pias.  Sungguh  pias.  Tangannya  patah-patah merengkuh  Yashinta.  Menggendong  ke  tepi  sungai  Tidak  peduli  persendian  mata  kakinya bergeser  lagi.  Tidak  peduli  rasanya  amat  sakit.  Kak  Laisa  benar-benar  takut.  Lihatlah. Adiknya seketika pingsan.
"Yash.... Yash, bangun—"  Gemetar  Kak  Laisa  memeriksa  seluruh  tubuh  Yashinta.  Tidak  ada  yang  luka,  hanya  pelipis. Tapi lukanya besar. Robek.  Melepas  bebat  kain  di  kepala.  Mengelap  darah.  Percuma.  Darah  kembali  mengucur  deras. Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
"Yash.... Kakak mohon, bangunlah..."  Kak Laisa menangis.
Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya. Ia sungguh lebih takut  dibandingkan  saat  kejadian  di  Gunung  Kendeng    lalu.    Ini    semua    salahnya.  Tidak seharusnya  mengajak  Yashinta  yang  baru  sembuh  dari  sakit  ikut  mencari  umbut  rotan sekalian  melihat  anak  berang-berang.  Tidak  seharusnya  ia  membiarkan    Yashinta  menggendong lebih banyak potongan umbut rotan. Tubuh Yashinta mulai dingin.
"Yash...."  Kak  Laisa  panik  menciumi  pipi  adiknya.  Suaranya  mencicit.  Ya  Allah, bagaimanalah  ini?  Apa  yang  harus  ia  lakukan?  Menggendong  Yashinta  pulang?  Ya  Allah, kenapa  jemari  adiknya  semakin  dingin.  Apa  yang  akan  ia  bilang  ke  Mamak?  Lais  jaga adikmu.  Mamak  selalu  berpesan  begitu,  bahkan  meski  untuk  urusan  sepele  saat  mengajak Yashinta mandi di sungai cadas. Tubuh Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar.  Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin dingin.
"Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan, 
"Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — "  Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya.
"Lais  mohon,  ya  Allah...  Jika  Engkau  menginginkannya,  biarkan  Lais  saja,  biarkan  Lais saja...." 
Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.

Harimau besar itu menghentikan putarannya. Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam. Menatap  tubuh  Yashinta  yang  tergolek  di  atas  belukar.  Semburat  cahaya  matahari  pagi yang menerobos dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya harimau  itu  membuat  seekor  beruang  gunung  mengurungkan  niat  mencabik-cabik  tubuh  tak berdaya  Yashinta.  Harimau  itu  sekarang  mematung,  seperti  bisa  menatap  siluet  indah  yang sedang mengungkung tubuh Yashinta. Dua  bajing  yang  juga  mengawasi  tempat  itu  ikut  terdiam  Naik  turun,  celingak-celinguk kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang mendekat. Mengambang turun. Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian senyap. Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta. Seperti parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara.
"Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik Lais...."  Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta lembut Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
"Bangunlah adikku, Kakak menunggu di rumah...." Lantas sekejap kemudian sirna.  Menghilang.Tubuh  yang sudah dua puluh  jam pingsan  itu pelan  membuka  mata. Mengerjap-ngerjap. Yashinta berseru terbata "Kak Lais...?"
TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari Mamak. Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski tadi  ngotot  bilang  ingin  menunggu  Abi-Abi  mereka  (Ikanuri  dan  Wibisana)  tiba,  tapi  tubuh kanak-kanak  mereka  terlanjur  lelah.  Digendong  Ummi  masing-masing  masuk  kamar  besar, lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar.
Telepon  genggam  Dalimunte  berdengking.  Buru-buru  diangkat,  siapa  pula  yang  tengah malam  begini  menghubunginya.  Tidak  mungkin  Ikanuri  dan  Wibisana,  karena  mereka  lima belas  menit  lalu  baru  saja  lapor  sudah  tiba  di  kota  kecamatan.  Sekarang  sedang  ngebut secepat  mobil  balap  itu bisa  melaju ke perkebunan strawberry. Berusaha  menepati  janji, tiba sebelum tengah malam. Apakah Yashinta yang telepon? Goughsky. Ternyata yang menelepon WNI keturunan Uzbekistan itu.
"Yashinta  sudah  ditemukan,  Kak  Dali—"   Pelan saja Goughsky melapor. Langsung ke pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat Dalimunte berseru tertahan.
"Kami  menyebar  belasan  orang  mencarinya.  Menyusuri  jalan  setapak,  memeriksa  lembah, sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang datang ke posko pendakian, dengan kaki patah.  Ya  Allah,  andai kata  Kak  Dali  bisa  melihat  energi  sebesar  itu.  Yashinta  memaksa kakinya berjalan delapan kilometer, dengan tubuh terluka, pelipis berdarah...."
Dalimunte  sudah  tidak  mendengarkan  detail  lagi.  Kabar  adiknya  ditemukan  selamat membuatnya  lega  bukan  main. Sejak Ikanuri dan  Wibisana  mengontak Goughsky tiga puluh enam  jam  lalu  dari  Paris,  kecemasan  atas  nasib  Yashinta  meninggi.  Apalagi  dua  rekan Yashinta  justru  bingung  saat  tahu  Yashinta  belum  tiba  di  posko  awal  pendakian  Gunung Semeru.  Tim  SAR  setempat  diturunkan,  Goughsky  yang  sama  hafalnya  dengan  Yashinta jalur pendakian Semeru memimpin pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan.
Dua puluh empat jam berlalu, mereka akhirnya menemukan telepon genggam satelit Yashinta yang remuk, tapi tidak ada tubuh Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin dan dua ekor bajing yang sibuk memperhatikan. Dan  lima  menit  yang  lalu,  betapa  terkejutnya  Tim  SAR  yang  berjaga  di  posko  awal pendakian,  Yashinta  datang  sendiri  dengan  tubuh  luka,  tertatih  dengan  tongkat  seadanya  ditangan. Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera meluncur turun. Menghentikan pencarian. Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi terakhir.
"Yashinta  baik-baik  saja....  Hanya  lelah,  terlalu  lelah....  Ya  Allah,  saya  tidak  tahu  apa  yang sebenarnya  terjadi....  Dia  bertahan  hidup  selama  tiga  puluh  enam  jam  tanpa  air  minum sekalipun..." Dalimunte  menelan  ludahnya.  Ketegangan  itu  mencair.  Mamak  menatapnya.  Ingin  tahu apa  yang  membuat  wajah  Dalimunte  berubah  sedemikian  rupa.  Juga  Cie  Hui,  Wulan  dan Jasmine.
"Aku  akan  segera  membawa  Yashinta  pulang  ke  perkebunan.  Sebentar  lagi  helikopter  milik Mr  dan  Mrs  Yoko  tiba....  Langsung  setelah  mendapatkan  perawatan,  Yashinta  akan  segera pulang,  Mr  dan  Mrs  Yoko  mengijinkan  helikopternya  dibawa  ke  Lembah  Lahambay—" Goughsky herjanji. Menutup pembicaraan. Dalimunte menghembuskan nafas lega.
"Ada apa?" Cie Hui bertanya, memegang lengan suaminya.
"Yashinta, Yashinta sudah ditemukan — "  Dalimunte  berbisik  pelan.  Ditemukan?  Cie  Hui  melipat  dahi.  Tidak  mengerti.  Beruntung Mamak  tidak  mendengarkan.  Kalau  tidak  akan  timbul  banyak  sekali  pertanyaan.  Karena Dalimunte  selalu  bilang  Yashinta  masih  di  perjalanan.  Terlambat  saat  turun  dari  Gunung Semeru. Hujan deras disana. Penerbangan juga banyak di cancel. Menutupi fakta kalau sudah 36 jam tdepon genggam satelit Yashinta putus kontak.
Beruntung  pula,  sebelum  Mamak  benar-benar  ingin  bertanya,  mendadak  terdengar  suara derum mobil di luar. Pintu-pintu yang dibanting. Seruan Bang Jogar. Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga kayu. Dan  sekejap,  Ikanuri  dan  Wibisana  sudah  masuk  ke  dalam  ruangan.  Setengah  berlari. Dengan wajah cemas Ikanuri  bahkan  tidak  mempedulikan  Dalimunte  yang  berdiri  di  depan  kamar.  Melewati Cie  Hui,  Jasmine,  Wulan,  bahkan  Mamak.  Ikanuri  langsung  menghambur  ke  ranjang  Kak Laisa. Matanya  berkaca-kaca. Sungguh  ia sesak  menahan kalimat  itu. Kalimat yang tertahan seperempat  abad  lebih,  25  tahun.  Sungguh  sejak  di  kereta  ekspress  Eurostar  dia  takut  tak sempat lagi mengatakannya. Ikanuri  langsung  bersimpuh,  gemetar  menciumi  tangan  Kak  Laisa,  Wajahnya  buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis—
"Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Laisa bukan kakak kami— ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu. Padahal saat itu Kak Laisa masih tertidur.
TERUS-TERANG,  mengungkit  masa  lalu  Laisa  bukanlah  bagian  yang  menyenangkan. Tetapi  tidak  adil  jika  kalian  tidak  tahu  ceritanya.  Apalagi  untuk  mengerti  utuh  semua  kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya. Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka. Sedikitpun tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka. Mamak  Lainuri  sebenamya  menikah  dua  kali.  Pernikahan  pertama,  dengan  lelaki pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru enam belas tahun. Lelaki itu 24, duda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Si kecil Laisa. Wak Burhan, satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri yatim piatu sejak usia sebelas  tahun),  amat  berkeberatan  dengan  pernikahan  itu.  Pernikahan  yang  keliru,  Mereka tidak  mengenal  baik  pemuda  tersebut.  Tidak  mengenal  keluarganya.  Hanya  wajahnya  saja yang  terlihat  tampan  menyenangkan.  Tapi  itu  180  derajat  kontras  dengan  kelakuannya.
Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi mungil   itu memperlakukan Mamak sama seperti  memperlakukan  istri  pertamanya.  Kasar.  Suka  memukul  Berteriak.  Dan  kerjanya hanya  mabuk  di  kota  kecamatan  Berjudi  di  lapak-lapak  pasar.  Menurut  bisik-bisik  tetanga konon  istri  pertamanya  dulu  meninggal  juga  karena  ulahnya.  Tapi  tidak  ada  yang  bisa mencegah pernikahan tersebut. Dan tidak ada  juga  yang kuasa  memperbaiki keputusan  yang terlanjur  dibuat.  Entahlah  mengapa  Mamak  amat  menyukai  pemuda  itu  (duda  dengan  bayi enam bulan pula).
Mamak  sebenarnya  mewarisi  tanah  cukup  luas  dan  banyak  perabotan  dari  orang tuanya yang meninggal saat banjir bandang di sungai cadas lima meter. Tapi semuanya tergadai satu persatu  oleh  tabiat  judi  suaminya.  Dan  yang  paling  menderita  atas  tabiat  buruk  tersebut adalah  Laisa.  Bayi  berumur  enam  bulan  tersebut  pernah  jatuh  ke  dalam  baskom  air  saat berumur  sembilan  bulan.  Terendam.  Mamak  yang  pulang  dari  kebun  amat  terkejut  melihat Laisa  sudah  membiru.  Sedangkan  yang  bertugas  menjaga  justru  tertidur  dengan  mulut  bau minuman keras di samping ranjang.
Maka  rusuhlah  kampung  mereka.  Amat  cemas  Mamak  melakukan  apa  saja  untuk menyelamatkan  bayi  mungil  itu.  Seolah  bayi  itu  darah  dagingnya  sendiri.  Melakukan  apa saja. Dan ajaib, Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan lucu itu harus membayar mahal sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa mulai tidak normal. Saraf bicara, mendengar, kemampuan  berpikir,  dan  sebagainya  memang  tumbuh  normal.  Tapi  badan  Laisa  tumbuh lebih  pendek  dibanding  teman  seusianya.  Wajahnya  juga  terlihat  sedikit  tidak  proporsional. Soal  rambut  gimbal  dan  kulit  hitam,  itu  mewarisi  ayahnya.  Ayah  yang  saat  Laisa  berumur dua tahun justru tega pergi begitu saja dari lembah tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia menghilang begitu saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan. Menyedihkan sekali melihat bayi kecil itu ditinggal pergi. Membuat nestapa Mamak jadi sempurna.  Sudah  kehilangan  suami.  Mesti  merawat  bayi  yang  bukan  darah  dagingnya  pula. Tapi Mamak menyayangi bayi kecil itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah dulu  juga  keputusannya  sendiri.  Maka  dengan  kehidupan  yang  semakin  susah  di  lembah, Mamak memutuskan bertahan hidup.
Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak menikah untuk kedua kalinya dengan pemuda  kampung  atas.  Babak  mereka  sekarang.  Pemuda  yang  dulu  amat  patah  hati  melihat Mamak  menikah  dengan  orang  lain.  Sekarang  mendapatkan  kembali  cinta  terpendamnya. Babak  bisa  menerima  Mamak  apa  adanya.  Janda  miskin.  Juga  bisa  menerima  si  kecil  Laisa dengan baik. Meski  hidup  mereka  tidak  berubah,  tetap  susah,  tapi  kehidupan  berkeluarga  mereka berjalan  normal,  bahkan  dalam  banyak  waktu  terlihat  cukup  bahagia.  Saat  Laisa  berumur enam  tahun,  lahirlah  Dalimunte.  Dua  tahun  kemudian  Wibisana,  menyusul  Ikanuri  dengan jarak  hanya  sebelas  bulan,  dan  terakhir  ditutup  dengan  lahirnya  si  bungsu  yang  manis; Yashinta.  Anak-anak  yang  lucu.  Menggemaskan.  Sayang,  masa-masa  bahagia  itu  terputus saat  Yashinta  masih  dalam  kandungan.  Ikanuri  dan  Wibisana  juga  masih  terlalu  kecil  untuk mengerti.  Babak  mereka  diterkam  sang  penguasa  Gunung  Kendeng.  Maka  yatimlah  anak-anak tersebut.
Semua penduduk Lembah Lahambay tahu persis kisah ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah panggung tersebut. Hanya bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak besar  tahu  fakta  tersebut  dari  bisik-bisik  tetangga.    Ikanuri  dan  Wibisana.  Bedanya, Dalimunte  tidak  ambil  pusing.  Sedangkan  dua  sigung  nakal  tersebut  menjadikan  itu  alasan untuk membantah, tidak menurut. Yashinta saja yang terlalu takut bertanya yang tidak pernah tahu  detailnya.  Meski  saat  ia  mulai  sekolah  di  kota  provinsi,  Yashinta  jelas  bisa  mengambil kesimpulan sendiri kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka terlalu berbeda.
Mamak  tidak  pernah  mengungkit-ungkit  kisah  suram  tersebut.  Memutuskan  untuk  tidak menceritakan  kejadian  jatuhnya  Laisa  ke  dalam  baskom  air.  Yang  membuatnya  tumbuh cacat.  Mamak  tidak  pernah  menganggap  Laisa  orang  lain,  baginya  sulung  di  keluarga  itu adalah  Laisa.  Juga  Babak  mereka  semasa  hidup.  Malam  sebelum  kejadian  Babak  diterkam harimau.  Babak  sempat  mengusap  rambut  Laisa  yang  saat  itu  baru  berumur  sepuluh  tahun. Tersenyum, 
"Lais,  kau  bantu  Mamakmu  menjaga  adik-adik  hingga  Babak  pulang  dari  mencari kumbang—"  Laisa kecil mengangguk mantap sekali. Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata tidak pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak.
"Maafkan    Ikanuri....      Sungguh      maafkan    Ikanuri,  Kak  Lais...  Maafkan  Ikanuri  yang  dulu selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami — "  Ikanuri masih tersungkur.
Kak  Laisa  membuka  matanya.  Mengerjap-ngerjap.  Tadi  ia  baru  saja  bermimpi  saling berkejaran  dengan  adik-adiknya  di  hamparan  kebun  strawberry.  Ia  yang  berusia  enam  belas tahun, Dalimunte dua belas, Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta enam tahun. Berlarian di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang berdiri meneriaki di lereng  atas.  Langit  membiru.  Seekor  elang  melenguh  di  garis  cakrawala  Gunung  Kendeng. Amat menyenangkan.
Kak  Laisa  membuka  matanya.  Kepalanya  sedikit  terangkat.  Perlahan  mengerti  apa  yang sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana sudah tiba. Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya yang  paling  keras  kepala,  sedang  tersungkur  menciumi  tangannya.  Menangis  penuh  rasa sesal.
Kak  Laisa  terbatuk.  Bercak  darah  itu  mengalir.  Cie  Hui  buru-buru  mendekat,  meraih tissue,  membersihkan.  Mamak  sudah  menangis  di  pelukan  Dalimunte.  Mamak  yang  jarang sekali  menangis,  tersedu.  Tudung  kepalanya  lepas.  Rambut  putihnya  terlihat.  Bahunya  naik turun  menahan  rasa  sesak.  Dan  Wibisana  menambah  senyap  suasana.  Wibisana  ikut bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut menangis. 
"Sungguh, maafkan Wibisana...."
Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan desau sepotong kisah suram masa lalu itu.  Bagi  Mamak,  melihat  semua  ini  seperti  mengembalikan  seluruh  kenangan  hidupnya. Masa-masa keliru. Masa-masa yang seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia menutupi kenyataan itu. Bagi  Dalimunte,  melihat  adik-adiknya  bersimpuh  penuh  penyesalan, mengembalikan seluruh  kejadian di sungai cadas  lima  meter. Dia  yang  melihat  Kak  Laisa  bekerja  keras terpanggang  matahari  di  kebun  jagung  demi  mereka.  Kak  Laisa  yang  berjanji  akan membuatnya terus sekolah. Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya....
Bagaimana  mungkin  Kak  Laisa  bukan  kakak  mereka  dengan:  semua  itu?  Dalimunte  tahu persis  kalau  adik-adiknya  suka  bilang  kalimat  menyakitkan  itu,  tapi  dia  tidak  pernah  kuasa untuk  menegur.  Lagipula,  Ikanuri  dan  Wibisana  belum  mengerti.  Lihatlah,  bertahun-tahun saat  sudah  sekolah  di  kota  provinsi,  saat  adik-adiknya  mengerti,  mereka  amat  menghargai Kak Laisa. Lebih dari siapapun.
Bagi  Ikanuri  dan  Wibisana,  jelas-jelas  semua  ini  mengembalikan  kenangan  masa  kecil mereka.  Perlakuan  buruk  mereka  kepada  Kak  Laisa.  Dan  perlakuan  sebaliknya  Kak  Laisa kepada  mereka.  Janji  sejuta  kunang-kunang.  Janji  kesempatan  yang  lebih  besar  di  luar lembah. Kak Laisa yang tidak pernah datang terlambat. Malam di lereng Gunung Kendeng.... Kamar itu menyisakan isak tertahan. Tangan  Kak  Laisa  gemetar  mengangkat  kepala  adiknya.  Mata  itu  menatap  begitu  tulus. Tersenyum, 
"Kakak selalu memaafkan kalian.... Kakak selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersumpah membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik yang membanggakan...." Kak Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Dan  kamar  itu  menyisakan  tangis  dua  sigung  nakal  yang  mengeras.  Semua  masa  lalu  itu, tidak  akan  pernah  bisa  dipisahkan  dari  kehidupan  mereka,  tidak  peduli  seberapa  baik kehidupan mereka sekarang.
"SEMUA  VIRUS,  bakteri,  dan  sumber  penyakit  jahat  lainnya  selalu  datang  dari  hewan  liar, Miss Headstone — "  Pria tinggi, kekar, dan tampan itu menyeringai. Mengangkat tangannya. 
"Kau tahu, virus  flu pertama kali  yang  menyerang dunia tahun 1918,  yang  menewaskan 100 juta  orang,  itu  jelas  mutasi  virus  flu  dari  hewan  liar....  Sebagai  ahli  biologi,  konservasi  dan sebagainya aku pikir kau pernah diajarkan soal itu di bangku kuliah."
"Aku tahu itu—" Yashinta menukas, tersinggung 
"Juga  Ebola,  HIV/AIDS  yang  berasal  dari  kera  hutan  pedalaman  Afrika.  Dan  berarus-ratus penyakit  mematikan  lainnya....  Kau  tahu,  tahun  1960  virus  flu  bermutasi  lagi,  mematikan jutaan  orang  di  seluruh  dunia.  Aku  berani  bertaruh,  dengan  siklus  penyakit  flu  empat  puluh tahunan  tersebut,  awal  abad  21  nanti,  mungkin  2008,  2010,  empat  puluh,  lima  puluh  tahun dari 1960-an, juga akan terjadi mutasi flu dari hewan liar lainnya, dan itu kemungkinan besar dari unggas.... Membawa virus flu yang lebih mematikan, dan  bisa  jadi  mengulang  tragedi tahun 1918, ratusan juta meninggal. Jadi bagaimana mungkin kau akan membuktikan bahwa virus, bakteri, dan semua penyakit jahat itu tidak berasal dari hewan liar."  Goughsky nama pemuda itu, terlihat begitu menikmati perdebatan tersebut. Mereka  sedang  berdiri  di  ramainya  gala  dinner  yang  diadakan  institusi  donor  (pemberi dana) konservasi alam terbesar dunia. Di convention center salah satu hotel  mewah London.
Sejak bekerja menjadi peneliti lingkungan hidup, Yashinta sering terlibat dalam acara seperti ini.  Mencari  pendanaan  untuk  proyek  konservasi  dan  penelitian  flora-fauna  langka  di Indonesia. Termasuk minggu-minggu ini saat menghadiri pertemuan aktivis di London. Awalnya  hanya  Yashinta  yang  berbicara  dengan  Mr  dan  Mrs  Yoko,  salah-satu  pendiri
institusi  donor  raksasa  itu,  membicarakan  tentang  konservasi  elang  jawa.  Entah  mengapa, pemuda  sialan  ini,  tiba-tiba  ikut  mendekat,  ikut  berbicara.  Dan  entah  apa  pasalnya  mereka sudah berdebat soal mutasi genetik virus penyakit mematikan dari hewan liar ke manusia.
"Aku tahu kalau semua penyakit itu dari hewan liar, tapi bukan berarti mereka penjahatnya!" Yashinta  mendesis  sebal.  Siapa  pula  pemuda  ini  yang  mengganggu  rencananya.  Ia  sejak kemarin  merencanakan  memberikan  proposal  konservasi  elang  jawa  itu  secara  personal  ke Mr  dan  Mrs  Yoko.  Mencari  waktu  yang  tepat.  Dan  pemuda  sialan  ini  tiba-tiba  ikut  masuk dalam pembicaraan.
"Well,  aku  kan  tidak  bilang  mereka  penjahatnya.  Hanya  bilang  fakta  kalau  semua  virus  itu berawal  dari  hewan  liar..  Come  on,  kau  saja  yang  terlalu  mencintai  hewan-hewan  itu,  keras kepala, tidak mau mendengarkan kalimat orang lain dengan baik—"  Goughsky mengangkat bahunya. Tersenyum lebar ke arah Mr dan Mrs Yoko. Dasar penjilat, pemuda ini pasti juga berkepentingan dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko, mungkin untuk membiayai proyek sialan miliknya. Mencari perhatian di depan pasangan ini. Yashinta mengatupkan rahang. Wajah cantiknya memerah.
"Goughsky benar, my darlingl" Mr Yoko tertawa kecil, menengahi, 
"Kau  memang  terlalu  mencintai  hewan-hewan  itu,  sehingga  selalu  otomatis  bilang  tidak untuk fakta yang menjelek-jelekkan mereka. Kau tahu, terlalu mencintai terkadang membuat kita berpikir tidak rasional, tidak fair, my dear-"
"Bukan itu maksudku," Yashinta menjawab cepat berusaha mengendalikan diri, 
"Aku  setuju  kalau  virus  dan  bakteri  itu  berasal  dari  mereka,  tapi  manusialah  yang mengganggu  keseimbangan  alam,  mengintervensi  mekanisme  mutasi  virus  tersebut  dengan polusi produk kimia, industri yang berlebihan, perubahan iklim, kerusakan hutan, kapitalisme dan sebagainya.... Jadi jelas, bukan hewan-hewan liar itu penjahatnya!"
"Well,  bukankah  dari  tadi  di  sini  memang  tidak  ada  yang  bilang  hewan-hewan  itu penjahatnya?" Goughsky nyengir lebar sekali. Mrs Yoko yang sudah beruban tertawa, melambaikan tangan 
"Sudah! Sudah, Goughsky, Jangan diperpanjang  lagi.  Kau  jangan  membuat Yashinta  marah, Goughsky.... Hush! Mari, Yash sayang, kita mengambil sesuatu untuk mengganjal perut. Biar perdebatan menyebalkan seperti ini dilanjutkan para pria." Yashinta  mendelik  ke  arah  pemuda  sialan  itu.  Berusaha  tetap  sopan  menggandeng  Mrs Yoko. Melangkah menuju meja hidangan.
"Kau  mungkin  lupa  namanya,  pemuda  itu  Goughsky,  ayahnya  Uzbekistan,  ibunya  dari negaramu, Indonesia.... Haha, dia memang terkadang menjengkelkan seperti itu...."
"Kalian? Kalian sudah mengenalnya?" Yashinta mengambilkan piring buat Mrs Yoko.
"Tentu  saja  my  sweetheart,  kemarin  kami  baru  saja  menyetujui  salah  satu  proyek penelitiannya. Seratus ribu dollar. Penelitian yang hebat."
"Kalian?  Kalian  sudah  memutuskan?  Sudah  memberikan  dana  itu  ke  orang  lain?"  Yashinta menelan ludah. Apa yang ia cemaskan tadi terbukti, kan? Pemuda sialan itu akan mengambil dana penelitiannya.
"Kau tetap akan mendapatkan dana konservasimu, sayang. Kami tahun ini memutuskan untuk mendanai dua proyek penelitian ekologi sekaligus. Mendanai  peneliti  yang  penuh  semangat  seperti  kalian."  Mrs  Yoko  tertawa,  melambaikan tangan. Yashinta  ikut tertawa,  meski  tawanya  sedikit  kebas.  Lega.  Bercampur  sisa-sisa  perasaan sebal. Dan entahlah. Bercampur jadi satu.
Itu  pertemuan  pertama  Yashinta  dengan  Goughsky.  Pertemuan  pertama  yang  jauh  dari mengesankan.  Malah  bagi  Yashinta  amat  menyebalkan.  Yang  sialnya,  entah  mengapa ternyata diikuti dengan pertemuan-pertemuan lebih menyebalkan berikutnya. Bukankah  pernah  dibilang  sebelumnya,  Yashinta  tidak  terlalu  suka  bergaul  dengan teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki. Benci  melihat  kelakuan  mereka  yang  sibuk  mencari  perhatian.  Apakah  mereka  akan  tetap sibuk  mencari  perhatian  jika  wajah  dan  fisiknya  seperti  Kak  Laisa?  Bah!  Mereka  hipokrit sejati.  Nah,  ditambah  tingkah  Goughsky  yang  suka  mentertawakan,  menyeringai  kepadanya seperti  sedang  menghadapi  anak  kecil  yang  bandel  dan  keras  kepala,  kebencian  Yashinta bertumpuk-tumpuk sudah.
Celakanya, Mr dan Mrs Yoko sengaja  memberikan dana konservasi  buat  mereka  berdua karena  proyek  mereka  bersisian,  saling  melengkapi:  tentang  pemetaan  dan  konservasi  elang jawa.  Maka  Yashinta  benar-benar  meledak  saat  tahu  hal  tersebut.  Yashinta  diberitahu  saat sedang makan malam di rumah Mr dan Mrs Yoko. Tahu kalau Goughsky ikut diundang saja sudah membuat Yashinta mengkal, apalagi saat Goughsky dengan ringannya bilang, 
"Miss  Headstone  ini  akan  jadi  sekretaris  proyek  yang  baik.  Ia  akan  selalu  melaporkan kemajuan program kepadaku, Mr Yoko." Yashinta tidak ingin bekerja satu tim dengan pemuda Uzbek sialan ini. Apalagi di bawah supervisinya. Tapi di meja makan itu seperti tak ada yang memperhatikan raut merah padam keberatan Yashinta. 
"Kalau  tidak  salah,  Goughsky  kakak  kelasmu  di  Belanda,  bukan?  Terpisah  tiga  tahun?  Jadi aku  pikir  dia  lebih  pantas  menjadi  leader  proyek  ini,  sayang—"  Mrs  Yoko  mengangguk setuju.
Memangnya kenapa? Yashinta  mendesis sebal dalam  hati. Memangnya kenapa kalau dia  lebih  senior  dibandingkan  dirinya.  Ia  bisa  mengurus  proyek  risetnya  sendirian.  Tidak  perlu digabungkan  dengan  pemuda  sok  pintar  dihadapannya!  Tapi  hingga  makan  malam  itu  usai, Yashinta  masih  bisa  mengendalikan  diri.  Berusaha  terus tersenyum.  Mengangguk.  Menurut. Meski  ia  kesal  sekali  melihat  gaya  Goughsky  didepannya.    Menyeringai,    seolah-olah menganggap dirinya peneliti kemarin sore, yang harus belajar lebih banyak.
Maka setahun terasa bagai seabad bagi Yashinta. Proyek itu dimulai segera sekembalinya mereka  dari  pertemuan  di  London.  Basecamp  konservasi  dibangun  di  Taman  Nasional Gunung Gede. Berbagai peralatan didatangkan. Mereka didukung oleh sebelas peneliti lokal, dari  berbagai  universitas  sekitar.  Juga  petugas  Taman  Nasional,  institusi  terkait,  dan penduduk setempat. Andaikata  proyek  ini  tidak  penting.  Andaikata  Mr  dan  Mrs  Yoko  bukan  orang  penting. Andaikata....  Sudah  dari  dulu  Yashinta  ingin  menimpuk  pemuda  setengah  bule  setengah melayu  itu  dengan  gumpalan  tanah  (sama  seperti  ia  menimpuk  anak-anak  nakal  dulu). Mereka  selalu  bertengkar  di  basecamp  Selalu  berdebat.  Dan  karena  Yashinta  di  bawah komando Goughsky, maka suka atau tidak suka, ia lebih banyak makan hati.
"Tahu  nggak  sih,  temanku  juga  begini  nih  dulu.  Bertengkar  mulu  tiap  hari,  eh  belakangan malah jadi suami istri." Rekan peneliti lokal yang cewek seringkali menggoda Yashinta.
"Lu gila  ya, ganteng gini  setiap  hari  malah diajak ribut Yash. Harusnya disayang-sayang...." Tertawa.
Itulah  masalahnya.  Yashinta  sejak  kecil  Sudah  keras  kepala.  Dan  penyakit  orang  keras kepala  adalah  jika  sejak  awal  ia  tidak  suka,  maka  seterusnya  ia  akan  memaksa  diri  untuk tidak  suka.  Tidak  rasional.  Seringkali  perdebatan  (pertengkaran)  mereka  sebenarnya  karena kesalahan  Yashinta.  Hal-hal  kecil.  Bahkan  dalam  banyak  kasus  Yashinta  sendiri  yang mencari-cari masalah. Ingin menunjukkan ketidaksukaannya. Jadi  tidak  aneh  jika  Yashinta  banyak  melupakan  detail  yang  lebih  besar.  Seperti  betapa tampannya  Goughsky,  ergh,  maksudnya  bukan  itu.  Yashinta  bahkan  tidak  menyadari  kalau Goughsky  berbeda  sekali  dengan  tipikal  teman  lelaki  yang  dikenalnya  selama  ini.  Tidak sibuk  mencari  perhatian.  Bahkan  sedikit  marah  jika  rekan  peneliti  lokal  cewek  lainnya bergenit-genit ria dengannya.
Goughsky  juga  tipikal  pemuda  yang  menyenangkan.  Dekat  dengan  penduduk  setempat lokasi  basecamp,  suka  bergurau,  dan  yang  pasti  amat  sabar.  Kalau  saja  Yashinta  mau menghitung  perdebatan  mereka,  hanya  Goughsky  yang  bisa  sabar  dengannya.  Yang  lain sudah  mengkal  sejak  tadi.  Pemuda  Uzbek  itu  juga  alim.  Dia  yang  selalu  meneriaki  rekan kerjanya untuk shalat. Terkadang  meneriaki Yashinta, yang dijawab teriakan pula. Membuat Yashinta  mengomel  dalam  hati,  sejak  kecil  Yash  sudah  terbiasa  shalat  malam  bersama  Kak Lais dan Mamak, tidak perlu diteriaki, mentang-mentang muslim Uzbek, sok alim. Maka  jadilah  setiap  dua  bulan  sekali,  saat  jadwal  pulang  ke  lembah,  Yashinta  selalu mengeluhkan siapa lagi kalau bukan Goughsky. Goughsky. Dan Goughsky. 
"Ia  bahkan  hingga  sekarang  tetap  memanggilku,  Miss  Headstone....  Miss  Headstone—" Yashinta berseru sebal, menirukan intonasi suara Goughsky dengan jijik. Kak  Laisa  yang  melihatnya  tertawa.  Juga  Cie  Hui,  Wulan,  dan  Jasmine  yang  duduk melingkar di ruang depan rumah panggung.
"Dan  bule  sialan  itu  selalu  bilang,  'Memangnya  kau  tidak  diajarkan  itu  di  bangku  kuliah? Memangnya  dosenmu  tidak  pernah  bilang  itu?  Memangnya....'  Bah!  Bukan  dia  saja  yang lulus cumlaude di Belanda. Sok paling pintar!"
Intan  yang  sekarang  sudah  tiga  tahun  cuek  berlenggak-lenggok  di  depan  tantenya  yang sedang  bete.  Memegang  kedua  pipi  tantenya,  Sengaja  menekan-nekannya.  Meniru  ulah tantenya kalau  lagi gemas dan  mencubit pipi tembamnya. Yang  lain tertawa. Lihatlah, Intan persis meniru kelakuan Yashinta. Berseru, 
"Iiihhh!" Sok mengerti apa itu gemas. Mencubit pipi tantenya.
"Hush,  kalian  jangan  banyak  tertawa,  nanti  bayinya  keluar  mendadak  seperti  Kak  Cie"
Ikanuri  yang  baru  bergabung  duduk  di  ruang  tengah  rumah  panggung  pura-pura  marah. Menyuruh istrinya diam. Wulan dan Jasmine sedang hamil tua. Sama seperti Cie Hui, Wulan dan Jasmine juga ingin anak-anak mereka di lahirkan di perkebunan. Menghirup udara segar lembah untuk pertama kalinya. Merasakan sejuknya. Menginjak rerumputan yang berembun.
Tertawa lagi menatap wajah Ikanuri yang serius sekali saat mengatakan itu. Ruang tengah itu  dipenuhi  banyak  energi  bahagia.  Jadi  siapa  pula  yang  peduli  dengan  suara  mengkal Yashinta?  Toh  yang  lain  menganggap  keluhan  Yashinta  tidaklah  seserius  itu.  Bagaimana akan serius? Yashinta meski wajahnya sebal, tapi setiap pulang selalu saja sibuk dan merasa berkepentingan untuk menceritakan kelakuan Goughsky, Goughsky. Dan Goughsky. Masa yang begitu dibilang benci?
"BAGAIMANA  kabar  bayi-bayinya?"  Goughsky  bertanya,  suaranya  pelan.  Sengaja,  biar tidak mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas meter. Ada  sepuluh  menara  seperti  itu  di  Taman  Nasional  Gunung  Gede,  masing-masing  berjarak seratus  meter.  Menyeruak  di  tengah-tengah  rimba,  di  atas  kanopi  pepohonan.  Dibangun dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling tepat untuk mengintai elang jawa.
"Apa?"  Yashinta  menoleh.  Meski  suaranya  juga  pelan,  tapi  intonasinya  tetap  ketus.  Ia  sebal sekali,  setelah  cuti  dua  minggu  yang  menyenangkan  di  perkebunan,  saat  kembali  ke basecamp,  siang  ini,  di  jadwal  pembagian  tugas  mengintai  mereka  tertulis:  Goughsky  & Yashinta,  menara  9.  Itu  pasti  kerjaan  rekan  peneliti  lokal  yang  bertugas  menyusun  jadwal. Sengaja  benar.  Lihatlah,  dari  beberapa  menara  di  kejauhan,  beberapa  kolega  peneliti melambai-lambaikan  tangan.  Tersenyum.  Mengacungkan  jempol.  Terlihat  jelas  wajah  puas mereka dari teropong.
"Apa kabar bayi-bayinya?" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan.
"Baik!"  Yashinta  menjawab  pendek.  Menyeringai.  Sejak  kapan  mahkluk  setengah  bule setengah melayu ini bertanya soal pribadi? Sambil tersenyum pula? Yashinta mendesis sebal dalam  hati.  Itulah  tabiat  keras  kepala,  jelas-jelas  sejak  dulu  Goughsky  selalu  peduli  dengan anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara.
"Pasti salah satu nama anak itu Delima, bukan?" 
"Bagaimana kau tahu?" Yashinta melipat dahinya. Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu, 
"Yang memberikan nama pasti Laisa, kan? Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan. Jadi  mudah  ditebak,  Laisa  sejak  awal  sengaja  memberikan  nama-nama  batu  permata  ke mereka!"
"Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama Intan?" Yashinta benar-benar melipat dahinya.
"Ssst!"  Goughsky  menyuruhnya  diam.  Dari  kejauhan  terlihat  seekor  burung  terbang  rendah. Teropong-teropong terangkat. Juga  milik peneliti  di  menara  lainnya. Bukan. Itu bukan elang jawa.
"Dari mana kau tahu Kak Laisa? Kak Dali? Intan?"  Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik.
"Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan mereka? Keluarga di lembah indah itu? Sibuk bercerita saat makan malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain peka mendengarnya. Tentu saja aku tahu—"
"Tapi, tapi aku tidak bercerita untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot. Goughsky hanya tertawa, menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu sama saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala.
"Yash,  aku  tidak  tahu  mengapa  kau  sebenci  itu  kepadaku....  Aku  tadi  kan  hanya  bertanya baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana? Kau tidak perlu ketus, bukan?"
"Siapa pula yang ketus?" Yashinta menyergah.
Goughsky  menghela  nafas.  Sudahlah.  Memasang  teropongnya.  Kembali  menyapu  langit hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase lebih penting. Menyiapkan  system  perlindungan.  Mulai  dari  pemetaan  area  konservasi,  sosialisasi  kepada penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang biakkan burung itu di luar ekosistem hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke kebun binatang yang lebih maju misalnya.
Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana akan  dapat?  Jika  Yashinta  hanya  sibuk  menyumpah-nyumpah  dalam  hati.  Yashinta  ingat sekali,  pertama  kali  menara  itu  didirikan,  Goughsky  memberikan  latihan  tentang  insting, bagaimana menemukan elang-elang itu: 
"Kita  tidak  menemukan  mereka....  Merekalah  yang  akan  menemukan  kita....  Berlatihlah mengenali  objek  dengan  baik.  Mengenali  ciri-ciri  fisik  elang  jawa  dengan  sempurna. Kesempatan  melihat  mereka  terbang  di  langit  hanya  beberapa  detik,  dan  kita  tidak  mau menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang jawa atau bukan. Kecuali kalian bisa  menyuruh  elang  itu  untuk  pose  di  langit  sana,  lantas  kalian  mencocokkannya  dengan gambar di buku—" Yang lain sih tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta hanya  menatap  sebal.  Ia  tidak  perlu  diajari  soal  itu.  Sejak  kecil  ia  terlatih  di  hutan.  Belajar langsung dari ahlinya. Tahu  apa  coba mahkluk setengah bule ini soal rimba?
"Tentu  saja  aku  tahu,  aku  dibesarkan  di  hutan  salju  Uzbekistan.  Sendirian.  Yatim  piatu. Menghadapi  kerasnya  belantara.  Umur  dua  belas  tahun  aku  harus  berkelahi  dengan  beruang salju raksasa. Memitingnya dengan tangan ini." 
Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan lengannya yang kekar. Saat itu mereka sedang  menemukan  jejak  beruang  di  lereng  Gunung  Gede.  Menjawab  pertanyaan  kolega peneliti lokal yang bertanya itu jejak apa. Yang  lain  lagi-lagi  terpesona.  Dan  Yashinta  lagi-lagi  menatap  sebal.  Itu  pasti  bohong. Bule  sialan  ini  sengaja  memancing-mancing  emosinya,  karena  semalam  di  basecamp, Yashinta  menceritakan  kejadian  Kak  Laisa  dan  tiga  harimau  di  Gunung  Kendeng.  Mahkluk setengah-setengah  ini  pasti  tidak  mau  kalah  dengannya.  Mengarang  cerita-cerita menyebalkan itu.
"Hati-hati, Yash! Itu sarang landak, biasanya ada sisa durinya."  Goughsky sigap menarik lengan Yashinta.
"Aku  tahu!"  Yashinta  yang  melamun,  menjawab  pendek.  Menarik  kakinya  yang  terlanjur melangkah.
Senja  membungkus  lereng  Gunung  Gede.  Garis  horizon  terlihat  merah.  Kabut  turun melingkupi.  Dingin.  Mereka  beriringan  berjalan  menuju  basecamp.  Kembali  dari  menara  9. Yashinta  memperbaiki  syal  di  leher.  Menyibak  belukar  di  sebelahnya.  Menghindari  sarang landak  itu.  Berdiam  diri  sepanjang  jalan.  Diam-diam  berpikir.  Yang  itu  sebenarnya  ia  tidak tahu.  Bahkan  Yashinta  tidak  yakin  apakah  Kak  Laisa  bisa  mengenali  sarang  landak  hanya dengan  melihat  selintas  di  tengah  remang  senja  seperti  ini?  Melirik  ke  belakang  Goughsky terlihat melangkah santai. Mata birunya terlihat indah di remang senja. Yashinta buru-buru menoleh ke depan lagi.
Kemajuan proyek konservasi elang jawa mereka sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs Yoko  datang  di  bulan  ke  sembilan.  Kunjungan  selama  seminggu.  Langsung  membawa helikopter  pribadi  mereka.  Pasangan  itu  terlihat  senang  memperhatikan  foto-foto,  peta  area konservasi, rencana program sosialisasi, dan sebagainya.
"Kemajuan  yang  baik,  very  well....  Awalnya  aku  cemas  kalian  akan  lebih  sering  bertengkar dibandingkan  mengerjakan  proyek  ini,  my  dear."  Mrs  Yoko  menyentuh  lembut  lengan Yashinta.
"Tidak. Tentu saja kami tidak sibuk bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa diandalkan.... Ia  bisa  menjadi  sekretaris  proyek  yang  baik.  Ia  pandai  sekali  kalau  urusan  catat-mencatat." Goughsky yang menjawab. Sambil tertawa. Yashinta ikut tertawa. 
Dua bulan terakhir, meski ia masih sering bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti batu yang terkena tetesan air, keras kepalanya mulai bisa berlubang dengan sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut tertawa dengan gurauan pemuda Uzbek itu. Tidak sibuk mendesis sebal dalam hati. Dan  itu  bermula  dua  bulan  lalu,  saat  jadwal  pulang  rutin  dua  bulanan  Yashinta  ke perkebunan  strawberry,  bule  itu  berbaik  hati  mengantarnya  ke  bandara.  Menyerahkan  dua ukiran kayu sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan.
"Aku membuatnya sendiri—"
"Tidak  mungkin!" Yashinta  memotong. Bagaimana  mungkin  mahkluk setengah-setengah  ini bisa  mengukir  kayu  seindah  ini.  Dengan  masing-masing  bergambar  beruang  salju  sedang bermain.  Pohon-pohon  cemara.  Bukankah  ia  tidak  pernah  melihat  Goughsky  melakukan kerajinan tangan itu selama di basecamp.
"Aku membuatnya saat kalian masih sibuk mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah Yash sajalah. Percaya atau tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu,
"Berikan  ke  Delima  dan  Juwita,  hadiah  dariku.  Dari  paman  setengah-setengahnya....  Kalau kau  tidak  keberatan,  bisikkan  ke  telinga-telinga  kecil  mereka,  selamat  datang  di  dunia  yang indah."
Sejak saat  itu, Yashinta sedikit  banyak  menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa kecil  Goughsky  benar.  Ayahnya  yang  bekerja  di  Siberia,  salah-satu  teknisi  pengeboran ladang  minyak  di  sana.  Sebelumnya,  ayah  Goughsky  pemah  kerja  di  pengilangan  minyak Arun,  Aceh,  makanya  menikah  dengan  wanita  Indonesia.  Sayang,  tragedi  badai  salju menghabisi komplek ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur enam  tahun.  Yatim  piatu.  Dibesarkan  kerabat  di  pinggiran  hutan  salju.  Makanya  pemuda Uzbek  itu  jauh  lebih  tangguh  dan  tahu  lebih  banyak  tentang  kehidupan  liar  dibandingkan Yashinta. Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya.
Fase  sosialisasi  proyek kepada  penduduk lokal  juga membuat Yashinta menyadari sisi lain  Goughsky.  Pemuda  bule  itu  memang  tidak  sok  akrab,  sok  alim,  dan  sok  sebagainya. Penduduk  yang  suka  sekali  menangkapi  elang  jawa  itu  jauh  lebih  menyukai  Goughsky dibandingkan  peneliti  lokal  lainnya.  Mereka  lebih  menurut  dengan  kalimat-kalimat  pemuda Uzbek  itu.  Yang  meski  saat  memberikan  penyuluhan,  intonasi  melayunya  masih  terdengar agak ganjil. Dan  yang  lebih  penting  lagi,  tentu  saja  Yashinta  mulai  menyadari  kalau  mahkluk setengah-setengahnya itu cukup tampan. Menatap mata birunya.... Jadi sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat rukun, membuat rekan peneliti lokal lainnya lebih sering menggoda, 
"Kalian sejak kapan pacaran?" Maka Yashinta akan melotot marah. 
"Apa  kubilang  dulu?  Bertengkar  sekarang,  bersenang-senang  kemudian!"  Kalau  yang  ini, Goughsky ikutan melempar spidol. Membuat yang lain semakin semangat menggoda.
Seminggu  berlalu,  Mr  dan  Mrs  Yoko  kembali  ke  London  dengan  setumpuk  progress report,  Yashinta  baru  tahu,  saat  Goughsky  kuliah  di  Belanda,  Mr  dan  Mrs  Yoko-lah  yang menjadi  sponsor,  sekaligus  menjadi  anak  angkat  pasangan  tersebut.  Jadi  tidak  mungkin Goughsky sibuk mencari perhatian untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya itu.  Justru  sebenarnya,  Goughsky  lah  yang  merekomendasikan  keluarga  Yoko  untuk mendanai penelitiannya,
Memasuki  bulan-bulan  terakhir  proyek  konservasi  mereka,  kedekatan  Yashinta  dan Goughsky  sudah  sedemikian  rupa  berubah.  Tidak  ada  lagi  seruan-seruan  sebal.  Teriakan-teriakan  marah.  Jawaban-jawaban  ketus.  Bagaimana  tidak?  Saat  Goughsky  harus  presentasi ke  London,  Yashinta  justru  uring-uringan  di  basecamp,  Bosan.  Tidak  seru.  Tidak  ada  yang jahil  dan  mengajaknya  bertengkar.  Selama  dua  minggu  tidak  ada  yang  menatapnya  seperti anak kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya. Benar-benar tidak ada. Terasa sepi. 
Ah,  si  bungsu  keluarga  Lembah  Lahambay,  yang  dulu  muka  imut  menggemaskan miliknya begitu riang  menatap berang-berang  mandi di  sungai,  yang suka  sekali  berlarian dilereng lembah, akhimya jatuh cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal bilang, 
"Gough,  selama  kau  pergi  dua  minggu....  Kau  tahu,  ada  yang  selalu  berdiri  di  menara  9 malam-malam, menatap bulan lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu." Yashinta menimpuk rekan kerjanya dengan sepatu.
"KAU  ada  di  Four  Seasons  Hotel,  Miss  Headstone.  Kamar  suite  terbaik  yang  kami  miliki. Aku manajer hotel ini, ada yang bisa kubantu?" 
Goughsky  nyengir,  menatap  wajah  lebam  Yashinta.  Wajah  yang  mulai  sadar.  Matanya mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang? Seperti biasa, Si Mata Biru  nya  yang  duduk  di  sebelah  lebih  dulu  mengendalikan  situasi.  Menjelaskan  sambil bergurau. Yashinta  berusaha  duduk.  Sakit.  Semua  bagian  tubuhnya  terasa  sakit.  Tapi  ia  bisa beranjak  duduk.  Kaki  kirinya  di  gips.  Tulangnya  ternyata  hanya  retak,  tidak  patah.  Luka  di badannya  sudah  dikeringkan.  Menyisakan  gurat  lebam  membiru  hampir  di  sekujur  tubuh. Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi.
Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal, helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang sedang  ada  urusan  bisnis  di  Indonesia  juga  tiba.  Pasangan  paruh  baya  itu  kebetulan  sedang berada  di  sekitar  Gunung  Semeru.  Berbaik  hati  mengirimkan  helikopter.  Jadi  tubuh  pingsan Yashinta  bisa  segera  dilarikan  ke  rumah  sakit  kota  provinsi  terdekat.  Mendapatkan pertolongan pertama.
"Kau  sama  sekali tidak terlihat cantik  lagi,  Miss  Headstone." Goughsky  nyengir amat  lebar. Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal.
Yashinta tidak menjawab. Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia otomatis  akan  mendelik,  menyahut  ketus,  pura-pura  marah.  Ia  sedang  membiasakan  diri menatap  ruang  rawatnya  yang  terang  benderang.  Matanya  silau  setelah  pingsan  dua  puluh jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.
"Jam berapa sekarang?"
"05.30, masih sempat untuk shalat shubuh—" Yashinta  memejamkan  mata.  Mengangguk.  Kepalanya  masih  terasa  nyeri.  Berusaha mengingat kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru.
Kakinya  yang  menginjak  batuan  getas.  Jatuh,  Menghajar  dahan-dahan.  Entahlah....  ia  lupa. Yang  Yashinta  ingat  ia  justru  sedang  bermimpi  setelah  itu.  Duduk  seharian  melihat  anak berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga Kak  Laisa  menepuk  bahunya.  Mengajak  pulang.  Cahaya-cahaya  itu.  Ia  yang  siuman. Tubuhnya  yang terasa sakit. Kakinya  yang patah.  Mengigit bibir,  berjuang untuk keluar dari lembah  tempat  ia  jatuh.  Melangkah  tertatih  dengan  bantuan  dua  tongkat  kayu  di  tangan. Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa?
"Kak Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
"Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak Laisa  baik-baik  saja,  Kau  tahu,  saat  Profesor  Dalimunte  menelepon,  tiga  monster  sibuk menyela,  sibuk  berteriak  kapan  kau  tiba.  Mereka  seperti  lupa  kalau  Wawak  mereka  sedang sakit keras."
Yashinta tertunduk,  menghela  nafas,  sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan tubuh lemah seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti menunggunya.... Kak  Laisa  yang  selalu  ada  ketika  ia  butuh.  Sekarang?  Saat  Kak  Laisa  sakit  keras  dan membutuhkan adik-adiknya? Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan.
"Kau  jangan  menangis,  Yash."  Goughsky  menelan  ludah.  Meski  dia  tipikal  pemuda  yang suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan ia dengan masa-masa yatim piatu. Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
"Aku harus pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
"Kau  akan  segera  pulang,  Yash.  Pagi  ini  juga.  Aku  berjanji,  paling  lambat  kita  tiba  di Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
"Bagaimana? Bagaimana caranya?"
"Kalau  Wawak  sakit  gini,  nggak  asyik!  Kemarin  nggak  ada  yang  nemenin  kita  keliling perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!" 

Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki kanan Wak Laisa. Mengeluh.
"Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
"Wawak  sakit  apa  sih?  Sudah  dua  hari  kok  nggak  sembuh-sembuh?"  Delima  bertanya, menghentikan gerakan tangannya. Laisa  tersenyum.  Berusaha  memperbaiki  duduknya.  Cie  Hui  membantu,  sekalian membenahi posisi infus dan belalai plastik.
"Kalian  jangan  banyak tanya,  napa.  Kata dokter tadi,  Wak  Laisa  nggak  boleh  banyak  bicara dulu."  Intan  yang  duduk  di  samping  Wak  Laisa  dengan  tissue  di  tangan  menyergah. Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
"Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang  nggak  boleh!" Delima  mendesis sebal dalam  hati. Persis  sekali  ulah  Ikanuri  dulu  waktu  kecil.  Bersungut-sungut.  Meneruskan  mengurut  kaki Wak Laisa.
Mereka  baru  saja  selesai  shalat  shubuh.  Duduk  berkeliling  memenuhi  kamar  Kak  Laisa. Di  luar  semburat  merah  semakin  terang.  Embun  menggantung  di  buah  strawberry  yang memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka yang sejak tadi sibuk protes.
"Kan  kalau  Wawak  sehat,  harusnya  Wak  Laisa  bisa  ngelanjutin  cerita  sebulan  lalu."  Itu keluhan pertama Delima. Ia menunggu cerita-cerita itu.
"Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima.
Tidak  mengerti  soal  kristal-kristal  itu?  Begini,  kalian  mencari  tangkai  rumput  yang lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di daun.  Jangan  sampai  pecah.  Kemudian  diletakkan  di  telapak  tangan.  Membuat  lukisan dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan siapa yang paling indah.
Nah,  karena  sudah  terlanjur  menjelaskan  bagian  yang  ini,  kalian  juga  berhak  tahu jawaban  bagaimana  sebenamya  Mamak  mendidik  anak-anaknya  hingga  menjadi  begitu cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat. Ahklak yang baik. Tentu  saja  semua  itu  hasil  dari  proses  yang  baik.  Tidak  ada  anak-anak  di  dunia  yang instant  tumbuh  seketika  menjadi  baik.  Masa  kanak-kanak  adalah  masa  'peniru'.  Mereka memperhatikan,  menilai,  lantas  mengambil  kesimpulan.  Lingkungan,  keluarga,  dan  sekitar akan  membentuk  watak  mereka.  Celakalah,  kalau  proses  'meniru'  itu  keliru.  Contoh  yang keliru. Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali.
Saat  aku  berkesempatan  mampir  di  lembah  indah  mereka,  saat  bicara  dengan  Mamak yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun (meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu hal:  bercerita.  Mamak  tidak  bisa  memberikan  mekanisme  pendidikan  canggih  selain bercerita.  Keluhan  Delima  pagi  ini  tentang  kelanjutan  cerita  dari  Wawaknya  adalah  warisan mekanisme belajar Mamak tersebut.
Selepas  shubuh,  meski  penat  karena  dua  jam  memasak  gula  aren  di  dapur,  seusai  shalat bersama,  mengaji  bersama,  Mamak  akan  menyempatkan  diri  lima  belas  menit  hingga setengah  jam  bercerita.  Tentang  Nabi-Nabi,  sahabat  Rasul,  tentang  keteladanan  manusia, tentang  keteladanan  hewan  dan  alam  liar  (dongeng-dongeng),  negeri-negeri  ajaib,  dan sebagainya.  Dari  situlah  imajinasi  mereka  terbentuk.  Tidak  ada  gambar-gambar,  karena Mamak  tidak  bisa  membelikan  mereka  buku  cerita.  Juga  tidak  ada  televisi.  Mereka  bisa melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka. Dan proses  bercerita  itu dilengkapi  secara utuh dengan teladan.  Kerja keras. Berdisiplin. Laisa  sejak  umur  dua  belas  tahun,  terbiasa  bangun  jam  tiga  shubuh.  Shalat  malam  bersama Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil Mamak mengajarkan ritus agama yang indah kepada mereka. Shalat maiam salah satunya. 
"Lais,  seandainya  kita  bisa  mengukurnya  seperti  timbangan  beras,  shalat  malam  yang  baik seharga seluruh dunia dan seisinya."
Dengan  teladan  yang  ada  di  depan  mata,  maka  Yashinta  kecil  saat  usianya  menjejak belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh untuk shalat  malam, gadis kecil  itu  melihat Mamak dan  Kakak-kakaknya,  maka  otomatis  ia  ikut.  Kebiasaan  yang  terus  ada  hingga  mereka tumbuh  besar.  Saat  perkebunan  strawberry  memberikan  janji  kehidupan  yang  lebih  baik, Mamak  dan  Kak  Lais  tentu  saja  tak  perlu  lagi  memasak  gula  aren  selepas  shalat  malam.
Waktu  itulah  yang  sering  digunakan  Kak  Laisa  untuk  berdiri  di  lereng  lembah.  Menatap hamparan perkebunan, menghabiskan penghujung malam ditemani Dalimunte Bersyukur atas kehidupan mereka. Apakah dengan cerita dan teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan? Belum tentu.  Lihatlah  Ikanuri  dan  Wibisana,  dua  sigung  itu  tetap  saja  nakal  tapi  pemberontakan masa  kecil  mereka  memang  khas  ulah  anak  kecil  yang  butuh  proses  untuk  mengerti.  Saat cerita-cerita,  teladan,  berbagai  kejadian  itu  berhasil  memberi  sekali  saja  pengertian,  maka mereka  akan  berubah.  Seperti  pagi  ini,  jika  ada  Ikanuri,  maka  yang  menjadi  imam  shalat bukan  Dalimunte.  Ikanuri  jauh  lebih  pandai  mengaji.  Suara  dan  tartil-nya  lebih  baik.  Meski dialah yang paling bandel belajar mengaji dulu.
"Pagi  ini  biar  Eyang  yang  cerita...."  Suara  Eyang  memutus  wajah-wajah  cemberut  Delima dan Juwita. Anak-anak  menoleh. Eyang tersenyum  mendekat. Memperbaiki tudung rambutnya. Naik ke atas ranjang besar Wak Laisa.
"Horee!"  Delima  berseru  senang.  Eyang  sama  jagonya  dengan  Wak  Laisa  kalau  bercerita. Jangan  dibandingkan  Abi  mereka.  Tidak  seru.  Kalau  Abi  yang  cerita,  kebanyakan ngarangnya.
Pagi  itu, saat semburat  matahari  mulai  menerabas  jendela kamar  Kak  Laisa  yang dibuka lebar-lebar. Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa yang terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan cerita. Pagi itu, saat kabut masih mengambang di atas hamparan  merah ranum  buah strawberry, Mamak  bercerita tentang: bidadari-bidadari surga.  Melanjutkan  cerita  Laisa  ke  anak-anak  sebulan  yang  lalu.  Andaikata  di  sini  ada Yashinta, ia akan senang sekali, itu cerita favoritnya waktu kecil. Dan  sungguh di  surga ada  bidadari-bidadari  bermata jeli (Al  Waqiah: 22). Pelupuk  mata bidadari-bidadari  itu  selalu  berkedip-kedip  bagaikan  sayap  burung  indah.  Mereka  baik  lagi cantik  jelita.  (Ar  Rahman:  70).  "Eyang,  cantikan  mana,  bidadari  atau  Delima?"  Delima menyela.  Membuat  Kak  Laisa  tertawa,  meski  kemudian  tersengai.  Intan  meraih  tissue, membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta dengan pedenya akan menyela Mamak, 
"Hm.... Pasti tetap lebih cantik Yash, kan?"
Andaikata ada seorang wanita penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan sesungguhnya  kerudung  di  atas  kepalanya  lebih  baik  daripada  dunia  seisinya  (Hadits  Al Bukhari). 
"Wuih?  Keren.  Memangnya  wangi  bidadari  itu  seperti  apa,  Eyang?"  Delima  sibuk  menyela lagi. 
"Berisik.  Diam  saja  napa,  biar  Eyang  terus  cerita."  Intan  mendelik  galak.  Kak  Laisa  sekali lagi tertawa kecil. Dulu Yashinta juga suka sekali memotong cerita. 
"Bidadari  itu  kan  untuk  perempuan?  Kalau  untuk  anak  laki  nyebutnya  apa,  Mak?"  Dan biasanya Ikanuri yang kesal cerita Mamak dipotong terus menjawab asal, 
"Nyebutnya bidadara.... Bidadara-Bidadara Surga!" Tidak  dulu.  Tidak  sekarang.  Kanak-kanak  selalu  memberikan  respon  yang  sama  atas mekanisme  ini.  Membuat  imajinasi  mereka  terbang,  dan  tanpa  mereka  sadari,  ada pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa diselipkan.
Pagi semakin tinggi. Eyang terus bercerita  hingga  lima  belas  menit ke depan.  Kak  Laisa memejamkan  matanya.  Ia  pagi  ini  benar-benar  merasa  lelah.  Tiga  monster  kecil  ini memberikan  energi  tambahan  untuk  bertahan  lebih  dari  48  jam.  Tetapi  waktunya  tinggal sedikit lagi. Hanya menunggu Yash, adiknya tersayang. Suara  Mamak  berkata  lembut  terngiang  di  telinganya:  bidadari-bidadari  surga,  seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49).... Kak  Laisa  jatuh  tertidur,  dengan  sungging  senyum  dan  satu  kalimat  doa:  Ya  Allah, jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga....
Sementara ratusan kilometer dari arah barat. Helikopter itu melesat dengan cepat. Sebelum  matahari  tenggelam.  Sebelum  semuanya  benar-benar  terlambat.  Yashinta  harus tiba di perkebunan strawberry.
"ADA yang berubah darimu, Yash!" Kak Laisa memainkan matanya. Menahan tawa.
"Apanya?"
"Kau tidak sibuk lagi — " Muka Kak Laisa terlihat jahil.
Yashinta  menyeringai,  sejak  kapan  cqba  Kak  Laisa  macam  Kak  Ikanuri.  Ikutan menggodanya.  Mereka  sedang  duduk  di  ruang  depan  rumah  panggung.  Beramai-ramai. Delima  dan  Juwita  yang  baru  enam  bulan  tertidur  lelap  di  ayunan.  Wulan  dan  Jasmine sebenarnya  membawa  box  bayi.  Tapi  Mamak  sudah  memasang  dua  ayunan  dari  kain, disambung  dengan  tali.  Menjuntai  dari  atap  ruang  depan.  Di  dalamnya  diberikan  bantal-bantal  lembut.  Kata  Mamak,  bayi  lebih  senang  tidur  di  ayunan  kain,  dibandingkan  kotak. Lagipula di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan.
"Sibuk apanya?" Yash  yang  sedang  memangku Intan bingung. Mengangkat bahu. Bukannya semua terlihat biasa-biasa saja.
"Sudah  sehari  kau  pulang,  tapi  kau  tidak  sibuk  Lagi  bilang  Goughsky  yang  menyebalkan. Goughsky yang sok tahu. Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa. Menggoda. Cepat  sekali  muka  Yashinta  memerah.  Seperti  lembayung  senja.  Membuat  Cie  Hui, Wulan, dan Jasmine ikut tertawa.
"Dia tetap menyebalkan, kok. Tetap sok tahu."  Yashinta  menukas  cepat.  Berusaha  mengalihkan  perhatian  dan  muka  merah  padam  dengan memainkan tangan Intan.
"Tetap  memanggilmu,  'Miss  Headstone'?  'Miss  Headstone'!"  Kak  Laisa  menirukan  intonasi Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini. Bahkan Mamak ikut tertawa.
"Ada apa  ini?  Ada sesuatu  yang kami tidak tahu?" Ikanuri  yang  baru  melangkah  masuk dari pintu  depan  bertanya.  Diiringi  Wibisana  dan  Dalimunte.  Mereka  baru  pulang  dari  acara syukuran kecil di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah.
"Tidak  ada  apa-apa,  kok!"  Yashinta  menjawab  sebelum  yang  lain  membuka  mulut.  Melotot kepada Kak Laisa.
"Ya, tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede. Mahkhluk setengah-setengah itu, kan Yash?"
Malam  itu  menyenangkan  menggoda Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali menghindar.  Mengancam  Kak  Laisa  dan  yang  lain  agar  berhenti  bertanya.  Tapi  semakin  ia rnembantah  dan  menghindar,  semakin  ia  menunjukkan  perasaannya.  Membuat  ruang  depan rumah panggung dipenuhi tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di ayunan merengek. 
“Tuh,  kan,  Pada  berisik,  sih."  Yashinta  buru-buru  melangkah  mendekati  ayunan.  Tangisan Delima menyelamatkannya.
Esok hari, saat berjalan  bersisian dengan  Kak Laisa  menemani Intan  mengelilingi  lereng perkebunan.  Berdiri  membiarkan  Intan  yang  sudah  empat  tahun  berjalan  sendiri  tidak  tahu arah. Memetik buah-buah strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang lengan Yashinta lembut.
"Kau menyukainya?"
"Menyukai  apaan sih,  Kak?" Yashinta  yang  segera tahu kemana arah  bicara pura-pura tidak mengerti.
"Kau menyukai Goughsky?" Muka  Yashinta  langsung  tersipu.  Wajah  cantik  itu  kebas,  meski  matanya  terlihat  sekali bercahaya, ditimpa cahaya matahari pagi,
"Kalau  begitu,  apalagi  yang  kau  tunggu?  Umurmu  sudah  33  tahun,  Bahkan  di  bagian  dunia manapun, kau sudah terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!"  Kak Laisa tersenyum. Yashinta  tidak  menjawab.  Wajahnya  yang  menjawab.  Semakin  tersipu.  Berusaha menunduk.
"Akan menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak, dan kami semua bisa berkenalan langsung dengan mahkluk setengah-setengah itu. Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin melihat mata birunya. Apakah itu seindah yang sering kau ceritakan!" Yashinta  terbatuk  pelan.  Entah  hendak  bilang  apa.  Beruntung  Intan  mendekati  mereka, berseru, memutus pembicaraan, 
"Tante, Tante, buahnya besal-besal... Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan Wawak pegang sepaluh, deh!"
Enam  bulan  kemudian,  akhirnya  Goughsky  ikut  pulang  ke  Lembah  Lahambay.  Si  mata biru  itu  menyetujui  ide  Kak  Laisa.  Jadi  saat  Yashinta  malu-malu  mengajaknya,  malu-malu menyampaikan undangan itu, Goughsky mengangguk mantap. Kabar ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh seruan, 
"Wah,  ada  yang  mau  ketemu  dengan  calon  mertua!"  Goughsky  ikut  tertawa  lebar.  Yashinta
masih  saja  tersipu  malu.  Urusan  mereka  sama  seperti  Dalimunte  dan  Cie  Hui,  atau  Ikanuri-Wibisana  dengan  Wulan-Jasmine.  Mereka  tidak  saling  mengungkapkan  perasaan  secara langsung.  Tapi  bukankah  perasaan  itu  tidak  selalu  harus  dikatakan?  Cara  menatap,  cara bertutur sungguh cermin dari isi hati. Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta tidak mengenal proses pacaran. Mereka tahu batas-batasnya.
Jadilah  itu  kunjungan  pertama  Goughsky,  kunjungan  yang  ditunggu-tunggu  Kak  Laisa. Yang celakanya, ternyata justru sekaligus menjadi kunjungan terakhir Goughsky. Pria Uzbek itu seperti biasa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menjawab gurauan  Kak  Laisa  dengan  baik.  Membantu  Yashinta  lebih  santai,  yang  mukanya  sepanjang hari  memerah.  Mengerti  benar  menempatkan  diri  di  hadapan  Mamak,  akrab  dengan  Ikanuri dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan Dalimunte, 
"Tentu  saja  aku  tahu,  Yash....  Aku  sudah  mengenal  Profesor  Dalimunte  ketika  kuliah  di Belanda.  Membaca  banyak  penelitiannya....  Yang  aku  tidak  tahu  dan  benar-benar  tidak menduga selama ini, ternyata Profesor punya adik sekeras kepala kau!"  Tertawa. Dan sebelum senja tiba, Goughsky sudah menjadi 'paman' yang hebat buat Intan.
Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan dengan  Kak  Laisa,  menggendong  Intan  di  bahu,  melewati  jalur-jalur  batangstrawberry.  Saat Kak  Laisa  bilang  tentang:  apalagi  yang  kalian  tunggu.  Goughsky  mengangguk.  Dia  sudah mengenal dengan baik keluarga ini dari cerita-cerita Yashinta di basecamp. Dan keluarga itu juga  sudah  mengenal  baik  dirinya  juga  melalui  cerita-cerita  Yashinta  di  perkebunan  setiap pulang. Dia menyukai Yashinta, bahkan sejak pandangan pertama di London. Goughsky menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu?
Maka  malam  itu  Goughsky  melakukan  kesalahan  fatal.  Karena  dia  amat  yakin  Yashinta juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga. Tanpa  bicara  terlebih  dahulu  dengan  Yashinta,  ketika  mereka  berkumpul  di  ruang  depan rumah panggung, sambil menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta. Saat Goughsky mengatakan kalimat, 
"Umurku  enam tahun saat  Ayah-Ibu pergi ditelan badai  salju.... Bertahun-tahun  hidup tanpa keluarga....  Sesak  atas  kerinduan  memiliki  ayah,  ibu,  kakak,  adik,  sebuah  keluarga...  Baru sehari  di  sini,  tidak  pernah  kubayangkan,  seperti  menemukan  kembali  makna  keluarga  yang utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga.... Malam  ini,  ijinkan  aku  belajar  kata-kata  itu,  ijinkan  aku  menjadi  bagian  dari  keluarga  ini.... Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...."
Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk merengek minta dibuatkan ukiran beruang  salju  juga  diam.  Mamak  menatap  wajahGoughsky  lamat-lamat.  Lantas  menoleh  ke arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya, terharu. Cie Hui  menggenggam jemari Dalimunte. Tersenyum.  Ikanuri  dan  Wibisana  sih  nyengir  lebar,  lumayan,  tapi  masih  saktian kalimat mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine. Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang entah mengapa justru diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia tidak melarang, tapi juga tidak menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik, bertanggung-jawab,  pandai  membawa  diri,  dan  saling  menyukai,  itu  sudah  cukup.  Sisanya bisa dicari saat menjalani pernikahan.
Lima  belas  detik  senyap.  Sekarang  semua  menoleh  ke  arah  Yashinta.  Dan  celakanya, gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati pintu depan. Menuruni anak tangga. Berlarian menuju lereng perkebunan.
"YASH!"  Goughsky  terkesiap,  bangkit  berdiri,  hendak  mengejar.  Bingung.  Tidak  mengerti. Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini? Ada apa dengan Miss Headstone-nya?
"Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak Laisa  tahu  permasalahannya.  Biar  ia  yang  mengajak  bicara  Yashinta.  Goughsky  yang  tidak terlalu  paham  masalahnya  justru  akan  membuat  semuanya  menjadi  puing  tidak terselamatkan. Membuat rasa suka itu menjadi kebencian. Yashinta  keras  kepala.  Gadis  itu  sejak  kecil  amat  keras  kepala.  Sekali  ia  mengambil keputusan,  maka  butuh  waktu  lama  melunakkannya.  Kak  Laisa  tahu  betul  itu.  Urusan  ini benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu.
"Kau  menyukainya?"  Kak  Laisa  bertanya  tegas.  Memegang  lengan  Yashinta  yang  duduk menjeplak di lembabnya tanah. Bulan sabit seperti digelantungkan menghias langit. Bintang-gemintang.  Wangi semerbak perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam.  Menyeka matanya yang basah.
"Kau menyukainya atau tidak?" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa.
"Kakak  tahu  sekali  apa  yang  kau  pikirkan,  Yash....  Tahu  sekali....  Apa  yang  dulu  Kakak sering  bilang?  Kau  tidak  usah  menunggu  Kakak....  Menunggu  sesuatu  yang  mungkin  tidak akan—"
"Tapi  harusnya  Goughsky  bilang  ke  aku....  Bilang  sebelum  menyampaikannya  ke  Mamak!" Yashinta memotong.
"Apa  bedanya,  Yash?  Kau  jelas  menyukai  Goughsky.  Bukan  itu  masalahnya,  kan?  Bukan soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan?" Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya.
"Kalau kau  marah  Goughsky tidak  bilang dulu, kau sepatutnya  marah pada  Kakak... Karena Kakak lah yang memintanya melakukannya segera." Kak  Laisa  mendekap  lembut  bahu  adiknya.Menatap  hamparan  perkebunan.  Senyap. Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga truk di sana. Berjejer.
"Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah—" 
"Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak.
"Kau  tidak  perlu  menunggu  Kakak?  Ya  Allah,  berapa  kali  lagi  Kakak  harus  bilang  hingga kau akhirnya mengerti?"
"Yash tidak akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala.
"Tidak  ada  yang  tahu  kapan  Kakak  akan  menikah,  Yash.  Tidak  ada  yang  tahu....  Bahkan mungkin  Kakak  ditakdirkan  tidak  akan  pernah  menikah....  Kau  harusnya  tahu  persis  itu." Suara  Kak  Laisa  serak.  Menatap  wajah  adiknya  lamat-lamat.  Adiknya  yang  sekarang  mulai terisak. Membuat Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit,
"  Ya  Allah,  setelah  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  apa  aku  harus  selalu  menanggung penjelasan  ini  kepada  mereka....  Ya  Allah,  apa  aku  harus  selalu  menjadi  penghalang pernikahan  adik-adikku....  Lais  sungguh  ihklas  dengan  semua  keterbatasan  ini,  Ya  Allah. Sungguh,...  Biarlah  seluruh  bukit  dan  seisinya  menjadi  saksi,  Lais  sungguh  ihklas  dengan segala  takdirMu....  Tapi  setiap  kali  harus  mengalami  ini,  menjadi  penghalang  kebahagiaan mereka...." Suara Kak Laisa menghilang di ujungnya. Getir.
Dan  Yashinta  seketika  menangis  tertahan.  Memeluk  Kak  Laisa  erat-erat.  Untuk  pertama kalinya,  kalimat  seperti  itu  meluncur  dari  mulut  Kak  Laisa.  Kalimat  penjelasan.  Sepenuh hatinya.  Semua  ini  memang  benar-benar  sederhana  baginya.  Kesendirian.  Rasa  sepi. Kerinduan.  Semua  itu  benar-benar  sederhana  baginya.  Ia  merasa  cukup  dengan  segalanya....
Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-adiknya.... Tetapi pembicaraan di lereng perkebunan itu tidak  berguna.  Meski  tahu  secara utuh apa yang ada di kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun. Keras  kepala.  Apa  yang  dulu  dibilang  Ikanuri  benar.  Yashinta  belum  mengalami  sendiri betapa  susahnya  memutuskan  untuk  menikah,  melintas  Kak  Laisa.  Apalagi  dengan  fakta menikahnya  Yashinta,  maka  sempurna  sudah  Kak  Laisa  dilintas  oleh  seluruh  adik-adiknya. Itu  sungguh  bukan  keputusan  mudah.  Dengan  semua  yang  telah  dilakukan  Kak  Laisa  demi mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya.
Besok  pagi,  Goughsky  yang  mendapatkan  penjelasan  dari  Kak  Laisa  dan  Dalimunte pulang  lebih  dulu.  Rekan-rekan  peneliti  di  basecamp  urung  menggodanya  saat  tiba.  Wajah lelah  dan  kusut  Goughsky  menjelaskan  banyak  hal,  Yashinta  tiba  tiga  hari  kemudian. Langsung  mengemasi  barang-barang.  Memutuskan  keluar  dari  proyek  konservasi.  Lebih banyak  diam.  Matanya  sembab.  Mereka  berdua  sempat  bicara  sebentar  di  malam  sebelum kepulangan Yashinta ke Bogor.
"Maafkan  aku  yang  tidak  mengajakmu  bicara  lebih  dulu."  Goughsky  menatap  bulan  yang mulai penuh. Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin di  hati.  Ia  dari  tadi  ingin  sekali  menatap  wajah  si  mata  birunya.  Tapi  mati-matian  menahan diri.
"Maafkan  aku  yang  tidak  mengerti  situasinya....  Meski  mungkin  aku  tidak  akan  pernah mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...." Yashinta tetap diam.
"Yash, aku akan tetap menunggu....  Aku sungguh mencintaimu, entah   bagaimana aku harus melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... "
Yashinta  menggigit  bibir.  Bagaimanalah?  Kalau  saja  ia  tidak  menahan  diri,  dari  tadi  ia sudah  menghambur  di  pelukan  mahkluk  setengah-setengahnya.  Bilang  betapa  ia  juga  amat mencintainya.  Tapi  ia  tidak  akan  pernah  bisa  melintas  Kak  Laisa.  Hubungan  ini  tidak  akan berhasil.  Jika  mereka  tidak  bisa  bergerak  ke  fase  komitmen,  pernikahan,  maka  lebih  baik  ia mundur.  Lebih  baik  mereka  saling  menjauh.  Menunggu.  Menunggu  hingga  kapanpun, Yashinta  tertunduk.  Bagaimanalah  ia  akan  melintas?  Setelah  begitu  banyak  kebaikan  Kak Laisa?
Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak Laisa yang menggendongnya pulang dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak memanggil Mamak. Gemetar meletakkannya di bale bambu. Berbisik. 
"Kakak  mohon,  bangunlah  Yash"  Kak  Laisa  yang  bahkan  tulus  menukar  nyawanya  demi kesalamatan adik-adiknya. Kak Laisa yang mengajarinya tentang alam, 
"Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat. 
"Kau  tahu?  Saat  ada  ular  pemangsa  yang  mengancam  sarangnya,  saat  ada  hewan  buas  lain yang  mengincar  anak-anaknya,  induk  kukang  akan  habis-habisan  mempertahankan  sarang. Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak kukang  digabungkan,  itu  menjadi  racun  mematikan.  Yang  akan  membunuh  ular  atau pemangsa  lain  saat  memakan  tubuhnya....  Kau  tahu  apa  gunanya  pengorbanan  itu?  Agar anak-anaknya tetap selamat. Induk kukang mati bersama dengan pemangsanya!"
Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi saat Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak. Tapi saat kuliah di Belanda, bahkan prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang tersebut. Juga beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa, yang mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari alam liar. Dan  mungkin  kebijakan  seperti  itulah  yang  dimiliki  Kak  Laisa,  mengorbankan  seluruh hidupnya demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah.
"Kaubawa  ini,  Yash!"  Goughsky  yang  berdiri  di  sebelahnya  mengulurkan  sesuatu.  Seuntai kalung, berhiaskan delima.
"Itu  milik  Ibu-ku.  Satu-satunya  yang  tersisa  di  rumah  kami  saat  badai  salju  itu  pergi....  Aku akan selalu menunggumu... Hingga kapanpun..." Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu pembicaraan mereka enam bulan lalu.
Enam  bulan  sebelum  SMS  Mamak  terkirimkan.  Yashinta  memutuskan  untuk  memulai proyek  sendiri.  Konservasi  alap-alap  kawah.  Peregrin.  Pergi  ke  Gunung  Semeru.  Goughsky juga  berhenti  dari  proyek  konservasi  elang  mereka.  Tidak  kuasa  melihat  jejak  Yashinta  di mana-mana.  Membuat  Mr  dan  Mrs  Yoko  berteriak-teriak  tidak  mengerti.  Kabar  baiknya proyek  mereka  sudah  selesai  di  bulan  kedua  belas.  Hanya  tinggal  masa  transisi  sebelum diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede.
Kak  Laisa  sejak  pembicaraan  di  lereng  itu  tidak  banyak  lagi  membujuk  Yashinta.  Dia sudah  amat  lelah.  Kalimat  terakhir  yang  diucapkarmya  di  lereng  waktu  itu  menjelaskan betapa  lelahnya  Kak  Laisa.  Kanker  paru-paru  nya  sudah  stadium  III.  Semakin  ganas.  Susah payah  Kak  Laisa  menyembunyikan  penyakit  itu  di  hadapan  adik-adiknya.  Meminum  obat berkali-lipat  dosis  normal  menjelang  jadwal  pulang  dua  bulanan  mereka.  Ia  selalu  ingin terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota provinsi. Tetapi  energi  yang  hebat  itu,  kecintaan  atas  adik-adiknya,  rasa  cukup  dan  syukur  atas hidup dan kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang semakin  lemah. Sebulan yang  lalu,  ia  terjatuh  di  lereng  perkebunan.  Di  tandu  pulang.  Kak  Laisa  menolak  dirawat  di rumah sakit, jadi peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan dari sana. Dua hari lalu, setelah bertahan selama seminggu dengan infus dan belalai plastik, SMS itu terkirimkan. 
"Pulanglah.  Sakit  kakak  kalian  semakin  parah.  Dokter  bilang  mungkin  minggu  depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."

SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu. Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup. Aku  yang  menerima  SMS  dari  Mamak  Lainuri  dua  hari  lalu,  di  senja  itu  akhirnya  tiba (sesungguhnya  ada  lima  sms  yang  terkirimkan;  satu  untukku).  Berdiri  sejenak  di  atas  bukit tertinggi  Lembah  Lahambay.  Memarkir  motor  besarku  di  jalanan.  Jalan  selebar  tiga  meter yang  sekarang  beraspal  mulus.  Tentu  saja,  bagianku  tidak  terlalu  penting  di  keluarga  ini.
Hanya turis  yang pernah  mampir. Pertama kali  singgah,  begitu terpesona  melihat kehidupan mereka.  Begitu  terpesona  melihat  lembah  mereka.  Begitu  terpesona  melihat  apa  yang  telah dilakukan keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di rumah Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu. Turis yang selalu singgah dengan ransel besar di punggung.
Lihatlah,  sore  ini  sempurna  merah.  Langit  terlihat  merah.  Awan-awan  putih  terlihat memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa melihat  kanopi  pepohonan. Hamparan   perkebunan strawberry sejauh  mata  memandang. Di  batasi oleh  sungai  besar dengan cadas  setinggi  lima meter itu. Di batasi kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang melenguh di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya. Dari atas bukit  ini, empat desa  yang terdapat di  lembah  itu terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah  semi  permanen  yang  asri.  Seperti  villa-villa  indah.  Satu  dua  lampu  rumah  mereka mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang mengaji  di  surau  terdengar.  Menunggu  saat  adzan  maghrib  setengah  jam  lagi.  Ayat-ayat  itu terdengar menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar. Buah  strawberry  terlihat  merah  di  seluruh  tepian  perkebunan,  ranum  menggoda.  Aku lembut  memetiknya  satu.  Menciumnya  lekat-lekat.  Buah  yang  besar.  Tersenyum. Memasukkan  buah  itu  ke  saku  jaket.  Nanti  akan  bilang  ke  Mamak  Lainuri,  aku  baru  saja memetik  satu  buah  strawberry  mereka.  Belum  halal  di  makan  kalau  belum  bilang.  Dan Mamak sambil tersenyum akan bilang, 
"Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang ke  sini....  Dan  selalu  saja  merasa  wajib  untuk  bilang  sudah  memetiknya....  Kau  bagian  dari keluarga ini, anakku..."
Keluarga  yang  menyenangkan.  Meski  mungkin  sore  ini,  suka  atau  tidak  suka,  siap  atau tidak,  waktu  yang  berputar  akan  mengambil  seseorang,  akan  mengakhiri  kisah  hidupnya. Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali menaiki  motor besarku. Menghidupkan  mesin. Menderu. Meski derumnya  lembut, tapi amat bertenaga.
Tapi  ada  yang  lebih  menderu  lagi.  Lebih  bising.  Aku  menolehkan  kepala  ke  garis cakrawala,  helikopter  itu  mendekat.  Terbang  rendah  dengan  kecepatan  penuh.  Membawa anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima bersaudara, Aku  tersenyum  lebar,  lantas  menekan  pedal  gas,  meluncur  menuju  rumah  panggung  itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang indah.
Satu  jam  lalu,  saat  Intan,  Juwita  dan  Delima  duduk  melingkar  di  ranjang  besar  Wak Laisa.  Menunggui  bersama  yang  lain,  sibuk  bercerita  tentang  sekolah  masing-masing  (Wak Laisa  yang  meminta  mereka  bercerita).  Sibuk  melaporkan  ponten  masing-masing.  Sibuk melaporkan  soal  'Safe  The  Earth'.  Hamster  belang  Intan  tiba-tiba  ikut  loncat  ke  ranjang. Mengagetkan  yang  lain.  Tertawa.  Tapi  bagi  Laisa  yang  sudah  lelah,  kaget  sekecil  itu membuatnya tersengal. Peralatan medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus. Dokter segera mengambil alih urusan.
"RIO  JAHAT!"  Intan  berteriak  sambil  menangis.  Mencengkeram  hamstemya,  bersiap melemparkannya lewat jendela.
"Jangan,  sayang....  Jangan  dilempar—"  Cie  Hui  berusaha  membujuk,  berusaha  menarik tangan putrinya,
"Rio  Jahat,  Ummi!  Rio  bikin  Wawak  pingsan!  Intan  benci!"  Gadis  itu  tidak  mendengarkan. Maka rusuh dokter mengembalikan   kesadaran   Laisa, rusuh pula yang lain membujuk Intan agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster belangnya.
Setengah  jam  berlalu,  situasi  berangsur-angsur  terkendali,  meski  tetap  tak  sadarkan  diri, nafas  Kak  Laisa  kembali  normal.  Hamster  belang  itu  juga  urung  dilempar,  terlanjur  loncat dan  kabur  duluan  saat  Intan  masih  bersikukuh  hendak  menghukumnya.  Juwita  dan  Delima sekarang  duduk  di  pojok  kamar.  Takut-takut  Mereka  amat  gentar  melihat  Wak  Laisa-nya yang  mendadak  kejang-kejang.  Melihat  Dalimunte  yang  berteriak  cemas.  Abi  mereka  yang berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung.
Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa amat  bersalah.  Semua  ini  gara-gara  hamster  belang  miliknya.  Berjanji  dalam  hati  akan menghukumnya besok lusa. Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang,  membelai  lembut jemari  Kak Laisa  yang  mulai membiru.  Menatap  wajah  sulungnya  lamat-lamat.  Wajah  yang  tetap  tak  sadarkan  diri.  Usia Mamak  saat  itu  sudah  tujuh  puluh  sekian,  Mamak  mengerti  hanya  keajaiban  yang  bisa menyelamatkan Laisa. Saat  itulah,  helikopter  itu  tiba.  Suara  baling-balingnya  sampai  lebih  dulu.  Menderu. Lantas  mendarat  di  halaman  gudang  pengalengan.  Empat  ratus  meter  dari  rumah  panggung. Membuat  Mamak  menoleh.  Siapa?  Itu  suara  apa?  Juga  Cie  Hui,  Wulan,  dan  Jasmine  yang tidak tahu apa kabar Yashinta selama 48 jam terakhir.
"Itu Yashinta — "  Dalimunte  berkata  pelan.  Menelan  ludah.  Menghela  nafas  lega.  Akhirnya  adik  bungsu mereka tiba.
Ikanuri  dan  Wibisana  menuruni  anak  tangga.  Menghidupkan  mobil  modifikasi  mereka. Meluncur  menjemput  ke  gudang  pengalengan.  Sama  seperti  Dalimunte,  mereka  sudah  tahu Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky. Maka  tidak  seperti  yang  lain,  yang  datang  terburu-buru.  Bergegas  belarian  di  atas  anak tangga. Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri dan  Wibisana.  Tertatih-tatih.  Berkali-kali  terhenti.  Goughsky  melipat  kursi  dorongnya. Membawanya  menaiki  anak  tangga.  Membukanya  lagi  di  beranda  depan.  Yashinta didudukkan  kembali  di  kursi  roda.  Mata  gadis  itu  sembab,  sejak  dari  rumah  sakit  ia menangis.  Tidak  sabaran  dengan  kecepatan  maksimal  helikopter.  Mendesah  berkali-kali.
Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat. Menatap resah hamparan biru lautan, wajah Kak Laisa yang terukir di gumpalan awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut. Kursi dorong itu tiba di daun pintu kamar. Mamak  bangkit  dari  duduknya.  Tidak  sempat  bertanya  kenapa  Yashinta  datang  dengan kaki  mengenakan  gips.  Tidak  sempat  melihat  seksama  tubuh  putri  bungsunya  yang  lebam. Mamak langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah. Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa Mamak membimbing kursi roda Yashinta mendekati ranjang Kak Laisa.  Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan membuka matanya saat Yashinta menyentuh lembut jemari kakaknya,
"Kak Lais—" Serak Yashinta memanggil kakaknya. 
"Yash? ...." 
"Kak Lais-"
"Yash... Itu Yash?  Kau sudah tiba, Yash?  Kau ti-ba?" Percuma,  meski  membuka  mata, Kak Laisa  sudah  tidak  bisa  melihat  lagi.    Kesadarannya    sudah    habis.  Matanya  hanya  melihat gelap.
"Kak  Lais—"  Yashinta  berseru  tertahan.  Gemetar  menciumi  jemari  kakaknya  yang  pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma, membantu Mamak memasak gula aren,  merawat satu persatu batang  strawberry. Menciumi tangan  yang  legam, yang dulu sering terpanggang matahari.
"Mendekat, Yash.... Mendekat kemari...."  Kak  Laisa  berbisik.  Suaranya  antara  terdengar  dan  tidak.  Dokter  ingin  bilang  ke  Dalimunte agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu.
Biarlah  Laisa  sempurna  di  kelilingi  orang-orang  yang  amat  dicintainya  dan  mencintainya  di penghujung waktunya. Yashinta  mendekatkan  mukanya.  Membiarkan  Kak  Laisa  meraba.  Merasakan  pipi adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya yang terbungkus perban. Melihat wajah adiknya dengan ujung-ujung jari.
"Dali....  Di  mana  Dali—"  Kak  Laisa  lemah  memanggil  Dalimunte.  Ia  ingin  mereka  semua ada di sampingnya sekarang.
"Saya  di  sini,  Kak."  Suara  Dalimunte  parau.  Menyaksikan  Yashinta  menangis  sudah membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk di sebelah Yashinta. 
"Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah. Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte.
"Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung itu?" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu sama  saja  dengan  keluarnya  bercak  darah  yang  lebih  banyak.  Mamak  mengelapnya  dengan lembut, tangannya bergetar.
"Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan Kak Laisa sambil menangis. 
"Ini,  ini  Wibisana....  Wibisana  di  sini—"  Wibisana  ikut  duduk  di  sebelahnya.  Menyentuh jemari Kak Laisa.
"Intan.... Juwita.... Delima...." Intan  menarik  tangan  adik-adiknya  mendekat.  Intan  menyeka  matanya  yang  basah.  Naik  ke atas ranjang. Tangan  Kak  Laisa  mengusap  wajah  tiga  monster  kecil  itu.  Juwita  dan  Delima  masih takut-takut.  Tapi  pemahaman  itu  datang  dengan  cepat.  Mereka  menatap  amat  sedih  wajah Wawak yang meski matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi.
"Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan Mamak. Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya.
"Ya Allah, terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan.... 
"Ya  Allah,  Lais  sungguh  ihklas  dengan  segala  keterbatasan  ini,  dengan  segala  takdirmu.... Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik...." Nafas Kak Laisa tersengal. Satu dua.
"Yash-"
"Yash di sini, Kak." Yashinta memegang lembut tangan Kak Laisa.
"Kau pulang bersama si mata biru mu?" Yashinta mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
"Menikahlah,  Yash....  Sekarang—"  Kak  Laisa  tersengal.  Nafasnya  benar-benar  tidak terkendali lagi. 
"Biar,  biar  Kak  Laisa  masih  sempat  melihat  betapa  bahagianya  kau....  Biar,  biar  Kak  Laisa masih sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita." Yashinta tersedu. Menciumi jemari kakaknya. Bagaimanalah ini? Bagaimanalah?
Yashinta  patah-patah  menoleh  ke  Mamak.  Mamak  mengangguk  pelan.  Menoleh  ke Dalimunte. Dalimunte mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan Wibisana, dua sigung  itu  tidak  memperhatikan,  lebih  sibuk  mengendalikan  perasaan.  Lebih  emosional dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak Laisa. Terisak.
Menoleh  ke  arah  Goughsky.  Pemuda  Uzbek  itu  mengusap  wajahnya.  Menggigit  bibir menahan  rasa  sesak  menyaksikan  semua  ini  sejak  masuk  kamar  tadi.  Goughsky  menyeka matanya.  Lantas  melangkah  mantap,  mendekat.  Menyibak  adik-kakak  yang  duduk  berjejer. Duduk di sebelah Yashinta.
"Aku akan selalu mencintaimu, Yash." Berbisik, meyakinkan. Yashinta tertunduk. Menggigit bibir. 
"Menikahlah, Yash—" Kak Laisa tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk. Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar.  Berpendar-pendar  jingga.  Sungguh  senja  itu  wajah  Kak  Laisa  terlihat  begitu  bahagia. Mungkin seperti itulah wajah bidadari surga.
Lima  menit  kemudian  pernikahan  itu  dilangsungkan.  Dalimunte  yang  menjadi  wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung lainnya menjadi saksi. Pernikahan terakhir di lembah indah mereka. Seusai  Goughsky  mengucap  ijab-kabul.  Saat  Yashinta  menangis  tersedu.  Ketika  Mamak menciumi  kening  bungsunya  memberikan  kecupan  selamat.  Saat  yang  lain  buncah  oleh perasaan  entahlah.  Semua  perasaan  ini....  Saat  itulah  cahaya  indah  memesona  itu  turun membungkus  lembah.  Sekali  lagi.  Seperti  sejuta  pelangi  jika  kalian  bisa  melihatnya.  Di sambut  lenguhan  penguasa  Gunung  Kendeng  yang  terdengar  di  kejauhan.  Kelepak  elang yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca.  Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas  mengambang di atas ranjang.  Lembut menjemput. Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali. Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya Bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya.

Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan  sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik  jelita.  (Ar  Rahman:  70).  Suara  Mamak  berkata  lembut  saat  kisah  itu  diceritakan pertama  kali  terngiang  di  langit-langit  ruangan:  bidadari-bidadari  surga,  seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaaffaat: 49)....

»»  READ MORE...