“Berhentilah
membicarakan tentang mimpi itu Saila. Bukankah dokter mengatakan
semakin kau mengingatnya semakin lama pikiranmu
akan pulih? Aku malah khawatir kau jadi
depresi. Lantas...” kata-kata mas Deniez terhenti. Ia selalu mengingatkanku dan
meyakinkan aku sekali lagi.
Aku
memandangi tangan kiriku, jarum infus menusuk kulitku, mengalirkan cairannya
dari belalai plastik menuju aliran darahku. Namun
bukan itu yang sesungguhnya aku perhatikan,
tapi sebuah MP4 hitam yag tergeletak di telapak tanganku. Aku berpikir keras
untuk menemukan jawaban darimana sesungguhnya aku
mendapatkan benda itu sebelum aku hilang
kesadaran. Aku terus berpikir dan berpikir... tak ada sedikitpun kenangan tentang
benda itu, kecuali di sebuah malam di musim dingin
yang beku, Aidan memberikannya untukku agar
aku tidak merasa sedih dan kesepian lagi. Agar benda itu bisa membantuku
belajar menghapal Al-Qur’an.
“Ku harap alat ini dapat menghiburmu ketika kau sedih dan merasa kesepian. Tapi kau harus ingat bahwa Allah selalu bersama kita.” Bahkan aku masih ingat kata-kata Aidan saat menyerahkan benda itu padaku.
Meskipun
kini Aidan tak disampingku lagi, aku tak boleh sedih karena Allah selalu
bersamaku. Tapi aku akan terus mencari apa yang
sebenarnya terjadi.
“Assalamualaikum
Saila...” seorang perawat datang membawa satu tampan makanan
untuk sarapanku dan meletakkannya di meja samping
tempat tidurku.
“Waalaikumsalam.”
Jawabku.
“Bagaimana
keadaanmu?” tanyanya lagi.
“Alhamdulillah
baik.” Jawabku.
“Aku
senang kau telah siuman. Sepanjang hari kau hanya memejamkan matamu.
Lemah dan seperti tak pernah punya keinginan untuk
bangun.” Jelas perawat itu.
“Benarkah?!
Lantas, menurutmu apa yang kira-kira mampu mengembalikanku?”
tanyaku. Kutatap dia yang tengah sibuk mengukur
tekanan darahku.
“Hm...
dorongan semangat dari orang yang mencintaimu, selalu terhembus
ditelingamu, agar kau bangun dan lantunan ayat-ayat
suci yang mengiringi hari-harimu. Ia yang
selalu mendampingimu.” Jelasnya lagi. Ia merapihkan peralatannya setelah ia
selesai mengukur tekanan darahku tadi.
“Aku
bersyukur memiliki keluarga yang begitu mencintaiku.” Ujarku.
Ia
menghentikan tangannya yang sibuk bekerja. Dia
menggelengkan kepalanya perlahan.
“Ya,
tapi sebagian besar keluargamu datang menjelang detik-detik kau siuman.”
Tuturnya polos.
“Maksudmu?
Jadi siap yang mendampingiku?”
“Kau
tahu siapa yang selalu menemanimu sepanjang hari, siang dan malam tanpa
lelah, saat kau dalam keadaan kritis? Kau tahu
siapa yang aku maksud?” pertanyaannya membuatku
tak mengerti. Bagaimana mungkin aku tahu, sementara aku tak sadar.
Aku
menggelengkan kepalaku. “Siapa?” aku menjawab dengan ketidakyakinan.
Perawat
itu menggelengkan kepalanya.
“Dia
adalah orang yang membawamu ke ruang gawat darurat. Dia tampak sangat
khawatir melihat keadaanmu begitu tak berdaya,
seolah kau tak pernah punya harapan lagi untuk
hidup.”
Perawat
itu berhenti bercerita, dia menghela nafas berat.
“Hanya
dia seorang yang membawaku kemari?”
“Ya.
Hanya dia, dan hanya dia juga yang menemanimu selama ini.”
“Siapa
dia? Lantas dimana dia sekarang?” aku semakin heran, siapa orang yang
dimaksud perawat itu.
“Dia
baru pergi saat keluargamu datang.”
“Kau
tahu kemana dia pergi?”
“Entahlah...dia
pergi dengan wajah kecewa dan penuh kesedihan. Aku yakin
harapannya adalah melihatmu bangun.”
“Kau
tahu kenapa dia pergi sebelum aku bangun padahal tadi kau mengatakan
sepertinya dia ingin melihatku terbangun?”
“Entahlah.”
Jawabnya singkat.
Lantas
perawat itu diam membisu, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya,
dia hanya sibuk membersihkanku. Suasana terasa
semakin beku diantara kami.
Aku
sendiri masih berpikir dan terus bertanya siapa orang yang dia maksud. Aku
tertegun, mungkinkah itu Aidan? Apa benar itu dia?
Aku terus bertanya dalam hati.
“Kau
masih ingat dia?”
“Ya,
seorang pria berkulit putih, sepertinya dia berkewarganegaraan asing. Maafkan
aku Saila, aku sempat berpikir dia bukan
keluargamu. Karena perbedaan yang aku lihat itu.”
Aku
terhenyak mendengar pernyataan dari perawat itu. Aku yakin itu Aidan! Lantas
siapa lagi orang yang akan mengkhawatirkanku,
menjagaku, seorang pria berkulit putih dan berkewarganegaraan
asing yang ada dalam hidupku kecuali Aidan. Aku yakin semua itu bukan mimpi dan ini benar-benar menjadi sebuah petunjuk
bagiku. Aku tak mengerti kenapa keluargaku
berpura-pura padaku, apa mungkin ayah memang masih marah pada Aidan. Lalu
kenapa dokter mengarang-ngarang cerita tentangku.
Pikiran-pikiran buruk mulai melintas di benakku
pada mereka. Astagfirullah, aku berusaha beristigfar.
“Ada
apa, Saila?” perawat itu memandangku heran.
Aku
menggelengkan kepalaku.
“Baiklah
Saila...aku pergi.” Ujar perawat itu setelah ia selesai membersihkan dan
mengganti pakaianku. Lalu perawat itu pun
meninggalkanku.
“Assalamuaikum,
Saila...” salam ayah dan ibu yang baru saja datang.
“Ayah...kau
tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit saat kejadian itu? Perawat
itu mengatakan seorang pria berkewarganegaan asing,
siapa dia?” ujarku seraya menunjuk pada
perawat yang baru saja meninggalkan kamarku.
Ayah
diam tak menjawab untuk beberapa saat. Lalu beliau menoleh pada ibu.
“Ya
perawat itu benar. Dia dosenmu yang dari Perancis itu bukan?” jawab ayah.
“Monsieur
Dylan...” desisku kecewa.
“Dia
yang menemukanmu tergeletak di dekat tangga, dia dengan sigap membawamu
kemari.” Ucap Ibu pelan. Aku merasa ibu
menyembunyikan sesuatu dariku yang entahlah apa itu.
“Apa
beliau juga yang menjagaku selama aku koma? Selama kalian tak ada?”tanyaku
lagi.
“Ya,
dia yang menjagamu ketika kami belum sempat datang kemari.” Jawab ayah.
“Lalu
siapa yang selalu membacakan Qur’an ketika aku koma?” aku tak berhenti
bertanya.
“Siapa
lagi yang bacaan Qur’annya sangat bagus, kalau bukan Kak Yasmin.” Kini Ibu
yang menjawab.
Aku
terdiam beberapa saat. Aku teringat pada MP4 yang ada dalam genggamanku.
“Ini?
Ayah tahu, darimana aku mendapatkan ini?”
Ayah
tampak terkejut, bibirnya diam terkatup tak mengucapkan sepatah kata pun.
Kedua bola matanya bergerak cepat, seolah
kekahawatiran menyergap hatinya.
“Apa
kau lupa Saila? Itu adalah hadiah ulang tahun dariku. Aku pikir kecelakaan itu
membuatmu sedikit amnesia.” Ujar Kak Wafa yang
tiba-tiba datang.
“Jangan
bercanda kau, Wafa! Ada apa lagi ini mengatakan adikmu Amnesia pula.”
Ayah
menyikut lengan kak Wafa.
“Aku
baru mendapat penjelasan tambahan dari dokter kemarin. Menurut pemeriksaan
lebih lanjut pada kepala Saila. Benturan itu juga
menyebabkan amnesia ringan. Itu kenapa ilusinya
lebih kuat mendominasi memori otaknya karena beberapa bagian memorinya yang
lain hilang.” Jelas kak Wafa. Pernyataan kak Wafa
menambah satu belati lain yang menghujam
jantungku. Separah itukah aku?
“Wafa...
tidak sebaiknya kamu mengatakan semua itu langsung di depan adikmu. Kita
bisa membicarakan hal itu diluar.” Sergah ibu. Kak
Wafa terdiam. Lalu dia kembali pergi meninggalkan
kamar rumah sakit yang aku huni beberapa hari terakhir ini.
Aku
sangat kecewa. Apa yang aku pikirkan selama ini ternyata hanyalah sebuah
mimpi. Aku sungguh kecewa, tanda-tanda yang muncul
dan aku anggap sebagai petunjuk itu tak
berarti apapun untukku.
“Ada
apa Saila? Ada sesuatu yang kau pikirkan?”tanya Ibu. Beliau mendekatiku dan
membelai-belai kepalaku.
“Apa
kau memikirkan apa yang kau katakan pada kami kemarin? Tentang
pernikahanmu yang ternyata hanya mimpimu itu?” ujarnya
lagi. Ibu menekankan kata-kata terakhir
dalam pengucapannya.
Aku
diam tak menjawabnya. Aku harap mereka tak membahas tentang hal itu lagi.
Apalagi memperjelas kata-katanya yang terakhir,
bahwa pernikahan itu hanyalah mimpi dalam
ketidaksadaranku.
“Assalamualaikum
Saila...” seorang dokter dengan seorang perawat yang membawa
kruk ditangannya datang menghampiriku.
Kruk
itu... aku teringat akan satu kejadian, seorang
pria berjalan dengan kruk perlahan dan
tertatih-tatih... lalu beberapa saat kemudian terdengar sebuah erangan. Lalu kutemukan pria itu terduduk lemas di
kamar mandi dengan rembesan darah di gipsnya
dan wajahnya tampak meringis kesakitan. Pria itu adalah Aidan!
Hentikan
Saila!!! Semua itu hanya ilusi!, aku mencaci diriku. Mencoba
menyangkalnya. Aidan?? Tak ada Aidan!! Yang hanya
adalah Rafaël. Perlu kau tahu Rafaël tak
pernah mengenalmu apalagi menikahimu. Semua itu hanyalah mimpi... mimpi... dan
mimpi.
“Kau
baik-baik saja Saila?” sapa Dokter itu membuyarkan lamunanku. Aku hanya
menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Ku
lihat kau jauh lebih baik sekarang. Hari ini kau akan belajar berjalan
mengenakan kruk.”
Ujarnya.
“Apa
aku harus berjalan dengan kruk untuk selamanya?” tanyaku seraya ku lirik kruk
yang diletakkan perawat itu di sampingku.
“Tidak!
Kau hanya membutuhkan benda itu beberapa bulan saja. Sampai aku
melepaskan gips di kakimu itu?” jelas dokter itu
sambil menunjuk kaki kananku yang terluka.
“Baiklah...”
Mereka
membantuku bangun dari tempat tidurku. Mulailah aku belajar berjalan
dengan kruk itu. Sungguh sulit! Pertama, aku
bertopang pada dua benda itu. Kedua, aku harus menahan rasa sakit di kakiku. Ketiga, aku seringkali
tergilincir dan hampir jatuh. Hingga perlahan-lahan
aku dapat berdiri dan berjalan benar dengan benda itu, Alhamdulillah.
***
Esok
harinya dokter mengizinkanku pulang. Dengan alasan kondisiku yang masih
lemah, keluargaku membawaku ke rumah mas Deniez.
Padahal aku ingin sekali pulang ke rumah
orang tuaku.
Aku
bersyukur saat ini tengah liburan, sehingga aku dapat konsentrasi memulihkan
kondisiku dan aku tidak harus meninggalkan kuliah
karenanya.
Malam
itu aku duduk sendiri di kamarku. Ku nyalakan MP4 hitam ‘pemberian’ kak
Wafa itu, meski dalam hatiku aku tak yakin bahwa
MP4 itu darinya. Lantunan ayat suci mulai
mengalir di telingaku, sejuk, damai dan menenangkan hatiku. Aku memejamkan
mataku mencoba menghayati setiap ayatnya yang
mengalir.
“Aku
telah memasukkan Qur’an digital dan lagu-lagu Islami dalam bahasa Inggris,
Arab, dan Indonesia. Aku juga telah memasukkan
lagu-lagu Perancis dan Spanyol, supaya kau
bisa belajar bahasa melalui lagu-lagu itu.” Suara Aidan membisik di hatiku.
“Untukku?” tanyaku. Dia mengangguk seraya
melemparkan sebuah senyumannya yang khas,
hanya menampakkan sedikit deretan giginya yang rapi.
“Tante...!”
seseorang memanggilku, aku tersentak. Suara lembut itu menyadarkanku
dari lamunan. Aku membuka mataku. Ku lihat sosok
mungil berdiri di depan pintu kamarku.
“Nawfal?
Kemarilah sayang...” panggilku. Dia berjalan mendekatiku, lalu duduk di
pangkuanku.
“Tante
kenapa? Tante, apa kau sedang sedih?” tanyanya. Aku memandangi wajah
polosnya.
“Kenapa
Nawfal? Apa tante terlihat sedih?” aku balik bertanya kepadanya.
Dia
mengangguk. “Sejak tante pulang dari rumah sakit. Aku tak pernah melihatmu
tersenyum. Bahkan tante tak pernah mengajakku dan
Ayla bermain.”
“Maafkan
tante, kau tahu kaki tante masih sakit. Tante janji akan mengajak kalian
bermain jika tante sembuh nanti.”
“Bukan
itu! Aku hanya tak ingin melihatmu sedih. Bunda berkata tante tengah sedih
sekarang. Bunda juga mengatakan aku harus selalu
menjaga tante.”
Aku
tersenyum mendengar kata-katanya. “Jika kau selalu disamping tante, tante
takkan sedih.” Aku mengecup keningnya dalam-dalam.
“Aku
mohon, tante jangan bersedih lagi.” Nawfal memelukku.
“Insya
Allah, tante takkan bersedih lagi.” bisikku ditelinganya. Aku memandangi
MP4 itu. Terbesit dalam hatiku untuk menanyakan
tentang Aidan pada Nawfal. Tapi... apa jadinya
kalau semua itu memang hanyalah ilusi dan aku benar-benar telah gila oleh mimpi
itu.
***
Waktu
terus berjalan. Keadaan kakiku telah lebih baik, tapi hatiku masih hancur dan
tak jelas. Perlahan aku harus melupakan semuanya.
Bagaimanapun juga semua itu hanya mimpi, aku
tak ingin mimpi itu mempengaruhiku dan menggangu kehidupanku.
“Ukhti,
kembalikan semua itu hanya pada Allah. Apa yang membuat kamu seperti ini
terus karena kamu lupa untuk meminta
pertolonganNya.” Ujar kak Yasmin. Saat dia dapati aku murung di kamarku.
Apa
yang dikatakan kak Yasmin memang benar, aku telah melupakanNya, aku lupa
meminta pertolonganNya. Aku telah egois.
Ya
Allah maafkan aku… ampuni aku.
Liburan
pun telah usai, aku mulai kembali ke kampus dan bertemu dengan kawan-kawanku.
Kehadiran
mereka telah membantuku melupakan mimpi itu.
“Aku
dengar, Monsieur Dylan sudah tidak mengajar disini lagi?” tanyaku pada
Rahma.
“Ya,
dia mengajar di Auckland sekarang!” ujar Rahma.
“Tu
as raison, je vais enseigner à Auckland (Kau benar, aku akan mengajar di
Auckland).” Itu adalah kata-kata yang ku dengar
dalam mimpiku. Kenapa bisa begitu tepatnya
dengan kenyataan. Apa ini hanya suatu kebetulan belaka? Aku mencoba berpikir.
Ah,
mungkin saja percakapan aku dengan monsieur Dylan itu benar terjadi, namun
kedatangan Aidan setelahnya adalah kejadian dalam
mimpiku. Bukankah memori otakku menjadi ‘campur
aduk’ karena kecelakaan itu? Sehingga aku tak belum bisa memisahkan mana kenyataan dan ilusiku.
“Kau
baik-baik saja?” Rahma membuyarkan lamunanku.
“Oh
ya? Lalu siapa penggantinya?” aku mencoba mengalihkan perhatian Rahma.
“Aku
dengar, native sekarang perempuan. Namanya Cecile.” Jelas Rahma.
“Oh...”
“La,
kau mengontrak mata kuliah olahraga?” tanya Rahma lagi.
“Ya.”
“Kakimu
masih sakit!” ujarnya seraya menunjuk kaki kananku yang masih berjalan
pincang meskipun tanpa kruk.
“Bagaimana
lagi? Aku sudah mengontraknya sebelum aku sakit.” Kataku seraya
menunjuk kartu kontrak studi yang ku pegang.
“Kau
masih bisa membatalkannya, bukan?”
“Aku
harus kehilangan 2 sks karena aku sakit? Di depan itu masih banyak sks yang
harus aku kontrak.” Kataku masih dengan keras kepala.
“Kau
hanya akan membahayakan dirimu sendiri.” Ucap Rahma dengan wajah
kekhawatirannya.
“Tenang
saja teman, Insya Allah aku akan baik-baik saja.” Ujarku.
“Ya
kuharap begitu. Aku tahu, kau masih harus check up ke rumah sakit.” Ujarnya
dengan nada tak mau lagi debat denganku.
“Hm...
kau tahu kapan jadwal mata kuliah olahraga?”
“Kapan
lagi kalau bukan hari rabu?”
Hari
ini tepat dua bulan sudah setelah aku kecelakaan itu. Walaupun aku tak tahu
kapan jelasnya kecelakaan itu terjadi. Aku sendiri
lupa bagaimana semua itu terjadi, semuanya
begitu cepat dan semua kejadian itu terhapus begitu saja dalam benakku. Aku berdiri di depan tangga lantai dua, tempat dimana aku
terjatuh. Aku mencoba mengingat lagi
kejadian itu. Meskipun tak ada sedikit pun yang aku ingat kecuali saat itu aku
bertemu Aidan, lalu kami bertengkar, dia memegang
tanganku, aku berusaha untuk melepaskan
diriku, lalu kakiku tergelincir dan semuanya menjadi gelap.
Tidak
Saila! Itu hanya mimpi, kejadiannya tak seperti itu! Batinku.
Aku
masih mencoba mengingat, tapi tetap sama aku hanya menemukan memori itu
dan tidak terganti. Memori yang ‘campur aduk’,
gumamku kesal.
Aku
benci tak bisa mengingatnya. Aku terkulai lesu disamping tangga, pandanganku
mulai memudar terhalangi butiran-butiran bening
dari mataku. Aku menutup wajahku. Kenapa aku
tak bisa ingat apapun kecuali Aidan...Aidan dan Aidan lagi. Aku mulai
terisakisak menahan perih yang merasuki
dadaku.
“Saila...
apa yang kau lakukan disini?” tanya Rahma datang dengan tiba-tiba.
“Rahma,
bolehkah aku bertanya padamu?”
Rahma
mengangguk cepat.
“Kau
melihatku saat aku kecelakaan?” tanyaku, kuhapus air mataku.
“Tidak!
Saat itu aku telah pulang ke Sukabumi. Bukankah hanya Monsieur Dylan
yang tahu kecelakaan itu dan dia pula yang
menolongmu.”
“Apa
dia mengatakan bagaimana kronologisnya padamu atau orang lain?”
“Aku
rasa tidak! Dia terlanjur pergi ke Auckland dan tak sempat bercerita pada
siapapun.”
“Ah!”
aku memukul lutut kiriku kesal.
“Rahma...apa
aku pernah bercerita tentang pria bernama Aidan?” tanyaku.
“Aidan?
Siapa dia?” dia balik bertanya dengan penuh keheranan, lalu menggelengkan
kepalanya.
“Apa
kau pernah melihat aku makan atau pergi dengan seorang pria kewarganegaraan
asing?”
“Tidak!”
jawab Rahma. “Aku tak pernah melihatmu berjalan bersama dengan pria
yang bukan mahrammu, bagaimana mungkin??”
“Apa
kau tahu aku sudah menikah? Dan pria itu adalah suamiku?” ujarku dengan
nada sedikit meninggi.
“Saila,
kau baik-baik saja? Kau tidak sakit lagi bukan? Aku cukup mengenalmu,
apapun yang terjadi dalam hidupmu, kau selalu
bercerita padaku. Tapi kau tak pernah bercerita
kalau kau telah menikah!” jelasnya. “Apa kau sedang bercanda? Aku tahu kau suka
berkhayal... tapi kalau kau berkata telah menikah
dengan pria yang kau sebut tadi, berkhayalmu
itu telah keterlaluan!” ujarnya lagi.
Hentikan
Saila!! Padahal kau sudah tahu bahwa semua itu hanya mimpi... kenapa
kau masih mengungkitnya? Semua itu hanya akan
melukaimu saja...
“Ya
kau benar Rahma. Aku hanya bercanda dan itu hanya khayalanku saja.” Aku
tertawa datar. Tawa yang mengiringi keperihan di
hatiku. Sedikit demi sedikit tawa itu berubah
menjadi tangis kembali.
“Saila...
sebenarnya apa yang terjadi?” Rahma menatapku dengan heran penuh
kekhawatiran.
“Tidak
ada, aku hanya menyesali kenapa aku bisa tak ingat saat kecelakaan itu.”
“Itu
bukan masalah Saila. Dokter mengatakan kau mengalami amnesia ringan dan
akan segera sembuh. Jadi ingatanmu akan segera
kembali.” Rahma mencoba menghiburku.
Ya,
aku akan sembuh bukan sekedar dari ingatan itu tapi dari mimpiku. Meski jauh di
dalam hatiku aku yakin itu bukan mimpi tapi sebuah
misteri yang harus aku ungkap.
“Aku
yakin kau akan baik-baik saja.” Rahma kembali menghiburku.
Sesungguhnya
dia tak pernah tahu apa yang aku pikirkan, apa yang
menjadi kegundahan hatiku. Maafkan aku
Rahma, kau selalu tahu tentangku, tapi untuk hal ini aku tak dapat
menceritakannya
padamu.
padamu.
Pandanganku
terus meluncur pada anak-anak tangga dihadapanku yang menurun ke
bawah. Aku ingat saat tubuhku terhempas dari anak
tangga satu ke anak tangga yang lainnya.
***
Waktu
bergulir meninggalkan hari-hari kelam yang mencekamku. Enam bulan sudah
berlalu sejak aku bangun dari ketidaksadaranku,
namun sesungguhnya aku belum bangun dari tidur
panjangku, meski aku tak pernah lagi berpikir atau berharap Rafaël adalah
suamiku. Tidak! Tidak pernah dan tidak akan!
Ketika
aku merasa lebih tenang dengan keputusanku untuk menerima kenyataan itu
dan tidak lagi melakukan hal bodoh untuk
mengungkapnya lagi. Sebuah mimpi buruk malah datang menyapaku. Setiap kali mengiang dalam telingaku,
suara-suara yang membuat hatiku hancur.
Seolah semua itu mencegahku untuk melupakan mimpi konyol itu.
“Tapi
kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu Ayah.” Tiba-tiba sebuah
suara mengiang ditelingaku dengan keras dan penuh
keangkuhan.
“Ku
mohon Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku.” Suara lain
terdengar memelas di telingaku. Suara seorang pria
yang begitu ku kenal.
“Demi
bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!”
suara pertama menjawab dengan kasar tanpa perasaan,
seolah tak pernah peduli dengan ratapan pria
itu.
Hingga
aku tersadar Adzan shubuh memanggil dan aku terbangun dari tidurku. Aku
belum melupakannya, percakapan yang sering hadir di
setiap malamku dalam dua bulan terakhir itu
adalah percakapan dalam mimpi ketidaksadaranku, ilusiku. Percakapan itu telah
menyayat hatiku, aku telah memakinya, aku telah
melukainya, dan aku merasa menyesal melakukannya.
Kenapa
semuanya terasa begitu nyata? Kenapa hatiku hancur setiap kali
mimpi itu datang? Dan kenapa aku menyesalinya?
Bukankah itu tidak nyata? Aku tak pernah mempunyai
bukti bahwa mimpi yang selalu kurasa nyata itu sungguh nyata. Tak ada cincin
kawin, MP4 itu pun tak bisa kujadikan bukti bahkan
untuk meyakinkan diriku sendiri pun aku tak
mampu.
Tiba-tiba
aku teringat satu hal. Paman Ali dan bibi Sarah! Jika Aidan hanya mimpiku,
maka mereka pun tidak akan pernah ada. Tapi mengapa
aku masih mengingat alamat tempat tinggal
mereka. Tidak mungkin, jika itu mimpi maka rumah itu tak akan pernah ada juga,
aku harus membuktikannya!, pikirku.
Ingatanku
tentang paman Ali dan bibi Sarah menyuntikkan semangat baru untuk
mengungkap misteri itu. Entah mengapa hati kecilku
masih belum dapat menerima kenyataan yang
dikatakan dokter dan diyakini keluargaku, setidaknya aku harus mengungkap mimpi
buruk yang menghiasi malamku dan meminta maaf
padanya. Ini adalah bukti terakhirku, jika paman
Ali dan bibi Sarah memang tak ada aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
memikirkannya lagi meski mimpi buruk itu
menghantuiku setiap malam. Aku tak peduli!
Tapi
sekarang aku harus mampu membuktikan walau hanya untuk meminta maaf.
***
Sore
itu sepulang kuliah aku langsung pergi ke sebuah komplek perumahan mewah di
Bandung. Dengan perasaan ragu aku melangkah
mendekati rumah bercat cokelat muda itu, aku
memandangnya. Tidak ada perubahan sama sekali, rumah bernomor 66E itu masih
terlihat sama persis seperti dalam ingatanku. Aku
semakin percaya diri untuk mendekatinya, namun
semakin dekat aku semakin ragu saat kulihat kondisi rumah itu yang berdebu,
seolah tak berpenghuni lagi. Aku pun tak
dapat melihat mobil Audi A3 Paman Ali yang biasa di parkir di halaman rumah. Aku menengok ke kiri dan kanan.
Seorang wanita muda berjalan di depanku.
“Assalamualaikum.”
Sapaku pada wanita itu.
“Waalaikumsalam.”
jawabnya.
“Mbak.
Boleh saya tanya?”
“Tanya
apa mbak?” Wanita muda itu balik bertanya.
“Apa
rumah ini tak ada penghuninya?”
“Sejak
saya tinggal disini, rumah ini kosong.”
“Apa
benar ini rumahnya Bapak Ali Nurhakim?”
“Maaf
mbak, saya baru tinggal disini empat bulan yang lalu. Saya kurang tahu siapa
pemilik rumah ini.”
“Oh
begitu ya. Terimakasih Mbak.”
“Sama-sama.”
Wanita
itu berlalu dari hadapanku. Aku meninggalkan rumah itu dengan langkah
gontai. Sudahlah Saila, sesulit apapun kau untuk
menerima kenyataan ini pada akhirnya kau harus
menerimanya juga. Kau memang harus melupakannya. Tak ada alasan lagi untuk
menolak dan berontak dari kenyataan. Mimpi buruk
itu hanyalah ilusi dan semua itu akan berakhir
cepat ataupun lambat.
Langkahku
sungguh berat meninggalkan rumah itu, sesekali aku menengok
kebelakang berharap sesorang keluar dari rumah itu
dan memanggilku. Seharusnya aku tersadar,
jika memang tidak pernah ada seorangpun yang memanggilku.
“Saila...
kenapa kau pulang malam? Bukankah kau kuliah hanya sampai jam tiga?”
suara kak Yasmin mengejutkanku.
“Pulang
kuliah aku pergi ke komplek perumahan Pondok Hijau.” Jawabku datar.
“Untuk
apa?” Mas Deniez tiba-tiba datang mengejutkanku.
“Aku
ingin bertemu dengan Bibi Sarah.” Ujarku.
“Mereka
itu hanya ilusimu, Saila!” suara mas Deniez semakin meninggi.
Aku
terkejut. Bukan karena bentakannya, tapi darimana
beliau mengenal Bibi Sarah, jika aku tak pernah
bercerita tentang paman Ali dan bibi Sarah, kecuali Aidan.
“Bagaimana
mungkin mas Deniez mengatakan bibi Sarah itu bagian dari mimpiku.
Apa mas tahu siapa Bibi Sarah?”
“Tentu
saja. Dia itu Bibinya Aidan, bukan?”
“Bagaimana
mas tahu kalau bibi Sarah itu bibinya Aidan, kalau sebelumnya aku tak
pernah cerita hal itu pada kalian semua?”
Mas
Deniez tak menjawab pertanyaanku. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya kini
terkunci rapat.
“Kenapa
juga harus mempermasalahkan tentang mimpimu itu?” ucap mas Deniez
sinis.
“Tapi
mimpi itu telah mengganggu malam-malamku, mas!” Ujarku memelas.
“Ah..
itu karena kamu terlalu memikirkannya.”
“Sudahlah...”
Kak Yasmin melerai kami. “Saila, ayo mandi sana...”
Aku
pergi meninggalkan mereka, masih dapat kutangkap reaksi mas Deniez yang
tampak masih marah padaku. Aku masih memikirkan apa
yang dikatakan mas Deniez tadi. Seribu tanda
tanya seolah memenuhi isi kepalaku. Kenapa misteri ini sulit sekali terungkap,
padahal bukti-bukti seolah datang menghampiri.
Aku
menghentikan langkahku, perut bagian bawahku terasa melilit. Ku pegang erat
perutku. Tubuhku tersungkur ke lantai mencoba
menahan rasa sakit ini.
Oh
ya Allah... rasanya aku tak kuat menahan sakit ini..., desisku. Aku tak tahu
mengapa sakit ini tiba-tiba datang, dan aku pun tak
tahu penyebab dari sakit ini. Bayanganku kembali
ke masa lalu. Rasa sakit ini sama ku rasakan persis ketika aku terjatuh dari
tangga itu, namun akhinrya semuanya gelap
dan aku tak tahu apa yang terjadi lagi padaku.
“Saila?
Apa yang terjadi padamu?” Kak Yasmin segera datang menghampiriku segera.
Aku
tak menjawab pertanyaannya. Aku meringis menahan rasa sakit. Kak Yasmin
membantuku berdiri dan merebahkan tubuhku di tempat
tidurku. Setelah itu kak Yasmin pergi
meninggalkan kamarku dan kembali dengan teh manis hangat di tangannya.
“Minumlah...”
ujarnya. Aku meminumnya sedikit, tapi teh manis itu sama sekali tidak
mengurangi rasa sakit yang kurasakan.
“Kau
sudah lebih baik?” tanyanya lagi.
Aku
menggelengkan kepalaku. Aku dapat merasakan keringat mengalir di dahi dan pelipisku.
“Bagaimana
jika kita pergi ke dokter saja?” usul kak Yasmin.
Aku
menggelengkan kepalaku
lagi tanda tak setuju.
“Aku
sungguh khawatir melihatmu seperti ini, Saila.” Ujarnya.
“Insyaallah,
aku akan baik-baik saja. Aku akan tidur, mungkin setelah itu aku akan
kembali pulih.” Rasa sakit itu mulai mereda.
“Baiklah...”
Aku
memejamkan mataku. Dalam beberapa menit mimpi itu kembali menghampiriku.
Berawal dari pertengkaran kecil di dekat tangga
hingga aku tergelincir dan jatuh di tangga, dan
kurasakan rasa sakit yang begitu dahsyat menghujam di perut bagian bawah. Aku
meringis kesakitan seraya beberapa kali kuucapkan
kalimat istighfar.
“Masya
Allah Saila...” ku dengar kembali suara lembut yang menenangkan itu.
“Saila,
kau baik-baik saja?” sekarang kudengar suara seorang wanita memanggilku.
“Saila.”
Seseorang menyentuh bahuku.
Aku
terjaga dari tidurku. Ku lihat seorang wanita berdiri dihadapanku dengan wajah
panik.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Kak Yasmin kembali. Aku masih belum bisa menjawab
pertanyaannya. Aku masih meringis menahan rasa
sakit di perutku.
“Kau
harus ke dokter... kau harus ke dokter.” Ujarnya.
Aku
tak bisa berbuat apa-apa ketika Kak Yasmin dan Mas Deniez membawaku pergi
ke dokter. Aku berada diambang kesadaranku, aku tak
tahu apapun, yang kuingat kami pergi di
larutnya malam.
Aku
memasrahkan diriku, ketika seorang wanita dengan jas putihnya memeriksa
perutku.
“Apa
yang terjadi dengannya?” tanya Kak Yasmin pada wanita itu.
“Ada
sedikit infeksi pada rahimnya...” kudengar jawaban dari wanita itu ditengah
kesadaranku yang tiba-tiba datang dan hilang. “Apa
yang pernah terjadi padanya? Apa dia pernah
mengalami keguguran?”
Aku
tak mendengar jawaban lagi dari kak Yasmin. Sesaat semuanya sunyi dan gelap.
“Hasil
diagnosa saya, infeksi bisa jadi dari keguguran yang pernah dialaminya...”
sayup-sayup
kudengar penuturan dokter itu. Semuanya gelap dan aku tak tahu apa yang
terjadi padaku setelahnya. Hingga Kak Yasmin
membangunkanku untuk sholat shubuh, dan rasa
sakit itu sudah hilang sama sekali.
“Kak,
boleh aku bertanya sesuatu padamu?” ucapku setelah selesai mendirikan sholat
shubuh.
“Tentu.”
Jawabnya.
“Apa
yang dikatakan dokter tentang rasa sakit yang aku derita?”
“Hm...
entahlah. Hanya ada sedikit infeksi di rahimmu.”
“Apa
aku akan baik-baik saja? Apa mereka tidak harus mengangkat rahimku seperti
di sinetron-sinetron?”
“Insyaallah
kau baik-baik saja.” Jawab Kak Yasmin. “Kau terlalu banyak menonton
sinetron Saila!”
“Kenapa
rahimku bisa infeksi? Setahuku selama ini rahimku baik-baik saja.”
“Itu
karena makanan yang kau konsumsi saat menstruasi tidak baik untuk rahimmu.
Bukankah kakak sering mengingatkanmu?”
“Benarkah?
Ku dengar dokter mengatakan infeksi itu disebabkan karena keguguran?”
“Keguguran?
Kapan kau hamil, Saila? Lagi pula tadi malam kau benar-benar tak
sadarkan diri. Kau hanya salah dengar.” Kak Yasmin
tersenyum kecil, dalam senyumannya aku
menangkap luka dalam hatinya. Air mata mulai menutupi bola matanya yang hitam.
Kak Yasmin segera berpaling dariku dan pergi dari
kamar rumah sakit yang aku diami. Aku
merasakan keganjilan dalam dirinya. Aku merasa dia bukan lagi kak Yasmin
yang kukenal dulu.
Siang
harinya ayah, ibu dan kak Wafa datang menjengukku. Aku menangkap wajah
khawatir dari ketiganya.
“Saila,
kau baik-baik saja, nak?” seru Ibu. Aku mengangguk.
“Kau
membuat kami khawatir.” Kata Kak Wafa.
Aku
memandang wajah mereka silih berganti. Ketiganya seolah menyembunyikan
sesuatu dariku dan luka itu kembali menyeruak dalam
dadaku.
Ya
allah kapan kiranya aku bisa berhenti dari semua ini dan berhenti bersuudzan
pada mereka.
Aku
menghela nafas berat. Pandanganku beralih pada pemandangan di luar jendela
rumah sakit. Gedung-gedung tinggi berbaris seolah
berlomba untuk menyentuh langit. Namun
langit itu masih kokoh berdiri dengan ketenangannya, kesunyiannya, seolah
semuanya akan baik-baik saja.
Andai
aku bisa seperti langit itu, tetap kokoh dalam ujianNya. Andai aku seperti air
di danau yang tetap tenang
tanpa ombak.
“Saila,
apa kau merasakan sakit lagi?” Kak Wafa membuyarkan lamunanku. Aku
melemparkan seulas senyum padanya.
“Tidak.”
Jawabku singkat. Meskipun memang aku merasakan sakit, tapi bukan di
perutku melainkan di balik dadaku, hatiku yang
masih remuk redam.
“Insyaallah,
kamu akan pulih seperti biasa.” Kak Wafa mencoba menghiburku.
Aku
tersenyum kecut. Dalam hatiku, aku tak yakin aku akan kembali pulih. Bahkan
aku telah lupa bagaimana kehidupanku yang pulih
sebelum kecelakaan itu terjadi, karena semua
yang aku ingat hanyalah aku telah menikah dengan Aidan dan tinggal di asrama.
Asrama?
Satu
lagi kata kunci yang mungkin bisa kuungkap. Bukan untuk kembali
menjadi istri Aidan, Rafaël atau siapapun nama
lelaki itu. Minimal aku bisa meminta maaf atas
kesalahan dan keangkuhanku padanya, dan aku bisa terlepas dalam bayang-bayang
mimpi itu.
Sudahlah
Saila...! sampai kapan? Yang ada kau hanya akan kembali dikecewakan
oleh fakta. Jika Paman Ali dan bibi Sarah saja
memang tak ada dalam hidupmu, lagipula mereka
telah wisuda. Sekarang mungkin di asrama itu hanya ada orang-orang baru yang
tidak mengenalmu sama sekali. Lagi pula benarkah
aku pernah masuk asrama ataukah itu hanya
bagian dari mimpiku saja? batinku. Ku urungkan niatku untuk pergi ke tempat
itu. Aku hanya takut kecewa untuk kesekian
kalinya.
“Kau
melamun lagi, Saila?” Kak Wafa kembali membuyarkan lamunanku.
Aku
memandang seorang bayi perempuan dalam gendongannya.
“Bayi
siapa itu Kak ?” tunjukku pada bayi berumur kurang lebih satu tahun itu.
“Ya
ampun Saila, ini Zaira. Putri kakak dan mas Fadli.”
“Astagfirullah...
bagaimana bisa aku tak ingat kakak sudah punya anak?”
“Karena
selama ini kau hanya sibuk pada duniamu sendiri. Bangunlah Saila,
kembalilah seperti Saila yang dulu, Sailaku yang
manis, Sailaku yang ceria, Sailaku yang manja.
Bukan Saila yang terus terpuruk dan putus asa seperti ini. Hidup ini masih
panjang, jangan kau sia-siakan waktumu.
Allah tak menyukai hambaNya yang lemah.” Butiran bening mulai membasahi bola matanya. “Kami ingin Saila kami
kembali.”
Aku
turut meneteskan air mataku. “Aku hanya hambaNya yang lemah.”
“Allah
lebih mencintai hambaNya yang kuat.”
“Tapi
aku merasa tidak bisa menjadi hamba yang kuat.”
“Allah
sebagaimana dengan perasaan hambaNya. Jika kau merasa lemah, maka kau
akan selamanya lemah. Allah tidak akan mengubah
nasib seseorang jika kau sendiri tidak mau
mengubahnya.” Aku tertegun mendengar ucapan Kak Wafa
Ya!
Kau benar Kak Wafa. Aku harus mengubah diriku sendiri, ujarku dalam hati.
***
Aku
mencoba menjalani hidupku sewajar mungkin. Mencoba melupakan semua
kejadian-kejadian yang mereka katakan sebagai
mimpiku. Aku tak peduli lagi dengan mimpi-mimpi buruk yang selalu menggemparkan
malamku. Aku tahu semuanya akan berakhir. Aku mencoba untuk menjadi Saila seperti yang dikatakan
mereka. Aku bertekad untuk melupakan semua
itu. Selama Allah disampingku, aku tak perlu sedih dan mengkhwatirkan apapun
juga.
“...tapi
kau harus ingat bahwa Allah selalu bersama kita.” Kata-kata itu mengalir
ditelingaku. Tentu aku masih ingat siapa yang
mengatakannya. Seorang pria yang terbaring di tempat tidur dengan luka di kaki kanannya mengatakan itu
padaku di malam yang beku dengan salju-salju
yang bertebaran di jalanan. Tentunya dalam mimpiku saat aku tak sadarkan diri.
“Saila,
kau bisa mengantarku ke Islamic Center sekarang?” tanya Rahma seraya
memandangiku yang tengah sibuk memasukan
barang-barang kedalam tasku setelah Monsieur
Kemal mengakhiri kuliahnya.
“Islamic
Center ?” tanyaku setengah terkejut. “Untuk apa?”
“Meminjam
buku.”
“Pinjam
buku? Mengapa harus kesana? Kau bisa pinjam di perpustakaan tutorial
Agama Islam disini, bukan?”
“Kau
tahulah disana lebih lengkap.”
“Hmm
baiklah...”
“Oh
terimaksih Saila... aku mencintaimu...” ujarnya.
“Sudah
hentikan! Tidak perlu berlebihan seperti itu!” ucapku geli. Ku cubit pipinya
yang chubby. Ia mengerang dan mencoba menepis
tanganku.
“Ayo...”
ajak Rahma. Kami pun segera bergegas pergi.
Sesampainya
disana Rahma segera menghambur menuju perpustakaan dan memburu
buku yang dicarinya. Aku hanya duduk menungguinya
seraya membaca majalah Islam terbaru.
Beberapa saat kemudian Rahma datang menghampiriku dengan wajah kecewa.
“Ada
apa?” tanyaku
“Aku
tidak bisa menemukan buku yang kucari.”
“Buku
apa yang kau cari?”
“Sirah
Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Al-mubarakfuri.”
“Hm...”
aku beranjak dari tempatku dan membantunya mencari, tapi aku pun tak
berhasil menemukannya.
Seorang
pria dengan kemeja cokelat muda dan celana hitam berdiri tak jauh dariku.
Aku mendekatinya mencoba menanyakan buku yang
dicari Rahma.
“Assalamualaikum...”
sapaku.
“Waalaikumsalam...”
jawabnya.
“Afwan
Akh... boleh saya bertanya?”
“Oh...
silakan.” Pria itu menoleh ke arahku. Wajahnya tampak terkejut saat melihatku.
“Temanku
mencari buku Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Almubarakfuri.”
Ujarku.
“Antum tahu disebelah mana buku itu?”
Pria
itu belum menjawab pertanyaanku. Matanya masih terpaku padaku di balik
kacamata minusnya, tatapan keheranan seolah ia
telah mengenalku. Aku tak mengerti apa yang
terjadi padanya. Bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.
“Afwan
Akh...” ucapku dengan sinis. Aku mulai kesal dengannya yang terus
memandangiku.
“Astagfirullah...”
desisnya. Dia segera berpaling dariku. “Sebelah sana...ukh. Di rak
timur bagian pojok sana terdapat buku sirah
karangan berbagai ulama.”
“Syukron
akh..” ucapku dan segera meninggalkannya menuju rak yang ditunjuknya.
“Tampaknya
kau mengenal pria itu? Siapa dia?” tanya Rahma
“Siapa?”
“Laki-laki
yang tadi ngobrol denganmu.”
“Hmm...
aku tak mengenalnya.” Jawabku dingin.
“Kau
yakin?”
Aku
mengangguk.
“Tapi
beliau ganteng, Sa!”
“Rahma?
Bukankah kau berjanji akan belajar menjaga pandanganmu?”
“Ups!
Aku hanya tidak sengaja melihatnya, ukh!”
Aku
mendengus.
Akhirnya
Rahma menemukan buku yang dicarinya di tempat yang ditunjukkan lelaki
itu. Dengan wajah ceria Rahma segera membawa buku
itu pada petugas perpustakaan untuk dipinjam.
“Saila...
aku senang melihatmu kembali ceria.” Ujar Rahma.
“Benarkah?”
Rahma
mengangguk girang.
***
Sore
itu aku tengah bermain dengan Nawfal dan Ayla. Ayla telah tumbuh menjadi
anak yang lincah. Semakin hari aku semakin
mencintainya seperti anak kandungku sendiri.
“Tante...
lihat gambarku! Bagus bukan?” teriak Nawfal dengan riangnya.
“Coba
tante lihat.” Aku mengambil kertas dengan tangan kananku. Tangan kiriku
masih menggendong Ayla.
“Subhanallah...
gambar Kakak bagus sekali.”
“Sini
tante gambar ayam di sebelah sini ya...” aku menggoreskan pinsil di atas kertas
itu hingga membentuk gambar ayam.
“Saila...
saila...” panggil Kak Yasmin. Beliau menghampiriku dengan tergesa-gesa.
“Ada
apa?” aku memandangnya heran.
“Saila...
Kakak ingin berbicara padamu.”
“Bicara
apa?”
“Kemarin
kami kedatangan seorang tamu. Kenalan lama keluarga kita.”
“Siapa?”
tanyaku penasaran.
“Haekal
El Syahidan.” Jawab kak Yasmin. Aku mengernyitkan dahiku.
“Aku
tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”
“Dia
teman baik Fadli. Kau tahu apa tujuan beliau datang kemari?”
Aku
mengelengkan kepalaku.
“Dia
ingin melamarmu. Saat itu juga aku dan mas Deniez segera menelepon ayah dan
ibu. Mereka sangat senang mendengarnya dan mereka
setuju, tapi mereka mengembalikan keputusan
itu padamu.”
Aku
terkejut mendengar perkataan kak Yasmin. Sebuah guntur serasa menyambar
kepalaku. “Katakan kalau kakak cuma bercanda.”
Responku.
“Aku
serius!” kak Yasmin menyerahkan selembar amplop cokelat padaku. “Ini
fotonya.”
Aku
membukanya perlahan. Aku tatap foto itu dengan seksama. Pria dengan kulit
kuning kecokelat-cokelatan. Bola mata yang bulat
dengan iris yang hitam pekat, hidungnya mancung
dan bibir tipis dilengkapi dengan janggut tipis di dagunya, tidak lebih tampan
dari pangeranku, Aidan. Dia! Pria yang aku
temui di perpustakaan Islamic center!
Aku
memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop cokelat dan menyerahkannya
kembali pada kak Yasmin. “Beri aku waktu beberapa
hari. Aku ingin shalat istikharah agar aku
yakin dengan keputusan yang akan aku ambil nanti.” Ku lemparkan seulas senyum
pada kak Yasmin.
“Keputusan
yang sangat bijak. Aku suka kau tidak tergesa-gesa.”
Aku
masih tidak percaya dengan berita dari Kak Yasmin itu. Aku tidak percaya ada
seorang pria yang ingin menjadikan aku sebagai
istrinya. Bagaimanapun juga sebagai seorang wanita
aku merasa tersanjung. Aku harap kedatangannya bisa mengobati luka di hatiku.
Sebelum pergi tidur aku sempatkan sholat istikharah
dua rakaat dan berdoa memohon diberikan yang
terbaik untukku. Setelahnya aku terlelap dalam tidurku.
Sore
itu aku telah duduk di kursi taman yang tak jauh dari rumah mas Deniez. Langit
tampak begitu terang, awan-awan putih menghiasi
birunya sang langit. Kicauan burung membaur
bersama angin semilir yang menyapu ujung jilbabku.
Kuperhatikan
ikan-ikan yang berenang dalam kolam di hadapanku. Ikan-ikan itu
mengapung saling berebut potongan-potongan roti
yang ku lemparkan ke dalam kolam itu. Sesekali
datang seekor burung mendekat dan menangkap ikan-ikan kecil yang tak berdaya.
“Assalamualaikum...”
seseorang datang menyapaku. Aku terperanjat kaget. Aku
menoleh ke arah suara. Kulihat seseorang tengah
berdiri disampingku. Aku lebih terkejut ketika
ku tahu lelaki itu adalah orang yang telah ku kenal sebelumnya, Aidan. Aku
memandangnya penuh keheranan. Aku tak tahu apa yang
ia lakukan disini dan apa maksud kedatangannya.
Yang ku rasakan saat ini, aku merasa dekat dengannya. Aku benar-benar merindukannya.
“Saila,
aku datang kembali untukmu. Aku datang untuk menepati janjiku.” Bola mata
cokelat kehitaman di balik kacamatanya memandangku
lembut, mencoba menyelami ke dalam kedua
mataku, seolah mencari puing-puing cinta yang pernah ia tanamkan sebelum ia
pergi. Perlahan tangannya mendekat dan menyentuh
pipi kiriku. Lalu di belainya pipiku dengan
lembut.
“Aku
bahagia melihatmu bahagia, Saila.” Ujarnya.
Aku
masih terdiam membisu, tak sepatah kata pun yang aku keluarkan. Bahkan aku pun belum
menjawab salamnya.
“Aku
kembali Saila...” ucapnya kembali.
“Kau...
Apa kau Aidan?” tanyaku. Dia mengangguk cepat. “Maafkan aku Aidan...”
“Apa
kau tahu, aku sangat merindukanmu.” Desahku. “Jangan pernah kau tinggalkan
aku sendiri dengan kesepianku.” Pintaku.
“Tapi
aku akan pergi lagi Saila...” ujarnya.
“Apa
kau akan membawaku bersamamu?”
“Itu
tidak mungkin!”
“Bawa
aku bersamamu, Aidan!” ratapku.
“Tetaplah
disini, aku akan bahagia melihatmu bahagia.” Aidan melepaskan genggaman
tangannya. Aku berusaha untuk tetap memegangnya,
namun dia berhasil melepaskan tangannya,
dengan cepatnya dia telah menghilang dari hadapanku.
“Aidan!!!”
panggilku, tapi dia sudah tak terlihat lagi.
Aku
terjaga dari tidurku. Semua itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat aneh, bukan
mimpi pertengkaran seperti biasanya melainkan mimpi
yang penuh kedamaian. Ketenangan menjalar
dihatiku bagai air yang menyejukkan saat kuingat aku telah meminta maaf
padanya. Mimpi itu hanya datang sekali dalam
tidurku, tidak seperti mimpi burukku yang begitu sering mengunjungiku.
“Assalamualaikum
kak Yasmin.” Sapaku pada kak Yasmin yang tengah sibuk
menyiapkan sarapan. Aku menuruni tangga dengan
riang.
“Wa’alaikumussalam
Saila. Ayo lekas sarapan sebelum pergi ke kampus.” Ajaknya
dengan wajah ceria. “Hari ini kau terlihat lebih
riang.”
“Terimakasih.”
Balasku.
“Assalamualaikum
semua.” salam mas Deniez menghampiri kami dengan Nawfal.
Beliau tak kalah riangnya.
“Wa’alaikumsalam.”
Jawab kak Yasmin dan aku serempak. “Ayla mana?” tanyaku
“Dia
baru kembali tidur lagi.” Jawab mas Deniez.
“Semalam
dia malah begadang.” Jawab mas Deniez. “Hmm... Saila bagaimana
keputusanmu dengan lamaran Haekal?”
“Aku...
aku... aku setuju, jika ayah dan ibu memang menyukainya.” Jawabku mantap.
“Alhamdulillah...
kabar baik ini. Aku akan segera menelepon beliau.” Seru mas Deniez.
Kak
Yasmin turut gembira, aku senang melihat semua gembira. Seandainya dari dulu
aku bisa mempersembahkan
yang terbaik untuk keluargaku dan tidak membuat mereka bersedih karena kemurungan yang disebabkan oleh mimpi-mimpi yang
terus menghantuiku. “Aku bahagia melihatmu
bahagia, Saila.” Kata-kata dalam mimpiku kembali datang mengingatkanku.
***
Selepas
sholat isya aku segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaikku, gamis biru
muda −favorit Aidan dalam mimpiku− dengan kerudung
biru yang berhias payet. Jantungku berdegup
kencang ketika kulihat jarum jam di meja belajarku mendekati angka delapan dan
dua belas. Ayah dan ibu juga kak Wafa dan mas Fadli
telah siap. Malam ini Haekal El Syahidan
akan datang bersama keluarganya untuk mengkhitbah–melamar- ku. Kedua orang
tuaku menginginkan aku di khitbah di rumah Mas
Deniez dengan alasan keefisienan waktu dan
tempat karena kami sama-sama tinggal di Bandung. Bahkan mereka merancang
pernikahan kami disini. Agak sedikit mengherankan
bagiku, tapi alasan mereka cukup masuk akal.
Aku tak punya waktu libur banyak, kuliahku padat itulah mengapa Haekal pun
tidak turut mengambil cuti yang telah
diberikan kantornya.
“Saila.
Mereka telah menunggumu di bawah. Ayo turunlah.” Kak Yasmin mengulurkan
tangannya. Aku segera menyambutnya dan menggenggam
tangannya, kurasakan tangannya begitu
hangat.
“Hei!
Tanganmu dingin.” Seru Kak Yasmin
“Aku
gugup.” Jawabku datar.
Aku
dan Kak Yasmin menuruni tangga, disana aku melihat keluargaku tengah
berbincang dengan keluarga Haekal. Pria itu
terlihat lebih santai, tidak tegang sama sekali. Obrolan mereka terhenti saat mereka melihat kami datang.
“Assalamualaikum...”
sapaku pada semua.
“Waalaikumsalam.”
Jawab mereka serempak.
Aku
duduk disamping Ayah dan ibu. Tak ada yang bisa aku lakukan selain
menunduk.
“Bagaimana
ukhti? Apa anti bersedia menerima adik saya Haekal sebagai pemimpin
dalam keluarga kecil yang akan antum berdua bina?”
tanya seorang pria, yang kukenal sebagai
kakak tertuanya menggantikan peran ayah mereka yang telah meninggal.
“Bismillah,
saya terima beliau...” jawabku dengan nada bergetar.
“Alhamdulillah...”
ucap semuanya bersamaan.
“Kalau
begitu mahar apa yang diharapkan anti pada adik ana?” tanyanya lagi.
“Apapun
yang sekiranya tidak memberatkan Akhi Haekal. Bukankah seorang wanita
yang paling besar kemuliaannya adalah wanita yang
paling ringan tanggunganya dan tidak memberatkan
calon suaminya?”
“Itu
benar.” Ujar pria itu lagi
“Jadi
anti ikhlas dengan apapun mahar yang akan ana berikan?” Tanya Haekal
“Insyaallah.”
Jawabku.
Seorang
wanita paruh baya menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. Mengulurkan
tangannya meraih tanganku.
“Sebagai
seorang Ibu. Saya merasa terharu, Haekal akhirnya menemukan gadis
sepertimu. Terimalah cincin ini.” Ibu itu membuka
cepuk berisi cincin yang begitu indah dan menyematkannya
di jari manis kiriku.
“Terimakasih
Ibu.” Ucapku. Ku cium punggung tangannya.
“Barakallah...”
desisnya.
***
Hari
yang dinanti itu datang, seperti yang diharapkan oleh keluargaku akad nikah
kami dilangsungkan di Masjid dekat rumah Mas Deniez
dengan sangat sederhana. Hanya kerabat dan
teman-teman terdekat yang kami undang, namun semuanya terasa sangat khidmat.
“Saya
terima nikahnya Saila Najla’ Ashalina binti Rahman dengan mahar sebuah
buku dan cara menjelaskannya dibayar tunai.”
“Aku
bahagia melihatmu bahagia, Saila.” Suara itu kembali membisik dihatiku, tapi
kali ini rasa sedih menyergap hatiku. Aku
merindukan pemilik suara itu. Butiran bening menghalangi pandanganku.
“Aku
tak percaya kamu menikah dengan pria yang kita temui di perpustakaan itu.”
Bisik Rahma membuyarkan lamunanku.
“Ayo
Saila...” Kak Wafa dan Rahma menuntunku keluar untuk menemui suamiku.
Aku
telah berdiri di depan pria itu, Haekal El Syahidan. Dia tersenyum padaku. Aku
membalas senyumannya. Dengan ragu Haekal mengulurkan tangannya dan menyentuh tanganku. Haekal memandangku, namun aku memalingkan pandanganku pada tamu yang hadir. Ku tebarkan pandanganku pada tamu-tamu, hingga pandanganku terhenti pada dua orang tamu yang wajahnya sudah sangat ku kenal, Paman Ali dan Bibi Sarah yang tengah berdiri di depan pintu Masjid.
membalas senyumannya. Dengan ragu Haekal mengulurkan tangannya dan menyentuh tanganku. Haekal memandangku, namun aku memalingkan pandanganku pada tamu yang hadir. Ku tebarkan pandanganku pada tamu-tamu, hingga pandanganku terhenti pada dua orang tamu yang wajahnya sudah sangat ku kenal, Paman Ali dan Bibi Sarah yang tengah berdiri di depan pintu Masjid.
“Paman
Ali! Bibi Sarah!” panggilku pelan.
Aku
menatap Haekal dalam-dalam mencoba mengatakan dari hati ke hati. Haekal dan aku
menoleh kearah pintu, namun aku tak menemukan
mereka lagi.
“Hanya
halusinasiku.” Ucapku pada Haekal, meski dalam lubuk hatiku yang terdalam
aku meyakininya mereka bukan halusinasiku.
Haekal
membacakan surat Ar Rahman sebagai hadiah pertama pernikahan kami. Aku
menyimaknya dengan air mata tak henti meleleh
diiringi bayangan seorang pria terluka yang membacakan
surat itu dengan lancar di malam yang bertabur salju.
Hari
pun telah malam, semua tamu termasuk keluarga Haekal telah pulang. Aku
terduduk di kamarku menghempas rasa lelah setelah
seharian beramah-tamah dengan para tamu
undangan. Sedangkan Haekal sendiri masih asyik mengobrol dengan Mas Fadli di
ruang tamu.
Sambil
melepas lelah aku mendengarkan lantunan murattal dari MP4 yang masih
terasa misterius bagiku meskipun Kak Wafa
mengatakan itu pemberian darinya. Sekilas aku melirik mahar yang tergeletak di atas tempat tidurku.
Sebuah buku yang dibungkus rapih, dalam hati
aku penasaran buku apa yang diberikan Haekal untukku, sepertinya terkesan
sangat rahasia. Ah paling juga buku fiqh sunnah
atau kumpulan hadits Bukhari-Muslim.
Seseorang
mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya. Kulihat
Haekal membuka pintu kamarku dan melemparkan seulas
senyuman padaku. Aku membalasnya dengan
tulus. Aku melepaskan earphone dari telingaku.
“Assalamualaikum
istriku.” Haekal kembali memberiku salam.
“Waalaikumsalam
suamiku.” Balasku. Senyuman segera merekah di bibirku.
Lantas
Haekal mengajakku sholat sunnah berjamaah. Aku pun berdiri dibelakangnya.
Selesai sholat Haekal menyentuh kepalaku dan
membacakan doa. Aku mengamininya dengan penuh
kekkhusyukan.
Aku
dan Haekal duduk di atas tempat tidur. Haekal meraih mahar yang tergeletak tak
jauh darinya.
“Istriku
aku tak sabar untuk menjelaskan buku ini padamu.” Ujarnya. “Kamu tahu
buku apa ini?” aku segera menggeleng. Aku memutar
bola mataku.
“Ini
adalah sebuah buku milik sahabat dekatku.”
Aku
mengernyitkan dahiku. “Kenapa kakak menjadikan mahar untukku?”
“Kamu
akan tahu kenapa aku memberikannya sebagai mahar untukmu setelah aku
menjelaskannya padamu.” Jelasnya. “...tapi sebelum
aku menjelaskannya, aku akan sedikit menceritakan
bagaimana buku ini ada padaku sekarang.”
“Baiklah.”
Aku memasang telinga baik-baik siap untuk mendengarkannya.
“Temanku
meninggalkan buku ini di rumahku, saat itu beliau datang untuk
bersilahturahmi denganku, beliau menginap di
rumahku. Aku tak tahu ternyata saat itu beliau tengah menghadapi permasalahan yang sangat pelik, tapi
beliau masih tenang seperti biasanya.
Keesokan harinya beliau pulang ke rumahnya dengan pesawat, namun pesawat itu
tergelincir saat hendak landing dan kecelakaan itu
telah merenggut nyawanya. Ternyata itu adalah
silahturahmi kami yang terakhir.” Haekal menghentikan ceritanya beberapa saat
dan menghela nafas berat.
“Aku
turut sedih, kakak pasti merasa kehilangannya...” aku turut bersimpati.
“Benar
aku sangat terpukul mendengar kabar itu.” Desis Haekal. “Rupanya beliau
meninggalkan buku ini di kamar tempat beliau
menginap di rumahku. Aku penasaran dengan isi
buku itu, semua isinya tertulis dalam bahasa asing yang tak bisa aku pahami.
Namun, aku sangat tertarik untuk mengetahui
isi buku ini. Aku memutuskan untuk belajar bahasa asing itu hanya agar aku bisa memahami isinya. Setelah aku paham,
aku sungguh terkejut dengan apa yang beliau
tulis dalam buku ini. Tapi aku tak tahu bagaimana mengembalikan pada orang
terdekatnya.
“Aku
mencoba mengembalikan pada kerabatnya, tapi mereka tidak tinggal di tempat
itu lagi. Ku dengar sejak berita kematian itu,
mereka pindah dan tinggal bersama kakaknya, ibu
sahabatku itu.
“Akhirnya
aku memutuskan untuk menyimpannya. Hingga beberapa bulan
belakangan ini aku bertemu denganmu di
perpustakaan, aku teringat pada buku itu. Aku hendak memberikan buku itu padamu, namun saat itu kamu
tak ada di rumah. Mas Deniez lah yang
menyambutku saat itu. Beliau memintaku menyerahkan buku itu pada kedua orang
tuamu, tapi saat aku menyerahkan buku itu. Aku tahu
bahwa saat itu keluargamu tengah terpukul.
Mereka menceritakan tentang keadaanmu. Entah darimana keberanian itu muncul,
akhirnya aku menawarkan diri untuk melamarmu saat
itu juga.
“Tunggu!
Aku tak paham, apa hubungan aku dan keluargaku dengan buku ini?”
tanyaku heran.
“Coba
kamu buka buku itu.” Aku membuka kertas kado yang membalutnya perlahan.
Pada sampulnya tertulis “La Agenda”. Aku masih belum
paham, ku buka sampulnya. Di halaman pertama
kutemukan sebuah nama “Rafaël Alvarez”.
“Buku
itu milik Aidan, almarhum suamimu!” bisik Haekal di telingaku dengan
lembut, tapi yang kurasakan kata-kata itu begitu
kuat menghantam telingaku, mencabik jantungku,
mengoyak hatiku dan meremas paru-paruku hingga rasanya sulit sekali aku bernafas. Untuk kesekian kalinya, hatiku... hancur.
“Aku
tak percaya... bukankah yang mereka katakan bahwa Aidan itu hanya ilusi?”
desisku pelan. “Bahkan penjelasan dokter tentang
kondisi fisikku cukup jelas membenarkan bahwa
semua itu hanya ilusi, mimpi dalam ketidaksadaranku.”
“Keluargamu
dan dokter bekerjasama untuk menutupi kebenaran itu. Karena mereka
begitu mencintaimu, mereka melakukan itu agar kamu
tak bersedih mendengar kematian Aidan.
Kuharap kau bisa memaafkan mereka. Mereka melakukan semua itu hanya untuk
melindungimu dari duka. Percayalah bukan hal yang
mudah bagi mereka untuk membohongimu. Kau
ingat dengan benda ini?” Haekal menunjukkan kalung mas putih dengan liontin dari batu safir hitam dalam bingkai
berbentuk hati padaku. “Aku ingin mengembalikannya
padamu.”
“Bolehkah
aku memasangkannya untukmu?” bisik Aidan lembut. Aku kembali
teringat saat Aidan hendak memasangkan kalung itu
di leherku.
“Kenapa
benda ini ada padamu?” aku menatap Haekal dengan mata berkaca-kaca.
“Keluargamu
mengembalikan kalung ini pada Aidan saat kau tak sadar. Sebagai
perwakilanmu khulu’ atau gugatan cerai dari pihak
istri. Agar Aidan menjatuhkan talak padamu.”
“Apa
Aidan telah mentalakku sebelum dia meninggalkan rumah sakit?”
“Bagaimana
mungkin dia melakukan itu padamu? Dia memang menerima kalung ini
kembali. Tapi dia tidak pernah menjatuhkan talak
padamu. Aidan meninggalkan kalung ini beserta
buku hariannya di kamarku. Sebelum…” kata-kata Haekal terhenti pada tenggorokannya yang tercekat.
Perlahan
air mataku jatuh, lalu disusul dengan air mataku yang lain terus menerus.
Hingga
aku sulit bernafas dan dadaku terasa sesak. Luka itu semakin menganga dan terus
menderaikan darah yang tiada henti. Perih sekali
harus menerima kenyataan pahit ini.
“Aidan...
Aidan... dia suamiku dan telah pergi tanpa memberiku kesempatan untuk
meminta maaf padanya.” tangisku mulai pecah. “Semua
itu nyata ya Allah. Aidan bukan mimpiku.
Kapan kecelakaan itu terjadi?” tanyaku dengan suara parau.
“Delapan
Juli tahun lalu.”
Hatiku
semakin perih, delapan Juli adalah hari dimana aku baru tersadar dalam tidur
panjangku. Hari aku merasa jauh dengannya, dimana
keluargaku menyambut kesadaranku dengan
senyuman getir dan tangisan ibu. Aku ingat, saat itu selepas sholat ashar aku
menyaksikan beritanya, dan ternyata itu adalah
berita kematiannya. Bodohnya, aku tidak menyimak
berita itu dengan seksama.
Haekal
menarik tubuhku dan mendekapku erat dalam pelukannya. Aku tak mampu
menahan tangisku. Seribu sesal mencabik hatiku.
Kenangan bersamanya bagai slide show yang
terus terlintas dalam benakku. Masih ku ingat caci dan maki yang aku lontarkan
padanya tiada henti.
“Lepaskan
aku Aidan!” pintaku.
“Tidak!
Sampai kau memberiku kesempatan untuk berbicara padaku.”
“Jangan
bertindak seperti anak kecil, Aidan!”
“Kau
yang bertindak seperti anak kecil.”
“Aku
tidak main-main Aidan! Aku serius. Bahkan aku jamin bayiku tak akan pernah
mengenalmu. Dia tak perlu mempunyai Ayah
sepertimu.”
“Bayi?”
Aidan memandangku heran. “Kau tengah mengandung?” ujarnya. Aku diam
tak menjawabnya. Matanya memandangku haru.
“Aku
akan menjadi seorang ayah?” senyumnya segera mengembang di bibirnya.
“Tapi
kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu ayah.”
Senyum
Aidan menyurut dari bibirnya. Tangannya masih kuat mencengkram
tanganku.
“Kumohon
Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku.”
“Demi
bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!”
Hingga
cacian terakhirku padanya masih melekat dalam benakku. “Maafkan aku
Aidan!” desisku.
Haekal
membelai kepalaku dengan lembut, namun bagiku masih belum bisa
menggantikan kelembutan Aidan. Aku masih tak
percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Itu
tidak benar, kan? Aidan hanya ilusi.” Aku masih menyangkalnya dalam tangisku.
“Itu
benar Saila. Apa kalung ini dan MP4 dalam genggamanmu itu tidak cukup
sebagai buktinya. Aku yakin kamu masih ingat saat
beliau memberikan MP4 itu padamu.”
Aku
tentu masih sangat ingat kejadian itu dan tak bisa kuenyahkan bayangan itu dari
benakku. Haekal mengulurkan tangannya dan menghapus
air mataku dengan ibu jarinya. Kemudian dia
beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan aku sendiri di kamar.
“Aku
mendengar suara tangisan Saila. Apa yang antum lakukan pada dia, akh?”
kudengar suara Kak Wafa dari balik pintu.
“Anti
tenang saja. Saila baik-baik saja.” Jawab Haekal tenang.
“Bagaimana
antum bisa berkata begitu. Jelas saya dengar dia menangis.”
“Percayalah
pada Ana. Ana tidak melakukan apapun padanya.”
“Apa
antum sudah membocorkan rahasia itu?”
“Benar.”
“Secepat
itukah?”
“Ana
tak bisa menunggu lama. Ana harus menjelaskan isi buku itu padanya. Karena
itu bagian dari mahar ana.”
“Seharusnya
antum tidak pernah menjadikan buku itu sebagai maharnya. Biarkan
semuanya sebagai rahasia keluarga kami.”
“Apa
anti sanggup hidup dalam kebohongan lebih lama lagi? Afwan, Ana sendiri
tidak sanggup. Bukankah salah satu tujuan ana
menikahinya juga untuk membantu ia mengetahui
dan menerima kenyataan ini?”
Aku
tak mendengar suara dari keduanya untuk beberapa saat. “Antum benar akh.”
Kudengar
suara Kak Wafa pelan.
Dalam
beberapa menit Haekal datang dengan segelas susu putih di tangannya. Tak
lupa seulas senyum mengembang di bibirnya yang
tipis.
“Bagaimana
keadaanmu? Sudah lebih baik ?” tanyanya seraya mengusap bahuku.
“Belum
lebih baik dari sebelumnya.”
“Minumlah
semoga kamu bisa lebih tenang.” Haekal menyodorkan gelas berisi susu
hangat itu padaku. Aku meminumnya beberapa teguk.
Lalu menyerahkannya kembali padanya. Haekal
segera menerima gelas itu dariku dan meneguk susu itu dari bibir gelas bekasku dan meletakkan gelas itu di atas meja.
“Sudah
lebih tenang?” tanyanya lagi. Aku mengangguk perlahan. “Tidurlah.” Ujarnya
lagi.
“Kakak
tidak akan membacakan isi buku itu ?” tunjukku pada diary yang berisi
bahasa Spanyol itu.
“Saila...
aku rasa malam ini kamu tampak lelah, dan kamu belum siap untuk
mendengar isi buku itu. Insyaallah aku akan
membacakannya untukmu.”
“Aku
masih siap mendengarnya. Bacakanlah minimal satu lembar.” Aku memohon.
“Maaf
Saila. Aku tidak bisa. Kau harus istirahat. Bukankah besok kau harus kuliah ?”
“Baiklah.”
Aku mengalah.
Aku
berbaring diatas tempat tidurku, dan berusaha
memejamkan mataku. Haekal menarik selimut dan
menutupi sebagian tubuhku dengan selimut.
Diusapnya lenganku, sebelum dia mematikan lampu dan pergi dari kamarku entah
kemana.
***
Malam
ini aku telah berada di rumah Haekal, atau katakan saja di rumah kami.
Rumah kecil yang sangat asri dan rapi. Selesai
mengerjakan tugas kampus, aku segera bergegas
pergi ke dapur untuk menghangatkan kembali makanan yang telah aku masak sore
tadi sebelum Haekal kembali dari kantornya pukul
delapan malam nanti.
Aku
melirik jam yang menempel di dinding dapur. Jam delapan lebih sepuluh menit,
itu berarti Haekal sebentar lagi pulang. Dugaanku
tak salah saat kudengar suara pintu diketuk disusul
suara salam yang jelas aku cukup mengenal suara itu, suara Haekal.
Aku
segera menghambur ke pintu dan membukakan pintu itu untuknya.
“Waalaikumsalam.”
Jawabku. Aku segera mencium punggung tangannya.
“Hm...
baunya enak. Kakak tak sabar ingin segera makan malam. Kebetulan Kakak
lapar sekali.” Ujarnya saat mencium bau masakan
yang telah aku tata di atas meja makan.
“Mandi
dulu?” aku menawarkan opsi yang lain.
“Baiklah.”
Selesai
makan malam aku telah siap dikamarku dan duduk di atas tempat tidurku
untuk mendengar Haekal membacakan isi diary itu.
Haekal mengambil buku itu dan membukanya
perlahan menuju halaman pertama :
Rafaël
Alvarez
Halaman
kedua :
Beberapa
bulan terakhir ini di setiap malam aku seringkali bermimpi bertemu
dengan seorang gadis. Dia tampak tidak seperti
gadis pada umumnya yang aku kenal. Seorang
gadis dengan gaun putih panjang menjulur hingga mata kakinya, rambutnya tersembunyi dalam kerudung putih panjang khas gadis-gadis
arab pada umumnya, tetapi wajah dan bentuk
tubuhnya jauh sekali dari gambaran gadis arab. Gadis itu tersenyum padaku, wajahnya tidak begitu cantik, namun tampak begitu
anggun dan menawan. Belum pernah sebelumnya
aku bertemu dengan gadis sepertinya di sepanjang hidupku di Eropa ini. Bukan pertama kalinya aku melihat gadis berkerudung, toh
bibiku seorang muslimah juga dan menggunakan
kerudung. Tapi ini pertama kalinya aku melihat seorang gadis tampak sangat anggun dengan pakaiannya. Bahkan kecantikan dan
keanggunan gaun malam tak pernah membuat
Sandrine bisa menandingi keanggunannya yang membuat dia mempesona.
Gadis
itu melangkah menuju suatu tempat. Karena aku terpesona padanya, aku terus
mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya aku
melihatnya memasuki sebuah rumah ibadah orang-orang
Muslim, Masjid. Aku melihatnya tengah berdo’a penuh kekhusyukan sambil menangis tersedu-sedu. Aku bisa mendengar do’a yang dia
panjatkan pada Tuhannya “Ya Allah...
tunjukkan jalan kebenaran untuk Rafaël Alvarez. Bukakanlah hatinya untuk dapat menerima cahayaMu. Tunjukan padanya indahnya
Islam. Aamiin.”
Aku
sungguh terkejut mendengar do’anya sekaligus heran. Adakah yang salah
denganku? Benarkah jalanku salah? Aku hanya
menjalani kehidupanku seperti orang lain pada
umumnya dan aku bahagia dengan apa yang aku punya sekarang. Aku merasa jalanku benar.
Pertama
mimpi itu datang, aku tidak pernah peduli, aku hanya menganggapnya
sebagai bunga tidur. Tapi nyatanya mimpi itu terus
datang padaku seminggu dua atau tiga kali
selama empat bulan lamanya. Aku menjadi penasaran. Mungkinkah benar jalanku
salah. Tapi aku tidak menceritakan mimpi ini pada
siapapun untuk menanyakan maksud mimpi itu,
konyol rasanya jika aku bertanya hal itu.
Nyatanya
semakin aku memendam rasa penasaran itu, batinku semakin berontak.
Saat libur musim panas tiba, aku memutuskan untuk
menemui Paman dan bibiku di Indonesia. Lalu
aku menceritakan mimpi itu. Bibi Sarah sangat bahagia mendengar ceritaku.
“Subhanallah...
putraku Rafaël, rupanya Allah menjadikanmu salah satu dari orang-orang
terpilih untuk mendapat hidayahNya.” Sungguh aku
semakin tidak mengerti dengan pernyataan
bibiku.
Akhirnya
bibiku mengajak aku ke sebuah tempat dimana orang-orangnya
menyambutku dengan terbuka. Mereka menyambutku
dengan ramah meskipun aku bukan golongan dari
mereka, sehingga aku merasa nyaman berada disekitar mereka.
Diantara
mereka aku bertemu dengan seorang pria, dia orang baik di antara orang-orang
baik yang berada di lingkungan itu. Namanya Haekal
El Syahidan, seorang mahasiswa di Perguruan
Tinggi dekat tempat itu.
Aku
bertanya padanya tentang sikap orang-orang di sini yang berbeda dengan di
lingkungan yang dahulu. Haekal mengatakan, “Karena
kami ingin seperti yang dicontohkan idola
kami.”
“Idola
kalian? Siapa? Seorang pelatih sepak bola yang hebat, penulis, politikus, aktor
?
ataukah presiden kalian?” Haekal malah menggeleng
setiap kali aku menyebut tokoh masyarakat.
“Rasulullah
SAW, Kekasih Allah, Rasul kami, Pemimpin Kami, Pejuang kami, dan
tauladan ummat muslimin di seluruh dunia. Aku malah
semakin penasaran pada pernyataan Haekal,
lebih penasaran daripada mimpi dan pernyataan Bibi Sarah. Seperti Apa Rasulullah?
Haekal
memberiku sebuah buku biografi “Muhammad” dalam bahasa Inggris. Aku
baru tahu ternyata itu Muhammad yang menjadi bahan
ejekan di Eropa beberapa waktu silam karena
karikaturnya yang dibuat oleh orang Denmark itu.
Membaca
namanya saja membuatku penasaran pada orang itu. Berabad-abad yang
lalu dia hidup, kenapa dia masih berpengaruh kuat
kepada umat muslimin hingga zaman sekarang.
Aku membaca lembar demi lembar hingga selesai, sehingga terjawab sudah semua
rasa penasaranku. Satu kalimat yang keluar dari
mulutku saat itu, “Beliau adalah orang yang
sangat sempurna.” Belum pernah aku temukan sebelumnya seseorang yang dapat
menjadi Pemimpin, Prajurit Perang, Bisnisman,
Suami, dan Ayah. Beliau memerankan semua itu
dengan baik. Saat itu aku mengatakan pada Bibi Sarah ingin memeluk Islam dan
menjadi pengikut “Manusia Sempurna” itu.
Kamis
malam Bibi Sarah dan Paman Ali membawaku kembali ke tempat itu, mereka
menyebutnya “Pesantren”. Di Masjid itu, di hadapan
banyak orang yang mendengarkan ceramah
pemilik pesantren itu. Pemilik pesantren yang mereka panggil “Kyai” itu menuntunku mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai salah
satu syarat memeluk Islam. Dalam beberapa
saat aku telah menjadi seorang Muslim.
Saat
itu aku tak tahu apa yang mendorongku untuk segera menelepon Sandrine dan
memutuskan hubunganku dengannya. Padahal saat itu
aku dan dia tengah menyusun rencana
pertunangan kami. Aku tahu saat itu Sandrine Shock berat, terlebih aku memutuskannya melalui telepon. Aku tahu tindakanku sangat
pengecut!
Bibi
Sarah menyarankan untuk mempelajari Islam lebih dalam di Pesantren itu.
Akhirnya aku belajar privat Islam di sana melalui
program “Santri Privat”. Santri adalah julukan
untuk para siswa yang belajar di Pesantren itu. Lucu bukan?
Aku
semakin akrab dengan Haekal, dia mengajarkanku banyak hal dan aku bahagia
bisa berteman dengannya. Seringkali Haekal
mengajakku pergi mengunjungi keluarganya di sana.
Sama halnya seperti Haekal keluarganya menyambutku dengan ramah.
Namun
keakrabanku dengan Haekal, tak pernah membuatku membocorkan siapa
diriku yang sebenarnya, bahwa aku adalah “Rafaël
Alvarez.” Seorang pesepakbola muda dari klub
terkenal di Inggris. Dengan kacamata lensa netral yang menyerupai kacamata
minus itu sudah cukup bagiku untuk menutupi
identitas asliku di depan semua orang. Aku hanya
ingin mereka menganggapku sebagai orang biasa bukan selebritis olahraga.
“Aku
sungguh terkejut ketika membaca ini. Ternyata beliau memang seorang
pesepakbola yang dielu-elukan oleh pecinta
sepakbola di Dunia. Aku pernah mengatakan padanya
bahwa dia mirip Rafaël Alvarez. Dia hanya tersenyum dan mengatakan ‘Aku memang Rafaël’. Dan beliau tak pernah mengatakan padaku
nama belakangnya.” Ujar Haekal
ditengah-tengah ceritanya.
***
Halaman
selanjutnya :
Faiyaz
Basel Aidan
(Sebuah
awal yang baru dimulai dari nama baru) Sedikit perubahan dalam diaryku menggambarkan perubahan
besar dalam hidupku. Paman Ali menyarankan
aku untuk mengganti namaku dengan nama Islami dan demi kenyamanan aku tinggal di sini. Akhirnya muncul nama
“Faiyaz Basel Aidan”. Nama Faiyaz adalah
nama yang diusulkan oleh Haekal yang berarti “Artistik”, itu karena aku menyukai hal-hal yang berbau seni, namun aku sendiri
tidak bisa melakukan apapun yang berbau
seni. Basel adalah nama yang diusulkan oleh Bibi Sarah, alasan Bibi memilih
nama itu tentunya karena aku terlahir di
kota Basel, Swiss. Selain itu Basel mengandung arti “Berani” itu hanya sebagai ungkapan rasa terimakasih Bibi
Sarah karena aku telah berani mengambil
keputusan menjadi seorang muslim. Nama terakhir Aidan, tentunya diberikan
oleh Paman Ali. Aidan yang berarti “Cerdas”
hanyalah sebuah harapan Paman Ali agar aku menjadi
cendekiawan muslim. Kadang hal itu membuatku geli, tapi apapun yang diberikan
mereka itu adalah bukti kasih sayang mereka padaku
dan aku senang menerimanya.
Sesekali
aku menghapus air mataku. Kerinduan padanya menyeruak dalam hatiku
bagai udara di musim dingin yang menghembus dan
membekukan hatiku. Beribu penyesalan menambah
rumit suasana hatiku.
“Apa
aku harus melanjutkan malam ini?” tanya Haekal. Aku melirik jam dinding
yang menunjukkan jam setengah sembilan malam.
“Tentu,
aku pikir masih terlalu sore untuk tidur.”
“Baiklah.”
Haekal membuka lembaran baru.
“Tunggu!”seruku.
“Ada
apa?” Haekal memandangku heran.
“Apa
yang kakak lakukan pada buku itu?.” Tunjukku pada kalimat-kalimat berwarna
biru oleh Stabilo.
“Aku
menandai segala sesuatu yang hanya berhubungan denganmu dan
kemuallafannya. Selebihnya hanya tentang
kariernya.”
“Hm...Baiklah,
bisa kakak lanjutkan lagi?”
Suatu
ketika Haekal mengajakku pergi ke rumah sahabat baiknya, Fadli. Tak perlu
kuceritakan lagi, mereka pun ramah padaku, maksudku
dia dan istrinya. Rupanya mereka adalah
pengantin baru. Kabar yang aku dengar dari Haekal mereka baru menikah dua
bulan yang lalu.
Rumah
mereka sangat kecil, namun sangat menyenangkan berada di dalamnya. Aku
dan dia pun dalam sekejap langsung akrab. Mudah
bagiku untuk mengajaknya mengobrol, karena
Fadli sangat menyukai sepakbola.
Sebenarnya
aku tidak suka dengan kebiasaan lamaku ini, setiap kali datang kerumah orang
lain yang baru aku kunjungi. Mataku selalu menyapu seluruh isi ruangan,
lebih lagi rumah Fadli sangatlah unik, menarik
perhatianku. Pandanganku terhenti saat aku melihat
sebuah foto keluarga dihari pernikahannya. Kupandangi setiap orang di foto itu
dari tempat dudukku. Aku sungguh terkejut bukan
main, saat kutemukan seorang gadis dengan
tunik merah jambu. Gadis itu! Dia gadis dengan gaun putih yang mendoakanku
dalam mimpi.
“Siapa
dia?” tunjukku langsung.
Fadli
menoleh.
“Dia
Saila! Adik iparku. Adik kandung Wafa.” Jawab Fadli.
Aku
menghapus air mataku yang sulit aku bendung lagi.
Jantungku berdegup kencang saat Fadli menyebut namanya. Dorongan apa yang membuatku akhirnya bertanya, “Apa dia sudah punya pacar?”
Jantungku berdegup kencang saat Fadli menyebut namanya. Dorongan apa yang membuatku akhirnya bertanya, “Apa dia sudah punya pacar?”
Fadli
malah menertawakanku dan menjawab, “Bagaimana mungkin dia pacaran?
Dia tak akan melakukan itu. Jika dia melakukannya
maka dia akan berurusan dengan aku dan
Wafa.” Ujar Fadli terkekeh. “Meskipun ketika duduk di bangku SMA, dia pernah
melakukannya. Tapi itu karena dia belum paham
saja.” Bisik Fadli padaku.
“Apa
kalian mengancamnya untuk tidak pacaran lagi?”
“Tidak
juga! Karena sekarang dia sudah paham bahwa Islam melarang pacaran. Jadi
dia tidak akan pacaran lagi, tapi langsung menikah
dengan pria yang berani melamarnya.” Fadli
menjadi salah seorang yang membuatku menambah rasa penasaran. Ternyata selalu ada hal baru dalam Islam yang membuatku penasaran.
“Benarkah?
Tak ada pacaran dalam Islam?” ku ungkapkan rasa penasaran itu pada
Haekal, namun dia tidak menjawab pertanyaanku.
Dia
malah memberiku sebuah buku tentang pergaulan laki-laki dan perempuan dalam bahasa
Indonesia. Karena saat itu kosakata dalam
bahasa Indonesiaku sangat minim, dan aku tidak mungkin meminta Bibi Sarah untuk menjelaskan isi buku itu. Aku memutuskan
untuk belajar privat bahasa Indonesia, juga
untuk menunjang pembelajaranku di Pesantren.
Setelah
kosakataku bertambah, aku mulai membaca isi buku itu. Sungguh
mencengangkan. Semuanya sangat berbeda dengan apa
yang aku lakukan di Eropa dengan Sandrine.
Jangankan untuk menyentuh gadis yang bukan keluarga (mereka mengatakannya
“bukan Mahram”) untuk memandangnya pun tidak boleh,
hanya dibolehkan melihat satu kali saja.
Aku
semakin kagum pada Islam, semua hukumnya diatur sedemikian detail untuk
umatnya. Hingga tata cara menuju pernikahan dan
bagaimana cara melamar seorang wanita pun
ada. Tidak hanya itu, ada tata cara makan yang lebih sehat dan bersih dari
table manner yang biasa kami lakukan di Eropa. Jika
aku dulu berpikir makan hanya menggunakan
tangan itu jorok, dan makan dengan menggunakan sendok itu bersih. Justru
malah terbalik. Makan menggunakan tangan itu lebih
bersih. Tidak percaya?
Coba
bayangkan berapa orang yang menggunakan dan
memasukkan sendok itu kedalam mulutnya.
Sedangkan tangan? Bukankah tangan kita hanya masuk kedalam mulut kita sendiri? Jadi, makan dengan tangan itu lebih bersih dan
sehat bukan? Selain itu pada jari kita, yaitu
ibu jari, telunjuk dan jari tengah kita terdapat enzim yang bermanfaat untuk
pencernaan kita. Subhanallah, Islam memang agama
yang mengerti kebutuhan manusia pada
umumnya. Aku semakin bangga menjadi seorang Muslim.
Waktu
telah memasuki bulan Juli akhir saat itu. Itu berarti waktu libur musim
panasku akan segera berakhir dan aku harus segera
kembali ke Inggris juga meninggalkan Indonesia,
berat sekali rasanya. Sebelum pergi Haekal membekaliku dengan buku-buku tentang Islam untuk aku pelajari di sana.
Beberapa
bulan telah berjalan, aku semakin merindukan Indonesia. Wajah gadis itu
pun selalu terbayang dalam benakku. Seringkali aku
bertanya “Apa dia sedang menonton pertandinganku
di televisi?” karena aku dengar dari Fadli, gadis itu menyukai sepakbola
juga dan menyebut aku sebagai salah seorang
idolanya.
Akhirnya
aku memutuskan sebuah keputusan baru. Malam itu aku meminta Paman
Ali untuk melamarkan gadis itu pada keluarganya
sesuai ketentuan Islam yang aku baca dalam
buku yang Haekal beri. Keputusan itu membuat Paman Ali dan bibi Sarah terkejut,
heran sekaligus bahagia juga.
“Benarkah
dia gadis yang ada dalam mimpimu itu, Aidan?” hanya itu pertanyaan
dari Bibi Sarah.
Dengan
yakin aku menjawab “Benar, bi.”
Aku
bersyukur pada Allah, semua prosesnya sangatlah mudah. Keluarganya
langsung menyetujui lamaran Paman Ali untukku.
Sebulan setelah itu aku langsung terbang ke
Indonesia untuk mengkhitbahnya, atau yang kukenal dengan bertunangan. Padahal
saat itu aku masih memiliki beberapa
pertandingan yang terpaksa aku tinggalkan. Bagiku tidak ada yang lebih penting dari bertunangan dengannya.
Aku
tak percaya jika saat pertamakali bertemu dengannya adalah saat aku
bertunangan dengannya. Sedikit aneh namun sangat
indah. Dia terlihat begitu polos. Kepolosannya
menambah keanggunannya di balik gaun biru muda yang membalut tubuhnya. Tangannya begitu kuat mencengkram tangan kakak
perempuannya saat Bibi Sarah menyematkan
cincin di jari manis kirinya.
Haekal
menutup bukunya. Lalu memandang kedua mataku yang telah lebam oleh air
mata. Dihapusnya air mataku dengan jari-jarinya.
“Kamu
tahu, Aidan sangat beruntung. Dia lebih cepat dua minggu dariku untuk
melamar dan mengkhitbahmu.”
Aku
terkejut, ”Kakak? Hendak melamarku juga?”
“Aku
hendak melamarmu melalui Fadli. Saat itu kau tahu apa yang dikatakan oleh
Fadli?”
Aku
menggeleng.
“Fadli
mengatakan ‘Antum terlambat Haekal, antum tahu, sahabat antum yang muallaf
itu telah mengkhitbahnya dua minggu yang lalu.’”
‘“Aidan?’
tanyaku pada Fadli dan Fadli mengiyakan.”
“Tapi
sekarang kan, kakak sudah memilikiku.”
Haekal
mengangkat bahunya. “Sudah malam kita akan melanjutkanya besok. Besok
kita sama-sama libur, jadi kita bisa memulainya
kapanpun kau mau.”
“Aku
setuju.”
***
Siang
itu kami baru saja selesai menyantap makan siang. Ketika seseorang mengetuk
pintu rumah kami. Haekal beranjak dari tempat
duduknya untuk membukakan pintu sedangkan
aku sendiri masih sibuk di dapur untuk membereskan sisa makan siang kami. Ah...
itu pasti kawan-kawan Haekal yang sudah berjanji
akan bersilaturahmi ke rumah kami, pikirku.
“Saila!
Kemarilah... ada yang mencarimu.” Panggil Haekal. Aku berhenti bekerja.
Sejenak aku berpikir, aku tak pernah membuat janji
dengan siapapun hari ini.
“Saila!”
Haekal kembali memanggilku.
“Ya,
aku datang.” Aku segera melepaskan celemek yang aku gunakan dan
menggantungkannya di paku yang tertancap di dinding
dapur. Ah... paling itu Rahma yang mau
mengajakku kerja kelompok.
“Siapa?”
tanyaku. Aku berjalan dari dapur menuju ruang tamu. “Apa itu Rahma?”
Haekal tak menjawab pertanyaanku. Sesampainya di
ruang tamu, aku melihat Haekal tengah
memandang tamuku yang masih berdiri di depan pintu tanpa mengizinkan tamuku itu
masuk.
“Kenapa
tak disuruh masuk, kak?”
“Silahkan
masuk.” Ujar Haekal terbata-bata.
Dua
tamuku melangkah masuk, seorang laki-laki dan seorang perempuan berjilbab.
Aku tercengang begitu sadar, mereka adalah Paman
Ali dan Bibi Sarah. Butiran bening menghalangi
pandanganku, memburamkan wajah mereka. Serta merta aku berlari menghambur pada keduanya dan kupeluk Bibi Sarah dengan
erat. Tangisku meledak dalam pelukkannya.
Ingin rasanya aku mengatakan betapa aku merindukan mereka, betapa aku hancur dengan kepergian Aidan. Namun lidahku terlalu kaku
untuk merangkai kata-kata. Hanya isak
tangisku yang mewarnai pertemuan itu. Bibi Sarah membelai kepalaku dengan
lembut.
Bibi
Sarah melepaskan pelukannya dan dihapusnya airmataku dengan jari-jarinya
yang lentik. Kini aku dapat memandang wajahnya yang
cantik seperti boneka porselen itu dengan
jelas.
“Sudahlah
Saila. Tak ada yang perlu kau tangisi lagi.” Ujarnya.
“Aku
merasa menjadi orang bodoh. Aku merasa menjadi orang pengecut.” Ucapku
kesal, menyesali betapa aku tidak dapat mengungkap
bukti-bukti bahwa benar Aidan adalah kehidupan
nyataku.
“Sampai
kapan kau akan mencaci dirimu. Semuanya telah terjadi! Semua itu takkan
pernah mengembalikan keadaan.” Ucap Bibi Sarah.
“Tapi
aku tak mengerti. Mengapa saat aku datang ke rumah Bibi, aku tak dapat
menemukan kalian disana?”
“Setelah
kepergian Aidan, kami memutuskan pindah ke Barcelona untuk merawat
kakakku, Nicole. Nicole sangat depresi mendengar
berita kematian Aidan, sakitnya bertambah
parah dan Ernest membawa Carlota ke Bern.” Jelas Bibi Sarah.
“Ernest?
Siapa beliau?”
“Ernest
itu Ayah Aidan, Saila! Apa Aidan tidak pernah menceritakan tentang ayahnya
padamu?”
Aku
menggeleng
“Saat
ini Ernest bekerja di Bern. Pekerjaan dia mengharuskannya berpindah-pindah,
kau mungkin tahu kenapa Aidan lahir di Basel?
Karena berpindah-pindah itu juga menjadi salah
satu penyebab perceraian mereka. Hari ini dia ditempatkan di Bern, kemarin dia
ditempatkan di Strasbourg setelah itu di Valencia
sebelum dia dipindahkan ke Bern dan mungkin
besok dia ditempatkan di Frankfurt, begitulah dia akan berpindah dari satu kota
ke kota lainnya di berbagai Negara di Eropa.
Biasanya dia hanya menetap lima bulan di setiap kotanya.”
“Lantas
kenapa beliau harus membawa Carlota?”
“Berita
kematian Aidan menjadi alasan baginya untuk membawa Carlota. Dengan
memanfaatkan sakitnya Nicole, dia tahu bahwa hanya
dia yang berhak menjamin kehidupan Carlota.
Tanpa anak-anaknya Nicole merasa tidak mempunyai alasan untuk hidup lagi. Dia
semakin depresi saat Ernest membawa Carlota pergi.”
Hatiku
merasa perih mendengar penuturan Bibi Sarah. Jika saat itu Aidan menuruti
permintaanku untuk meninggalkan Eropa, maka hal
seperti inilah yang akan terjadi pada Ny. Nicole.
Aku merasa bersalah, aku terlalu egois.
“Mama...”desisku
memanggilnya. “Kau masih mempunyai aku. Putrimu...” air mata
kembali menderai membasahi pipiku. Haekal
mendekatiku dan merangkul bahuku.
“Saila.
Maafkan kami, sebenarnya kami telah datang di hari pernikahanmu. Namun
kami tidak mampu untuk menghampirimu, apalagi
mengucapkan ‘Selamat’ padamu. Kami merasa
telah kehilanganmu.”
“Tidak...
tidak. Jangan pernah berkata begitu. Meskipun saya telah menikahinya, tapi
Saila tetap milik anda juga. Putri Anda berdua dan
Ny. Nicole.” Ucap Haekal.
“Benar.
Kalian tetap keluargaku.” Tambahku.
“Saila.
Sekarang kami sudah siap untuk mengucapkan ‘Selamat’. Semoga pernikahan
kalian barakah dan dikaruniai keturunan yang sholeh
dan sholehah. Malam nanti kami harus kembali
ke Spanyol.” Jelas Paman Ali.
“Kenapa
kalian harus pergi secepat ini?” ratapku.
“Maafkan
kami. Kami mendapat kabar saat ini keadaan Nicole sudah lebih baik.”
“Baiklah.
Syukurlah, jika Mama sudah lebih baik. Sampaikan salam sayang dan
rinduku pada beliau. Ingin rasanya kembali
memeluknya, tapi aku tak tahu kapan aku bisa kesana.”
“Insya
Allah...” ucap Paman Ali. “Kami pamit sekarang.” tambahnya.
Aku
kembali memeluk Bibi Sarah
dengan erat, air mata kembali mewarnai perpisahan kami. Aku menatap kepergian mereka dengan kesedihan dan
kerinduan yang membuncah.
Ku
tatap Audi A3 hitam itu semakin menjauhi rumahku dan hilang dari pandanganku.
Tiba-tiba
rasa sakit menggerogoti perutku lebih dahsyat dari sebelumnya, seolah
ribuan pisau mengoyaknya. Ku gigit bibir bawahku
mencoba menahan rasa sakit itu, tubuhku terhempas
pada dinding di sebelahku. Aku mengerang kesakitan.
“Masya
Allah... ada apa Saila?” aku menangkap segurat wajah panik Haekal.
Semuanya
menjadi buram, dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.
Ketika
aku terbangun aku tak merasakan lagi rasa sakit yang mencabik itu, aku
mendapati Haekal tertidur, kepalanya ditopang oleh
kedua lengannya yang ditumpuk menyilang di
atas ranjangku. Ternyata aku tengah terbaring kembali di rumah sakit. Jam
menunjukkan pukul tiga pagi. Haekal tampak
kelelahan, aku tak tega untuk membangunkannya.
Tapi dia tidak akan suka jika aku tidak membangunkannya untuk qiyamullail.
“Kak...”
panggilku, aku belai kepalanya. “Kak sudah jam tiga. Sudah waktunya sholat
tahajud.” Bisikku. Haekal bergeming, kepalanya
terangkat, lalu mengucek kedua matanya dan
mengenakan kacamatanya yang ia letakkan di atas meja disampingku.
“Bagaimana
sekarang, sudah lebih baik?”
“Sebenarnya
kenapa dengan perutku?”
“Tidak
apa-apa.” Jawabnya. Aku menatap kedua matanya tajam, bertanda aku tidak
puas dengan jawabannya. Dia menatapku ragu.
“Katakanlah.”
Desakku.
“Ada
sedikit infeksi dalam rahimmu.”
“Lantas?
Mereka akan mengangkat rahimku.”
“Tidak
separah itu. Kamu hanya butuh pengobatan dan terapi rutin.”
“Apa
infeksi itu akibat dari keguguran yang pernah aku alami?”
Haekal mengangguk, “Penyebabnya dari mekanisme saat mengeluarkan janin.”
Aku
menghela nafas berat, seberat saat aku mengingat kecelakaan itu terjadi. Aku
menggigit bibir bawahku untuk menahan sakit. Bukan
sakit di perutku namun luka di dadaku yang
telah siap menganga kembali.
Haekal
beranjak dari tempat duduknya mengecup dahiku dalam-dalam sebelum dia ke
kamar mandi untuk berwudlu. Haekal mendirikan sholat
tahajud sendirian, sedangkan aku kembali
tidur, hingga adzan shubuh Haekal membangunkanku untuk sholat berjamaah,
tentunya aku mendirikan sholat diatas ranjangku.
Selesai
sholat Haekal membuka mushaf al qur’annya untuk mengulang kembali
hafalannya. Surat Al Mulk mulai mengalir dari
bibirnya dengan merdu. Disusul dengan surat Al
Qalam, Al Haqqah dan surat-surat setelahnya di juz 29. Hingga matahari terbit,
dan cahayanya menembus tirai jendela
kamarku. Haekal mengakhiri hafalannya di surat Al Mursalat. Dia beranjak dari tempat duduknya dan membuka
tirai, sehingga cahaya sang surya dengan
leluasa menerangi seisi ruangan.
Haekal
mendekatiku dengan buku harian Aidan ditangannya. “Kamu ingin aku
membacakannya lagi untukmu?” tanyanya. Aku
mengangguk sumringah.
Dibukanya
buku itu dengan perlahan.
Aku
telah melangkah sejauh ini, aku sendiri tak percaya. Hari ini aku telah
menikahi seorang
gadis Indonesia yang telah merasuk ke dalam hatiku lewat mimpi itu. Aku ingin
membina keluarga sakinah, mawwadah dan warahmah
seperti yang tergambar dalam buku-buku yang
aku baca dan tentunya seperti Paman Ali dan Bibi Sarah yang kulihat selalu
damai.
Malam
ini aku berdua dengan gadis itu. Seringkali dia menatapku penuh curiga dan
perasaan takut. Kadangkala bola matanya bergerak
cepat saat aku mendekatinya. Gadis yang
kukira tegar itu ternyata terlihat sangat rapuh. Aku menemukan hal yang berbeda
dalam dirinya, sungguh dia sangat berbeda dari
gadis-gadis Eropa pada umumnya. Dia begitu
polos, hingga dia memintaku keluar kamar saat dia hendak mengganti pakaiannya.
Tak ada pilihan selain mengikuti keinginannya. Aku
keluar kamar untuk mengganti bajuku dengan
piyama yang telah disiapkan Ibunya untukku seraya membawa segelas susu hangat
yang diberikan Fadli untuk kami. Awalnya aku tak
mengerti kenapa Fadli memberikannya padaku.
Lalu aku teringat cerita tentang malam pertama Rasulullah dengan Aisyah. Saat
itu Rasulullah dan Aisyah meminum susu dari gelas
yang sama. Sungguh sangat romantis. Saat aku
kembali ke kamar aku sungguh terkejut melihat Saila. Sekarang aku yakin bahwa gadis yang kini menjadi istriku itu benar-benar
gadis yang sangat polos dan masih kekanak-kanakan.
Apa kau tahu yang diperbuatnya? Dia mengenakkan piyama bergambar film animasi Jepang yang sudah lusuh dengan sebuah kerudung
yang membalut kepalanya.
Dia
tampak terkejut melihatku masuk kamar, bola matanya bergerak cepat dan dia
tampak ketakutan. Ya Allah...
apa keputusan menikahinya adalah sebuah kesalahan? Apa aku telah menyakitinya dengan pernikahan ini? Terlintas dalam
benakku untuk menceraikannya agar dia dapat
kembali bebas dariku, namun aku pernah mendengar bahwa cerai adalah perbuatan halal yang paling Allah benci. Itulah salah
satu nasehat yang kudengar dari Paman Ali
saat aku memutuskan untuk menikahinya. Beliau mengingatkanku agar benar-benar
serius dengan rencanaku, bersiap untuk berkomitmen
dan jangan pernah sekali-sekali berpikir
untuk bercerai, kecuali jika memang keadaannya tidak dapat diperbaiki lagi.
Aku
mencoba bersikap wajar padanya, mencoba untuk tidak melukiskan rasa
terkejutku. Aku meletakkan gelas berisi susu itu di
meja riasnya, lalu aku duduk di tempat tidur
sedangkan dia duduk disudut lain tempat tidur. Tidak ada pilihan lain lagi, aku
mulai mengajaknya mengobrol berusaha
mencairkan suasana yang sangat beku, padahal saat itu musim panas. Aku khawatir dia tidak akan bahagia menikah
denganku maka saat itu kuucapkan “Saila, ku
harap kau bahagia menikah denganku...” aku menatap matanya sungguh mata yang sangat indah. Aku ungkapkan rasa
kagumku padanya. Aku tak peduli jika dia
hanya menganggapnya sebagai rayuan picisan.
Aku
mulai menceritakan tentang diriku dan keluargaku, sejujurnya aku tak pernah
ingin mengekspos kemalanganku di hadapannya, tapi
Paman berpesan sebuah pasangan harus saling
terbuka. Keadaan mulai mencair, aku memintanya untuk membuka jilbabnya untukku, suaminya yang sudah halal baginya. Dia terkejut
mendengar permintaanku, dengan ragu dia
membuka jilbabnya. Rambutnya yang lurus mulai tergerai hanya sebahu, dia membereskannya dengan jemarinya yang lentik. Ku
pasangkan kalung mahar dariku. Ia tampak
semakin cantik dengan kalung itu, bahkan aku berani bertaruh batu safir yang
tersemat pada liontin itu kalah cantik darinya. Aku
mendekatinya dan kuraih rambutnya, halus dan
lembut. Aku menyentuh pipinya yang kemerah-merahan menahan malu, memandangi kedua matanya yang telah menghipnotisku dalam
cinta. Namun kemesraan itu harus berakhir
saat adikku menelepon dan mengabarkan Mama kembali jatuh sakit. Aku sungguh telah jatuh cinta padanya, kerapuhan dan
kepolosannya membuatku semakin mencintainya,
dan selalu membuatku ingin melindunginya, melindunginya bahkan dari diriku sendiri, aku tak pernah ingin melukainya, walau
dia hanya meneteskan satu tetes air matanya
aku takkan pernah rela.
Kami
harus menjalani pernikahan ini dengan jarak jauh. Dia harus melanjutkan
kuliahnya di Indonesia, sedangkan aku harus
melanjutkan kuliahku dan bekerja di Inggris. Suatu kali aku mendengarnya menangis saat aku
meneleponnya, ternyata dia sudah pindah dari
rumah saudara lelakinya ke sebuah asrama untuk menuntut ilmu agama di pesantren
dimana aku belajar Islam dulu. Dia mengatakan dia
tak kerasan tinggal di asrama, dia tak mampu
untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Saat itu aku ingin sekali berada di
sampingnya, menghiburnya dan mengatakan bahwa
sesungguhnya dia tidak sendiri, melainkan
ada Allah yang selalu menjaganya. Namun aku sadar, aku tidak mungkin melakukan itu, aku hanya bisa menemaninya lewat telepon.
Setiap hari sepulang latihan, aku selalu
meneleponnya, yang aku tahu di sana telah larut malam. Aku berusaha menghibur dan menemaninya dengan caraku sendiri, aku
hanya tak ingin dia sedih dan merasa
sendiri. Aku tak ingin lagi mendengarnya menangis.
Aku
melirik jam dinding dihadapanku. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh
menit.
“Kakak
tidak pergi ke kantor?” seruku.
“Aku
sudah izin untuk menjagamu hari ini dan mungkin juga besok.” Ujar Haekal.
Aku
tahu dari awal pernikahan aku dengannya. Saila tak pernah mencintaiku dia
hanya mencoba patuh pada orang tuanya. Namun kini
Allah telah membalikan hatinya, dan aku
sangat senang. Musim dingin itu aku mengalami kecelakaan saat bertanding, kaki
kananku patah, tapi kecelakaan itu membawa berkah
bagiku. Saila sangat panik saat mendengar
aku kecelakaan, dari situ aku dapat menyimpulkan dia kini mencintaiku, seperti
aku mencintainya.
Dia
merawatku dengan telaten, mengobati lukaku, membantuku bertayamum,
memasakkan makanan, membangunkan aku untuk sholat
dan apapun yang bisa dia lakukan untukku.
Dia merawatku hingga aku pulih lebih cepat dari prediksi dokter, terakhir dia
memberikan yang terbaik untukku sebelum aku kembali
ke Inggris, satu hal yang membuatku
benar-benar menjadi seorang suami. Satu hal yang aku nanti-nanti nyaris sepuluh bulan lamanya, meskipun aku bisa saja sedari awal
memaksakan diriku agar ia memenuhi
kewajibannya sebagai seorang istri, tapi sungguh aku tak ingin membuat ia
terpaksa. Dan aku tak pernah menyangka bahwa hal
itu adalah akhir dari kebahagiaan kami.
Aku
difitnah, dan dia termakan fitnah itu. Fitnah itu berawal dari sebuah pesta
pertunangan teman kerjaku, Pablo. Aku datang ke
pesta itu seorang diri, ya… meskipun jauh dalam
lubuk hatiku aku ingin pergi bersama Saila, aku ingin sekali mengenalkan dan
membanggakannya di depan teman-temanku, tapi itu sangat
tidak mungkin. Setelah memberikan ucapan
selamat pada temanku, aku memilih duduk sendiri di sofa, aku teringat Saila, tiba-tiba aku mengkhawatirkannya. Sehingga aku tak
sadar Sandrine telah ada disampingku,
rupanya Pablo juga mengundangnya. Sandrine menyapaku, dan aku menjawab sapaannya, hanya itu! Lalu aku kembali bergabung
dengan teman-teman kerjaku yang lain. Aku
tak pernah menyangka ternyata ada seorang paparazzi yang mengintai kami dan memanfaatkan momen itu. Hingga akhirnya
menimbulkan pertengkaran yang besar diantara
aku dan Saila. Dan aku melanggar janjiku sendiri untuk melindunginya dari
apapun yang dapat melukai hatinya, bahkan aku pun
tak mampu melindunginya dari amarahku
sendiri. Aku telah memukulnya tepat diwajahnya, karena emosi yang tak bisa
aku bendung lagi. Maafkan aku Saila...
Aku
berusaha untuk menjelaskan fitnah itu dan berusaha meminta maaf padanya.
Tapi dia tidak memberiku kesempatan kedua kecuali
jika aku bersedia meninggalkan Eropa dan
karirku, sebuah pilihan yang sangat sulit bagiku. Pikiran buruk mulai
merasukiku, aku pikir Saila benar-benar
membenciku sekarang. Cinta di hatinya untukku tak tersisa lagi.
Aku
menyesal, ternyata usahaku untuk mendapatkan maaf darinya justru
menimbulkan tragedi baru. Ketika aku berharap
mendapat maaf dan damai, yang terjadi justru
sebuah pertengkaran yang lebih besar dari sebelumnya di antara kami. Akibat
dari pertengkaran itu dia jatuh dari tangga
di gedung fakultasnya oleh tanganku sendiri, celakanya beberapa menit sebelum kecelakaan itu, keluar kata-kata
dari mulutnya yang membuatku tercengang
sekaligus bahagia, dia mengatakan bahwa dia tengah mengandung buah hati kami. Namun semuanya telah terjadi, kecelakaan
itu telah merenggut bayi kami dan nyaris
merenggut nyawanya, tubuhnya terkulai lesu dipangkuanku dengan darah yang
bersimbah menodai pakaiannya. Aku membawanya ke
rumah sakit dengan bantuan Dylan, dosennya
yang berasal dari Perancis.
Aku
menyesal dengan kejadian ini, berhari-hari setelah kecelakaan itu dia hanya
tertidur sepanjang hari di ranjang rumah sakit. Dia
tak pernah mau membuka matanya, hingga aku
merasa frustasi melihat keadaannya terbaring begitu lemah. Aku tak mampu
melekukan apapun untuknya, yang bisa aku lakukan
hanya berdo’a agar dia segera sadar dan
kembali pulih, serta membacakan ayat al Qur’an di telinganya, setiap kali aku
menatap wajahnya yang pucat. Terdengar
bibirnya berdesis memanggil namaku. Pikiran buruk yang sempat terlintas di benakku sirna. Dia masih memanggil
namaku, masih ada cinta di hatinya untukku,
dia tidak membenciku, dia hanya marah dan dia membutuhkan aku di sisinya. Aku berhenti membacakan ayat suci itu untuk
menjawab panggilannya dan kubelai kepalanya,
ternyata dia masih menutup matanya, dia menginggau. Lantas dia menanyakan
bayi yang dikandungnya, tak ada yang bisa kukatakan
selain “Dia baik-baik saja” jawabku. Bayi
itu telah jauh lebih baik kembali kepada pemilikNya.
Tak
berapa lama keluarganya datang, ayahnya tampak begitu marah padaku. Aku
memang pantas untuk mendapatkan semua itu. Ayahnya
meminta hal yang sama padaku, yaitu
meninggalkan karirku atau meninggalkan putrinya, sungguh pilihan yang sangat
berat.
Lantas
aku pergi dari rumah sakit, bukan untuk mengambil keputusan bahwa aku
akan meninggalkan Saila. Tidak! Bukan itu, aku akan
pulang ke Spanyol untuk menemui Papa yang
kudengar saat itu beliau tengah ditempatkan di Valencia sebelum masa kontrak
kerjanya habis dan dipindahkan ke Bern. Aku akan
meminta Papa kembali pada Mama, aku yakin
Mama akan bahagia, karena beliau pernah mengatakan padaku bahwa beliau masih
mencintai Papa dan menyesal telah meminta untuk
diceraikan, tapi egonya terlalu tinggi untuk
mengatakan “Ernest, aku masih mencintaimu.” Aku akan meminta Papa untuk memaafkan Mama, meskipun aku harus menggadaikan harga
diriku, meskipun aku harus berlutut di
hadapannya, meskipun aku tahu Papa akan menghinaku. Aku tak peduli! Aku hanya ingin Mama pulih, Carlota mendapatkan kembali figur
seorang ayah yang sebenarnya, bukan dariku
dan aku bisa hidup bersama Saila di Indonesia menebus semua luka yang aku torehkan di hatinya. Aku yakin Saila akan
sangat terpukul, jika dia tahu dia telah
kehilangan bayinya saat dia terbangun nanti.
“Aku
harus pergi untuk beberapa saat. Tapi aku akan kembali untuk menjemputmu.
Tunggulah aku disini. Jangan pernah pergi kemanapun
sampai aku datang.” Bisikku ditelinganya
sebelum pergi. Tentu bukan maksudku agar dia tetap berada di rumah sakit,
tapi yang aku maksud adalah agar hatinya tak pernah
pergi dariku dan tak pernah berpaling
dariku. Aku mencintaimu Saila karena Allah...
Haekal
menutup bukunya, “Selesai.” Ujarnya.
Aku
merasa luka dihatiku semakin membengkak, aku meringis menahan rasa sakit itu.
Sebenarnya aku sangat beruntung memilikinya.
Penyesalan mengisi semua sudut hatiku.
Haekal
kembali menghapus air mataku.
“Saila
izinkan aku meneruskan keinginan Aidan untuk mengobati luka dihatimu.”
Aku
hanya diam. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya.
“Aku
tahu, aku tak mungkin menggantikan Aidan dihatimu, tapi izinkan aku
menempati hatimu walau hanya sebesar zarrah pun.”
Haekal
mengulurkan tangannya dihadapanku. Aku menatap tangannya
“Aku
tak akan menyesal jika kau bisa seperti laki-laki lainnya yang hidup normal
tanpa penggemar dan paparazzi.”
Sebuah
ungkapan bahwa aku telah menyesal menikah dengan seorang selebritis
seperti Aidan kembali mengiang di kepalaku.
Kematiannya seolah sebuah teguran dari Allah, atas kekufuranku akan nikmatNya dan Allah sungguh telah
menggantinya dengan seorang suami dari
kalangan biasa yang terbebas dari gangguan paparazi seperti yang aku harapkan.
Semoga kini aku bisa mensyukurinya, supaya Allah
tidak mengambilnya lagi.
Aku
menyambutnya dan kugenggam tangannya. “Tentu, karena kau suamiku dan aku
mencintaimu karena Allah. Aku tak ingin kehilangan
anugerahNya untuk kedua kalinya karena aku kufur
akan nikmatNya.” Ujarku seraya menatapnya haru. Haekal tersenyum senang.
***
Matahari
senja tampak anggun di ufuk barat sana. Cahaya keemasannya membias
pada dedaunan, memantul pada air, dan menerpa
wajahku. Aku berdiri menantang cahaya itu, melawan
angin yang menerpa wajahku, menghembus jilbabku. Ku hirup ia dalam-dalam,
mengisi seluruh sudut paru-paruku. Menyejukkan. Ku
pejamkan mataku lama. Menikmati semua
keanggunan alam yang tersaji sore itu.
Aidan,
mengenalmu adalah karunia yang terindah. Menjadi bagian dari hidupmu
adalah permata yang tak ternilai. Aku tak menyesali
apa yang terjadi padaku. Tidak lagi. Betapa
hatimu seluas samudera, betapa bersabarnya engkau melunakkan keegoisanku.
Mengenalmu, mengajarkan aku memahami keluargaku.
Cinta mereka. Cinta ayahku, meski ia
mengungkapnya dengan cara yang salah. Percayalah ia tak pernah menbencimu, ia
hanya berupaya melindungi putrinya agar tidak
menangis seperti yang sering ia lakukan padaku
saat aku kecil. Utamanya, kau mengajariku cinta padaNya. Arti bersyukur padanya. Kau pula yang mengajariku untuk hidup, hidup
sebagaimana mestinya. Bagaimana aku harus
menerima kenyataan pahit dan menegaskan bahwa tak selamanya hidup itu semanis permen cokelat. Melaluimu, aku tumbuh
dewasa, meredam jiwa kekanak-kanakanku.
Dewasa
untuk siap menghadapi kemungkinan di hari esok. Semoga engkau
mendapatkan tempat terbaik di sana, semoga Allah
mempersatukan engkau dengan bayi kita di
sana.
Aku
membuka mataku. Ku raih bunga dandelion yang tergeletak di dekat kakiku. Aku
meniupnya hingga kelopaknya bertebaran di udara. Ku
langkahkan kaki meninggalkan taman ini.
Taman yang menjadi pilihan aku dan Aidan biasa bercengkrama.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar