Selasa, 03 Juli 2012

Kemuning Senja di Beranda Mekkah (part 3)

LANJUTAN

Jodoh adalah rahasia Allah. Ia, seperti juga rezeki bila datang dan pergi bisa lekas atau lambat terkandung suratan di Al-Lauh Al-Mahfuzh banyak orang salah didalam memprediksikannya, menduga-duga apalagi meramalkannya.

Semenjak kecil, Rafiqah mengidolakan Aziz, Ia membayangkan betapa bahagianya bila suatu saat menjadi istrinya. Harapan itu bukan hanya berasal dari hasrat sesaat atau apa yang orang bilang sebagai cinta monyet tapi hasrat yang tumbuh justru dari ketulusan cita-cita-nya. Sejak mengenal hakikat islam menyelami dan mendalaminya dalam pengajian yang diasuh oleh Ustad Qamaruddien, Rafiqah sudah sangat mengharapkan sebuah kehidupan yang dihembusi nafas islam secara jernih itu tak ia dapatkan dalam keluarnya namun ia ingin mewujudkannya kelak bila ia berumah tangga itulah sebabnya ia begitu antusias dan menggebu-gebu mengemukakan prinsipnya kepada orang tua & saudara-saudara-nya.

Ia mendapatkan penentangan keras dan akhirnya itulah yang berakibat ia harus menikah dengan Pram, tapi Allah sungguh memahami kebeningan hasratnya. Pram justru akhirnya menjadi karunia yang begitu indah baginya karena yang membuat hidupnya menjadi semakin indah memesona. Hasrat itu, dulu ia harapkan dari Aziz karena baru dia Pria yang dikenal Rafiqah yang amat ia kagumi karena kehalusan budi pekertinya karena kedekatannya kepada Allah. Meski Aziz harus melewati banyak fase perubahan pemikirannya dalam memahami islam namun ia pria yang deket dengan as-sunnah nyaris seluruh perjalanan panjang itu, telah diketahui dan disaksikan sendiri oleh Rafiqah. Ia sangat mengaguminya.

Kekaguman itu semakin menjelma menjadi cinta, saat ia melihat Aziz sangat menjauhi pergaulan yang bisa merusak citra keislaman dan ketaatannya kepada Allah. Meski mengenal Rafiqah secara dekat sejak kecil ia slalu menjaga pandangan matanya agar tidak bertatapan lama dengannya. Bila berbicara tentang hal-hal yang penting dengan Rafiqah ia selalu menundukkan pandangannya bukan hanya terhadap Rafiqah tapi juga terhadap semua wanita. Sikap santun dan waranya itu tak menghalanginya untuk tetap menolong siapa pun yang membutuhkan pertolongan untuk tetap bersikap baik kepada siapapun. Sungguh jarang pria muslim seperti itu dimasa sekarang ini karena itulah benih-benih cinta tulus bersemi dalam dirinya namun seperti juga Aziz, Rafiqah berusaha menjaga diri dari maksiat. Ia hanya berharap bila memang jodohnya, ia ingin menjadi istri Aziz. Atau pria yang taat dan shalih seperti Aziz, ia mengungkapkan cita-cita-nya itu kepada orangtua agar mereka siap bila suatu saat ia memilih jodoh pria muslim yang shalih dan senantiasa taat pada hukum dan syariat Allah namun kedua orangtuanya justru resah karenanya. Bagi mereka rumah tangga yang dibayangkan oleh Rafiqah adalah neraka bagi keluarga Broto susilo membayangkan bahwa segala yang terjadi dilingkungan keluarga besar itu akan dihujat, dikritik dan disorot karena dipandang haram, syubhat atau melanggari aturan islam, sungguh sebuah ketakutan luar biasa.

Lebih dari rasa takut rasa menghadapi ancaman perampok atau pencuri yang nyelonong kedalam rumah mereka. Akhirnya, Allah menetapkan hal yang diluar prasangka. Ia menikah dan hidup sesaat dengan Pram, sosok pria yang jauh dari yang ia idamkan selama ini namun ternyata takdir pun berkehendak lain Pram berbalik arah menuju keshalihan. Ia lebur dalam ketabahan Rafiqah mengajak dan memotivasi dirinya untuk semakin dekat kepada ajaran islam. Hatinya luluh, Ia akhirnya menjelma menjadi suami bertanggung jawab atas keselamatan dirinya dan istrinya dari kemurkaan Allah diakherat kelak. Ia mengubah gaya hidupnya, ia semakin tekun beribadah semakin rajin menuntut ilmu agama dan semakin berupaya menjauh dari segala bentuk maksiat sikap itu ia pertahankan hingga ajal memjemputnya.

Kini takdir menggiringnya seolah-olah menuju pusaran waktu dimasa lalu tanpa diduga Aziz datang melamarnya justru setelah ia hidup menjanda dan dengan restu suaminya melalui pesan mulia yang ia sampaikan sebelum wafat. Aziz sungguh sosok pria yang dikehendaki Pram untuk menjadi suaminya yang ia tak boleh -menurut pesan suaminya untuk menunda-nunda menikah dengannya. Rencana lamaran itu disampaikam melalui Heryani sahabat dekatnya itu dan akhirnya dipagi yang cerah itu akad diberlangsungkan dengan khidmat. Hendra saudara kandung Rafiqah yang bertindak sebagai walinya.

Beragam rasa berkecamuk dalam jiwa Rafiqah, Ia tak tahu apakah saat itu ia sedang berbahagia atau sedang diamuk duka. Sangat sulit dijabarkan dengan kata-kata ada keharuan dan kesedihan yang menyatu dalam kalbu karena ia harus segera melupakan Pram dan mengalihkan segala kepatuhannya sebagai istri kepada suami barunya Aziz. Kecintaannya terhadap Pram menyisakan romansa indah yang terus membayang-bayang namun juga ada kebahagiaan dan keharuan yang juga menyatu dalam jiwanya karena ia akan menikah dengan pria yang dahulu sangat dicintainya. Dicintai karena keluhuran akhlak dan kebagusan agamanya.

Menjadi istri Aziz adalah angan-angannya sejak lama. Right man in the wrong time? Tidak. Aziz adalah suami yang pas sesuai idamannya. Hanya hatinya yang masih terlalu rapuh meski ia berharap akan dapat menatanya selekas mungkin. Maka Rafiqah tak bisa lagi menyimpulkan apa yang sesungguhnya berkerumun dalam hatinya sekaran ini. Mungkin mirip dengan nuansa perasaan gadis pingitan yang amat dekat dengan ibu bapaknya namun ia sejak lama ingin menikah saat akhirnya ia harus menikah betulan. Ia berbahagia karena menikah tapi bersedih karena harus berpisah tidak tinggal bersama lagi dengan ke 2 orang tuanya...

"Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah-lah yang bemberi rezekinya dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semua tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)."(HUD:6)

Jodoh adalah rezeki, Allah yang berhak menetapkannya...

  • HAL-HAL YANG TAK TERDUGA

Kehidupan bergulir dengan atau tanpa restu manusia. Gelap dan terang datang silih berganti, dingin dan panas, sepi dan ramai, kesejukan dan kehangatan, datang dan pergi susul menyusul. Kemudahan dibalikan kesukaran adalah kepastian, mendaki setelah menurun atau menurun setelah menanjak juga hukum alam (sunnatullah) yang tak akan berubah maka bersiaplah untuk bersedih saat anda berbahagia. Nantikanlah saat berbahagia kala anda dilanda duka begitu anda merasakan ketakukan luar biasa disitu kelegaan hati akan menyelinap sesudahnya.

Tentu banyak pria yang memperebutkan janda seperti Rafiqah bila dilihat dari kondisinya yang baru ditinggal suami yang memiliki 2 rumah mewah dilokasi berbeda, beberapa mobil mahal, beberapa unit perusahaan yang masih berkembang serta tanah ratusan hektar diwilayah pedesaan maju. Janda kaya, itu yang di incar banyak lelaki apalagi ia cantik, alim dan shalihah tapi siapa bilang Rafiqah memiliki semua yang disebutkan itu?

Ia gadis yang cantik dan shalihah itu benar tapi ia memiliki semua kekayaan tersebut? Ternyata tidak, beberapa bulan usai kematian Pram beberapa hari sebelum pernikahan Rafiqah dengan Aziz, keluarga Pram datang mereka bahkan ditemani oleh Pak Broto dan Bu Broto kedua orang tua Rafiqah itu hanya bertugas mengantarkan saja namun tidak dengan keinginan yang sama. Kedua mantan mertuanya bersama mantan-mantan saudara iparnya datang menuntut seluruh kekayaan yang pernah dimiliki Pram tanpa terkecuali. Mereka mengklaim bahwa perusahaan itu adalah perusahaan keluarga yang diputar dan dijalankan oleh Pram padahal jelas tertulis dalam akte-akte kepemilikan kesemuanya atas nama mantan suaminya Pramono Agung Setia, tapi keluarganya bersikap bahwa penulisan nama Pram adalah atas kesepakatan keluarga sebagai formalitas saja. Rafiqah bungkam, ia bisa saja berusaha mengklaim hak-hak-nya melalui notaris dan pengacara tapi ia tak berminat melakukannya sama sekali. Kematian Pram sudah cukup menjadi kesedihan yang melukai jiwanya sekarang. Ia tak ingin kesedihan itu ditumpuk dengan kemarahan, kekesalan dan kebecian.

Rafiqah tahu bahwa itu hanya akal-akalan saja keluarga Pram kaya raya Bapak, Ibu dan saudara-saudara-nya sudah memiliki kekayaan dan asset besar berupa unit-unit usaha dan liabilitas berupa rumah mewah, mobil dan tanah. Bagian yang dikelola Pram memang berasal dari modal yang dihibahkan oleh orang tuanya kepadanya tapi Pram berhasil mengelola dan mengembangkannya menjadi berlipat-lipat hanya dalam 2 tahun saja dan semua itu hak miliknya bahkan jatah modal yang dihibahkan Ayahnya kepadanya jauh lebih kecil dari yang diberikan kepada saudara-saudara-nya namun Rafiqah tak memedulikan itu. Lebih parahnya, rumah berikut mobil-mobil dan seluruh isi rumahnya juga diklaim sebagai milik keluarga Pram saat Rafiqah mengusulkan rumah-rumah dan kendaraan dibagi-bagikan saja sesuai al-faraaidh aturan pembagian warisan dalam islam mereka menolak mentah-mentah sekali lagi Rafiqah mengalah.

Beruntung salah seorang saudara Pram yaitu kakak kandungnya yang bernama Joko memberikan uang tunai kepada Rafiqah sebesar 25 juta rupiah, jumlah yang sangat kecil dibandingkan total harga kekayaan Pram yang bernilai puluhan milyar rupiah untuk itu Rafiqah bersyukur. Untuk yang keterlaluan sedikitnya itu Rafiqah mengucurkan air mata bersama tangis bahagia. Pram adalah hadiah terindah dan harta termahal yang pernah dimilikinya segala materi milik Pram baginya nyaris tak bernilai apa-apa.

Kenyataan itu diungkapkan oleh Rafiqah kepada Aziz saat datang melamar dan Aziz menerimanya dengan lapang dada. Ia ingin menikahi Rafiqah karena keshalihannya bukan karena harta benda yang dia miliki dan ajaib Aziz juga ternyata tak mengetahui kekayaan mantan suami Rafiqah yang cukup besar kecuali ketika Rafiqah menceritakan hal itu kepadanya. Ini poin penting yang membuat Rafiqah semakin terdorong menerima lamaran Aziz. Dengan modal 25 juta itu Rafiqah bersama Aziz memeluai kehidupan rumah tangganya. Babak-babak baru itu pun memuat kisah yang mendebarkan.

"Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan kenikmatan yang memperdayai..."(ALI IMRAN:185)

Bagaimana harus mulai bekerja? Itu yang terlintas dibenak Aziz. Ia orang yang sangat terbiasa bekerja mandiri meski biasanya hanya membantu orangtuanya berjualan dipasar. Ayahnya memiliki sebuah toko bahan yang sederhana dilos sebuah pasar dikawasan Jatinegara, Ayahnya seorang pria berwajah tampan begitu juga Aziz bertubuh kekar dan memiliki rambut semi ikal rambut yang bila disisir sangat rapi dengan menggunakan minyak rambut akan menjadi lurus namun bila dibiarkan terurai begitu saja lebih terlihat ikal. Ayahnya inilah yang menempanya menjadi pekerja keras semenjak kecil. Ditoko kain itulah, Aziz menghabiskan sebagian besar waktunya, selain waktu belajar dan mengaji. Pagi ia belajar hingga siang hari lalu ketoko, sore harinya ia mengaji dan selesai mengaji kembali ketoko jam 8 malam ia baru pulang kerumah. Saat pengajiannya banyak dilakukan pada malam hari Aziz langsung ketoko sepulang sekolah terkadang tak sempat mampir kerumah disitulah ia membantu Ayahnya melayani para bembeli hingga waktu Magrib baru ia pamit untuk menghadiri pengajian-pengajian rutin yang diikutinya.

Itu berlangsung setiap hari semenjak Aziz masih duduk dibangku SD hingga ia lulus SMU, setelah lulus SMU Aziz memilih membantu Ayahnya seratus persen berdagang, ia menunda keinginannya untuk kuliah, sebenarnya ia ingin mengasah kemampuan bahasa arabnya lebih dalam dan merintis pendidikan diluar negeri. Ia ingin belajar di Timur tengah seperti Ustadz Qomar di Ummul Qura Mekkah atau di Islamic University Madinah tapi keinginan itu sementara ia tunda setidaknya 1 atau 2 tahun ini hingga kemampuan bahasa arabnya mumpuni dan beban orangtuanya lebih ringan.

Tapi takdir mengurai perjalanan hidupnya secara berbeda dari apa yang ia inginkan. Beberapa bulan yang lalu ia mendengar bahwa suami Rafiqah meninggal dunia. Hatinya tercekat ada semacam kegelisahan dalam hatinya ia merasa ikut bersedih atas wafatnya Pram meski ia belum pernah mengenalnya sama sekali karena yang ia rasakan saat itu adalah kepedihan yang dirasakan oleh Rafiqah.

"Kenapa aku jadi membayangkan Rafiqah? Astaghfirullah." batin Aziz

Kegelisahan itu muncul karena disamping rasa sedih atas apa yang diderita Rafiqah ada sejumput harapan yang dulu pernah ada dalam hatinya dan kini kembali menyelinap diam-diam ke dalam perasaannya "Aku harus mempersunting, Rafiqah..." ujar Aziz dalam hati.

"Aku harus mengubah bayangan haram ini menjadi karunia yang halal caranya hanya menikahinya" ungkap batinnya lagi.

"Tapi, sudikah Rafiqah menerimaku sebagai suaminya? Kudengar Pram bukan orang miskin sepertiku." begitu tanya hatinya, itulah yang ia belum tahu jawabannya.

Semenjak dahulu ia mengagumi Rafiqah. Semenjak kecil ia memandang wanita itu sangat berbeda dengan teman-teman wanitanya, banyak gadis yang sudah berkerudung dan berjilbab sempurna bahkan lebih sempurna dari Rafiqah, tapi kebanyakan mereka berasal dari keluarga yang sudah membiasakan dirinya demikian semenjak kecil atau setidaknya mereka belajar disebuah pesantren yang mendidik mereka untuk terbiasa menutup aurat rapat-rapat, berbeda dengan Rafiqah ia memutuskan berjilbab saat keluarganya berada digarda terdepan menentangnya. Ia mengaji dan mempelajari islam di bawah bayang-bayang wajah masam dan ungkapan-ungkapan pedas yang menyembur ke arahnya setiap kali berangkat atau pulang dari pengajian.

Ia juga sosok wanita yang mencoba hidup sederhana dengan segala fasilitas mewah yang bisa ia punyai, ia wanita yang semenjak kecil bergaul akrab dengan masyarakat miskin menemani mereka dan menyelami kehidupan mereka saat suasana kehidupan rumahnya mencibir segala hal yang berbau miskin, rakyat kecil atau orang-orang awam kebanyakan. Ia tumbuh menjadi muslimah sesungguhnya dengan usahanya sendiri setelah taufik dari langit menyerbu jiwanya tanpa henti.

Yah, Heryani, Aziz dan beberapa sahabat karib sesama peserta pengajian semenjak kecil membentuk barisan dimana Allah menggunakan mereka dan barisan mereka untuk menelusupkan taufik itu kelubuk hati Rafiqah. Jelas setelah rasa syukurnya kepada Allah yang tiada henti Rafiqah harus banyak berterima kasih kepada teman-temannya itu. Atas usaha dan kerja keras mereka Rafiqah bisa bertahan mengaji dan mendalami ilmu-ilmu keislaman meski ia kerap terlambat mengejar kesadaran islam yang lebih dahulu akrab dengan teman-teman dekatnya, tapi pencapaian Rafiqah dianggap paling fantastis setidaknya demikianlah dimata Aziz, ia ibarat kembang harum nan indah yang tumbuh ditanah jorok berlumpur sebuah hadits dhaif mengistilahkan wanita seperti itu sebagai khadraa-uddiman. Keindahannya lebih memikat dan memanjakan hati.

Alhamdulilllahilladzi bini'matihi tatimmush shalihat, kini Rafiqah telah menjadi istrinya. Ditangan istrinya ada uang sejumlah 25 juta rupiah jumlah yang sangat besar bagi Aziz itu sudah nyaris sama dengan total modal berjualan kain yang dimiliki ayahnya. Ditangan Aziz ada uang sejumlah 3 juta rupiah uang pemberian Ayahnya sebagai modal untuk memulai hidup baru bersama istrinya jadi kini mereka memiliki 28 juta rupiah sebagai modal awal mengarungi samudra kehidupan rumah tangga yg hingga saat ini belum jelas akan menjadi seperti apa.

Pak Broto dan Bu Broto orang tua Rafiqah memang memandang sinis pernikahan Rafiqah dengan Aziz, tapi kesinisan itu sesungguhnya telah jauh berkurang karena kemarahan meluap-luap didada mereka terhadap keluarga Pram mantan menantunya itu yang telah mempermalukan mereka habis-habisan tak hanya mempermalukan mereka dan putri mereka Rafiqah tapi keluarga Pram telah merampok secara tidak manusiawi segala kekayaan yang seharusnya dimiliki Rafiqah tak sedikit pun kekayaan yang disisakan keluarga Pram untuk putri mereka itu, selain uang sejumlah 25 juta! Uang yang tidak cukup untuk menyekolahkan putri mereka disekolah favorit keluarga mereka itu selama 1 semester!! Bagi mereka 25 juta itu bukan uang tapi pesangon bagi pegawai yg di PHK, menyedihkan sekali.

Sebelum mengantar keluarga Pram ke rumah Rafiqah yang akhirnya direbut keluarga Pram, orang tuanya sempat berdebat dengan mantan besannya itu saat keputusan diambil secara sepihak dan Rafiqah menerimanya dengan tabah orang tua Rafiqah tidak bisa menerimanya. Orangtua Rafiqah ingin memerkarakan kasus itu ke pengadilan, ini penghinaan berat bagi keluarga Broto susilo, tapi Rafiqah membujuk orangtuanya untuk mengalah meski tidak bisa menerima tapi akhirnya mereka tak mampu berbuat apa-apa karena semua keputusan ada ditangan Rafiqah sebagai mantan istri Pram ia yang berhak mengklaim hak-hak-nya. Atas kejadian itu meski memandang sinis pernikahan Rafiqah dengan Aziz yang bagi mereka tak menjanjikan hal lebih baik dari pernikahan pertamanya tapi ada sedikit empati dibenak mereka itulah sebabnya saat Rafiqah dan Aziz baru memikirkan apa yang akan mereka lakukan dengan modal yang mereka punya. Pak Broto dengan persetujuan Bu Broto menyerahkan uang sebesar 75 juta kepada mereka berdua, mereka memberikannya sebagai tanda simpati atas duka yang dialami putrinya. Uang itu terlalu kecil bagi keluarga Broto apalagi untuk diberikan kepada putrinya itu, putri yang amat mereka sayangi semenjak kecil meski kerap membuat mereka kelimpungan.

"Saya memberikan uang ini sebagai modal bagi kalian untuk hidup mandiri, saya memang kerap memanjakan anak-anak saya semasa mereka masih bersekolah dengan memberi fasilitas yang cukup, tapi saat hidup berumah tangga saya ingin mereka berjuang menerjang hidup ini dengan keringat mereka sendiri. Saya dulu juga berjuang dari level terendah didunia bisnis sebagai pedagang asongan di Jakarta sampai saya berhasil membuat warung kecil dipinggir jalan akhirnya bisa menyewa los untuk berjualan kebutuhan harian di pasar kramat jati lalu membuka toko mas. Baru beberapa keberuntungan membuat saya mampu menekuni usaha properti usaha unggulan para kolongmerat diberbagai belagan dunia. Mulailah dengan modal kecil ini untuk membangun hidup kalian dimanapun kalian tinggal antara kami dengan putri kami Rafiqah memang ada banyak perbedaan dalam prinsip hidup tapi sebagai orangtua kami tak pernah rela membiarkan anak-anak kami hidup menderita. Semoga berhasil...."

Itulah ucapan paling berharga yg pernah didengar Rafiqah dari mulut Papanya Pak Broto susilo, Rafiqah tahu bahwa sesungguhnya Papanya itu amat mencintainya saat memaksanya menikah dengan Pram, disudut hatinya yang paling dalam sesungguhnya sang Papa juga ingin ia hidup bahagia karena konsep kebahagiaan dimata Papanya berbeda dengan yang selama ini diyakini oleh Rafiqah. Menganut paham materialisme yang menjajah pikiran kebanyakan orang dizaman ini Pak Broto senantiasa memandang kebahagiaan itu pasti bertekuk lutut dibawah todongan harta benda, uang, kekayaan dan reputasi. Bahagia identik dengan kaya, populer dan mampu memiliki segalanya. Semakin banyak merasa terhibur dan tertawa semakin banyak bisa bersantai dan bersenang-senang semakin terlihat kualitas kebahagiaan padahal seringkali semua itu hanya tontonan yang terlihat indah namun kosong kesejatian.

Ya, Allah padahal kebahagiaan sejati bukan manusia yang bisa mengukurnya hanya Allah yang maha pencipta, yang maha pengasih, yang maha bijaksana yang menentukan kapan seorang manusia bisa disebut telah berbahagia maka untuk berbahagia kita hanya bisa mempelajari jalan-jalannya dari Allah semata. Disini keimanan menjadi dasar utamanya dan disini taufik menjadi asal dari segalanya karena sengsara atau bahagianya manusia Allah pula yg sudah menentukannya, menakdirkan dan menyuratkannya.

"Sesungguhnya salah seorang diantara kalian disempurnakan peciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari lamanya dalam bentuk nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari juga kemudian menjadi gumpalan seperti potongan daging selama 40 hari juga,kemudian diutuslah kepadanya malaikat, yang lalu memiupkan ruh kepadanya dan diperintahkan untuk (menulis) 4 perkara (1) ketentuan rezekinya, (2) ketentuan ajalnya, (3) ketentuan amalnya, (4) ketentuan ia akan celaka atau bahagia..." (Diriwayatkan oleh Bhukari XI:417 dlm kitab Al-Qadr, bab takdir dan juga oleh Muslim no 2643 dalam kitab Al-Qadr,bab cara penciptaan manusia dalam perut ibunya)

Allah telah menetapkan kebahagiaan atau kesengsaraan bagi seseorang. Itu soal takdir yang harus kita imani dan itu artinya kebahagiaan datang berdasarkan taufik Allah. Namun disisi lain kita wajib berikhtiar dan Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan amal kebajikan setiap hamba. Ikhtiar itulah yang harus dicapai dengan memproses diri menjadi manusia yang bertakwa karena proses menuju takwa itu terus berkelanjutan dan berkesinambungan sepanjang hidup kita maka proses menuju kebahagiaan juga datang setahap demi setahap sesuai dengan tahapan pencapaian ketakwaan yang bisa kita raih. Saat ketakwaan yang terusik oleh noda dosa dan kefasikan saa itu pula nilai kebahagiaan berkurang. Saat dosa kita terhapus dengan taubat dan istighfar saat itu pula nilai kebahagian kembali bertambah maka hanya orang paling bertakwa yang berhak merasakan puncak kebahagiaan. Sosok yang beruntung itu Rasulullah.

Kebahagiaan itu sesuatu yang kadang tak bisa dinilai secara kasat mata, ia tersembunyi direlung-relung hati yang bila dicoba dilonggok akan semakin pergi. Misterius. Banyak orang mampu banyak tersenyum dan tertawa sementara mereka menyembunyikan benih-benih kesengsaraan dalam dada tidak sedikit tangis dan cucuran air mata justru muncul dari sebuah kebahagiaan itulah yg sering disebut sebagai tangis orang-orang shalih seperti diungkapkan oleh salah seorang ulama As-salaf : "Ada kalanya tangisan itu lebih bernilai dibandingkan senyuman."

Diriwayatkan dari Abu Umamah dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : "Tidak ada suatu yang lebih dicintai Allah selain 2 tetes dan 2 bekas: yaitu tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang mengalir fi sabilillah. Adapun 2 bekas: yaitu bekas karena berjuang fi sabilillah dan bekas karena melaksaksanakan salah satu dari kewajiban yang telah diwajibkan Allah"(Hadits riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan, diriwayatkan juga oleh Ibnu Abid Dunya dan Ath-Thabraani dalam Al-Kabir dan dinyatakan Shahih oleh Al-Albani.

Abdullah bin Umar pernah berkata bijak : "Demi Allah, aku menangis sehingga meleleh air mata membasahi pipiku lebih aku sukai dari pada bersedekah 1000 dinar."(Diriwayatkan oleh Ad-Daarimi)

Nabi adalah manusia yang paling berbahagia namun beliau banyak meneteskan air mata. Tangisan lebih akrab dengan beliau daripada tawa gembira.

"Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak bisa kalian lihat dan aku mendengar apa yang tidak kalian dengar. Langit merintih dan memang sudah sepantasnya ia merintih tidak ada tempat dilangit selebar 4 jari sekalipun tanpa terdapat malaikat yang meletakkan keningnya bersujud kepada Allah. Demi Allah, kalaulah kalian mengetahui seperti yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis niscaya kalian tidak akan merasakan kelezatan wanita diatas ranjang dan niscaya kalian akan pergi ketempat yang tinggi memohon kepada Allah" (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dihasankan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Subhanallah! Seringkali kebahagiaan itu bersembunyi dibalik tangis dan tidak jarang tumpukan kesengsaraan itu berserakan di hati orang yang gemar tersenyum dan tertawa itu salah satu rahasia kebahagiaan yang sulit ditangkap oleh panca indera kecuali oleh sedikit orang yang dikaruniai oleh Allah ketajaman perasaan dalam membaca sisi-sisi halus dari realitar kehidupan.

Uang ditangan mereka sekarang berjumlah 103 juta rupiah jumlah yang sangat besar bagi kebanyakan orang dinegeri kita. Dengan uang itu sesungguhnya mereka bisa memulai berbagai jenis usaha yang baik secara lebih leluasa tapi usaha apa itu? O,ya mereka juga belum memiliki rumah untuk itu mereka bisa menyewa sementara waktu. Biarlah uang itu dijadikan modal berdagang, tapi berdagang apa?

Selama berhari-hari Aziz dan Rafiqah memikirkan langkah apa yang akan mereka ambil untuk memulai berbisnis dengan modal tersebut. Banyak usaha dengan resiko yang berbeda-beda dan prospek yang bermacam-macam pula tapi untuk sementara mereka akan menganut konsep konservatif dalam bisnis yaitu mencari peluang bisnis yang lebih aman. Resiko kerugian lebih kecil meski perkembangannya juga relatif lamban ada pilihan kedua yaitu gaya bisnis yang lebih agresif dan lebih berani. Resikonya tinggi tapi bayangan keuntungan juga jauh lebih besar peluang berkembangannya luar biasa tapi bila sekali gagal mereka akan tertunduk pasrah merenungi nasib. Opsi pertama akhirnya menjadi pilihan mereka, pilih bisnis yang aman-aman saja tapi sekarang yang harus dipikirkan jenis bisnis apa dan dimana mereka akan memulainya?

Satu pekan akhirnya berlalu dan akhirnya mereka membuat sebuah keputusan berani bukan berani dalam memilih jenis bisnis tapi berani dalam berdikari dan mencetak kemandirian setelah berpikir matang mereka memilih untuk membuka usaha jauh dipulau seberang sana. Mereka memilih pindah ke propinsi Aceh di ujung paling barat Sumatra itu dan membuka usaha rumah makan.


  • MELANCONG KE NEGERI RENCONG

Pak Broto terkejut Bu Broto terperangah mereka bersama-sama memang kaget bukan kepalang saat mendengar putri mereka bersama suaminya Aziz menuturkan hasrat mereka untuk merantau ke Negeri Rencong.

Pak Broto memang dilahirkan disana ia memiliki sanak famili yang masih berdomisili di Aceh, sebagian di wilayah Aceh tengah, sebagian lagi di Banda Aceh. bahkan Aziz juga memiliki kerabat disana tapi mereka sudah menganggap Jakarta sebagai kota halaman mereka. Ke Aceh bagi mereka berarti kembali ke masa lampau, saat-saat Broto kecil masih hidup dilingkungan pedesaan. Sebuah desa 30 km diluar kota Banda Aceh setiap hari pergi kesekolah yang jaraknya tak kurang dari 13 km dengan berjalan kaki. Aceh bagi Pak Broto adalah lambang kemiskinan, Ia tak peduli bahwa disana juga banyak orang kaya bahkan cukong dan konglomerat. Baginya hidup di Aceh berarti siap hidup melarat.

"Kenapa kalian memilih membuat usaha disana? Dengan uang itu kalian bisa memulai banyak jenis usaha di kota Jakarta, kota ini kota pengusaha setiap jengkal tanah kota ini adalah lahan usaha. Untuk apa jauh-jauh kabur ke Aceh?"

"Kami ingin lebih mandiri, Papa. Bukankah itu yang Papa inginkan dari kami? Di Aceh kami bisa berdikari karena karib kerabat kita disana juga bukan orang-orang yang bisa kami buat bergantung." jelas Rafiqah.

"Tapi kalian belum terbiasa hidup disana, disana masih sulit fasilitas hidup masih serba kurang adat dan kebiasaan hidup masyarakat setempat juga masih jauh dari peradaban modern." ujar Pak Broto cemas.

"Kalau soal fasilitas hidup yang serba kurang itu yang kami cari, kami tak mau uang kami habis untuk di hambur-hamburkan begitu saja. Jakarta terlalu menantang bagi kami, segala bentuk hiburan dan kesenangan seolah-olah benda hidup yang setiap hari menyapa kami. Para penjual makanan selalu menggelitik selera untuk kami panggil dan kami cicipi jualannya. Di Aceh itu tidak akan banyak kami dapatkan, soal adat dan kebiasaan mudah-mudahan kami bisa beradaptasi dengan mudah yang terpenting kami meminta doa dan restu Papa dan Mama."

"Soal pilihan hidupmu sekarang kami tak lagi mau banyak turut mencampurinya. Ok. Di manapun kalian mau hidup dan berusaha kami merestuinya yang penting kalian bisa merengkuh kesuksesan. Aku tahu Aziz juga sudah terbiasa berjualan, Bapaknya pedagang kain kan? Ok, kapan kalian berangkat?"

Pak Broto memang sering terlihat kejam dengan memaksakan prinsip dan kemauannya pada setiap anak-anaknya. Bu Broto lebih menyerupai asisten yang akan bertindak, bersikap dan berperasaan, sebagaimana adanya Pak Broto. Keduanya selalu satu ide selalu sependapat meski secara hakiki itu mustahil karena kedua manusia tentu tak mungkin sama tapi secara lahiriah begitulah yang tampak. Namun meski terlihat begitu kejam dan arogan sesungguhnya Pak Broto adalah pria yang amat menyayangi anak-anaknya termasuk juga putrinya Rafiqah. Saat pernikahan dengan Aziz adalah puncak dari masa senewen Pak Broto, setelah merasa gagal menundukkan putrinya melalui Pram hingga saat pemuda shalih itu menghembuskan nafasnya yang terakhir ia harus berhadapan dengan trauma lanjutan menyaksikan putrinya menikah dengan Aziz, jenis pemuda dengan celana mengatung dan baju gamis lusuh yang selama ini selalu ia pandang dengan jijik maka ia membiarkan putranya Hendra untuk menjadi wali nikah bagi putrinya tersebut, namun disudut hatinya ia tetap menginginkan agar putrinya hidup berbahagia. Niat putrinya merantau ia dukung dengan doa dan restunya. Bu Broto pun bergembira secara sungguh-sungguh kali ini ia seide dengan sang suami sepenuh hatinya.

Maka mereka juga yang akhirnya menyempatkan waktu untuk mengantar Rafiqah dan suaminya Aziz kebandara Cengkareng mereka akan terbang menuju Medan dan dari Medan rencananya mereka akan melanjutkan perjalanan dengan bus saja. Di bandara Cengkareng itulah Pak Broto dan Bu Broto melepas kepergian putri dan menantunya, tangis haru meledak Bu Broto memeluk putrinya seolah-olah enggan melepasnya lama sekali Pak Broto sendiri masih bersikap datar, tapi senyum sinis yang biasa membias diujung bibirnya kini tidak tampak, yang terlihat justru kerut duka dan kecemasan diwajahnya karena inilah perpisahan pertama dengan anaknya untuk pergi merantau setelah perpisahan pertama dengan anaknya Andi 1 bulan yg lalu anaknya berangkat ke Amerika untuk belajar di Arizona University.

Tapi kepergian Rafiqah dimata Pak Broto dan Bu Broto jelas punya nilai lain karena Rafiqah pergi untuk merantau dan mencari peruntungan sementara, Pak Broto dan Bu Broto adalah tipikal manusia yang sudah nyaris kaku dibawah timbunan kesibukan dan aktifitas yang tindih menindih setiap harinya bahkan untuk sekadar menunggu keberangkatan putri dan menantunya itu hingga take off mereka tak punya waktu maka mereka sulit diharapkan akan bisa sering-sering mengunjungi putrinya diseberang sana hanya restu dan doa yang dapat mereka titipkan.

"Saya titipkan dirimu kepada Allah yang tidak pernah menyia-nyiakan segala titipan." (Diriwayatkan oleh Ahmad II:403, Ibnu Majah II:943 Lihat shahih Ibnu Majah II:133)

Doa yg pertama kali dipanjatkan oleh Rafiqah dan Aziz saat turun dari pesawat dibandara Polonia Medan adalah doa permohonan agar mendapatkan lokasi hidup yang penuh berkah bukan kekayaan yang mereka cari tapi keberkahan hidup.

"Ya Rabb-ku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat." (AL-MUKMINUN:29)

Dari bandara Polonia mereka meneruskan perjalanan dengan taksi menuju terminal Pinang Baris, dari situ mereka mencari loket dan memesan bus Karunia Medan-Aceh. Mereka tiba di Medan pukul 14:00 dan bus baru akan berangkat pukul 16:00, jadi mereka masih punya waktu sekitar 1,5 jam lagi, mereka beristirahat sejenak sambil makan siang dirumah makan Minang Melayu setelah itu mereka melakukan shalat di Masjid besar dekat rumah makan tersebut menjamak Dhuzur dan Ashar di waktu Ashar setelah itu mereka kembali ke loket.

Hanya beberapa menit kemudian bus datang dan langsung berangkat menuju Aceh, tepatnya kota Banda Aceh ibu kota Aceh yang terkenal dengan sebutan Tanah Rencong dan sekarang lebih banyak disebut sebagai Nangroe Aceh Darussalam. Di kota itulah mereka akan menggantungkan harapan untuk membina hidup baru. Rafiqah sebagai istri yang baru saja berusaha bangkit dari kepedihan ditinggal mantan suaminya Pramono Agung setia dan Aziz Pemuda masjid yg baru saja menikmati hari-hari terindahnya bersama Rafiqah. Bersama istrinya itu ia berniat merajut lembaran-lembaran indah dikota yangg dikenal sebagai serambi Mekah itu.

  • MULAI HIDUP BARU

Baik Aziz maupun Rafiqah memiliki karib kerabat di Aceh mereka tersebar dibeberapa wilayah di Aceh Barat, Timur, Tengah yang sangat luas. Tapi mereka berniat untuk tidak akan menggantungkan hidupnya pada pertolongan atau budi baik karib kerabat mereka itu selain kondisi ekonomi para kerabat Pak Broto maupun Aziz yang rata-rata masih ditaraf miskin maksimal hanya hidup secara sederhana mereka juga ingin lebih mandiri untuk itu mereka ingin nyaman tinggal di Aceh. Dan untuk itu juga uang sebesar 75 juta mereka belikan sebuah rumah yang secara kebetulan mereka dapatkan dengan cukup murah termasuk kawasan kota di Banda Aceh. Rumah itu dahulu pernah ditinggali seorang perantauan dari Minang kabau dan dibagian depannya pernah digunakan sebagai rumah makan sehingga sekali tepuk 2 lalat tergilas. Sekali menggelojorkan modal mereka mendapatkan rumah sekaligus lokasi strategis berwirausaha maka usaha yg mereka rintis sudah pasti bisnis rumah makan.

Rumah makan adalah bisnis aman orang bilang seorang penjual makanan bila pergi dengan modal 20 ribu dan pulang kembali dengan uang 20 ribu berarti ia sudah untung, kenapa? Karena ia sudah makan dari dagangannya sendiri, apalagi bila makanan itu adalah makanan pokok nasi dan lauk pauknya itulah bisnis yang akan mereka garap. Disebut aman karena makanan adalah kebutuhan harian selama ada orang makan diluar rumah, selama itu pula bisnis rumah makan bisa berjalan bahkan dilokasi dimana orang tak terbiasa makan diluar rumah bila sudah didirikan rumah makan akan banyak yang tergoda mencicipinya maka dalam bisnis rumah makan ada 2 jurus yang tidak boleh diabaikan.

Pertama cermati selera pasar jangan membuat makaman dengan cita rasa yang asing kalaupun hendak mengusung makanan daerah seperti masakan padang, masakan jawa atau masakan sunda cita rasa harus diinovasi beri toleransi pada selera masyarakat disekitar buat sentuhan rasa yang dapat diterima kebanyakan orang pembeli adalah Raja, orang tak layak menjual sesuatu apalagi makanan dan memaksa orang lain untuk menyukainya.

Kedua konsistensi rasa, biarkan cita rasa sederhana dan apa adanya tapi bila konsisten akan terkumpul juga banyak orang yang menjadi pelanggannya namun betapapun lezatnya cita rasa apabila selalu berubah-ubah akan sulit menarik pelanggan. Setiap saat pelanggannya akan berganti-ganti. Orang hanya akan senang saat makan pertama kali dikali kedua ia akan kecewa.Ini musibah besar bagi pebisnis rumah makan.

Kalau mau ditambahkan lagi pelayanan. Soal lokasi memang berpengaruh tapi tak terlalu besar terbukti banyak rumah makan yang laris padahal terletak ditengah sawah atau masuk kesebuah gang sempit dan banyak rumah makan yang sepi meski diletakkan didekat pasar atau dipinggir jalan Lintas antar propinsi. Cita rasa yang memasyarakat konsitensi rasa dan pelayanan. Itu 2 atau 3 kali hal yang menjadi jurus maut dalam bisnis rumah makan. Juga disebut aman karena bisnis ini minim resiko bila tidak habis makanan bisa dimakan sendiri dan sisanya dibagikan kepara tetangga itung-itung sedekah. Bila kita menjual 6 piring makanan, yang laku 3 piring maka 3 piring yang tersisa bisa kita sikat sebagai jatah makan kita keesokan harinya, sementara hasil dari menjual 3 piring itu bisa diolah menjadi 6 piring makanan lagi. Ini terlihat sederhana dan simpel tapi ini kenyataan yang akurat dan dirasakan oleh setiap orang yang terjun dalam bisnis ini. Sehingga usaha rumah makan tergolong usaha bisnis aman.

Meski perkembangannya tidak terlalu cepat bahkan tergolong lambat namun bila sudah mendapatkan Rezeki, ada usaha rumah makan yang melesat perkembangannya secara menghebohkan. Sehingga bisa dikembangkan dengan cara yang lebih canggih dan moderen namun yang demikian tidaklah terlalu banyak.

Dengan uang ditangan sejumlah 28 juta mereka bisa memulai berjualan dengan leluasa. Mereka sudah menyiapkan dana setidaknya untuk satu bulan berjualan dengan perhitungan selama 1 bulan itu mereka hanya mencari pelanggan saja. Tak ada keuntungan. Makanan yg tidak terjual bisa dibagi-bagikan kekampung sebelah atau dimana saja mereka jumpai, orang yang hidup dalam kemiskinan. Tidak kepada para tetangga sebelah yang dekat dengan mereka karena dikhawatirkan mereka akan terus berharap setiap hari mendapat makan gratis dan bila pemberian itu dihentikan mereka akan kecewa berat. Uang sejumlah itu mereka cadangkan sebagian diantaranya untuk kebutuhan darurat mereka menyimpannya dibank Muamalat.

Aziz mengusulkan membuat rumah makan khas Aceh-Jawa dengan pertimbangan dan asumsi bahwa masyarakat Jawa yang dikenal dengan komunitas Pujakusuma jumlahnya cukup banyak disana. Sebagian kaum transmigran yang sudah turun temurun disitu dan sebagian lagi mantan para pekerja rodi di Zaman Belanda dulu yang kini masih menyisakan cucu atau bahkan cicit-cicitnya. Selain itu cara mengolah masakan bisa dipelajari, jadi tak masalah bila mereka menyediakan juga makanan khas setempat. Masakan Aceh tentu lebih banyak penggemarnya dikota itu. Ini logika sederhana, maka didirikanlah rumah makan dengan nama Rumah Makan Aceh-Jawa, Niagara. Mereka berharap hasil dari usaha rumah makan itu akan mengalir deras seperti halnya air terjun Niagara dinegeri nun jauh disana.

Pertama kali dibuka tentu mereka masih harus mencari pelanggan. Sehingga tidak ada kesibukan yang berarti, kesibukan sesungguhnya justru dimalam hari atau tepatnya dini hari untuk menyiapkan beberapa jenis masakan yang akan dipajang dietalase. Untuk melayani pembeli belum diperlukan banyak orang maka sementara waktu, Rafiqah yang akan mengurusnya. Sementara Aziz memilih mencari kesibukan lain bekerja secara part time disebuah toko kelontong besar disebuah pasar dekat Masjid raya. Ia memang tipe pekerja keras yang sulit untuk duduk berpangku tangan saja tanpa bekerja dalam sehari saja. Jarak toko tidak terlalu jauh dari lokasi dimana mereka tinggal.

Di malam hari tepatnya sehabis Magrib, Aziz meluangkan waktunya untuk memberi pelajaran membaca Al Quran dan pengajian untuk remaja dan anak-anak. Lokasinya di Masjid Nurul Fitrah dekat rumah mereka. Sebuah masjid yang tidak terlalu besar kira-kira 15X12 Meter saja namun sudah digunakan sebagai Masjid Jami. Disitu didirikan shalat berjamaah setiap harinya dan juga shalat jumat setiap pekannya dengan cara itulah Aziz ini hidupnya tak lepas dari belaian indah amal ibadah dan sejuknya atmosfir keislaman karena ia sadar dunia ini hanya media menuju keabadian dialam sana.

"Apalah artinya aku mengejar dunia? Perumpamaan antara aku dengan dunia tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara dalam satu riwayat yang beristirahat dibawah naungan sebatang pohon kemudian pergi lagi meninggalkannya" (Diriwayatkan oleh Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dinyatakan shahih oleh Syaikh Al AlBani)

  • KARUNIA DAN COBAAN

Sudah hampir 2 tahun Rafiqah dan Aziz tinggal di Banda Aceh, usaha mereka maju pesat sekarang rumah makan mereka ramai dikunjungi pelanggan setiap harinya, namun uniknya Aziz nyaris tak pernah terlihat disitu. Areal rumah makan sudah diperluas dan dipisah dari rumah mereka. Kebetulan mereka masih memiliki tanah sisa dibagian samping kiri dan kanan rumah. Yang bekerja dirumah makan itu ada 5 orang, 2 orang dibagian dapur dan 3 melayani pembeli. Rafiqah sendiri hanya mengurusi rumah saja. Sementara Aziz sendiri masih mencari kesibukan dengan bekerja ditoko kelontong R, didekat sebuah masjid Jami' kota Banda Aceh. Pemiliknya salah satu orang terkaya di Banda Aceh. Toko itu hanya salah satu usaha kecilnya, disitu Aziz hanya kerja paruh waktu. Mengingat sekarang ia sudah memiliki jadwal-jadwal mengisi pengajian keluarga disekitar kawasan di mana ia tinggal.

Tapi secara tak dinyana, ditoko kelontong yang tergolong paling besar dikota Aceh itu, ia dipercaya sebagai supervisor. Ia tak lagi menjadi pelayan tapi hanya mengawasi kerja para pelayan toko lainnya. Kerjanya duduk dimeja, merangkap sebagai bendahara. Sifatnya yang amanah dan kecerdasannya dalam bernegoiasasi dengan pembeli saat masih menjadi pelayan disitu menarik minat pemilik toko tersebut. Sehingga memberinya kepercayaan menjadi semacam manajer ditoko itu. Ia mengawasi penuh operasional harian disitu.

Baru 2 bulan di Aceh Rafiqah hamil. 13 bulan yang lalu, bayi pertama mereka lahir. Mereka memberinya nama Faiz, nama itu memiliki arti pemenang, dengan nama itu mereka berdoa dan mengikat optimisme dalam dada mereka untuk menjadi pemenang dalam hidup ini. Menang dengan kebahagiaan dunia dan berjaya dengan kebahagiaan akherat. Saat bayi itu lahir, Hendra datang berkunjung menemui mereka, kebetulan ia ada proyek bisnis dikawasan Brastagi Sumatera Utara. Sehingga Hendra menyempatkan mencari dimana adiknya tinggal. Beruntung tanpa bersusah payah ia bertemu dengan Rafiqah.

Ia senang bahwa usaha adiknya sudah cukup maju. Meski ditengah keluarga besar Broto susilo, usaha rumah makan dipandang sebagai usaha kacangan. Tak punya prospek yang bagus, bukan usaha pilihan dari para pebisnis sejati tapi Hendra memandangnya secara lebih bijak bahwa sebuah bisnis tertentu tak selamanya menjadi master piece dari usaha seseorang. Ia bisa dijadikan batu loncatan untuk menuju jenis usaha yang lebih menjanjikan. Papanya juga dulu seorang penjual perhiasan emas perak dengan sebuah toko kecil saja nyatanya kini ia berhasil dengan berbagai bisnis unggulan yang dikelolanya.

Ia juga sangat bahagia bahwa adiknya sudah dikaruniai seorang putra yang terlihat sehat dan cerdas. Bulatan biji matanya terlihat menyorot tajam. Khas orang yang memiliki intelejensi diatas rata-rata. Hendra hanya beberapa jam dirumah itu, hanya untuk menunggu kepulangan Aziz menjelang Ashar. Saat sudah berjumpa dengan Aziz dan mengobrol sebentar ia langsung minta diri. Masih ada meeting lanjutan dikota Medan yang harus dihadirinya besok pagi. Meski Pak Broto dan Bu Broto belum bisa meluangkan waktu untuk berkunjung, tapi mereka masih sering berhubungan melalui Hp. Keduanya sehat-sehat saja dan mereka sangat berbahagia mendengar kelahiran cucu pertama mereka Faiz. Kelahiran bayi itu adalah karunia besar buat mereka dan ia akan tetap menjadi karunia, asal mereka senantiasa bersyukur dan bersabar. Meski wujud karunia itu bisa saja akhirnya berbeda dari yang selama ini mereka bayangkan.....

  • DI BALIK RERUNTUHAN ITU...

Hari ini rumah makan tutup, Rafiqah ingin beristirahat. Label 'tutup' sudah dipasang dari sebelum Subuh melekat dikaca depan rumah makan itu. Para pelayan sudah semenjak kemarin diberitahukan tapi Aziz tetap bekerja ditempat biasa. Menjelang siang hari terasa begitu nyaman, Rafiqah melepas kepergian suaminya Aziz seperti biasanya bekerja part time meski belakangan ini sudah punya intensitas tinggi ditoko kelontong besar yang tidak begitu jauh dari rumah mereka. Jaraknya hanya sekitar 10 kilometer. Itu pun bila ditempuh dengan sepeda motor sendiri hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja.

Tak ada perbedaan dari hari2 biasanya, suasana dipagi itu cukup hening. Temperatur udara juga tidak terlalu panas hanya deru angin yang terkadang agak keras terasa menampar-nampar kulit terutama sekali bagi mereka yang berkendaraan dengan sepeda biasa atau sepeda motor dengan helm terbuka.

Hanya satu jam setelah kepergian suaminya, ia mendengar suara yang agak aneh dari arah tengah laut. Maklum, ia dan suaminya tinggal meski masih diwilayah kota namun tak terlalu jauh dari laut. Dikala sepi deburan ombak besar sering terdengar sayup-sayup tapi saat ini bukanlah malam hari. Meski hening namun ini bukan sejenis sepi yang membuat suara jauh terdengar begitu jelas. Suara itu agak aneh lebih merupakan tiupan keras dari pada suara debur ombak yang biasa dia dengar secara sayup-sayup ditengah malam. Makin lama suara itu makin terdengar dengan jelas. Aih, suara apa gerangan?

Kira2 15 menit sampai 10 menit kemudian, suara itu mereda untuk kemudian perlahan-lahan hilang sama sekali sampai 10 menit kedepan suasana kembali tenang seperti biasa. Rafiqah tak lagi memikirkannya. Ia menganggapnya hanya sejenis tiupan angin yang lebih keras dari hari-hari biasa. Hanya saja kira2 10 menit kemudian suara itu muncul kembali meski agak lebih pelan tapi kali ini diiringi gempa yang sangat terasa awalnya pelan seperti gerakan bayi dalam ayunan namun kemudian mulai terasa lebih keras bahkan kian lama kian terasa getarannya sampai akhirnya terasa menggetarkan seisi rumah.

Sejurus kemudian meja dan kursi dirumah itu, bergeser kesana kemari secara tak beraturan. Suara bercampur dengan gemuruh gempa yang tampaknya cukup hebat itu semakin menjadi-jadi. Rafiqah mulai dicekam ketakutan, anaknya juga serta merta menangis menjerit-jerit. Rafiqah mulai kebingungan, tampaknya ia juga sadar bahwa ada hal yang sangat tidak beres yang sedang mereka hadapi. Goncangan gempa semakin kuat namun Rafiqah belum berani keluar rumah. Ia merasa cemas dan khawatir kalau-kalau keadaan diluar justru lebih buruk lagi karena dari celah jendela yang agak terkuak ia melihat hembusan angin yang sangat kuat dan pohon-pohon kebil juga terlihat mulai bergoyang-goyang hebat. Sebagian berpatahan dahan-dahannya. Kejadian itu berlangsung cukup lama. Hampir setengah jam penuh.

Hatinya agak terasa lega karena setengah jam berlalu tampaknya badai laut dan gempa itu mulai mereda. Suara gemuruh mulai surut, saat itulah pintu rumahnya diketuk diiringi ucapan salam. Suara pria yang amat dikenalnya, tampaknya suaminya sudah pulang. Jelas itu bukan waktu kepulangan suaminya di hari-hari biasa. Saat masuk suaminya terlihat begitu cemas dengan masih bermandikan peluh Aziz memandang ke arah istri & anak yang masih dalam gendongan istrinya. Rafiqah sendiri melihat suaminya dengan tidak kalah khawatir, wajah sang suami terlihat agak pucat. Tanda-tanda kelelahan terlihat jelas mengukir wajahnya. Selama lebih dari 1 jam, Aziz duduk-duduk menemani Rafiqah hanya sesekali Rafiqah membereskan barang-barang rumah yang berantakan tidak karuan. Suasana justru tampak semakin hening tak ada kehebohan yang terdengar dari para tetangganya kecuali beberapa orang yang keluar dan saling bercakap-cakap memperbincangkan gempa yang baru saja terjadi.

Situasi dan kondisi tampaknya sudah terkendali, badai angin yang disertai gempa itu tampaknya sudah benar-benar terhenti. Aziz meminta izin kepada istrinya untuk kembali ketoko karena ada barang-barang yang belum sempat diberesi katanya toko akan segera ditutup, Ia takut dimarahi oleh majikannya bila barang-barang yang di display tidak dikembalikan kelokasi penyimpanan semula. Rafiqah tidak merasa ragu sedikit pun, ia membiarkan suaminya pergi karena paling hanya membutuhkan tak lebih dari 15 atau 20 menit pulang pergi. Usai ditinggal suaminya, Rafiqah kembali menjalankan aktivitasnya membereskan rumah. Sang anak juga sudah terlihat tenang meski matanya terlihat agak kemerahan karena lama menangis. Tak sampai 5 menit berselang kembali terasa getaran gempa tapi kali ini suaranya makin aneh, gemuruh angin yang terdengar seperti bercampur dengan suara air berkecipuk-cipuk makin lama bahkan makin terdengar seperti air tertumpah dari sebuah tebing meluncur kebawah seumpama air terjun.

Ia melongok keluar jendela dengan amat cemas. Ya Allah terlihat orang-orang dikampung itu berlarian keluar rumah. Apa yg terjadi? Badaikah? Banjirkan? Ia belum menemukan jawabannya. Namun tiba2 dari kejauhan ia melihat gumpalan asap hitam mengiringi ombak laut yg bergelombang sangat hebat menjulang keatas sambil menerjang-nerjang hebat sangat besar sekali tidak pernah ia melihat gelombang laut sebesar itu sebelumnya seolah-olah rumahnya itu memang dipinggir pantai bahkan ditengah pantai. Ya Allah, apa itu???

Gulungan air ombak yang lebih pantas disebut gunung ombak makin mendekat. Rafiqah segera mengenakan jilbabnya bersiap-siap meninggalkan rumah sambil menanti kedatangan suaminya sedikit uang simpanan dan buntalan pakaian disiapkan, ia berpikir suaminya pasti segera pulang. Betul saja tiba-tiba terdengar ketukan pintu atau lebih tepatnya gedoran pintu dari luar diiringi salam yang diucapkan dengan sangat terburu-buru sang suami pun masuk dalam kondisi yang jauh lebih terengah-engah dari sebelumnya.

"Tampaknya, kita harus segera meninggalkan tempat ini." ujar Rafiqah kepada Suaminya.

"Ya, aku juga berpikir begitu."

Aziz juga sudah menyaksikan keadaan yang porak poranda diluar rumahnya akibat gempa hebat. Orang-orang dikampung itu tampaknya sudah amat sibuk untuk mengungsi karena gelombang ombak besar makin lama makin tertarik jauh melewati pantai dan sudah mulai mendekati areal rumah mereka tampaknya sudah terlambat untuk bergerak. Sejenak mereka mematung,mereka gugup bukan main. Dalam suasa serba kalut Aziz mengajak istrinya Rafiqah masuk kebagian dalam rumah mereka. Aziz teringat bahwa dirumah belakang rumah mereka terdapat lantai yang berlubang 4 persegi panjang yang diberi tutup besi diatasnya. Niatnya lubang itu untuk tempat mengisi barang-barang berharga mereka suatu saat. Mungkin sebagai pengganti lemari besi atau brangkas besar yang kalau dibeli tentu amat mahal harganya. Dengan gerak cepat ia mengajak istrinya keruang itu. Anak mereka tentu saja menjerit-jerit tidak karuan, mereka sudah tidak sempat lagi tahu penyebab utama tangisan anak mereka.

Bruaakk!! Suara keras terdengar dibelakang mereka, rupanya lemari diruang tengah rumah mereka jatuh ambruk bahkan kemudian disusul dengan suara demi suara keras lain sehingga menimbulkan suara bersahut-sahutan sangat menakutkan. Mereka tidak peduli lagi, dengan gerak cepat mereka turun kelantai yang menjorok kebawah itu, Aziz mendahulukan istri beserta anaknya turun kebawah baru kemudian ia menyusul, dinginnya semen terasa sekali menggigit kaki mereka.

Setelah berada didalam lubang Aziz menutup separuh lubang itu sambil menunggu perkembangan. Tujuan utamanya agar mereka tetap bisa lebih leluasa bernafas dengan udara yang masuk melalui celah yang terbuka. Beda kalau penutup besi itu dia rapatkan tentu mereka akan cepat kehabisan oksigen dan kesulitan bernapas tapi niatan itu kemudian terhenti karena gempa dan hantaman badai aneh itu sepertinya menjadi-jadi kalau sebelumnya hanya barang-barang rumah yang berjatuhan mulai dari lemari, rak piring hingga meja dan kursi sekarang rumah mereka yang sebenarnya cukup kokoh mulai bergetar hebat kemudian disusul dengan runtuhnya sebagian dari tembok rumah. Yang lebih mengkhawatirkan ombak laut yang membawa limpahan air tampaknya sudah mulai memasuki rumah kontan sekejap saja rumah itu sudah banjir air laut tak ada pilihan lagi pintu besi yang memang didesain dengan sistem ditarik kesamping lalu dibagian ujungnya, bagian pintu besi dibuat agak tipis sehingga bisa masuk kelubang yang sengaja dibuat sehingga hasilnya betul-betul rapat hanya kali ini tidak dikunci dengan gembok karena kunci itu dibuat dibagian atas bukan dibawah.

Sejurus kemudian yang terdengar hanya suara gelombang hebat yang menghantam rumah mereka disusul dengan suara reruntuhan bangunan yang terdengar amat menyeramkan, jeritan anak mereka juga makin menjadi-jadi. Di luar gunung ombak dan gelombang air bah menerjang-nerjang dan suaranya bergemuruh begitu hebat. Di dalam lubang itu Aziz, Rafiqah dan anaknya Faiz nyaris kehabisan napas. Kira-kira 1 jam didalam lubang itu mereka mulai merasa sesak tampaknya karena tidak ada lubang ventilasi sedikit pun dalam kamar pengap itu meskipun itu berguna menahan air agar tidak masuk tetapi akibatnya mereka semakin kehabisan udara segar dan oksigen untuk bernafas bahkan setengah jam kemudian pandangan mereka mulai hitam, kepala mereka mulai pusing, dada mereka sesak tapi anehnya suara tangis anak mereka malah mulai berkurang sedikit demi sedikit namun hal itu justru membuat Rafiqah semakin cemas. Jantungnya berdegub kencang keringat dingin seperti menyiram seluruh tubuhnya dengan deras.

Ia meminta suaminya dengan sangat ragu-ragu untuk membukakan pintu besi tersebut tapi Aziz tidak bisa menjawab. Aziz tak tahu apa yang harus ia lakukan, ia juga kebingungan sekali. Bila pintu dibuka sudah pasti air bah akan masuk bahkan bukan tidak mungkin reruntuhan rumah juga bisa menimpa mereka, sama sekali tidak ada hal lebih baik yang bisa diharapkan kecuali bila badai sudah agak mereda pilihannya hanya diam terpaku. Dan memang 15 menit kemudian badai mulai terdengar mereda namun suara anak mereka sudah tidak terdengar lagi hal itu sudah tentu membuat kekhawatiran dan kecemasan didada mereka menjelma menjadi teror.

Tanpa banyak berpikir Aziz langsung membuka pintu brangkas pribadi mereka itu awalnya agak sulit karena tampaknya pintu itu tertindih oleh reruntuhan bangunan rumah mereka sehingga cukup sulit ditarik membuka, akhirnya mereka berhasil meskipun beberapa bongkahan batu yang disusul guyuran air hebat terpaksa mereka tahan dengan badan dan kepala mereka cukup menyakitkan juga apalagi nafas mereka sudah betul-betul habis tapi tak ada waktu untuk berpikir atau mengeluh lagi karena banjir air otomatis langsung memenuhi isi lubang itu. Dengan susah payah mereka terutama Rafiqah yang menggendong anaknya berusaha keluar dari rumah tersebut dengan setengah berenang mereka menerjang keluar. Sangat membingungkan karena mereka sudah tidak melihat pintu-pintu yang ada dirumah itu lagi, yang ada hanya puing-puing bangunan dengan sisa-sisa tembok yang masih berdiri canggung, genangan air yang sampai ke paha mereka membuat jalan mereka menjadi semakin lambat tapi akhirnya mereka berhasil mencapai bagian depan rumah yang masih terlihat bagian pintunya sedikit sisanya sudah ambruk tak karuan.

Mereka berlari keluar, pemandangan yang mereka saksikan jauh lebih buruk dari yang mereka banyangkan!! Kampung mereka bentul-betul hancur, rumah2 dan bangunan runtuh nyaris tak tersisa lagi tak ada satu pun bangunan yang terlihat utuh setidaknya dibatas yang bisa mereka lihat dengan mata kepala mereka. Mereka berdiri mematung seolah-olah tubuh mereka disiram air keras tak ada secuil pun ucapan keluar dari mulut mereka, seolah-olah bisu mendadak. Sekejap mereka baru teringat anak mereka yang masih dalam pelukan Rafiqah, wajahnya pucat kulitnya terasa dingin sekali dan yang membuat dada mereka semakin sesak setelah sekian lama kesulitan bernafas tak terasa lagi detak jantung ataupun suara nafas anaknya mereka terkesiap Enggan untuk memprediksi apa-apa, Aziz memeriksa dengan teliti terutama denyut nadi anaknya, nafasnya, detak jantungnya, temperatur tubuhnya hasilnya sangat pasti Faiz telah meninggal Dunia!!

Suasana menjadi senyap anehnya tak terdengar suara isak tangis atau sedu sedan Rafiqah dan Aziz meskipun cairan bening terlihat menetes tidak banyak tapi cukup untuk membasahi pipi Rafiqah meski mata Aziz memerah menyemburatkan duka yang menganga dalam dadanya, tampaknya Rafiqah dan Aziz sadar bahwa bencana itu murni kehendak Allah dibalik soal apakah ia sekadar bencana atau peringatan atas kelalaian mereka selama ini. Dan kematian anaknya sama sekali bukan akibat keteledoran mereka namun itu suratan yang siapa pun tak mampu menghindarinya. Bagi Rafiqah sendiri itu musibah kedua yang harus ia alami dalam hidupnya yang akhirnya membuat air matanya tak lagi mampu mengucur deras duka akibat musibah kematian Pram telah membuatnya semakin tegar, namun Allah belum berhenti mengujinya dan ia tak mau menjadi orang yang gagal dalam ujian itu. Ia menarik nafas dalam-dalam berdzikir syahdu mengalir dari mulutnya. ALLAHU AKBAR,ALLAHU AKBAR,LAA ILAAHA ILALLAHU ALLAHU AKBAR.....

Badai Tsunami! Itulah nama badai yang akhirnya mereka ketahui, melalui kabar dari mulut ke mulut yakni setelah mereka berhasil meninggalkan kampung mereka bergabung dengan ribuan pengungsi dari berbagai daerah disekitar kota tersebut adapun penghuni kampung mereka mungkin selain mereka tak ada satu pun yang selamat kalaupun selamat setelah dibawa gelombang ombak kesana kemari itu sebuah keajaiban belaka dan Allah berkenan menampakkan sebagian dasi keajaiban tersebut. Banyak diantara mereka yg beruntung menyaksikannya atau minimal mendengar ceritanya.

Rafiqah dan Aziz selamat tak kurang suatu apapun hal itu sudah patut menimbulkan rasa syukur mereka sehingga setelah dengan tergesa-gesa menguburkan anak mereka, mereka pun melanjutkan perjalanan menjauhi daerah tersebut menuju kampung-kampung penampungan. Badai berikut gempa yang katanya nyaris mencapai 9 skala richter itu betul-betul menjadi tragedi bersejarah bagi Rafiqah dan suaminya. Saat beberapa wartawan mewawancarai mereka, Rafiqah terlihat tenang hatinya tetap merasa tentram meskipun kesedihan masih mengintip direlung hatinya. Saat ditanya, bagaimana ia menerima musibah kematian anaknya Ia hanya berkata lugas : "Bung, Ia hanya titipan Yang Maha Kuasa dan kini Allah berkenan mengambilnya kembali. Apa yang perlu dirisaukan? Keadaannya sekarang bahkan jauh lebih baik dari kondisi kita."

ucapan yang meluncur deras dengan nada santun demikian teduh bermakna sehingga beberapa orang disekitarnya dipaksa menangis menitikkan air mata, namun Rafiqah sendiri hanya memandang sejenak ke arah suaminya yang juga tidak kalah teduh dan tabahnya lalu kembali seperti biasa. Bencana itu memang merenggut anak mereka tapi sama sekali tidak dapat merenggut iman yang melekat dilubuk hati mereka. Segala puji bagi Allah yang menciptakan dan mengatur kehidupan hamba-hanba-Nya.

Bencana Tsunami telah terjadi, rumah yang dibeli beserta tanah dan bangunan warung makan didepannya oleh Aziz dan Rafiqah seharga 75 juta rupian hancur berkeping-keping hanya tersisa reruntuhan yang menyapa mereka dengan keheningan. Rafiqah dan Aziz berdiri mematung didepan bangunan itu berbagai perasaan dalam jiwa mereka berkecamuk namun senyum tipis dan tulus masih tersungging dibibir Rafiqah, Aziz sendiri meski tanpa senyum tetap berdiri tegak tak ada rona keputus asaan membias diwajahnya. Bangunan itu runtuh tapi mereka masih berdiri tegak itu artinya hidup masih menyala maka tak ada yg patut mereka cemaskan toh, saat keluar ke dalam kehidupan didunia ini mereka lebih tak berbekal apa-apa.

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,penglihatan dan hati agar kamu bersyukur."(AN-NAHL:78)

Di bank muamalat mereka masih memiliki simpanan uang hasil berjualan selama ini sudah memberikan mereka cukup banyak, sebagian sudah mereka gunakan untuk memperluas warung meski kini sudah runtuh berpuing-puing dan sebagian lagi masih tersimpan aman. Uang itu cukup untuk membangun kembali rumah makan yang kini ambruk tak menyisakan bagian yang bisa ditegakkan lagi.

Selain itu kondisi masih mencemaskan meski sebagian diantara para pengungsi sudah ada yang dijemput sanak keluarga dari luar Aceh. Sebagian lagi memilih kembali kerumah-rumah mereka membuat sejenis tempat tinggal darurat sambil mencari-cari pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Mencari-cari apa saja yang bisa mereka makan karena bantuan dan makanan berjalan merayap-rayap lambat sekali jauh lebih cepat dari kehebohan yang terjadi saat penggalangan dana itu dimana dalam hitungan menit saja sebuah televisi swasta berhasil mengumpulkan dana ratusan hingga milyaran rupiah semua bantuan itu mungkin akan sampai kalau tidak besok mungkin satu abad lagi tapi mereka harus makan dan hidup sekarang maka tak ada yg bisa dilakukan selain bekerja.

Saat suasana sudah mulai sedikit nyaman, Rafiqah dan Azik hendak pergi kewilayah yang tak terkena gempa mungkin di Aceh barat, Aceh timur atau sekalian Langsa atau kawasan lain mereka ingin mencari Bank muamalat yang masih terbuka beruntung buku tabungan mereka masih bisa digunakan meski sudah basah dan sebagian tulisannya hilang. Mereka menyewa sebuah mobil milik orang yang dikenal suaminya tapi bukan main sewa sehari 1 juta rupiah. Ini keterlaluan! Ini namanya mencari kesempatan dalam kesempitan, sungguh tak tahu malu namun untuk berangkat menumpang mobil-mobil yang mengangkut barang besi-besi tua atau bala bantuan dari wilayah aman rasanya tak mungkin lebih mencemaskan akhirnya mobil disewa 2 hari dan uang sewa dibayar saat mereka kembali. Deal, mereka pun berangkat.

Akhirnya uang sudah ditangan dengan bersusah payah mereka bisa mendapatkan orang-orang yang mau membantu mereka membangun rumah mereka yang kini sudah menjelma menjadi puing-puing berserakan. Prosesnya masih sulit bahan bangunannya masih susah dicari dan harganya lebih mahal dari sebelum terjadinya Tsunami, tapi mereka tak mungkin menunggu lebih lama, sudah lama mereka tidur dalam tenda dan menahan rasa dingin menusuk setiap malamnya. Dengan kerja keras akhirnya rumah pun selesai dibangun, mereka juga masih harus membeli perkakas-perkakas rumah sederhana dengan uang yang tersisa tidak banyak, cukup untuk memulai berjualan tapi tak cukup untuk membuat bangunan tambahan sebagai lokasi warung dan yang lebih parah belum banyak orang yang bisa diharapkan menjadi pelanggan mereka. Suasana masih tak menentu, banyak orang tapi mereka adalah kumpulan manusia dari berbagai penjuru dunia tapi intinya orang-orang ada. Selama ada orang bisa diharapkan ada yang membeli jualan mereka tapi ini satu lagi masalahnya bahan-bahan makanan yang akan dimasak juga masih sulit didapat. Wah, kalau ini solosinya sulit sekali tapi mereka tak mau hidup dengan menghabiskan uang mereka tanpa bekerja, akhirnya mereka memutuskan untuk menjual makanan yang bisa diolah cepat, disantap nikmat dan disukai masyarakat sekitar apalagi kalau bukan ikan sembam.

Ikan sembam adalah ikan bakar, disembam artinya dibakar tanpa mengunakan banyak bumbu seperti layaknya ikan bakar khas padang atau ikan bakar ditanah Jawa, ia hanya dibakar dengan tambahan bumbu merica dan sedikit bawang putih dan garam terkadang hanya dengan garam saja. Ya, garam saja ikan dibiarkan matang dengan rasa aslinya baru nanti disantap dengan nasi panas lalapan dan sambal pedas rasanya menggelitik lidah. Untuk menjual makanan seperti itu tidak susah, nelayan sudah kembali beroperasi dengan membeli ikan bukanlah perkara sulit, jarak rumah mereka yang tak jauh dari pantai membuat mereka mudah mendapatkan ikan-ikan segar. Ikan-ikan itu tak perlu didinginkan dengan es, dibiarkan begitu saja cukup ditaburi pasir agar lebih awet.

Saat ada pembeli ikan dibersihkan, disiangi dan dibakar aromanya akan terasa menyengat karena ikannya segar. Mereka hanya perlu membuat steling kecil yang diletakkan diatas sebuah meja panjang seperti layaknya orang yang menjual sarapan pagi lalu disediakan beberapa buah bangku panjang dan beberapa kursi plastik itu sudah cukup mewah untuk situasi saat itu yang masih serba darurat. Saat dibuka hari pertama dimulai dengan 3kg ikan saja dengan ukuran kecil-kecil, ternyata laris manis sebentar saja ludes banyak pelancong, sukarelawan atau bahkan para penduduk dengan pengungsi disekitar itu yang berminat menikmati ikan bakar buatan mereka. Bosan dengan makanan khas pengungsi atau karena penat melakukan evakuasi besar-besaran mereka akan merasa nikmat bila disuguhi ikan bakar segar dengan harga sangat terjangkau maka usaha itu kembali berjalan meski dilevel yang jauh lebih rendah tapi kebahagiaan terasa membias indah dalam hati Aziz dam Rafiqah.

Sore itu seperti biasa Rafiqah dan Aziz melayani para pembeli. Sekarang dari mulai jam 6 pagi (saat itu waktu subuh jam 05.30 pagi) mereka sudah membuka warung itu pun sudah banyak orang antri memesan ikan bakar mulai dari jam 6 hingga jam 8 pagi itulah waktu paling ramai setelah itu biasanya berkurang mulai sepi saat itulah Aziz dan Rafiqah melakukan berbagai pekerjaan rumah menyapu, mengepel dan membereskan tempat tidur dan mengisi bak mandi nanti akan mulai ramai lagi sehabis shalat Dzuhur hingga pukul 14.00 siang hari. Siang hingga sore pengunjung agak sepi bahkan sering tak ada pembeli satu pun, itulah waktu mereka beristirahat mulai jam 17.00 sore hari pengunjung kembali datang satu persatu, puncaknya habis maghrib dan biasanya saat itu jualan akan tinggal sedikit dan tak lama kemudian ludes tak tersisa padahal Aziz menyiapkan tak kurang dari 30-35 kg ikan setiap harinya. Saat itu jam sudah menunjukan pukul 17.15, para pembeli masih sepi bahkan saat itu belum tampak seorang pun saat itu, Rafiqah dan Aziz duduk disebuah bangku panjang dibelakang steling bukan didepannya dibangku yang biasa digunakan para pelanggannya

Di situ pandangan mereka kedepan tertutup oleh steling yang tidak terlalu besar tapi berada pas dikepala mereka bila mereka sedang duduk sehingga mereka tidak menyadari ada 2 orang pembeli datang, mereka baru sadar setelah salah seorang diantara kedua orang itu memesan makanan.

"Tolong bakarkan ikannya 2 ekor" ujar seorang pria yg sudah berumur disampingnya seorang ibu berkerudung menemaninya mereka langsung duduk dibangku panjang tepat didepan steling. Aziz dengan tergopoh-gopoh menyiapkan sambal dadakan yang pedas sekali, sementara Rafiqah menyiangi ikan untuk segera dibakar. Saat itu secara iseng Aziz bertanya.

"Dari mana, Pak? Tinggal di Aceh?"

"Oh, tidak kami dari luar kota."

"Tujuan kemari?" tanya Aziz datar, ia sudah terbiasa mendengar jawaban seperti itu lalu membalasnya dengan pertanyaan seperti tadi. Kebanyakan pengunjungnya akhir-akhir ini justru dari luar kota.

"Hanya ingin menyampaikan bantuan dana untuk para korban Tsunami, kami ingin menyampaikannya secara langsung. Ya, demi kepuasan saja sekaligus untuk melihat langsung lokasi bencana untuk berbagi rasa dengan para korban bencana disini."

"Alhamdulillah,rupanya ada juga orang-orang yang rela memberikan sebagian harta mereka dan datang langsung kelokasi ini padahal bisa saja Tsunami terjadi kembali. Bapak tidak takut?"

"Ah, untuk apa takut? Niat kami baik, kok. Takdir itu Allah yang menentukan, bukan hanya disini dimanapun bisa saja terjadi Tsunami."

"Wah, bagus sekali saya senang mendengarnya." ujar Aziz sambil terus menggiling cabe yang kini sudah berubah wujud menjadi sambal sejenak kemudian sudah siap Aziz mengelap tangannya dengan kain blancu yang ia letakkan diatas meja.

"Lagi pula selain menolong para korban bencana kami datang untuk mencari tahu kabar anak, menantu dan juga cucu kami."

"Bapak punya anak dan cucu disini?" tanya Aziz jadi penasaran.

"Ya, kami sedang mencarinya, semenjak Tsunami kami kehilangan kontak sama sekali."

"Siapa nama putri Bapak? Mungkin kami kenal?" tanya Aziz. Saat itu Rafiqah sudah selesai membakar ikannya, ia juga penasaran ingin ikut nimbrung bicara. Ia membalikkan badan dan berjalan ke dekat Aziz, sementara Aziz berdiri dan berniat menyiapkan lalapan untuk 2 ekor ikan bakar yang sudah siap saji tersebut.

"Nama anak atau putri kami, Rafiqah."

"Eh.. sssiii... Si.. siapa, Pak?"

Saat itu Rafiqah terkaget, Ia baru menyadari bahwa suara pria itu sudah sangat ia kenal.

"Putri kami bernama Rafiqah suaminya yakni menantu kami Aziz dan cucu kami bernama Faiz....."

Belum selesai pria itu berbicara Rafiqah berhambur ke depan.

"Papa......" Rafiqah berteriak haru.

Pria didepannya memang Papanya Pak Broto susilo, Ia tak mungkin tak mengenali Papanya. Wajah suara dan bentuk tubuhnya ia memang Pak Broto, Rafiqah memeluknya. Aziz juga ikut berhambur dan bergantian Rafiqah memeluk mertuanya tersebut.

"Papa datang sendirian saja? Atau sama siapa?" tanya Rafiqah dengan nafas terengah-engah karena menahan haru yang menyesak dadanya.

"Kamu lihat saja sendiri, sama siapa Papa datang."

Rafiqah memandang wanita disamping Pak Broto, seorang wanita yang sudah cukup tua namun masih kelihatan cantik. Wanita itu mengenakan jubah panjang dengan jilbab lebar hingga hampir ke lutut, jubahnya berwarna coklat tua berbahan tebal sementara jilbabnya juga berwarna coklat kehitaman. Sangat serasi dengan kecantikan wajah tuanya, wanita itu begitu anggun. Rafiqah memandang wajah wanita tersebut ia seperti mengenalnya atau wajah wanita ini sangat mirip dengan orang yang betul-betul dikenalnya tiba-tiba ia tersentak.

"Ma... Mama? Mama kah itu?" Rafiqah memandang wanita didepannya dengan jantung berdegup kencang ia melihat wajah mamanya tapi bukan tampilan mamanya. Mamanya berjilbab? Mungkinkah itu?

"Aih, ananda Rafiqah apa kamu sudah lupa sama mamamu sendiri? Apakah wajah mamamu sudah terlalu tua sehingga kamu tak lagi mengenalinya?"

YA, ia memang mamanya! Masya Allah. Kembali Rafiqah berhambur kepelukan mamanya kali ini ia tak mampu menahan tangisnya. Ia bagai baru terbangun dari sebuah mimpi buruk dan langsung berhadapan dengan istana yang indah memukau memanjakan mata. Mamanya berjilbab? Sungguh nyaris tak dapat dipercaya. Mamanya datang bukan dengan sekadar berjilbab, jilbab yang dikenakan mamanya bahkan sedikit lebih sempurna dari yang dikenakan Rafiqah, mamanya yang sekuler itu? Astaghfirullah, ia jadi berpikir yang tidak-tidak. Keharuan membuat pikiran Rafiqah tak terkendali.

"Sejak kapan mama berjilbab?" tanya Rafiqah penasaran.

"Belum lama ananda tapi sudah terlalu lama untuk usiaku yang sudah menua seperti ini. Aku merasa terlambat menyadarinya."

"Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik, Ma."

"Ya, ananda mama mengerti mama baru mengenakan jilbab ini sebulan yang lalu."

Mimik wajah Bu Broto terlihat sendu air mata menetes di ujung kelopak matanya, ia tersenyum dan melanjutkan ceritanya.

"Saat mendengar berita Tsunami, mama nyaris gila. Mama membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada dirimu, ada sejuta penyesalan kenapa mama membiarkan kalian berdua merantau kekota ini, tapi mama sadar bahwa saat itu memang tak seorang pun mengira kota ini akan dibombardir oleh badai sehebat itu. Papamu berusaha menyadarkan mama, namun mama terus menangis setiap hari mengkhawatirkan nasibmu, kakak-kakak dan adikmu juga menangis tapi mama yang paling tenggelam dalam tangisan itu terjadi setiap hari sehingga menimbulkan tanda tanya pada diri papamu dan juga saudara-saudarim,u kami berusaha mengontakmu tapi tidak bisa sementara berita tentang ditemukannya mayat korban bencana termasuk dari kota ini Banda Aceh setiap hari bertambah banyak. Mama makin cemas sehingga betul-betul mama akan menjadi gila bila tak segera ditenangkan papamu membawa mama ke RS, dokter memberikan mama obat penenang namun sama sekali tak bermanfaat, kecuali sekadar menenangkan sesaat saja. Papa tak tahu harus berbuat apa lagi, menjejali mama dengan obat penenang terus menurus jelas tidak mungkin. Saat itu datang temanmu Heryani, ia datang dengan sebuah ketulusan yang mama kagumi setiap orang yang melihat mama hanya bisa menasehati sebentar saja. Kemudian membiarkan mama tenggelam dalam kesedihan. Temanmu itu, Rafiqah menemani mama sepanjang hari bahkan ia meminta untuk menginap agar bisa meredakan kesedihan mama. Sungguh mama mengaguminya, melihatnya mama jadi teringat kamu ananda. Ia sama baiknya denganmu dan baru kali itu mama menyadari kebaikannya, baru kali itu mama menyadari bahwa jilbab yang ia kenakan memberikan keteduhan dalam hatinya. Ia sungguh wanita yang baik dan shalihah, cantik luar dan dalam betapa iri mama melihatnya dan betapa menyesal mama selama ini membenci wanita-wanita yang berpakaian seperti itu. 2 hari Heryani menginap dirumah dan dalam 2 hari itu nyaris ia tak beranjak dari sisi Mama, papamu tidur dikamarmu dulu dan Heryani menemani mama dikamar. Ia terus menenteramkan batin mama dengan membacakan hadits penjelasan para ulama tentang keutamaan sabar dan cerita-cerita singkat yang penuh hikmah, hati mama menjadi sejuk dan damai, ia juga membaca ayat-ayat Al-Qur'an dengan suara merdu setiap malam hingga mama tertidur nyenyak. Di waktu subuh kami shalat berjamaah, Heryani sebagai imamnya baru saat itu mama merasakan indahnya shalat meski setiap hari mama melakukannya. Yah, semenjak itu mama semakin menyukainya. Ia mengenalkan mama dengan seorang Ustadz yang tinggal tak jauh dari rumah kita, namanya ustadz Hamidi. Mama tahu Bapak Heryani juga seorang ustadz, tapi tampaknya Heryani sungkan mengenalkan mama dengan Bapaknya sendiri. Ustadz Hamidi teman Bapak Heryani Ustadz Qamaruddin tentu ananda sudah mengenalnya. Akhirnya mama mengajak papa dan juga saudara-saudaramu membuat pengajian dirumah. Ustadz Hamidi yang mengisinya, kami minta setiap hari sehabis shalat ashar sehingga terpaksa pengajian dijadwal selain Ustad Hamidi beberapa Ustadz lain juga secara bergantian mengisi pengajian, kami bilang bahwa untuk sementara setiap hari kami mengaji bila kami merasa sudah cukup mengenal dasar-dasar ilmu yang harus kami pahami terutama soal akidah baru pengajian dibuat 2 kali sepekan saja. Pengajian itu pun berlangsung terus, mama pun memutuskan berjilbab demikian juga adikmu Heni. Ia sekarang mengenakan jilbab sepertimu,ananda." Mata mama berkaca-kaca.Rafiqah bertafakur dalam haru."

Bu Broto melanjutan ceritanya.

"Baru kemarin kami mendengar bahwa jalan menuju ke Aceh sekarang sudah mulai kebih mudah, kegiatan masyarakat Aceh meski tertatih-tatih sudah mulai berjalan maka kami pun berangkat kesini tak disangka-sangka bahwa Mama Dan Papamu bertemu kalian disini mama senang sekali. O,ya mana Faiz?"

Cerita Bu Broto menyelipkan keharuan hebat didada Rafiqah. Alhamdulillah harapannya selama ini terkabul segala kesedihan dan kedukaan yang masih tersisa di dadanya tiba-tiba saja menguap habis kini hatinya terisi dengan kebahagiaan yang indah bukan main. Aziz juga duduk bertafakur menikmati gejolak hatinya yang diaduk-aduk rasa bahagia yang membuncah mereka terdiam, mereka baru tersadar kalau Bu Broto menanyakan tentang putra mereka Faiz. Dengan berat hati mereka menceritakan kejadian sesungguhnya. Bu Broto terlihat sedih, tapi ia terlihat tabah bertemu dengan putrinya dan juga menantunya dalam kondisi sehat wal-afiah sudah merupakan kebahagiaan hebat maka mereka pun merelakan kepergian cucu yang tercinta itu Faiz.

Hari makin senja, langit sedikit demi sedikit mulai menjadi agak gelap, sebentar lagi matahari akan tenggelam. Pak Broto, Bu Broto, Rafiqah dan Aziz duduk bercengkerama. Menikmati udara senja yang sejuk didepan rumah mereka. Di atas 2 bangku panjang yang dibiarkan berjejer berdampingan menghadap ke barat. Kemuning senja menyapa mereka, kebahagiaan mengembang didada mereka. Mereka berbicara dan tertawa penuh bahagia, dibalik sekian bencana yang mereka rasakan dibalik beragam musibah yang mereka rasakan selama ini ternyata tersembunyi akar kebahagiaan yg baru terlihat menyeruak di senja itu. Akar itu menumbuhkan pohon CINTA yang begitu sejati, cinta dalam lautan iman, cinta anugerah yang tidak akan menjajah jiwa.

Duhai indahnya! Dan itu terjadi bukan di Jakarta bukan dikota yang hingar bingar dengan kesibukan manusia berjuta rupa tapi disudut barat dari negeri indonesia. Di sebuah kota yang baru saja dihantam bencana kolosal Tsunami, kota yang kini kebanyakan berisi orang-orang yang terlantar dan menanti belas kasih sesamanya. Di kota yang dikenal dengan sebutan Serambi Mekah dan kami lebih suka menyebutnya, BERANDA MEKAH.


TAMAT


NB : www.janganjadimuslimahnyebelin.facebook.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar