Ya
Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah?
atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti
Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku
langsung berdetak kencang tatkala kedua
mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku.
Sampai sekarang, sosok ‘malaikat’ itu masih melekat
dalam benakku.
Aku
seorang penulis novel yang memang belum terlalu
termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah
Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak
nama-nama penulis lainnya yang menjadi
penulis idolaku sekaligus menjadi
inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah
beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan, ”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya
kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan, ”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya
kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku
berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar
kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama
yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama
Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu.
Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak
tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan
cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama
sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
”Bu
Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa
namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah
untuk dijadikan seorang menantu”
Hfh…aku
hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang
ibu yang menginginkan anak perempuannya segera
menikah. Menikah. Semua gadis yang sudah
cukup umur juga pasti berharap ingin segera
mempunyai pendamping hidup yang sesuai
dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan
diri apa adanya. Tapi kalau memang belum
jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap
seorang yang soleh yang bersedia menjadi
suamiku.
*
* *
Tepat
disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun
dari mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah
ada seorang perempuan paruh baya yang
membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu
lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah
tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya.
Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu
Rahayu.
Di
dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua
dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat
tidur berselimutkan kain yang sangat tebal.
Kepalanya ia tutup dengan sebuah kerudung
pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera
menyambut kami ketika ia lihat wajah
kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba
Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
”Ini
pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu.
”I..iya
bu..” Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.
”Sudah
besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu
Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk
menjawabnya.
”Ehm...
27 tahun bu” Sahutku tanpa semangat yang membara.
Entah
mengapa setiap kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa
mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang
aku belum juga menikah.
”Tahu
darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu
pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh
ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari
Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar.
Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu
sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah
Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku”
Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat
kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam
hatinya. Diapun mulai bercerita.
”Beberapa
hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku....”
”Oh
iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa
namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu
Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab
dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan
seksama.
”Anakku
itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa
sih Lis?”
”Oh
iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan
Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk
melanjutkan ceritanya.
”Aku
sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab,
sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil
melirik kearahku ketika dia menyebutkan
namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan
mendengar cerita Bu Rahayu.
”Setelah
aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah
menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya.
Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang
kelima kalinya dia menolak untuk dinikahkan.
Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak
beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku
sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku
jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku
saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya.
Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang
dia kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku
juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku
sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang
dia sedang menebus obat ibu di apotik.
“Perginya
sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang”
Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi
seperti semula. Mama dan Bu Rahayu kembali
larut dalam perbincangan masa lalunya,
sedangkan aku hanya dapat mendengarkan
mereka berbincang tentang suatu hal yang
baru bagiku.
baru bagiku.
Beberapa
saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar
kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan
salam dan membuka pintu secara perlahan.
Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera
mengarahkan pandangan kami ke arah suara
itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan... Subhanallah!
Seorang
laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku
berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku
dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia
yang sedang mencium tangan Bu Rahayu
kemudian mengatupkan kedua tangannya pada
Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan
zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan
salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.
salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.
”Assalamu’alaikum”
Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam”
Sahutku dengan sedikit tergagap.
Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya
dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa
saat ini jantungku berdebar-debar.
Kudengar
Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia
juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya
dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf.
Sesaat aku mencuri pandang padanya.
Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali
kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak
berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf
itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani
lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya
dapat mendengar suaranya yang dengan lembut
mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya
dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu
Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan masalah Yusuf.
Aku
berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah
aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat
perkataan Mama.
”Bu
Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa
namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah
untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa
mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang
perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan
editan tulisanku di komputer. Yang menjadi
pikiranku sekarang adalah, apakah sosok
”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama?
Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati
ini. Teriakku dalam hati.
Adzan
Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
*
* *
Hari
berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok
”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk tidak
memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah
undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor.
Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa
sendiri melihat namanya yang manis
bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama
seorang ikhwan yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang
jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat
tidak suka pada ikhwan yang mempunyai
potongan rambut belah tengah itu dan berkaca
mata.
Menurut
Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada
Fauzi. Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling
aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang
biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca
matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat
Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan
argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku
hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa
memberikan komentar apa-apa soal Fauzi
karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan
perasaan pada Arini.
Aku
tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi
pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong
agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia
suka padanya dan hendak melamarnya. Aku
sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak
antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama
walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah
membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
‘Wa’alaikumussalam.
Wr. Wb Fauzi, apa yang bisa
aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya
sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan, lebih baik kamu
hubungi saja murabbinya. Kalau kamu mau, aku
bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya
padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.’
Segera
kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan
balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit
beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi
kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta. Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan
diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
‘Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya
Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email
ya Mbak? Syukran.’
Aku
tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini.
Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik
nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma
dan segera kukirim via email, sesuai dengan
permintaan Fauzi. Setelah aku
megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
‘Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu
mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.’
Aku
kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi
tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama
kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak
mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi
yang ingin mengucapkan terima kasih padaku.
Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan
kepercetakan.
*
* *
Aku
tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini
masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam
usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai
disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau
Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini
menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat
aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
”Rin,
membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus
sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain
tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho
Rin! Janganlah kamu membenci orang lain
dengan sangat membencinya, karena bisa saja
suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga
sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin”
sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin”
Sikap
Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang
memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan
sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini
dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang
dulu sempat ia benci zahirnya. Hah... jodoh
memang sulit ditebak. Yang setiap hari
bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar,
Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum
ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
”Wah...
wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya Mama
sambil matanya terus memandangiku dari atas
kebawah.
”Tuh,
lihat saja Ma!” Jawabku sambil menunjuk sebuah
undangan berwarna kuning keemasan diatas meja
riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di
jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan
membacanya.
”Undangan
pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
”Oh...ini
Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa
itu?”
”Fauzi
Ma!” Sahutku.
”Iya
Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak
suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.
”Ma,
jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan
siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya
nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang
Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya
mau diapakan lagi?” Jawabku meyakinkan Mama.
Mama
hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
”Oh
iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan
datang kesini”
”Keluarganya
Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
”Iya.
Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk.
Kamu ingat kan?”
Aku
mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari
kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim
bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi
maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah
untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan
membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya
pada Mama.
”Untuk
apa mereka kemari Ma?”
”Ya
sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak
bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan”
Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda
tanya besar untukku. Membicarakan apa?
”Siapa
saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?”
Tanyaku
makin penasaran.
”Nggak
banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya
yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku.
Tiba-tiba
saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan
”anaknya yang kemarin”.
”Nanti
jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu
Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil
beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih
terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok
”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh
Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku
segera membereskan barang-barangku dan langsung
bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya
Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah
bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan
dulu rasa tidak tenangku.
*
* *
Sepulang
dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di
ajak oleh Shanti, teman satu halaqah ku ke Istora
Senayan karena disana sedang ada acara
pameran buku Islami atau Islamic Book Fair.
Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada
salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas
Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat yang berjubel
ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah
karena sesaknya orang yang berebut masuk.
Yang aku tahu dari pusat informasi disana,
hari ini ada temu penulis novel best seller
”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong
datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku
yang mendengar hal itupun segera mencari tempat
lokasi temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”. Secara, aku
juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai
penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa
buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan
beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan
novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih
tertarik dengan buku-buku yang membahas
tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad
saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di
saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek,
tempat dimana acara temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”
digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang
pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah
Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala
sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya.
Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah
mengajaknya berbicara.
Entah
ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik
tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala.
Dia bilang ingin membeli sebuah buku
karangan Dr. ’Aidh bin Abdullah alqarni
dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku
terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari
tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada
dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada
dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti
masih saja mencari buku yang dia maksudkan.
Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang
sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku
mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
”Suf,
ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah
Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya Yusuf
dengan semangat.
”Bener
akhi, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau
pergi sama orang tua kerumah teman mereka” Jawab
Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
”Ente
jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main.
Jadi dong nyebar undangan?” Tanya temannya yang
tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya.
Undangan?!
”Ah,
antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih
memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.
”Lagi
sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh
ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib
dijo...”
”Sstt!!”
Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
”Udah
yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu
marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup
perbincangan dia dan temannya. Aku semakin
bertanyatanya. Ada masalah apa sebenarnya
dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya
padanya?
Shanti
menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan
buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku
menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering.
Kuangkat. Dari Mama.
”Ya
Ma?” Sapaku langsung pada Mama.
”Din,
kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar
lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang” Ucap
Mama dengan nada sedikit kesal.
”Iya
Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu
sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat
datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu,
Yusuf saja masih ada di Senayan.
”Sok
tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya
selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah.
Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah
sampai dirumah” Ucap Mama sambil menutup
teleponnya. Sepertinya Mama agak marah
padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu
artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara
langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan.
Apa kira-kira yang
diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?
Sampai
dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan
langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa
kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid
tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan
Mama menyuruhku ini dan itu.
Selepas
mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
”Din,
coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua
ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya sambil
mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan
dari dalam lemariku.
”Untuk
apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja
kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan.
Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa mau
mengindahkan permintaan Mama. Ku perhatikan
ghamis biru tua itu yang menurutku lebih
cocok dipakai keacara walimahan.
”Eh,
malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya
harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah
sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali
lagi.
Aku
hanya Bisa termenung
sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama
dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Ku turuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak
mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga
Bu Rahayu malam ini.
Pukul
tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu
Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat
Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka
dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka
karena aku sedang sibuk membuatkan minum
dibelakang. Hatiku tiba-tiba saja berdesir
tatkala Mama menyebut nama Yusuf. Ya, dia
datang malam ini. Jantungku yang seolah
tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang
tamu, Mama memanggil namaku.
”Dinda!!
Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu
Rahayu!” Teriak Mama.
”Iya
sebentar Ma!” Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku
dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah
yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis
diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani
mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan
Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua
tanganku pada suaminya dan.... Yusuf pastinya.
Bu Rahayu memuji penampilanku.
”Wah!!
Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap
Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda Tanya
besar dihatiku. Cocok?!
”Ah,
Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya”
Sahutku sambil meminta diri.
Aku
ingat aku sedang membuatkan
minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!!
Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan
kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di
belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue
di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar.
Samar-samar kudengar perbincangan Mama,
Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan.
Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil
membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples
kue-kue kering, aku melangkah ke ruang tamu.
Wajahku masih menunduk. Tak berani aku
mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya
yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan
terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku
berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku
menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali
kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang
pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki
jiwaku.
Aku
kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi
kue-kue yang tadi sudah kutata. Ku suguhkan pada
mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya
Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang
tamu tapi aku menolaknya. Kudengarkan dengan
jelas perbincangan mereka dari
ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya,
tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk
menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan
suatu hal yang sangat penting, menyangkut
anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul
tidak Pak, Bu?”
”Ya
ya, betul betul” Sahut Papa.
”Saya
yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan
kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya
hendak melamar putri kalian untuk anak kami,
Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!”
Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar
perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak.
Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat
dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku.
Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
”Ya,
kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu
untuk menjadikan anak kami sebagai menantu.
Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa
berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang
hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini
menjadi langkah awal untuk kebaikan kita
bersama”
bersama”
”Amin!”
Jawab semuanya serentak. Dalam
hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan
hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan
itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu
kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh,
senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku.
Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak
menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru
saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan
sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu
mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami
akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memanggil namaku.
akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memanggil namaku.
”Dinda!
Kesini sebentar Nak!”
Aduh!
Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar
dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau
aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya
Ma, sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak
tampak gugup. Aku menunduk. Ku beranikan diriku
menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi
calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku
beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu
sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu
bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab
”Mau..
mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam
sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada
diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku
bersuara.
”Dengan
segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan
menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku
menerimanya” Lanjutku.
Lega
rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu
tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya
dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia
hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum
ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa.
Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum
yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi
rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap
orang kan pasti berbeda-beda dalam
menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku
tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai
perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya
ingin melewati malam yang indah ini bersama
keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan
Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses
pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
*
* *
Semuanya
sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya
akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa
Pasar Minggu. Baju pengantin yang nantinya
akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah
ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf
cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al-Ikhlas. Persiapan ini memang terkesan terburu-buru, namun
mau diapakan lagi, toh yang meminta semua ini
adalah keluarga Yusuf.
Setelah
semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan
keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan
mereka sampai depan pintu. Aku masih belum
menemukan senyum yang berarti dari Yusuf.
Sampai pulang pun dia tak sedikitpun
menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam. Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja.
Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih
padaku.
”Apa
ini Ma?” Tanyaku heran.
”Surat
dari calon suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima surat
itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat
tubuh Mama.
”Makasih
ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku” Ucapku sedikit serak.
”Iya.
Mama doakan supaya kamu selalu bahagia” Sahut
Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup
jilbab.
Aku
beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di
atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin
cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus
mencuci dulu semua piringpiring kotor
didapur.
Setelah
selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang paling
berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus
kehilangan kata-kata dalam surat yang
ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin,
Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya.
Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari
kekasihku. Oh...aku jadi romantis begini.
Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang
sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya. Kubuka
perlahan surat itu. Isinya,
Assalamu’alaikum.
Wr. Wb
Kepada
yang terhormat
Dinda
Altharina Puteri
Di
tempat
Aku
sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa
yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Mereka
bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai
menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu
berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar
kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah
berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang
tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku
lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika
semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak
orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku
akan menjadi seorang pecundang dan pengecut
karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi
aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi
sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat
lemah, aku takut bila aku menolak
permintaanya, sakitnya akan semakin parah.
Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku
masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi
aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara
ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku tahu
segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan
dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa
berbuat banyak lagi untuk hal ini.
Aku
merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang
Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus
membohongi banyak orang atas kepura-puraanku
mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan
bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi
dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain
yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya,
mulai saat ini aku harus menghapus ’nama’
itu dan berusaha menggantinya dengan
’namamu’.
Jika
memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku
dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku
ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada
yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak
mau mengawali semua ini dengan kebohonganku
pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak
mencintaimu.
Mungkin
ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah
malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita.
Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu.
dengan kepalsuan cintaku.
Dan
tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun.
Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian
dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan
dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku.
Afwan
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb
Dari
Seorang Pengecut
Yusuf
Abdul Fattah
Remuk
redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat
itu. Air mata sudah tak dapat lagi ku bendung. Aku
merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku
merasa dunia ini menjadi gelap di penglihatanku.
Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah
mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi
kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah
aku temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu
tetap tidak bisa mengalahkan perasaanku yang
sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta
padanya.
Sekarang
aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu
padanya. Dan sekarang aku lebih mengerti apa yang
dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang
dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan
pernikahanku dengan Yusuf. Dan ’nama’ lain yang
dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang
akhwat yang tadi disebut-sebut oleh temannya
Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi
merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti
apa sosok dirimu sehingga membuat Yusuf
jatuh hati padamu?
Aku
merasakan air mata kembali menetes membasahi
kedua pipiku. Sebuah berita menggembirakan yang
baru saja aku dengar beberapa saat lalu,
tiba-tiba saja berubah bagai
kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.
kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.
Aku
bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan
kembali sisa-sisa kepingan hatiku yang tadi hancur
berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah
cukup malam dan aku teringat, aku belum
shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri dan
melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil
air wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh
tahu akan hal ini.
Malam
ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan arti
dari sebuah makna cinta sejati.
*
* *
Hari
ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak
berdaya. Seusai shalat subuh, tilawah qur’an
beberapa halaman, dan wirid ma’tsurat aku
langsung bergegas mandi dan membereskan
rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa pukul sepuluh nanti. Seusai
membereskan rumah, aku
langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa.
langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa.
Di
tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba
Papa menegurku.
”Din,
kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?”
Tanya
Papa mengejutkanku dari lamunan. Kupandangi wajah
Papa dengan tatapan hampa.
”Iya
nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam
saja. Seharusnya kamu senang dong, kan semalam baru
dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh
Mama melanjutkan.
Tiba-tiba
aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat menghancurkan hatiku. Aku termenung
sendiri sambil menatap segelas susu putih
kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa
seputih susu itu.
”Din!
Ada apa sih kamu?” Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
”Ehm....Pa,
Ma, ada yang mau aku bicarakan” Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku semakin galau.
”Mau
membicarakan apa?” Tanya Papa.
Kutarik
nafasku dalam-dalam.
”Setelah
semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak lamaran Yusuf”
”Apa?!”
Teriak Papa dan Mama berbarengan.
”Iya
Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf” Kataku lagi mempertegas perkataanku sebelumnya.
”Kamu
sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala
persiapannya itu sudah ditentukan, Dinda. Lagi
pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya?
Bukankah semalam kamu kelihatan bergembira
sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan Yusuf
sampai menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama dengan penuh ketegasan.
Andai
saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti
kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku.
Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan
rela melepaskan aku pada seseorang yang
tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan
semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
”Dinda?”
Tegur Mama.
”Ya
Ma? Ehm....”
Sesungguhnya
aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku
berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A,
aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding
dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik dia bersanding
dengan wanita lain saja dari pada dengan aku”
Jawabku sekenanya.
”Tapi
Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk
menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau
menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam
seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab
pertanyaannya.
”Yang
sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi
orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku
jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku
hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidakberdayaanku. Sejurus do’a
kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali
bersuara.
”Din,
usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang
seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu
tolak?” Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku
rasa pertanyaan Mama tak perlu kujawab.
Aku
hanya menjawabnya dalam hati.
”Aku
hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat
mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam hati.
Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa.
Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di
kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua
kegundahanku dalam buku itu dengan air mata
berlinang.
Tanpa
kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku.
Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku
kembali ingat, bahwa Allah tidak akan pernah
memberikan suatu cobaan kepada hambaNya
diluar batas kemampuan hambaNya. Dan sampai
sekarang aku selalu ingat salah satu
ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu. Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing.
ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu. Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing.
Dan
yang tahu kadar itu hanyalah
Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu mengetahui
kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan
cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah
meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau
berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat
lagi, Allah itu mengikuti prasangka
hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah
memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang
Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu
ialah mencari hikmah yang terkandung dari
semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah
sikap manusia sejati.
Dan
aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia
sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan.
Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan
harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada
hikmah dibalik semua cobaan ini. Ya, saat
ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan
untukku. Dan pastinya, akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya.
Dan
janji Allah itu pasti,
Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu bersama
orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi
kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul
sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap
pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari
ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus
menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf
sementara masalahku yang lain masih menunggu
uluran tangan untuk aku
selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku.
selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku.
Tapi
kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti.
Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih
derajat taqwaMu, Ya Allah......
*
* *
Hari
pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala
pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya
berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku
dari Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa Tengah.
Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap
terbalut oleh jilbab syar’i. Para undangan
banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku.
banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku.
Diantara
para undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku
tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku
ini. Tapi yang pasti aku sangat senang
karena mereka sangat peduli padaku. Aku
hanya bisa mendo’akan mereka supaya mereka
bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
Aku
duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah
Yusuf tak seperti orang yang sudah menikah pada
umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak
bersemangat. Dan yang mengetahui penyebab
kemurungannya itu hanya aku pastinya.
Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya.
Disela-sela
waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar
datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua
orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri.
Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang
temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf
sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat
tanganku dan memelukku dengan erat seraya
berkata,
”Barakallah
ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah” Ucapnya pelan.
Dua
orang akhwat yang
mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima
kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf
bersuara,
”Syukran
ya Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi yang kuketahui bernama Alifa.
Alifa
hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua
akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini
aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh
temannya Yusuf waktu di book fair tempo hari. Kini
aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh
temannya Yusuf itu untuk segera dilamarnya.
Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’ yang ada
di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah
Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah
Alifa. Bukan diriku.
Aku
hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama
tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam
keramaian pesta pernikahanku, aku merasa
sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus
menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang
suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan
aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat
menguatkan aku.
*
* *
Selesai
akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke
Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang
Prapatan. Masih dengan busana pengantin
lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku
tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini.
Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua
Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa
cukup, merekapun pulang. Tinggal aku dan
Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa
juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan
dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi,
berganti pakaian, dan mengambil air wudhu.
Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat
sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak
lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang.
Segera
saja Yusuf berpamitan padaku untuk melakukan
shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya
untuk membacakan do’a yang pernah Rasulullah
ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium
keningku dan membacakan do’a
yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
Aku
langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku
di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid.
Aku masih merasakan kehampaan disini.
*
* *
Pukul
delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba
kembali dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu
tilawah sebentar, segera bergegas untuk
tidur. Tak ada pembicaraan yang berarti
antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia
menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu
mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih
mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil
apa adanya di hadapannya.
Aku
kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan
tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah
menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih
terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami
melewati waktu dengan kondisi seperti itu.
Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai
pembicaraan.
pembicaraan.
”Maafkan
aku ya Din?” Ucapnya pelan.
Aku
masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak
menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia
kembali bersuara.
”Aku
memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua kenyataan ini.
Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang
tuaku, membohongi kedua orang tuamu,
menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku
harus menyakiti Allah karena telah
melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku
dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak
bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua
mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf,
jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini. Mungkin kamu
tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku.
Tapi aku selalu berharap, kelak kaupun bisa
menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi
pelan.
”Bagaimana
mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan
Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku
memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki
cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu,
tapi aku berharap.... kau tidak lagi
memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!”
Tanya Yusuf kaget.
”Dari
mana kau tahu tentang Alifa?”
Aku
bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku
padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada seorang
wanita yang bernama Alifa.
”Kau
tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa,
yang terpenting, aku hanya minta satu darimu,
tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku
istrimu yang sah. Dan seperti seorang istri
pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih
saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu untuk tidak
menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun
mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua
matanya yang jeli.
Kembali
aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan
membelakanginya. Kutarik selimut untuk menutupi
tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas
meja kecil disamping tempat tidur. Aku
berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam
hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau
menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.
menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.
Biar
bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada
umumnya, menginginkan kebahagiaan atas dirinya di
malam pertama pernikahannya. Melakukan
ibadah bersama sebagaimana sepasang suami
istri pada umumnya. Memadu kasih dengan
kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap
pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan
generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat
Allah di muka bumi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar