Maka
saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis
Pak. Dan baik hatinya."
Pak
Muslim mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi
kau benar-benar akan menikahi dia?"
"Iya
Pak."
"Kau
mantap?"
"Mantap
Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah."
"Kau
siap dengan segala risikonya?"
"Siap
Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan.
Saya harus bagaimana jika menikah?"
"Iya
Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!"
"Bagus!
Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul,
hah!?"
"Jadi
Bapak benar-benar mendukung saya menikahi dia?"
"Menikah
kan baik, kenapa tidak saya dukung. Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan
menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"
menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"
"Bagaimana
kalau aku temui dia besok Pak?"
"Bagus
semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kau tata.
Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain
sebagainya."
"Iya
Pak. Baik!"
"Besok
ya berangkat menemui dia?"
"Iya
Pak."
"Jam
berapa Zul."
"Pagi-pagi
saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa berangkat kerja jam delapan."
"Baik.
O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia
tidak pergi."
"Baik
Pak."
Pak
Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu
dengan yang ia cintai datang ia akan hidup penuh
semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan
matahari kehidupannya yang selama ini redup
kini kembali bersinar terang.
Zul
langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu
wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor
Mari. Berulang kali nomor itu ia hubungi
namun tidak bisa nyambung. Ia agak kecewa.
Ia kuatir Mari ganti nomor. Ia juga menyesal
kenapa selama ini ia ragu-ragu dan gamang
setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di
rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di situ.
rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di situ.
Sorenya
Zul kembali mencoba mengontak nomor Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator
seluler menjelaskan nomor itu sedang tidak
aktif. Zul kembali ke flat dengan hati
kecewa. Namun Zul tetap bersemangat besok
pagi berangkat ke Subang Jaya untuk menemui
Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Teman-teman satu rumahnya mendukung langkah yang akan diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan
rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan
keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan
tidak kehilangan semangat.
Malam
itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan
dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan
ringan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya
yang ia rasakan terasa sumpek dan berat.
Terbitnya harapan yang terang dalam hati
membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan.
*
* *
Pagi
itu ia telah bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat
bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali
nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim
langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL
Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya.
Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25
ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan
perumahan Taman
Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang ketika
ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari. Sepuluh
menit kemudian mereka telah sampai di depan
rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu
ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For
Sale/For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya.
"Ini
rumahnya Zul?"
"Iya
Pak."
"Kau
yakin."
"Tak
mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A."
"Berarti
mereka telah pindah. Dan mungkin telah lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual
atau disewa."
"Iya
Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul
murung.
"Kau
masih bersemangat untuk mencarinya?"
"Tentu
Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu."
"Wah
kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film saja."
"Tapi
aku harus menemukan dia Pak?"
"Gampang.
Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan
teman-temannya."
"Iya
Pak."
Mereka
berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini
dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No.
8A, wanita itu menatap penuh curiga. Pak Muslim
menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat. Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat. Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.
"Sila
Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu.
Pak
Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan
oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris Zul langsut berkata setengah teriak,
"Tidak
mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!"
Wanita
itu memperhatikan Zul dengan wajah heran bercampur curiga.
Pak
Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir.
"Tenang
Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang.
Dan
dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita
yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia
membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap
pihak polis. Selesai membaca berita di koran
itu airmatanya meleleh. Dengan suara lirih
tertahan ia berkata pada
dirinya sendiri,
dirinya sendiri,
"Sia-sia
aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya."
Pak
Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!"
"Seminggu
yang lalu polisi menangkap mereke. Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas
pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau
boleh tahu Encik berdua ini ada hubungan apa
dengan mereke berdua ya?"
Pertanyaan
wanita muda itu membuat Pak Muslim agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi
spontan ia menjawab,
"Dia
ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan
kakaknya."
"Aduh
kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur,
perusak moral masyarakat."
Hati
Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan
yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama
sekali padam. Pak Muslim mengerti dengan
kesedihan Zul.
Beliau
membesarkan hati Zul dengan berkata,
"Ini
skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan
malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang
fokuskan untuk belajar. Percayalah Allah
akan memberimu ganti yang lebih baik.
Percayalah!"
"Iya
Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan
bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab
Zul sambil menyeka airmatanya yang meleleh
di pipinya.
Sudah
sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan
pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat.
Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia
memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari
sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan.
Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi
Pengajian Islam untuk mengoreksi
kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan
hadis. Ia menulis tentang pendidikan
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan.
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan.
Perpustakaan
Akademi Pengajian Islam itu telah sepi. Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi
perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia
menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua
tangan ke kiri dan ke kanan. Kepalanya ia
jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu
ia merapikan buku-buku yang baru saja ia
baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia
masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa
tidak ada yang ganjil ia turun ke bawah.
Di
bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis
melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi.
Che Mazlan, petugas perpustakaan paling
ramah menyapanya dengan tersenyum,
"Sudah
ketemu semua yang dicari Ustadz?"
Karena
memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia
berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil
tasnya.
Memasukkan
map plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.
"Ashar
baru mau masuk."
la
merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak
pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas
air putih. Ia bergegas turun ke tempat
parkir. Sepeda motor tuanya begitu setia
menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus
kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke kanlin kolej.
Sore
itu kantin kolej padat pengunjung. Kantin yang
dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti
Malaya itu begitu hidup. Padat bergairah,
namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas
cafe dan kedai. Sore itu semua buka. Bisa
dipastikan sembilan puluh sembilan persen
Pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Café berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?"
Pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Café berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?"
"Teh
O panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan
piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang
mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa
sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di
perpustakaan telah membuat tenaganya terasa
terkuras habis.
"Berapa
Kak? Tambah minum Teh O panas," tanyanya pada kasir.
"Empat
ringgit dua puluh sen."
Ia
keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat
berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga
keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen,
dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.
Zul
melangkah mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan pandangan matanya ke segenap arah.
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya. Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati.
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya. Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati.
Zul
mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa.
"Hmm
benar kata pepatah China, rasa lapar adalah
koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada
diri sendiri.
Sesekali
ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan
ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada
mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa
agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung
tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang
ia kenal. Bahkan si Edy, si Gugun, si Rizal
dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej
pada jam seperti itu pun tidak ada.
Ia
terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India
hendak minta ijin untuk duduk di depannya.
Tampaknya mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi
itu tidak jadi duduk satu meja dengannya.
Mahasiswi itu memilih mencari tempat yang
lain.
Sambil
makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus
bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari
peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja
melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau
pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke
tempat siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki
siapa-siapa. Sejak
kecil
ia tidak melihat ayah dan ibunya. Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik
di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan
seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung.
Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut
manis lelaki itu. Ibunya ikut saja ketika
lelaki itu mengajaknya menikah secara siri.
Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat secara
resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya
tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. Diumumkan terang-terangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya untuk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal.
tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. Diumumkan terang-terangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya untuk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal.
Ibunya
yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan
bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya
Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki
itu secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah
dengan ibunya selama dua bulan. Setelah itu
ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk
keluarganya. Dan ternyata tidak
kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya.
kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya.
Sejak
itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama
ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama
ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang
ditinggalkan ayahnya. Disitu tertulis sebuah
nama. Tapi Pakdenya yakin nama itu pun
fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari
hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun
ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.
Dengan
tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan
untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab. Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya
sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.
untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab. Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya
sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.
Dan
jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan
hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan
cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur
dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk
bekerja sambil belajar.
Itu
yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan
ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar.
Tapi ia merasa sepertinya telah diatur oleh
waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari
ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di sini.
Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program
waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak
bisa membayar sewa rumah, terancam tidak
bisa makan, terancam tidak bisa membayar
uang kuliah, dan terancam tidak bisa menata
hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu
berusaha menyembuhkan kelelahannya dengan
menghibur diri: inilah proses merubah takdir.
Kata-kata
yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah yang menguatkannya. Ia merasa sejak
kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa
Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah
menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah
takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan
merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya.
Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah
tepat mengambil jalan dan sebab dalam
mengubah takdir.
Sejak
lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha
keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di
Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia
berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga
S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari IKIP
PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan
belum juga merubah nasibnya. Ia tetap harus
bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang
bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan
bahan olok-olokan oleh teman-temannya, "Kalau
hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah
sampai sarjana." Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD.
Ia
lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba
peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir
yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke
Jakarta.Di Jakarta ia merasa tidak
mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia
masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di
Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak
yang bercerita Batam adalah cara cepat
merubah nasib. Di Batam banyak pekerjaan dan
banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan
takdir yang tak jauh berbeda.
Namun
ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu
dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan.
Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri
Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu
yang lebih tinggi.
"Kamu
masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana.
Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah
memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan
membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal
adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap
survive. Percayalah kamu akan sukses.
Percayalah dengan ilmu derajatmu akan
diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu,
berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya
kamu akan sukses!" Begit kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil
Al-Quran.
Ia
merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib.
Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya,
dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau
ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah
ia akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah
pascasarjana. Dan kini ia sudah diambang
pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang
gelar M.Ed, atau Master of Education dalam
bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren.
Di
desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih
gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di
luar negeri. Menyadari kenyataan itu
bukannya ia bangga, justru dadanya kini
sesak.
Ia
memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2.
Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan
kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti
Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan
hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja
untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan
lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa
dikatakan ia telah berhasil meraih gelar master.
Namun
ia merasa ada yang menyesak di dadanya. Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan
kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia
rasakan belum juga bermanfaat baginya. Yang
paling akrab dengannya masih juga
kerja-kerja yang mengandalkan otot. Belum
kerja profesional yang mengandalkan otak. Jika
ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang
dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah
setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe
tepat jam Sembilan malam dan pulang jam dua
malam. Di antara sekian pelayan restoran
hanya dia seorang yang calon master.
Rata-rata
mereka hanya tamat SMA. Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institute
tidak terkenal di Shah Alam.
Ia
bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti
ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan
ketika telah meraih gelar Ph.D. juga akan
tetap bertahan hidup dengan cara seperti
ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia dengan
gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja sebagai
kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya?
Atau,
ia justru akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau mati pun segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu
putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah
perusahaan farmasi di Selangor,
"Di
Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai
banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi
keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa
yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan
memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional
tapi sama sekali tidak diapresiasi di Tanah
Air. Saya punya kenalan seorang doktor
lulusan Jepang yang cemerlang dan mendapat
banyak penghargaan internasional atas riset-risetnya
yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai
di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima.
Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai
daripada ilmuwan dan pahlawan."
Ada
nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor
Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah
menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah
sudah merasa bukan lagi orang Indonesia. la
mengatakan orang Indonesia dengan sebutan
"mereka", dan menyebut pemerintah
Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka",
bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di
Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia? Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia?
Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia? Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia?
Ataukah
supaya dirinya benar-benar siap menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu
semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan
seorang putra bangsa yang disia-siakan oleh
bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais
sesuap nasi di negeri orang. Padahal gelar
doktor dari Jerman telah ia sandang. Jawabnya:
Allahu a'lam.
Yang
jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir
hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah
terlalu lama ia bersabar mati-matian
berproses untuk membuka lembaran hidup yang
lebih baik. Yang ia pikirkan apakah ia salah
mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan?
Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja empat
jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan
bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi
tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan
tidur pun tersenyum.
Kenapa
ada negara yang benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki
kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan
negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara
itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia
mengalami sendiri—ada orang yang nyaris
hidupnya ia gunakan
untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.
untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.
Ah,
ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat
Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia
selalu bangun jam tiga pagi, jauh sebelum
Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang
isteri untuk dijual ke pasar. Saat Subuh
tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara
sang isteri berjualan hasil ladang di pasar.
Setelah mengurus anaknya yang masih SD, ia
langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di
sawah sampai jam setengah lima sore. Malam
harinya ia gunakan untuk bekerja membuat
kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya
masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan
belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak.
Di mana letak salahnya?
Kenapa
petani Indonesia seolah harus terus miskin,
sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur
dan menyekolahkan anaknya ke London? la lalu
teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia
yang sebentar lagi selesai master masih saja
menggantungkan hidup dari mencuci piring di
cafe dan restoran, sementara temannya dari Pahang
yang juga calon master sudah memiliki dua perusahaan,
dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu hektar
di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukan di Melaka Malaysia.
*
* *
"Maaf
Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara
seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia
memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu
berdiri di depannya. Tangan kanannya
memegang piring berisi makanan dan tangan
kirinya memegang gelas berisi minuman
berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik.
"Em...silakan."
Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada
di samping kanannya.
Gadis
itu langsung meletakkan piring dan gelasnya
di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan
gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan.
Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak
mempedulikan sama sekali gadis di hadapannya
itu. Ia melanjutkan melahap nasi dan lauk
yang masih tersisa di piringnya. Setelah
nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syaraf-syaraf
kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya memudar dan hilang.
Tanpa
terelakkan ia sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu
memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras
wajahnya memancarkan pesona khas gadis
Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru
muda membalut tubuhnya. Ia tidak memakai
jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut
itu hitam pekat dan berkilau indah.
Zul
merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi
handphone yang ia tempelkan ke telinga kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis
itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan
kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia
merasa harus meluruskan
kejanggalan itu.
kejanggalan itu.
"Maaf
Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas
pada gadis itu.
Gadis
itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Adik
seorang Muslimah?"
Gadis
itu kembali menganggukkan kepala.
"Maaf,
ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik
makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai
Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa
kecuali kebaikan."
Muka
gadis itu sedikit memerah.
"Terima
kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?"
Agaknya
gadis itu tersinggung.
"Sekali
lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam
setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas.
Sekali lagi maafkan saya, saya hanya ingin
cara makan adik sesuai dengan sunnah Rasul.
Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau
adik berkenan."
Zul
bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda
motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan.
la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu.
Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai
rumah. Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu
Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali
memperbaiki tesisnya. Malam nanti ia akan
kerja lembur untuk tesisnya. la telah ijin
tidak kerja di Cafe Jamalia.
Dengan
tenang Zul menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej. Ia
sama sekali tidak
menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis
Waktu
terus berjalan, menghasilkan pergantian jam.
Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah
kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang
gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil.
Sejarah orang-orang yang malang dan sejarah
orang-orang yang beruntung. Waktu terus
berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan.
Ya, waktu terus berjalan tanpa henti.
Zul
termenung di kamarnya memikirkan waktu yang ia lalui dan perubahan-perubahan yang ia alami.
Alangkah cepat waktu berjalan. Dan alangkah cepat
umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia
lulus SD, terus SMP, terus SMA.
Kenangan-kenangan saat di SMA terbayang di
depan mata. Ia seolah ada di dalamnya. Perubahan
terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia ternyata
sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah selesai
S.2.
Sepertinya
baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh
Pak Rusli. Lalu berkenalan dengan Sugeng, Yahya,
Arif, Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka
sudah tidak ada lagi di flat itu bersamanya.
Sugeng sudah selesai setengah tahun yang
lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari.
Yahya
sedang menempuh program Ph.D., ia kini tinggal
di Sigambut bersama isterinya. Arif sudah selesai
masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah
di Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia
mendirikan penerbitan di Bandung. Pak Muslim
sudah menyelesaikan doktornya dan telah
kembali mengajar di UNY.
Orang
yang dulu satu rumah dengannya telah meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik
yang lebih muda yang baru datang. Tak terasa. Ia
sudah mulai merasa semakin tua. Umurnya
sudah mendekati kepala tiga. Sugeng, Yahya,
Arif dan Rizal semuanya sudah berkeluarga.
Hanya dirinya yang belum. Semua sudah
mengamalkan dan membagi ilmunya. Hanya ia seorang
yang ia rasa belum. Ia masih saja seperti dulu. Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami perubahan. Ia gelisah. Akan ia bawa ke mana gelar
M.Ed.nya? Apakah hanya untuk memperpanjang
namanya saja. Biar tampak ada gelar di
belakangnya?
Hari
itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi
ke rumah Yahya. Ia ingin mendiskusikan
kegelisahannya. Ia harus mengakui terkadang
ia merasa sangat jauh dari dewasa. Ia merasa
belum bisa berpikir tenang dan jauh ke depan
seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada
dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan?
dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan?
Bukankah
Tuhan telah banyak merubah dirinya. Dari orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi
orang yang hidup tenang. Dari orang yang pernah
nyaris binasa karena dibelenggu oleh syahwat
cinta menjadi orang yang merdeka.
Ketika
ia sampai di rumah Yahya ia langsung menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab,
"Bersabar
dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan tergesa-gesa. Tetaplah sabar dan istiqamah dalam berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang dilimpahkan
oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau
berprasangka buruk pada Allah. Allah-lah yang
Maha tahu yang terbaik untuk kita. Apa yang menurut
kita baik belum tentu baik menurut Allah. Dan apa
yang menurut kita tidak baik belum tentu
tidak baik menurut Allah. Apa yang kita
sukai belum tentu itu baik bagi kita.
Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi kita.
Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi kita.
Bisa
jadi, sampai saat ini kau masih bekerja di cafe,
karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi setelah
itu akan ada hikmah yang luar biasa bagimu.
Yang paling penting bersabar dan
bersyukurlah. Optimislah. Dan berprasangka
baiklah kepada Allah."
Zul
merenungkan perkataan sahabatnya itu.
Yahya
mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji,
"Agar-agarnya
enak."
Spontan
Yahya menjawab, "Makanya segera menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar."
"Kalau
kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa sudah tiba saatnya. Orang satu rumah kita dulu sudah
menikah semua. Hanya aku saja yang belum."
"Kau
serius Zul."
"Serius."
"Kalau
orang Malaysia bagaimana?"
"Kalau
salehah kenapa tidak?"
"Ini
serius lho Zul."
"Ya
pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main."
"Baik.
Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani jamin. Dulu dia teman isteriku waktu kuliah di
Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah menanggalkan jilbab. Bagaimana?"
Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah menanggalkan jilbab. Bagaimana?"
"Boleh
saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan dianya tidak mau."
"Bagaimana
kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau malah kau yang tidak mau."
"Kayaknya
itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau sudah berani menjamin baik, masak sih aku tidak mau.
Siapa namanya kalau boleh tahu?"
"Laila
Abdurrahman."
"Kau
mau ta'aruf serius dengannya Zul."
"Wualah
tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya."
"Kalau
begitu kau besok datanglah ke masjid kampus
UKM Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan dengannya insya Allah."
"Baik."
*
* *
Hari
berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM dari Pantai Dalam sampai UKM lalu naik bus mini kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak
ke Fakulti Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di
sana ada seminar membahas dua judul proposal
disertasi doktor. Dua orang mahasiswa
program doktor dari
Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan dosen dan guru besar.
Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan dosen dan guru besar.
Zul
dan Yahya duduk agak depan samping. Satu per
satu kandidat doktor itu mempresentasikan
kajiannya. Ada empat profesor yang menilai
dan mengkritisi. Di antara empat profesor
itu ada profesor madya perempuan yang tampak
masih muda dan cantik. Dialah yang menjadi
artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh keanggunan dan kecerdasan profesor itu.
"Ya,
perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya. Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya.
Canggih betul."
"Kau
tahu itu siapa?"
"Siapa
Ya?"
"Itulah
orang yang akan aku kenalkan denganmu."
Zul
kaget bagai disambar petir.
"Weh,
yang benar donk. Kau jangan bercanda. Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?"
"Aku
tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya
Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia
menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Satu
kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku
pulang ke Indonesia setelah selesai S.2-nya,
sedangkan dia langsung lanjut S.3. Kata
isteriku, ketika di Birmingham dia termasuk
mahasiswi yang disanjung banyak dosen
karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?"
karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?"
"Lanjut
Ya."
"Okay,
kau juga harus tahu kekurangannya, kalau ini dibilang kekurangan, dia itu sudah janda. Sudah
pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda
karena suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul?
Dilanjutkan apa tidak?"
Zul
berpikir sejenak. Lalu menjawab,
"Dilanjutkan."
"Baik."
Jawab Yahya sambil tersenyum.
Setelah
seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya
ternyata juga ada di ruangan itu. Isteri Yahya
menyalami Prof. Datin Laila. Keduanya
berangkulan mesra. Lalu Yahya menyapa seraya
memperkenalkan Zul. Mereka berempat lalu
berbincang-bincang sambil berdiri beberapa
saat. Prof. Darin Laila sangat ramah dan murah senyum. Zul terpesona dengan aura kemelayuannya.
Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya.
Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya.
Yahya
dan isterinya serta Zul bergegas ke masjid dengan
mobil Yahya. Di perjalanan isteri Yahya menjelaskan
bahwa Laila adalah teman akrabnya saat di
Birmingham. Beberapa bulan lalu Laila
meminta padanya kalau punya calon yang
sesuai untuknya. Orang Indonesia tidak
apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. La seperti
tidak percaya kalau calon yang dikenalkan dengannya
adalah seorang Datin Laila yang ia rasakan lebih
dari seorang bidadari.
"Tapi
Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu
kalau ada orang Indonesia yang melihatnya dan
berniat ta'aruf dengannya. Besok baru aku
akan jelaskan padanya. Apa kira-kira reaksi
dan tanggapan dia. Semoga seperti yang kita
harapkan. Kalau melihat suami dia dahulu
juga dari kalangan orang biasa. Bukan dari kalangan
bangsawan," kata isteri Yahya.
"Insya
Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke
mana-mana Zul." Sambung Yahya.
Zul
mengamini dalam hari berharap semoga surge itu telah ia rasakan di dunia.
Setelah
shalat Ashar mereka pulang meninggalkan kampus UKM. Yahya dan isterinya membawa mobil. Zul
naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk
satu mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah
seorang kenalannya bernama Ardan di Hentian
Kajang.
Zul
naik bus mini kuning ke Hentian Kajang. Ongkosnya cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit
kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang.
kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang.
Ketika
ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan
keras.
"Zul!
Mas Zul!"
Ia
menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara.
Seorang wanita berjilbab dengan wajah gembira
melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan seksama,
mencoba mengingat-ingat.
"Lupa
ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu
sambil tersenyum.
"Siapa
ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul.
"Sudah
terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak bertemu jadi kau lupa. Sangat wajar. Apalagi penampilan
saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau susah
menerka."
"Aduh
langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil
melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu
longgar untuk hal yang kurang penting.
"Baik
Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu
ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak
jilbaban seperti sekarang."
Seketika
Zul terkaget dan langsung tersenyum bahagia.
"O
Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah
mengingat-ingat tadi. Saya sepertinya pernah
bertemu. Tapi di mana saya tak ada bayangan.
Iya Mbak benarbenar beda setelah pakai
Jilbab. Tambah anggun."
Sumi
tersenyum mendengar pujian.
"Alhamdulillah
Mas. Saya bahagia berjalan dalam hidayah ini."
"O
ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana
ya? Saya pernah ke sana ternyata kalian sudah
tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak
tahu. La tidak bisa melupakan berita koran
tentang penangkapan penghuni rumah itu.
"Mas
belum tahu beritanya ya?"
"Berita
yang mana?"
"Ah
baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat
Mas dengar berita itu tidak salah faham. Begini
Mas. Kami pergi tepatnya terusir dari rumah
itu ada sebabnya. Sebabnya adalah ulah Linda
dan Watik yang keterlaluan. Maksiatnya sudah
terang-terangan. Aku yakin kau tahu
apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering bertengkar dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua.
apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering bertengkar dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua.
Padahal
pelacurnya cuma Linda sama Watik. Kami diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk koran.
Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini
adalah Mbak Mari. Mbak Mari berusaha sekuat
tenaga berdialog dan menjelaskan bahwa tidak
semua yang ditangkap adalah pelacur. Akhirnya
Mbak Mari bisa menelpon seorang kenalannya.
la anak seorang pejabat penting.
Dengan
jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain Linda dan Watik dibebaskan. Sejak itu saya memakai
jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup
ini. Begitu ceritanya Mas."
Zul
mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah berprasangka buruk pada semua penghuni rumah, termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang ia tahu Mari
bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan
keberadaan Mari. Walau bagaimanapun nama itu
pernah tertanam dalam hatinya.
"Lha
Mbak Mari sekarang di mana?"
"Dia
sudah di Indonesia."
"Ada
alamarnya?"
"Sayang
tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat dan kontak Mbak Mari hilang di bus. Mungkin jatuh.
Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang. Dan dia
juga sudah berjilbab lho"
"Mmm
di Semarang. Dia sudah menikah?"
"Saya
juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol dengan saya. Maaf lho Mas Zul ya kalau tidak berkenan.
Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama Mas
Zul."
Seperti
ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah Mari hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan
muncul ke permukaan. Tapi cepat-cepat ia tepis
kuatkuat. Ia tidak boleh menghadirkan
kenangan itu. Ia telah siap berta'aruf
dengan Datin Laila.
"Maaf
Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi.
Saya sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas.
Sukses ya." Sumi minta diri.
Zul
terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya.
Kemudian ia teringat hari sudah sore. Ia harus
sudah ada di Pantai Dalam sebelum Maghrib.
Keinginannya untuk menemui Ardan terpaksa ia
urungkan. Ia langsung bergegas mencari bus
ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia akan
nyambung dengan KTM.
*
* *
Hari
berikutnya, pagi-pagi sekali Yahya datang ke
Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi
antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar
menunggu berita gembira itu.
"Bagaimana,
sesuai harapan?" tanya Zul.
"Pada
dasarnya Datin Laila menerima dan tidak masalah...." jawab Yahya tenang.
"Alhamdulillah,"
potong Zul.
"E
dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!"
"O
masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?"
"Ya
pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak
ada masalah. Yang jadi masalah adalah kakak
sulungnya, yang sekarang jadi walinya telah
membawa seorang calon untuknya. Datin Laila belum
mengambil keputusan. Tapi agaknya Datin
Laila merasa berat jika harus berseberangan
dengan kakak sulungnya."
"Artinya
ia cenderung mengiyakan calon dari kakaknya kan?"
"Begitulah."
Zul
menunduk kecewa.
"Kenapa
dalam masalah seperti ini aku selalu menuai
kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi.
Apa ya dosaku ini?"
"Lha
mulai berprasangka tidak baik pada Yang Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain membawa kabar menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan
untukmu."
‘'Apa
itu Ya?"
"Aku
kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi Pendidikan dan jurusan Sosiologi Pendidikan. Ini mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran ke sana."
"Wah
boleh ini Ya." Zul semangat.
"Caranya
bagaimana Ya?"
"Sebaiknya
kau pulang ke Indonesia. Masukkan langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian bersilaturrahmi
ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga
mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang
jilbaber-jilbaber kan banyak."
"Wah
saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya
luas ya Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran
jumlahnya. Tidak cuma Mari atau Laila
ya."
"Lha
iya lah."
"Kenapa
aku baru menyadarinya sekarang ya."
"Karena
kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar. Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan menggairahkan."
"Ya
sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan pikiran Ya."
"Di
antara caranya adalah dengan selalu berprasangka
baik kepada Allah."
"Terima
kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?"
"Apa
itu?"
"Pinjami
uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul
tersenyum.
"Tentu
bisa."
"Kau
memang sebaik-baik teman Ya."
"Kau
juga Zul"
"Alhamdulillah."
Tiga
hari kemudian Zul terbang ke Yogyakarta. Di
Bandara Adi Sucipto ia dijemput oleh Pak Muslim.
Begitu bertemu mereka berangkulan erat
sekali. Pak Muslim tampak bahagia sekali
bertemu dengan Zul, begitu juga Zul.
Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama sekali tidak berubah, meskipun ia telah menyandang
gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya orang
biasa.
Orang
yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu
beliau memakai batik warna tua yang tersembunyi
dalam jaket cokelat yang tampak tua. Warnanya telah
berubah karena terkena panas dan hujan.
Pak
Muslim menjemput dengan mobil Katana tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke rumahnya di
sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo.
"Rumah
ini masih menyewa Zul," kata Pak Muslim
begitu sampai di rumahnya.
"Doakan
tahun depan ada rejeki
untuk membeli rumah. Meskipun dengan mengangsur,"
lanjutnya.
"Semoga
Pak."
"Ayo
masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku
sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di
rumah eyangnya di Solo."
Begitu
masuk Pak Muslim langsung ke dapur membuatkan minuman.
"Adanya
ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas
berisi air sirup berwarna hijau.
"Nyaman
hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul.
"Nyaman
dan tidaknya hidup itu yang mengkondisikan adalah
Hati dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja merasa nyaman. Aku tak pernah kuatir atau
takut sebab aku yakin Allah mengasihiku."
"O
ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi?
Kira-kira yang daftar banyak tidak?"
"Cuma
enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang daftar mungkin puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang peluangmu, ya
yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk
Sosiologi Pendidikan, saya lihat yang daftar
sampai kemarin belum terlalu banyak,
kira-kira baru belasan orang. Peluangmu
mungkin bagus. Apalagi hanya kau yang meraih
M.Ed, dari luar negeri."
"Doanya
Pak."
"Semoga.
Syarat-syarat sudah lengkap semua?"
"Yang
belum foto Pak."
"Nanti
foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa
dimasukkan."
"Iya
Pak."
"O
iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau
masih mengharap yang di Subang Jaya?"
"Aduh
jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi penggerebekan di Subang Jaya seperti yang tertulis di
koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak. Saya
jadi merasa berdosa karena berburuk sangka
pada semua isi rumah itu."
"Terus
sebenarnya bagaimana?"
Zul
lalu menceritakan pertemuannya dengan Sumi di Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang lebar Zul
menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim
mengangguk-angguk.
"Hmm
saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak
kau beritahu mungkin selamanya dalam pikiran saya
yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu
pelacur semua. Kan kasihan mereka yang tidak
berdosa. Ini jadi pelajaran penting bagiku
Zul. Kabar apa pun saat ini, di
akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya kok lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya daripada jujurnya."
akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya kok lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya daripada jujurnya."
"Ya
alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan Sumi Pak."
"Terus
tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa
masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagai
mana?"
"Aduh
Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak.
Dunia ini kan luas. Jumlah wanita di atas muka bumi
ini miliaran Pak. Gadis Muslimah yang belum
menikah jumlahnya jutaan Pak, kenapa saya
mesti mempersusah diri."
"Wah
kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu sifatmu yang aku sangat salut. Dan aku berharap sifat
itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari
dirimu."
"Apa
itu Pak?"
"Jujur
dan tidak mengada-ada. Itu yang aku suka padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki
seorang pendidik di negeri ini. Karena kejujuran
sekarang ini jadi barang yang sangat langka
Zul."
"Doakan
saya bisa terus istiqamah Pak."
"Semoga
Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah seperti
Apa yang sekarang kau inginkan. Mungkin aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu tapi juga
membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi
belum menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka
ada yang sesuai untukmu."
"Yang
salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan sudah pernah tinggal bersama saya lebih dari satu tahun.
Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya."
"Ini
Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri
saya. Sebab Muslimah ini kenal baik dengan isteri
saya. Pernah satu kampus di Bandung dulu.
Dia sokarang kalau tidak salah dosen di
Universitas Semarang. Baru menyelesaikan
Master Ekonominya di UKM Malaysia."
"Umurnya
berapa?"
"Ya
seumuran isteri saya."
"Kalau
seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua dong Pak."
"Ei
jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Saya?"
"Berapa
Pak?"
"Dua
puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?"
"Dua
Delapan."
"Berarti
malah seumuran kan sama kamu. Bagaimana?"
"Boleh
Pak."
"Kalau
boleh tahu. Dia berjilbab Pak?"
"Kamu
ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak
mau mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti
berjilbab rapat-lah Zul."
"Kalau
begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?"
"Namanya
agak panjang Zul. Tapi seingat saya depannya Agustina. Isteri saya kalau memanggil dia
Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia
nulis di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar
aku cari Koran dulu. Ada beberapa tulisan
dia yang bagus kok."
Pak
Muslim beranjak menuju rak tempat majalah dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa Koran
sesaat lamanya.
"Lha
ini dia." Seru Pak Muslim gembira.
"Ini
Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim
menyodorkan koran itu pada Zul.
Zul
membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan argumentatif. Bahasanya enak dibaca.
"Baguskan?"
"lya
Pak?"
"Rapi
dan runtut kan?"
"Iya."
"Itulah
cermin kepribadiannya. Saya pernah bertemu dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter
orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?"
orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?"
"Saya
manut Pak Muslim saja."
"Baik.
Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar dia urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang
saja."
Pak
Muslim mengeluarkan handphone-nya dan memanggil isterinya. Langsung nyambung. Zul hanya mendengar suara Pak Muslim:
"O
jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?"
"Di
mana Dik, di Warung Bentuman?"
"Dia
belum ada calon kan?"
"Ini,
temanku satu rumah yang pernah kuceritakan dulu itu lho Dik."
"Ya,
sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya."
"Namanya
Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A. Zulhadi Jaelani, M.Ed."
Lalu
Pak Muslim menarik hand phone-nya dari telinga kanannya dan bertanya pada Zul.
"Zul,
tanggal lahirmu berapa?"
"21
April 1985 Pak." Jawab Zul.
Pak
Muslim lalu menyampaikan hal itu pada isterinya. Tak lama kemudian beliau menyudahi
pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul.
pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul.
"Namanya
juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil."
"Jadi
Agustin itu masih belum punya calon Pak?"
"Ya
kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali
ini adalah prosesnya yang terakhir. Proses yang
mengantarkannya memiliki rumah tangga yang mawaddah wa rahmah."
"Amin.
O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak ada foto dia?"
"Wah
sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir Zul. Kata isteri saya, biar prosesnya cepat. Artinya
kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak
ya biar cepat ketahuan tidaknya, Agustin
akan ikut isteri saya ke Jogja."
"Mau
datang ke sini?"
"Iya.
Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak penasaran. Biar itu tadi cepat jelasnya kalau iya ya biar
segera diijab kalau tidak ya biar cepatketahuan tidaknya.
Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak cocok
kan sama-sama cepat tahunya. Dan bisa
mencari yang lain yang cocok. Kalian kan
sudah berumur. Tidak perlu ditunda-tunda
atau proses yang rumit dan berbelit-belit
tho?’'
tho?’'
"Iya
Pak sepakat."
*
* *
Rumah
Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar utama, kamar tamu dan kamar anak. Zul ditempatkan di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan buku-buku tentang pendidikan dan ekonomi. Pak Muslim adalah pakar manajemen pendidikan. Sementara
isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di
sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di
Yogyakarta.
Siang
itu setelah selesai memasukkan berkasnya ke
UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang harus
istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak
Muslim di sebuah warung angkring sampai larut
malam. Pak Muslim sendiri juga istirahat di
kamarnya. Ia telah diberi ijin oleh Pak
Muslim kalau mau membaca-baca koleksi
perpustakaan pribadinya.
Siang
itu ia tidak langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat
buku yang ada di kamar itu. Banyak judul-judul baru
terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan
penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak.
Tiba-tiba kedua matanya tertuju pada warna
sampul sebuah
buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku itu. Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu.
buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku itu. Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu.
Ia
mencoba mengetes ingatannya. Di mana ia pernah
memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat
tempat-tempat ia bisa mengambil dan membaca
buku. Akhirnya ia ingat di kamar Mari di
Subang Jaya, saat ia pertama kali tiba di
Malaysia. Ia tersenyum bahagia ingatannya masih
tajam.
Ia
buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia bagai
tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda
tangannya sama dengan yang ia baca di Subang Jaya:
Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala Lumpur.
Pikirannya langsung nyambung ke Prof. Datin
Laila Abdul Majid. Diakah pemilik buku ini?
Dan ia yakin buku yang ada di tangannya
adalah buku yang beberapa tahun lalu ia pegang
di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau
pusing. Ia merasa lelah dan harus istirahat. Masalah
buku itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim
nanti.
Lima
belas menit sebelum azan Ashar berkumandang
ia telah bangun. Pak Muslim telah duduk dengan
pakaian rapi siap ke masjid di ruang tamu.
"Bagaimana
istirahatnya? Enak?"
"Alhamdulillah.
Sudah segar kembali Pak."
"Berarti
sudah siap bertemu Agustin ya?"
"Jadi
malam ini Pak?"
"Lha
iyalah?”
"Cepat
sekali."
"Kenapa
berlambat-lambat jika bisa cepat."
"Di
mana akan ketemu Pak."
"Di
sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul mereka di Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana.
Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di
sini."
Hati
Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka
akan sangat cepat proses untuk bertemu dengan calon
isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang ada di
hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap
dan merapikan pakaiannya. la kembali keluar dari
kamarnya sambil membawa buku bersampul biru tua
itu.
"Dari
mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul.
Hatinya penasaran.
Pak
Muslim mengulurkan tangannya. Zul memberikan
buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak
Muslim mengamati buku itu.
"Isteri
saya yang bawa."
"Dari
mana dia dapat?"
"Saya
tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita tanyakan."
*
* *
Usai
shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya berkumandang Pak Muslim sudah tiba di masjid dan memberitahu Zul bahwa Agustin sudah ada di rumah.
"Jadi
nanti pertemuannya alami saja Zul. Kita pulang
dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang
tamu. Kita langsung ngobrol dan
bincang-bincang santai saja?"
"Saya
cuma pakai sarung saja begini Pak?"
"Lha
memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa terus hilang ketampananmu?"
"Nggak
sih Pak. Nggak apa-apa."
"Agustin
sekarang aku lihat agak berubah.”
"Berubah
bagaimana?"
"Jadi
lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali
bertemu bersama isteri di Semarang, ia kurus, agak
sayu dan tampak lebih tua dari
umurnya."
"Kalau
begitu bagus lah Pak."
"Ya,
rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin
tambah umur tapi wajahnya semakin tambah
muda."
"Amin
ya Rabb."
Azan
Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. Shalat sunnah didirikan. Lalu iqamat disuarakan.
Shaf-shaf dirapikan. Dan sang Imam
mengucapkan takbiratul ihram. Zul mengikuti
takbir Imam dengan hati bergetar.
Shalat
jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan. Dalam sujud Zul berdoa agar dilimpahi kebaikan dunia
dan akhirat, serta diberi pasangan hidup yang
menjadi penyejuk hati, teman sejati dalam
mengarungi hidup beribadah kepada Allah Azza
wa Jalla.
Selesai
shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin.
Yang
dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya.
Zul sampai di halaman. Pak Muslim melangkah duluan.
Dari halaman ia bisa melihat dari terawang
sela-sela gorden, ada dua Muslimah berjilbab
yang sedang berbincang di ruang tamu. Namun
tidak jelas. Jantungnya semakin keras
berdegup. Ia berusaha menguasai dirinya, dan
menenangkan batinnya.
Pak
Muslim sudah mengucapkan salam. Dua Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot
sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan...
sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan...
Pandangannya
bertatapan dengan pandangan seorang perempuan berwajah bersih, wajah yang dibalut
jilbab merah muda. Wajah yang pernah ia kenal. Mata
yang pernah ia kenal. Dan...
"Z...zul!"
Dari
bibir perempuan itu tersebut namanya Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak oleh keharuan luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar
ke seluruh syarafnya. Tak terasa airmatanya
meleleh. Lidahnya kelu.
Perempuan
berwajah bersih itu adalah Mari.
"Ja..j.adi
ternyata kau Zul!"
Zul
tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk dengan airmata berderai.
"Yang
dimaksud temannya Pak Muslim ini kau Zul?"
Zul
kembali mengangguk.
"Ini
tidak mimpi kan?!" seru Mari.
"Ti...tidak
Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka suara dengan tangis yang pecah. Begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim langsung mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya
isteri Pak Muslim yang masih bingung.
"Jadi
kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak
Muslim heran.
Zul
dan Mari menjawab serentak: "I ya!"
Pak
Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa membendung tangisnya. Isteri Pak Muslim belum mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan
apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada
Mari "Zul bilang namanya Siti
Martini." kata Pak Muslim.
Mari
menyela "Benar, nama saya memang Siti Martini. Itu nama kecil saya."
Pak
Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana Zul nyaris gila dan binasa. Sampai akhirnya ia memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga opsi.
Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih
menikahi Mari. Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan
mendapati rumah telah kosong. Seorang perempuan
Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan-kawan
digrebeg karena dianggap bertindak asusila.
"Saat
itu aku lihat Zul sangat terpukul. Aku masih
ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya atas
apa yang dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak
mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!' Aku
melihat bagaimana ia membaca lagi nama
inisial Siti M di koran itu dengan hati hancur.
Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.''
Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.''
Mendengar
cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadijadi.
Perempuan berjilbab itu jadi tahu betapa Zul
sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit
karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak
Muslim untuk mencintainya.
Mari
lalu berbicara dengan suara terbata-bata.
Menceritakan
bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan
atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak
itu ia merasa bahwa orang paling berhak
menerima pengabdiannya adalah Zul. Mari juga
mengakui ia berubah total cara hidupnya
karena pesan Zul untuk terus mendekatkan
diri kepada Allah. Pak Muslim dan isterinya, ikut terharu mendengar kisah mereka berdua.
"Subhanallah.
Allah tidak mempertemukan di Subang Jaya Malaysia, tapi Allah mempertemukan di Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih
barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim dengan
berlinang airmata.
"Jadi
tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak
Muslim.
Pertanyaan
itu malah dijawab dengan derai airmata oleh Mari.
Semuanya
kemudian diam. Masing-masing menyelami perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri.
Keheningan
tercipta sesaat lamanya. Zul teringat buku bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan
mengambilnya.
"Kalau
boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok sekarang ada di sini?" kata Zul.
Mari
dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari merasa lebih berhak menjawab,
"Itu
buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen
sekaligus sahabatku. Saat kau baca di kamarku di
Subang Jaya, saat itu aku masih kuliah
semester tiga. Aku kuliah di UKM mengambil
part time. Sambil kerja."
Zul
mengangguk. la langsung bertanya, "Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menyebutkan
dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?"
dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?"
Mari
mendesah lalu menjawab,
"Untuk
apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku toh sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan
terus terang karena aku beranggapan pada waktu itu
sedang kenalan dengan orang yang mencari kerja.
Dengan calon pekerja. Bukankah dulu yang kautanyakan
padaku adalah informasi tentang pekerjaan. Dan kau juga, kenapa kau tidak pernah bercerita kalau
kau adalah mahasiswa di UM?"
Zul
diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya
kira-kira sama denganmu."
Pak
Muslim dan isterinya tersenyum.
"Oh
ya saya masih bingung. Namamu itu yang benar siapa tho? Zul memperkenalkan dengan nama Siti
Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi kau
mengatakan pada isteriku dengan nama
Agustina. Isteriku kalau memanggilmu
Agustin. Di koran kau pakai nama Asma Maulida?
Banyak nama samaran ya?"
Mari
menata tempat duduknya dan menjawab, "Baiklah saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya
semua itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama
Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru
membolehkan mengganti nama yang dirasa
kurang cantik untuk ditulis di ijazah. Ini
agak lucu, tapi memang nyata.
Teman
saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat,
atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari.
la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang
namanya Sukodor, ia ganti jadi Anang
Febrian, karena lahir di bulan Februari. Saya
bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil
Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida.
Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida.
Karena
saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena
sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma
Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti
Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih
mantap mengenalkan sebagai Asma. Anggap saja
Asma juga nama hijrah saya.
Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini."
Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini."
"O
begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana
Maulida, M.Ec?"
"Iya
begitu."
***
Malam
itu adalah malam yang sangat bersejarah dan
membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat
untuk menikah secepatnya.
Dan
dua minggu setelah itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa
kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama
dalam kesucian. Dan beribadah bersama, saling
mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam
bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas
mahligai iman dan takwa.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar