Tapi
semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih
memilih untuk tidur membelakangiku dan mematikan
lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar
saat itu gelap seketika. Aku tak bisa
merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba
saja menyusup dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa ini hanya
sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku
yakin, akan ada berlimpah-limpah hikmah yang
akan aku dapat jika aku bersabar karenanya.
Rabbi,
kuatkanlah aku malam ini........
*
* *
Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur. Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan posisiku yang semula. Aku
merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku karena semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya.
Kuraih
ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat
lampu. Kunyalakan. Ternyata baru pukul setengah
tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan
keadaan seperti ini. Ingin berbuat sesuatu,
tapi apa? Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit
dari tempat tidur. Entah dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia
sekarang.
Sejurus
kemudian aku mendengar dia bersuara.
”Din,
aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang” Ucapnya padaku.
Aku
dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu
keluar. Aku bingung harus berbuat apa.
Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan
berlari mengejarnya. Aku berdiri di depan pintu
untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu. Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
”Kau
tidak boleh kemana-mana!” Ucapku tegas.
Aku
menatapnya dengan tajam. Kulihat pandangannya
seolah bertanya-tanya akan sikapku.
Sedangkan aku masih berdiri di depan pintu
sambil mengatur nafasku.
”Kenapa
aku tidak boleh? Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan menunggu hingga subuh
datang. Aku hanya ingin shalat” Ucap Yusuf seolah
mempertegas pernyataannya yang pertama tadi.
”Kau
tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan
tugasmu sebagai seorang suami!” Kataku sambil
diiringi dengan nafasku yang
tersengal-sengal. Aku yakin tatapanku begitu
meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun.
Tapi
raut wajahnya begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya.
Aku kembali berucap.
”Subuh
masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu
untuk menunaikan tugasmu sebagai seorang suami yang
bukan seorang pengecut!”
Matanya
tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat
hampa. Bibirnya bergerak sedikit tapi tidak
mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap
wajahnya. Tiba-tiba mataku basah dan sejurus
kemudian aku menangis sejadi-jadinya.
Aku
menangis karena memikirkan tindakan dan perkataanku
barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin Yusuf
mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa
cinta untukkupun dia tidak punya. Yusuf
memandangiku yang sedang menangis. Tak
sedikitpun dia berpikir untuk menghampiriku untuk
sekedar menghapus air mataku.
Ditengah
tangisku aku berucap,
”Mungkin
aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois karena seakan-akan aku
memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya,
apakah pernah kau memikirkan perasaanku
ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak
mencintaiku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika surat darimu yang aku kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu
menyakitkan untukku? Apakah pernah kau memikirkan
perasaanku ketika kau menyebutkan ada ’nama lain’
di hatimu dan itu bukan aku? Apakah pernah
kau memikirkan perasaanku ketika di
malam-malam menjelang hari pernikahanku, bukan
kebahagiaan yang aku rasakan melainkan
kesedihan demi kesedihan yang terus menyayat
hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil terus menangis.
hatiku? Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu, ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku? Apakah pernah kau memikirkannya??!” Tanyaku sambil terus menangis.
Aku
tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku hapus air mataku tapi air
mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku
yang semakin sakit akan sikap Yusuf yang
biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya aku
menangis dan Yusuf juga hanya bisa
menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun. Aku
semakin gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa mengambil
keputusan.
Akhirnya
aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku
buka pintu dan kupersilahkan dia untuk pergi.
Kemana saja yang dia mau tanpa harus
memikirkan diriku.
”Pergilah!”
Ucapku tanpa memandang wajahnya.
”Pergilah
kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang. Pergilah agar kau tidak selalu
melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan
diriku disini. Aku tidak akan memaksamu.
Pergilah!!” Perintahku dengan suara agak
serak.
Lagi-lagi
kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku.
Segera saja kuhapus. Sesaat kemudian aku mendengar
dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku.
Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat.
Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin
deras membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku
berucap,
”Pergilah!
Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan hatimu tersakiti oleh perbuatan
yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan.
Pergilah! Pergilah!”
Ucapku
sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku. Sejujurnya, aku merasakan kehangatan berada
dalam pelukannya.
Tiba-tiba
Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah katapun dia mengajakku ke tempat
tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan
diapun duduk di hadapanku. Tangannya
menghapus air mataku. Dia menatapku dan
berucap,
”Subuh
masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu
untuk menunaikan tugasku sebagai seorang suami. Dan
akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang
pengecut”.
Aku
mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan dia melepas jilbab
yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan
perlahan tangannya menyentuh kancing-kancing
bajuku.
Dia
merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam,
aku dan Yusuf melakukan ibadah itu bersama.
Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan,
ketenangan, meskipun aku tahu, tak ada cinta
yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam
ini aku benar-benar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya
Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
*
* *
Tiga
hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang
kami gunakan untuk melakukan segala aktivitas yang
biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sedang berbulan madu pada umumnya.
Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan
suasana malam di beranda kamar hotel, atau sekedar
sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah
tangga. Semua itu hanya impian belaka bagi
kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat
Subuh, Yusuf pergi keluar dan baru akan
kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan waktuku sendirian di dalam
kamar sambil membaca buku atau tilawah qur’an
sambil sedikit menghafalnya.
Tadi
pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang
tugasnya disekolah sudah menumpuk. Dia tak ingin
tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena
kasihan murid-muridnya.
Ya,
Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah
Menengah Pertama Labschool di kawasan Kebayoran.
Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia
untuk libur sampai lima hari, tapi dengan
alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau
dia libur sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima keputusannya dan
berusaha menerima alasannya juga.
Semua
barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak
barang yang kami bawa sebab kami datang kesini
langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini
kami sepakat untuk pulang kerumah orang tua
Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta
Timur. Setelah dirasa cukup, kamipun pulang meninggalkan
hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama
dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topic yang enak untuk dibahas bersama. Suasana didalam taksi
benar-benar hening, sunyi, dan senyap.
benar-benar hening, sunyi, dan senyap.
Sesekali
supir taksi yang kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai
cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf hanya tersenyum
kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf
menimpali dan
menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera. Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera. Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
”Oh
iya, kalian ini suami istri kan?” Tanyanya sambil
melihat kaca spion yang ada di atas kepalanya. Aku
dan Yusuf mengangguk.
”Kenapa
memang Pak?” Tanya Yusuf.
”Ah
tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami
istri tapi kok keluar dari hotel. Ternyata kalian
memang benar-benar suami istri. Syukurlah” Ucap
Pak Burhan sambil sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya.
Suaranya
menunjukkan sekali keciri khasannya bahwa dia ini
orang Batak.
”Kenapa
Bapak bertanya seperti itu?” Tanyaku tiba-tiba.
”Tidak.
Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari
tadi, kalian ini kok hanya diam-diaman saja tanpa
berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau
saya boleh tahu?” Tukas Pak Burhan.
Aku
dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku
kearahnya dan diapun begitu. Lalu kami
mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku
tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan
untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya
bisa aku jawab dengan jawaban, ”Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak”. Tapi aku
hanya bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali
bertanya.
”Waduh!!
kalian ini kenapa malah diam lagi? Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya tidak apa-apa. Tapi
kalau saya boleh saran, janganlah suami
istri itu saling diam dan acuh tak acuh.
Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian bersyukur akan hal itu.
Kalau memang kalin punya masalah, maka
selesaikanlah secara baik-baik. Dibicarakan
apa permasalahannya lalu carilah jalan
keluarnya secara bersama-sama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini.
Macam
mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu
sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan rumah tangga
saya dan istri baik-baik saja, karena kami
selalu membicarakan apapun yang menurut kami
mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua.”
Jelas Pak Burhan panjang lebar.
Aku
yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang
benar apa yang di katakan Pak Burhan. Segala
sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar
tidak ada kesalah pahaman. Tapi apa yang mau
dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau
keadaan seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan Yusuf hanya
terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan
Pak Burhan barusan.
”Kalau
saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini
menikah?” Tanya Pak Burhan lagi mengejutkanku.
Kuarahkan
pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
”Baru
tiga hari Pak”
”Wah!
Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin
barulah kailan. Kuucapkan selamat ya? Berarti, ke
hotel kemarin itu untuk bulan madu ya? Wah!
Bergembiralah kalian. Berapa ronde sudah
kalian mainkan?” Tanya Pak Burhan membuatku
bingung.
”Berapa
ronde apanya Pak?” Yusuf balik bertanya.
”Ah!
Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian
bermain cinta. Masa tidak mengerti. Kaulah anak
muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti.
Tapi maklumlah aku, namanya juga pengantin
baru. Jadi masih perlu banyak belajar” Tukas
Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf saling berpandangan
sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi
sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari
jebakan macet. Yusuf lebih memilih diam tanpa mau
menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri
memikirkan perkataan Pak Burhan.
”Namanya
juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak
belajar”
Ya,
aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar.
Belajar untuk lebih sabar dalam menghadapi
kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa
menerima keadaan kami satu sama lain,
belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan belajar untuk lebih bisa
menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan
belajar. Itulah yang sekarang sedang aku dan
Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Utlubul
ilma minal mahdi ilallahdi.
*
* *
Sesampainya
dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf yang kini telah menjadi
mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah
menjadi mertua Yusuf. Mereka begitu
bergembira melihat kedatangan kami. Aku
peluki Mama dan Papa dengan penuh kerinduan.
Entah
mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak
lupa aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu
mertuaku dan mencium tangan Pak Sardi yang tak lain
adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan
dengan memperbincangkan hal-hal kecil
seputar pernikahan dan bulan madu kami
selama tiga hari di hotel.
Setelah
cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa
memutuskan untuk pulang. Mulai hari ini, aku telah
resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi
dan Bu Rahayu. Sebelum mereka pulang, aku
memeluk mereka dengan erat sambil menangis
di pelukannya. Sungguh, aku tak bisa
menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya.
menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya.
Mereka
hanya menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang
tidak bisa aku terima dalam hati.
”Sudahlah
Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa
yang suamimu bilang. Jangan sampai mengecewakannya
ya? Mama dan Papa akan sering-sering
menghubungimu. Kami yakin kamu akan bahagia
hidup bersama mereka. Ya?”
Itulah
perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku.
Jauh, jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan
mereka saja yang selalu aku ingat dalam
pikiranku.
Aku,
Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam
rumah. Hari sudah semakin malam. Ayah mertuaku
memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu
membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk
dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di depan
televisi sambil menonton
siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang mengembang di wajahnya.
Aku
membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang pengalaman beliau selama
berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan
itu aku banyak menemukan pelajaran-pelajaran
baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya
membuat suami bahagia, apa yang harus
dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku
soal kehidupan suami istri. Termasuk hal-hal intim
yang menurut sebagian orang tabu untuk
dibicarakan.
Aku
melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu
ramah dan baik dalam bersikap. Kelembutannya
sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap
ketegasannya dalam bertindak. Apa yang
menurutnya benar, ya maka dibenarkannya.
Tapi jika menurutnya salah, maka diapun tak segan-segan
memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas
dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal
itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf
yang ketika kecil sering membuat onar dengan teman
bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu
pernah mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf
telah memukul anaknya itu sampai berdarah.
Sebagai ibu yang adil dan
bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam
aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang
sekarang ini menjadi pengganti Mama di kehidupan
baruku. Dia pula yang secara tidak langsung
dapat menguatkanku dalam menghadapi
masalahku dengan Yusuf.
Tak
terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini
hari. Aku dan ibu mertuaku memutuskan untuk segera
tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati
Yusuf disana. Mungkin sudah masuk kamar.
Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk
kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku masih berdiri di depan
kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik
nafasku dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan
ku sentuh gagang pintu kamarku dan mulai kubuka.
Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya
dan mendapatiku tengah terkejut menatap
wajahnya.
”Kenapa
berdiri saja disitu? Ayo masuk!” Perintahnya
padaku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk
ke kamar.
Dia
merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya
yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah
dimatikan. Cahaya yang ada tinggal dari
lampu yang ada disebelah tempat aku tidur.
Aku belum mau mematikannya. Aku membuka jilbabku
dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku
perlahan sambil memandangi Yusuf dari balik cermin.
Tubuhnya membelakangiku.
Setelah
selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur
dan bersiap untuk tidur. Posisiku sama seperti
posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu
yang ada disebelahku dan kupejamkan mataku.
Suasana malam ini begitu dingin. Selimut
yang menutupi tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang
semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo’a,
”Ya
Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua
kenyataan ini. Amin”
*
* *
Detik
berganti detik, menit berganti menit, jam berganti
jam, hari berganti hari, dan minggu berganti
minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya
aku hidup sebagai seorang istri. Menjalani
hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang
belum Bisa menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah
kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah
ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia
berikan padaku ketika dia pulang dari
kerjanya ataupun ketika aku pulang dari kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal
ini juga, novel ketigaku yang harusnya sudah
rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus
rela tertunda karena masalah hatiku.
Suasana
di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Dirumah tak Bisa aku temukan
kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui
Arini dan Fauzi yang kian
hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar
cerita Arini tentang Fauzi, suaminya, yang
menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku semakin iri dibuatnya.
Andai
saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup
berumah tangga, aku yakin Arinipun akan menangis
dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah
sekali menangis bila melihat atau mendengar
kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini
dia tengah mengandung dua bulan,
hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya Bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya Bisa tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
”Do’akan
saja ya Rin? Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku dan suami”
”Amin”,
Sahut Arini mengamini.
Mengingat
hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku
bersama Yusuf di hotel Maharani lima bulan yang
lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu
sampai sekarang, kami baru melakukannya lima
kali. Ya, Bisa diperhitungkan dalam sebulan
itu hanya sekali kami melakukannya. Maka tak
jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak
tersalurkan.
jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar keesokannya aku kuat melakukan shaum. Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan keinginan biologisku yang tak
tersalurkan.
Terkadang
pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat tahajud dan sedikit bermunajat
pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk
Bisa menjalani hidup ini, meminta kesabaran
agar aku Bisa lebih tabah menerima keadaan
suamiku, dan tak lupa, meminta
kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan. Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah
munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya warna mukena yang kukenakan.
Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat
witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan
sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah
sahur, aku mengambil buku harianku dan kutuliskan
semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf suamiku,
tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di masa depan.
Terkadang
ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan puasa sunnah. Aku hanya
menjawab,
”Ingin
lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah”
Biasanya
ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk
pelan.
Aku
juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku
lakukan agar mereka tak menaruh curiga padaku.
Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi
sebelum subuh, itu artinya semalam aku dan
Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin
mereka berpikiran yang baik-baik terhadap aku
dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih tinggal dirumah mereka.
Tapi
kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa
hari yang lalu aku dan Yusuf memutuskan untuk
mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung.
Tak besar memang, tapi aku rasa inilah yang
terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat
tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi,
kursi, dan meja, semuanya telah tertata dengan rapi
dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah,
dan Ibu mertuaku turut membantuku merapikan
rumah. Mereka benar-benar mengira kalau
kehidupanku dan Yusuf amatlah bahagia,
sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do’a restu mereka agar aku dan Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah ini.
*
* *
Malam
ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku
sendiri tak tahu apa yang sedari tadi
dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia
sudah mulai duduk di depan laptop sambil mengetik
beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas berserakan di meja dan itu membuatnya
tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda untuk
dia melakukan aktivitas lain.
Dia
menjeda kegiatannya tatkala azan Isya berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami.
Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini dia memilih
untuk shalat Isya dirumah ketimbang di
masjid. Alasannya kalau dimasjid, selesai shalat tidak Bisa langsung pulang
karena bapak-bapak disana sering mengajaknya
berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau
itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus
ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai
shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan
laptopnya di ruang tamu. Aku mencoba memberanikan
diri untuk bertanya padanya sambil
membawakan segelas wedang jahe untuknya agar
tidak masuk angin, karena malam ini ia harus
lembur.
”Ngetik
apa sih Mas, dari tadi? Sepertinya kelihatan sibuk
sekali?” Tanyaku sambil memanggilnya dengan sebutan
’Mas’. Ya, memang semenjak aku menikah dengannya,
aku
memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
memanggilnya dengan sebutan ’Mas’. Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.
Mendengar
pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal.
Wajahnya tak tampak seguratpun senyuman. Mungkin
karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi
dengan pertanyaanku yang sebenarnya tidak
Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah
kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa
mengalihkan pandangannya dari laptop.
”Ngetik
soal buat UTS besok” Jawabnya singkat.
”Memang
sebanyak itu?” Tanyaku lagi.
Dia
hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak
pergi dari hadapannya.
”Jangan
tidur terlalu malam ya? Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar. Wedang jahenya jangan
lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku
tidur duluan ya?” Ucapku sebelum beranjak
pergi ke kamar.
Lagi-lagi
dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa
kasihan padanya. Ketika aku hendak membuka pintu
kamar, dia bersuara.
”Terima
kasih ya? Dinda” Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan
kembali lagi mengetik.
Aku
masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa mendengar dia memanggil
namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan
sayang untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah
menjelma menjadi panggilan, ’Dindaku
sayang’.
Ah,
andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku
tengah berbahagia dengan kehidupan baruku. Tapi
paling tidak, mendengar dia memanggil namaku
saja aku sudah sangat senang. Malam ini, aku
Bisa tidur nyenyak.
”Terima
kasih ya? Dinda” Suaranya terus menggema ditelingaku, sampai aku memejamkan
mata.
*
* *
Di
tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku
merasakan haus yang tak tertahankan. Akhirnya aku
bangkit dari tidurku dan melangkah keluar
kamar. Betapa terkejutnya aku melihat
suamiku tengah tertidur di depan laptopnya.
Kulirik
jam dinding. Pukul sebelas malam. Aku terenyuh
melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah
terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan
untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku
juga melihat ketikan di komputernya. Masih
banyak yang belum ia selesaikan. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya?
Sejenak
aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk
menghubungi Mas Bambang, temannya Mas Yusuf di
tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang
soal-soal yang tengah diselesaikannya
sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran
matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk
menghubunginya? Apa tidak mengganggunya? Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak
selesai malam ini juga, maka besok tidak ada soal
fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan
untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel
Mas Yusuf yang tergeletak di meja dekat
laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil.
Busmillah.
Busmillah.
Sesaat
lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah diangkat.
”Ada
apa Suf? Malam-malam kok mengganggu saja” Ucap Mas Bambang dengan nada kesal.
Terdengar
sekali suaranya yang baru saja
terbangun dari tidurnya.
”Maaf
Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf” Tukasku
agak pelan. Takut Mas Yusuf terbangun.
”Oh,
maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?” Tanya Mas Bambang terdengar
kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah
istrinya Yusuf, bukan Yusuf.
”Maaf
ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata pelajaran Mas Yusuf itu
akan diujikan besok pagi, Mas ya?”
”Oh...iya.
Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia. Ada apa rupanya ya?”
Tanya Mas Bambang ingin tahu.
”Tidak
Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa nomor ya Mas?”
”Setiap
soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor,
kecuali matematika, hanya 40 nomor” Jelas Mas
Bambang singkat.
Kulirikkan
mataku ke layar laptop. Soal yang diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23
nomor. Jumlah yang cukup besar bila harus
diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu
terus berputar dan malam semakin larut
menjelang.
”Ya
sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya
mengganggu malam-malam” Ucapku masih dengan pelan.
”Ya...ya,
tidak apa-apa” Sahut Mas Bambang.
”Makasih
sekali lagi Mas, ya. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Jawabnya menutup pembicaran.
Aku
langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku.
Kubaca dengan seksama konsep soal-soal fisika yang
ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai
mengetiknya dengan melanjutkan soal yang
ada. Dengan teliti aku membacanya dan
mengetiknya. Agak sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku.
Namun karena niatku ingin membantu suamiku,
maka aku harus benar-benar berusaha untuk
menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu
terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat lima belas detik.
Alhamdulillah
semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang
dan kurasa benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam
flash disk, lalu kuprint semuanya di
komputerku yang ada di di dalam kamar.
Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas ukuran folio, huruf times new roman dengan
ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega
rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal
ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan
lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan
semua kertas-kertas yang ada disana dan kumatikan
laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat
melaksanakan shalat tahajud. Sebelum
kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan
mataku menatap wajah Mas Yusuf. Begitu
bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku.
bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran cinta yang dia berikan untukku.
Oh,
ingin sekali rasanya aku
menyentuh wajahnya, membelai rambutnya, dan...
mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan
ciuman hangat darinya. Tapi, ah, kuurungkan saja
niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak
ingin menciumnya karena terpaksa. Biarlah.
Jika memang seumur hidup aku
tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
tidak akan pernah mendapatkan ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku akan menjalani hidup ini.
Ku
langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil
air wudhu.
*
* *
”Dinda,
apa semua ini kamu yang mengerjakan?” Tanya
Mas Yusuf ketika dia baru saja terbangun dari
tidurnya.
Aku
melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan
balik bertanya padanya seolah-olah tidak
mengerti apa yang ditanyakannya.
”Mengerjakan
apa?”
”Soal-soal
UTS ini?” Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil membaca dengan seksama kertaskertas
soal yang dimaksud.
”Oh!
Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang
salah?”
Mas
Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya.
Kedua alisnya hampir saja bertemu ketika membaca
soal-soal itu.
”Ehm....
Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada
beberapa kata yang salah penulisannya” Jawabnya
sambil memandang kearahku kemudian menunduk
lagi memeriksa
soal-soal itu.
soal-soal itu.
”Syukurlah
kalau begitu” Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi goreng dan telur dadar. Aku
kembali berkata pada Mas Yusuf.
”Hari
semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh”
Ucapku lagi pada Mas Yusuf. Sekedar mengingatkan
kalau dia memang belum shalat Subuh.
”Astaghfirullahal’adzim”
Ucapnya terdengar di telingaku.
Tak
lama kemudian dia bergegas masuk ke kamar mandi
tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan
terburuburu. Nasi goreng yang kubuat sudah
matang. Kuangkat dan ku sajikan menjadi dua
piring. Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya.
Kusajikan semuanya di atas meja makan. Dari kamar
mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak membawa handuk. Mungkin awalnya
dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi
karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya
sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau
dia lupa membawa handuk.
Setelah
meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil handuk dan menyerahkannya pada Mas Yusuf.
”Mas,
ini handuknya!” Ucapku dari luar kamar mandi
sambil mengetuk pintunya.
Tak
lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan
mengulurkan tangannya seraya mengambil handuk yang
aku berikan padanya.
”Terima
kasih” Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku
kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan
rapi. Setelah kurasa beres semua, aku beranjak ke
kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf
yang akan dia kenakan untuk berangkat
mengajar. Kemudian aku merapikan diriku
untuk segera bersiap-siap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
”Sudah
shalat Mas?” Tanyaku ketika dia baru saja keluar
dari kamar.
Dia
hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu
kursi yang ada di sebelahku. Di hadapannya sudah
ada sepiring nasi goreng lengkap dengan
telur dadar dan ketimun serta tomatnya yang
kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya
sudah aku siapkan segelas teh manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Dia
melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan.
Entahlah. Mungkin sampai detik ini, perasaannya
terhadapku belum berubah. Masih dingin dan
acuh. Padahal sebenarnya, aku ingin sekali
mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku.
Kata apa saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya indah sekali.
Jam
dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua
puluh lima menit. Mas Yusuf menyudahi makannya
dengan menenggak teh manis hangat buatanku.
Setelah itu dia beranjak mengambil sepatunya
dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas
soal yang aku ketik semalam sudah dia
masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku
mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah didepan pintu dia berbalik
kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan
biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
”Hati-hati
di jalan ya? Jangan ngebut” Pesanku sebelum
dia berangkat.
Lagi-lagi
dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba
dia menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
”Ada
apa lagi? Ada yang tertinggal?” Tanyaku dengan
penuh kebingungan.
Dia
menggeleng kemudian bersuara,
”Tidak
ada yang tertinggal namun ada yang terlupa...”
Jawabnya membuat aku tambah bingung.
”Apa
yang terlupa? Biar aku ambilkan” Ucapku.
”Tidak
usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan
terima kasih padamu atas bantuanmu menyelesaikan soal-soal
UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin
pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan
soal-soal ini sendirian sambil di
kejar-kejar waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas” Ucapnya
panjang lebar membuat aku terhenyak.
”Tidak
perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang istri untuk membantu
suaminya” Sahutku menimpalinya.
Dia
mengangguk pelan dan kembali berkata,
”Ya.
Kalau begitu aku berangkat. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam”
Dia
pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia
menyusuri jalanan dan menghilang dari pandanganku.
Tibatiba saja ada sesuatu yang merasuki
jiwaku. Sesuatu yang menetes di kedalaman
hatiku yang kemudian membuatnya menjadi
segar kembali. Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok suamiku.
Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku
bersamanya.
Aku
pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
*
* *
Ponselku
berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya aku kurang
menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku.
menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone ’Merah Saga nya Shoutul Harokah, nasyid kegemaranku.
Kuangkat.
Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah
menanti jawaban telepon dariku.
”Assalamu’alaikum.
Ada apa Mas?” Tanyaku segera tanpa basa-basi.
”Wa’alaikumussalam.
Nanti sore ada acara di Bumiwiyata
Depok. Kita ketemu disana jam 5 ya? Malamnya kita menginap di rumah Ibu” Jawabnya singkat dengan
cepat. Ibu yang dimaksud adalah ibunya. Aku
baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut
namaku.
”Acara
apa memangnya Mas?”
”Acara
bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang
tamunya ada Shoutul Harokah dan Izzatul Islam.
Sekalian aku mau cari-cari buku disana”
Sahutnya datar.
”Oh.
Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5
ya?”
”Ya.
Assalamu’alaikum” Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup teleponnya tanpa
mendengar dulu jawaban salamku.
”Wa’alaikumussalam”
Aku
terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang
baru saja aku alami tadi. Mas Yusuf meneleponku.
Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah
acara. Inilah untuk yang pertama kalinya
selama lima bulan aku menikah dengan Mas
Yusuf, dia mengajakku pergi bersama.
Suatu
hal yang sebenarnya
sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa yang sering
aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng
dan menuntunku seperti apa yang aku
impi-impikan selama ini? Entahlah. Aku tidak
mau terlalu berharap banyak padanya. Kuselesaikan
kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku
berdering lagi. Kali ini satu pesan diterima.
Kubuka.
Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum
kecil sambil membaca isi pesannya.
‘Tunggu saja di dpn pintu masuk dan jgn kmn2 smp aku dtg.’
Aku
membalasnya.
‘Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.’
Aku
bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah
awal untuk memperbaiki hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah
selesai.
Selepas
shalat Ashar aku langsung bergegas pergi menuju
Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok
lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk
berangkat selepas shalat Ashar
agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu.
agar Mas Yusuf tak terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar Minggu.
Setelah
sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung
lagi dengan Bus jurusan Depok. Alhamdulillah aku
mendapat satu kursi pertama di dekat pintu.
Di daerah Poltangan, banyak penumpang yang
turun, namun tak sedikit pula orang yang
berebut untuk naik.
Disaat
yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua
yang naik dengan membawa beberapa kantong plastik
yang aku perkirakan isinya sangat banyak
karena cara ibu tua itu membawanya sangat
berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua
tempat duduk yang ada. Penuh. Semua kursi terisi.
Ada
satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak
menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik
ke dalam Bus dan mendudukkan dirinya disana
terlebih dahulu. Ibu itu sudah di dera
keletihan yang teramat sangat. Peluh di
wajahnya menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk mengistirahatkan
tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan
pandanganku ke semua penjuru Bus. Tak ada
yang mau peduli pada ibu itu.
Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Ada seorang perempuan muda yang asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa
pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari
dudukku dan kupersilahkan ibu itu untuk duduk di
kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan
kebahagiaan yang tiada terkira terpancar di
wajahnya.
”Terima
kasih ya Nak?” Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di pangkuannya. Aku mengangguk pelan
dan tersenyum padanya.
Bus
melaju kencang di jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak
aku
berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu
itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
berpikir tentang semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan melihat ibu
itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang membutuhkan.
Tiba-tiba
aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang
pernah murabbiku sampaikan, tentang ’amal kebaikan’
di halaqah pekan kemarin.
”Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda,
Barang siapa yang melepaskan seorang mukmin dari
kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya
dari kesusahan di hari kiamat. Barang siapa
yang memudahkan orang yang sedang mengalami
kesulitan, maka Allah akan
memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk
memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya”
memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk
memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah (masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat) yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan dapat menyempurnakannya”
Aku
ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali
melihat indahnya surga yang Allah janjikan itu. Aku
ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang
tengah terduduk itu tidak menginginkan surga
itu? Aku yakin mereka pasti menginginkannya.
Tapi aku lebih yakin lagi, meskipun mereka
mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan, mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada
harus berpanas-panasan sambil berdiri sementara
mereka
sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar