"Kau
kekanak-kanakan!"
"Dan kau,
Tuan Putri, kau egois!"
Ia menyambar
tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping.
Aku masuk ke
ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti inikah perasaan para
istri setelah bertengkar dengan suaminya? Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku
benci menjadi cengeng, tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku
sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan
melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah
menuntut apa pun darinya.
Kubuka lemari es
dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di
depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa
henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa.
Idan kembali
pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian
kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.
"Kalau kau
mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,"katanya.
"Aku tidak
mau pergi ke mal."
"Kau bilang
tadi pagi...."
"Aku tidak
mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat."
"Upit,
kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore. Aku ada janji
jam empat...."
"Aku bilang
aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau."
"Jangan
seperti anak kecil begini, Pit," geramnya. "Ayo!"
"Tidak! Dan
kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!"
Wajah Idan
benar-benar merah sekarang.
"Upit!
Jangan main-main denganku! Aku tidak mau kau menolak pergi jalan-jalan lalu
menghukumku dengan cemberut sepanjang hari begini. Mandi sekarang. Kita pergi
setengah jam lagi."
"Aku bukan
budakmu. Jangan suruh-suruh aku. Dan aku tetap tak mau pergi."
"Oke.
Terserah! Kalau kau mau duduk di sini seharian, makan es krim dan cokelat
sambil mengasihani diri sendiri dan melar dan melar dan melar dan
melar...."
"Idan!"
jeritku sambil melempar kotak es krim itu ke arahnya.
Ia terlambat
mengelak dan sisa es krim yang telah mencair melumuri t-shirtnya.
Aku lari ke
kamarku, membanting pintunya dan melempar diri ke ranjang, sesenggukan.
Kudengar ia memaki dan menendang pintu. Saat itu aku takut, takut sekali. Ia
seperti telah menjadi manusia lain yang tak kukenali sama sekali, asing dan
mengerikan. Kututup telingaku dengan bantal dan aku terus menangis hingga
tenggorokanku yang sakit dan kepalaku yang berat memaksaku tertidur kelelahan.
Sorenya aku
keluar mengendap-endap. Idan pasti telah pergi memancing. Memikirkan bahwa ia
pergi sementara aku masih menangis karena kata-kata kasarnya membuatku makin
marah kepadanya. Kali ini aku yakin tak ada pilihan lain kecuali
meninggalkannya dan kembali ke rumah orang tuaku. Maka selesai mandi aku segera
memasukkan semua pakaianku ke dalam kopor.
Saat itu Idan datang.
Ia kedengaran sangat gembira, bersiul-siul sejak ia memasuki pintu gerbang.
Siulannya berhenti saat ia melihat koporku dari pintu kamar yang terkuak.
"Apa-apaan
ini, Pit? " tanyanya.
"Aku pulang
ke rumah Ibu."
Ia masuk dan
duduk di atas kasurku, mengawasi gerak-gerikku.
"Semudah
ini kau menyerah?"
"Ini diluar
dugaanku."
"Apa?"
"Aku tidak
mengira aku menikahi monster."
Idan terdiam,
menunduk.
"Aku...,"
katanya lirih. "Aku bawa pizza kesukaanmu."
"Aku sudah
terlalu gemuk."
Ia menggeleng
dengan ekspresi bersalah.
"Tidak. Kau
cantik."
"Aku tidak
butuh pendapatmu. Kau bukan suamiku, ingat? Penilaianmu tidak punya arti
apa-apa."
"Aku sudah
mencoba jadi suami yang baik."
"Kau
gagal."
"Setidaknya
aku mencoba. Kau... kau tidak melakukan apapun supaya pernikahan kita
berhasil...."
"Simulasi."
Ia menghela
napas panjang dan mengangguk singkat. "Simulasi."
"Kau salah,
Dan. Aku sudah melakukan terlalu banyak. Sudah belajar terlalu banyak. Dan aku
sudah mengambil keputusan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak suka menikah.
Apalagi denganmu."
Ia tak
mengatakan apa-apa, lama sekali. Ketika ia keluar dari kamarku, aku ambruk ke
atas tempat tidur. Semua topeng ketegaranku hancur berkeping-keping. Aku tak
pernah menduga Idan bisa menyakitiku sehebat ini. Lama kemudian. setelah aku
bisa sedikit menguasai diri, aku bangkit. Kurapikan dandananku dan kuseret
koporku keluar.
"Setidaknya
tunggulah sampai hujan reda," suara Idan menyambutku.
"Terlalu
lama," gumamku. "Aku tidak bisa tinggal denganmu selama itu."
Aku tak peduli
hujan yang serta merta meng guyurku basah kuyup Saat aku membuka pintu gerbang.
Meninggalkan Idan secepatnya, hanya itu yang ada di benakku. Dan ketika mobilku
mulai tersendat terendam genangan air hujan hanya lima puluh meter dari rumah,
aku begitu berang dan putus asa hingga aku keluar dari mobil dan menendang
pintunya, meninju atapnya, air mataku larut dalam siraman hujan.
Saat itu aku
melihat Idan datang. Tanpa mengatakan apa-apa ia mencabut kunci mobilku dan
mengunci mobil itu dari luar.
"Ayo
pulang," katanya.
Aku menggeleng
tanpa berani menatap wajahnya.
Dan ia
mengangkatku, menggendongku, tanpa menghiraukan perlawananku. Ia membopongku
sampai ke rumah, tak memberiku kesempatan untuk melarikan diri.
Setiba di dalam,
ia mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di saku.
"Ganti
bajumu," katanya.
"Semua
bajuku di dalam kopor."
"Ambil
bajuku."
"Tidak akan
pernah!"
Ia mencengkeram
pergelangan tanganku dan menatapku lurus dengan mata berkobar.
"Ini bukan
waktunya melawanku, Pit. Kau bisa sakit!"
"Monster,"
desisku.
Malam itu suhu
tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat
saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang.
Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan
merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku.
Setelah itu
semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika
aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku,
sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan. Ketika aku tiba-tiba tersentak dari
salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran
muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan
merasakan tangannya erat menggenggam jemariku.
Hingga akhirnya,
entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku
telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos
masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di
dekat jendela, membaca.
"Ibu."
Ibuku menurunkan
korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.
"Bagaimana?
Sudah enakan?"
"Idan
mana?" bisikku.
Ah, pertanyaan
bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya dimana aku sekarang atau
setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan?
rutukku pada diri sendiri.
"Masih di
kantor. Sebentar lagi juga pulang."
Aku sakit dan
dia pergi ke kantor. Suami teladan.
"Ibu sudah
berapa lama di sini?"
"Dari pagi.
Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?"
Aku mencoba
menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling
menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan
memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika
Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara
lagi dengannya.
"Bagaimana,
Bu?" tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku.
Dan kemudian
tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung
tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya
dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
"Tadi
bangun sebentar, menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun
dan tadi siang sudah mau minum susu."
Tangan Idan
berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan
berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan
selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
"Kalau Ibu
capek, Ibu bisa ambil cuti besok."
Ibu tertawa
kecil.
"Kau
sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya.
Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capek?"
"Saya pakai
baterai Energizer, Bu."
Ibu tertawa
lagi.
"Idan,
Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa
mengurusmu sesabar kau merawat dia."
Ibu! Idan itu
hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
"Sudah
tanggung jawab saya, Bu."
Alangkah
klisenya!
Sunyi. "Kau
betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?"
"Terima
kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi."
"Baik kalau
begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa obatnya. Kalau ia mau,
ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau."
"Ya,
Bu."
"Dan jangan
tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan."
"Baik,
Bu."
Dan saat itu
juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya.
Aku ingin
menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin
menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena
ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah
berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi.
Ia harus
membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya. Aku
membuat segalanya sangat sulit untuk Idan malam itu. Aku memberontak saat ia
mencoba menyuapiku. Aku menolak saat ia memintaku makan obat.
Aku memintanya
membuka jendela karena aku kepanasan, lalu menutupnya lagi, karena aku
kedinginan, lalu membuka lagi, menutup lagi entah berapa belas kali. Aku
memintanya membuatkanku susu yang tidak kuminum, merebuskan mi instan yang
tidak kumakan, menyiapkan roti yang kubuang kelantai, mengupaskan apel yang
kubiarkan di meja hingga berubah coklat dan memasakkan omelet yang hanya kucuil
sedikit.
Pijatannya
dikakiku terlalu keras, terlalu lembek, terlalu kasar, tidak terasa. Dan saat
ia mulai terkantuk-kantuk di kursi, aku membangunkannya untuk menyalakan
televisi agar aku bisa menyuruhnya mengganti saluran tiap kali ia mulai
mengangguk terlelap.
Semua itu akan
membuatku sangat puas kalau saja Idan mau menolak, memprotes, mengeluh, atau
bahkan marah dan memakiku seperti dulu. Tapi ia sama sekali tidak mengeluh,
tidak membantah. Kesabarannya merusak segalanya. Makin lama aku makin menyadari
kelembutan dalam suaranya ? yang hanya bisa lahir dari kekhawatiran dan
kelelahan di matanya ? yang aku tahu hanya bisa datang dari keputusasaan.
Aku dibuatnya
merasa bersalah, karena aku sadar ia juga tengah menyalahkan dirinya sendiri,
menghukum dirinya sendiri, mungkin lebih berat dari yang kulakukan. Dan
kebencianku justru musnah dan berganti kasihan, sesuatu yang sama sekali tak
kuharapkan, tapi tak bisa kuelakkan.
Menjelang fajar,
saat mengawasinya tertidur meringkuk di kursi, aku mengingat lagi pertengkaran
yang menerbitkan kebencian itu. Aku mengulang lagi setiap kalimat yang
kuucapkan, dan aku tiba-tiba merasa malu. Kenapa semuanya harus terjadi hanya
karena sesuatu seremeh itu. Selama dua puluh tahun persahabatanku dengan Idan,
hobi dan kegemarannya tak pernah membuatku merasa terganggu. Masih banyak hal
lain yang menyenangkan darinya. Kenapa aku sampai bisa melupakan itu dan
membiarkan kemarahan sesaat membutakanku?
Aku tahu
permintaanku wajar. Aku tahu aku berhak meminta Idan menemaniku ke mana pun.
Dan ia juga sama bersalahnya denganku karena mengobarkan pertengkaran konyol
itu. Hanya saja ia lebih berbesar hati untukmenyingkirkan pertengkaran itu
sementara aku justru memupuk dendam dan benci padanya. Jadi siapa sebenarnya
pemenang dalam kontes kedewasaan ini?
Ketika aku
terbangun esok paginya, Idan menyambutku dengan baki sarapan pagi dan senyum
lebar. Ia membantuku ke kamar mandi dan aku tidak memprotes ketika ia memintaku
untuk tidak mengunci pintu. Ia telah menyediakan bangku di dekat wastafel agar
aku tak perlu berdiri saat menggosok gigi. Di rak ia telah menyediakan pakaian
bersih untukku dan bahkan meletakkan bedak dan sisirku, hingga saat aku keluar
dari kamar mandi, aku merasa jauh lebih segar dan hidup.
Ketika aku
kembali ke kamar, aku melihat spreiku telah diganti, mejaku telah rapi kembali
dan bunga di dalam vas di dekat tempat tidurku telah diganti dengan yang baru.
Ketika Idan duduk di pinggir ranjangku, menambahkan gula pada susu cokelatku
dan mengupaskan telur sarapan pagiku, aku hampir menangis karena terharu.
"Kau tidak
ke kantor? " tanyaku mencoba membuka percakapan; kata-kata ramah pertama
yang kuucapkan padanya setelah pertengkaran kami.
"Ini hari
Minggu, Pit."
"Aku sudah
sakit selama seminggu ?" bisikku tak percaya.
"Ya,"
Idan tersenyum.
"Tapi aku
senang kau sudah sembuh sekarang. Aku tidak bisa tenang di kantor
memikirkanmu."
"Ibuku kan
di sini."
"Ya. Aku
terpaksa memintanya datang. Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanku
minggu lalu. Maaf."
Aku menunduk,
bersembunyi dari ketulusan di matanya. Kulirik jam di atas mejaku. Pukul
setengah delapan pagi.
"Tidak main
bola?"
Ia menggeleng
sambil mengolesi sepotong roti lagi dengan selai nanas.
"Aku mau
memberi kesempatan pada Agus. Sudah dua bulan dia cuma duduk di bangku
cadangan."
Aku tersenyum.
"Dia kurang
berani menyerang. Tidak segesit aku. Maklum sudah agak gemuk. Tapi, siapa
tahu," ia mengangkat bahu dan tersenyum.
"Kau mau
pergi memancing nanti sore?"
Ia menggeleng
lagi.
"Kenapa?"
"Aku harus
memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak, Pit. Kalau kutangkapi terus,
mereka bisa punah."
"Kalau kau
memancing lagi, tolong sampaikan terima kasihku kepada mereka, ya."
"Terima
kasih untuk apa?"
Untuk
menunjukkan sisi lain dari Idan yang tidak kuketahui sebelumnya, batinku. Tapi
yang keluar dari mulutku adalah, "Karena meminjamkanmu untukku hari
ini."
Senyum Idan
serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku.
"Lain kali
kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari
sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan
teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?"
Aku mengangguk
dengan leher tersumbat.
"Aku juga
janji tidak akan sering nonton film action lagi," katanya kemudian.
"Kita
memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu
asin."
***
"Selamat
ulang tahun, Pit."
Aku terlonjak
duduk dan menyalakan lampu.
"Idan!
Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!"
"Memberimu
selamat ulang tahun," jawabnya polos.
Dan ia bangkit
dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri.
"Ayo! Aku
mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!"
Ia menyeretku ke
ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di
ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software
yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan
tidak secanggih milik Idan.
Idan menyalakan
komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli,
aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Puisi? Personal
website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng dalam hati, Idan tidak cukup
romantis untuk itu.
"Kau
lihat?" Idan memotong renunganku.
"Apa?"
"Hadiahku."
Keningku
berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu
kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan
kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan
sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi
tak berdaya.
"Kau tidak
menemukannya?" tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
"Aku
menambah memori komputermu," akunya kemudian.
Dan melihat raut
wajahku yang tak berubah, menambah.
"Komputermu
sekarang bisa bekerja lebih cepat."
Aku ingin sekali
berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya
beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa.
"Oh,"
hanya itu yang bisa kukatakan. "Terima kasih."
"Kau boleh
memelukku kalau mau," katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya.
Kupukul
lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin.
Di kantor
teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika
aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti
menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup
selofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut.
Hati-hati
kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku
yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku.
Selamat ulang
tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?
Aku keluar untuk
makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.
***
"Kita tidak
bisa bertemu lagi Pram," ujarku kepada Pram di telepon. Separuh jiwaku
rasanya terbang dan hilang saat kata-kata itu kuucapkan.
"Kenapa?
Idan melarangmu?"
"Dia tidak
tahu apa-apa."
"Kenapa kau
terus memikirkan dia, Ta. Pikirkan dirimu sendiri. Apa kau sudi menghabiskan
hidupmu dengan orang yang tidak kau cintai, sedangkan denganku kau bisa
mendapatkan semuanya?"
Kugigit bibir ku
saat setetes air bergulir di pipiku.
"Ita,
akuilah. Aku menemukan separuh hatiku kepadamu dan hidupmu baru akan lengkap
denganku. Selama ini, aku sendirian dan kau dengan Idan, hidup kita hanya
mimpi, cacat, timpang. Dan kita baru akan memulai hidup, setelah kita bersama.
Saat ini kau tidak punya apa-apa, Ta, tidak juga masa depan, tapi berdua, kita
akan miliki segalanya...."
"Hentikan,"
potongku dengan suara bergetar.
"Kalau kau
minta aku untuk berhenti berusaha mendapatkanmu lagi, kau hanya buang-buang
waktu dan tenaga. Kau tahu aku tidak semudah itu disuruh mundur. Ini menyangkut
sisa hidup ku dan hidupmu. Tidak ada yang lebih penting dari itu dan aku tidak
akan berhenti sampai kau kembali denganku."
"Aku tidak
bisa...."
"Kenapa
tidak?"
Ya, kenapa
tidak. Pernikahan ini hanya sebuah permainan. Menyenangkan memang. Tapi tetap
hanya sekadar sandiwara. Tapi kenapa rasanya berat sekali memutuskannya?
"Kau tidak
mencintai Idan, Ta. Kau berbeda dengannya, jadi bukan kesalahanmu kalau kau
tidak bisa mencinta inya. Satu-satunya perasaan yang layak kau simpan untuknya
cuma iba, karena ia tidak akan pernah bisa mendapatkan hatimu dan ia akan
selamanya menikah dengan perempuan yang mencintai lelaki lain."
"Aku...."
"Akuilah,
Ta, kau mencintaiku. Kebersamaan kita adalah takdir."
Kututup mikrofon
dengan tanganku dan menghela napas panjang. Seluruh tubuhku rasanya terbakar
dan lunglai dan dunia seperti berputar makincepat. Kupejamkan mataku.
"Aku tidak
mencintaimu," gumamku.
"Lebih
keras lagi."
"Aku tidak
mencintaimu."
"Kau
berbohong."
Lama sekali aku
terdiam sebelum akhirnya sanggup mengucapkan, "Ya."
"Ita,"
suara Pram gemetar. "Aku berjanji untuk selalu membuatmu bahagia."
Aku tahu sejak
awal bahwa permainanku dengan Idan akan berakhir, cepat atau lambat. Tapi
hatiku tetap enggan berdamai dengan kenyataan bahwa aku harus bicara padanya
tentang perpisahan. Aku sadar bahwa Idan sendiri tidak berhak dan tidak mungkin
menghentikanku. Bahkan, mungkin ia akan merasa lega dengan keputusanku itu,
karena akhirnya ia bisa membenahi hidupnya sendiri lagi.
Mustahil ia akan
menolak berpisah denganku. Apalagi, aku juga tahu ia sangat menyayangiku dan
ingin aku bahagia. Dan aku tahu, keputusan untuk kembali kepada Pram adalah
yang terbaik untukku dan masa depanku, sesuatu yang pasti akan didukung oleh
Idan. Aku yakin keputusanku itu tidak merugikan siapa pun. Kenapa aku harus
segan menyampaikannya pada Idan? Mula-mula aku berjanji kepada diriku sendiri
untuk mencari waktu yang tepat.
Tapi saat itu
tak pernah datang. Setiap kali, aku dilanda keraguan dan akhirnya membatalkan
niatku. Pram tidak bisa mengerti itu.
"Aku ingin
kita menikah sebelum aku kembali ke Jerman, Ta. Dan kau harus menempuh masa
idahmu dulu. Belum lagi kita harus memikirkan pendapat orang lain yang pasti
berkomentar kalau kau menikah denganku segera setelah masa idahmu selesai. Dan
aku hanya di sini sepuluh bulan lagi."
"Aku tahu.
Aku juga berpikir begitu. Tapi... Entahlah."
"Apa kau
tidak yakin aku akan membuatmu bahagia?"
"Aku...."
aku tergagap dan menggeleng.
"Jadi,
bicaralah dengan Idan."
***
Sore itu, aku
pulang dengan hati berat. Aku sudah bertekad untuk bicara dengan Idan malam itu
juga. Aku tak akan menundanya lagi. Begitu aku tiba di rumah, Idan sudah
menungguku di teras. Matanya berbinar dan wajahnya berseri saat aku mendekati
teras, hingga aku jadi berpikir, ada apa sebenarnya.
"Kenapa kau
sudah di rumah?" tanyaku.
Idan
menyilangkan telunjuknya di depan bibir dan menggandeng tanganku ke dalam
rumah.
"Ada
apa?"
"Sst!"
Ia membawaku ke
serambi samping. Dengan bangga dikembangkannya tangannya. Di sana ada sebuah
ayunan rotan berwarna putih, cukup lebar untuk tiga orang, dengan bantal-bantal
yang kelihatan sangat mengundang, berwarna hijau dengan gambar... mawar putih?
"Ini hadiah
ulang tahun pertama perkawinan kita," katanya.
Mataku beralih
cepat dari ayunan rotan itu. Wajah Idan benar-benar sumringah. Di matanya ada
sekelumit keheranan melihat wajahku yang pasti telah berubah warna.
"Aku... aku
tidak punya hadiah apa-apa," gumamku sambil kembali menatap ayunan itu,
menyembunyikan kalutku. "Aku lupa...."
Idan tertawa.
"Kau bahkan
tidak ingat ulang tahunmu sendiri," katanya.
Ia duduk
diayunan itu. "Ayo," katanya sambil menarik tanganku.
Aku duduk
disampingnya, tak tahu mesti mengatakan apa. Aku benar-benar tidak ingat bahwa
setahun lalu hari itu, aku dan Idan menikah, simulasi. Kenapa Idan harus
menganggap hari itu demikian istimewa sementara aku sendiri sama sekali tak
mengingatnya?
Idan mulai
berayun-ayun pelan sambil menggenggam tanganku. Ia sedang menceritakan sebuah
kejadian lucu di kantornya, tapi aku sama sekali tak mendengarkan. Di kepalaku
berdenging ribuan kata-kata yang akan segera kuucapkan padanya. Aku telah
berlatih dalam hati untuk mengutarakan segalanya, tegas dan jelas. Tapi
sekarang, semua ketetapan hati yang telah kubangun runtuh berserpihan.
"Pit, kau
tidak menyimak kata-kata Pak Guru, anak nakal," teguran Idan membuyarkan
renunganku.
"Ada
apa?"
Kutatap matanya.
"Dan, Pram
pulang."
Dahinya
berkerut.
"Pram?"
"Pacarku
yang pergi ke Jerman."
"Oh,"
ia mengangguk. "Kapan?"
"Sebulan
lalu, waktu aku ulang tahun."
Ia mengangguk
lagi. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa setelah itu.
"Dia sudah
menikah?" tanya Idan, seperti mendorongku bicara.
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Dia ingin
menikah denganku," ujarku cepat-cepat, tanpa memandang wajahnya.
"Ia hanya
di sini sepuluh bulan lagi. Karena itu, aku ingin kita segera bercerai."
"Oh."
Idan tak
mengatakan apapun selama beberapa saat. Pertanyaan berikutnya ia ajukan dengan
ringan, seolah-olah sambil lalu.
"Kau yakin
ia mencintaimu?"
Aku mengangguk.
"Kau yakin
akan bahagia dengannya?"
Sekali lagi aku
hanya mengangguk.
"Kalau
begitu, selamat," ketulusannya terdengar hangat. "Aku ikut
bahagia."
Kuberanikan diri
untuk menatap wajahnya. Dan aku tidak menemukan setitik pun kekecewaan di sana.
Rasa lega meruahi hatiku.
Idan bertanya
beberapa hal tentang Pram dan semuanya kujawab dengan antusiasme gadis belasan
tahun yang mabuk asmara. Tapi setelah beberapa waktu, aku sadar kalau ia tidak
sungguh-sungguh memperhatikan ceritaku.
"Dan?"
tegurku.
"Ya?"
"Kau tidak
mendengarkan. Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang
berpikir, gadis mana yang bisa kuajak selingkuh, supaya kau punya alasan untuk
bercerai denganku."
***
Malam itu aku
terbangun saat Idan mengguncang bahuku.
"Pit,
bangun!"
"Ada
apa?" gumamku.
Jam alarm di
sisi ranjangku baru menunjukkan pukul tiga lima belas dini hari.
"Ganti baju
cepat, kita mesti ke rumah sekarang. Mama meninggal."
Aku terlonjak
duduk.
"Apa?"
"Ganti
baju," perintah Idan sambil meninggalkan kamarku.
Aku terpaku
sejenak sebelum akhirnya lari mengejar.
"Kapan."
"Baru
saja."
"Di?"
"Rumah.
Ganti bajumu. Kita berangkat lima menit lagi."
"Idan...."
Ia membanting
pintu kamar di depanku.
Aku kembali ke
kamarku dan bergegas mengganti piyamaku dengan baju yang pantas. Ketika aku
keluar, semua lampu belum menyala dan pintu depan masih tertutup. Juga pintu
kamar Idan. Kuketuk pintu itu perlahan.
"Dan, aku
sudah siap."
Tidak ada
jawaban.
Aku menyelinap
masuk. Kamar Idan gelap, tapi dengan cahaya samar lampu taman aku bisa
melihatnya meringkuk di sudut, wajahnya tersembunyi dibalik kedua tangannya. Ia
menepis tanganku, bahkan mendorongku terjungkal saat aku menyentuh bahunya.
Tapi ketika
untuk ketiga kalinya kuulurkan tanganku, ia tidak lagi menghindar, dan dalam
rangkulanku ia menangis.
Hanya saat itu
Idan tidak bisa mengontrol emosinya. Setelah itu ia kembali menjadi Idan yang
rasional dan berkepala dingin, yang mengurus pemakaman, menerima para tamu dan
menghibur keempat kakak perempuannya dengan ketenangan yang nyaris mengerikan.
***
Sore harinya,
saat aku tengah membantu merapikan kembali ruang tamu, kakak tertua Idan, Kak
Ira, menghampiriku.
"Pit, bawa
Idan pulang."
"Apa tidak
sebaiknya dia di sini dulu, Kak?"
Kak Ira
menggeleng.
"Coba lihat
sendiri," katanya sambil menunjuk ke halaman belakang.
Idan kutemukan
di sana, sedang mengisap sebatang rokok. Ia sudah tujuh belas tahun berhenti
merokok dan melihatnya kembali pada kebiasaan itu membuatku sadar ia sedang
bergelut dengan kepedihan yang lebih dalam dari yang ditunjukkannya.
Ketika aku
mendekat, kulihat asbak di sampingnya telah penuh dengan puntung rokok dan
kotak di atas meja tinggal berisi sebatang. Kucabut rokok itu dari antara
jemarinya dan kubunuh di asbak. Idan tidak memprotes, ia bahkan tidak
menatapku.
Aku sadar, Kak
Ira memang benar. Aku harus segera membawa Idan jauh-jauh dari semua kenangan
tentang ibunya.
"Aku mau
pulang, Dan, " ujarku sambil memegang tangannya.
Ia menggeleng
pelan.
"Aku akan
menginap di sini. Kau pulanglah sendiri. Besok aku pulang naik bus saja."
"Aku tidak
mau sendirian di rumah."
Idan menghela
napas berat dan akhirnya bangkit. Ia berpamitan kepada kakak dan iparnya dan
keluar untuk mengambil mobil. Saat itu Kak Ira menggamit tanganku dan berbisik,
"Aku senang Idan sudah menikah denganmu. Kau pasti bisa menghiburnya dalam
saat-saat seperti ini. Ia paling merasa kehilangan dengan meninggalnya Mama.
Kau tahu, ia tinggal dengan Mama selama tiga puluh tiga tahun."
Aku terpana
sesaat. Dadaku ngilu. Kupeluk Kak Ira dengan hati menggigil. Bagaimana bisa
kukatakan kepadanya bahwa aku dan Idan sudah sepakat untuk mengakhiri
pernikahan ini secepatnya?
***
Sesampai di rumah,
Idan langsung menuju ke kamarnya.
"Kau mau
kumasakkan nasi goreng, Dan?"
"Nanti
saja. Aku tidak lapar."
"Kau tidak
makan apa-apa dari kemarin subuh. Nanti kau sakit. Mau ya?"
Idan mengangguk
dengan mata hampa. Aku jadi semakin khawatir melihatnya.
"Tunggu di
sini," ujarku lagi. "Aku tidak akan lama."
Ketika aku baru
saja mengambil telur dari lemari es, aku mendengar suara Idan di kamar mandi.
Ia kutemukan membungkuk di wastafel, menangis dan muntah hampir bersamaan.
Untuk sesaat kepanikan melumpuhkanku dan aku hanya bisa terpaku diambang pintu,
tak pasti apa yang harus kulakukan. Insting pertamaku adalah lari keluar
mencari bantuan. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan dalam keadaan seperti
itu. Kuhampiri Idan dengan ragu.
Perlahan kuelus
punggungnya dan sentuhanku agaknya sedikit menenangkannya, dan lambat laun
isaknya mereda. Ini membuatku lebih yakin dengan apa yang mesti kulakukan
selanjutnya. Kupijat tengkuknya dan kuseka keringat di dahinya. Tapi tiba-tiba
saja ia terkulai lemas, dan kalau aku tidak segera meraihnya ke dalam
pelukanku, ia pasti akan terpuruk ke lantai. Pelan-pelan kupapah ia ke kamar
dan kubaringkan di ranjang. Kubuka kemejanya yang basah dan kuselimuti badannya
yang menggigil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar