“Kamu jangan
gitu dong Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan. Harusnya bosku
yang bertemu dengan klien di sana. Tapi tadi bos mendadak tidak bisa dan dia
mau aku yang menggantikannya. Dia cuma percaya sama aku buat menggantikannya
mengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami. Mungkin selama hampir
dua bulanan. Aku sudah telpon Ibu. Aku minta tolong beliau agar menjagamu
selama aku keluar kota.”
“Lagian gak
lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu di rumah. Kalian bisa
sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan tanpa harus
diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”
Tapi bukankah
saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa selama dua bulan ke
depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani ibu tapi akan tetap sepi
tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya seperti ini?
Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh orang lain.
Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak berdaya
jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan. Meskipun
hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.
Akhirnya
kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi. Mulai besok pagi
Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti akan sangat
merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan selama ini
memang tak pernah membosankan.
Mungkin akan
jadi membosankan jika tanpa dia.
***
Pagi-pagi sekali
Idan berangkat dijemput temannya.
“Jaga diri
kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali” Idan berpamitan padaku sambil
mengecup keningku.
“Hati-hati di
jalan” jawabku pendek.
Aku berusaha
bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak pesan yang ingin
kusampaikan padanya: jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga kesehatan,
jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang lain,
cepetan balik dan banyak lagi.
Namun semua
terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat mengkhawatirkannya namun aku tak
kuasa menyampaikannya karena aku takut ketegaranku di depannya akan runtuh
seketika ketika aku berbicara lebih banyak dan tangisku tumpah. Aku jadi agak
cengeng akhir-akhir ini.
“Jangan
khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkan dirimu. Dan anak kita
tentunya” Idan seperti bisa membaca gundah di benakku.
Aku mengangguk.
Idan
meninggalkan rumah dengan tetap menatapku. Kekhawatiran yang sangat mendalam
dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap tersenyum mengantarkan kepergiannya.
“Cepat balik!!”
Hanya kata itu
yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh di sela-sela senduku yang
tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.
Tangisku tumpah
saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk rumah dan membenamkan
wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu cengeng sekarang.
Dulu di
awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan aku nyaris
tak peduli. Apa semua karena cinta?
Beberapa saat
kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar menyambut Ibu.
“Kamu habis
nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan terjadi.
“Enggak. Cuma
kelilipan tadi” sanggahku.
“Sudahlah, Idan
kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Tak akan lama. Kan ada Ibu yang menemani
sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohongaku.
Aku Cuma
tersenyum. Kujawab dalam hati, Iya Bu memang tidak sendiri karena Ibu temani.
Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan di sisi.
***
Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.
Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.
Saat jadi
sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-lelucon konyolnya bila
aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan dia jadi
sasaran tinju dariku.
Tiap hari Idan
telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku baik-baik saja,
bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku lupa minum susu
ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab pendek-pendek
saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja. Aku sudah
senang.
Tanpa Idan yang
setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas melakukan apa saja.
Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa waktu ini
mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bahwa bersama Idan akan lain rasanya.
Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.
“Ayolah Pit
makan. Ibu sudah capek-capek membuatkanmu bubur ayam masak gak disentuh
sedikitpun?”
“Belum laper”
jawabku sekenanya.
“Tapi nanti
kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit! Pikirkan
anakmu!” Ibu mulai menceramahiku.
“Aku maunya
disuapi sama Idan”
“Apa? Idan kan
masih di luar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat hanya buat
nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”
Aku diam saja.
Ibu kembali ke dapur sambil ngomel.
Beberapa saat
kemudian datang lagi sambil bilang alau Idan telpon.
“Halo Pit?”
Suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.
“Ya?” jawabku
pendek.
“Udah makan?
Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit lho”
“Aku belum
lapar. Nanti aja kalau sudah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang”
“Hah? Jangan
main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik? Sabar dong Pit
pangeranmu ini akan segera datang hehe”
Kali ini sama
sekali tak lucu. Ya tak lucu.
***
Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.
Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.
Paginya aku
mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelpon dokter. Setengah tak sadarkan
diri samar-samar kudengar ibu juga menelpon keluarga di rumah buat minta
bantuan segera.
Rasanya
kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat di perut
bagian bawahku. Sesuatu yang panas membasahi rok dan sprei tempatku terbaring.
Dan selanjutnya gelap…
***
Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
“Ibu?”
pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa disini.
Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… ya Tuhan! Nyeri di perut
bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan kandunganku?
“Ibu?” sekali
lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.
“Upit?
Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah siuman, beliau
langsung berucap syukur dan memelukku.
“Dimana Idan bu?
Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi langsung kutanyakan apa yang
masih mengganjal dalam benakku saat ini.
“Idan masih
dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”
“Bagaimana
dengan kandunganku Bu?” Sekali lagi ku ulang pertanyaanku. Namun ibu hanya
tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Jangan-jangan?
Tapi aku tidak
mau berpikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan Idan bilang
kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku membelakangi
Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk mengalihkan
pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin Idan
menemaniku sekarang. Secepatnya!
Tiba-tiba pintu
dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-gesa mengabarkan
kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan sehingga tidak bisa
datang cepat.
Kubalikkan
badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata tidak menyadari jika
aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia lontarkan di
depan ibuku. Aku berusaha tegar di depan ibu dan hanya bisa menitikkan air mata
dan menangis kecewa di dalam hati…
Sementara ibu
dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba. Ibu menghampiriku dan menenangkanku.
Aku berharap jadi tenang tapi justru malah membuatku semakin merasakan
kekecewaanku.
***
***
Tadinya aku
sudah merasa lega karena terbagun dari mimpi burukku dan kembali ke dunia nyata
namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di dunia nyata. Setelah
kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat kecewa, kabar buruk lain
datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan oleh ibu.
Kandunganku..
kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan kandunganku dikuret karena
kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat yang entah karena apa. Aku
masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati masa-masa kritisku dan
siuman dari koma berhari-hari.
Aku benar-benar
merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan yang tidak bersamaku,
yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika aku sangat
membutuhkannya. Suami macam apa dia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada
istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan kandunganku. Kandungan
pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.
Terpuruk. Ya
itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah.. Upit! Apa yang terjadi padamu?
Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu jadi seperti ini
sekarang?
Yang jelas aku
sangat kecewa saat ini!
Idan baru datang
hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan jauhnya. Tapi aku
tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah padanya. Dan
apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu sudah
memberitahunya.
“Maafin aku
Pit.” Idan datang menghampiri tempatku berbaring dan menggenggam tanganku.
Kuhempaskan
tangannya dan kubalikan badanku membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi
untuk saat ini aku sedang tidak igin melihat wajahnya.
“Maafin aku Pit.
Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah cerita semuanya dan aku
juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu saat ini. Yang menimpa
anak kita juga..”
Aku tetap
bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku tidak tahu seperti apa
ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang tampang sok memelas
seperti biasanya ketika meminta maaf.
“Ayolah Pit, jangan
begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali Pit. Aku rindu sekali
padamu Pit.”
Kata-kata
terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus dihukum Dan.
Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku padamu.
Aku ingin
menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit selama seminggu
dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja kali ini aku
tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu. Terbukti
sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali ini aku
hanya ingin mendiamkannya.
Tapi reaksinya
ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu dan ikut-ikutan
diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejar lagi? Kok tidak
berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan jelas dia
yang salah? Payah!
Awas nanti! Ini
akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya mengertak saja.
Sesaat kemudian
Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu pun mengajak Idan
keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma bilang:
Sabaaarrr…
Tapi, eh kok
Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku gak peduli. Dia
juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa mengandung anak
kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh pergi. Egois!
***
Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.
Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.
Diperjalanan
pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak bicara dengan kami.
Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang berbicara denganku.
Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami bertiga. Aku tetap
bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam saja di tempatnya
menyetir mobil.
Sampai di rumah
aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu berpamitan pulang
karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan katanya. Ini berarti
tidak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karea aku memang
tidak ingin bicara padanya.
“Ibu pulang dulu
ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan udah pulang tuh.”
Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya mengangguk.
“Dan kamu Dan,
ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”
“Iya bu.” Jawab
Idan
"Yaudah.
Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu dari tadi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumusalam..”
Setelah mengucap
salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras sementara Idan masuk
sendiri ke rumah.
***
Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.
Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.
Aku mendiamkan
Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha mendekatiku pun tidak.
Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa dengan sikapku? Sama
kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-jangan dia kecewa karena aku
gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan anak kami?
Apalagi Idan
makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini tak ada
interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan
berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak
tidur sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.
Ah berbagai
dugaan yang kupikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari. Jangan-jangan Idan
sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di infotainment.
Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka salah satu
akan melampiaskannya dengan menggaet pasangan idaman lain? Ah memikirkan itu
saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.
Daripada
penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-jam siang
begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa penyembuhanku
saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara. Aku ingin
semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.
Aku pun
bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri. Jalanan kota siang
ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan stress. Langit
terlihat mendung dan akan turun hujan. Kelam dan kalut sekalut pikiranku
sekarang.
Sesampai di
kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya hanya sepintas
melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku sepert yang biasa dilakukan
terhadap tamu-tamu yang lain.
Mungkin karena
melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah hatiku dan rok
panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat perlakuan
khusus.
Masuk area
parkir ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku di lokai
terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.
Saat menuju
pintu utama kantor aku melewati sebuah kantin fastfood kantor itu. Kantin itu
terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian besar dinding kantin itu.
Saat lebih
dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk sendiri sambil
membaca sebuh buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Bergegas aku
mendatanginya.
Saat jarakku
dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku berhenti karena
kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda cantik menghampiri
Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat bercengkerama, tertawa-tawa
bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?
Aku hanya
mematung di luar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua.Saat itu juga
mendung di langit yang tadinya terbentang kokoh di angkasa akhirnya runtuh
juga. Membasahi bumi, membasahi hati dan menyamarkan air mataku yang tanpa
sadar setetes dua tetes menitik di pipi demi kekecewaanku saat ini. Kekecewaan
atas pengkhianatan yang terjadi di depan mataku sendiri.
Jelas sudah
sekarang semuanya. Jelas sudah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku akhir-akhir
ini. Seperti keyakinanku dulu semua lelaki memang brengsek. Tak terkecuali Idan
yang dulu aku anggap beda ternyata sama saja dengan yang lain.
Aku pun berlari
menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parkir mobil tadi. Aku tidak
menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service mengejarku untuk
menawariku payung. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu sekarang!
Begitu sampai di
mobil, cepat-cepat kunyalakan dan kusetir dengan terburu-buru. Di jalanan
kukebut mobilku biar segera sampai di rumah. Aku tidak mempedulikan
teriakan-teriakan pengendara-pengendara lain yang kusalip dengan ugal-ugalan.
Sesampai di
rumah kubuka pintu, kubanting tanpa menutupnya kembali. Saat sampai ruang
tengah dan kulihat foto pernikahan kami berdua, aku ambil dan kubanting sampai
hancur berkeping-keping. Setelah itu aku ke kamar dan membenamkan wajahku ke
bantal. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kebodohan, kenaifan dan
ketololanku selama ini.
***
Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan sudah pulang. Bersiaplah untuk perang besar Dan!
Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan sudah pulang. Bersiaplah untuk perang besar Dan!
Aku keluar dari
kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami nonton tivi. Aku duduk
di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.
Saat Idan sampai
di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto pernikahan kami yang
berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah berserakan di lantai.
“Apa-apaan ini?
Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?” tanyanya heran.
“Aku yang
menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya kamu menghancurkan
pernikahan kita Dan!” jawabku menantang.
Inilah kali
pertamaku berbicara lagi dengannya setelah sekian lama kami saling mendiamkan.
Entah aku dapat energy dari mana hingga aku kembali berminat untuk bertengkar
hebat dengannya.
“Apa maksudmu
aku menghancurkan pernikahan kita? Bukankah kamu yang mulai semua ini? Kamu
yang mulai mendiamkanku sehingga hubungan kita renggang selama ini?” jawab Idan
tidak terima dengan tuduhanku.
“Kamu pikir aku
mendiamkanmu itu tidak ada penyebabnya? Penyebabnya adalah kamu sendiri Dan!
Kamu egois! Mikirin diri sendiri!”
“Aku egois? Sisi
mana dari diriku yang egois? Apa kamu pikir kamu sendiri tidak egois? Aku dah
banyak mengalah buatmu Pit!”
“Memang biasanya
orang egois tidak menyadari keegoisannya sendiri Dan! Termasuk kamu! Kamu yang
meninggalkanku di saat aku butuh dirimu! Hingga pada akhirnya aku mengalami
keguguran karena stress itu juga gara-gara kamu!” aku sudah mulai kalap.
“Dan satu hal
lagi! jika dirimu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya pernikahan
kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”
“Apa maksud kamu
Pit? Jangan bicara sembarangan!” Idan mulai bingung.
“Kenapa kamu
harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman lain? Jangan kira
aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!”
“Aku…” Idan
seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Bisa
kujelaskan. Begini..”
“Udahlah Dan
semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi darimu. Semuanya dusta dan
aku sudah muak dengan semuanya.”
Aku
meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Aku ke kamar dan membereskan barang-barangku.
Aku mau pulang ke rumah ibu.
“Mau kemana
kamu?” Tanya Idan saat dia masuk kamar.
“Apa pedulimu
aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah ibu. Puas?”
“Kamu tidak
perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi.” Kata-kata Idan
lebih melunak kali ini.
Aku tidak
menghiraukan kata-kata terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan
meninggalkan rumah dengan mobilnya. Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel
dekat kantornya seperti dulu.
Meskipun Idan
sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin pulang ke rumah
ibu. Tidak hanya dua atau tiga hari. Mungkin dalam waktu yang agak lama. Atau
malah selamanya.
***
Ternyata Idan
sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah balik lagi ke rumah
kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.
Aku selalu
menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di telpon. Aku
masih sangat marah kepadanya.
Di rumah ibu
sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu menyarankanku
agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan ini itu.
Sampai pada
suatu ketika ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan saat aku masih di
rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa ibu lebih membela Idan daripada aku yang
anaknya sendiri.
“Ibu tidak habis
pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria yang sangat baik tapi
apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu malah selalu berburuk
sangka kepadanya?”
“Maksud Ibu?
Bukankah sudah Upit katakan alasan kenapa kami bertengkar?”
“Cuma karena
itu? Darimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita lain hanya dengan
melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?” Aku terdiam dengan pertanyaan ibu
itu.
“ Apa jika kamu
sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman seprofesimu yang laki-laki
lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh dengan laki-laki itu?”
“Ingat Pit, kita
para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita lebih mendahulukan
perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu secara
terburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih cenderung menggunakan
akal logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti wanita tidak butuh
menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan perasaannya. Harusnya
kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk saling melengkapi.
Dan itu bisa
terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan hubungan itu dengan
mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk sangka dan
mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling bebicara
baik-baik?”
Aku masih
terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna setiap kata
yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu besikap keras terhadap Idan?
Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois.
Siapa sekarang yang egois?
“Saat kamu sakit
dan dia datang mengunjungimu, kamu justru mengacuhkannya. Idan merasa sangat
sedih. Dia cerita ke ibu bahwa sebenarnya juga tidak ingin pergi keluar kota
saat itu. Namun jika tidak dia lakukan bukankah perusahaan tempatnya bekerja
bisa hancur kredibilitasnya? Dan saat itu memang hanya Idan yang dianggap mampu
menangani proyek itu.
Setiap hari dia
juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu meneleponmu setiap hari
hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa keceriaanmu seperti dulu.
Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya khawatir dengan rewel
seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri. Padahal kamu sedang
mengandung anak pertama kalian.
Jangan dipikir
bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi berkali-kali karena dia
sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti ibu agar menjagamu dengan
baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik, sudah minum vitamin dan
menjaga kesehatanmu.
Bahkan saat dia
mengalami kecelakaan di tempat kerjanya sehingga kakinya sampai pincang seperti
itu karena mengalami keretakan tulang, dia juga tidak memberitahumu karena dia
tidak ingin membuatmu khawatir dan bertambah stress. Dia mengalami
keterlambatan pulang karena itu Pit.”
Jadi kaki Idan
yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan betapa bodoh dan
egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa pincang seperti itu?
“Jadi jika saat
kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu salah Pit. Maaf bukan
maksud ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus menanggung kesalahan
itu.
Saat kalian
saling mendiamkan, Idan sering curhat ke Ibu kalau dia sangat tersiksa dengan
sikapmu. Di sisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu seperti
dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu
agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang
tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.
Kesampingkan
rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan pikiranmu tidak
dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu yakin Idan tidak
mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga sangat
mengenal Idan.
Selama puluhan
tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian baik-baik saja, saling
menerima kekurangan masing-masing dan saling mengerti. Kenapa justru saat
hubungan kalian semakin didekatkan oleh ikatan pernikahan, kalian malah semakin
tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit kesalahpahaman saja sudah
meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu baik-baik Pit. Sebelum
semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh.”
Idan kemarin
telpon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas kerja ke Taiwan.
Sebaiknya kamu telpon dia balik. Berbicaralah dengannya dari hati ke hati!”
Selepas
mengatakan itu ibu meninggalkanku sendiri di teras rumah. Dalam lamunan dan
kesendirianku itulah aku merenungi kata-kata Ibu barusan. Ibu belum pernah
menasehatiku seserius ini. Bahkan saat dulu menganjurkanku untuk segera
menikah.
Aku kembali
merenungkan apakah sikapku ke Idan akhir-khir ini terlalu berlebihan? Bagaimana
aku bisa sejahat ini? Bagaimana aku bisa menuduh Idan yang ternyata begitu
sayang padaku kalau dia selingkuh dengan wanita lain hanya karena dia makan
bareng dengan teman kerja wanitanya? Bukankah bisa saja waktu itu Idan memang
sendiri dan tiba-tiba temannya itu ikut nimbrung disana? Ah kenapa aku tidak
bisa berpikir lebih jernih pada waktu itu? Aku terlalu terburu-buru
menyimpulkan.
Tiba-tiba aku
merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik. Aku ingin minta
maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya kembali clear.
Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-kataku akan
benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih mengeluarkan isi
hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke hati.
Kutekan
tombol-tombol pesawat itu dengan nomer rumah kami. Sesaat nada sambung
terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak ada
jawaban juga.
Ya Tuhan! Apa
mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?
Aku harus ke
rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung bertandang ke rumah dengan
mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!
Setengah jam
kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju kendaraanku. Aku berharap
masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan permohonan maafku. Akan
kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di hadapannya nanti.
Sesampai di
rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa kunci serep. Kubuka
pintu dan di bawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan buatku. Kubuka
dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?
Ternyata Idan
sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke Taiwan dengan
pesawat nomer penerbangan ini?
Aku harus
mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi! Aduuuh kenapa
harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?
Beruntung
macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara. Aku sudah
berusaha secepat mungkin.
Ternyata
terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah beberapa jam yang
lalu.
Terlambat sudah.
Idan pergi dengan tetap membawa beban kegundahannya padaku. Dan aku tetap
disini dengan beban rasa bersalahku padanya.
***
Aku masih
mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard penunjuk
keberangkatan maskapai pesawat.
Di sela-sela
lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan bahwa pesawat
terakhir yang berangat ke Taiwan dengan nomer penerbangan sekian dikabarkan
mengalami kecelakaan.
DEG!
Jantungku serasa
berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?
Aku menjerit!
Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku
harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku
belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami
kembali baik?
Seperti berjalan
mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini.
Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang
sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.
Pandanganku
tiba-tiba mengabur dan gelap...
Ya Tuhan! Apa
mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?
Seperti berjalan
mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini.
Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang
sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.
Pandanganku
tiba-tiba mengabur dan gelap..
***
Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.
Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.
Nyata kah ini?!
Sambil menahan
tangis aku menelepon orang-orang rumah tentang kecelakaan itu. Aku berusaha
tegar saat megabarkannya meskipun dalam hati aku sangat ingin menjerit
sejadi-jadinya. Orang rumah kaget dan segera menuju bandara untuk menemuiku.
Saat mereka sampai, di bandara sudah banyak sekali wartawan yang ingin meliput
kejadian itu.
Ibu datang
sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar mungkin di depan
keluargaku. Mereka bertanya ini-itu namun aku enggan menjawab semuanya. Aku
belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu sekarang.
Kami menunggu
beberapa saat di bandara untuk menunggu kabar kepastian siapa saja korban
kecelakaan itu. Hidung dan telingaku mulai terasa panas. Mataku sudah mulai
pedih dan berkaca-kaca. Saat itulah aku mulai tidak tahan dan aku ijin untuk ke
kamar mandi sebentar. Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar di sana. Aku
ingin sendiri.
Air mataku
tumpah begitu aku berada di dalam kamar mandi. Aku berusaha membasuh mukaku
dengan air agar air mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia. Tangisku justru
semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh dilantai meratapi kebodohanku,
kenaifanku, keegoisanku,... dan Idan...
***
Aku sudah mulai
tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat cengeng di hadapan
keluargaku nanti. Jika kakak-kakanya Idan sudah menangis tersedu-sedu seperti
itu dan aku juga ikut-ikutan menangis,lantas siapa yang akan menghibur dan
menenangkan mereka nanti?
Saat berjalan
keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak mau kalau sampai
dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu keluarga korban.
Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan sama
terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan
jaketnya.
“Aduh maaf mas
gak sengaja.” Aku masih menunduk membersihkan bajuku yang basah oleh minuman
dingin itu.
“Upit?” Suara
itu memanggilku dan aku sangat mengenalinya!
“Idan!” kutatap
sosok yang berdiri tegap di hadapanku. Mimpikah diriku?
“Upit! Kamu
disini ngapain?” Idan menghampiriku dan memegang pipiku yang masih basah oleh
air mata.
“Kamu habis
nangis?”
Aku hanya
bergeming menatapnya saat itu.
Kami berdua
terpaku sesaat saling menatap penuh arti.
Sesaat kemudian
Idan merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung menubruknya dan
memeluknya erat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Aku hanya ingin
menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis kesyukuran bahwa aku
belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai masih bediri tegak dan
nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan mimpi.
***
Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua. Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak kuasa membendung keharuannya dengan mencubiti Idan. Gemes karena bikin khawatir satu keluarga besar.
Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua. Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak kuasa membendung keharuannya dengan mencubiti Idan. Gemes karena bikin khawatir satu keluarga besar.
Aku masih
penasaran bagaimana kejadiannya tadi bisa seperti itu. Dan saat kutanyakan hal
itu kepada Idan, dia menjawab polos,
“Sampai bandara
tadi aku tiba-tiba merasa sangat lapar. Aku baru sadar kalau tadi pagi belum
sempat sarapan jadi aku makan di kantin dulu. Dan karena sangat lapar aku makan
agak banyak jadi agak lama sampai tanpa sadar aku sudah terlambat masuk
pesawat. Akhirnya daripada terburu-buru sementara perutku baru aja penuh
isinya, maka aku berencana ikut pemberangkatan pesawat yang berikutnya saja.
Tiketnya gak masalah karena perusahaan yang nanggung.
“Hmm beberapa
hari ini nafsu makanku memang sangat berkurang sekali karena mikirin kamu. Aku
kangen sekali sama kamu tapi kalau aku telpon kamu selalu menolak berbicara
denganku. Aku semakin gak nafsu makan di rumah. Ternyata gak enak makan
sendirian”
“Iya kamu emang
tampak lebih kurusan sekarang” kubelai pipinya yang makin tirus.
“Emang makan
sendiri gak enak. Tapi bukan berarti kamu boleh makan berdua dengan wanita
lain!” Aku mengingatkan kejadian waktu itu sambil menepuk pipinya.
“Lho kok?” Idan
tampak terkejut dan heran namun sesaat kemudian langsung menyadari apa yang
barusan aku katakan.
“Itu kan cuma
kebetulan saja Pit! Sueer! Kebetulan dia lewat dan lihat kursi di mejaku kosong
jadi dia makan disitu.” Idan menjelaskan dengan menggebu-gebu sambil meringis
menahan perih di pipinya.
“Iya iya aku gak
marah kok. Aku sekarang yakin kalau kamu memang suami paling setia yang pernah
kutemui. Aku yakin kamu tidak akan pernah menghianatiku.” Kataku kemudian.
“Iya Pit aku
janji kalau hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai maut memisahkan
kita. Dan kalau itu terjadi barulah aku cari wanita lain hehehe.”
“Oh jadi kamu
ndoain aku lebih dulu mati?!” Aku langsung manyun dan kutinju tangannya. Dia
menjerit mengaduh.
“Tidaaakkk!
Ampun non Puspitaaaa!!” Idan pun lari keluar dengan aku yang mengejarnya di
belakang. Hari ini banyak sekali hal besar kualami. Sekali lagi, menikah
denganmu memang tidak pernah membosankan Dan..
***
Hari-hari
berikutnya kami lalui dengan senyum kebahagiaan. Kami selalu mengingat hal-hal
yang telah kami lalui sebelumnya. Begitu berliku dan membuatku belajar lebih
banyak tentang cinta dan kesetiaan. Membuatku mengenal lebih banyak tentang
bagaimana seharusnya sepasang suami istri saling bicara dan bagaimana mempertahankan
keharmonisan rumah tangga kami.
Kami sadar bahwa
mengarungi samudra kehidupan dalam bahtera pernikahan tidaklah selalu berjalan
mulus bak dongeng putri yang pada endingnya selalu hidup bahagia selamanya.
Kadang juga ada badai dan batu karang yang melintang. Kadang ada perompak yang
menghadang.
Semua kembali
pada pribadi kita masing-masing apakah bisa menjadi sosok yang mampu mencintai
menghargai pasangannya apa adanya, menerima segala kelebihan-kekurangan dan
melengkapinya dengan kelebihan-kekurangan kita. Dan tak lupa, niatkan semuanya
hanya untuk-Nya.
Sebisa mungkin
gunakan waktu kebersamaan yang ada sebaik mungkin. Seperti saat ini, aku dan
Idan sedang sarapan bareng sambil ngobrol kesana-kemari.
“Aduh perutku!”
tiba-tiba perutlu terasa mual-mual hebat.
Aku pun langsung
ke kamar mandi dan morningsick itu kembali menyerangku. Di dalam kamar mandi
aku muntah-muntah sejadi-jadinya. Rasanya seperti dipencet perutku. Di luar
Idan menungguku dengan harap-harap cemas.
“Upit kamu
gapapa kan?” tanyanya.
Setelah kelar
akupun keluar dari kamar mandi dan dipapah ke kamar oleh Idan. Sesampai di
kamar aku langsung dibaringkan di ranjang.
“Kamu sakit lagi
Pit? Aku antar ke dokter ya?” tanyanya cemas.
“Aku tidak
apa-apa kok. Kamu berangkat ke kantor aja sekarang.”
“Sebaikknya aku
antar kamu ke dokter sekarang. Aku takut kamu kenapa-napa lagi kaya dulu Pit!’
“Aku sudah
bilang aku gapapa Dan! Aku cuma terlambat datang bulan selama seminggu ini.”
“Terlambat
datang bulan? Jangan-jangan?”
Aku hanya
tersenyum penuh arti memandang wajah Idan yang masih tampak bertanya-tanya
penasaran..
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar