Sehabis
sholat shubuh aku segera membereskan mukenaku dan sajadahku.
Sekembalinya
dari Masjid Aidan sendiri gegas mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk
segera pergi ke Bandara.
“Aku
hanya punya waktu satu bulan lagi untuk pertandingan di musim ini. Lalu libur
musim panas, Insya Allah aku akan kembali saat
itu.” Ujar Aidan seraya mengenakan kemeja hitam
bergaris.
“Baiklah…
datanglah saat wisuda pesantrenku Juni nanti. Saat musim panas nanti.”
Aku membantu Aidan mengancingkan kemejanya.
“Terimakasih
sayang…” bisiknya di telingaku. Lalu Aidan mengecup pipiku dengan
lembut. Kemudian memelukku dengan erat.
“Aku
akan merindukanmu.” Desisku
“So
do I.” Balasnya.
Aku
menatap Aidan yang terus melangkah menjauhiku mendorong troli yang penuh
dengan barang-barangnya. Aku merasa khawatir dia
takkan kembali lagi. Aku menatap jadwal
penerbangan yang terpampang di hadapanku. Aidan akan take off satu jam lagi.
Tidak terasa waktu bergulir dengan cepat.
Masih hangat di benakku dua bulan yang lalu kami menginjakkan kaki bersama di bandara ini. Kini aku
melihatnya pergi kembali dari hadapanku.
Selamat jalan kekasihku…
***
Sebulan
sudah berlalu sejak Aidan kembali ke Inggris. Itu berarti sebulan lagi Aidan
akan datang pada saat acara wisuda di Pesantren.
Pada saat itu pula akan ku umumkan pada semua
teman-temanku bahwa dia suamiku.
Aku
melipat mukenaku setelah mendirikan sholat dhuha dan menaruhnya di rak
mukena. Sesaat aku melihat kalender yang menempel
di dinding kamar. 3 Mei 2009! Aku terhenyak.
Esok adalah hari ulang tahun Aidan. Apa hadiah yang harus kuberikan kepadanya.
Dia telah mempunyai segalanya, aku rasa dia tak
butuh apapun lagi.
Baiklah
mungkin aku hanya akan
memberinya ucapan dan doa yang tak akan dia ketahui. Sekali lagi aku terhenyak
saat aku melihat kalender. Aku tak menstruasi
selama bulan april. Apa mungkin aku hamil?
Aku
tertawa dalam hati. Ah… itu tak mungkin, meskipun itu akan jadi berita
menggembirakan. Aku tak ingin akhirnya kecewa bahwa
apa yang kupikir itu hanya keinginanku saja.
Toh, aku terbiasa terlambat datang menstruasi, makanya aku tak pernah khawatir. Kuakui beberapa hari terakhir badanku terasa
tak enak. Aku memang masuk angin karena aku selalu ingin tidur di samping
jendela yang membuat aku merasa mual dan ingin muntah. Seperti saat ini aku merasa lambungku dan seluruh
isi perut diaduk-aduk. Aku segera berlari ke
kamar mandi dan ku keluarkan seluruh isi perutku yang baru kuisi satu jam
yang lalu dengan nasi lengko.
“Kau
baik-baik saja Saila?” aku mendengar suara Kak Salwa memanggilku.
“Aku
baik-baik saja.” jawabku.
“Apa
tak sebaiknya kau pergi ke dokter? Kau sudah begini dari empat hari yang lalu.
Aku khawatir padamu.” Ujar Kak Salwa saat aku
keluar dari kamar mandi.
“Aku
akan mengantarmu jika kau mau?”
“Terimakasih
banyak. Aku akan pergi sendiri.”
Aku
mengikuti nasehat Kak Salwa. Esok harinya, sepulang dari kuliah, aku pergi ke
dokter sendirian. Beberapa saat aku menunggu hasil
pemeriksaan dengan dada berdebar. Entah
kenapa aku merasa takut, aku akan mendengar diagnosa dokter bahwa aku mengidap
penyakit yang serius. Dokter itu datang dengan
mambawa secarik kertas ditangannya.
“Anda
sehat.” Ujarnya datar. Aku memperhatikan wajahnya yang cantik dan terlihat
masih muda itu. Tapi bukan itu maksudku, maksudku
aku tak mengerti dengan ucapannya.
“Selamat.
Anda kini tengah hamil.” Ucapnya lagi
“Benarkah?”
teriakku girang. Dokter itu mengangguk, wajahnya yang ayu semakin
mempesona saat ia tersenyum.
“Aku
tak percaya. Tapi ini akan jadi hadiah terindah di hari ulang tahun suamiku.”
Ucapku dengan kegirangan.
Aku
tak membuang waktu lama dan segera meninggalkan klinik itu. Tujuanku
sekarang adalah warnet. Aku akan mengirimkan email
untuk Aidan.
Sujet
: Happy birthday my lovely…
Assalamualaikum.
Wr. Wb.
Kak
Aidan sayang yang dicintai Allah, Apa kabarmu disana? Aku harap Kakak selalu sehat dan
istiqamah di jalanNya. Bagaimana dengan
pertandingan-pertandingan yang hanya tinggal dihitung dengan jari itu?
Maksimalkan
setiap pertandingan yang kau lewati. Bagaimana pula dengan kuliahmu? Aku ingin kau
menyeimbangkan antara pendidikan dan kariermu.
Selamat
ulang tahun yang ke-23 semoga Allah selalu ridho atasmu dan menambah nikmat atas
syukurmu. Serta mengkaruniakan kepada kita keluarga
yang sakinah mawwadah warahmah dengan dihiasi
tawa dan canda dari mujahid-mujahid kecil kita kelak.
Aku
mempunyai kejutan kecil untuk ulang tahunmu yang akan ku berikan saat kau
datang di acara wisudaku
nanti. Aku menunggumu selalu. Sampai jumpa
segera,
Saila
Aku
sengaja tidak memberitahukan kabar gembira itu padanya lewat email, aku ingin
mengatakan langsung, aku ingin melihat langsung
bagaimana ekspresinya. Aku yakin kebahagiaannya
akan lebih dari yang aku rasakan. Ia telah merindukan seorang bayi hampir
setahun lamanya. Aku juga berjanji Aidanlah yang
orang pertama tahu berita ini. Dia berhak menjadi
orang pertama yang tahu dari pada orang lain karena dia ayah bayi ini. Aku segera keluar dari warnet setelah mengirimkan surat
itu. Tanpa membuka situssitus lainya
terlebih dahulu seperti biasanya. Aku memutuskan segera pulang ke asrama,
setelah kurasakan tubuhku mulai terasa lemah
kembali. Kini rasa pening mulai menyapa kepalaku.
“Assalamualaikum…”
salamku ketika sampai di depan pintu asrama. Namun tak
seorang pun yang menyahutiku, suasana sangat sepi
saat aku baru kembali dari warnet. Tak seperti
biasanya yang ribut pada saat makan malam. Aku pikir mereka belum pulang dari
materi. Tapi semalam itukah mereka belum kembali ?
Karena
aku merasa kelelahan, aku memutuskan untuk segera pergi tidur ke kamarku.
Namun saat aku melewati aula asrama, aku mendengar
sayup-sayup orang mengobrol. Aku memutuskan
untuk masuk kedalam aula hanya sekedar menyapa mereka sebelum pergi tidur.
“Sebentar
lagi penanggung jawab kita akan mengeluarkan surat pernyataan bahwa
Saila akan di keluarkan dari pesantren ini.” Aku
terkejut mendengar kata-kata yang di ucapkan
Teh Husna.
Dunia
seakan berguncang, bulan seolah turun dan menghimpit tubuhku.
Dadaku terasa sesak. Bagaimana jika Aidan tahu? Dia
pasti akan kecewa! Padahal harapannya
melihatku lulus dan di wisuda di pesantren yang juga telah mendidiknya dulu.
Berapa kali aku harus mengecewakannya? Kapan aku
bisa membuatnya bangga mempunyai istri
sepertiku? Padahal permintaannya sangat sederhana, hanya ingin melihatku
bertahan disana sampai waktu yang ditetapkan. Sesederhana itukah aku tidak
dapat mengabulkan permintaanya? Hatiku
menangis meskipun belum ada setetes air mata pun yang jatuh dipipiku.
Aku
mengurungkan niatku untuk bergabung dengan mereka dan memutuskan untuk
menguping di belakang pintu.
“Alasan
apa mereka mengeluarkan Saila dari sini?” aku mendengar suara Kak Erin
bertanya. “Justru aku melihat beliau tambah rajin
sholat tahajud, rajin ke Masjid dan amaliyah
lainnya.”
“Seperti
yang kita tahu dia sering tak pulang ke asrama tanpa izin maupun
pemberitahuan terlebih dahulu. “Aku mendengar
seseorang menyahutinya, tapi aku tidak tahu siapa
pemilik suara itu.
“Aku
rasa untuk masalah itu masih bisa di bicarakan…” kini aku mendengar suara
Kak Salwa membelaku.
“Kesalahan
tidak terletak pada itu saja. Dia telah melakukan sesuatu yang tak pantas
di lakukan sebagai seorang muslimah.” Ujar Teh
Husna lagi.
“Katakan
pada kami apa itu? Katakan pada kami alasan kenapa kami harus terima dia
dikeluarkan dari sini?” aku mendengar kembali suara
Kak Erin.
“Nabila
yang menyaksikannya. Ceritakan pada mereka apa yang terjadi saat itu.”
Pinta teh Husna pada teh Bila.
Suasana
hening, aku tak mendengar suara Teh Bila tak mengucapkan sepatah
katapun. Hanya kudengar suara katak yang ribut
bernyanyi di luar sana.
“Ceritakanlah
pada kami…” pinta Kak Erin.
Aku
masih belum mendengar teh bila memulai ceritanya.
“Jangan
kau buat kami penasaran!”
ujar Kak Salwa tegas.
“Aku
melihat dia mengobrol di kantin dengan seorang pria bulan lalu.” Kini aku
mendengar Teh Bila mengatakan hal itu.
“Mungkin
dia bersama kakak laki-lakinya.”Kak Salwa membelaku.
“Maaf,
tapi aku tak yakin laki-laki itu kakaknya Saila. Dia bercakap-cakap dengan
pria bule.” Ujar Teh Bila.
pria bule.” Ujar Teh Bila.
“Atau
mungkin dia itu dosen native speaker. Siapa? Monsieur…” Kak Salwa masih
membelaku.
“Monsieur
Dylan? Bukan! Saya yakin itu bukan beliau. Dari wajahnya aku pikir dia
itu berasal dari Italia, Portugal atau tidak dari
Spanyol. Entahlah aku tak bisa membedakan orang
yang berasal dari tiga negara itu.” Jelas Teh Bila.
“Saila
kan kuliah di jurusan bahasa asing. Aku pikir sah-sah saja dia mau ngobrol
dengan pria bule manapun.” Kak Salwa masih
bersikeras membelaku.
“Tapi
mereka duduk berdua. Mereka berkhalwat.” Bantah yang lain. Entahlah siapa.
“Mereka
duduk di kantin kan? Ramai, banyak orang. Mungkin mereka sedang
membicarakan urusan yang penting. Jika memang
mereka mau berbuat yang tak baik, untuk apa
mereka memilih duduk di kantin. Mereka bisa mencari tempat yang lain. Aku yakin
Saila tahu benar apa yang dilakukannya. Dia
tahu bagaimana caranya menjaga izzahnya, kehormatannya
sebagai seorang wanita.” Kali ini kak Erin yang angkat bicara.
“Apa
kau lupa Erin? Dia sering tak pulang ke Asrama. Coba kemana dia pergi.
Mungkin saja dia sedang pergi dengan pria itu.”
suara itu lagi yang menyahuti, aku tak begitu mengenalinya.
“Apa
kau punya bukti atau pernah menyaksikan ia pergi dengan pria itu yang
mengharuskan ia tak pulang ke asrama?” kali ini
suara teh Maya yang menimpali.
Suasana
hening sejenak. “Tidak, tapi kesaksian Nabila melihat mereka duduk bersama
bisa jadi benang merah kemana dia pergi selama ini.
Patut dicurigai.” suara yang tak ku kenali
itu mencoba membela dirinya.
“Suudzan
itu namanya. Hati-hati bisa jatuh ke fitnah nantinya.” Kak Salwa tampak
geram.
“Sudahlah,
tak perlu mencari-cari kesalahan Saila, menuduhnya yang macam-macam
sebelum kebenaran terbukti. Bagaimana jika kita
keliru? Apa kita tak malu pada Saila? Atau pada
Allah karena telah memfitnah saudari kita sendiri?” aku bisa mendengar kak Erin
menghembus nafas kasar di akhir ucapannya.
“Sudah...
ya ukhtuna... istigfar. Kita di sini untuk mendiskusikan masalah Saila dan
rencana drop outnya dari penanggung jawab. Kita
harus mencari kebenaran, jika Saila tak bersalah
mari kita bantu pertahankan dia di sini. Toh selama ini teteh juga melihat progress
dirinya. Dia lebih baik diluar kebiasaannya
menghilang tanpa kabar.” Teh Husna mencoba menengahi.
“Kau
tahu siapa pria bule itu?” tanya Kak Erin. Kini suaranya lebih tenang.
“Aku
tak tahu.” Jawab Teh Bila pelan.
“Spanyol?”
aku kini mendengar suara Teh Maya. “Aku jadi teringat, aku telah
menemukan ini di rak buku Saila.”
Suasana
kembali hening. Aku tak tahu apa yang di tunjukan Teh Maya pada yang
lainnya.
“Tiket
pesawat untuk tujuan Barcelona dan London?” aku mendengar suara desisan
Kak Erin. Tiket pesawat itu? Aku sengaja
menyimpannya di antara buku-buku.
“Jadi
selama ini Teh Saila tak bercanda kalau beliau baru saja kembali dari London.”
Kini giliran Nurma yang berkomentar.
“20
januari? Bukankah itu saat dia pergi tanpa izin selama dua minggu. Jadi dia
pergi ke London! tapi dia
pergi ke Barcelona sebelum masuk asrama.” Ujar Astri.
“Aku
rasa tak ada hubungan antara tiket-tiket ini dengan rencana drop outnya Saila.
Mungkin dia memang mempunyai kerabat di sana yang
harus di kunjungi.” Ucap Kak Erin. “Aku rasa
justru ini ada hubungannya dengan pria bule dari Spanyol itu.”
“Ok…
teteh rasa pertemuan kita cukup sampai disini dulu. Malam sudah larut, kalian
harus belajar. Teteh pesan pada kalian. Usahakan
Saila jangan dulu tahu masalah ini. Kita akan
cari hubungannya antara tiket dan pria bule itu.” Teh Husna mengakhiri
pertemuan itu.
“Mari
kita tutup dengan hamdalah dan doa akhir majelis.” Lanjutnya.
Aku
segera pergi ke kamarku sebelum mereka menemukanku menguping di balik
pintu. Aku
segera menggelar kasurku dan ku rebahkan tubuhku yang lemah disana.
“Saila,
kau sudah pulang?” Kak Salwa terkejut dengan kehadiranku yang telah
terbaring di kasurku.
“Kak…”
panggilku pelan.
Kak
Salwa segera menghampiriku. Ia menggelar kasur di sampingku lalu berbaring
diatasnya.
“Saila,
katakan padaku apa kau kerasan tinggal di asrama?”
“Tentu!”
jawabku.
“Lalu
kenapa kau sering tak pulang?”
“Aku
harus melakukan sesuatu yang tak bisa ditunda lagi.”
Aku
harus merawat Aidan, lanjutku dalam hati.
“Ada
apa kakak tanya itu?” tanyaku.
“Tidak
ada.” Jawabnya.
“Aku
tahu mereka akan segera mengeluarkan aku dari tempat ini.” Kataku. “Aku
mendengar semua yang kalian bicarakan tadi.”
“Tapi
aku dan Erin tak akan membiarkannya begitu saja. kami akan
memperjuangkanmu.” Ucapnya penuh semangat dan
keyakinan. “Kau masih ingin disini, kan?”
Aku
mengangguk penuh semangat. Aku merasa pertolongan Allah akan datang
melalui mereka berdua. Kak Salwa menengok kiri dan
kanan memastikan tak ada orang yang menguping
kami.
“Benar
kau pernah pergi bersama pria bule seperti yang dikatakan Nabila?” tanya kak
Salwa setengah berbisik. Aku mengangguk lemah
“Dia
benar.”
“Maukah
kau ceritakan padaku, siapa pria yang dikatakan Nabila itu?”
Aku
diam tak menjawab. Aku takkan mengatakannya, aku tak boleh mengatakannya.
Aku tetap diam seribu bahasa.
“Saila,
kau tak percaya padaku?” Kak Salwa menatap mataku dalam, mencoba
meyakinkan. “Dia bukan kekasihmu kan?”
Aku
masih diam tak menjawabnya. Aku tak ingin mengatakannya. Aku tak boleh
mengatakannya.
“Saila
katakan padaku. Kau harus membantuku, agar aku bisa membelamu di depan
yang lainnya. Jika apa yang dicurigai mereka benar.
Bagaimana mungkin kami bisa membelamu?” Kak
Salwa menatapku dengan tatapan penuh kasih. Dari kedua matanya yang hitam aku dapat melihat ketulusan ingin mempertahankanku
disini.
Aku
masih terdiam. Kak Salwa kini menatapku dengan putus asa. “Aku tak ingin
kehilanganmu. Aku tak ingin kau pergi dari sini.
Aku ingin kau ada di wisuda itu.”
“Baiklah,
tapi aku tak ingin seorangpun yang tahu. Hanya kau dan aku.” Pintaku.
“Ok.
Ceritakanlah.”
“Laki-laki
yang Teh Bila lihat itu adalah kekasihku.”
Kak
Salwa terkejut. “Jadi yang mereka curigai itu benar. Alasan apa yang harus aku
sampaikan pada mereka untuk membelamu Saila…?” kini
ia menatapku penuh penyesalan.
“Dia
suamiku, kak! Saat aku pergi tanpa izin itu. Aku harus pergi ke London untuk
merawat dia yang tengah sakit. Saat kuliah dimulai,
aku membawanya ke Indonesia agar aku bisa
merawatnya.”
“Lantas
dimana dia tinggal selama disini?”
“Dia
tinggal di rumah bibinya. Ketika aku tak pulang ke asrama aku menghabiskan
waktu untuk merawatnya.”
“Jadi
selama ini kau telah menikah? Kenapa kau tak pernah cerita pada kami?”
“Aku
tak ingin mereka mengeluarkan aku dari tempat ini. Dia berharap aku tetap
disini sampai aku wisuda nanti. Aku telah berjanji
untuk tetap bertahan sampai tiba waktunya.”
“Bagaimana
jika aku menceritakan ini pada Erin agar kita bisa mencari solusi
bersama untuk dapat mempertahankanmu tanpa kau
harus keluar dari tempat ini?”
“Ok.
Aku ingin tak ada yang tahu selain kalian.” ujarku.
***
Aku
baru kembali dari kampusku saat teh Husna datang dan memintaku untuk segera
ke kantor Departemen Pendidikan Pesantren untuk
menemui kepala asrama dan penanggung jawab
program ini.
“Ayo
Saila, teteh akan mengantarmu.” Ujar Teh Husna.
Aku
mengikutinya. Baru saja kaki
kami beberapa langkah dari serambi asrama, pandanganku mulai kabur, serta merta
aku tak dapat mengontrol tubuhku sendiri.
Tubuhku berguncang, Teh Husna menahanku sebelum tubuhku tumbang ke lantai.
“Kau
baik-baik saja?” Teh Husna tampak khawatir.
“Aku
baik-baik saja.” Kini perutku yang seolah tak bisa di ajak kompromi. Hal yang
sama ku rasakan, perutku terasa di aduk-aduk. Aku
menutup mulutku dengan tanganku, mencoba
menahan mual yang seolah sulit untuk dibendung.
“Kau
sakit, la?” Teh Husna tampak sangat khawatir. Aku menggelengkan kepalaku.
“Sebaiknya
besok lagi saja kita ke kantor. Kau harus istirahat.”
“Nggak
apa-apa teh. Sekarang aja.”
Kami
berdua pun tetap pada tujuan kami semula untuk pergi ke kantor meskipun
keadaanku kurang baik.
“Assalamulaikum
Saila...” sambut pak ustadz Khalid, kepala asrama kami saat aku
dan Teh Husna tiba di ruang tamu kantor. Beliau
menyapa dengan penuh kelembutan layaknya
seorang ayah pada putrinya.
“Waalaikumsalam.
Abi” jawabku. Aku dan para santri lainnya terbiasa memanggil
“Abi” karena beliau memang seperti ayah kami. Tak
berapa lama ustadz Hilal penanggung jawab
program pesantren kami datang ke ruang tamu kantor.
“Kau
tahu kenapa kami memanggilmu kemari?” tanya Abi Khalid.
“Ya,
Anda semua akan mengatakan bahwa aku tak layak lagi tinggal di asrama ini
bukan?” ucapku.
“Bukan
tak layak Saila...” bantah Abi.
“Tapi
kami ingin meminta penjelasan kepadamu, kenapa kau selama ini selalu
melanggar peraturan asrama.” Ujar pak Hilal.
Aku
tak menjawab pertanyaan pak Hilal. Aku tak akan mengatakannya. Cukup Kak
Salwa yang tahu. Bicara atau pun tidak akhirnya aku
akan di keluarkan dari asrama ini meskipun
waktu wisuda tinggal dua minggu lagi.
“Saila,
kenapa diam? Ayo ceritakanlah pada abi dan pak Hilal.” Teh Husna turut
membujukku.
Aku
masih diam seribu bahasa. Jantungku semakin kuat berdetak, nafasku
mengalir tak beraturan.
“Kau
takkan mengatakan apapun? Satu alasan yang meyakinkan kami untuk bisa
mempertahankanmu disini.” Ucap Abi.
“Bukankah
pak Kyai pernah mengatakan alasan itu hanya memperjelas kesalahan?”
ujarku seolah ingin menantang mereka berdua.
“Ya
kami mengerti. Tapi mungkin saja alasanmu itu bisa kami terima dan kami bisa
memaafkanmu.” Ujar pak Hilal. “Kami hanya berupaya
untuk tabayun denganmu supaya semuanya jelas
dan tidak menimbulkan suudzan.”
Entah
kenapa mulutku masih enggan untuk berucap. Meskipun aku tahu
konsekuensinya sama saja, bicara atau tidak pulang
ke asrama aku tetap harus bersiap-siap mengemas
barang-barangku. Hatiku malah ciut, apa mungkin jika aku jelaskan mereka akan
percaya dengan kata-kataku. Apalagi jika lelaki
yang jadi suamiku adalah orang yang mereka kenal,
santri teladan mereka.
“Baiklah...
Jika kau mau menjelaskannya kepada kami. Kau mungkin memang tak
mengharapkan untuk tetap bertahan di pesantren ini.
Lagi pula apa yang kau lakukan dapat merusak
citra Daarul Ihsan.” Ujar pak Hilal.
Dia
telah menyiapkan surat pernyataan aku di keluarkan dari tempat ini. Beliau mengeluarkan pulpen
dari saku bajunya dan siap untuk menandatangani
surat itu.
Aku
memejamkan mataku, aku tak kuasa untuk melihatnya. Maafkan aku Aidan, aku
tak bisa seperti yang kau harapkan... aku tak bisa
menjadi santri teladan sepertimu. Mungkin aku
termasuk ke dalam daftar hitam santri bermasalah, tapi sedikit pun mereka tidak
dapat mengambil ilmu yang aku dapat dari
mereka...
“Assalamualaikum...”
aku mendengar suara akhwat masuk ke ruang tamu. “Maaf abi,
apa saya boleh masuk?”
“Masuklah
Salwa.” Abi mengizinkan Kak Salwa untuk bergabung bersama kami.
“Jika
Saila enggan untuk menceritakan yang sebenarnya. Saya bersedia. Dia telah
menceritakan semuanya pada saya.” Ujar Kak Salwa.
Dia
menatapku, aku membalas tatapannya.
Kugelengkan kepalaku tanda aku memintanya untuk tidak menceritakannya. Kak
Salwa tak mempedulikan tatapan mataku yang memohon
dengan sangat untuk tidak mengatakan apapun.
“Maaf
Abi...” ujar Kak Salwa.
Kak
Salwa diam beberapa saat. Kemudian dia menceritakan semua tentangku dan Aidan dengan detailnya.
Para ustadz dan Teh Husna menyimak setiap
kata yang keluar dengan baik. Selama itu, hatiku terus menjerit meminta Kak Salwa untuk menghentikan ceritanya.
Selesai
bercerita Kak Salwa memandangku lembut. Kedua matanya mengungkapkan
kata maaf yang sebesar-besarnya. Aku mengerti dia
hanya ingin mempertahankanku. Aku memandang
kedua ustadz itu. Dadaku berdebar-debar menyaksikan amarah yang hendak keluar dari hati mereka, aku tahu apa yang aku
pikirkan itu takkan terjadi. Mereka pandai
menahan emosinya.
“Astagfirullah
Saila, apa yang anti perbuat itu akan menimbulkan fitnah. Dan sudah
terbukti anti telah membuat kami suudzan kepada
anti.” Nasehat Abi.
“Saila
telah berjanji bahwa dia akan keluar dari asrama setelah wisuda, bukan
sekarang.” Tambah Kak Salwa. “Jadi bisakah Saila
tetap bertahan disini sampai dia wisuda?” pinta
Kak Salwa.
“Tapi
dia telah membohongi kami tentang status aslinya.” Ucap pak Hilal.
“Dia
tidak pernah merasa membohongi siapapun. Tak ada seorangpun yang
menanyakan statusnya. Bahkan saat pendaftaran tak
ada keterangan tentang status marital.” Kak Salwa masih membelaku.
“Salwa
benar.” Abi Khalid mengamini.
“Abi,
saya mohon izinkan dia untuk tetap disini. Dia tak ingin membuat suaminya
kecewa untuk sekian kalinya. Permintaan suaminya
sangat sederhana. Apa Abi dan pak ustadz tak
ingin menolongnya?” Kak Salwa memelas. Aku tak tega melihatnya mengemis di
depan mereka.
“Jadi
niat Saila bertahan disini hanya untuk suaminya? Bukan karena Allah swt
semata?” ucap Abi.
Kata-kata
abi mambuatku tersadar bahwa selama ini aku bertahan karena Aidan
bukan karena Allah.
“Astagfirullah.
Saila kau tak akan mendapatkan apapun disini jika niatmu hanya
mencari ridho manusia. Kami disini mendidik para
santri untuk menjadi insan yang lebih baik dengan
menerapkan nilai-nilai ma’rifatullah. Sadar akan kehadiran Allah dalam
kehidupan sehari-hari. Dan melakukan setiap
kegiatan hanya untuk mencari ridhoNya bukan ridho manusia yang hanya sesaat. Meskipun kita tahu bahwa ridho
Allah juga terletak pada ridho suami.”
Nasehat Abi panjang lebar.
Kata-kata
abi membuatku lebih sadar lagi. Selama ini tujuanku telah benar-benar
menyimpang. Aku terlalu ingin membahagiakan Aidan
tanpa peduli apa Allah ridho atasku. Selama
ini aku selalu mengatakan pada Aidan agar selalu mencari ridhoNya. Namun aku
sendiri belum paham dengan apa yang aku katakan.
Terimakasih
Abi, kau telah menyadarkan aku. Sekarang aku tak peduli dengan
keputusan mereka. Mungkin ini yang terbaik untukku.
Aku hanya ingin Allah ridho padaku. Ya Allah
maafkan aku...
Air
mata mengalir perlahan di pipiku. Aku merasa sangat kecil di hadapanNya. Aku
merasa, aku telah melupakanNya.
“Sekarang
terserah Abi dan pak ustadz. Saya akan segera membereskan barang-barang
saya sekarang juga.” Hanya itu kata yang keluar
dari mulutku.
Semua
orang diam, tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Kak Salwa diam
menunduk, pandangannya terpusat pada ujung taplak
meja. Nafasnya naik turun tak karuan. Matanya
mulai berkaca-kaca. Teh Husna pun turut diam seribu bahasa. Dia memutar-mutar
handphone di antara jari-jarinya. Abi menghela
nafas berat, lalu menyandarkan tubuhnya disofa. Sedang pak Hilal terlihat bingung,
beliau seperti tengah berfikir keras.
“Siapa
yang menyuruhmu pergi dari sini? Program berjalan dua minggu lagi. Kau
masih berhak disini .” Ujar pak ustadz Murtaza,
ketua Depdik yang mempunyai wewenang atas
santri-santrinya.
“Benarkah??”
ucap Kak Salwa girang. Aku hanya memejamkan mataku,
mengucapkan syukur yang mendalam atas kesempatan
kedua yang Allah berikan untukku.
Alhamdulillah,
desisku. Aku mengelus perutku. Sayang, bunda masih punya
kesempatan disini, ucapku dalam hati pada bayi yang
ada dalam kandunganku.
***
Sore
itu aku membuka emailku hanya ingin melihat apa ada email baru yang masuk.
Seperti yang kuduga sebelumnya. Sebuah email baru
dari Aidan untukku.
Re:
[ Happy birthday my lovely...]
Waalaikumsalam...
Terimakasih
atas do’anya. Aku pun berharap demikian, bahagia dengan anak-anak
kita. Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Aku
baru saja menyelesaikan pertandinganku yang terakhir,
Alhamdulillah. Kejutan apa yang kau siapkan untukku? Aku jadi berdebar-debar menantinya.
Insya
Allah aku akan datang di acaramu nanti. Aku akan datang dua minggu lagi tepat
pada acara itu, Insya
Allah. Kini aku harus menyelesaikan beberapa tugasku yang tak bisa ditunda.
Aku
selalu merindukanmu.
Your
lovely hubby
Aidan
Aku
menutup emailku tanpa membalas pesannya. Tiba-tiba handphoneku berdering.
Aku segera mengambilnya di tasku.
Ayah
memanggil...
Aku
segera mengangkatnya. Aku tak tahu kenapa ayah tiba-tiba meneleponku.
Mungkin beliau kangen pada putri bungsunya.
“Assalamualaikum
ayah?” salamku
“Waalaikumsalam.”
Jawabnya ketus. Aku tak tahu kenapa ayah berlaku demikian
padaku.
“Saila
tinggalkan dia!” ucap ayah kasar.
Aku
tak mengerti kenapa beliau bersikap demikian, padahal kami telah lama tak berjumpa. Sekalinya
menelepon dia marah padaku. Dibalik sana ku
dengar isak ibu. Ada apa ini?
“Ayah,
aku tak mengerti.” Jawabku.
“Tinggalkan
Aidan! Laki-laki itu tak pantas untukmu.” pinta Ayah langsung tanpa
menjelaskan duduk permasalahannya terlebih dahulu
padaku.
“Katakan
padaku, apa salah Aidan sehingga ayah memintaku meninggalkannya?”
“Kau
tak tahu kelakuan suamimu itu di belakangmu. Harusnya dia sadar, dia itu
diawasi para paparazi yang begitu marak di Inggris
sana. Sebaiknya dia menjaga sikapnya.”
“Ayah,
aku tak paham dengan maksudmu?” aku masih belum paham dengan
permintaan ayahku. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dia
selingkuh di belakangmu! Kau terlalu polos putriku. Jadi tinggalkan dia segera
mungkin sebelum kau terus di sakitinya.”
“Ayah,
apapun yang terjadi. Aku takkan meninggalkannya. Aku sudah mengenalnya,
aku pikir, dia tengah di fitnah?!”
“Baiklah...
jika kau tetap ingin bersamanya. Lupakan aku! Dan jangan pernah
berharap aku menjadi ayahmu lagi. Aku hanya ingin
kau tak terluka setelahnya. Tapi kau terlalu
keras kepala!” ayah menutup telepon tanpa mengucapkan salam.
Aku
segera membuka google dan ku masukkan nama Rafaël Alvarez pada mesin
pencari itu. Tak berapa lama muncullah beberapa
berita tentangnya. Aku terkejut saat ku temukan
sebuah berita tentangnya. Aku lebih terkejut lagi ketika kulihat sebuah foto
dia dengan Sandrine melengkapi berita itu.
Foto itu yang menjadi sorotan hangat berita itu. Foto Aidan yang tengah duduk di sebuah pesta malam dengan
kemeja hitam dan tuxedo hitamnya tanpa dasi.
Di sampingnya berdiri Sandrine tengah menatapnya mesra dengan gaun malamnya
yang terbuka. Perlahan aku membaca isi berita itu.
“Kami
melewatkan malam itu dengan begitu indah!” komentar Sandrine dalam berita itu.
Berita itu bagai pisau yang menghujam jantungku,
mengoyak dan mencabiknya.
Hingga
mungkin jantungku tak berbentuk lagi. Aku terasa dihempas dalam besarnya ombak
di lautan, menghantam karang-karang yang menghalanginya
menuju pantai.
Inikah
yang telah membuat ayah begitu marah padanya? Aku tak percaya Aidan
melakukan itu padaku. Dia hanya mempermainkan
pernikahan ini. Apa aku pantas meninggalkan
ayah hanya untuk pria yang telah mengkhianatiku? Apa dia masih pantas untuk dipertahankan? Kenapa ia lakukan ini padaku di saat
aku mencintainya dengan segenap hatiku. Di
saat ia telah menyemai benih di rahimku. Apa hanya ini yang ia cari dariku? Lantas setelah mendapatkannya ia bisa
mencampakanku begitu saja? pikiran-pikiran buruk
kalang kabut di otakku.
Hatiku
semakin perih.
Aku
segera kembali ke asrama dan pergi menuju kamarku. Aku mencoba berfikir
jernih, namun pikiranku selalu buntu. Aku tak
berpikir lagi dia tengah difitnah setelah aku melihat bukti dari foto itu. Akan tetapi sisi hatiku yang
lain mengatakan yang berbeda, aku yakin
Aidan tak seperti yang dikatakan Sandrine. Aku yakin dia mencintaiku. Aku masih
pantas untuk mempercayainya, dia ayah dari bayi
yang aku kandung. Aku yakin dengan perubahan
Aidan yang jauh dari dua tahun yang lalu.
Sayangnya
hatiku lebih di dominasi oleh pikiran-pikiran buruk yang menambah buruk
suasana hatiku. Aku hanya bisa terpuruk di sudut
kamarku menangisi keadaanku setiap hari. Aku
tak pernah ingin membuka email dari Aidan, kalaupun aku mambacanya, aku tak
ingin membalasnya. Keadaan buruk itu di
tambah buruk lagi dengan permintaan dari ayahku yang terus menerus untuk meninggalkannya. Bahkan ayah tak
ingin menemuiku, sampai aku menyerahkan
surat perceraianku padanya. Tak jarang ayah menghindariku, ketika kami semua berkumpul untuk merayakan milad Nawfal di rumah mas
Deniez .
Meskipun
segala pikiran buruk terlintas di benakku, aku tetap membelanya di
hadapan ayahku.
“Aku
akan buktikan padamu bahwa dia mencintaiku.” Ujarku saat terakhir kalinya
ayah meneleponku dan kembali memintaku meninggalkan
Aidan.
“Baiklah...
buktikan padaku Saila! Suruh dia meninggalkan apa yang dia miliki
sekarang dan hidup sederhana denganmu di sini.”
Ayah kembali menutup teleponnya dengan emosi.
Bagaimana
aku membuktikan pada ayah jika aku saja tak yakin sepenuh hati Aidan
akan meninggalkan semuanya hanya untuk seorang
gadis biasa seperti aku. Aku menarik nafas
panjang-panjang hingga udara memenuhi seluruh sudut paruparuku. Allah maha berkehendak. Semua yang terjadi di dunia ini
dengan kehendakNya, gumamku.
Hari-hariku
terasa kelabu jika ku ingat apa yang dilakukan Aidan. Beberapa kali
Aidan menelponku karena tak ada satu pun emailnya
yang ku balas, tapi aku tak pernah mengangkatnya.
Saudara-saudara
asramaku mulai merasa khawatir dengan keadaanku yang menarik
diri dari mereka dan lebih suka menyendiri di kamar
dengan tangis yang seolah tak mau berhenti
mengalir.
“Saila,
Suamimu menelepon.” Kak Salwa menyerahkan handphoneku padaku yang
terus bordering. Aku beranjak dari tempat dudukku
menghindarinya. Ku tatap diriku di cermin.
Wajahku kuyu, mataku lebam.
“Aku
tak ingin berbicara dengannya.” Lirihku.
“Halo…
Assalamualaikum.” Akhirnya Kak Salwa yang menjawab teleponnya.
“Bukan,
saya Salwa, kakak asrama Saila.”
“Maaf
Mas, Saila sedang tidak ingin diganggu.” Ujar Kak Salwa yang tak lama
setelah itu mengakhiri percakapan mereka.
“Saila…
apa yang terjadi diantara kalian? Kalian bertengkar?” Kak Salwa menatapku
cemas. “Suara suamimu terdengar sangat
mengkhwatirkanmu. Katanya kenapa kau tak membalas
email dan tak mau mengangkat teleponnya.”
“Entahlah
aku pun tak tahu, aku hanya ingin menghindar darinya untuk beberapa saat.
Aku hanya ingin merenung dan mencari fakta yang
sebenarnya.”
“Aku
tak mengerti apa yang kamu katakan. Aku harap kau tidak terlalu lama
menghindari suamimu, dia sungguh
mengkhawatirkanmu.”
“Kakak
yakin dia mengkhawatirkanku? Apa itu bukan sandiwaranya?”
“Apa
yang kau katakan Saila! Tidak mungkin seorang suami berpura-pura
mengkhawatirkan istrinya. Tentu dia sungguh
mengkhawatirkanmu.”
“Aku…”
aku tak sanggup untuk melanjutkan kata-kataku.
“Ayolah
Saila, aku tak ingin melihatmu terus terpuruk seperti ini? Sampai kapan?
Kau mengabaikan kesehatanmu, kau telah mendzalimi
tubuhmu. Berapa lama kau tidak makan?”
Aku
mencoba berpikir, sejak kejadian itu tepatnya minggu lalu hanya setengah piring
yang masuk perutku dan itu pun dengan paksaan
saudara-saudaraku di asrama.
Suatu
ketika aku tersadar pada bayiku. Keadaanku dapat mempengaruhi kondisinya
nanti. Dia dapat merasakan apa yang aku rasakan.
Kondisinya sama lemah dengan kondisi tubuhku
yang hanya terisi sedikit makanan. Aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukan
ini. Aku sadar sepenuhnya aku hanya akan
terus-terusan menyiksa bayiku dan diriku sendiri.
“Apa
aku harus menelepon suamimu dan menceritakan apa yang terjadi padamu saat
ini?”
“Tidak!!”
teriakku. “Dia pasti akan datang dan aku tak ingin berjumpa dengannya.”
“Saila…
kau percaya padaku? Jika kau mau, kau bisa cerita apa yang terjadi antara
kau dan suamimu. Seperti dulu kau percaya padaku
dan menceritakan bahwa kau telah menikah dan
bersuami.” Kak Salwa menatapku dengan penuh rasa keibuan. “Siapa tahu aku
bisa membantumu.”
“Tapi…”
“Aku
tahu, aku belum pernah mempunyai pengalaman tentang pernikahan sama
sekali. Tapi kau jangan ragukan ilmu tentang
pernikahan yang aku miliki. Siapa tahu ilmu yang
kudapat dari pelatihan itu bisa bermanfaat untukmu juga.”
“Terimakasih
Kak. saat ini aku belum bisa bercerita padamu seperti dulu.
***
Hari
itu semua orang telah berkumpul di sebuah aula pesantren yang terletak di
sebelah barat laut dari asramaku, untuk mengadakan
upacara wisuda. Aula itu telah sesak di penuhi
oleh para santri yang di dampingi orang tua dan kerabatnya yang turut hadir
untuk menyaksikan acara yang dinanti para
santri itu.
Hanya
Kak Salwa dan aku yang tak di dampingi oleh orang tuanya. Meski begitu salah
seorang kakak lelaki Kak Salwa datang untuk mendampinginya. Sedangkan aku?
Aku
benar-benar sendiri. Ayahku tak datang, beliau
masih marah padaku dan ibu takkan mungkin datang
tanpa ayah, beliau terlalu patuh pada perintah
ayahku. Kak Wafa sendiri saat ini pergi ke Solo untuk mengunjungi mertuanya
yang telah lama tak di kunjunginya. Mas
Deniez dan kak Yasmin pun tak bisa datang, karena harus menjaga Nawfal yang demam sejak tadi malam dan si kecil
Ayla yang baru berumur satu tahun. Acara
telah berlangsung satu jam yang lalu. Suasananya sangat meriah, mulai dari
tausyiah dari pak Kyai, hingga kreasi seni yang
menyajikan nasyid dan pembacaan puisi Islami.
Tak
ada satupun acara yang aku ikuti dengan sepenuh hati. Pikiranku terus terbayang
pada ayah dan Aidan. Keduanya terus melintas dalam
benakku silih berganti.
“Saila...”
Kak Erin memanggilku dan membuyarkan semua lamunanku. Ia duduk di
kursi kosong di sampingku.
“Keluargamu
tak ada yang datang?” tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku
perlahan.
“Sabar
ya...” ucapnya lembut.
Aku
mengangguk. Kak Erin rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menemaniku bercakap-cakap.
“Suamimu
juga tak datang?” tanyanya lagi.
Aidan?
Bahkan aku tak mengharapkannya lagi untuk datang disini.
“Aku
tak tahu. Mungkin beliau sibuk.” Ujarku datar.
“Assalamualaikum...”
aku mendengar suara seseorang menyapa kami beberapa menit
setelah itu.
“Kang?”
Kak Erin sedikit terkejut melihat sosok yang baru saja mengucapkan salam
itu. Aku sendiri enggan untuk menoleh pada
laki-laki itu bahkan hanya untuk ingin tahu siapa dia.
“Saila,
kenalkan ini Kang Aidan alumni santri privat disini.” Ujar Kak Erin.
Aku
tersentak, aku segera menoleh pada laki-laki itu.
“Kami
telah saling mengenal.” Ujar Aidan. “Beliau ini istri saya.” Tambahnya.
Kini
giliran Kak Erin dan Iis yang duduk tak jauh dari
tempat kami duduk tersentak kaget.
“Saila...”
desis Iis.
Pandangannya
terpusat tajam padaku setajam mata anak panah.
Aidan menyodorkan setangkai mawar putih padaku. Aku
hanya memandang mawar itu sinis. Aku
beranjak dari tempat dudukku dan melangkah meninggalkan aula yang cukup bising itu. Aidan mengikuti di belakangku.
“Aku
ingin tahu, kejutan apa yang akan kau berikan padaku?” tanya Aidan dengan
senyum khasnya.
“Tak
ada kejutan apapun.” Jawabku dingin.
Aku
terus melangkah menuju tempat parkir di samping aula itu. Aku melihat Audi A3 hitam
milik Paman Ali terparkir disana.
Aidan
pasti yang membawanya. Dengan SIM internasional yang dimilikinya, dia dapat
mengendarai kendaraan di Negara manapun yang
mengakui SIM tersebut.
“Bukankah
kau mengatakan kau punya kejutan untukku?”
“Kau
salah, aku tak punya kejutan apapun untukmu.” Ujarku ketus.
“Ada
apa denganmu Saila? Kau begitu dingin padaku.” Aidan menjejeri langkahku
“Apa
ada masalah? Apa ini yang jadi permasalahan kau tak mau mengangkat telponku?”
“Kenapa
kau harus bertanya itu padaku? Bukankah kau lebih tahu jawabannya?”
“Aku
tak mengerti.”
“Jangan
pernah bersikap seperti itu Aidan! Kau pikir aku tak tahu apa yang kau
lakukan di sana dengan mantan kekasihmu itu?”
ucapku dengan nada bergetar menahan tangis.
“Astagfirullah.
Pasti ini tentang berita yang disebar media itu. Harus kau ketahui
Saila, aku tak pernah melakukan apapun dengan
Sandrine!”
Kami
berhenti di depan pintu masuk tempat parkir tersebut.
“Apa
yang ingin kau sembunyikan dariku? aku telah tahu semuanya. Para wartawan
itu senang memberitakanmu. Dan gadis itu, Sandrine!
Dia telah membenarkan apa yang mereka
ceritakan tentangmu dan dirinya.”
“Masya
Allah Saila, aku di fitnah! Aku tak mungkin mengkhianatimu, aku
mencintaimu. Selama gosip itu menyebar, hanyalah
kau yang ada di pikiranku dengan keyakinan
kau akan menolak gosip itu mentah-mentah dan mempercayai aku seutuhnya.”
Suaranya terdengar bergetar.
Aku
menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan hatiku yang mulai
menegang.
“Sayangnya...
aku tak sebodoh yang kau pikirkan.” Aku mendelik.
“Demi
Allah Saila, aku tak pernah berpikir tentang kau seperti itu. Aku hanya
berharap istriku lebih percaya aku daripada gosip
murahan itu.”
“Baiklah…
buktikan kalau kau benar-benar mencintaiku.”
“Aku
mencintaimu karena Allah.” ujarnya tenang.
“Hiduplah
disini bersamaku dalam kesederhanaan. Tinggalkan London dan
kariermu.”
Aidan
tampak sangat terkejut. “Aku tak mungkin melakukan itu!” ucapnya spontan.
Aku
terkejut mendengar jawabannya, aku tak menyangka dia akan menolak
permintaanku. Aku bertambah yakin ia tak sepenuhnya
mencintaiku.
“Kenapa
Aidan? Kau takut? Kau takut tak bisa hidup mewah? Kau takut tak akan
dipuja-puja lagi oleh penggemar wanitamu? Kau takut
tak bisa bertemu dengan Sandrine?” ucapku
penuh emosi.
“Cukup
Saila!!” teriaknya. “Kau telah menyinggungku.” sebuah tamparan mendarat
di pipiku.
Aku
tak menyangka Aidan akan sedemikian marahnya padaku. Semua orang di
sekitar memandang kami heran. Aku tak menyangka
Aidan akan melakukan hal itu. Aku tak menyangka
dia akan menyakitiku dan mempermalukanku di depan semua orang.
Aku
memegang pipi kiriku yang memerah. Air mata mulai menutupi pandanganku.
Tapi aku masih dapat melihat rasa bersalah dan
penyesalan terlukis di wajah Aidan. Dia memandangi
tangan kanannya. Nafasnya pun mengalir tak beraturan.
“Astagfirullah...”
desisnya
“Terimakasih,
kak.” Ujarku terisak. “Kau melimpahkan kesalahanmu padaku dan
mempermalukan aku di depan semua orang.”
Aku
hendak berlari meniggalkannya, namun tangan kirinya berhasil meraih lengan
kananku. Sehingga aku tak bisa pergi darinya.
“Maafkan
aku Saila. Aku tak bermaksud...” kata-katanya terputus.
Aku
tak mengatakan apapun. Aku meronta meminta untuk di lepaskan. Tapi Aidan
tak melepaskanku. Tangannya begitu kuat mencengkram
lenganku. Aidan menoleh ke arah kiri dan
kanan sebelum akhirnya menarikku dan membawaku ke dalam mobil Paman Ali yang ia pakai.
Aidan
membukakan pintu penumpang dan memintaku masuk. Entah apa yang
mendorongku untuk mengikuti perintahnya, aku
mengalah, aku menurutinya masuk ke dalam mobil.
Sedangkan dia sendiri duduk dibalik kemudinya.
“Sungguh
Saila… maafkan aku, aku refleks melakukan itu.” Tangannya mendekati
wajahku, aku segera menghindar.
“Aku
takkan menyakitimu lagi.” Janjinya. Kedua tangannya terus mendekati wajahku,
jari-jarinya menghapus air mata yang mengalir di
pipiku dengan halus. “Maafkan aku…” bisiknya.
“Wajahmu sakit…?” ujarnya lagi.Ya, tapi hatiku lebih sakit, ucapku dalam hati.
Aku diam tak menjawab. Aku masih menghujaninya
dengan tatapan sinis. Perlahan ku lepaskan
tangannya yang mendekap wajahku.
Aidan
menyalakan mesin mobilnya dan meluncur pergi meninggalkan tempat parkir.
“Biarkan
aku turun disini.” Pintaku di tengah jalan.
Aidan
tak menggubris permintaanku, dia terus menjalankan mobilnya hingga berhenti
di depan rumah Bibi Sarah.
“Apa
maksudmu membawaku kesini? Apa kau ingin Paman dan Bibi melihat
pertengkaran kita?” aku mengerang. Aidan menarik
tanganku dengan lembut untuk keluar dari
mobil dan membawaku masuk kedalam rumah.
“Bukan
itu maksudku. Aku hanya ingin mereka menjadi penengah kita.”
“Kau
curang! Jika kau ingin ada penengah maka kau harus menghadirkan dari
pihakku.”
“Bagaimana
mungkin aku menghadirkan ayahmu atau kakakmu sebagai penengah
jika mereka telah membenciku.”
“Membencimu?”
aku terkejut. “Nah! Kau sudah tahu mereka membencimu, itu
karena kesalahanmu. Berarti kau telah tahu apa
kesalahanmu, lantas kenapa kau masih tanyakan
lagi padaku?”
“Aku
di fitnah Saila! Tidak bisakah kau percaya pada suamimu sendiri?” Aidan mulai
mengerang, kedua grahamnya saling beradu, mulutnya
terkatup rapat.
“Lantas
sekarang apa yang kau mau dariku?”
“Aku
hanya ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku hanya ingin kau
mempercayaiku, Saila.” Aidan menutup pintu ruang
tamu agar suara kami yang mulai mengeras tak
terdengar oleh tetangga. “Apa yang bisa kulakukan agar kau kembali percaya
padaku?”
“Bukankah
kau sudah tahu? Kenapa kau harus bertanya lagi? Tinggalkan karirmu dan
hiduplah bersamaku disini.”
“Kau
tidak bisa egois seperti itu Saila!”
“Kau
yang egois, kak! kau tak merasakan, popularitasmu itu melukai perasaanku.”
“Ku
pikir kau sudah paham, bagaimana konsekuensi menikah denganku?”
“Aku
paham, seandainya waktu itu aku bisa menolak keinginan orang tuaku untuk
menikah denganmu. Aku akan lebih memilih menikah
dengan laki-laki biasa.”
“Jadi
kau menyesal menikah denganku?”
“Aku
tak akan menyesal jika kau bisa seperti laki-laki lainnya yang hidup normal
tanpa penggemar dan paparazzi.”
“Hentikan
keegoisan itu Saila! Aku tak pernah ingin menjadi orang yang populer, aku
hanya melakukan semua ini untuk keluargaku. Aku
bisa saja meninggalkan semua itu. Dengan begitu
aku akan kehilangan keluargaku, bagaimana aku mengobati ibuku dan menyekolahkan adikku, jika aku harus tinggal disini ?”
Aidan terkulai lemas diatas sofa. “Ayahku
akan membawa adikku, lalu Ibuku?”
Aku
turut terkulai lesu, “Aku tahu semua itu hanya alasanmu. Aku tahu kau
menikmati semuanya termasuk pujian gadis-gadis itu
kan ?” suaraku mulai melemah namun tak mau
kalah. Toh Paman Ali mapan beliau bisa membantu pengobatan Ny. Nicole, pikirku.
“Seberapa
sulitkah bagimu untuk bisa mempercayaiku?”
“Sesulit
menerima kenyataan kau berselingkuh dengan Sandrine !”
“Wallahi…
Aku di fitnah! Berapa kali aku harus mengatakannya.”
“Kau
berani bersumpah padahal buktinya sudah ada, kenapa kau harus menyangkal
lagi?”
“Semua
itu masih harus di buktikan dengan adanya empat orang saksi. Bisakah kau
mendatangkan saksi itu untuk membuktikannya?”
tantang Aidan, kemarahan telah menyeruak
dalam dirinya. Sesekali Aidan beristighfar untuk meredam emosinya.
“Paparazi
itu?”
“Mereka
hanya melihat Sandrine duduk mendekatiku dan memanfaatkan moment itu
untuk memfitnahku.”
“Apa
pernyataan Sandrine itu belum jelas untuk menggambarkan apa yang kalian
lakukan malam itu. Sandrine! Tokoh utama dalam
adegan yang kalian lakukan!” Aku beranjak
dari tempat dudukku, Aidan turut beranjak dan kembali meraih tangan kiriku dengan tangan kanannya.
“Lepaskan
aku!” kali ini aku bisa lepas dari cengkramannya dan berlari meninggalkan
rumah itu. Dia masih menatap dan membiarkanku
pergi.
Sejak
kejadian itu aku tak pernah mau bertemu dengannya. Aku tak ingin bertemu dia
lagi. Apa yang dikatakan ayah benar, dia tak pernah
mencintaiku seperti yang aku pikirkan selama
ini. Sulit mempercayai perkataannya, tak ada satupun fakta yang mendukung
ucapannya. Aku tak tahu apa alasan sebenarnya dia
menikahiku. Apakah dia menikahiku karena dia
memang ingin menyakitiku? Lalu apa salahku sehingga tujuannya menikah denganku hanya untuk menyakitiku? Sedikitpun aku tak bisa
berpikir baik tentangnya, karena tak ada hal
baik apapun yang bisa ku pikirkan tentangnya. Aku bersumpah, aku akan mengikuti nasehat ayahku dan sampai kapanpun bayiku tak
akan pernah tahu siapa ayahnya.
Untuk
apa? Bayiku tak butuh ayah sepertinya.
Aidan
tak berhenti menggangguku. Ia selalu datang ke rumah mas Deniez untuk
menemuiku, tapi aku tak ingin melihatnya lagi.
Beberapa kali dia meneleponku tapi aku tak pernah
ingin sekalipun mengangkat teleponnya serta puluhan SMS yang ia kirim tak
pernah sekalipun aku balas. Hingga suatu
hari dia berhenti menggangguku. Tak ada telepon ataupun SMS yang dia tujukan untukku. Aku rasa dia telah kembali
ke London.
***
Aku
meletakan data perkuliahanku di meja kerja dosen pembimbingku. Saat itu dosen
pembimbingku Madame Julia tak ada di tempat
kerjanya. Aku mencoba menunggunya untuk
meminta sedikit bimbingan atas beberapa nilaiku yang menurun pada semester ini. Namun beliau tak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kantornya dan menemuinya di lain waktu.
meminta sedikit bimbingan atas beberapa nilaiku yang menurun pada semester ini. Namun beliau tak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kantornya dan menemuinya di lain waktu.
“Bonjour!
(selamat pagi!).” Monsieur Dylan, dosen native speakerku yang diimpor
langsung dari Perancis menyapaku.
“Bonjour!”
jawabku. “Je sais que vous allez enseigner à l’autre université, à l’autre
pays. (Aku dengar, anda akan mengajar di
universitas lain, di Negara lain).
“Tu
as raison, je vais enseigner à Auckland. (Kau benar, aku akan mengajar di
Auckland,).” kami berdua keluar dari kantor itu.
“Je vais partir après demain (Aku akan pergi
besok lusa).”
“Auckland?
Neuve-Zélande !Oh... vous allez me manquer (Auckland? Selandia Baru !
Oh... Aku akan merindukanmu).” Ujarku.
“Maintenant,
Tu vas aller où? (Sekarang, Kau akan pergi kemana?)” tanyanya.
“Je
vais rentrer chez moi. Au revoir! (Aku akan pulang ke rumah. Sampai jumpa!)”
“Au
revoir! (sampai jumpa!)”
Kami
pun berpisah di depan kantor dosen jurusan bahasa Perancis. Baiklah...kalau
begitu aku akan segera pulang dan istirahat sebelum
pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan
si kecil yang belum seorangpun tahu tentang keberadaanya dalam perutku. Aku terus melangkah di antara lorong-lorong gedung
fakultas yang sepi. Sebagian besar mahasiswa
tengah menikmati libur panjang mereka. Hanya ada beberapa mahasiswa yang
pergi ke kampus untuk mengikuti kuliah di semester
padat ini.
“Saila...!”
seseorang memanggilku. Aku segera menoleh ke sumber suara.
“Kak
Aidan?” desisku.
Aku
mempercepat langkahku untuk menghindar darinya. Aku
pikir dia telah kembali ke Negaranya.
“Tunggu
aku!” teriaknya. Dia mengejarku dan berhasil meraih lenganku. “ Saila...
maafkan aku. Aku mohon izinkan aku berbicara
denganmu untuk beberapa saat.” Pintanya.
“Aku
buru-buru...” ujarku ketus. Aku berusaha melepaskan tangannya dari lenganku.
Tapi
seperti biasanya tangannya cukup kuat menggenggam lenganku.
“Lepaskan
aku Aidan!” pintaku. Kakiku telah turun satu langkah menuju anak tangga.
“Tidak!
Sampai kau memberiku kesempatan untuk berbicara padaku.”
“Jangan
bertindak seperti anak kecil, Aidan!”
“Kau
yang bertindak seperti anak kecil. Bisakah kau mendengarku dengan pikiran
terbuka?”
“Aku
tidak main-main Aidan! Aku serius. Bahkan aku jamin bayiku tak akan pernah
mengenalmu. Dia tak perlu mempunyai ayah
sepertimu.”
Aidan
tampak terkejut demikian denganku. Diluar dugaan akhirnya aku
membocorkan sendiri apa yang aku sembunyikan
darinya.
“Bayi?”
Aidan memandangku heran. “Kau tengah mengandung?” ujarnya. Aku diam
tak menjawabnya. Matanya memandangku haru.
“Aku
akan menjadi seorang ayah?” senyum mengembang di bibirnya.
“Tapi
kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu ayah.”
Senyum
Aidan menyurut dari bibirnya. Tangannya masih kuat mencengkram
tanganku.
“Kumohon
Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku. Demi bayi yang ada
dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!”
erangku. Aku mengerahkan seluruh tenagaku agar
lenganku terbebas dari cengkaramannya.
Namun
tubuhku goncang, aku tak dapat mengatur keseimbanganku. Dunia terasa berputar
mempermainkanku. Kurasakan tubuhku terhempas dari anak tangga satu ke anak tangga yang
lainnya, terus-menerus hingga akhirnya aku tergeletak tak berdaya di samping anak tangga terakhir. Tubuhku terasa hancur terlebih kaki kananku dan kurasakan sakit yang sangat dahsyat di perutku. Aku merintih kesakitan seraya memegangi perutku.
mempermainkanku. Kurasakan tubuhku terhempas dari anak tangga satu ke anak tangga yang
lainnya, terus-menerus hingga akhirnya aku tergeletak tak berdaya di samping anak tangga terakhir. Tubuhku terasa hancur terlebih kaki kananku dan kurasakan sakit yang sangat dahsyat di perutku. Aku merintih kesakitan seraya memegangi perutku.
Aku
melihat Aidan segera menghampiriku dengan sosok lainnya, Monsieur Dylan.
Mereka berdua tampak khawatir melihat keadaanku,
terlebih Aidan. Aku hanya merintih kesakitan
sambil berulang kali kuucap kalimat istighfar dan takbir. Aidan membawaku pergi
dari tempat itu.
“Masya
Allah Saila...” itu adalah kata terakhir yang kudengar dari Aidan sebelum
semuannya menjadi gelap.
***
Perlahan-lahan
aku membuka mataku. Kudengar ayat-ayat al qur’an mengalir ditelinga,
mendamaikan jiwaku. Aku tak tahu dimana aku berada. Yang aku tahu, aku berada
di dalam pelukkan Aidan
yang begitu hangat. Dan aku tak merasakan rasa sakit yang tadi kurasakan, kecuali sedikit rasa ngilu di perut dan
kakiku.
“Maafkan
aku Saila...” aku mendengar suara Aidan yang lembut dan tangannya
membelai kepalaku dengan penuh kelembutan. “Semua
ini terjadi padamu karena kesalahanku.”
Aku
menyapu pandangan di sekitarku. Semuanya hijau, sejauh mata memandang
hanya dapat kutemukan rumput hijau yang segar
mengelilingi kami.
“Aidan...”
panggilku lemah.
“Aku
di sini Saila... aku di sini...”
“Jangan
kau tinggalkan aku sendiri lagi.”
“Aku
takkan meninggalkanmu! Aku akan selalu bersamamu...”
Tangan
kirinya menggenggam erat tangan kiriku. Hangat, nyaman dan menenangkan.
Sedangkan tangan kanannya tak berhenti membelai
kepalaku.
“Bayi
kita... bayi kita...” ucapku lemah.
“Aku
tahu... aku tahu... dia baik-baik saja.” Ujarnya.
“Alhamdulillah...”
Beberapa
lama kami terhanyut dalam kesunyian. Tak ada percakapan diantara kami.
Aku tak ingin berbicara apapun. Tubuhku sangat
lemah. Aku hanya merasakan kenyamanan dalam
pelukkan Aidan dan aku tak ingin semua itu berakhir. Namun Aidan melepaskan
pelukannya.
“Aku
harus pergi untuk beberapa saat, tapi aku akan kembali untuk menjemputmu.
Tunggulah aku disini. Jangan pernah pergi kemanapun
sampai aku datang.” Ujarnya.
Aidan
meninggalkanku di padang rumput itu sendiri. Aku melihatnya berjalan
menjauhiku. Tak ada hal lain yang kurasakan selain
percaya dia akan datang kembali menjemputku.
Namun sampai hari beranjak gelap, Aidan tak kunjung kembali. Padahal dia
tahu aku sangat takut pada gelap. Hatiku selalu
yakin dia akan kembali untuk menjemputku.
Aku
beranjak dari tempat dudukku. Berusaha mencari dan memanggil-manggil
namanya. Dengan tertatih-tatih aku berjalan
mencarinya. Hari semakin gelap, rasa takut semakin
mencekamku. Aku mengingkari janjiku untuk tetap menunggunya di tempat itu.
Dalam keputusasaan, aku menemukan sebuah cahaya
kecil di hadapanku. Aku terus mendekati
cahaya itu. Semakin aku mendekatinya, cahaya itu semakin besar dan menyilaukan kedua mataku. Sempat terpikir untuk kembali
ke tempat semula dan menanti Aidan disana.
Rasa takut pada gelap mengurungkan niatku dan terus melangkah menuju cahaya itu. Melangkah, melangkah dan terus melangkah,
semakin mendekatinya semakin kuat pancaran
cahayanya dan menyilaukan mataku.
Setelah
begitu dekat, dalam cahaya itu aku melihat wajah ibu, kak Wafa, dan kak
Yasmin tersenyum padaku serta ayah yang berdiri di
belakang ibuku.
“Alhamdulillah...
Saila kau sudah sadar, nak?” Ibu memandangku dengan tatapan
haru.
“Apa
yang terjadi?” tanyaku lemah. Masih kurasakan ngilu di kaki kanan dan perutku.
“Kau
mengalami kecelakaan di kampusmu dan kaki kananmu patah nak. Kau sempat
tak sadarkan diri selama beberapa hari, tapi tak
apa sekarang kau sudah lebih baik.” Jelas Ibu.
Aku
mencoba mengingat apa yang terjadi saat itu. Aku mengingatnya, semua itu
berawal dari pertengkaran antara aku dan Aidan hingga
aku terjatuh, lalu aku tak ingat apapun
lagi.
“Bayiku?
Dia baik-baik saja, bukan?” aku meraba perutku.
Tak
ada yang menjawab pertanyaanku. Mereka malah saling berpandangan, kemudian
menatapku penuh keheranan.
“Bayi?
Bayi apa?” Ayah memadangku heran.
“Bayiku
dan Aidan. Bayi yang aku kandung.” Ungkapku panik. Mereka kembali
saling berpandangan. Ayahku menggelengkan kepalanya
sebelum ia bertanya lagi.
“Aidan?
Siapa dia?”
“Aidan
suamiku. Menantu Ayah. Apa Ayah lupa? Ayah boleh membencinya, tapi
bukan berarti Ayah bisa melupakannya.” Ucapku
pelan.
“Bayi?
Aidan? Suami? kau bicara apa Saila?” Ayah terus menatapku heran, seolah
ribuan tanda tanya mengelilingi kepalanya.
“Bukankah
Ayah yang menikahkan aku dengannya? Apa Ayah lupa?” ujarku keras
kepala. Ayah kembali menggeleng, sedangkan ibu, kak
Wafa dan kak Yasmin menatapku penuh iba dan
rasa pedih. Ketiga pasang mata itu berkaca-kaca.
“Biar
aku panggilkan dokter.” Kak Wafa membalikkan badannya dan pergi
meninggalkan kamar.
Selang
beberapa menit kak Wafa telah kembali dengan seorang dokter. Dokter itu
lekas memeriksa kondisiku.
“Semuanya
normal. Dia hanya tinggal memulihkan luka-lukanya.” Dokter itu
memberikan penjelasana setelah ia selesai
memeriksaku.
“Kepalanya
apa baik-baik saja?” tanya ayah.
“Ya,
tidak ada masalah.” jawab dokter itu.
“Bagaimana
dengan bayiku, dok?” aku menyela.
“Bayi.”
Dokter itu ikut menatapku heran, seperti yang dilakukan sebelumnya oleh
keempat anggota keluargaku.
“Sedari
tadi dia menanyakan terus bayi dan suaminya, dok. Oleh karena itu saya
menanyakan keadaan kepalanya.” Ayah memberikan
penjelasan dokter itu menganggukangguk menandakan
ia paham dengan penjelasan ayah.
“Saila
koma beberapa hari lamanya...” Dokter menghentikan kata-katanya. Sejenak ia
Menghela
“Saat
Saila koma, pikirannya justru bekerja keras. Sehingga menimbulkan bayangan-bayangan
lain dalam benaknya. Maksudku, Saila seakan hidup dan menjalani kehidupan seperti dalam dunia nyata.”
lain dalam benaknya. Maksudku, Saila seakan hidup dan menjalani kehidupan seperti dalam dunia nyata.”
“Apa
itu seperti mimpi ketika kita tidur dok?” kini kak Wafa yang bersuara.
“Ya,
semacam itu. Mungkin saat itulah ia bertemu dengan lelaki itu dan seakan ia
telah menikah dan hamil.”
“Ilusi?”
desis ayahku. Dokter itu mengangguk
“Ya.
Ilusi yang tercipta dalam ketidaksadarannya.”
“Lantas
bagaimana mungkin ia tidak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan
ilusinya?” Ayah terus bertanya.
“Kecelakaan
itu menyebabkan benturan yang cukup keras di kepalanya.
Sederhananya, memori di otaknya seakan bercampur.
Itulah mengapa ia sulit membedakannya,
karena mimpi itu seolah nyata baginya.”
Hatiku
meringis perih. Apa yang dikatakan dokter itu keliru. Pernikahan itu bukan
ilusi. Itu nyata dan aku bisa merasakan tiap denyut
kebersamaan aku dengan Aidan. Itu tidak benar.
“Bapak
dan ibu tak perlu khawatir seiring berjalannya waktu dia akan mampu
membedakan mana ilusi dan kenyataannya.”
“Apa
itu bisa dikatakan kalau saya tidak waras dok?” tanyaku
“Saila!”
Ibu menyela. Dokter itu tertawa kecil.
“Tidak
demikian juga Saila. Itu hanya gangguan kecil. Kecuali jika pikiranmu kau
gunakan untuk berpikir dan menganggap semua itu
nyata, akan sangat membutuhkan waktu yang
lama agar bisa pulih kembali.” Dokter itu tersenyum satir. Tak lama ia mohon
diri meninggalkan ruanganku.
“Sudah
jelas semuanya.” Ujar ayah. “Aku masih ingat apa yang terjadi dalam
kehidupanku. Aku tak mungkin melupakan hal penting
seperti itu. Aku belum pernah menikahkan
putri bungsuku dengan siapapun!”
Satu
persatu keluargaku keluar kamar, kecuali Kak Yasmin yang masih dikamarku.
Beliau menghampiriku lalu memelukku.
“Bersabarlah
adikku...” gumam kak Yasmin. Ia membelai kepalaku.
Aku
teringat cincin kawinku, aku bisa menjadikannya sebagai bukti, namun saat aku
tengok, cincin itu tak lagi melingkar di jari manis
kananku. Ya Allah benarkah selama ini hanyalah
khayalanku? Batinku dalam hati.
“Semua
itu terasa nyata bagiku Kak!” ujarku. “Aku bahkan masih dapat merasakan
hangatnya pelukan Aidan dan betapa lembut tutur
katanya. Apa kau lupa pada adik iparmu itu?”
tanyaku.
Kak
Yasmin tak mengucapkan apa-apa. Dia masih menatapku dengan iba. “Sudah
masuk waktu sholat ashar. Berdoalah padanya dan
mintalah kebaikan untukmu dan petunjukNya.”
ujar Kak Yasmin.
Beliau
membantuku bertayamum. Setelah itu beliau pergi meninggalkanku juga. Aku
pun mendirikan sholat ashar. Hatiku semakin terasa
perih, berontak dan menyangkal semua yang
dijelaskan dokter. Mataku mulai mengembun, lantas pecah dan menganak sungai di
sudut mataku.
“Assalamualaikum
warahmatullah...” aku menengokkan wajahku ke arah kanan lalu
ke kiri untuk mengakhiri sholatku.
Pandanganku
terhenti pada jendela kamar dimana aku dapat melihat sang mentari yang hendak membenamkan
dirinya di barat laut sana. Di barat laut
sana, dimana benua biru itu berada, di salah satu negaranya seseorang yang
kupikir telah menikah denganku kini berpijak
disana. Namun nyatanya itu hanya mimpi dalam ketidaksadaranku.
Pandanganku
beralih pada televisi di kamar rumah sakit yang masih menyala, saat
seseorang menyebut nama Rafaël Alvarez, aku melihat
mereka tengah memberitakannya. Mataku
terpaku pada sosoknya tanpa memperdulikan apa yang mereka beritakan tentangnya.
Dia masih seorang Rafaël Alvarez bukan Faiyaz Basel
Aidan.
Hatiku
begitu hancur menyaksikannya di televisi. Aku merasa menjadi sangat jauh
dengan lelaki yang ada di televisi itu. Aku segera
mematikan tv itu dengan remote control yang
tergeletak di meja samping tempat tidurku. Kembali ku alihkan pandanganku ke
arah jendela itu. Dinding kaca itu telah
menjadi jarak antara aku dengannya. Bisakah aku memecahkannya?
Ku
hela nafas berat, ku pejamkan mataku beberapa detik. Ya Allah beri aku
petunjukMu dan beri aku kekuatan untuk bangkit,
desahku. Ketika aku hendak mengambil gelas
di meja kamarku, aku menemukan sebuah benda tergeletak disampingnya. MP4
hitam! MP4 itu masih lengkap dengan file yang sama.
Bukankah MP4 itu yang di berikan Aidan
untukku? Mungkinkah benda itu hadir dalam kehidupan nyataku? Sedangkan Aidan
sendiri hidup dalam mimpiku. Tanda tanya baru
muncul di benakku.
***
Kupejamkan
mataku lama... sampai akupun tak tahu seberapa lama mataku terpejam.
Aku mencoba berpikir keras, mengaduk-aduk seisi
otakku, mencoba menemukan jawaban atas
keraguan dan ketidakyakinanku akan penjelasan dokter, satu lagi... diamnya Kak
Yasmin seolah berlawanan dengan penjelasan
dokter dan keyakinan keluargaku yang lain.
Menghadirkan
tanda tanya lain yang justru memberiku sejuta kebingungan dan rasa
penasaran yang semakin membuncah di hatiku.
Kebingungan yang membuat jiwaku terasa lemah,
selemah tubuhku yang masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
“Aku
masih ingat apa yang terjadi dalam kehidupanku. Dan aku tak mungkin
melupakan hal penting seperti itu. Aku belum pernah
menikahkan putri bungsuku dengan siapapun!”
kata-kata Ayah terus mengiang di telingaku.
“Saila,
bukankah aku telah menjadi suamimu?” kata-kata Aidan pada malam pertama
kami bersama tak kalah mengiang di telingaku seolah
membantah keras pernyataan ayahku.
Ya
Allah... Engkaulah yang maha mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupanku.
Berilah aku petunjukMu, jika apa yang aku alami ini
benar. Berilah aku kekuatan untuk bangkit,
jika semua itu hanya mimpi dan angan-angan kosongku semata...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar