"Maaf,
Pit," bisiknya.
"Aku tidak
bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka...."
"Aku tahu.
Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku
buatkan teh panas, nanti kau minum, ya."
Ia mengangguk
dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih
baik.
Dihirupnya
sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku
merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
"Terima
kasih."
"Bukan
untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan," ia tersenyum
nakal.
"Oh,
kau!" aku ikut tersenyum, lega.
"Dan untuk
menikah denganku," lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius.
"Setidak-tidaknya
sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "
Aku tertegun
sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, "Aku yang mesti
berterima kasih kepadamu."
"Untuk
apa?"
"Untuk
setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."
Idan tersenyum
kecil.
"Aku tidak
melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan
untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."
"Jangan
memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih.
Mengalahlah sedikit."
Idan tersenyum
dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa
kekhawatiranku.
"Aku masih
tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini,"
katanya.
"Entahlah,
Dan," aku tertawa kecil.
"Mungkin
aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan
aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua
masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas;
dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."
"Apa yang
kau dapat setelah setahun kita menikah?" tanyanya dengan mimik lebih
serius.
Aku terdiam
sejenak.
"Banyak,"
jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat
atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan
dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan,
bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti
kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."
Aku ingin
menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun
memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
"Kau memang
selalu pintar bicara," Idan tersenyum.
"Kau
sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?"
"Hanya
satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau
pergi."
Aku tertegun.
"Apa maksudmu?"
Idan bangkit dan
duduk mencangkung menatapku.
"Tahun ini
adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar
suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini.
Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku
jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa
dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun
harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."
Kutatap wajah
Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang
dan serius.
"Aku masih
belum mengerti," bisikku.
"Pernikahan
ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan
sesungguhnya untukku."
"Apa
maksudmu kau mencintaiku?" suaraku tercekik.
"Apa yang
tidak kau pahami? Aku mencintaimu" kata-kata Idan begitu lugas,
menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas.
"Aku
mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh
tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah
bisa berhenti mencintaimu hingga kini."
"Kau... kau
tidak pernah...."
"Kau tidak
pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain
atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan
semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak
menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti
kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku
bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku
terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku
benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian,
belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu."
"Kau tidak
pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku lirih. "Kau istimewa dengan
caramu sendiri."
Ia mengangkat
bahu.
"Tidak
cukup untuk kau cintai."
Sesaat aku hanya
bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini
hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan
sungguh-sungguh.
"Kenapa kau
katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau
inginkan?" tanyaku datar.
Idan tersenyum
kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan
sebelumnya.
"Aku
sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya
ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan
mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu
kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau
benci kepadaku atau melupakanku sekalipun."
Ia tertunduk
sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku.
"Dan kalau
kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku.
Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan
pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi
menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin
mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."
Ia menghela
napas berat.
"Tapi itu
semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu
juga."
Lama kami berdua
saling berpandangan.
"Terima
kasih, Dan," desahku akhirnya.
Kupeluk ia
erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.
***
"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."
"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."
"Berapa
lama?"
"Entahlah.
Sebulan dua bulan mungkin."
"Kau tahu
waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman.
Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam
setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya
bisa kita lewati berdua."
"Aku tahu,
Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan
aku."
"Aku lebih
membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin
kita bisa seterusnya bersama?"
Aku menghela
napas panjang.
"Entahlah,
Pram, " bisikku.
"Apa
maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.
"Aku....
Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita."
"Ita! Kau
tidak.... Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup
dengannya, ia akan bahagia?"
"Aku tidak
merasa menderita menjadi istrinya."
"Tapi kau
tidak bahagia!"
"Aku
bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku
bahagia."
"Kau tidak
bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan
berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan
ini."
"Aku bisa
belajar memaafkan diriku sendiri."
"Ita, kau
tidak mencintainya!"
"Ia
mencintaiku. Itu lebih dari cukup."
"Kau hanya
bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat
mencintaimu?"
"Aku tidak
pernah akan lupa, Pram."
"Lantas apa
yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"
"Idan
mengajariku tentang cinta."
"Hanya
karena itu?"
"Juga
karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."
"Ita...."
"Selamat
tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin
lebih bahagia lagi."
Telepon kututup
sebelum air mataku luruh.
"Upit."
Aku tersentak
dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku.
Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di
sisi kursiku.
"Kenapa?"
tanyanya.
Aku tak bisa
menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku
dengan jarinya.
"Aku tak
bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan.
"Ini
keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu
berlalu sekali lagi?"
Aku mengangguk.
"Dia akan
membuatmu sangat bahagia, Pit."
Aku mengangguk.
"Kau akan
menyesal."
Aku mengangguk.
"Kau akan
sedih, kecewa...."
Aku mengangguk.
"Kau tidak
mencintaiku."
Aku menggeleng.
Idan terbelalak.
"Upit!" pekiknya tertahan.
"Idan!"
***
Ya. Begitulah
pada akhirnya status “simulasi” dalam pernikahan kami berakhir. Waktunya
menghadapi keseriusan bahwa aku sekarang sudah benar-benar menjadi istri Idan
yang sah meskipun sebenarnya dari awal pernikahan kami, akad itu sudah sah
menurut agama karena ternyata Idan mengucapkan ijab qobulnya dengan sungguh-sungguh.
Hanya aku saja
yang waktu itu menganggap bahwa pernikahan kami semata-mata hanyalah simulasi
belaka. Namun nyatanya? Idan serius mencintaiku yang malangnya aku tak pernah
menyadarinya sebelumnya.
Dan berakhir
pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan jadi masa depan
impianku. Namun, bukankah di dunia ini apapun bisa terjadi? Segalanya bisa
berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan kita.
Perceraian yang
kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin kami sajalah yang
mengetahui perihal itu… Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang juga
mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap tidak
terjadi apa-apa yang serius di antara kami dan biarlah mereka tetap dengan anggapan
bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.
Masih terngiang
betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga mencintainya. Ada gurat
kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di matanya dan seulas senyum
di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan senyum itu. Ia memelukku
erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan akupun memeluknya
dengan haru di wajahku yang entah kurasa cukup untuk mengatakan “Maafkan segala
ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu aku tak bisa berkata
apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan tangisku. Tangis penyesalan
atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas keputusan besar yang baru saja
aku ambil.
Aku tidak tahu
seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah terjadi namun hal itu
sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku benar-benar sedang
belajar mencintainya, memulai kembali aktivitas kami seperti hari-hari awal
pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya yang tidak
pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggab hanya simulasi.
Aku mulai
mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai lagi belajar menerima
kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan
aku mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menemaninya
bermain bola pada akhir pekan namun dengan konsekuensi, dia juga harus menemani
aku jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku
sedang menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impas lah istilahnya.
Awalnya memang
sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu datang, kupandangi
wajah Idan yang begitu bahagia saat kutemani, keantusiasannya bercerita ini-itu
untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak pernah mengeluh saat aku memintanya
menemani aku jalan-jalan yang mungkin sebenarya sangat membosankan baginya.
Pengorbanan.
Ya, mungkin
memang perlu pengorbanan dari masing-masing dalam menjaga keharmonisan hubungan
dalam rumah tangga. Setidaknya, itulah salah satu hal yang kucatat ketika kami
menjalani pernikahan simulasi sebelumnya.
Idan pun makin
lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang harusnya kulakukan sebagai
seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum berangkat kerja dia masih
sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku sedang kecapekan dan tak
sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan dan menyetrikanya.
Dan herannya aku
tak bisa menolaknya. Justru aku menikmatinya karena dia selalu melakukan
hal-hal itu dengan senyum terkembang yang sulit kuartikan. Hmm paradox sekali
dengan diriku beberapa tahun lalu saat masih lajang, sebagai wanita karir yang
terbiasa mandiri dan tak pernah mau membebani orang lain.
Ada apa
denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha membantu
pekerjaaanya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan. Aku
usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.
Namun ada
kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap orang kadang
butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-nimang dan
menata baju-baju baru kesayanganku, Idan juga sibuk sendiri di depan computer
canggih kesayangannya.
Dengan sedikit
mengendap-endap kuintip ia di ruang kerjanya. Dia sedang asyik membuka-buka
program yang entah aku tak tahu apa fungsinya. Serius banget. Hmm mungkin perlu
sedikit dikagetkan. Pelan-pelan kubuka pintunya dan diam-diam aku berjalan di
belakangnya dengan niatan menggelitikinya. Aku tahu banget kalau Idan sangat sensitif
jika digelitiki dan dia bisa sampai tertawa terbahak-bahak sambil minta ampun.
Sedikit lagi
sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat Idan lebih dulu
menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justru dia yang lebih
dulu menggelitikiku.
“Aaaaaa
hentikan!” pintaku karena akupun tak tahan digelitikin.
Idan terbahak.
“Rasakan nona
manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili orang.”
“Kok bisa tahu
sih?” tanyaku heran.
Dengan masih
belum berhenti menggelitikiku, mata idan melirik nakal ke kaca kecil yang
terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini. Dia baru
berhenti menggelitikiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia
menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan
sebelum aku menutup pintu idan masih sempat nyeletuk.
“Jangan kira
kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putri suka diam-diam mengintipnya
hahaha”
Huuuh. Kututup
pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri
kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh seperti
barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuu…!!!
***
Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku untuk tidur lagi setelah subuh. Kulirik sesosok lelaki disampingku, tak seperti biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapekan setelah semalaman lembur mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku?
Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku untuk tidur lagi setelah subuh. Kulirik sesosok lelaki disampingku, tak seperti biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapekan setelah semalaman lembur mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku?
Iya Idan tidur
di sampingku. Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang
sesungguhnya. Bukan lagi “simulasi”.
Pelan-pelan aku
beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup pintu pelan-pelan agar
Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu. Ingin sekali
memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali berbeda dari
saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.
Aku sengaja
bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang diam-diam telah
kupelajari selama beberpa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk sarapan Idan.
Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami menjadi
suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku kan
tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh
Idan.
Meskipun yakin
aku telah hafal dan paham dengn resep masakan kemarin, tapi aku masih ragu.
Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah yakin dan segera
kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu ya sebelum
semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali..
***
***
Air di panci
masakanku sudah terdengar mendidih. Tandanya masakanku sudah matang. Sup santan
jagung asparagus, resep yang kudapatkan dari sebuah majalah wanita langganan
ibuku. Kuangkat dan kutuang ke mangkok besar pemberian Ibuku. Dari aromanya sih
tercium menggiurkan. Rasanya? Perlu kucoba dulu. Kuambil sendok makan dan
kurasakan sedikit. Hmm sedap juga.
Baru kali ini
aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi kucoba menyeruput
satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak mual? Ah paling
gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.
Aku angkat
mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual-mual di perut
tadi kembali menyerang dengan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing.
Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas
tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hampir ambruk sebelum
akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigap
demi mendengar suara pecahan mangkok porcelain yang sangat nyaring bunyinya.
“Astaga kamu
kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak segala! Biasanya
kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sori tadi aku ketiduran jadi gak sempet
membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli di luar aja? ” Idan berkata sambil
memapahku menuju kamar.
“Aku gak sakit
kok tadinya” Ujarku lemah.
Aku tidak bilang
kalau aku hendak memberi kejutan buatnya. Malu kan jika mau memberi kejutan
sekali saja langsung gagal.
Tiba-tiba mual
tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan aku perlu ke
kamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya. Di dalam aku
langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti di pencet perutku. Dan setelah
itu kepalaku langsung pusing-pusing.
Di luar Idan
masih menungguiku di depan pintu.
“Kamu gak
apa-apa kan Pit?” Tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya.
Aku keluar dan
segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.
“Mending hari
ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini. Akan kuantar
kamu ke dokter.”
“Tidak usah Dan.
Aku gapapa. Mungkin cuma masuk angin sedikit. Kamu berangat kerja aja.”
Semula Idan
tetap bersikukuh akan mengantarku ke dokter. Namun setelah kuyakinkan kalau aku
benar-benar tidak apa-apa akhirnya dia nurut juga. Dia berangkat ke kantor
dengan enggan. Tanpa kuantar sampai ke depan, tanpa kurapikan dasinya, tanpa
kucium tangannya dan tentu tanpa kebiasaannya mengecup keningku sebelum pergi.
Sebelum pergi
dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau lebih tepatnya
mengadukan kalau aku sakit hari ini.
***
Idan memberikan telponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.
Idan memberikan telponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.
Pelan-pelan
kuucapkan salam. Setelah menjawab salamku ibu langsung menghujaniku dengan
banyak pertanyaan. Kujawab seadanya sampai pada kesimpulan sepihak dari ibu.
“Jangan-jangan
kamu hamil Pit!” dari seberang sana ibu begitu histeris.
“Masak sih?”
tangapanku enteng.
Aku yakin ini
hanya masuk angin biasa tapi kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?
“Udah pokoknya
kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta Idan mengantarmu
sekarang!”
“Tapi Idan sudah
berangkat ke kantor.”
“Kamu minta
temenmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter. Ibu gak sabar
ingin tahu”
Klik! Telpon
ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga. Masak iya sih
aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?
Daripada
penasaran aku pun berangkat ke dokter. Aku masih sempat telpon ke kantor tadi
buat ijin tidak masuk kerja karena gak enak badan. Aku berangkat sendirian
dengan taksi. Masih sedikit pusing tapi kalau Cuma jalan beberapa meter masih
kuat lah.
Aku masih
bertanya-tanya: apa benar aku hamil?
“Selamat, anda
positif” Ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar kertas yang isinya
tidak kumengerti.
“Maksudnya dok?
Saya kena penyakit apa?”
“Anda tidak
sakit, anda positif hamil sekarang” dokter itu tersenyum.
“Hamil?” tanyaku
masih belum percaya.
“Iya dan selamat
anda akan segera menjadi seorang ibu”
Aku tidak bisa
berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan tersungging di depan dokter
itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan yang teramat sangat.
Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham. Namun ada
kebahagiaan tersirat di dalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini rasanya
jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari rahim
sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti
berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.
Kutelpon ibu.
Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana kudengar ibu histeris
bahagia.
“Sudah kau
beritahu Idan?”
“Belum” jawabku
pendek.
“Segera beritahu
dia! Dia pasti sangat senang!”
“Iya nanti lah.
Udah dulu ini taksinya sudah datang. Assalamu’alaikum”
“Oh iya.
Wa’alaikumusalam”
Kututup
handphoneku dan segera menyetop taksi yang lewat.
Dalam perjalanan
pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan kukatakan pada Idan nanti
di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?
***
Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru pulang.
Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru pulang.
Rasanya sepi
sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja rasanya
sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini? Aku jadi merindukan
Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.
Aku beranikan
diri meneleponnya. Sesaat nada tunggu terdengar nyaring di telingaku sampai
akhirnya suara orang yang kutunggu-tunggu itu terdengar.
“Halo Pit? Ada
apa? Kamu udah baikan?”
“Kapan kamu
pulang?” aku langsung pada pertanyaan intiku.
“Oh dua jam lagi
aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan malam nanti? Mau
gulai kepala kakap gak?”
“Terserah apa
aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu” kataku. “Hati-hati di jalan nanti”
“O iya. Jaga
diri baik-baik di rumah ya?”
Entah kenapa aku
yang menginginkan Idan pulang cepat ternyata tidak punya cukup keberanian untuk
memaksanya pulang sekarang. Aku tidak ingin lebih dulu merusak suasana karena
aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya nanti.
Aku tidak tahu
harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku duduk melamun di dekat
jendela sambil menunggunya pulang.
Berbagai pikiran
melintas di benakku sampai aku tersadarkan oleh suara klakson di depan rumah.
Tandanya Idan sudah pulang. Kuintip dari jendela lantai dua. Kulihat dia tampak
lelah sekali, keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk sambil
menenteng bungkusan yang aku tahu itu pasti lauk yang ia janjikan tadi.
Aku langsung
turun dan menyambutnya.
“Hai Pit. Kamu
tampak udah baikan sekarang” sapanya.
“Aku kan sudah
bilang aku tidak apa-apa.”
“Kita langsung makan
malam yuuk. Ini aku sudah bawakan gulai kepala kakap yang aku janjikan tadi.”
“Sebaiknya kamu
mandi dulu dan ganti pakaian. Bau sekali” saranku padanya. Entah kenapa aku
merasa keringat Idan lebih bau hari ini.
Idan menurut dan
langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dan ganti pakaian. Aku
menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum sempat dimakan
tadi pagi dari ricecooker.
Idan datang ke
ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang tadi. Entah karena
dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku merasa bau sabun
mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.
Kami pun mulai
makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya di mangkok sedang
sambil bertanya,
“katanya mau
bicara sesuatu padaku?”
“Iya, tapi kamu
makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak doyan makan nanti”
“Masak? Jadi
penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan
simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe” canda Idan.
Aku melengos dan
kutinju tangannya. Dia mengelak.
Sesaat kulihat
gulai kepala kakap yang sepintas sangat menggiurkan. Namun saat kusendok
sedikit ke piringku, tiba-tiba baunya jadi sangat menyengat dan mual-mual yang
sempat menyerangku tadi pagi terasa kembali. Aku langsung lari ke kamar mandi
diikuti Idan yang terkejut.
“Kamu gak
apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”
Di dalam kamar
mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah setelah muntahnya
mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan aku menuju kamar untuk sekedar
berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguiku di samping tempat
tidur.
“Kamu makan aja
dulu. Aku lagi gak selera makan” perintahku padanya.
“Kamu masih
sakit Pit. Ayo kuantar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan perintahku tadi.
“Aku gapapa”
desahku.
“Tapi jelas kamu
seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”
“Aku beneran
gapapa Dan. Tadi aku sudah ke dokter.”
“Kamu ke dokter?
Diantar sama siapa?”
“Sendirian”
“Sendiri? Kenapa
tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku udah di kantor kenapa
tidak minta ibu atau temenmu buat ngantarkan? Nanti kalau kamu pingsan di jalan
gimana? Siapa yang ngejagain?” Idan mencercaku dengan banyak pertanyaan.
“Aku gak mau
ngerepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku gak pingsan di
jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”
“Tapi Pit, aku
kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.
“Aku tahu.
Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga untuk berdebat
denganmu seperti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke kamu.”
Tatapan Idan pun
melembut dan bertanya “Mau ngomong apa”
“Janji jangan
kaget ya?” pintaku sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai tanda
persetujuan janji.
Idan
menyambutnya sambil berkata “Asalkan jangan bilang mau ngingetin berakhirnya
kontrak pernikahan simulasi kita aja. Kalau yang itu mungkin aku akan kaget
setengah mati, kena serangan jantung dan mati mendadak hehehe”
Kutinju lagi
tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah berhenti mencandaiku.
“Aku hamil Dan”
kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan seketika.
Aku menunggu
reaksinya. Dia masih diam tak berkata- apa-apa sambil menatapku. Aku tak bisa
membaca ada apa di balik tatapannya itu dan tiba-tiba dengan cepat Idan menarikku
dan memelukku erat sambil berkata “ Aku belum pernah sebahagia ini Pit”
Aku pun turut
larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami..
***
Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.
***
Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.
Idan juga makin
memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam hadiah kejutan. Katanya
biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam kandunganku pun juga senang.
Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk dipenuhi. Idan menuruti saja
apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta sesuatu tidak dituruti, maka
anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul menurutku. Emang ada penjelasan
ilmiahnya?
Tapi ada
untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi aku juga
masih perasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan di
samping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai
cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Dalam masa
kehamilan ini sebenarnya aku tidak terlalu rewel untuk masalah makanan dan susu
nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin jadi agak sensi ketika bertemu dengan makanan
yang bersantan dan berbau menyengat karena bau yang dalam kondisi biasa akan
tercium biasa saja, kali ini akan tercium berlipa-lipat lebih menyengat dan
membuatku mual-mual.
Idan pun
menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makanan yang baunya tak terlalu
menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela
meninggalkan makanan kesukaannya: gulai yang paling tidak harus ia hindari
sampai aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang
nanti pasti aku masih bisa mencium baunya.
Setiap hari Idan
sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan bayi kami nanti.
Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan
mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama anak yang bagus. Aku
bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan juga jarang membacanya.
Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena ia masih gugup
mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami ini.
Aku masih
bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan sudah melarangku
bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku sekarang dan aku
gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak ngapa-ngapain
justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi gak sehat.
Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti nanti
dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak
istirahat. Aku mengiyakan saja.
Yang jelas
hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan kebahagiaan selama
ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku kalau ia harus
tugas keluar kota.
“Aku ada tugas
keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian di rumah untuk beberapa waktu. Besok
pagi aku berangkat”
“Kenapa
tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak bisa orang
lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok kamu tega
sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”
Aku menjejalinya
dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya bukan karena “jika aku
butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri atau minta ke ibu.
Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia, aku butuh dia
menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar