Polisi
sudah memeriksa kasusnya. Ia telah menjelaskan semuanya sejak ia bisa berbicara dengan jelas dan ingatannya telah kembali
sepenuhnya. Pelaku kejahatan itu adalah tiga
orang asing, dua berkulit hitam dan satu
berkulit putih asal Eropa. Yelena telah
menggambarkan dengan detil ciri-ciri mereka.
Yelena juga memberitahu polisi bahwa yang
membawa mereka kepadanya adalah Olga
Nikolayenko.
Ia
tidak tahu sampai di mana polisi mengejar para pelaku. Apakah mereka sudah ada yang tertangkap.
Atau malah sudah tertangkap semua.
Atau
malah sama sekali tidak ada yang tertangkap.
Atau memang polisi tidak berusaha menangkap? Ia juga tidak tahu apakah Olga Nikolayenko juga terseret ke penjara? Atau sama sekali tidak tersentuh apa-apa, seperti sebelum-sebelumnya?
Yang
jelas, setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Olga Nikolayenko dan teman-temannya. Ia juga sudah
berbulat tekad untuk tidak lagi berdekat-dekat dengan dunia hitam itu lagi. Sementara ini ia
masih bisa mengandalkan tabungannya. Ia masih bisa bertahan hidup selama dua tahun di Moskwa
tanpa bekerja sekali pun. Tetapi ia akan tetap
berusaha bekerja.
Begitu
ia merasa sudah sampai di apartemen dan seluruh lukanya sudah sembuh, termasuk tulang-tulangnya yang patah sudah pulih, dan
luka di daun telinga yang diamputasi juga sudah sembuh, ia akan langsung mencari, kerja. Ia yakin pasti tidak mudah. Meski tidak mudah, tekadnya sudah bulat.
"Selamat
tinggal dunia hitam. Dan selamat datang masa depan," pekiknya dalam hati.
Ia
sangat paham angka pengangguran di Rusia cukup tinggi. Tapi ia akan berusaha. Kalau sampai tidak dapat pekerjaan, ia akan jadi pengamen saja selama musim semi sampai menjelang musim dingin. Ia dulu pernah bisa main biola dengan cukup baik, meskipun ia akui tidak sebaik Linor yang profesional. Tetapi, dengan bisa bermain
biola mungkin ia bisa mengamen di Arbatskaya,
Kitai Gorod, atau di daerah-daerah yang biasa dikunjungi turis lainnya.
Gairah
hidupnya memang tumbuh kembali. Ia merasa masih ada yang peduli padanya. Paling tidak Bibi Margareta, dan Ayyas sangat peduli
padanya. Meskipun ia bukan siapa-siapanya mereka. Dan mereka berdua juga sangat asing
baginya. Linor ternyata cukup perhatian juga padanya, meskipun selama ini Linor sangat dingin
padanya dan sering adu mulut, tetapi di saat dia terkapar tak berdaya, Linor tetap menunjukkan
sisi kepeduliannya. Masih ada sisi manusia di dalam dirinya.
Bahwa
ada satu orang saja di dunia ini yang peduli padanya, ia merasa itu sudah cukup menjadi alasan baginya untuk bergairah menyambung hidup, yang sebelumnya ia rasakan begitu hampa dan tidak bermakna. Ia bahkan sampai merasa bukan lagi seorang manusia.
Kini
ada orang-orang yang memanusiakannya dan memedulikannya. Ia jadi merasa masih menjadi manusia, dan berhak hidup sebagai manusia. Ya, ia yakin dirinya adalah manusia seutuhnya, yang memuliakan dan dimuliakan, yang layak menghormati dan dihormati.
Akan
tetapi ia masih mencemaskan satu hal, yaitu jika Olga Nikolayenko sama sekali tidak tersentuh apa-apa, lalu perempuan cantik yang
bengis itu memaksanya untuk kembalike dunia hitam Tverskaya dengan segala cara. Ia tidak
tahu bagaimana cara menghadapinya. Ia hanya berpikir jika itu yang terjadi, maka ia lebih baik
pergi dari Moskwa sejauh-jauhnya, dan mencari tempat hidup yang lebih tenang dan nyaman.
Ia
merasa tidak mungkin lagi bisa berteman dengan Olga Nikolayenko, Mavra Ivanovna, Rossa De Bono, Valda Oshenkova, Kezina Parlova, Amy Lung dan lainnya. Sebab, ia merasa mereka sama sekali tidak memanusiakannya dan tidak peduli sedikit pun padanya. Tidak ada seorang
pun di antara mereka yang mau menjenguknya, meskipun ia telah memberi kabar penderitaan yang dialaminya lewat sms kepada mereka.
Lebih
dari itu, setiap kali ia berkumpul bersama mereka, harga dirinya sebagai manusia seperti tanggal begitu saja dan hilang, lalu yang ia
rasakan hanyalah nafsu kebinatangan dan cara
hidup layaknya setan jalang. Yelena
mendengar suara sepatu mendekat ke pintu. Lalu seseorang mengetuk pintu. Yelena melangkah membuka pintu yang terkunci dari dalam. Nampaklah wajah Ayyas yang kelelahan.
"Privet,
kak dela? (Hallo, apa kabar?) Ayyas berusaha tersenyum pada Yelena.
"Ya
Vso Kharasho (Saya baik-baik saja). Masuklah! "Jawab Yelena dengan mata berbinar dan bibir menyungging senyum yang manis.
"Bibi
Margareta ada?"
"Ada.
Sudah tertidur. Itu lihat."
"Pantas
tidak terdengar suaranya. Biasanya juga dia yang membuka pintu."
"Kau
dari mana nampak sangat lelah dan kedinginan?"
"Seperti
biasa, tadi pagi sampai siang di kampus MGU. Kira-kira jam tiga aku ke masjid Prospek Mira, menemui seorang sahabat."
"Wajar
kalau kau lelah."
"O
ya ini aku bawakan beberapa potong roti pirozhki."
"Wah
menyenangkan. Sudah lama aku tidak merasakan pirozhki? Jerit Yelena girang.
Ayyas
membuka bungkusan agak besar yang dibawanya dan mengeluarkan isinya.
"Kau
beli banyak sekali." Sambung Yelena.
"Aku
kelaparan. Bibi Margareta dibangunkan saja. Kita makan roti pirozhkinya. Bersama sama.”
"Benar."
Yelena
membangunkan Bibi Margareta. Perempuan tua bertubuh gemuk itu mengucek kedua matanya dengan punggung tangan kanannya. Begitu
bangun kedua matanya langsung menatap roti pirozkhi yang ada di atas meja.
"O
pirozbki. Puji Tuhan." Katanya.
"Bibi,
minta tolong beli tiga cangkir teh panas di kantin" Pinta Yelena.
"O
baik, Anakku. Memang enaknya makan roti pirozhki sambil minum teh panas. Yang
benar-benar panas. Yang uapnya masih
mengepul." Sahut Bibi Margareta dengan
senyum mengembang. Perempuan itu lalu
bangkit dan bergegas menuju kantin.
Ayyas
sudah tidak sabar. Ia langsung mencomot satu pirozhki berisi kacang mindal. Yelena
ikut mencomot satu pirozhki berbalut cokelat.
"Besok
sore jadi pulang?" Tanya Ayyas.
"Malah
diajukan besok siang."
"Alhamdulillah.
Linor hari ini datang?"
"Tidak.
Mungkin sedang sibuk."
"Entah
kenapa, dia seperti tambah dingin padaku. Nampak agak membenciku." Gumam Ayyas.
"Jangan
kau ambil hati. Dia memang begitu. Dingin. Cantik tapi wajahnya dingin. Wajahnya
cerah kalau dia main biola dalam konser yang
dibanggakannya. Aku pernah melihatnya dua
kali. Dia seperti malaikat memainkan biola,
sangat menawan dan memesona."
"O
ya sudah ada kabar dari kepolisian? Para penjahat yang menganiaya kamu sudah ditangkap?"
"Tak
ada kabar apa-apa. Aku tidak tahu polisipolisi
itu bekerja apa tidak."
"Kalau
tidak ditangkap dan diberi hukuman yang setimpal, para penjahat itu bisa semakin merajalela, mereka bisa semakin besar kepala dan semakin menjadi-jadi kezalimannya."
"Aku
menduga polisi tidak berbuat apa-apa, sebab para penjahat itu kelihatannya ada mafia
yang melindunginya."
"Dari
mana kau bisa menduga seperti itu."
"Yang
mengenalkan aku dengan salah seorang dari mereka adalah Olga Nikolayenko. Dan kau
harus tahu, dia kekasih gelap salah satu pemimpin
mafia yang paling ditakuti di Moskwa."
"Apakah
polisi kalah sama mafia?"
"Di
banyak negara, bahkan presiden pun diatur oleh mafia. Aku yakin kau sudah tahu apa
profesiku setelah kejadian ini. Beberapa waktu
sebelum kau datang-aku memiliki tamu seorang
pejabat dari negaramu. Dia mengaku, di depan
publik dia dikenal sebagai pejabat. Tapi sebenarnya
dia adalah seorang kepala mafia. Dia memiliki banyak perusahaan, dan perusahaannya itu ia jalankan dengan cara mafia. Dia bercerita sendiri, sangat mudah baginya mengeruk uang negara dengan cara yang kelihatannya legal, tapi sebenarnya ilegal. Itu dia sendiri yang cerita."
Ayyas
terhenyak mendengar penjelasan Yelena. Ia memang sering mendengar cerita kebusukan
para pejabat Jiinggi, bahkan di internet ia bisa membaca hampir setiap hari ada pejabat
yang masuk penjara karena melakukan kejahatan
korupsi. Tapi penjelasan Yelena benar-benar
membuatnya kaget; sebobrok itukah kerusakan sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia?
"Boleh
aku tahu siapa nama pejabat Indonesia itu?" Tanya Ayyas penasaran.
"Maaf
aku tidak boleh membuka rahasianya. Sudah kesepakatan."
"Kenapa
kau menutupi identitas seorang penjahat?! Kalau kau beritahu aku siapa dia, paling
tidak aku bisa memberitahu kepada rakyat Indonesia
agar berhati-hati padanya." Desak Ayyas
dengan nada jengkel.
"Karena
aku sudah komitmen untuk tidak membuka rahasianya, maka tidak ada pilihan bagiku
kecuali untuk menjaga komitmen. Yang jelas, aku sudah memberitahu kamu, bahwa ada pejabat dari negaramu yang kalau kunjungan ke luar negeri seperti itu kelakuannya, dan di dalam
negeri sesungguhnya ia tidak ada bedanya dengan kepala penyamun dan mafia. Itu menurutku
sudah cukup." Tegas Yelena tanpa ragu sedikit pun.
Bibi
Margareta datang membuka pintu diikuti pegawai kantin yang membawa nampan berisi
tiga cangkir teh panas. Pegawai kantin itu seorang
perempuan berwajah Asia Tengah.
Ia
melihat Ayyas sesaat lalu menurunkan cangkir-cangkir berisi teh itu di atas meja. Ia masih sempat menatap wajah Ayyas sebelum pergi meninggalkan kamar itu.
"Bismillaahirrahmaanirrahiim"
Kata Ayyas mengambil
satu cangkir dan menyeruputnya pelan.
"Yang
tadi kauucapkan itu doa ya, Malcik?"
"Iya
Bibi"
"Itu
bahasa Indonesia?"
"Bukan
Bibi."
"Bahasa
apa?"
"Bahasa
Arab."
"Jadi
kau orang Islam?"
“Iya.”
"Aku
senang. Kau baik. Dulu aku pernah punya teman orang Islam yang juga baik, bahkan
baik sekali. Sayang dia bernasib tragis."
"Tragis
bagaimana Bibi?"
"Saat
rezim komunis mencengkeram negeri ini, semua agama dilarang melaksanakan aktivitas
ibadah. Bahkan semua yang beragama dipaksa untuk ikut komunis. Gereja-gereja ditutup
dijadikan gudang, masjid-masjid juga sama.
Maka
orang yang beragama menjalankan agamanya dengan diam-diam. Teman saya namanya Zakarov. Dia orang Islam. Suatu ketika dia shalat di kamar rumahnya dan diketahui oleh anak tetangganya yang komunis. Anak tetangganya itu lapor kepada ayahnya. Dan ayahnya lapor kepada pihak pemerintah. Akhirnya ia dan seluruh anggota keluarganya ditembak mati di hadapan penduduk desa. Aku menyaksikan dengan kepalaku sendiri eksekusi itu. Saat itu aku
masih sekolah dasar. Aku tidak pernah melupakan
peristiwa itu. Anak yang melaporkan itu
adalah juga temanku, sejak itu aku tidak pernah
memaafkannya sampai sekarang. Ya sampai
sekarang. Sebab, perbuatannya telah membuat teman yang sangat baik kepadaku dibantai bersama seluruh anggota keluarganya."
"Apa
kebaikan Zakarov pada Bibi, sampai Bibi kelihatannya tidak pernah melupakannya."
"Dia
teman satu sekolah denganku. Keluarganya termasuk kaya. Sementara aku boleh dikata anak petani paling miskin di desa. Ketika banyak anak-anak menghinaku, Zakarov ada di
sampingku, dia membelaku. Saat aku tidak punya
sepatu, Zakarov minta uang kepada orang tuanya
untuk membelikan aku sepatu. Dan orang tuanya
memang sangat dermawan. Kalau mau hari raya tiba, orang tuanya itu memberi kami hadiah uang yang cukup banyak, mereka menyebutnya shadaqah. Khusus aku, selain diberi uang aku juga dibelikan baju baru. Sayang orang-orang baik itu sering kali ditakdirkan untuk berumur pendek."
Muka
Bibi Margareta nampak sedih, matanya berkaca-kaca.
"Bibi
selamat sampai sekarang, berarti Bibi komunis?"
"Tidak
mungkin aku komunis. Tidak mungkin aku ikut cara hidup orang-orang yang kejam itu!"
Sahut Bibi Margareta dengan nada tinggi. "Kami
hanya pura-pura komunis. Ya, kami sekeluarga
tidak ada pilihan lain kecuali pura-pura jadi
komunis saat itu. Setelah pemerintah komunis
ambruk dan kebebasan beragama dibuka, kami kembali mencari gereja."
"Bibi
sambil dimakan roti pirozhki-nya."
"Iya.
Spasiba balshoi."
Bibi
Margareta mencomot sepotong pirozkhi berisi keju, lalu mengunyahnya pelan. Gurat-gurat
wajahnya yang telah menua tidak bisa menyembunyikan, bahwa wajah itu adalah jelita ketika mudanya. Ayyas ingin bertanya kenapa Bibi Margareta sampai menjadi gelandangan, apa tidak punya anak dan keluarga? Tapi Ayyas mengurungkan
niatnya. Ia tidak sampai hati mengutarakannya.
Ia takut kalau hal itu malah menyinggung perasaan perempuan tua itu atau malah menyakiti hatinya.
"Berarti
Bibi percaya kepada Tuhan?" Tanya Ayyas.
"Apa
kau pernah dengar, berkali-kali aku mengucapkan puji Tuhan, puji Tuhan. Ya pasti
aku percaya kepada Tuhan. Aku ini orang beriman.
Kenapa kautanyakan itu padaku?"
"Untuk
tambah yakin saja, karena aku mau minta tolong sama Bibi."
"Minta
tolong apa?"
"Menyadarkan
dia." Kata Ayyas sambil mengisyaratkan
matanya ke arah Yelena.
"Kenapa
dengan diriku sampai aku harus disadarkan?"
Yelena
yang mengerti arah pembicaraan itu langsung menyela.
"Iya
kenapa dia?" Sambung Bibi Margareta.
"Dia
masih tidak percaya adanya Tuhan! Sadarkanlah dia Bibi!" Jawab Ayyas.
"Benarkah
Yelena?" Tanya Bibi Margareta.
Yelena
mengangguk.
"O
tidak! Ini tidak boleh terjadi. Kau tidak boleh begitu Yelena, Anakku. Aku akan menyesali seumur hidupku kalau kau masih terus tidak percaya adanya Tuhan. Kau bisa selamat dan sekarang sembuh ini karena kasih Tuhan."
"Mungkin
aku masih perlu merasakan tambahan kasih Tuhan lagi, agar aku bisa percaya."
"Oo...
Kau tersesat Yelena. Setiap saat Tuhan melimpahkan kasihnya kepada kita."
"Bibi
jangan gusar dan sedih seperti itu. Bibi peganglah kuat-kuat yang Bibi yakini. Biarlah
Yelena hidup dengan apa yang Yelena yakini juga. Dunia terus berubah, siapa tahu nanti
Yelena berubah." Kata Yelena berusaha menghibur Bibi Margareta.
"Ya
berubahlah menjadi orang beriman Yelena." Sahut Ayyas.
"Kau
boleh berharap apa pun, sebagaimana manusia mana pun bebas memiliki harapan. Kau boleh berharap aku beriman. Teta..." Jawab Yelena.
Belum
sempat ia menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berdering. Yelena bangkit mengambilnya. Satu sms masuk. Hatinya berdebar keras. Rasa was-was dan cemas tiba-tiba
datang dan menyelimuti sekujur tubuhnya begitu
saja. Sms itu datang dari Olga Nikolayenko. Ia
membuka dan membaca sms itu.
Apa
kabar Yelena? Mohon maaf kami tidak bisa menjengukmu. Aku dengar kamu mengalami
kecelakaan kecil. Itu hal yang biasa bukan? O ya
kalau kamu sudah sembuh, segera masuk kerja
ya. Kita sedang kewalahan. Ada banyak ikan istimewa
yang harus diolah dan dimasak. Kamu
pasti merindukannya. Aku harap besok kamu sudah
kembali kerja, sebab aku tadi sudah mengecek
ke tempat kamu dirawat, kamu sudah sembuh. Aku tunggu di tempat biasa.
Kini
rasa cemas itu bercampur amarah. Muka Yelena merah padam, gigi-giginya gemeretak.
Jika Olga Nikolayenko ada di hadapannya, ia rasanya ingin membunuhnya saat itu juga. Ia
disiksa berjam-jam, dan dibuang di pinggir jalan
dalam keadaan sekarat, dan itu dianggap hanya
sebagai kecelakaan kecil. Ia sudah nyaris binasa
jadi bangkai, itu dianggap kecelakaan kecil.
Daun
telinganya sampai harus diamputasi karena sudah
membeku jadi es, juga dianggap kecelakaan kecil.
Dan kini dengan begitu arogannya memberi perintah kepadanya untuk kembali masuk kerja.
Yelena
sangat marah, tapi kemudian ia sangat sadar siapa Olga Nikolayenko dan siapa yang ada
di belakangnya. Rasa cemas dan takut perlahanlahan
menjalar dengan sangat kuat. Jika Olga
Nikolayenko menggunakan orang-orangnya untuk
menyeretnya ke tempat kerja atau untuk
menghabisinya sekalian, maka ia belum punya jalan untuk melawannya. Apakah besok pagipagi
sekali ia langsung meninggalkan rumah sakit dan langsung pergi sejauh-jauhnya dari Moskwa? Ataukah ia akan mencoba bernegosiasi dengan Olga Nikolayenko sambil mencari jalan keluar?
Yelena
tiba-tiba bingung, ia harus bagaimana sebaiknya? Tiba-tiba ia merasa sangat memerlukan
pertolongan yang mengeluarkannya dari situasi tidak nyaman yang sedang dihadapinya. Ia tidak tahu harus minta tolong kepada siapa?
"Ada
apa? Kenapa tiba-tiba kamu terlihat begitu ketakutan dan panik?" Tanya Ayyas.
"Aku
menghadapi masalah serius. Dan kau tidak bisa membantuku. Bibi Margareta juga tidak bisa membantu. Linor apalagi. Aku sendiri merasa susah menghadapinya. Aku tidak tahu harus minta bantuan siapa?" Jawab Yelena dengan wajah cemas.
"Kalau
kau beriman, kau akan mudah minta bantuan. Yaitu minta bantuan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Jika Tuhan membantu, tidak ada yang tidak terselesaikan." Sahut Bibi Margareta
tenang.
"Bibi
Margareta benar. Jika Allah, Tuhan sekalian alam memberi pertolongan, maka tidak ada yang perlu kita takutkan dan kita sedihkan."
Salju
kembali turun petang itu. Anastasia Palazzo duduk di ruang tamu yang merangkap menjadi ruang kerja, perpustakaan sekaligus ruang santai. Ia tinggal di kawasan Tretyakovskaya. Tepatnya di sebuah apartemen yang terletak dilantai empat
pada sebuah gedung tua tak jauh
dari Galeri Tretyakov. Apartemen itu terhitung
kecil. Hanya terdiri atas ruang tamu, dua kamar
tidur, satu kamar mandi dan dapur.
Anastasia
telah mendesain ulang apartemennya itu sehingga terasa lebih nyaman. Tidak
tanggung-tanggung, ia dibantu oleh seorang desainer
interior terkemuka Aleksandrovna Vasilyevichna.
Sehingga apartemennya yang sempit itu seperti memiliki sihir. Siapapun yang masuk ke dalamnya akan merasa betah dan ingin berlama-lama.
Selama
ini, Anastasia Palazzo hanya ditemani oleh seorang perempuan tua berumur enam puluh
tahun bernama Krupina. Ia memanggilnya Bibi Krupina. Ibunyalah yang mengirim Bibi Krupina
untuk menemaninya. Bibi Krupina tak lain dan
tak bukan adalah adik angkat ibunya. Selama ini
Bibi Krupina memperlakukan Anastasia layaknya
anak sendiri dan sebaliknya Anastasia memandang
Bibi Krupina tak berbeda dengan ibunya sendiri.
"Bibi,
bisa minta tolong dibuatkan teh hijau panas." Ucap Anastasia dengan pandangan mata
tetap tertuju pada makalah yang baru saja ia
print. Makalah itu ia tulis dalam bahasa Inggris,
akan ia presentasikan dalam sebuah seminar
internasional di Kota Praha, Cekoslovakia.
"Baik,
Anakku." Seorang perempuan tua bertubuh
agak tinggi dan besar menjawab dari dapur
dengan suara besar.
"Mau
dicampur dengan jahe tidak?" Tanya perempuan tua itu beberapa jurus kemudian.
"Boleh
Bibi, asal jangan memakai gula sedikit pun."
"Baik,
Anakku."
Tak
lama kemudian perempuan tua bersuara besar itu keluar dari dapur membawa nampan
berisi mug porselen putih. Mug itu berukuran
sedang. Tidak besar dan tidak kecil. Mug itu adalah
mug kesayangan Anastasia. Mug yang menemaninya
selama menyelesaikan S3-nya di
Inggris.
Perempuan
tua yang tak lain adalah Bibi Krupina itu meletakkan mug berikut tatakannya di atas meja kerja Anastasia. Tak jauh dari tangan
kanan Anastasia. Asap mengepul dari mug itu.
Bau harum teh hijau dan jahe yang diseduh langsung
menyusup perlahan ke hidung Anastasia. Itu
adalah bau yang sangat disukai Anastasia. Setiap
kali ia mencium bau seperti itu syaraf-syarafnya
seketika seperti diremajakan kembali.
"Spasiba
balsoi, Bibi." Ujar Anastasia sambil memejamkan mata mengerahkan konsentrasinya,
sementara hidungnya mulai menghirup bau harum
teh hijau itu pelan-pelan.
"Bibi
sudah buat sup ukha kesukaan ibumu." Gumam Krupina di dekat telinga Anastasia.
"Sup
ukha? Seperti ibu ada di sini saja. Kalau Bibi Krupina ingin ketemu ibu karena sudah
lama tidak ketemu, Bibi bisa pulang beberapa
hari ke Novgorod." Ujar Anastasia lembut.
"Jadi
ibumu belum memberitahu kamu!?"
"Memberitahu
apa?"
"Malam
ini dia akan datang."
"Dia
akan datang?!" Anastasia menghentikan pekerjaannya dan memandang wajah Bibi Krupina dalam-dalam.
"Iya.
Tadi siang dia nelpon begitu."
"Malam
ini?"
“Iya.”
"O
my God, dengan siapa dia melakukan perjalanan
sejauh itu? Untuk apa dia kemari? Kalau
perlu diriku, aku bisa pulang ke Novgorod. Dia
tidak harus bersusah-susah. Dia sudah tua."
"Orang
tua tidak berarti harus di rumah terus, tidak ke mana-mana. Orang tua juga ingin jalan-jalan,
menghirup udara yang berbeda. Ibumu mungkin sudah terlalu rindu padamu, dia tidak
ingin mengganggu pekerjaanmu. Maka dia datang untuk melihatmu, juga untuk melihat dimana kamu
tinggal selama ini. Untuk sebuah rasa cinta
yang mendalam dan rasa rindu yang tak tertahan, jarak sejauh apapun tidak menjadi penghalang."
"O
begitu ya Bibi?"
"Menurutku
begitu."
"Apa
Bibi sebenarnya juga ingin jalan-jalan, menghirup udara lain."\
"Lho
kamu kan sudah tahu, Bibi setiap hari keluar rumah. Tadi Bibi belanja di pasar Vietnam.
Di jauh sana, di daerah Savelovskaya. Jadi kamu jangan mengkhawatirkan Bibimu ini. Sementara ibumu katanya sekarang diminta untuk hidup bersama pamanmu di tengah kota
Novgorod. Kau tahu sendiri kan cara hidup pamanmu berbeda dengan cara hidup ibumu."
"Bibi
benar. Sebenarnya saya ingin ibu tinggal di sini bersama kita, tapi ibu tidak mau. Dia tidak
mau keluar dari Novgorod."
"Dia
pernah bilang padaku, ingin mati di Novgorod, dan dikubur di tanah Novgorod bersanding
dengan kubur kakek dan nenekmu."
"Ya,
itulah ibu. Yang penting dia mau datang dengan siapa?"
"Bibi
tidak tahu persisnya."
"Yang
penting Bibi sudah menyiapkan semuanya untuk menyambut kedatangan ibu?"
"Sudah.
Begitu dia datang. Kita akan pesta."
"Kira-kira
jam berapa dia akan datang Bibi?"
"Mungkin
satu jam lagi."
"Apa
kita perlu menjemputnya di stasiun?"
"Itu
sudah bibi tanyakan pada ibumu. Dia menjawab tidak usah. Katanya dia akan datang
tepat pada waktunya dengan selamat."
Anastasia
menarik nafas panjang, lalu memejamkan kedua matanya, dalam hati ia berdoa agar ibunya selalu mendapat perlindungan Tuhan, dan sampai di apartemennya dengan selamat. Dia tahu ibunya adalah orang yang memiliki pendirian sangat keras, tetapi sangat lembut dan penyayang. Jika ibunya sudah berkata B maka harus B. Susah untuk diubah. Jika dia sudah
bilang tidak usah dijemput, maka berarti yang terbaik tidak usah dijemput. Jika dijemput, dia justru akan kecewa. Seandainya tidak dijemput terus dia tersesat, dia pasti akan menelpon dan minta bantuan.
Anastasia
merasa bahagia ibunya mau datang. Tapi di hati terdalamnya ia sedikit merasa cemas.
Ia punya firasat ibunya datang tidak hanya sekadar karena ingin jalan-jalan, atau sekadar
rindu pada dirinya. Ia menduga ada sesuatu di
rumah pamannya, sehingga ibunya sampai datang
jauh-jauh menempuh, jarak tak kurang dari 389
km di tengah musim dingin yang tidak ringan.
Benarkah firasat Anastasia?
Malam
itu Anastasia merasa sangat bahagia. Ia makan malam di apartemennya ditemani ibunya. Di atas meja makan mungil berbentuk bundar dari kaca tebal telah terhidang satu panik kecil
sup ukha, dua piring roti bulkha (Roti yang dibuat
dari tepung gandum), satu piring penuh kentang
kukus yang keemasan, dan satu piring kotlety.
Meja makan mungil itu benar-benar penuh. Mereka
bertiga; Anastasia, ibunya dan Bibi Krupina
makan bersama dengan sangat bergairah.
"Sebenarnya
kenapa ibu bersusah payah ke sini?" Tanya Anastasia sambil mengambil kotlety
dengan garpu lalu menggigitnya pelan.
"Kau
tidak suka ibu datang?" Sahut sang ibu
yang wajahnya nampak mulai berkeringat karena
merasakan hangatnya sup ukha.
"Bukan
begitu, Ibu. Anastasia sangat bahagia Ibu datang. Hanya saja ini di luar kebiasaan Ibu.
Maksud Anastasia seandainya Ibu memerlukan Anastasia, biarlah Anastasia yang pergi menemui
Ibu di Novgorod."
"Ibu
memang ingin membicarakan hal penting denganmu. Tapi nanti sajalah jika kita sudah
benar-benar selesai makan malam. Ibu ingin menikmati sup ukha istimewa buatan bibimu ini."
Sang
ibu kembali mengambil sup ukha dari panci. Bibi Krupina tambah bahagia sekali
melihat hasil karyanya mendapat apresiasi
sedemikian hebatnya.
Selesai
makan, Anastasia membantu Bibi Krupina membawa piring-piring dan panci ke dapur. Sementara sang ibu duduk di sofa lalu menyalakan televisi dengan remote kontrol. Layar
menyala dan nampaklah pertandingan tenis Semifinal Turnamen WTA Kremlin Cup. Duel maut antara Alisa Kleybanova dari Rusia melawan Flavia Pennetta dari Italia. Sang ibu nampak kurang suka dengan pertandingan tenis, ia langsung memindah ke saluran yang lain. Lalu
nampaklah di layar kaca pertunjukan tari balet
yang nampaknya dari Bolsoi Teater. Tapi itu
bukan siaran langsung. Sang ibu langsung tersenyum.
Setelah
kira-kira lima menit menonton gerakan-gerakan penari balet di layar kaca, ia langsung bisa menebak cerita apa yang sedang dimainkan para penari balet itu. Itu adalah cerita
tentang ALYOSHA yang legendaris, yang ditulis
oleh Leo Tolstoy. Pada bagian Alyosha dilarang
menikahi gadis pilihannya yang bernama Ustinya, sang ibu meneteskan airmata. Dan airmatanya
kembali tumpah ketika Alyosha yang tulus dan luhur budi itu akhirnya harus menghembuskan
nafas terakhirnya karena terjatuh dari atap saat membersihkan salju. Alyosha meninggal tanpa menikahi Ustinya yang yatim piatu.
Sang
ibu masih ingat betul kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Alyosha pada Ustinya sebelum meninggal, Leo Tolstoy menggambarkan dengan bahasa tugas yang menyihir hati pembacanya,
"Terima
kasih Ustinya. Selama ini kau begitu baik padaku. Sekarang kau tahu, ada baiknya memang kita tidak jadi kawin. Kalau kita kawin, akan percuma saja. Sekarang dengan begini
tidak ada masalah."
Alyosha
begitu mensyukuri takdirnya tidak jadi menikahi gadis pujaan hatinya karena dilarang
sang ayah. Alyosha sudah melihat hikmahnya sesaat sebelum ajalnya menjemput. Ia bahagia tidak menikahi Ustinya, karena umurnya tidak panjang. Kalau ia menikahi Ustinya, kemudian ia mati, alangkah kasihan Ustinya yang ditinggalnya dalam keadaan janda. "Sekarang dengan begini tidak ada masalah." Katanya.
Setelah
itu dia berdoa, dia menghembuskan nafasnya yang penghabisan dengan merentangkan kakinya. Penari balet itu juga melakukan hal yang sama di akhir tariannya, merentangkan kakinya lalu perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir.
"Kenapa
menangis, Ibu? Mengharukan ya?" Pelan Anastasia sambil duduk di samping ibunya
yang masih mengusap kedua matanya.
"Tadi
itu kisah Alyosha yang ditulis Leo Tolstoy.
Itu salah satu karya Tolstoy yang paling ibu
sukai. Ibu sangat terharu menyaksikan drama hidup Alyosha yang dimainkan para penari balet
itu."
"Ya,
nasib Alyosha memang membuat kita merasa kasihan."
"Ketekunan,
keuletan, dan kebaikan hati Alyosha bisa jadi teladan anak-anak muda Rusia."
"Saya
percaya bahwa hal itu sudah terjadi. Terutama di zaman Leo Tolstoy masih hidup dan
dekade setelah Tolstoy. Tulisan Tolstoy sangat
berpengaruh saat itu. Bahkan para pakar sejarah
sampai mengatakan, bahwa ada tiga hal penting
di Rusia saat itu: Gereja, Tsar dan Leo
Tolstoy."
"Yang
ibu suka dari karya-karya Leo Tolstoy, karya-karyanya mudah dipahami dan isinya dalam, bercorak realis dan bernuansa religius, juga penuh renungan moral dan filsafat."
"Tepat
sekali kalimat ibu dalam menilai Leo Tolstoy."
"Jelek-jelek
begini ibumu ini kan lulusan Fakultas Sastra."
"Ah
Anastasia hampir lupa."
"Sekarang
ada yang ingin ibu sampaikan padamu."
"Sampaikan
saja, Ibu.
"Mintalah
bibimu masuk ke kamarnya. Ibu cuma mau berbicara empat mata denganmu."
"Kalau
begitu kita bicara di kamar saja, Ibu."
"Baik.
Begitu juga baik."
Ibu
dan anaknya itu lalu bangkit dan bergegas masuk ke kamar Anastasia.
"Ibu
membuat Anastasia penasaran saja. Apa sih yang ingin Ibu bicarakan sebenarnya?" Kata
Anastasia sambil menutup pintu. Sang ibu duduk di tepi ranjang, demikian sang anak.
"Ibu
mau minta sesuatu padamu. Kau jangan kaget."
"Kalau
Anastasia mampu memenuhi permintaan Ibu, pasti akan Anastasia kabulkan."
"Ibu
ingin kau menikah dengan seseorang!"
"Menikah
dengan seseorang?!" Anastasia tetap juga kaget mendengar permintaan ibunya.
Iya.
"Jadi
Ibu memiliki calon yang harus saya nikahi?"
"Iya,
ibu berharap kau cocok."
"Siapa
orangnya, Ibu? Apa Anastasia telah mengenalnya?"
"Kau
sangat mengenalnya."
"Siapa
dia?" Desak Anastasia penasaran.
Sebab,
selama ini ibunya tidak pernah membicarakan urusan pribadinya. Dan sang ibu tidak pernah mempermasalahkan dia mau menikah kapan dan mau menikah dengan siapa, bahkan tidak menikah pun sang ibu tidak mempermasalahkannya.
Tetapi ini tiba-tiba ibunya datang dari
jauh hanya ingin menyampaikan keinginannya, agar dirinya menikah dengan seseorang yang
menurut ibunya cocok dengannya.
"Dia
sepupumu sendiri, Boris Melnikov."
"Apa?
Boris?"
"Ya
Boris."
"Apa
Anastasia tidak salah dengar, Ibu?"
"Tidak,
Anakku. Ibu ingin kau menjadi pendamping Boris Melnikov."
"Kenapa
Boris Melnikov, Ibu? Apa Ibu tidak melihat perbuatannya selama ini?"
"Justru
karena perbuatannya selama ini tidak baik, ibu ingin kau menikah dengannya."
"Ibu
ini tiba-tiba aneh, tiba-tiba tidak masuk akal. Ibu tahu dia itu otak pelaku kejahatan di
mana-mana. Dia itu ketua mafia, Ibu tahu itu.
Kerjanya memeras orang, membunuh orang,
menjual narkotika, bermain perempuan dan mempermainkan hukum dengan uang. Dan Anastasia harus menikah dengan orang seperti itu. Bagaimana jalan pikiran Ibu, Anastasia
sama sekali tidak paham.".
"Ibu
berpikir, kalau Boris menikah denganmu dia akan insyaf. Dia sangat mencintaimu. Dia
sangat kagum padamu dan dia sangat menghormatimu.
Di dunia ini, jika ada orang yang kata-katanya
paling dia takuti dan paling dia dengar adalah kamu. Tak ada yang lebih dia ikuti melebihi
kamu. Kalau kau
menjadi istrinya, kau bisa merubahnya menjadi
orang baik. Begitu jalan pikiran ibu."
"Luar
biasa, jalan pikiran Ibu menyamai para santo yang bijaksana itu. Ibu samasekali tidak
berpikir betapa liciknya Boris. Dia adalah actor
yang ulung. Dia bisa berpura-pura sangat
menghormati, berpura-pura kagum dan setia pada
mangsa yang diincarnya. Tetapi jika mangsa itu
sudah jatuh ke cengkeramannya, maka segeralah
taring-taring buasnya akan merobek-robek
mangsanya itu. Ibu mau Anastasia mengalami nasib setragis itu?"
"Kau
terlalu berburuk sangka padanya Anastasia. Kau tidak bersikap obyektif. Kau melihat
Boris hanya dalam satu sisi saja, yaitu sisi
gelapnya. Kau sama sekali tidak mau melihatnya
dalam sisi terangnya. Meskipun sedikit anak itu
juga memiliki kebaikan. Di antaranya, ia sangat
mencintai keluarganya. Dia sangat setia membantu
keluarga besarnya yang kekurangan."
"Justru
Ibu yang mudah diperdaya olehnya. Dalam sejarah ya memang seperti itu karakter
penjahat sejati. Dia membunuh banyak manusia
tapi di rumahnya d\a tunjukkan rasa sayang pada
keluarganya. Bahkan sering para penjahat itu sudah
dianggap musuh negara, tapi di desanya ia
dianggap pahlawan karena sangat baik kepada masyarakat desanya. Justru di mata Anastasia,
yang seperti itu menyempurnakan kejahatannya.
Dia
sangat jahat sampai berbohong kepada keluarga
dan masyarakat desanya. Kalau dia baik
pada keluarga seharusnya baik pada orang lain
juga. Dia baik pada keluarga agar anggota
keluarganya bersimpati padanya, dan jika
kejahatannya digugat anggota keluarganyalah
yang akan membelanya.
Demikian
juga dia baik kepada masyarakat
kanan-kirinya, agar mereka menjadi pembelanya
ketika kejahatannya dipermasalahkan. Kebaikannya
pada keluarga dan masyarakat desanya itu
bagian dari tameng hidup yang ia persiapkan
dengan matang. Dan ibu kini sudah menjadi
salah satu tameng hidup itu. Bahkan ibu
sekarang meminta saya menjadi tameng utama
bagi kejahatan Boris Melnikov."
"Kau
memang pandai bicara dan beretorika. Yang jelas maksud ibu baik. Ibu ingin kau
menikah dengan orang yang sangat mengagumi dan mencintaimu. Dan ibu ingin kau bisa menuntun domba yang sesat ke jalan yang benar. Meskipun kau punya pikiran yang seperti itu. Ibu berharap kau tetap bisa mencoba berpandangan yang sedikit positif pada Boris. Jika Boris insyaf,
maka Yvonna adiknya juga akan insyaf. Dengan
begitu kau akan menyelamatkan banyak domba yang tersesat."
"Apa
ibu tidak khawatir, jika justru Anastasia yang akhirnya tersesat."
"Tidak!
Ibu tahu siapa kamu. Kamu tidak akan tersesat."
"Sepertinya
bukan Tuhan yang menentukan takdir, tapi Ibu!"
"Kenapa
kau berkata begitu pada ibumu?"
"Coba
Ibu renungkan kata-kata Ibu tadi."
"Kau
terlalu berlebihan menanggapi kata-kata ibu."
"Maafkan
Anastasia kalau terlalu keras mendebat Ibu. Kalau boleh, Anastasia ingin bertanya
kepada Ibu,"
"Boleh."
"Ibu
dulu menikah dengan ayah karena diminta oleh nenek atau Ibu menentukan pilihan
Ibu sendiri?"
"Jujur,
ibu menentukan pilihan ibu sendiri. Bahkan pilihan ibu sempat ditentang oleh nenekmu
dan ibu tetap kukuh dengan pilihan ibu yang tak lain adalah ayahmu."
"Jika
seperti itu sejarah Ibu, kenapa Ibu setengah memaksa saya untuk menikahi Boris Melnikov? Kenapa Ibu tidak membiarkan saya memilih sendiri orang yang saya sukai?"
"Karena
ibu ingin kau lebih baik dari ibu."
"Jadi
kalau Anastasia ikut Ibu, maaf, seperti anjing ikut pada tuannya tanpa berpikir sedikit
pun itu lebih baik? Kenapa Ibu bisa berubah seperti
ini? Apa Ibu ditekan oleh Paman? Atau
ditekan oleh Boris?!"
Sang
ibu kelihatan ragu untuk menjawab. Akhirnya ia hanya menggelengkan kepala.
"Sudahlah,
Ibu sudah tua. Ibu jangan memikirkan apa-apa kecuali memikirkan cara terbaik menghadap Tuhan di surga. Anastasia akan berpikir untuk mengambil jalan terbaik bagi masa depan Anastasia. Apakah nanti mengikuti saran Ibu atau mungkin Anastasia punya pendapat sendiri? Sekarang Anastasia sudah mengerti maksud Ibu. Anastasia minta maaf kepada Ibu kalau mendebat terlalu keras. Sudah saatnya Ibu istirahat. Ibu pasti lelah karena perjalanan
jauh."
"Apa
pun yang kau pilih, tidak akan berkurang rasa sayang ibu padamu, Anakku. Ibu akan tetap
mencintaimu seperti matahari mencintai titah
Tuhannya."
"Terima
kasih, Ibu. Anastasia juga akan terus mencintai Ibu, seperti siang mencintai mataharinya."
Memang
sudah nasibnya, pemuda Indonesia itu harus mati!" Kata Linor dalam hati. Ia tidak
bisa berbuat apa-apa kecuali melaksanakan keputusan
rapat bersama Ben Solomon dan agen-agen lainnya. Tugasnya tidak susah, hanya meletakkan tas ransel yang telah diisi bahan-bahan untuk membuat bom di kamar Ayyas. Tas itu harus ia letakkan di kamar Ayyas, tentu saja tanpa sepengetahuan
Ayyas. Dan harus diletakkan beberapa jam sebelum polisi pemerintah Rusia menggerebek kamar Ayyas.
Rencana
Ben Solomon sangat detil dan kemungkinan kesalahannya sangat kecil. Yang akan diledakkan adalah lobby Metropole Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Inggris. Akan ada korban, tapi pejabat itu akan dijaga untuk tetap selamat meskipun luka. Yang diinginkan bukan matinya pejabat itu, tapi efek dari bom itu.
Dengan
adanya pemboman itu, seluruh dunia akan mengutuk aksi pemboman itu. Dan pihak
keamanan Rusia akan mencari pelaku pemboman itu. Di sinilah Ben Solomon dan anak buahnya
mempermainkan dunia. Seorang anak buah Ben Solomon akan masuk ke Metropole Hotel dengan menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas.
Hasil
rekaman dari Linor sangat membantu penyamaran itu. Setelah itu anak buah Ben Solomon
akan menampakkan diri kepada pihak keamanan di dekat apartemen di mana Ayyas
menginap, sehingga pihak keamanan akan sangat
mudah menarik benang merah.
Dan
dari bukti yang sudah direkayasa oleh Ben Solomon dan anak buahnya, pihak keamanan
akan menetapkan Ayyas sebagai tersangka pengeboman. Bukti yang tidak akan terbantahkan
adalah dengan ditemukannya bahan-bahan peledak di kamar Ayyas. Setelah Ayyas tertangkap,
Ben Solomon akan mengerahkan seluruh pers dunia yang telah dikuasai oleh Zionis untuk menghantam Islam sejadi-jadinya, dan dipastikan tidak akan ada perlawanan pers yang berarti, kecuali pers-pers kecil milik orang Islam yang hanya bergumam sambil lalu di belakang.
Linor
pulang ke apartemennya dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Ia merasa bahagia bisa
mengabdikan hidupnya untuk kejayaan negeri yang dijanjikan oleh Tuhan dalam Talmud. Meskipun seringkah ia merasa hampa jiwanya, tapi saat menjalankan sebuah operasi yang ia
yakini akan berhasil, semangatnya muncul begitu
saja.
Sampai
di apartemen, Linor langsung masuk ke kamarnya. Ia bawa ransel berisi bahan-bahan
peledak itu. Ia tersenyum. Tugasnya kali ini
sangat ringan, hanya meletakkan bahan peledak
itu ke kamar sebelahnya, nanti jika sudah tiba
waktunya. Sangat mudah. Dengan kamera yang
ia pasang di kamar Ayyas, ia tahu semua gerak-gerik
Ayyas. Kapan saat-saat Ayyas banyak di
kamar, kapan ia tidur, kapan ia bangun tidur, dan
kapan ia biasa ke kamar kecil.
Linor
merebahkan badannya ke kasur, setelah menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia sempat
berpikir kasihan pemuda Indonesia itu, ia tidak
tahu apa-apa, tapi ia harus menjadi tumbal untuk
kesuksesan operasi Ben Solomon. Jika operasi ini
berhasil, sangat mungkin Ben Solomon akan
mendapat penghargaan sangat tinggi dari Tel Aviv. Lebih kasihan, pemuda Indonesia itu begitu
lugu, begitu lurus, tidak tahu dunia spionase
sama sekali. Anak muda itu bahkan tidak tahu,
kalau keberadaan dirinya di Moskwa akan menjadi
alat empuk bagi orang seperti Ben Solomon.
Ia
sama sekali tidak tahu kalau tak lama lagi akan
menjadi korban rekayasa yang tidak pernah ia
pikirkan sebelumnya.
Linor
juga berpikir bahwa ia berhutang nyawa pada pemuda itu. Tetapi ia kembali bersikukuh,
yang paling mulia di atas muka bumi ini adalah
anak-anak Yahwe, selain anak-anak Yahwe sejatinya
adalah diciptakan oleh Yahwe sebagai budak untuk mengabdi kepada anak-anak Yahwe.
Mereka
bahkan boleh disembelih kalau perlu seperti
ternak. Memang mereka diciptakan untuk itu, untuk mengabdi kepada anak-anak Yahwe. Dan pemuda bernama Ayyas itu adalah bagian dari yang diciptakan untuk pelengkap isi dunia bagi anak-anak Yahwe. Karenanya ia tidak perlu merasa berhutang budi kepada pemuda itu.
Linor
melihat jam tangannya. Pukul dua siang. Semalam suntuk ia tidak tidur karena rapat. Lalu
ia sempatkan mengedit tulisan di kantor redaksi
di mana ia bekerja. Setelah semua pekerjaannya
beres, ia pamit pulang. Ia ingin istirahat kurang
lebih dua jam. Setelah itu ia harus membereskan
urusannya dengan Boris Melnikov yang masih mencurigainya sebagai pembunuh Sergei Gadotov. Ia berpikiran, pada akhirnya ia akan sekalian menjebak Ayyas sebagai pelaku pembunuhan Sergei Gadotov. Ia masih memegang ponsel Sergei. Ponsel itu akan ia masukkan ke
dalam tas ransel yang berisi bahan peledak itu
sekalian. Dengan begitu ia tidak perlu repot
bekerja. Dengan sekali menembak dua burung ia
dapat.
Saat
matanya mau terpejam, ia mendengar suara berisik orang masuk di ruang tamu. Ia tajamkan
pendengarannya. Ia tersenyum lalu kembali memejamkan mata. Yang datang adalah Yelena dan Bibi Margareta. Ia jadi ingat siang ini
memang Yelena pulang dari rumah sakit. Apartemen
ini akan kembali hidup dengan hadirnya Yelena. Ia tersenyum membayangkan apa kirakira
komentar Yelena nanti setelah peristiwa pengeboman Metropole Hotel, dan tiba-tiba pelakunya adalah Ayyas.
Ya,
Ayyas yang menolong Yelena ketika sedang sekarat, ternyata menurut berita banyak koran, adalah seorang teroris berdarah dingin. Ia ingin tahu apa reaksi Yelena saat itu. Yang pasti
Yelena mungkin akan semakin tidak percaya pada Tuhan dan pada semua jenis agama. Linor
meraba-raba jalan pikiran Yelena. Ia tersenyum
sendiri, dan setelah menyebut Yahwe di hati ia
lalu tertidur pulas.
Sementara
Ayyas saat itu sedang berada di kantor Sekolah Indonesia Moskwa. Dia berbincang
dengan Pak Joko Santoso dan dua guru lainnya, yaitu Pak Ismet dan Bu Febriani. Pak Ismet
mengajar Sosiologi dan Antropologi, sementara
Bu Febriani mengajar Fisika dan
Matematika.
"Jadi
kau belum ke Lapangan Merah?" Tanya Pak Ismet.
"Belum
Pak."
"Sempatkanlah
ke sana di musim dingin ini. Biar kau tahu seperti apa Kremlin yang terkenal
itu di musim dingin. Nanti pas musim semi lihat
lagi."
"Iya
Pak, nanti saya sempatkan."
"Sudah
berapa masjid yang Mas Ayyas kunjungi?"
Kali ini Bu Febriani yang bertanya.
"Baru
dua. Masjid Balsoi Tatarski dan masjid Pusat Prospet Mira."
"Masih
ada tiga masjid lagi yang harus kau kunjungi. Yang satu ada di komplek museum
perjuangan Kutuzovski, dan dua lainnya di Rayon Otradnoye. Yang di Rayon Otradnoye itu
unik. Masjid itu ada dalam satu komplek tempat
ibadah agama lain, artinya masjid itu berdampingan
dengan gereja ortodoks dan sinagog." Jelas Bu Febriani.
"Berarti
masjid di Rayon Otradnoye itu yang membangun pemerintah Rusia?" Tanya Ayyas.
"Tidak.
Yang membangun orang-orang Muslim keturunan Tatar. Gereja dan sinagog itu juga orang Muslim yang membangun." Jawab Bu Febriani.
"Kok
bisa begitu?"
"Saya
pernah menanyakan hal itu kepada Imam masjid. Beliau bercerita ihwal pendirian masjid itu. Saat itu izin mendirikan masjid sangat
sulit. Pemerintah tidak mengijinkan ada masjid
baru di Moskwa. Tetapi orang-orang Islam keturuan Tatar itu tidak kehabisan akal. Seorang deputat Muslim keturunan Tatar melobi pemerintah untuk diberi izin mendirikan sebuah komplek rumah ibadah untuk semua agama, tidak hanya untuk umat Islam. Dan izin itu akhirnya dikeluarkan oleh pemerintah. Akhirnya umat Islam bisa mendirikan masjid yang cukup besar di rayon Otradnoye. Karena sudah terikat perjanjian,
setelah membangun masjid ya terpaksa mereka membangun gereja dan sinagog."
"Sampai
seperti itu perjuangan mereka."
"Iya,
keinginan mereka menegakkan kalimat Allah tidak pernah padam."
"Sore
ini setelah shalat Ashar, saya mau ke pasar Vietnam. Mas Ayyas mau ikut?" Sela Pak Joko Santoso sambil menyeruput teh panas di hadapannya.
"Itu
tawaran yang sangat menarik Pak Joko. Dengan senang hati Pak. Saya perlu tahu lebih
banyak sudut-sudut kota Moskwa."
"Di
sana, meskipun namanya pasar Vietnam, ada juga penjual dari keturunan Kirgish, Tajik, dan Dagestan. Nanti kau bisa tanya-tanya banyak hal di sana. Ada tetangga apartemen saya yang
jualan ikan segar di sana."
"Wah
menarik sekali itu Pak."
"Siang
ini agak lebih cerah dibandingkan kemarin. Agak enak untuk jalan-jalan." Sahut Pak
Ismet.
"Ya
benar." Gumam Bu Febriani sambil mengangkat cangkirnya.
Tak
lama kemudian waktu Ashar tiba. Ayyas shalat berjamaah dengan para guru Sekolah Indonesia
Moskwa. Setelah itu ia berangkat menuju pasar Vietnam bersama Pak Joko Santoso, Guru Bahasa Indonesia Sekolah Indonesia Moskwa. Selesai shalat Pak Joko mengajak Ayyas
menuju tempat parkir mobil. Pak Joko menuju mobil Volga biru.
"Ayo
Mas, silakan masuk. Kita pinjam mobilnya Pak Ismet."
"Nanti
beliau pulangnya bagaimana?"
"Dia
sendiri tadi yang nawari saya. Dia nanti pulang agak malam. Dia mau mengoreksi lembar
jawaban anak-anak. Dia selalu begitu. Tidak mau membawa lembar jawaban itu ke rumah. Semua ia selesaikan di meja kerjanya. Jika sudah rapi semuanya baru dia pulang."
Pelan-pelan
mobil sederhana itu meninggalkan komplek KBRI. Dengan santai Pak Joko
membawa mobil itu menelusuri Planitskaya Ulista. Terus ke utara, menyeberangi kanal Moskwa, lalu menyusuri pinggir komplek Kremlin yang megah. Mata Ayyas tidak berkedip memandangi komplek itu. Salju menghiasi bumi di sana sini. Pak Joko mengambil jalan terus ke utara. Sampai di kawasan Lubyanka, mobil terus melaju melewati gedung KGB Lubyanka yang nampak gagah dan angker. Mobil terus meluncur melewati stadion Olympik, Gedung Teater Tentara, akhirnya memotong jalur lingkar dalam kota Sadovaya Koltso dan akhirnya sampai di kawasan Savelovsky.