Penulis: Novia Stephani
”Aku
sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah," gerutuku.
Idan
tertawa. "Ibumu menanyakan calonmu lagi?"
Aku
mengangguk cemberut.
"Apa
jawabanmu kali ini?" godanya.
"Aku
tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar."
Idan
terbahak. "Kau kekanak-kanakan," katanya.
"Habis
jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan,
kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror."
Idan tersenyum . "Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga."
"Aku
akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,"
komentarku.
Alis
Idan terangkat. "Kenapa?"
"Pernikahan
hanya memperumit hidup perempuan."
"Pernikahan
juga membuat hidup laki-laki lebih sulit."
"Persis!"
potongku.
"Untuk
apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?"
"Mungkin
karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih
banyak?"
"Sok
tahu," cibirku. "Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang
keuntungan menikah."
"Aku
sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima,
kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga."
"Tapi
kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa
perlu lagi menikah?"
Idan
tersenyum. "Ya, memang."
"Lebih
enak hidup seperti ini. Bebas!"
"Setuju.
Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih
menunggu calon yang pas."
Dan
aku menghela nafas panjang. "Ah, ya. Calon."
"Itu
kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?"
"Ya,
" gumamku enggan.
"Bukan
karena kau sama sekali antimenikah."
Aku
menggeleng. "Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin
juga digandeng seseorang saat datang ke pesta."
"Tapi
kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?"
"Gandengan
pacar itu lemah. Gampang putus," komentarku pahit.
"Maksudku,
aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi."
"Apa
susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah.
Banyak pengangguran."
"Idan!"
kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar
sambil tertawa.
"Kau
sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng
tetap?" tanyanya kemudian, lebih serius.
"Ya.
Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau
saja," aku terdiam.
"Apa?"
"Kalau
saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia
berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang
merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki,
menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat."
"Pit,
laki-laki yang begitu sedikit sekali."
Aku
menggeleng. "Semua laki-laki binatang."
"Bagaimana
dengan aku? Aku laki-laki."
"Kau
bukan lelaki, Dan. Kau malaikat."
Idan
terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
"Idan!"
desisku. "Nanti orang-orang memperhatikan kita!"
"Pit,
kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan
mengajukan lamaran menjadi malaikat," dan ia kembali terkulai, mata
tertutup, lidah terjulur.
"Idan,
Idan," desahku.
"Kalau
kau memang mau menikah, berobatlah." Ia tergelak.
"Dan
kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang
saja dari golongan laki-laki."
"Aku
tidak bisa, Dan."
"Berarti
kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau
memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin
banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan ...?"
"Idan!"
walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan
konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah
memahamiku.
"Apa
kau pernah berpikir tentang ibumu?" katanya kemudian. Seperti biasa ia
bisa menjadi sangat jenaka dan kemudian serius hanya dalam selang waktu
sepersekian detik. "Ia pasti sangat ingin kau segera mendapat pasangan tetap.
Ia akan lebih tenang kalau tahu kau akhirnya punya seseorang yang akan menemani
dan melindungimu."
"Jangan
bicara begitu," cetusku, kembali manyun.
"Satu,
ini hidupku, bukan hidup ibuku. Aku sedih kalau ibuku sedih. Tapi kalau suamiku
berkhianat, apa ibuku mau menanggung rasa malu dan sakit hatiku? Kedua, aku
tidak butuh pelindung. Kau tahu aku bisa mengurus diriku sendiri. Kalau itu
yang aku butuhkan, aku bisa menggaji lebih banyak pembantu, plus bodyguard
kalau perlu."
"Baik,
baik, Tuan Putri. Hamba mengaku salah," Idan membungkuk dalam-dalam.
"Jadi, dengan asumsi kau tidak sama sekali menihilkan kemungkinan menikah,
apa yang ingin kau capai dengan itu?"
Aku
tertunduk lemas. "Itulah, Dan," desahku. "Aku tidak tahu.
Apalagi yang aku butuhkan saat ini? Aku punya pekerjaan dengan masa depan yang
lumayan. Jadi menikah untuk alas an ekonomi jelas-jelas bukan pilihan untukku.
Aku punya teman-teman diskusi, sahabat untuk berbagi, jadi kesepian juga bukan
alasan bagiku untuk menikah."
"Bagaimana
dengan keturunan?"
"Anak?
Apa aku harus menikah untuk punya anak? Aku bisa mengadopsi bayi, kan? Di luar
sana banyak anak-anak yang tidak diinginkan orang tuanya. Kalau aku mau, aku
bisa mengasuh satu, dua atau bahkan tiga dari mereka. Jadi tolong, jelaskan
kenapa aku harus menikah, mempertaruhkan diriku sendiri, mengambil risiko
dilukai lahir dan atau batin. Tak ada kepastian sama sekali bahwa pernikahan
itu akan bertahan sepanjang hidupku. Disamping itu, kalau pernikahan itu hancur
di tengah jalan, aku akan jadi pihak yang paling besar menanggung kerugian.
Kenapa, Dan? Untuk apa?"
Idan
termenung agak lama. Akhirnya ia menjawab. "Cinta mungkin?"
"Kau
terlalu banyak menonton film romantis ," olokku. "Kau tahu berapa
lama cinta bertahan dalam suatu pernikahan?"
"Berapa
lama?"
"Satu
sampai tiga bulan. Setelah itu, toleransi, kompromi, frustrasi dan imajinasi."
"Imajinasi?"
"Kalau
kau terjebak di dalam penjara dengan lelaki yang kau benci sekaligus yang kau
tahu membencimu, kau harus membayangkan menikah dengan Richard Gere atau kau
bisa jadi gila."
"Astaga,"
gumam Idan. "Kalau itu terjadi padaku, siapa menurutmu yang harus
kubayangkan? Michelle Pfeiffer atau Nicole Kidman?"
"Gorila,"
jawabku sekenanya dan Idan meledak tertawa.
"Idan,"
keluhku. "Berhentilah tertawa. Aku bukan pelawak. Aku sedang membicarakan
masalah serius, dan aku sebal kau tertawai terus menerus."
Wajahnya
serta-merta menjadi serius. "Aku tidak menertawaimu. Kalau kau benar-benar
sahabatku, kau tahu beginilah aku menyikapi semua masalah, yang tergenting sekalipun.
Termasuk soal menikah. Cobalah. Kau akan merasa jauh lebih baik. Kalau ibumu
menanyakan calonmu sekali lagi, tertawalah.Tertawalah keras-keras."
"Idan,
kau benar-benar tak tertolong lagi," gumamku. "Aku perlu solusi, dan
bukan ide-ide konyol."
Idan
membisu. Dan untuk beberapa waktu kami berdua sama-sama merenung.
Akhirnya,
Idan bicara dengan hati-hati. "Pit, aku tahu ini akan kedengaran gila.
Tapi dengar dulu. Aku rasa saranku ini bisa menyelesaikan kedua masalahmu.
Pertama, ketidakpercayaanmu pada ras laki-laki. Kedua, ketidakmengertianmu
kenapa kau butuh seorang suami."
Aku
mengangguk, dalam hati bersiap-siap untuk mempertahankan mimik seriusku
walaupun ide yang akan dilontarkan Idan nantinya ternyata kelewat sinting dan
karenanya teramat sangat kocak.
"Sebelumnya,
aku ingin tanya satu hal, dan ini sangat sangat penting, jadi aku perlu jawaban
terjujurmu. Apa kau percaya kepadaku?"
Kutatap
Idan dengan dahi berkerut. Ia telah jadi sahabatku selama puluhan tahun. Banyak
yang berubah dalam hidupku, dan setidaknya enam lelaki telah hadir dan
menghilang dari hidupku. Hanya Idan yang tak berganti. Ia seakan-akan selalu
siap mengulurkan tangan menolongku, sementara sense of humor-nya tak pernah
gagal membantuku keluar dari depresi yang paling parah sekalipun. Kalau ada
satu laki-laki di dunia yang kuhadapi dengan skeptisisme nyaris nol, hanya Idan
orangnya."Ya. Aku percaya kepadamu."
"Kalau
begitu, percayalah bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu.
Percayalah bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat jahat terselubung di balik
ideku ini. Percayalah."
"Idan!
" potongku tandas. "Ide apa?"
"Aku
ingin mengajakmu mengadakan sebuah eksperimen," ia bicara dengan
hati-hati, kedua matanya terpan cang pada ekspresi wajahku. "Kita akan
melakukan pernikahan."
"Apa?"
"Simulasi!"
lanjut Idan sesegera mungkin. "Tentu saja lengkap dengan semua
formalitasnya, lamaran, akad nikah, kalau perlu honey moon...."
"Bulan
madu?"
Idan
mengangkat tangannya menyuruhku diam, "Simulasi. Sekali lagi, simulasi.
Setelah itu kita akan menjadi suami istri ‘simulasi’? sambil mempelajari kenapa
kebanyakan manusia y ang normal dan waras begitu berambisi untuk berumah
tangga. Kalau pada akhir eksperimen kau merasa yakin bahwa kerugiannya tidak
sebanding dengan keuntungannya, kita bercerai dan kau bisa hidup lajang,
merdeka selama-lamanya. Kalau ternyata kau kecanduan hidup sebagai istri, kita
bercerai dan kau bisa cari suami yang paling cocok untukmu. Anggaplah ini
Sebagai tes untuk melihat apa kau akan memilih menikah atau tidak. Tanpa
komitmen, tanpa penalti. Bagaimana?"
"Idan,"
desisku. "Ini ide terbodoh yang pernah kudengar."
"Semua
gagasan jenius selalu diolok-olok pada awalnya," sanggah Idan mantap.
"Pikirkan,
Pit. Ini satu-satunya cara supaya kita bisa belajar seperti apa pernikahan itu
sebenarnya tanpa perlu sungguh-sungguh menikah. Kau tidak mungkin melakukannya
dengan laki-laki selain aku, yang telah terbukti memiliki sifat ksatria, dapat
dipercaya dan teguh pendirian...."
"Serius,
Idan, serius!"
"Dan
kau sama sekali tidak melakukan pengorbanan apa pun. Kau tidak akan mengalami
kerugian apa pun."
"Kecuali
jutaan yang harus keluar untuk biaya pernikahan...."
"Simulasi,"
Idan mengingatkan sambil mengangkat telunjuk.
"OK.
Pernikahan simulasi," geramku. "Dan aku akan menyandang status janda
setelah kita bercerai."
"Simulasi."
"Idan!"
"Upit!"
"Oh,
Tuhan," aku bangkit dengan marah dan beranjak keluar. Idan segera
menjejeriku.
"Upit,
kau tidak perlu semarah ini," katanya. "Apa aku sejelek itu di matamu
hingga kau bahkan tidak mau pura-pura menikah denganku?"
Aku
berhenti berjalan dan menatap wajahnya. Dan menggeleng.
"Biarpun
wajahmu seperti bunglon sekalipun, aku akan tetap memujimu di depan perempuan
malang manapun yang mencintaimu."
Matanya
berbinar. "Kau tidak marah lagi, kan?"
Aku
menggeleng.
"Aku
bukan marah karena idemu, Dan. Aku tahu otakmu memang selalu korslet tiap kali
memikirkan jalan ke luar dari suatu problem serius. Aku mengerti. Aku hanya
kesal karena kau sepertinya tidak peduli dengan masalahku."
"Justru
karena aku sangat peduli aku mengusulkan ini, Pit," ekspresinya tampak
begitu tulus.
"Terima
kasih. Tapi ide itu memuakkan."
"Pikirkan
ibumu, Pit. Kalau beliau tahu kau akan segera menikah, denganku, orang yang
selama ini dikenalnya sangat baik, sopan, hormat kepada orang tua, ulet,
tangguh...," ia berhenti saat melihat raut wajahku, "Ibumu akan
sangat bahagia, Pit. Pikirkan juga dirimu."
Ia
diam sejenak. "Aku janji akan menggandeng tanganmu di setiap pesta. Di
mana pun."
Ucapannya
begitu menyentuh hatiku hingga aku nyaris menangis terharu. Kalau saja di
antara bekas-bekas kekasihku ada yang mengatakan itu kepadaku, aku pasti sudah
lama sekali menikah, pikirku sebelum menertawai diri sendiri. Perempuan yang
tidak butuh seorang pelindung, tapi haus digandeng tangannya. Aku pasti sama kurang
warasnya dengan Idan.
"Apa
aku harus menciummu?" tanyaku nyaris berbisik.
"Sesekali
mungkin, kalau orang tua kita diam-diam mengawasi," matanya kembali
tertawa. "Di pipi. Aku tidak akan melewati batas. Kalau kita hanya berdua,
kau bebas untuk meninjuku, menjambakku...."
"Idan,"
teguran itu lebih lembut daripada yang kuinginkan dan Idan tersenyum.
***
Suaranya
bergetar. "Saya terima nikahnya Puspita Kirana binti Anwar Daud dengan mas
kawin tersebut, tunai."
Dan
wajahnya kelihatan sedikit pucat. Berapa lama ia tidur semalam? Apa ia terjaga
berjam-jam dalam gelap, memikirkan lelucon terbesarnya, seperti aku yang
nyalang nyaris sepanjang malam tadi?
Ibuku
meneteskan air mata sementara senyum lebar memenuhi wajahnya. Ibu Idan, walau
menyaksikan dari kursi rodanya, juga tampak bahagia. Seharusnya aku juga
bahagia hari ini. Idan juga. Mungkin dengan orang-orang lain. Tapi seharusnya
aku merasa bahagia. Bukan diam-diam mencatat seperti seorang ilmuwan yang
teliti: perasaanku, reaksi para tamu, wangi melati dan wajah Pak Penghulu.
Pak
Penghulu menyuruhku menyalami suami baruku. (Simulasi, Upit, jangan lupa itu.
Suami baru simulasi.) Tangannya dingin. Ekspresi wajahnya aneh, kedua matanya
gemerlapan dengan rasa takjub, saat aku mendongak setelah mencium jemarinya. Ia
mengecup dahiku dengan bibirnya yang yang nyaris putih. Lalu kami berdua duduk
berdampingan mendengarkan petuah Pak Penghulu, Idan menunduk menatap pantalon
putihnya dan mataku terpaku pada kain batikku.
Akhirnya
kuberanikan diri untuk berbisik, "Kau pucat sekali."
"Aku
lapar. Tidak sarapan tadi pagi."
"Terlalu
nervous?"
"Telat
bangun. Aku nonton bola sampai subuh."
Aku
tersenyum.
"Bagaimana
aku tadi?" bisiknya.
"Meyakinkan.
Berapa lama kau latihan?"
"Hanya
waktu aku berpakaian tadi pagi. Catatan yang kau beri tercuci dengan
celanaku."
Ah,
Idan, Idan. Menikah dengannya tidak akan pernah membosankan. Simulasi. Menikah
simulasi dengannya tidak akan membosankan, koreksiku.
***
Tiga hari
pertamaku sebagai istri Idan --simulasi-- kulewatkan di rumahku sendiri. Tiga
hari berikutnya dilewatkan di rumah Idan, karena kondisi ibunya, yang memang
telah sangat lama sakit, memburuk; mungkin karena ketegangan yang disebabkan
persiapan acara pernikahanku dengan Idan.
Pada hari
ketujuh kami pindah ke rumah milik Idan sendiri. Dan setelah seharian menata
perabotan, memasang tirai dan beragam pajangan, malam itu kami lewati dengan
tidur.
Esok paginya,
aku terbangun karena mendengar suara-suara di dapur. Aku menemukan Idan di
sana, sedang mendadar telur, sementara di atas meja terhidang nasi goreng dan
sepoci kopi yang harumnya menggoda.
"Aku ada
rapat pukul setengah delapan," seru Idan sambil membalik dadar telurnya.
"Aku mesti berangkat sebelum setengah enam."
Kucicipi nasi
goreng buatannya. "Aku tidak tahu kau pintar memasak."
"Pramuka,"
komentar Idan tersenyum. Diletakkannya telur di atas meja dan ia duduk untuk
sarapan. "Aku juga pandai tali-temali, semafor, menjahit."
"Percaya,
percaya. Kalau kau mau menangani urusan masak, aku akan memperbaiki keran dan
genting bocor, plus membabat rumput."
Idan terbahak.
"Ini hanya sekali-sekali, Pit. Aku tidak mungkin masak setiap pagi."
"Apalagi
aku. Kita perlu cari pembantu."
"Jangan,"
Idan menggeleng. "Ia pasti curiga kalau melihat kita tidur di kamar
berbeda."
"Jadi?"
Idan menggaruk
kepalanya. "Bisakah kau masak nasi tiap hari?" pintanya.
"Aku punya
rice cooker."
Kutatap
wajahnya. Dalam hati aku berpikir, haruskah? Ini hanya sebuah permainan.
Tidakkah Idan akan jadi besar kepala kalau aku mematuhinya? Tapi di lain pihak,
kalau aku benar-benar ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang istri, mungkin
ada baiknya aku mengikuti keinginannya.
"Kalau kau
mau membawakan lauk dan sayur bergantian denganku, baik."
Ia tersenyum dan
beranjak dari meja dan kembali dengan sebuah bolpoin merah. Dilingkarinya
tanggal hari itu di kalender yang tergantung di dinding dapur.
"Hari
pertama kita menyelesaikan suatu masalah dengan musyawarah keluarga,"
katanya saat kembali ke kursinya.
"Masih
banyak detil-detil seperti ini yang mesti kita sepakati," lanjutnya.
"Misalnya, aku ingin kau beri tahu aku kalau kau akan pulang
terlambat."
Dahiku berkerut.
"Untuk apa?"
"Apa kau
tidak melapor kepada orang tuamu kalau kau akan pulang terlambat?"
Aku menggeleng.
"Ibuku
sudah percaya bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri dan tidak akan melakukan
hal-hal yang bodoh."
"Tapi aku
suamimu. Simulasi memang. Aku perlu tahu kenapa dan di mana kau kalau pulang
terlambat."
"Kau
kedengaran seperti diktator."
"Kurasa aku
tidak minta terlalu banyak."
"Itu
terlalu banyak untukku."
Idan meletakkan
sendoknya dan menatapku dengan mata menyala. Aku lupa kapan terakhir kali aku
melihatnya marah. Tapi aku yakin aku tak salah membaca gelagatnya kali ini. Ia
benar-benar marah.
"Ingat,"
lanjutku hati-hati. "Aku bukan benar-benar istrimu. Kau tidak punya hak
untuk mengaturku seperti itu."
Ia menunduk lama
sekali, tangannya terkepal, buku-buku jarinya memutih. Dan ruang makan itu
menjadi sangat sunyi senyap.
"Baik.
Kalau itu maumu," desisnya kemudian.
Kami melanjutkan
sarapan dalam diam. Aku ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak menduga
permainan itu akan membuat persahabatanku dengan Idan memburuk. Tapi aku tak
berani mengungkapkan itu. Aku yakin Idan akan semakin berang karenanya.
Idan
meninggalkan meja tanpa mengatakan apa-apa dan pergi ke kamarnya untuk
bersiap-siap ke kantor. Tak lama ia kembali menemuiku di ruang makan.
"Aku pergi,
Pit," katanya dingin.
Aku bangkit dari
meja menghampirinya, berniat untuk memperbaiki situasi.
"Sebagian
teman-temanku menyarankan ini," ujarku sambil meraih tangan kanan Idan dan
menempelkannya di bibirku. "Kupikir ada baiknya kucoba. Oh, ya. Mereka
bilang kau harus mencium keningku."
Ia membungkuk
dan menyapu keningku dengan bibirnya yang terkatup dan berlalu tanpa
mengucapkan apa-apa lagi.
Dasar tidak tahu
terima kasih!
Aku sengaja
pulang terlambat malam itu. Dalam perjalanan pulang kusinggahi suatu kafe yang
belum pernah kukunjungi, sebagian untuk memperoleh kesendirian dan sebagian
untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang pasti diberondongkan kawan-kawan
yang biasa bersamaku menghabiskan sore hari.
Perasaanku
gundah. Rasa bersalah dan kesal berkecamuk di dadaku. Aku tahu Idan telah
banyak berkorban untuk permainan ini. Tapi walau aku sungguh-sungguh ingin
mempelajari bagaimana rasanya menjadi seorang istri, mesti kuakui bahwa aku
belum terbiasa menganggap Idan sebagai suamiku. Bagiku, ia hanya masih seorang
sahabat. Dan seorang sahabat tidak boleh menuntut terlalu banyak.
Mataku tertaut
pada cincin emas mungil yang disisipkan Idan di jari manisku selepas akad
nikah. Ini hanya permainan, batinku. Tapi dalam permainan ini, Idan adalah
suamiku. Dan sebagai suamiku, tuntutannya wajar. Kalau aku lantas tidak suka
dengan keterbatasannya, itu hanya satu pelajaran pertama dari permainan ini.
Kupejamkan mataku dan kutarik napas dalam-dalam.
Aku benci
kekalahan. Tapi kali ini aku mengalah, bukan kalah. Aku akan belajar satu hal
dari semua ini. Bagaimana mengesampingkan keakuan dan memilih kebersamaan. Getir
memang. Aku yakin Idan akan menertawaiku. Kalau ia tidak marah-marah dulu.
Alangkah
terkejutnya aku mendapati rumah gelap dan kosong. Sudah pukul setengah dua
belas malam dan Idan belum pulang?
Kucoba
menghubungi ponselnya dan hanya mendapati mailbox. Dengan menggunakan berbagai
tipu daya, memperhitungkan lemahnya kondisi ibu mertuaku, kutelepon rumahnya.
Aku bahkan mencoba mengontak kantornya, tanpa hasil. Idan tidak ada di
mana-mana.
Inikah
balasannya atas penolakanku tadi pagi? Kekanak-kanakan sekali!
Tapi tak urung,
dengan melarutnya malam, aku jadi semakin cemas. Apalagi hingga pagi Idan tidak
kembali. Ia bahkan tidak pergi ke kantor. Aku minta izin pulang setengah jam
lebih awal dengan dalih yang dibuat-buat.
Tapi saat aku
tiba di rumah, Idan tetap tidak ada. Malam itu kulewatkan di sisi telepon,
berpikir untuk menghubungi polisi dan rumah sakit. Pukul tiga telepon
berdering. Bermacam-macam kengerian terlintas dibenakku saat aku mengangkat
receiver.
"Upit?"
"Idan?"
jeritku. "Kau di mana?"
"Pit, aku
minta maaf karena marah dan minggat begitu saja. Boleh aku pulang?"
"Idan, ini
rumahmu!" meskipun aku tersenyum, air mata kelegaan mulai meleleh di
pipiku. "Kau di mana?"
"Di
luar."
"Di luar
rumah?"
"Ya. Dan
aku lapar."
"Oh,
Tuhan...."
Aku lari ke luar
rumah. Di gerbang kulihat Idan berdiri di sisi mobilnya. Entah sudah berapa
lama ia di sana.
"Kau
keterlaluan! Aku sudah berpikir untuk menelepon kantor polisi!" teriakku
kepadanya.
"Aku juga
rindu kepadamu!" balas Idan tertawa. Dan mataku rasanya semakin perih
melihat tawanya lagi.
"Di mana
saja kau dua hari ini?”
"Di hotel
kecil dekat kantor."
Ia baru saja
menghabiskan piring ketiga sop buntut kesukaannya. Ia tidak berkomentar ketika
melihat bahwa aku sudah membeli semua makanan kegemarannya. Ia hanya makan dua
kali lebih lahap.
"Kenapa kau
akhirnya memutuskan untuk pulang?" suaraku bergetar.
"Aku perlu
baju bersih," ia tertawa malu. "Laundri hotel mahal sekali."
Saat ia mencuci
piring makannya, dengan punggungnya ke arahku, ia menyambung, "Selain itu,
aku khawatir karena kau sendirian di sini."
Dan dadaku
tiba-tiba terasa ngilu.
"Aku akan
pulang terlambat besok," ucapku perlahan. "Aku harus lembur. Dikejar
deadline."
Ia berhenti
membilas piring dan aku tahu ia berbalik menatapku. Tapi mataku terpaku pada es
krim di hadapanku.
"Oke,"
katanya. "Kau keberatan kalau aku makan malam duluan?"
"Asal kau
sisakan cukup untukku," aku tersenyum.
Paginya kulihat
lingkaran merah kedua di kalender.
Aku bisa
mentolerir kebiasaan Idan membiarkan koran yang telah dibacanya berserakan di
ruang tamu. Aku bisa memaklumi kegemarannya nonton film action --genre yang
paling tidak kuminati, dan sepak bola? olahraga yang menurutku amat
membosankan. Aku bahkan bisa memaafkan kebiasaannyamengeluarkan pasta gigi
dengan memencet bagian tengah tubenya, tidak dari bawah seperti yang biasa
kulakukan.
Hanya satu yang
aku belum sanggup terima. Caranya menghabiskan akhir pekannya. Setiap Minggu
pagi ia berangkat sebelum pukul enam untuk bermain sepak bola dengan
teman-temannya, dan sorenya, sekitar pukul setengah empat, ia pergi memancing.
Untukku yang
selalu menghabiskan waktu luang dengan pergi dari satu galeri ke galeri lain,
dari satu pameran lukisan ke yang lain, dari mal ke mal, dan berakhir dengan
acara makan-makan, kebiasaan Idan itu sama sekali tidak bisa kupahami. Aku tak
sanggup menontonnya main bola atau menemaninya memancing, karena aku dengan
sangat cepat akan merasa jemu.
Sebulan pertama
aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak
tega mengeluh dan protes. Tapi dipekan kelima kesabaranku tandas, dan pagi itu,
saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku
memintanya untuk tidak memancing.
"Temani aku
jalan-jalan ke mal sore ini," pintaku.
"Kau kan
bisa pergi sendiri," katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk
kecil.
"Seingatku
kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke manapun."
"Aku tidak
bisa mangkir memancing hari ini, Pit," ia masih tetap tak memandang ke
arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. "Aku sudah janji dengan kawan-kawanku
untuk mencoba tempat memancing baru."
"Kau bisa
mencobanya minggu depan."
"Tadi malam
tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini," ia tersenyum
sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. "Aku bisa memecahkan
rekor sepuluh kilo sore nanti!"
"Minggu
depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi," gumamku.
"Pakai
voucher dariku saja," sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat.
"Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas
ribu cukup?"
"Idan! Itu
hanya cukup untuk beli minum selama di salon."
"Aku bisa
cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu."
"Oh,
Tuhan!"
Idan berhenti
berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang.
"Pit, kau sudah
cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi."
"Aku sudah
cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari
rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan."
"Jadi? Apa
yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku
oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan."
"Ini bukan
masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku
perlu teman."
"Kalau
begitu ajaklah teman-temanmu."
"Sudah.
Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka."
Idan mengerutkan
keningnya.
"Kau mau
melewatkan hari Minggu denganku?"
"Ya!"
"Kenapa
tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi.
Aku akan senang kalau kau ada di sana."
"Idan!"
jeritku. "Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak
bola dan lebih benci lagi memancing!"
Mata Idan
menyipit.
"Dan kau
tahu aku alergi jalan-jalan ke mal," desisnya.
"Kupikir
sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali."
"Mengalah!"
suaranya meninggi. "Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau
sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku, apa kau tidak bisa
memberiku...."
"Enam kali
dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu
jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!"
"Kita bisa
mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku!
Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan
Flamingo...."
"Placido
Domingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan
orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang
memperebutkan satu bola kulit!"
"Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa
dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar