Mata
pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan
terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari
riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan.
Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa
feri yang ia tumpangi bernama Lintas
Samudera. Tujuan feri yang bertolak dari
pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor Bahru.
la
kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia.
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia.
"Baru
pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan
muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu
memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda.
Rambutnya lurus digerai. Ia menaksir usia perempuan itu sekitar 27 atau 28.
"Iya
Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya
balik bertanya.
"Tidak.
Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti
sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak.
Sejak awal 2001."
"Kerja
ya Mbak?"
"Iya
Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia
berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia
mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama
ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain,
selain untuk bertahan hidup juga demi
mencari takdir yang lebih baik.
"Kok
malah bengong Dik."
"E...
tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah.
Sudah ada pandangan mau kerja di mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum
sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak
kerja di mana?"
"Saya
kerja di sebuah kilang di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau
Mari." Perempuan muda itu mengulurkan
tangan kanannya. Pemuda itu juga mengulurkan
tangannya dan menjabat tangan perempuan muda
itu.
"Terima
kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman
saya selama ini saya biasa dipanggil Zul
Einstein."
"Wah
keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya
tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat
saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau
tidak terima ya tetap akan dipanggil begitu.
Jadi, panggil saja saya Zul Mbak."
"Ya
baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata
perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan
tangannya.
"Jadi
Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?" Perempuan muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu
memang masih asli Indonesia. Kilang itu artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan
di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna
kilang minyak. Saya kerja di kilang kertas
di kawasan Subang Jaya. Itu maknanya saya
kerja di pabrik kertas."
"O
begitu ya."
"Rencananya
nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah ada tempat yang dituju?"
"Tempat
yang dituju secara pasti tidak ada. Saya hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon.
Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru
setelah itu saya akan telpon orang
itu."
"Ya
syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur.
Kalau mau kita bisa jalan bersama."
la
diam saja. Tidak menjawab apa-apa. Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat.
Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah
menempuh perjalanan selama dua jam, Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu
pintu feri dibuka, para penumpang berebutan
keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hitarn
dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari
yang berjalan di depannya. Perempuan itu
menenteng tas cangklong putih dan koper
kecil beroda warna hijau. Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas
security pelabuhan sibuk memeriksa barang bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul
juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa
makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil
pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum
berangkat. Petugas security itu memerintahkannya
untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi.
Mari sedang serius mengisi formulir
kedatangan untuk imigrasi.
"Harus
diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya.
Kecuali kolom yang khusus diisi petugas imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali
ia mencocokkan apa yang ia tulis dengan
paspornya.
"Ini
kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi
Mbak."
"Sebaiknya
iya."
"Wah
saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai
alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di
mana Mbak?"
"No.
8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai, Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk
apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong
dan mengunjungi saudara."
"Iya
Mbak."
Keduanya
lalu masuk konter imigrasi. Tak ada masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak
bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya
visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk
apa datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti
yang disarankan oleh Mari. Begitu keluar
dari gedung, puluhan sopir taksi menawarkan
jasanya. Mari menjawab tegas bahwa ia sudah
ada yang menjemput. Zul agak bingung menentukan
langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia
masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri Jiran ini.
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri Jiran ini.
"Kita
tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen
Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya
KL." Jelas Mari.
Sepuluh
menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar
mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak
Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar
saya yang bayar Dik."
"Jangan
begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap
saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu
orangnya berapa Mbak?"
"Dua
puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada
toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita
segera naik. Sepuluh menit lagi bus akan
berangkat."
Mereka
berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari
duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah
Indonesia, tampaklah wajah-wajah China,
India dan Melayu menjadi penumpang bus cepat
itu. Sopirnya berwajah Indonesia, dan
tampaknya ia seorang Muslim, sebab sebelum
menjalankan bus ia membaca basmalah. Bus
berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah
jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor
Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi.
Bus itu membelah perkebunan kelapa sawit.
Zul memandang ke kanan dan ke kiri yang
tampak hanyalah rimbunan pohon kelapa sawit
yang bagai berlarian ke belakang.
"Dari
logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting
jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke
leher. Ia tampaknya agak kedinginan.
"Iya
Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau Mbak?"
"Saya
juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf,
e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah
punya anak dong Mbak?"
"Belum.
Bagaimana mau punya anak lha wong rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma
dua minggu?"
"Iya
bisa dikatakan demikian."
"Suami
Mbak meninggal?"
"Tidak.
Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan
rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga
lagi."
"Maafkan
saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal yang tidak Mbak sukai."
"Ah
tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari
sambil mengambil nafas dalam-dalam. Seperti
ada yang menyesak dalam dadanya.
Zul
diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. La
kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk
suasana.
"Mungkin
ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali membuka percakapan.
"Tidak
apa-apa kan? Kau mau mendengarkan
Dik?" lanjutnya sambil memandangi Zul.
Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu. Zul
mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus ke depan. Mari mulai bercerita
"Saat
itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya
itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya
tidak mau mengingat nama lengkapnya. Saya
sudah mengharamkan diri saya untuk menyebut
namanya. Saya sangat membencinya hingga
tujuh turunan.
"Baik
saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah
gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang
mudah terpikat dengan gemerlap duniawi.
Agaknya W mengerti benar karakter diri saya.
Sehingga dia bisa begitu mudah masuk dalam
kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat dan
menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar
kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering
datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati
saya dengan limpahan hadiahnya.
"Sampai
akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya
seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat
gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila
padanya. Ibu saya sebenarnya tidak setuju
saya kawin dengan W, karena ibu saya ingin
saya menikah dengan putra Pak Modin yang
sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas
cerita, kami pun menikah. Kami menikah tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru.
Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana.
Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya.
Seminggu setelah menikah, W pamit untuk
pergi ke Jakarta. Dia bilang untuk urusan
bisnis dengan temannya. Beberapa hari
setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan
over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk
bui. Keluarganya tidak peduli.
"Kakak
perempuannya bahkan terang-terangan mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya
itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada
makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris
muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita
bahwa dirinya pernah diperkosa oleh W saat W
sedang sakau. Ia tidak berdaya karena W
mengancam akan membunuhnya. W itu tega
memperkosa kakak kandungnya sendiri, apa
tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui batas?
Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benar-benar
jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak
akan menikah lagi!"
Ada
nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
Sesaat
lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya
Zul memberanikan untuk membuka suara, ‘'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan kaum lelaki. Termasuk saya?"
Mari
mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat
ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya
tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua
kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang
sangat panjang untuk bisa bersikap adil dan
tidak jijik pada kaum lelaki. Dan disebabkan
rasa jijik dan trauma pada lelaki saya
pernah punya keinginan untuk hidup berumah
tangga dengan kaum perempuan saja."
"Sampai
seperti itu Mbak."
"Iya.
Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan,
saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf
keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak
lagi."
"Sejak
kapan Mbak bisa kembali normal memandang dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakana kembali normal memandang dunia, termasuk kaum lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma
pada lelaki itu sikap tidak normal."
"Prosesnya
sangat panjang. Sampai saya bertemu dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut
suaminya yang sedang mengambil program doktor.
Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk
memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga
kerja wanita. Dan ia begitu sabar
mendengarkan semua keluhan saya. Saya pernah
diajak oleh Ustadzah itu tidur di rumahnya.
Untuk melihat bagaimana keadaan rumah tangganya.
Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih sayang
suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya yang
semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu bahwa
ada juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah
Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya
tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak
ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak
ingat apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak
menikah lagi. Kakak tertua saya lelaki. Tapi
ia tidak begitu peduli pada saya." Bus
terus melaju. Sejauh mata memandang adalah rerimbunan
kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana
ceritanya Mbak bisa sampai ke Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau
diceritakan semuanya panjang. Singkat saja ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia
sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di
Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya
piutang di beberapa bank yang cukup besar
jumlahnya. Saya tidak punya apa-apa. Ibu
sudah renta. Saya anak ragil.
Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.
"Saya
nekat merantau ke Jakarta untuk mencari kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah
sebelum menikah saya sudah selasai D.3 Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai
kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung
kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi
tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya
itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya.
Dia sudah keluar dari penjara dan meminta
saya agar kembali kepadanya. Saya takut.
Saya langsung pergi meninggalkan Jakarta
hari itu juga. Saya bersembunyi ke Bandung.
Di Bandung ada agen pengiriman tenaga kerja
ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya mengadu
nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai sekarang
saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu
akan mengejar saya."
"Kenapa
mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi oleh hukum?"
‘'Ah
kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup
di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela
pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia
mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih
baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah
mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke
Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara
dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin
hidup berkeluarga dan tenang di hari tua.
Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus
berusaha dan bertahan sampai Tuhan
memutuskan takdir finalnya untuk saya. Semenderita
dan sesengsaranya saya, saya masih percaya bahwa
Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul
hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya
dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit
dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya
bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih
rumit yang tidak sampai untuk dikisahkan
kepada siapa pun.
"Kalau
adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi
dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa
selama ini dia yang banyak bercerita. la
ingin gantian mendengarkan cerita dari Zul.
"Perjalanan
saya bisa sampai di dalam bus ini tak kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya
saja saya merasa tidak harus sekarang saya
menceritakannya. Saya janji saya akan
gantian membagi cerita saya pada Mbak. Saya
yakin kita masih bisa bertemu di negeri
Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar masih
sudi menemui saya."
"Masak
tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir,
Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah,
kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu
jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si
W, mantan suami saya itu."
"Mbak
kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak saya jalan bersama?"
Mari
tersenyum, lalu menjawab,
"Dengar
ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya.
Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya
sudah tahu dia itu sebenarnya serigala atau
tidak. Saya tahu mana mata yang jelalatan
dan yang tidak jelalatan. Saya bisa meraba
watak seseorang dari gerak dan binary matanya.
Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata kaum
perempuan pun saya bisa membedakan mana mata
pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik!"
"Jadi
Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya
sambil melihat ke luar jendela.
"Sejauh
ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab
Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat
dan intonasi perempuan itu seolah juga
memberitahukan kepadanya agar ia jangan
mencoba bersikap meremehkannya. Dari
ketegasan itu, Zul mengerti bahwa perempuan
muda di sampingnya adalah perempuan yang
memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan. Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di
sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan memandang ke arah wajah Mari. Mari ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus yang masuk begitu saja.
sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan memandang ke arah wajah Mari. Mari ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus yang masuk begitu saja.
"Apakah
ada kilatan binar serigala dalam mataku Mbak?"
Mari
tersenyum, dan menjawab,
"Jujur
saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk
itulah menurut saya kenapa kaum lelaki
diminta oleh Tuhan untuk menjaga
pandangan."
Mendengar
jawaban Mari, Zul diam dan tidak berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit
yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam
hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia
memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia
menemukan sihir yang mampu mengubah dirinya menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan kalimat untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan
hampir semua wajah dan mata perempuan itu memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala.
Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga.
Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak
berubah menjadi manusia serigala."
Mari
tersenyum mendengarnya.
Menjelang
Maghrib bus Trans Nasional memasuki kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja
di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang
lebar dan melingkar. Gedung-gedung tinggi.
Hutan kota yang masih terjaga. la harus
mengakui, Kuala Lumpur jauh
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok, mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok, mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
"Menara
Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak kelihatan?" tanyanya pada Mari.
"Kamu
jangan memandang ke arah situ. Pandanglah ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah
Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke
arah Menara Kembar.
"Wah
iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."
"Jangan
tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan
di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah
menara itu ada tamannya yang rapi dan indah.
Namanya taman KLCC. Taman itu terbuka untuk
umum dan gratis."
Zul
langsung membayangkan nyamannya berjalan-jalan
di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa
dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya.
Najibah
pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman
Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan
mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali.
Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji
itu. Dan tidak mungkin rasanya memenuhi
janjinya itu. Sebab, gadis yang punya lesung
pipi indah itu, kini telah menikah dengan
orang lain. Ah, seandainya ia kaya,
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu.
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu.
Karena
kemiskinannyalah, akhirnya Najibah memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali.
Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera
menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta
ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa
memberi jawaban pasti. Dan Najibah merasa
tidak bisa bergantung pada ketidakpastian.
"Maaf,
Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas. Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini.
Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap
saja kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan
saya dan Mas."
Itulah
kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata
yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia
tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia
sama sekali tidak bisa memenuhi harapan
orang yang dicintainya. Jangankan biaya
untuk menikah, biaya untuk makan sehari-hari
saja ia sering tidak punya. Ia benar-benar
merasakan betapa susah jadi orang tidak punya.
Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika
mengingatnya.
Sesungguhnya
Najibah itu bukanlah gadis yang materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah.
Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia
tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya.
Ia merasa dirinya adalah orang paling miskin
papa sedunia.
Ah,
ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia
yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari
saja masih dibayangi oleh peristiwa itu,
apalagi Mari. Wajar jika perempuan muda itu
sampai mengalami trauma.
"Heh,
melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya!
Ayo siap-siap turun!" Zul kaget dan tersadar dari lamunannya.
"Kita
sudah sampai Mbak?"
"Iya.
Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun."
Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke
lantai dua. Tempat dimana para penumpang
berkumpul menunggu bus. Tempat dimana
penumpang datang dan pergi. Di lantai dualah
puluhan waning penjual oleh-oleh dan makanan
dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen bus
membuka konter.
"Mbak
ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul.
"Iya
sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat
shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke
sana."
"Tandas
itu apa Mbak."
"Toilet.
Kalau bahasa orang Demak kakus."
"Wah
kok nadanya agak menghina orang Demak tho Mbak."
"Kamu
ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!"
Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke
tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat
bergantian. Selesai shalat Zul bingung. la
baru sadar kalau ia tidak memiliki tujuan
yang jelas. Mari hanyalah teman bertemu di
perjalanan.
"Inilah
Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat dating di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini. Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau
menginap di mana?"
"Wah
jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus menginap di mana."
"Katanya
kau mengantongi sebuah nama dan nomor telpon itu bagaimana?"
"Ya,
saya coba telpon dulu Mbak."
"Pakai
hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum.
Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari
mengulurkan hand phone-nya..
Zul
menerima handphone itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku
celananya. Ia mengeluarkan sobekan kertas.
Lalu memanggil nomor yang tertulis di kertas
itu. Beberapa saat ia menunggu tidak ada
jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat kali ia
memanggil dan tidak ada yang mengangkat.
"Bagaimana
Dik?"
"Tidak
ada yang mengangkat Mbak."
"Mungkin
sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon
lagi."
"Boleh."
Mari
berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk
Terminal Purduraya. Dan bisa dipastikan bahwa
pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala
Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling
padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di
Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah
keturunan China.
"Bisa
jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu
bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya.
Bisa ditulis?" kata Mari selesai makan.
"Bisa
Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa
Mbak nomornya?" jawab Zul.
"0176767676.
Bacanya mudah 01 terus tujuh enam empatkali."
"Wah
mudah diingat Mbak."
"Coba
orang yang kautuju itu dikontak lagi."
Zul
langsung menelpon nomor yang ia telpon sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga
berhasil.
berhasil.
"Tetap
tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mmm...."
gumam Mari sambil mengerutkan keningnya.
"Saya
coba lagi Mbak."
Zul
kembali melakukan panggilan. Tidak juga berhasil.
"Bagaimana,
tidak berhasil juga?" tanyaMari.
"Iya."
"Kau
di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan.
Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat
saya."
"Menginap
di tempat Mbak?"
"Iya.
Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat
saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah
satu kamarnya. Paling tidak untuk sekadar
melepas lelah. Besok kau bisa mencari orang
yang kautuju itu. Itu kalau kau mau."
Zul
terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa
di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama
itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik
kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang
sekarang bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur
ia memang perlu istirahat. Perjalanan dari
Batam sampai Kuala Lumpur cukup membuatnya
lelah. Apalagi dua hari sebelum berangkat ia
kerja lembur di sebuah bengkel.
"Bagaimana
Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat. Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di
bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget
kalau nanti ada operasi polisi dan kau
dianggap gelandangan. O ya bisa juga kau
menginap di hotel Purduraya ini. Tinggal kau
jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan." Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul.
Zul
masih belum mantap menentukan salah satu pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang
yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa
mungkin harus menghemat.
"Sudahlah
Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas
seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan
kata-kata Mari membuat Zul seolah menemukan
pilihan terbaik.
Ia
pun mengikuti langkah Mari. Mereka keluar menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat
meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul
berusaha mengimbangi di sampingnya.
"Kita
mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke
Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke
Subang."
"Iya
Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti lupa."
"Ayo
cepat.dikit."
Mereka
berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi,
odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan
supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali
berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah
sampai di Pasar Seni. Mari langsung naik
Rapid KL jurusan Subang. Zul ikut di
belakangnya. Setelah membayar karcis mereka
duduk. Bus berjalan perlahan.
"Jangan
kaget, nanti kau akan tinggal di tengah-tengah
tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu
semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya.
Rumah saya dihuni enam orang. Ada tiga
kamar. Satu kamar berdua. Kebetulan ada dua
orang yang sedang pulang ke Indonesia. Jadi
saat ini dihuni empat orang. Kau nanti bisa
tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu
teman-teman saya yang lain."
Mari
menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan
dengan seksama. la merasa sudah terlalu banyak berhutang budi pada perempuan muda yang baru dikenalnya itu.
"Mbak
baik sekali. Entah bagaimana saya harus membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak."
"Jangan
berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi
kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang
Indonesia dan sama-sama orang Islam. Sudah
jadi kewajibanku membantu adik. Ya anggap
saja aku ini kakakmu."
"Iya
Mbak. Terima kasih Mbak."
Rapid
KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati
dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya
itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak
begitu muda. Ada guratan derita di sana.
Namun ada juga gurat keberanian dan
kenekatan. Mari memperkirakan umur pemuda
ini lima tahun lebih muda darinya. la telah masuk
dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari dua puluh dua.
Setelah
satu jam berjalan akhirnya mereka sampai di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun dengan tergagap,
"Sudah
sampai tho Mbak?"
"Sudah
Dik."
Mari
turun diikuti Zul.
"Kita
perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba
di rumah. Tak apa ya?"
"Tidak
apa Mbak."
Mereka
berjalan memasuki kawasan Taman Subang Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang
teman-temannya.
"Rumah
saya rumah teras. Rumah teras artinya ya rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada
terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa
bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada
tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda
dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di
Amsterdam.
Linda
ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan
sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus
jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman
sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati
juga sudah bersuami. Kamar tengah saya yang
menempati. Saya sekamar dengan Iin. Kami
memanggilnya Iin. Nama aslinya Mutmainah. la
asli Pati. Iin sudah bersuami dan punya dua
anak di Pati. Kamar yang paling belakang saat
ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah.
Sebetulnya
kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang
kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya.
Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar
saya dan Iin yang tidur di kamar Reni."
"Iya
Mbak."
"O
ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak
bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling
suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak
ingin ngobrol kau nanti langsung saja
tidur."
"Iya
Mbak."
Lima
belas menit berjalan akhirnya mereka sampai
di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan
perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi
dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan
begitu ia masuk ia langsung disambut histeris
temantemannya.
"Oi,
Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan
muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos
oblong.
"Hei
kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan
berdaster panjang.
"Iya.
Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia
mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari.
"Adik
apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek.
Mari hanya tersenyum kecut.
"Kenalkan
saya Zul, dari Demak."
"Saya
Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana
pendek.
"Aku
Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster
memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo
anggep wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep
wae ning ngomahe keluargane dewe."
"Inggih
matur nuwun Mbak." Jawab Zul.
"Si
Linda mana?" tanya Mari.
"Seperti
biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia
dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati.
"Tak
ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan
nada tidak suka.
"Yo
mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan baginya untuk taubat," lirih Iin.
"Amin!"tukas
Mari.
"E...
Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk
Mas.
Monggo Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk
duduk di kursi.
"Ya
Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk.
Sumiyati
lalu bergegas ke dapur membuat minuman.
Sementara
Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar
yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat.
Dengan cepat mereka merapikan dan menyimpan
pakaian dan perkakas milik kaum perempuan
yang tidak sepatutnya dilihat kaum lelaki.
Setelah mereka lihat rapi dan mereka teliti
tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya ke kamar.
Zul
menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk
dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar
itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya
dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di
Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit
kemudian kamarnya diketuk. Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di
supermarket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar