Menurutku,
mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan
tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan
sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi,
pemikiran seperti itulah yang kini sudah
tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan
mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu
karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku,
kadar
kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan
tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya
memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi
berhenti sejenak tapi itu tidak lama.
Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi
terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang
terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang
yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda
mengenai macet itu sendiri.
Ada
yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak
dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah
justru menyalahi pengguna jalan dan
kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab
dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu
hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita
berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak
akan menyelesaikan masalah. Malah justru
Bisa membuat masalah baru pada diri kita
yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada
siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua
keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa
memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan
keuntungan yang kedua, kita akan awet muda
jika kita selalu berpikiran positif pada
segala hal, termasuk kemacetan.
Yang
pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya
Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa
mendapatkan seorang pemimpin yang
benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya
dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil
dan bijak.
Bumiwiyata
sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai
di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat
yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan
celananya yang semata kaki dan dagunya yang
berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari
Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak
yang datang namun tak sedikit pula yang keluar.
Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat
jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17
lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah.
Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di
menit ke 25. Tak ada jawaban.
”Telepon
yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat
lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah
jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator
telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar
gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat
aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah
bisa aku lupa, menghampiriku sambil
tersenyum.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam”
Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan
kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya.
Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya
aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita
belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana
mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.
”Oh,
syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau
tak akan mengenaliku”
”Tenang
saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut
acara ini?”
”Iya.
Kamu sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin
sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian
untuk bertemu disini”
”Oh
begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil
tersenyum.
”Oh
iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil
sesuatu dari tasnya.
”Ini”
Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini
undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya.
Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu.
Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah
dengan Guntur Maulana.
”Selamat
ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau
begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang
bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya
sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya
Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam
tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas
Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak
lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang
dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya
Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya.
Aku melihatnya tepat ketika dia melihat
kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum.
Yusufnya kemana ukh?” Tanyanya padaku.
Aku
menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya
bareng?”
Aku
menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku
kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
”Tadi
sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau
pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia
nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang
Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi
pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi
tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi
deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang
dari rumah Mas Bambang dia mau langsung
kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak
tahu juga sih”
Aku
terdiam sejenak.
”Randi!!
Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan
yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama
Randi.
”Afwan.
Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam”
Sahutku.
Pikiranku
semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah
menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya
terjadi?
Mengapa
Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat
lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi
pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam
tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari
hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku
menunggunya disini, pasti aku sudah masuk
kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat
ini aku sudah berada di dalam tanpa harus
berdiri disini ditemani hujan yang turun
semakin deras.
Langit
sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan
kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak
menunaikan
shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah
shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai
reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang
membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih.
Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali.
Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk
mengiriminya pesan yang isinya,
‘Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu
disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk
kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.’
Kukirim
segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah
selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak
lama kemudian satu pesan aku terima. Dari
Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
‘Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji.
Afwan’
Tiba-tiba
air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku
berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik
tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini
masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga
aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya
terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat
jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang
pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum
melihat kedatangannya.
”Maaf
ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu
kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya
tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi,
jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru
yang lain mengajak aku untuk menjenguknya.
Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu
dia sampai di hadapanku.
dia sampai di hadapanku.
Aku
memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab
sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku
memang marah dan kesal padanya, tapi aku
juga tidak mau dia tahu kalau aku marah
padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil
berucap, ”Iya”
”Maksudnya?”
Tanyanya tidak mengerti.
”Coba
kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan.
Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari
jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah
lelah.
Dia
terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai.
Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku
teringat Alifa yang memberikan undangan
pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya
dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih”
Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
”Apa
ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan
pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
”Mungkin
inilah yang terbaik”
Aku
hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku
berkata,
”Sebaiknya
kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih
baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah”
Sahutnya.
Motor
yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami
hanya diam sambil mengintrospeksi diri
masing-masing. Adakah surga yang tadi aku
impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah
surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami
rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
Hanya
kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan
segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a
dalam diamku.
*
* *
Hari
pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi
kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku
menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada
pihak penerbit, aku langsung membeli kado
pernikahan untuk Alifa.
Mas
Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan
nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk
sederhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan
beberapa motor lainnya yang sudah terparkir
lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami
di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk
kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman
penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri
kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena
hari ini dia sudah resmi menjadi seorang
istri, bahagia karena hari ini adalah hari
pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya,
saling mencintai.
Tapi
Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada
seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia
bersanding dengan orang lain. Dia adalah
suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang
sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih,
aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir,
’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan
lelaki yang bernama Guntur itu’. Astaghfirullah!!
Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali
kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman
rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu.
Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh
hijab.
hijab.
Aku
bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan
erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti
yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah
ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran
ya?” Ucapnya.
Aku
mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun
padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami
beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk
berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa
dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur.
Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya
tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah
berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku
mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf
mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah
menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan
isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan.
Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun
menurutinya.
Sebelum
pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa
dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan
buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas
Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah
berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami
masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa
yang terlihat begitu bahagia.
*
* *
Tiga
bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku
kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku
bangga-banggakan selama ini ternyata
berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat
beragama, rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an,
serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa
membohongiku?
membohongiku?
Aku
tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam
acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata,
diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan
yang datang pada acara itu, kedua mataku
menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah
lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku.
Aku
melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap
dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan
’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera
itu dengan penuh semangat dan ghirah yang
selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah
swt menampakkannya di penglihatanku di tengah
kerumunan orang-orang itu.
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia
membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku
bahwa orang yang aku lihat itu bukan
suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi
wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia
memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas
Yusufku.
Melihat
hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak
pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau
Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf
menjadi salah satu pengibar bendera
Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah
terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
Dengan
gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu.
Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku
lelah dan ingin mencari minum pelepas
dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah
menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan
bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan/akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.
bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan/akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.
Kuselonjorkan
kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah
mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat.
Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati
sebotol air mineral yang tadi aku beli
sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai
wajahku.
Diwaktu
yang sama, kulihat Nadia juga
melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus
kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai
lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua
mataku basah dengan air mata. Aku teringat
kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong
padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku
sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin
bersu’udzan padanya. Tapi.....
Seketika
air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku
segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat
Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu
melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia
menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah
shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah
rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar.
Ketika
waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali
bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin
sekali tertawa tapi tidak bisa.
Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik
pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita
Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa
berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya
padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng
dan menjawab,
”Nggak.
Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”
Lalu
Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung
somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku
menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi
tidak habis. Nadia membayarnya dan aku pun
memberikan uang sepuluh ribuan padanya.
Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami
naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di
Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang
beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya,
atau topi dan pin yang mereka kenakan.
Memang, semangat saudara-saudara kita di
Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah
Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah
pada rakyat Palestina. Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada
masanya.
Dan
aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya.
Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat
Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian
kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu
kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap
mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi
jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan,
kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka
itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu
beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan
ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
Dari
jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat
yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang
dengan beberapa teman akhwatnya sesama
aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat
tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah
berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke
pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku
mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa
padanya. Dengan langkah yang pasti, aku
mengajak Nadia untuk menghampirinya.
”Assalamu’alaikum”
Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam”
Sahutnya bersama dengan beberapa
temannya.
”Afwan,
ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?”
Tanyaku
sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang
kumaksud.
”Oh,
iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti
istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya.
Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia
pergi dengan suaminya ya?”
Wajah
ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada
apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.
”Ehm...
keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik”
Jawabnya
dengan nada sedih.
”Memang
dia kenapa?”
Ririn
mulai menjelaskan.
”Seminggu
setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya
mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat
yang bersamaan, kereta datang melintas dan
Guntur....” Ririn memutus perkataannya.
Aku
hanya bisa diam sambil miris
mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.
”Lalu
keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan
terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di
rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima
kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya
semakin parah. Dia tidak mau makan dan
minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus
memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan
pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
Aku
diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana
Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana
Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk
beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia
bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan
padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan
padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi
impian Mas Yusuf.
*
* *
Tanpa
terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah
datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri
masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk
dengan selamat. Di sekeliling kami hampir
semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak
bahwa kami habis melakukan aksi munasoroh Palestine
di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orangorang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai
dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.
Biasanya
sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat
baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali
bangkit merencanakan hari esok. Tapi
sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat
itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang
Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak
berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap
Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit
merajut hari-hari barunya.
Menuju
stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku
gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat
kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih
pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku
mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk.
Beberapa menit kemudian datang kehadapanku
seorang perempuan tua yang mengais rezeki
dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di
pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
Dia
menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah
dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan
uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada
ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat
menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun
mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran
melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu
rupiah. Dia lantas
menanyakan perihal tersebut padaku.
menanyakan perihal tersebut padaku.
”Kamu
memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya
dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang
hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata
terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa
menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?”
Tanyaku balik padanya.
Nadia
mengangguk.
”Menurutku
itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada.
Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya
bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah
Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu
hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja
pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih
berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi
lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini
pada orang-orang yang memang pantas untuk
menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya
mengemis, tapi juga secara tidak langsung
dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai
kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia. Nadia mengangguk lagi.
Sesaat
lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang
berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik
membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet
banyak penumpang yang turun, namun hanya
sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi
agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya
berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku menangkap
jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas
mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
Beberapa
menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba
terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan
oleh seorang laki-laki.
”Hei!
Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah
tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu
kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau
dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu
diri!” Bentak salah seorang dari
penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata
yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang
berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang
tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan
tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang
tadi menadahkan tangannya
padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.
padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.
Orang
yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusapusap
bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan
temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada
ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah.
Dengan setali tiga uang, orang yang satunya
lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei!
Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku
berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan
tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja!
Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih
tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua
penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu
tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh
tak tega melihat dua orang itu menghina ibu
tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa?
Semua orang yang ada dalam kereta tidak
berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di
musnahkan.
Setelah
kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan
kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan
untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia
tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!”
Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku.
Sebenarnya
aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya
dilakukan oleh setiap muslim yang melihat
kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu
mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur,
pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah
swt.
swt.
”Tidak
sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian
ini pasti seorang yang berpendidikan bukan?
Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini
dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak
patut keluar dari mulut kalian
sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
”Apa
maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang
dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja
berwarna biru tua.
”Apa
kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau
kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian
pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang.
Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua
renta ini tanpa sebuah rasa tak tega
sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga
diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang
mengkilap itu?”
”Hei!
Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau
tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang
mengenakan kemeja merah marun yang bertanya
padaku.
”Apakah
kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang
kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari
sesuap nasi dengan membersihkan gerbong
kereta ini? Kemana hati nurani kalian
tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah
yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya,
apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus
marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya?
Hah?!”
Dua
lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan.
Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa
sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian
yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa
yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan
yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan
lalu dia yang membersihkannya, apa kita
tidak malu? Sebagai seorang yang
berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian
menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan?
Coba
kalian pikir, kata-kata yang
kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di
wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat
perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk
mengganjal perutnya hari ini, dia sampai
rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah
satu diantara kalian. Dia telah berjasa
membersihkan tempat ini agar kita nyaman
berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan
padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk
mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah
ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang
kini hanya bisa diam mematung sambil menatap
wajahku dan ibu tua yang kini ada di
sampingku. Aku yakin semua orang tengah
memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.
”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”
”Hei,
jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau
kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya
kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama
muslim. Rasulullah bersabda, ‘Belum sempurna
iman seseorang dari kalian hingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai
saudara kalian sesama muslim sehingga kalian
benar-benar bisa merasakan manisnya
kesempurnaan iman itu.’ Saya yakin kalian
pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”
”Apa
maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang
bertanya.
”Allah
berfirman dalam Qur’anNya, ‘Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan
dan dosa yang nyata.’ Saya harap, kalian
bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok
kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang
diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka
yang mengolok-olok. Mohon
diingat akan hal itu.
diingat akan hal itu.
Saya
hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan
yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat
yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan
hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana
kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan
kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa
menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian
telan mentah-mentah
bersama hinaan-hinaan kaliantadi.
bersama hinaan-hinaan kaliantadi.
Harusnya
kalian bersyukur karena
Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah
mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong
kalian buang kesombongan kalian itu. Allah
bisa marah karena pakaianNya kalian pakai.
Kesombongan adalah dosa besar yang
menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah
bersabda, ‘Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka’.
bersabda, ‘Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka’.
Jadi
sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh
kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian
saat ini membuat kalian gelap mata dan
akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka
jahannam yang tengah menanti orang- orang
yang sombong.
Saya
melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina.
Sepatutnyalah
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan,
kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan,
kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”
Dua
lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut
wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal.
Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka
mengaku sangat menyesal dengan tindakannya
terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan
terima kasih padaku, mereka
menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
Ibu
tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum
padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik
tersenyum padanya dan terdengar tepukan
tangan yang diiringi dengan pekikan takbir
dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya
adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh
Palestine di Monas.
Palestine di Monas.
*
* *
Tepat
di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku
kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang
mengucapkan selamat padaku. Nadia
menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku.
Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku
mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu
bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan
sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini
hatiku masih berdegup kencang.
Di
stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya
mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya.
Kereta terus melaju dan terus membawaku
beserta orang-orang yang ada dalam kereta
menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain.
Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar
lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai
aku pun turun. Aku keluar satsiun dan
menghentikan angkot berwarna
coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah
kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami
hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas,
pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan
aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di
rumah sakit karena
suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah
istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar.
Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri
memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan
malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia
belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah
dingin. Sebenarnya
aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat
jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan
untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin
sekali menangis. Menangis dengan
sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis
dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan.
Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan
semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar
perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi
lebih tenang. Hanya buku harianku yang
selama ini selalu menemaniku melewati
hari-hari yang baru aku jalani bersama
Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa
mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun
mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia
sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak
mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa
kunci rumah yang satu
lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku
kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur.
Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata,
tiba-tiba terdengar suara pintu rumah
dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar
dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih
memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya.
Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut
kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku
yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan
hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi,
sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja
makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin
menjadi istri yang baik dan berbakti pada
suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk
malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.
malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di
luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras
yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku
berdo’a,
”Ya
Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa
suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap
bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin”
*
* *
Sisa-sisa
hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta.
Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan
derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada
yang tergenang banjir. Aku lihat di berita
pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan
di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak
ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar
rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah
dan kembali duduk di depan komputer untuk
meneruskan tulisanku.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang
memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah
itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan
yang berarti. Hanya suara penyiar berita di
televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai
sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng
tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap
menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45.
Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah
shalat dhuha nanti.
Hujan
belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar
dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang
tengah membaca Koran di ruang tamu. Televisinya
dimatikan, mungkin karena takut tersambar
petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku.
Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum
Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon
dari pihak penerbit.
Aku
keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama,
aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku
untuk membuat ucapan terima kasih karena
novel ketigaku akan segera diterbitkan.
Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap
rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Ditengah derasnya hujan yang
belum juga berhenti, aku mendapatkan berita
yang menyejukkan hatiku.
Aku
kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku.
Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas
tempat tidur membelakangi diriku.
Kuposisikan diriku di depan layar komputer.
Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan
tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada
apa dari pihak penerbit menelepon?”
”Memberi
tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di
proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku
dari layar komputer.
Tiba-tiba
aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya
yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil
membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk
membuat susu hangat kemudian ku berikan
padanya.
”Nih
Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh”
Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya.
Dia
menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit.
Aku masih duduk di pinggir tempat tidur
sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya.
Apakah dia juga merasakan hal yang sama
sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit
tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku
tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak
dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di
kamar dan menutup semua gorden di jendela
kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang.
Apa yang hendak ia lakukan?
Dia
berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia
mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami
memadu kasih..... 3 minggu yang lalu.
Hatiku
kembali berdebar. Mataku
menatap penuh tajam ke arah matanya. Di
tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat
aku matikan. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.
aku matikan. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.
*
* *
Dua
hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku
memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit
Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku
beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun
dari angkot berwarna merah, aku langsung
masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju
lantai lima ruang melati.
Di
kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah
duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis
yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu
adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia
membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku
memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan
pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium
tangannya sambil berkata.
”Ibu,
saya Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh..
iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk
Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak
sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran
kecil air mata. Mungkin dia habis menangis.
Entahlah.
Sejurus
kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak
berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat
dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di
tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini
agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia
tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.
Setelah
menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak
lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
”Sejak
kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.
”Sejak
keadaannya semakin parah Nak. Ya... sekitar dua
minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan,
minum, shalat, bicara juga masih bisa
sedikit-sedikit. Tapi makin kesini,
kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan kata-katanya.
Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat
lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
”Sabar
ya Bu?” Ucapku padanya.
Bu
Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air
matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus
kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja
menyusup ke dalam sukmaku. Aku begitu sedih
melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat
lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang
dokter cantik yang datang untuk memeriksakan
keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa.
Dokter itu bersama dua orang perawatnya.
Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu
lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa
denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi
hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan
di meja
dorongnya.
dorongnya.
Dokter
Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil.
Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang
menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa.
Cairannya sudah hampir habis dan dia
menyuruh suster yang tidak mengenakan
kerudung untuk mengganti cairan infus yang sudah
habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah
memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana
dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter
cantik itu menggeleng.
”Belum
ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan
tindakan” Jawab dokter itu tenang.
”Tindakan
apa dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan
untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan
belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami.
Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah
bukan?
Masa-masa
itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin
baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stress
kemudian sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya
yang lemah, batinnya juga sangat terguncang
tatkala dia harus menerima kenyataan pahit
bahwa suaminya yang baru seminggu
dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat
kritis” Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu
bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu
Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.
”Kandungan?
Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?”
”Iya”
Sahut dokter melisa.
”Usia
kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin
yang ada dalam kandungannya tidak mengalami
penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus
seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau
usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka
dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama
pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama
pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku
hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu
Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter
Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan
kami. Aku teringat ucapan dokter Melisa
barusan,
”Tapi
kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa
menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan
lama. Maka dari itu, harus ada yang mau
berpura-pura atau mungkin ada seorang
laki-laki yang berkenan menikahinya dan
bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami
pertamanya yang meninggal”
pertamanya yang meninggal”
Aku
juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus
terngiang dalam ingatanku.
”Sehingga
Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang
dari seorang suami yang memang seharusnya ia
dapatkan sejak pertama pernikahannya”
Alifa
memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu,
tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya.
Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras
sekali dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir
setahun aku menikah namun sampai detik ini
aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari
seorang suami.
Bu
Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
”Nak
Dinda”
”Eh...Ya
Bu?” Sahutku.
”Kenapa
melamun?”
Aku
menggeleng.
”Tidak
Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya
Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya
melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa
lekas sembuh”
”Terima
kasih ya Nak?’ Ucap Bu Ratih.
Aku
mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum
pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa
yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap
padanya,
”Aku
akan membantumu, Alifa. Insya Allah”
Setelah
berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang
dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
”Yang
tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya
pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu.
Insya Allah. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumusslam.
Terima kasih ya Nak Dinda?”
Aku
tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift.
Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot
merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku
mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa
membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana
yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.
*
* *
Setelah
sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia masih mengajar di
sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian
mandi dan shalat maghrib. Selesai itu aku
sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu menyusup ke dalam dada.
Kemana
Mas Yusuf sampai
petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau
pun sms.
Kusudahi
tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih
ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu
kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung
dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku
hubungi dia dan yang menjawab hanya suara
operator telepon seluler.
”Maaf,
nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif.
Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan
setelah nada berikut....”
Aku
coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk
mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya
sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan
langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku
tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya
aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka
cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak
mempunyai nomor telepon teman-temannya
kecuali Mas Bambang. Ya, aku akan coba
menghubungi Mas Bambang dan
kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
”Halo...”
Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku
menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya
perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus
memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak
tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia
tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang,
dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah
mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku,
mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa?
Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui
kondisi Alifa sekarang dan dia pergi
menjenguknya?
Ah!
Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja
yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya
aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh
ini yang sudah seharian beraktivitas.
*
* *
Pukul
satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang
teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari
tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku
menuju ke dapur. Setelah minum untuk
menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar.
Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung
sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil
menatap photo pernikahanku yang dipajang di
meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku
menangis. Entah apa yang membuatku menangis.
Aku ingin shalat tahajud.
Setelah
mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk
keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu
aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an
beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya
dengan shalat witir tiga rakaat.
Kulepas
mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku
berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka
sedikit gorden yang menutupinya. Di luar
gelap. Jalanan hanya di terangi dengan
beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah
warga.
Ku
putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu.
Ingatanku
ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk
melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira
surat cinta ternyata surat yang amat
menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap
Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Aku
melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan
tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku.
Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder
yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya
terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat,
kaset itu pernah aku gunakan untuk
mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.
mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.
Kuurungkan
niatku untuk menulis di buku harian dan aku
putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder
itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku
selama ini tentang hatiku, tentang Mas
Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape
recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.
“Tuhanku,
Hanya
Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya
Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku
sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat
ini.
Tuhanku,
Aku
sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan
dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah
aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa
kasih sayang dan perhatian dari seorang
suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan
dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi,
Sungguh
aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat
menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak
sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku?
Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku
padanya selama ini? Apakah ada yang tak
diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah
cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya.
Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau
membukakan pintu hatinya untukku?
Malam
ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan airmataku untuknya yang sekarang entah
berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk
tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah
tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku
berniat menghilangkan dia dari ingatanku.
Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya
Allah,
Aku
sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala
perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman.
Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku
ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya
ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak
di sisiMu. Aku mohon.
Ya
Allah,
Selama
aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai.
Aku mohon, bantulah aku memperbaiki
semuanya. Bantulah aku membahagiakan
dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan
untukku.
Sekiranya
Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada
hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama
bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah
hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu
membawa suamiku pergi pada bunga yang lain.
Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi
suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku
hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku
tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang
ada dalam kandungannya butuh seorang ayah.
Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan
segenap hati dan jiwa, aku bersedia.”
Seusai
merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di
dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku
kembali tidur dengan perasaan yang masih
gundah memikirkan Mas Yusuf.
*
* *
Pagi
hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00,
pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru saja
keluar dari kamar mandi langsung melangkah
ke ruang tamu.
”Dari
mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang ternyata
adalah Mas Yusuf.
Dia
hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi.
Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke
kamar. Aku mengikutinya.
”Mas,
kamu dari mana aku tanya?”
”Sudahlah!”
Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
”Kamu
selalu mau tahu saja urusanku”
Aku
benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf
yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih
terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
”Yang
pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak
mungkin aku lakukan”
”Ya
aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk tenang.
”Lagi
pula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu
selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman. Aku
hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam
sampai tidak pulang? Tidak kasih kabar atau
pun sms. Aku telepon handphone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa
telah kau baca?”
Lagi-lagi
dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
”Lalu
kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan
dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan
keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak
mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini
istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak
pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu
adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan
kenapa tidak membalas sms ku?”
Mas
Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan raguragu.
”Aku...
aku habis dari rumah Bule Rinta...”
”Bule
Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya.
”Ada
apa dengan Bule Rinta?”
”Kemarin,
dirumahnya ada acara.... selametan anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Selametan?
Dirumah Bule Rinta ada selametan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar