"Istirahat
saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu
pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan
di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan
nampan itu di atas meja rias.
"Terima
kasih Mbak."
"Jika
perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang.
Saya ada di sana."
"Iya
Mbak."
"Baik.
Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum.
Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar
dengan pelan.
"Jujur
saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk
itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta
oleh Tuhan untuk menjaga pandangan."
Ia
kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.
Pukul
tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena
bangun terlalu siang. Sinar matahari telah
menerobos jendela dan masuk ke dalam
kamarnya. la langsung bangkit dan mengambil
air wudhu dengan tergesa-gesa. La belum
shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah
kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang
santai, Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton
televisi.
"Waduh
arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul
setengah menggerutu. Tidak jelas kepada
siapa kata-kata itu ia tujukan. Pada
Sumiyati atau pada Iin, atau pada kedua-duanya.
"Maaf
Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil
memandang ke arah Zul yang masih jelas
bekasnya dari tidur.
Zul
kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia
kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari.
"Lha
Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?"
"Ya
tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di
rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi.
Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi
setelah shalat Subuh ia langsung berangkat
kerja." Jelas Sumiyati santai sambil mengambil
kacang tanah yang ada di depannya. Lalu
mengeluarkan isinya dan memasukkan ke dalam
mulutnya.
"O
ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau
kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju
dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa.
Kalau masih betah dan mau menginap barang
satu dua hari lagi ya tidak apa-apa. Hanya
saja Mar minta kalau siang ini orang itu
tidak juga bisa kau hubungi kau sebaiknya menginap
semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba mencarikan
informasi tentang tempat yang lebih pas, sekaligus
informasi tentang pekerjaan jika ada/'’ Iin menyahut.
"Sebaiknya,
siang ini Mas istirahat saja dulu di sini. Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak
Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati
memberi saran.
"Saya
mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat
lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus
saya hubungi itu sekali lagi," kata
Zul.
"Ya,
hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya,"
tukas Iin
Zul
keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari
rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di
situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada
wartelnya. Dari wartel itu ia mencoba
menelpon nomor yang ia catat dari Pak Hasan.
Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak juga
berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang
tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua
perempuan itu telah rapi dan siap pergi.
"Dik
kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah,
siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau
pergi meninggalkan rumah, tolong rumah
dikunci. Dan kuncinya letakkan saja di bawah
pot bunga itu. Oh ya sarapannya sudah kami
siapkan di dapur. Makan saja yang banyak.
Maaf seadanya." Dengan lembut Iin menjelaskan.
"O
ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia.
Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak
biru itu," sahut Sumiyati.
"Kami
pergi dulu ya. Yah demi mencari
sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka pintu.
Mereka
berdua lalu bergegas meninggalkan rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil itu. La
melambaikan tangan pada pengendara mobil yang
bermata sipit.
"Baru
pulang Lin?" sapa Iin.
"Iya
Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan
itu santai.
Zul
melihat dari pintu yang masih terbuka.
"Kamu
itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikit-sedikitlah
Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin
menasihati dengan suara lembut.
"Aduh
Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja. Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa
dia?" ketus Linda.
"Itu
adik saya dari Demak," jawab Iin.
"Orangnya
baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut santai saja," timpal Sumiyati.
"Siapa
yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki. Apalagi lelaki Indonesia kurus
kaya gitu. Lelaki dari Amerika,
Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak pernah
takut! Kenapa kalian masih mematung saja di sini.
Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru tahu rasa!" sengit Linda.
"Ya
udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baik-baik
ya Lin."
"Ya,"
jawab Linda singkat sambil beranjak masuk rumah.
Ketika
masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri di samping pintu Linda menyapa datar,
"Halo
Mas, baru datang dari Indonesia ya?"
"Iya,"
jawab Zul singkat.
Linda
langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sementara
Zul masih berdiri di samping pintu memandang
lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar
dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia
bisa meraba, kira-kira apa pekerjaan
perempuan muda bernama Linda yang baru saja
menyapanya itu. Dan siang itu ia bisa jadi
hanya akan berdua bersama Linda di rumah
yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan akan bersikap bagaimana.
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan akan bersikap bagaimana.
"Mas
pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya
yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Zul berdiri.
Secara
reflek Zul menengok ke arah suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya,
dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di
kedua kakinya. Zul merasakan getaran dalam
dadanya. Ia langsung menutup pintu dan
bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Sementara
Iin dan Sumi masih berjalan ke arah hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda
kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari
kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat saying
pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. La
ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di
pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI. Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda.
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI. Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda.
"Saya
harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin
membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak
mengenalnya sejak kecil. Ibu hanya cerita ia
orang Belanda dan sudah menikah lagi di
sana. Sudah jadi orang penting di Belanda.
Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh
ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah
saya, atau keluarga ayah saya. Ibu saya
sangat dendam pada ayah saya, dan dendamnya
itu telah diwariskan pada saya. Saya tidak
akan menceritakan perihal dendam itu. Pokoknya
dendam yang sangat menyakitkan. Intinya ayah
saya pernah memperlakukan ibu saya dengan sangat
tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung saya.
"Ya
alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu
saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta
dan langsung mendapat pekerjaan. Sekarang
saya bisa kerja di Kuala Lumpur ini dengan
gaji yang lumayan. Saya akan menabung. Kalau
bisa saya akan lanjut kuliah S.2 di sini
baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses, kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui
ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya
bercitacita harus kaya hingga saya nanti
bisa punya perusahaan besar di Belanda.
Harus lebih kaya dari Mr. Van Braskamp.
"Van
Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang
Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya
Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda.
Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak
meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna
kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu
saya. Itu saja. Tapi saya akan membuktikan
pada ayah saya itu, suatu saat saya bisa
lebih terhormat dari ayah saya di negeri
ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di Malaysia ini?"
Iin
masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan
kepala lalu menjawab,
"Saya
tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik
Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai
suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua
anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang
diasuh oleh adik saya. Itu saja. Juga punya
tabungan untuk buka warung di kampung. Itu
saja Dik Linda." Saat itu Linda
tersenyum dan mengangkat kedua tangannya
seraya berdoa,
"Semoga
cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah. Amin.”
Dalam
hati ia ikut mengamini. Di
pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar nomor handphone dengan Linda. Linda yang memberi nomornya dulu.
"Mbak
ini nomor hape saya. Siapa tahu Mbak atau teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan
tiket ke saya."
Sejak
itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda.
Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja
di Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali
Linda mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya
mengajak shalat di surau yang ada di sana.
Ia melihat Linda begitu agamis. Dan dalam
balutan jilbab muka Indo itu bagai bidadari
surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa
sayangnya pada Linda terbit.
Sejak
kenal dengan Linda, ia sering membayangkan alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang
di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi.
Kerjanya
cuma mengangkat telpon. Lihat layar komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang
harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang
kasar dan pelit. Itulah yang ia pikirkan
pada waktu itu.
Dan
ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik,
pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan
tinggi. Tapi ia segera menyadari siapakah
dirinya dan siapakah Linda. Dirinya tak
lebih hanya lulusan MTs dengan penampilan
sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh dikerjakan oleh orang desa dengan wajah pas-pasan yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh dikerjakan oleh orang desa dengan wajah pas-pasan yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.
Tapi
jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang
hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti
dirinya merasa lebih bahagia daripada Linda.
Buat apa pandai, sarjana dan cantik jika
hanya menjadi budak nafsu dan setan. Dan
hidup dalam lembah kehinaan.
Baginya,
sebagai wanita, kehormatan diri dan kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman
kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa
kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan
cara yang paling halus maupun cara yang
sangat terang-terangan. Baik dengan sindiran
maupun ancaman siksa neraka jahanam. Tapi ia
melihat Linda sama sekali tidak ada
perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan. Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda
itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga
yang turun ke bumi itu telah hilang.
Jika
menghayati apa yang terjadi pada Linda, hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya
Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya
ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di
akhir zaman seperti sekarang. Tidak sedikit
orang yang dulu dikenal
karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak lama dikenal karena kedurhakaannya.
karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak lama dikenal karena kedurhakaannya.
"Na'udzubillahi
min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah hamba dari itu semua. Jangan Kau biarkan iman ini lepas
dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam
hati sambil mengusap airmatanya.
"Kenapa
menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati.
"Tidak
apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.
Jauh-jauh
merantau ke sini, siang malam hanya untuk menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau
bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di
akhirat."
"Iya
Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup
bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca
Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki
Tuhan."
"Hus.
Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin,
"Semoga
saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya.
"Semoga
saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita
ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar
dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si
Karan kawan kerja saya di restoran sering
menggoda saya. Saya takut tergoda
Mbak."
"Kau
harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk.
Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan.
Kita harus sating mengingatkan bahwa perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang
berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu
dosa itu. Sangat memungkinkan ia akan
melakukan yang kedua, ketiga dan seterusnya.
Dan itulah yang dikehendaki setan. Jangan
kita biarkan diri kita terperangkap oleh kesempatan
melakukan dosa besar itu. Sebisa mungkin
kesempatan itu jangan dibiarkan ada. Aku
sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik. Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak
yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan
berusaha menjaga agar jangan sampai setan
menciptakan kesempatan melakukan perbuatan
dosa besar itu. Sebab, jika kesempatan itu
tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat untuk
mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri adalah
dengan tidak pernah meladeni segala bentuk
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak berlama-lama ngobrol di tempat kerja."
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak berlama-lama ngobrol di tempat kerja."
"Gitu
Mbak ya?"
"Iya."
"Wah,
untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan
sering ngajak nonton film."
"Kalau
ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun."
"Iya
Mbak."
"Linda
pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini
bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya,
seorang pria muda asal Singapura."
"Cerita
detilnya bagaimana Mbak?"
"Aku
juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda
yang menawan. Itu saja."
"Eh
Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak
Sumiyati.
"Wah
iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata
berbinar.
Mereka
berdua langsung mempercepat langkah. Bus Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut
ketinggalan.
*
* *
Zul
tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar
Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar
yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya
melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari
Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang
sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Ia masih juga berpikir apa yang harus ia
lakukan siang itu. Apakah tetap diam di
rumah itu menunggu Mari pulang. Sehingga ia
bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah ia
nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat,
sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan
bukankah sebenarnya ia pergi ke Malaysia
juga berbekal nekat.
Kalau
ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga,
lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala
Lumpur dan sekitarnya. Apa asal pergi saja.
Yang penting jalan. Seperti waktu ia dulu
nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mati di Jakarta
karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima puluh ringgit?
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima puluh ringgit?
Ia
lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu
Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih
jelas. Mungkin informasi ada pekerjaan yang
membuatnya bisa bertahan bahkan bisa
memperbaiki nasib. Apa salahnya menunggu
sampai sore hari. Ia bisa tidur seharian di
kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar.
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi.
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi.
Zul
mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya
buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi.
Ia langsung yakin yang mandi itu adalah
Linda. Sejurus kemudian ia mendengar
televisi dinyalakan. Ia lalu mendengar
lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit keras.
Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua
matanya.
matanya.
Ia
lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur.
Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari
sesuatu yang bisa dibacanya. Di samping meja
rias ia melihat setumpuk majalah dan koran.
Juga ada beberapa buku.
Ia
lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa
Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International
Monetary and Financial Economics. Ia buka
buku itu. Di halaman paling depan ia
menemukan nama pemilik buku itu tertulis
dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China. Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game
Theory with Applications to Economics. Ia menggelenggelengkan
kepala. Orang yang bisa memahami buku seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI, Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.
kepala. Orang yang bisa memahami buku seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI, Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.
Ia
jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti
itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah
yang selama ini membaca buku itu? Mari kah?
Atau Iin kah? Apakah mungkin mereka berdua
bisa memahami buku berbahasa Inggris?
Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia bisa
sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang
memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan
bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang
China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China
yang menikah dengan perempuan Melayu.
Sangat
mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya
jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja rias.
Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang punya dan yang membaca buku-buku ekonomi berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat
tampang dan penampilan mereka sangat meragukan,
dan sangat tidak meyakinkan.
la
lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang
terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan
Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. La
bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa
lama kemudian ia merasa mengantuk. Entah
kenapa setiap kali ia membaca rasa kantuk
itu menyerang dengan cepat. Saat ia berada
di antara sadar dan tidak sadar karena mulai
masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar pintu
kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi memejamkan mata.
"Mas!
Mas! Halloo! Buka dong!"
Itu
jelas suara Linda.
"Iya.
Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju
pintu.
Begitu
pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat
Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di
hadapannya tampak segar, dan menawan. Linda
menyungging senyum yang membuat dadanya
berdesir. Ia sepertinya belum pernah melihat
pesona sesegar wajah Indo yang ada di
hadapannya.
"Hallo
Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di
Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan
tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul
langsung menjabat tangan itu sambil
memperkenalkan dirinya,
"E...
nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?"
"Ya.
Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda-Belanda. Tapi aku tetap merasa
sebagai orang Indonesia. O ya
kapan Mas Zul sampai?"
"Tadi
malam."
"Berarti
bareng Mbak Mar?"
"Ya."
"Tadi
Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin, benar?"
Zul
tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab,
"Dikatakan
adiknya Mbak Iinjuga boleh."
"Lho
kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?"
"Ah
itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?"
"Iya
saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya istirahat."
"Jadi
siang ini mau di rumah saja?"
"Lha
iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali.
Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku
tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti
disedikan untuk Mas Zul. Boleh saya minta
sedikit Mas. Atau kita makan bareng.
Bagaimana? Mas Zul belum sarapan
kan?"
kan?"
"Belum."
"Ayo
kalau begitu kita makan bersama. Kita makan
di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul
mau minum apa? Aku bikinkan."
"Teh
panas boleh."
"Baik.
Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil
nonton televisi."
"Baik."
Linda
ke dapur membuat minuman dan mengambil makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di
sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak
lama kemudian Linda muncul dengan membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis.
Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah Linda
yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.
Linda
meletakkan nampan di meja dan langsung duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium
jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi
makan, ia masih menata pikirannya yang ia
rasakan mulai kacau.
"Kok
bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya
sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak
enak."
"E...
iya Mbak."
Zul
mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai
menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang
menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang
tidak-tidak.
"Rencana
siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film
Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di
rumah. Kalau nonton film sendirian rasanya
tidak seru."
"Saya
belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya sebenarnya ingin jalan-jalan."
"Sebenarnya
aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau
Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa.
Kebetulan aku ada kunci dobel. Sebentar
ya."
Linda
menghentikan makannya dan beranjak ke kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci.
"Ini
bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan
yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat
pulang aku sedang tidur tidak perlu
membangunkan aku. Bawa saja kunci ini selama
Mas di sini."
"Terima
kasih."
"O
ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana? Sudah ada agen yang mengatur?"
"Belum
tahu. Masih mencari."
"O
jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas
mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku
kerja. Tapi kerjanya malam sih. Kalau mau,
bisa aku coba hubungkan ke pihak personalia.
Aku kenal baik dengan penanggung jawabnya.
Gajinya lumayan kok. Bagaimana?"
"Nanti
saya pikirkan."
"Sejak
jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang
banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat
serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak
Mar, coba nanti kalau ketemu kau amati dia
baik-baik, karena ia juga terlalu serius
memikirkan hidup jadi kelihatan jauh lebih
tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu tahun saja dariku."
"Benarkah?"
"Serius.
Mbak Mar itu terlalu banyak mikir.
Semuanya
dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal
tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak
kenapa tidak? Sekarang aku menemukan agama
baru. "
"Agama
baru?"
"Ya.
Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan
manusia untuk berenak-enak."
"Astaghfirullah.
Meskipun yang kelihatannya enak itu dilarang agama."
"Agama
yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu,
aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu."
"Wah
itu namanya agama hawa nafsu."
"Terserah,
aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa enak, merasa bebas, merasa merdeka."
"Kalau
di KTP apa agamamu?"
"Ya
Islam."
"Lho
kok Islam?"
"Ya
untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih
banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang
sangat fanatik dengan agama Islamnya."
"Itu
berarti kamu munafik."
"Kalau
munafik itu enak kenapa tidak?"
Zul
jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya.
la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia
seperti itu dengan cara berpikir seperti
itu.
"Baiklah
Mas, saya akan cerita sedikit tentang pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita
yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung
mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada
saya disebut munafik lagi. Sudah saya
katakan agama saya adalah agama enak.
Pokoknya yang enak-enak itulah inti ajarannya.
Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri.
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri.
"Profesi
saya adalah menyenangkan orang-orang penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan. Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang
awam menyebut orang seperti saya ini sebagai
pelacur. Ada juga yang menyebut sebagai
perempuan sundal. Macam-macam lah sebutannya. Tapi saya, berpegang pada keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?"
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?"
"Aku
hanya merasa kasihan padamu?"
"Kasihan,
kenapa kasihan?"
"Entahlah,
hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu.
Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku
mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan
hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam
keadaan sangat memprihatinkan. Dan perlu
dikasihani."
"O
ya?"
"Terserah.
Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau
menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang
akan kau katakan dan kau ucapkan?"
"Kau
ini jahat. Masak berharap aku sakit dan menderita."
"Kau
salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap.
Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya
sakit juga. Saat sakit itulah manusia lebih
banyak berbicara dengan nuraninya daripada
dengan nafsunya. Lha saya ingin tahu apa
yang akan kaukatakan saat kau dalam keadaan
seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah tidak
ada lagi. Atau bagaimana?"
"Saya
akan bertahan dengan agama saya. Saya yakin dengan temuan saya."
"Yah
kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku agamaku."
Selesai
makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah
itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari
dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah
imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa
nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah
sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus
mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia
tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai
di negeri orang. Mau tinggal di mana saja
belum jelas. Pekerjaan juga belum jelas.
Melangkahkan kaki mau ke mana saja belum
jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam situasi
yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya.
"Linda
ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati
jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan
membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya!"
Tak
ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh
dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan
dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh
dari api itu. Jika tidak maka api itu akan
membakar dan menghancurkan.
"Maaf
Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan.
Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah
terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya dating
lagi. Tas danbarang-barang saya masih di
kamar," kata Zul pada Linda.
"O
ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?"
sahut Linda
"Sudah.
Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur naik apa ya?"
"Tadi
malam datang pakai apa?"
"Bus
"
"Rapid
KL ya?"
"Iya."
"Kalau
begitu naik saja dari tempat kau tadi malam
turun dan naik bus yang sama."
"Baik.
Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak Iin, dan Mbak Sumiyati."
"Baik.
Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah
tahu nomor hp saya?"
"Belum."
"Kalau
nomor Mbak Mar sudah tahu?"
"Sudah."
"Ya
sudah. Itu cukup."
"Sekali
lagi terima kasih. Saya pergi dulu."
"Ya,
sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur
di bus ya," canda Linda.
Zul
menjawab dengan senyum lalu beranjak meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa
tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya,
sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia
merasa mantap. Jika ia bisa menaklukkan
Jakarta dan Batam, maka ia sangat yakin ia
pun bisa menaklukkan Kuala Lumpur. Sepintas
ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat suasana
terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung
dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong
preman Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika
ia terpaksa harus bertemu dengan preman
Kuala Lumpur ia merasa tak perlu gentar.
Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan dengan
situasi apapun juga.
Dari
Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal
KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke
mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi
lagi nama yang diberi oleh Pak Hasan sekali
lagi. Setelah bertanya kepada seorang lelaki
India ia menemukan telpon umum. Dari telpon
umum ia menghubungi dan masuk. Ia sangat
berbahagia seperti mendapatkan rejeki
nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
"Ini
Pak Rusli ya?" tanyanya.
"Iya
benar. Ini siape?"
"Saya
Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor Bapak dari Pak Hasan Batam."
"O
ya ya. Pak Hasan sehat ya?"
"Alhamdulillah
Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak
banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya
perlu sedikit bantuan Bapak."
"Sudah
menjadi kewajiban saya untuk membantu Saudara. Adik sekarang di mana?"
"Di
KL Sentral Pak."
"Begini
saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira
bicarakan segalanya dengan lebih leluasa."
"Apa
tadi Pak, KTM ya?"
"Ya
KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun
di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau
lumut." "Baik Pak. Terima
kasih."
Tidak
sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit
untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa
bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak
Rusli, yang tak lain adalah seorang murid
Pak Hasan saat belajar di Padang. Pak Hasan
pernah mengajar di sebuah pesantren di
Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak Rusli
mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.
"Jadi
yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak
Hasan?"
"Iya
Pak."
"Itu
makanya adik diminta untuk belajar. Menuntut
ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik
tidak akan bisa melanjutkan studi di sini,
kalau tidak dengan bekerja. Dari mana uang
untuk membayar kuliah kalau tidak dicari
dengan bekerja? Iya kan?"
"Iya
Pak."
"Jangan
kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak membantu. Terutama berkenaan dengan urusan pendaftaran di kampus. O ya kau bawa ijazah kan?"
"Bawa
Pak."
"Dulu
kuliah di mana?"
"Di
IKIP PGRI Semarang Pak."
"Jurusan
apa?"
"Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."
"Ya
ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius
lanjut kuliah kan?"
lanjut kuliah kan?"
"Iya
Pak."
"Bagus.
Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan
jaya."
"Apa
itu Pak?"
"Ilmu.
Hanya orang-orang berilmulah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak
berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh
Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina
karena kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki
ilmu bagaimana menjadikan kekayaannya
sebagai jalan beribadah dan menggapai
kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa ke
rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya
Pak."
Berulang
kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak. Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.
"Kamu
ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak.
Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang
lain?"
"Mmm,
aduh bagaimana Pak ya?"
"Sudah
jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. Ayo kita jalan."
"Iya
Pak."
"Lha
diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil
tersenyum lebar.
Zul
langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa
terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli.
Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli
yang low profile membuatnya seolah sudah
lama mengenal lelaki berumur empat puluhan
itu. Padahal belum ada tiga jam ia bertemu
dengannya.
Keluar
dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum
dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan
tinggi tertua di Malaysia itu.
"Universiti
ini masuk dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja
kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin
orang seperti kau akan meraih kecemerlangan
di masa yang akan datang." Ujar Pak
Rusli menyemangati.
"Doanya
Pak."
"Allah
memberkati, insya Allah."
Setelah
mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya
ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari
kawasan kampus UM, di sepanjang perjalanan,
tepatnya di samping kiri, Zul melihat rel
KTM. Sesekali ia berpapasan dengan KTM yang
melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya. Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih yang tinggi dan kusam.
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya. Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih yang tinggi dan kusam.
"Inilah
Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di
antara mereka."
Mereka
berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah
apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan
anak muda yang gayanya khas Indonesia.
"Assalamu'alaikum.
Geng, mau ke mana?" sapa Pak Rusli
"Anu
Pak mau beli minyak goreng," jawab anak
muda itu.
"Geng,
kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. La baru datang tadi malam," kata Pak Rusli
memperkenalkan.
Anak
muda itu langsung menyalami Zul sambil memperkenalkan diri,
"Saya
Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat
datang di Kuala Lumpur Mas."
"Iya
Mas. Terima kasih," jawab Zul.
"Namanya
Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" Tanya Sugeng lagi.
"Aslinya
Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA sering memanggil Zul Einstein."
"Zul
Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk
UM?"
"Jika
Allah mengijinkan."
"Nanti
saya bantu, insya Allah."
"Terima
kasih Mas Sugeng."
"Pak
Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar
kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si
Arif sama si Yahya," terang Sugeng.
"Baik
Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya,"
tukas Pak Rusli renyah. "Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai
sepuluh Iho. Bukan lantai sembilan."
"O
ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering
lupa. Ayo Zul kita jalan."
Pak
Rusli dan Zul berjalan melewati samping apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai
sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah
kanan. Di pintu flat tempat tinggal Sugeng
dan teman-temannya itu ada sriker bendera
merah putih. Di bawahnya ada tulisan:
"Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!"
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia dari Jawa.
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia dari Jawa.
Pak
Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang
pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai
sarung dan kaos putih. Pemuda itu menyambut
dengan senyum.
"O
Pak Rusli. Silakan Pak."
Pak
Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan
diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari
Malang.
"Tesisnya
bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak
Rusli.
"Alhamdulillah
sudah Pak. Minggu depan submit, insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.
"Langsung
lanjut Ph.D., Ya?"
"Insya
Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak
UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk
langsung lanjut Ph.D. Doanya."
"Allah
memudahkan insya Allah."
Akhirnya
Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari
Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu
melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai.
Setelah itu akan langsung melanjutkan S.3.
la
juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua
kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal
disitu lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah.
Sedangkan
yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam
ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal.
Enam ratus ringgit ditanggung oleh penghuni
rumah itu yang berjumlah lima. Sehingga
masing-masing orang kena beban 120 ringgit
per bulan. Jika berjumlah enam, maka masing-masing
orang kena beban seratus ringgit.
Yahya
juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran
dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja
di sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah
bekerja sebagai tukang bersih-bersih WC di
Gedung Putra World Trading Centre atau biasa
disingkat PWTC.
"Apa
saja saya lakukan untuk bisa hidup dan membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen,
tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu
sempat membawa isteri, tapi saya rasakan
berat. Akhirnya sementara ini isteri tinggal
di Malang dulu. Semoga saja nanti keadaan
membaik. Dan saya bisa membawa isteri lagi
kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D."
jelas Yahya pada Zul.
jelas Yahya pada Zul.
"Intinya
tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah. Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah
di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin.
Kerja apa pun asal halal dan bisa membuat
saya semakin kaya saya lakukan.
Alhamdulillah sekarang saya bisa membuka usaha
bekerjasama dengan orang Malaysia. Cukup
untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi.
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi.
Tak
lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat.
Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan
bisa tinggal satu kamar dengannya.
"Tapi
kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang
maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya
dengan wajah cerah.
Tak
ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan
temantemannya. Sore itu ia memutuskan untuk
langsung menginap di situ dan tidak kembali
ke Subang Jaya. Setelah mantap bahwa Zul
tidak akan terlantar, Pak Rusli mohon diri.
Sebelum keluar pintu ia masih sempat berkata
pada Zul
"Saya
akan coba mencari informasi. Jika ada lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah,
bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur
jatah rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana
hamba-Nya itu memungutnya. Jika ada apa-apa.
Perlu bantuan apa-apa, telpon saya saja. Tak
usah sungkan ya Zul."
"Iya
Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."
*
* *
Malam
itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat
itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah
itu. Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran
yang sangat membantunya dalam menentukan
langkah selanjutnya di Malaysia. Semua yang
ada di rumah itu ingin
memberikan bantuan semampunya.
memberikan bantuan semampunya.
Sugeng
menawarkan diri untuk membantunya mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti
akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya
pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi
Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa.
Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi
kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah
itu, menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan
Zul. Pak Muslim akan mengadakan penelitian
di Sabah selama tiga minggu. Berarti sepeda
motornya bisa dipakai selama itu.
"Ini
masih bulan April. Awal semester bulan Juli.
Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul
daftar dulu saja. Selama tiga bulan bekerja
sungguh-sungguh agar bisa membayar awal
semester. Yang pasti jumlahnya agak lumayan.
Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan lusa
kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang pendaftaran
yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu.
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
"Saya
ikut saja." Lirih Zul.
"Coba
lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"
7
IPS : Institute Postgraduate Studies.
Zul
mengangguk dan mengambil tas hitamnya. Lalu keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas
itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu
membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD
sampai S.l ada di situ. Sugeng lalu melihat
ijazah S.l itu dengan kening berkerut.
"Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"
"Iya
Mas." Jawab Zul pelan.
"Pak
Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak
Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar
komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat.
"Iya
ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil
membenarkan gagang kaca matanya.
"Zul
ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia.
Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa,
jurusan apa, Pak?"
Pak
Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik
Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"
"Fakultas
pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang berdiri di samping Sugeng.
"Kalau
gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi
pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.
"Bagaimana
dengan saran Pak Muslim, Zul?" Tanya Sugeng.
"Boleh.
Saya sepakat."
Malam
itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa
depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang
baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya
saat dulu bisa melanjutkan pendidikan
setelah lulus SD. La tetap bisa lanjut ke
SMP meskipun harus dengan bekerja membantu
Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah. la
merasa bahagia saat itu, sebab banyak teman-temannya yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja
di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.
Malam
itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa
takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu
sejak Pakdenya, orang yang merawatnya sejak
kecil, meninggal saat ia masih di bangku
kelas 3 SMA. Sejak itu ia seperti merasakan
ketidakpastian hidup. Dengan berusaha tetap
tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga
mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang
membuatnya merantau. Dari Semarang ke
Jakarta. Lalu ke Batam. Dan akhirnya ke
Malaysia.
Dan
malam itu, setelah ia bertemu dengan orang-orang
yang berpendidikan dan tulus, ia banyak
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.
Yang
ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia
selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai
beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa
kuatir dan merasa tertekan. Dan malam itu ia
mendapatkan pencerahan yang membuatnya
merasa lebih tenang.
Malam
itu ia tidur dengan bibir menyungging senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk
memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali
tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di
Subang Jaya.
Sementara
di Subang Jaya sana, Mari berangkat tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan
informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang
dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih
ada di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi
pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat
pemuda itu bahagia lalu mengucapkan terima
kasih padanya. Namun ia kecewa saat ia
dapati Zul tidak ada. Ia masih berharap,
malam itu Zul akan kembali ke rumah itu. Namun
ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur dengan perasaan masygul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar