Pagi
itu setiap orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beberapa orang hilir
mudik di hadapanku. Aku dibuat pening karenanya,
terutama ibu dan kak Yasmin. Meski tampak
lelah, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Kak Wafa, mas Deniez dan mas
Fadli hanya terdengar suaranya. Memberi intruksi
ini dan itu pada orang-orang yang sejak minggu
kemarin telah meramaikan rumahku. Mereka yang dengan sukarela membantu mempersiapkan keperluan untuk acara hari ini. Namun aku
tak melihat ayah sejak pagi tadi. Dimana
beliau? Pasti beliau sedang mempersiapkan hal lainnya, yang entahlah aku tak
mengerti atau mungkin beliau sibuk menyambut
kedatangan para tamu.
Aku sendiri hanya diam mematung. Aku layaknya permaisuri dengan kebaya putih yang lengkap dengan hiasan melati membalut kerudungku, duduk di atas ranjang yang telah mereka sulap bak kamar raja dan ratu di sebuah istana. Sprei putih bersih dengan berbagai bunga diatasnya. Mawar, anggrek, tulip, semua menghiasi tempat tidurku yang sederhana kini terlihat begitu elegan. Ya... hari ini aku akan jadi ratu seharian. Aku tak percaya hari ini adalah hari pernikahanku. Aku melirik kalender kecil yang diletakkan kak Wafa di atas meja riasku. Bulan Juni, itu berarti aku mambutuhkan waktu tiga bulan untuk menggenapkan usiaku menjadi dua puluh tahun. Hah! Usia yang begitu muda bagiku untuk menikah. Aku menahan nafas saat mengingat fakta itu.
Aku
jadi teringat dua bulan yang lalu saat Kak Wafa menyampaikan berita ini padaku
dengan kekonyolannya.
“Kau
tahu? Ibu sudah menyiapkan segala sesuatunya agar kau bisa segera mengikuti
jejakku.”
Ah...
rangkaian kata yang sulit aku pahami.
“Maksudmu?”
aku menyipitkan mataku, dengan maksud aku tak paham dengan kata-katanya.
“Kau
akan segera menikah, adikku sayang.”
“Ya...ya...
aku akan menikah dengan seorang pangeran.” gurauku.
“Itu
benar sayang.” ucapnya lagi dengan senyum lebar menghiasi bibirnya yang tipis.
“Tentu
setelah aku wisuda. Aku tak ingin menikah sambil kuliah seperti kakak.”
ujarku dengan ledekan khasku, senyum kuda.
“Why
not? Nggak ada kok rukun menikah harus lulus kuliah dulu.” Kak Wafa
sepertinya belum puas menggodaku.
“Namanya
Faiyaz Basel Aidan, dialah pangeranmu.” ujar Kak Yasmin yang baru
datang dengan secangkir teh di tangannya diikuti
ibu yang berjalan di belakangnya. Kak Yasmin
duduk di sofa di hadapanku. Ia menyeruput tehnya.
“Yang
minggu depan akan datang bersama keluarganya untuk mengkihtbahmu. Ayah
telah menerima lamaran pamannya untuk pemuda itu.”
tambah ibu. Aku sangat terkejut, serasa ada
bola basket menyasar dan menghantam kepalaku. Serta merta aku menjatuhkan
roti yang baru aku gigit sekali.
“Bu...”
aku menatap wajah ibuku dengan wajah memelas, layaknya seorang pengemis
yang meminta sepotong roti untuk mengganjal
perutnya yang tidak diisi selama dua hari. Kukatakan
dalam raut wajahku, aku tak percaya dengan semua ini.
“Tapi...”
aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan semua ini. “Bu, bisakah
kita hentikan lulucon ini, aku mengaku kalah. Aku tak bisa membalas kalian, jika kalian kompak seperti ini.” aku mencoba menyangkalnya.
kita hentikan lulucon ini, aku mengaku kalah. Aku tak bisa membalas kalian, jika kalian kompak seperti ini.” aku mencoba menyangkalnya.
“Saila...
ku katakan sekali lagi, kami tidak sedang menggodamu.” ujar Kak Yasmin.
“Setidaknya
ayah dan ibu meminta pendapatku terlebih dahulu sebelum menerima
lamaran itu. Bagaimana jika aku tidak sreg dengan
lelaki itu?” aku mendelik.
“Maafkan
ibu, Saila. Ibu yakin dia adalah pria terbaik untukmu.” Ibuku menatap,
membalas tatapanku dengan sejuta kelembutan. “Meski
ibu belum pernah bertemu langsung dengannya.
Meski saat itu hanya paman dan bibinya yang datang dan hanya tahu dia dari
cerita keduanya dan Fadli, ibu merasa yakin bahwa
dia adalah jawaban dari doa-doaku untukmu.”
Ucap ibu mantap.
Pandangannya
mengawang menatap langit-langit rumah. Di sanalah aku menemukan keyakinan dan ketulusan hingga
akhirnya aku menyetujuinya.
“Istikharahnya
jangan lupa ya dek. Semoga Allah memantapkan hatimu.” Pesan kak
Yasmin.
Namun
entah mengapa hari ini keraguan dan bisikkan memenuhi kepalaku. Ingin
kuhentikan pernikahan ini dan ku katakan pada Ibuku. Aku belum ingin menikah,
tidakkah kau tahu bu,
bahkan usiaku belum genap dua puluh tahun, gumamku dalam hati.
Ah
tentu saja aku tak mampu melakukan itu, aku tak mungkin menghancurkan pesta
yang telah sejauh ini dipersiapkan khusus untukku.
Aku tak sanggup menghancurkan wajah kedua
orang tuaku dengan perbuatan konyolku hanya karena ‘aku belum ingin menikah’.
Astagfirullah...
aku mencoba beristighfar dan berpikir positif serta menerimanya
sebagai kehendak Allah, sebagai episode yang harus
aku lewati. Aku mencoba mengalihkan pikiranku
pada sosok di depanku.
Kak
Yasmin terlihat sangat cantik dengan abaya dan kerudung cokelatnya, meskipun
kini ia tak selangsing saat menikah dulu. Tubuhnya
terlihat lebih melebar, kini beliau tengah mengandung
anaknya yang kedua. Tapi hal itu tak menyurutkan kecantikan dan keanggunannya. Ia menghampiriku beserta dengan pangeran
kecilnya, Nawfal. Dia memelukku, tak sulit
lagi baginya untuk bisa merasakan apa yang aku rasakan, setiap bimbang yang meremas-remas hatiku, setiap gelisah yang
mengalir di pembuluh darahku.
Jantungku
berdetak cepat seolah akan meledak dan mengeluarkan seluruh darahku,
tubuhku pun turut bergetar. Saat kudengar di luar
sana, suara ayahku menyerahkan putri kecilnya
pada lelaki itu dalam ijab qabul, dan aku mendengar lelaki itu menjawab
kata-kata ayahku dengan bahasa Indonesia
yang cukup fasih untuk seorang pria impor sepertinya.
“Saya
terima nikahnya Saila Najla’ Ashalina binti Rahman dengan maskawin tersebut
dibayar tunai.”
Tidak!
Hentikan itu...hentikan! tapi semuanya telah terlanjur dan orang-orang
mengucapkan, “Sah...”
Ibu,
kak Yasmin, kak Wafa dan beberapa orang wanita yang sedari duduk
menemaniku di kamar datang menghampiriku dan
mengucapkan selamat silih berganti. Aku hanya
pasrah menerima ucapan itu dengan tubuh lemas.
Ibu
dan kak Yasmin membawaku keluar kamar untuk dipertemukan dengan lelaki itu.
Pria tadi yang kini telah menjadi suamiku. Suamiku?
Kini aku telah menjadi seorang istri?
Ya
Allah betapa waktu berlalu begitu cepatnya, bahkan masih hangat dalam ingatanku
ketika ibu mengantarkanku
hingga depan gerbang di hari pertama masuk sekolah dasar. Kini seorang pria berkulit putih, dengan bola mata cokelat dibalik
kacamata minus serta rambut cokelat kehitamannya,
mengenakan kemeja putih bersih lengkap dengan jas putih dan dasi silver tersenyum padaku, mengulurkan tangannya menyentuh
bahuku. Ya Allah inilah pertama kalinya
disentuh oleh lelaki lain selain ayah dan kakak lelakiku, mas Deniez. Aku
meraih tangan kanannya dan mencium punggung
tangannya. Lalu dia balas mencium keningku
khusyuk.
Tak
ada pesta walimah yang mewah dan besar-besaran. Bahkan aku tak mengundang
teman-temanku di kampus. Aku hanya mengundang
kerabatku dan sebagian teman dekatku saja.
Aku
belum mempercayai sepenuhnya pernikahan ini. Hingga malam ini, pria asing
yang baru ku kenal dua bulan yang lalu, kini berada
di kamarku. Kami hanya berdua di kamar yang
telah didekorasi dengan indah itu.
“Bisakah
kau keluar kamar sebentar, aku ingin ganti baju.” pintaku padanya dengan
lembut. Mestinya aku tak memintanya itu untuk
keluar kamar. Dia telah menjadi suamiku dan
tak masalah jika aku ganti baju di hadapannya. Tapi...
Dia
memandangku heran, mengernyitkan dahinya.
“Baiklah...”
ucapnya pelan, ku pikir dia telah memahamiku. Alhamdulillah. Dia
mengambil piyamanya yang telah ibu siapkan khusus
untuknya di lemariku, lalu pergi. Aku segera
mengganti bajuku dengan piyamaku.
“Apa
yang kau butuhkan, nak? Sehingga kau harus keluar kamar? Semestinya kau
meminta istrimu untuk mengambilkan sesuatu. Kalau begitu,
marilah biar ibu yang ambilkan.” aku
mendengar suara ibuku tak jauh dari pintu kamarku.
“Terimakasih
banyak bu.. tapi aku tidak butuh sesuatu. Aku hanya ingin pergi ke
kamar mandi.” jawab lelaki itu.
Ah...
Saila! Lelaki itu suamimu! Dan lelaki itu mempunyai
nama. Faiyaz Basel Aidan, itu namanya dan kau bisa
memanggilnya dengan Aidan saja bukan dengan
sebutan ‘lelaki itu’
Tak
berapa lama Aidan kembali ke kamarku dengan piyama cokelat yang tadi
diambilnya. Dia menatapku heran dengan piyama
doraemonku, piyama yang menjadi favoritku
dan kerudung putih bergo yang masih menempel di kepalaku. Ku rasa, dia tengah
berpikir aku akan mengenakan lingerie, menyambutnya
dengan rayuan dan menggodanya layaknya gadis-gadis
Eropa pada umumnya.
Ah...
sama sekali itu tak ada dalam agendaku. Jangankan untuk melakukan itu, terbesit dalam benakku pun
tidak. Bahkan saat kak wafa berniat
membelikan sepotong lingerie hitam untukku di sebuah pertokoan, aku malah
terpingkal-pingkal, membuat kak wafa senewen dan
akhirnya melemparkan bedcover yang baru saja
ia beli ke arahku.
“Pegang
sendiri tuh.” Ketusnya sambil berlalu meninggalkanku
yang keheranan. Mana mungkinlah seorang Saila
mengenakan pakaian seperti itu untuk orang
asing sepertinya.
Ups...
dia suamiku sekarang. Ya meski untuk suamiku sekalipun.
Dia tersenyum padaku, lalu meletakkan segelas susu
hangat di meja riasku dan duduk di tempat
tidur yang indah itu. Sedang aku duduk di sudut lain tempat tidurku.
“Saila...ku
harap kau bahagia menikah denganku...” katanya membuka percakapan
kami.
ya...ku
harap begitu, ucapku dalam hati. Hanya potong kalimat klise yang biasa
‘nongkrong’ di novel-novel picisan yang biasa di
baca Inge sepupuku.
“Aku
tak tahu apa alasanmu hingga kau mau menikahiku.” ucapku kaku.
“Kau
cantik Saila. Kau memiliki mata indah seperti sinar rembulan, namun teduh
menandakan kau seorang penyayang.”
Oh...
rayuannya mulai keluar, gombal!!! Tahu apa kau tentang diriku? Omong
kosong!
“Tapi
aku menikahimu bukan karena hal itu.” Lanjutnya
“Tapi
aku tak memiliki kekayaan. Mungkin keluargaku menikahkanku denganmu
karena kau kaya.” ujarku.
“Tidak!
Aku tak peduli dengan kekayaan.” sergahnya.
“Lantas...?”
aku heran “Aku bukan muslimah yang taat, keluargaku juga tidak begitu
religius.” Ucapku datar.
“Aku
tahu semua tentangmu. Aku tahu kau pernah berpacaran saat duduk di bangku
SMA. Padahal Islam melarangmu untuk berbuat
demikian. Tapi aku juga tahu bahwa kau tak pernah
berbuat aneh-aneh saat pacaran.” ujarnya, aku tersentak kaget. Itu benar-benar
aibku. Aku benci itu, dan lebih benci jika
dia yang tahu tentang itu.
“Setidaknya
kau tidak sepertiku. Dulu aku sering berpergian dengan wanita yang
bukan mahramku. Astagfirullah...” Aidan tertegun
sebentar sebelum dia melanjutkan katakatanya.
Ya
aku tahu! Kau seorang selebritis, kau sering menjadi pusat sorotan media, aku
sering mendapatkan berita kau pergi dengan fans
wanitamu. Dan aku tak percaya diantara berjuta
fans wanitamu, akulah yang kau pilih. Tapi kau datang di saat yang tak tepat.
Kau datang di saat aku tak mengharapkanmu
lagi dan di saat hatiku padamu justru terbalik.
Bukan
aku tak terkejut ketika aku tahu siapa yang akan menikahiku. Aliran darahku
membeku, nyaris aku mati berdiri dibuatnya.
“Siapa
lelaki itu? Siapa Faiyaz Basel Aidan?” tanyaku pada ibu. Akhirnya aku pasrah
dengan perjodohan ini.
“Dia
itu seorang muallaf dari Spanyol. Dia seorang atlet. Namanya Rafaël Alvarez.
Kau pernah dengar nama itu?” lagi-lagi penjelasan
kak Yasmin seperti bola basket menyasar yang
menghantam kepalaku, membuatku limbung.
“Tentu
saja dia tahu nama itu kak. Rafaël kan idolanya sewaktu SMA.” Kini giliran
kak Fadli yang baru bergabung malah ikut menggodaku
seperti istrinya.
“Oh
ya? Kabar baik itu. Berarti kamu pasti setuju menikah dengannya.” Ibu tampak
sumringah.
“Bukan
setuju lagi bu... aku berani bertaruh saat dia kembali ke kamarnya dia bakal
loncat-loncat di kasurnya. Insomnia semalam suntuk
hanya untuk memikirkan calon suaminya itu.
Sekarang aja dia jaim.” kak Wafa meledekku habis-habisan. Aku melempar bantal padanya sebal.
Perkara
aku mengidolakan lelaki itu semasa SMA benar adanya, tapi tidak sama
sekali bahwa aku akan jungkir balik saking
senangnya karena dipinang oleh lelaki itu, sama sekali tidak. Sungguh tidak benar. Dadaku justru terasa
sesak.
“Janganlah
kau mencintai sesuatu berlebihan bisa jadi esok kau membencinya, dan
jangan pula kau membenci sesuatu berlebihan bisa
jadi kau mencintainya.”
Sepertinya
itulah yang terjadi padaku saat ini. Betapa aku dulu sangat tergila-gila
pada lelaki itu sampai nyaris hilang akalku, namun
semuanya terbalik begitu saja saat hatiku terpatahkan
olehnya, saat aku merasa illfeel hanya sekedar mendengar namanya saja disebut
oleh pembawa berita atau teman-temanku. Hatiku
sudah terbalik.
“Tapi
semua itu masa lalu, dan aku tak peduli dengan masa lalu, yang ku inginkan
sekarang adalah menatap masa depanku dan masa
depanku adalah bersamamu.” Lelaki itu berorasi
lagi menyadarkanku dari lamunan.
Ya
ampun Aidan, omong kosong apalagi ini? ah... seandainya kata-katamu itu dapat
ku percaya. Sayang sekali...hal ini sulit ku
lakukan.
“Aku
berharap kita dapat membangun keluarga yang Islami, dan melahirkan
pengikut-pengikut Rasulullah, pembela Agama Allah.”
Katanya lagi, ia menatapku penuh ketulusan.
Ada semangat dan optimisme yang ia salurkan ke hatiku dari iris cokelatnya itu.
Menghipnotisku.
Aku
tertegun dengan kata-katanya. Kini aku tak tahu apa aku bisa mempercayai
katakata terakhirnya
itu? Ataukah ini hanyalah sebuah omong kosong lagi? Entahlah aku bingung. Ya Allah, benarkah dia Aidan maksudku dia, yang
dunia mengenalnya sebagai Rafaël berkata
seperti barusan? Benarkah keluargaku tak salah? Jangan-jangan dia hanya orang yang mirip dengan Rafaël, gumamku.
“Kau
yakin aku bisa seperti yang kau harapkan.” Tanyaku, aku merasa ciut. Ku balas
ia dengan pesimisme. Aku merasa akulah yang tak
akan mampu memenuhi harapannya.
“Insya
Allah...” ucapnya disertai senyum yang tidak menampakkan giginya.
Pembicaraan
kami terus berlanjut. Suasana mulai mencair. Dia mulai menceritakan
kehidupan keluarganya yang tentu sangat di
rahasiakan dari media.
Seperti
yang telah aku ketahui, Aidan adalah seorang non muslim namanya, Rafaël
Alvarez. Dia tinggal di London sejak usia tujuh
belas tahun tanpa keluarganya yang tinggal di Barcelona. Dia hanya akan pulang di saat liburan musim panas.
Dan itu aku telah tahu. Yang aku tidak tahu
ternyata kedua orang tuanya bercerai.
Akibat
dari perceraian itu, ibunya sering sakit-sakitan, dan adiknya menjadi remaja
pemurung. Meski demikian gadis itu dapat merawat ibunya dengan baik meski
usianya kini baru menginjak tiga belas tahun. Aidan sendiri merasa frustasi
dengan keadaan itu. Maka saat musim panas, Aidan memutuskan untuk tidak pergi
ke Spanyol, melainkan pergi ke tempat Paman dan Bibinya di Indonesia.
Disana
dia menemukan figur keluarga idamannya, yang rukun, damai, dan saling
menyayangi, yaitu keluarga Islami. Akhirnya dari sana Hidayah Allah datang.
Aidan melafalkan syahadat di Masjid sebuah pesantren milik salah satu dai
terkenal di negeri itu. Kesungguhannya memeluk Islam, dia buktikan dengan belajar privat agama
di pesantren itu. Dia pun mengubah semua
namanya menjadi Faiyaz Basel Aidan, yang berarti artistik, pemberani dan
cerdas.
Seingatku
nama “Basel” itu adalah nama kota kelahirannya. Dia memang terlahir di
kota Basel, Swiss. Pada saat dia lahir, Ayahnya
tengah bertugas di kota itu. Kemudian disaat usianya dua tahun, keluarganya kembali ke Barcelona.
Disana dia bertemu dengan kakeknya yang
mengajarkan dia bermain sepak bola. Hingga bakat yang dimilikinya itu diketahui
oleh sebuah klub besar di Inggris. Maka
dalam usia yang relatif muda dia harus pergi ke Inggris untuk bermain di klub itu serta melanjutkan pendidikan
formalnya di Negeri Ratu Elizabeth itu.
“Saila,
bukankah aku telah menjadi suamimu?” tanyanya yang sebenarnya tak perlu dijawab
karena semua orang tahu akan hal itu. Aku mengangguk.
“Bukankah
seorang wanita halal menampakkan auratnya di depan suamimya?” aku
kembali mengangguk.
“Maukah
kau membuka kerudungmu untukku? Suamimu?”. Pintanya.
Aku
terkejut mendengar permintaannya, tapi memang tidak ada yang salah dengan
apa yang dimintanya. Sejenak aku tertegun, dengan
hati berdebar dan sejuta keraguan yang menyeruak
di dadaku, aku membuka kerudungku perlahan. Terurailah rambutku yang sebahu. Aku merapihkannya dengan jari-jariku. Entah apa
yang terjadi padaku, aku mendadak lunak dan
lumer setelah ia mengungkapkan visinya menikahiku.
Aidan
meraih kotak disampingnya. Kotak berisi mahar yang dia berikan untukku. Dia
membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kalung
mas putih dengan liontin dari black Saphire
yang terpasang dalam bingkai yang berbentuk hati. Batu safir yang besarnya tak
lebih dari ibu jari kakiku itu terlihat sangat
anggun tatkala lampu kamarku memantulkan cahayanya
dan membuat benda itu semakin berkilauan.
“Bolehkah
aku memasangkannya untukmu?” bisik Aidan lembut.
“Ini
terlalu mewah bagiku, aku tak pantas menerimanya. Kenapa kau berikan benda
semahal itu untukku? Aku tak ingin memberatkanmu.”
“Bukankah
lelaki yang paling baik itu adalah yang paling baik maharnya? Bukankah
Rasulullah SAW memberikan mahar untuk Khadijah ra.
dengan seratus ekor unta lebih?” bisiknya.
Aku
mengangguk. Aidan memasangkan kalung itu di leherku dan aku tak bisa
menolaknya.
“...
dan aku ingin menjadi salah satu lelaki baik yang memberikan sesuatu yang
terbaik yang aku mampu. Kau sama sekali kau tidak
memberatkanku.” Aku tersipu malu dengan
kata-katanya. Dia membuatku merasa menjadi wanita yang teristimewa.
Dia
tersenyum dan mengulurkan tangannya memegang rambutku yang lembut. Lalu
menyentuh pipiku yang mungkin kemerah-merahan
menahan sejuta malu. Matanya yang bening dan
cokelat menyelami kedua mataku, mencoba mencari celah untuk menanamkan cinta di dasar hati, melalui jendela hatiku, mataku yang
dikatakannya indah bagai sinar rembulan.
Tiba-tiba
handphonenya berdering membuyarkan semua kehangatan malam itu dan
menghempaskan kami dari puncak kemesraan.
“Kupikir
kau harus menjawab teleponnya.” kataku.
Dia
beranjak dari tempat duduknya dan meraih handphonenya. Lalu bercakap-cakap
dengan seseorang di sebrang sana dalam bahasa
Spanyol yang tentunya tak dapat aku pahami.
“Dia
adikku, Carlota.” katanya setelah menutup teleponnya.
“Apa
yang dia katakan?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Ibuku
kembali jatuh sakit, adikku memintaku segera kembali pulang ke Barcelona.
Maukah kau ikut denganku ke Spanyol minggu ini?”
“Hmm...hmm...”
aku ragu untuk mengatakan kalau aku tak bisa ikut bersamanya.
“Maafkan
aku, aku menyesal tak dapat menemanimu kesana. Aku harus ujian besok lusa
nanti.” Kataku “Lagi pula aku belum mempunyai
dokumen perjalanan. Butuh waktu untuk membuat
passport dan lain-lainnya bukan?” aku mencari-cari alasan.
Aidan
terdiam sejenak, wajahnya melukiskan sedikit kekecewaan. Lalu dia segera
menutup kekecewaanya dengan senyum manisnya.
“Astagfirullah
aku lupa. Kamu benar,” ucapnya.
“Maafkan
aku membuatmu kecewa. Ku pikir...” kata-kataku terputus.
“Ya...ku
pikir aku harus meminta bantuan paman Ali.”.
Sebelum
tidur dia menghubungi
paman Ali membicarakan perihal tiket. Rupanya paman Ali memang telah membeli tiket ke Barcelona untuk dirinya yang harus
mengurus bisnis, mendengar kabar buruk itu
paman Ali mengurungkan niatnya pergi ke Spanyol besok pagi dan merelakan
tiketnya untuk keponakan yang amat ia cintai itu.
tiketnya untuk keponakan yang amat ia cintai itu.
“Besok
aku akan kembali. Maafkan aku harus meninggalkanmu di saat kita
semestinya menghabiskan masa-masa indah.” Ujarnya
penuh sesal sebelum ia pejamkan matanya.
Hatiku
merasa lega mendengar itu, saat ia harus berulang kali mengucap kata sesal
dari bibirnya, hatiku justru jungkir balik
kesenangan karena aku bisa menghirup udara dengan
lega dan kembali menikmati hidupku seperti sebelum menikah. Tak ada yang
berubah.
Dia
tertidur di sampingku, aku menutup tubuhnya yang kelelahan dengan selimut.
Sebelum
adzan subuh aku telah terbangun, betapa terkejutnya aku. Tangan seorang pria
tengah melingkar di perutku. Hampir saja ku
berteriak, sebelum akhirnya aku sadar dia Aidan,
suamiku. Ya! aku lupa aku telah bersuami.
Aku
membangunkannya, kugoyangkan lengannya dengan pelan. Perlahan dia
membuka matanya.
“Jam
berapa sekarang?” tanyanya.
“Setengah
empat.” jawabku.
“Oh...
aku tertidur terlalu nyenyak, sepertinya aku terlalu kelelahan kemarin.”
Perlahan
dia bangun dan mengucek kedua matanya. Kami pun Qiyamul lail bersama-sama.
Lalu di lanjutkan dengan membaca qur’an bersama.
Hingga
adzan subuh ia keluar bersama
ayah, mas Deniez dan mas Fadli menuju Masjid di samping rumahku, sedangkan
aku shalat shalat shubuh bersama Ibu, kak Yasmin
dan kak Wafa berjamaah di ruang keluarga.
Setelah sholat subuh Aidan menjelaskan kepada keluargaku tentang keharusannya
kembali ke Spanyol hari ini. Terbesit perasaan
khawatir dia takkan kembali. Tapi apa peduliku?
Toh aku tidak lagi mengharapkan kedatangannya lagi di hidupku. Astagfirullah...
aku segera meralat pikiran-pikiran nakal di
benakku.
Aidan
tengah bersiap-siap. Aku membantunya membereskan barang-barangnya.
“Katakan
padaku, kapan kau akan selasai ujian?”tanyanya
“Sekitar
dua minggu lagi Insya Allah.” jawabku.
“Baiklah
dua minggu lagi aku akan datang menjemputmu.”
Aku terperangah, kuhentikan tanganku yang sibuk merapihkan barang-barangnya.
Aku terperangah, kuhentikan tanganku yang sibuk merapihkan barang-barangnya.
“Kau
yakin?” tanyaku.
“Aku
ingin kau bertemu dengan ibu dan adikku.”
“Baiklah,
Insya Allah.”
Aku
dan keluargaku serta Paman dan Bibinya melepaskan Aidan di Bandara.
“Insya
Allah, aku akan kembali dua minggu lagi.” bisiknya di telingaku. Lalu dia
mengecup keningku dalam-dalam. Aku diam menunduk.
Aku merasa malu pada keluargaku dan paman
bibinya.
Dia
suamiku, harus sering ku ingatkan diriku sendiri kalau dia adalah suamiku. Dia
terus berjalan menjauhiku, ku tatap punggungnya
yang berbalut kemeja putihnya yang bersih dan
rapih.
Ada
sedikit perasaan lega dihatiku dengan kepergiannya, setidaknya teman-temanku
di kampus tak ada yang tahu aku telah menikah.
Aku
melanjutkan kehidupanku sehari-hari seperti biasanya. Tak ada yang berubah
denganku, kecuali dengan cincin kawin yang
melingkar di jari manis kananku yang membuat temanku menduga-duga tentangku. Bahkan seorang temanku
berani menanyakan perihal cincin itu padaku.
“Ah...kau
sudah menikah? Teganya kau mendahului teman-temanmu.” tanya Putra,
ketua kelasku.
Entah
serius atau bercanda, kami biasa bercanda bersama di kelas, yang jelas
aku tak bisa berbohong pada mereka. Sekali kau
berbohong kau akan terbiasa berbohong untuk
menutupi kebohonganmu yang pertama.
“Ya
kau benar.” Jawabku
“Benar?!”
serunya dengan reaksi yang luar biasa. “Avec qui? (dengan siapa?)”
serunya dalam bahasa Perancis.
“Il
est espagnol (orang Spanyol).” jawabku singkat dengan gaya bercandaku seperti
saat-saat kami biasa bercanda.
Dia
terdiam sejenak. Wajahnya terlihat konyol kebingungan. Aku yakin dia tak
percaya kata-kataku. Ya itulah caraku menghindar
dari kebohongan. Namun tetap mampu menyembunyikan
rahasia.
“Serius?
Kau pasti bohong.” ujarnya. Aku mengangkat bahuku dan tersenyum
semanis-manisnya.
“Kau
tak usah percaya padanya, kau tahu dia ratu khayal di kelas kita. Bahkan dia
tak bisa membedakan mana
kehidupan aslinya mana khayalannya.” tiba-tiba Rahma datang menggodaku. Rahma adalah teman baikku di kelas.
“Ya...orang
sukses berawal dari mimpi.” Ucapku pada mereka setengah meledek.
Perubahan
lainnya yaitu Aidan sering meneleponku hampir setiap hari, hanya sekedar
menanyakan keadaanku dan bagaimana aku melewati
ujianku. Suatu hari aku memarahinya karena
teleponnya telah menganggu belajarku.
“Bagaimana
mungkin aku bisa belajar jika kau terus-terusan meneleponku?” ucapku
sambil menahan emosi.
“Maafkan
aku, aku menyesal telah menganggumu. Aku sungguh merindukanmu.
Andai kau tahu itu. Apa kau tidak merindukanku?”.
Aku
diam tak mampu menjawab, haruskah aku berdusta dan mengatakan, ya, Kak aku
pun merindukkanmu seperti kau merindukkanku. Atau
haruskah aku mengatakan yang sebenarnya maaf
sejujurnya aku tak pernah merindukkanmu, aku tak mencintaimu. Ah...Rasanya kata-kata itu akan sangat menyakitkan.
“Baiklah,
selamat belajar. Aku harap kau mendapatkan nilai yang
terbaik....Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam...”
tak lama setelah itu Aidan menutup teleponnya. Ah...
sungguh aku sangat menyesal. Maafkan aku. Harusnya
aku tak berkata itu padamu. Hari ini mentari
bersinar terang, cahayanya memancar kuat membasuh kota ini.
Subhanallah...
aku masih terengah-engah setelah menuruni tangga dari lantai empat. Otakku
masih panas seperti matahari itu, aku baru saja
menyesaikan ujian terakhirku, Grammaire. Salah
satu mata kuliah yang paling menyita pikiran dan tenagaku. Aku duduk di teras
depan gedung fakultas bahasa.
Hatiku
masih berdebar-debar menanti telepon dari Aidan. Mungkin
hanya untuk mengatakan,
“Saila...
aku telah berada di Indonesia untuk menjemputmu.
Bersiap-siaplah kita akan ke Spanyol untuk bertemu
dengan keluargaku.”
Tapi
sungguh di sayangkan, Aidan tak kunjung meneleponku. Hari ini hari kelima dia
tak meneleponku sejak pertengakaran kecil itu. Apa
mungkin kau marah padaku? Apa mungkin kau
tersinggung dengan kata-kataku? Aidan maafkanlah aku. Kini aku merasakan
sepi tanpa teleponmu.
Handphoneku
berdering mengusik dan menyadarkan aku dari lamunanku. Aku tak
menunggu lama untuk segera mengangkat telepon tanpa
melihat layar handphoneku.
“Assalamualaikum.
Ya Kak, seperti yang telah kukatakan padamu. Hari ini hari
terakhir ujianku. Sekarang kau bisa menjemputku.”
“Halo
nak! Ada apa denganmu? Ini Ibu.” ujar seseorang di sebrang sana.
“Ah
Ibu.” gumamku. Aku merasa malu sendiri.
“Dimana
kau sekarang? Ayo pulang. Paman Ali telah menunggumu sedari tadi.”
“Baiklah,
aku segera pulang.” Ibu menutup teleponnya. Aku segera beranjak pulang.
Sesampainya
di rumah aku mendapatkan Paman Ali dan Bibi Sarah tengah bercakap-cakap
dengan Ayah dan Ibuku di ruang tamu.
“Assalamualaikum...”
ucapku, salamku menghentikan obrolan mereka, semua mata
mengarah kepadaku dan keempatnya menjawab salamku
dengan kompak.
“Saila,
kemarilah...” seru Ayah. Aku duduk di sampingnya.
“Hari
ini kau telah selesai ujian?” Tanya Bibi Sarah kepadaku.
Aku
mengangguk.
“Semalam
Aidan menelepon kami, dia mengatakan dia tak dapat datang ke Indonesia
karena satu hal dan lain halnya. Jadi dia tak dapat
menjemputmu. Dia meminta kami untuk mengantarkanmu
kesana.” jelas Paman Ali.
“Kenapa
dia tak mengatakannya padaku? Apa dia marah padaku. Karena aku menolak
teleponnya?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Tentu
tidak Saila... dia tak mudah marah, aku mengenalnya dengan baik. Hanya saja
dia tak ingin mengganggu belajarmu, dia tak tahu
waktu yang tepat untuk meneleponmu.” jelas
Bibi Sarah.
Aku
menghembuskan nafas lega. Meski aku tak mencintainya, aku sungguh
ketakutan jika Aidan marah padaku. Bukankah Allah
tidak akan pernah ridha pada istri yang suaminya
marah padanya? Bukankah para malaikat pun ikut melaknatnya hingga suaminya
memaafkannya.
“Ah...
Aidan sungguh aku menyesal. Maafkan aku...” desisku pelan.
Part
2 :
Esok
paginya aku telah siap di Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum pergi Aidan,
meminta bibi Sarah membantuku mengurus-ngurus
dokumen perjalanan. Sejak Aidan pergi, bibi
Sarah langsung menjalankan amanahnya. Hari ini semuanya telah siap termasuk
diriku yang telah siap terbang menyusul ke
negerinya. Keluargaku melepasku dengan peluk, cium dan do’a. Aku melihat ketidakikhlasan dan kekhawatiran
pada wajah mas Deniz atas kepergianku.
Maklumlah selama ini aku tak pernah jauh darinya, aku lebih merasa dia sebagai ayah kandungku dibandingkan dengan ayahku
sendiri. Bahkan kini aku tinggal di rumahnya
semenjak aku kuliah di Bandung.
Tapi
aku yakin sebagai istri yang baik, kak Yasmin akan meyakinkan bahwa aku akan
baik-baik saja di sana bersama suamiku. Toh, aku tidak akan selamanya tinggal
disana. Meski suatu hari nanti aku akan menetap di benua biru itu untuk
selamanya. Lagi-lagi dadaku terasa sesak, hatiku begitu berat meninggalkan
mereka. Bagaimana tidak, selama hampir dua puluh tahun ini aku tak pernah jauh
dari mereka, dari kehangatan keluargaku kini aku harus pergi ke suatu tempat
yang sekalipun tak pernah aku ketahui. Tempat yang hanya aku tahu namanya di
buku geografi saat duduk di bangku SMP, juga dari sebuah peta. Aku menghela nafas
dalam-dalam, mengisi paru paruku dengan udara sebanyak mungkin. Ku yakinkan
dalam diriku saat ini aku hanya menetap tidak akan lebih satu bulan disana.
Setelah
berjam-jam lamanya di pesawat, bahkan saking lamanya membuatku tak ingin
tahu seberapa lama waktu yang kuhabiskan di dalam
burung besi itu. Akhirnya kami menginjakkan
kaki di bandara El Prat, Barcelona. Aku dapat menghirup udara musim panas
di negeri matador itu.
Spanyol,
negara yang mengingatkanku akan sejarah umat muslim di negeri itu tentang
Cordova, kota cahaya sebelum Paris yang akhirnya
menyandang gelar itu sekarang.
Dikatakan
kota itu secara fisik bermandikan cahaya, selain itu Cordova merupakan kota
kelahiran peradaban sains di Eropa, membawanya dari
zaman kegelapan menuju zaman pencerahan.
Bahkan Cordova-lah yang meramalkan Paris menjadi kota cahaya selanjutnya.
Ibnu Rusd yang mencetuskan bahwa iman dan ilmu itu
harus seimbang dan saling mendukung. Maka
saat itu sains berkembang pesat di Eropa yang dipelopori cendekiawan-cendekiawan
muslim. Hatiku meringis saat ku lihat hari ini tak
ada sekali sisa-sisa peradaban Islam yang
tertinggal di sini. Seolah Islam tak pernah menjejak di negeri matador ini.
Dari
kejauhan aku melihat seseorang bertubuh tinggi dengan celana hitam dan kemeja
merah hati berjalan ke arah kami. Dia adalah Aidan.
“Assalamualaikum...”
sapanya.
“Waalaikumsalam...”
jawab kami serentak.
“Bagaimana
keadaan Ibumu?” Tanya Paman Ali.
“Belum
begitu membaik sejak aku datang.” jawab Aidan lesu.
“Apa
kita bisa pergi menjenguknya sekarang?” pintaku tak sabar. Aku ingin sekali
bertemu wanita itu, mertuaku.
“Tidak
sayang, kita harus pulang sekarang. Lihatlah dirimu! Kau tampak kelelahan.”
ucap Bibi Sarah.
“Apa
yang dikatakan Bibi benar.” tambah Aidan. “Sebaiknya kita pulang dan
beristirahat.”
Aidan
membawa kami ke apartemen keluarganya. Sesampainya disana dia
membawaku ke kamarnya dan meletakkan
barang-barangku disana. Sedangkan Paman Ali dan
Bibi Sarah pergi ke kamar tamu yang cukup jauh dari kamar Aidan.
“Inilah
apartemen keluargaku dan inilah kamarku. Seperti yang kau tahu, aku tidak
tinggal disini lagi sejak lima tahun yang lalu,
kecuali saat libur musim panas seperti sekarang ini.” jelasnya.
Aku
duduk di atas tempat tidur. Kamarnya tidak seperti kamar tidur pemuda pada
umumnya yang berantakan, jorok, kotor, bau dan
banyak poster-poster yang tidak karuan. Kamarnya
justru terlihat rapi, bersih, harum, dan sangat menyenangkan. Tentunya tak ada
poster-poster aneh, kecuali sebuah foto logo tempat
klubnya bermain sekarang, dia letakkan dalam
frame yang cukup besar dan foto-fotonya tengah memegang penghargaan yang pernah
dia raih.
“Istirahatlah,
besok kita akan pergi ke rumah sakit untuk bertemu ibuku.” ujarnya.
“Aku
ingin pergi pagi-pagi sekali.” pintaku.
Dia
mengangguk.
“Baiklah.”
Aku
baru saja merebahkan tubuhku ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar.
Suara seorang gadis kecil berbicara dalam bahasa
Spanyol. Aidan membalas perkataan gadis itu.
Aku melirik Aidan yang duduk di sampingku.
“Siapa
dia?” tanyaku.
“Dia
adikku, Carlota.”
“Apa
yang dia katakan?” tanyaku lagi.
“Dia
tahu kau datang. Dia ingin bertemu denganmu. Tapi kukatakan kau harus
istirahat, dia dapat menemuimu besok.”
“Izinkan
aku bertemu dengannya.” Pintaku.
“Baiklah...”
Aidan mengalah. Aku beranjak dari tempatku dan segera membuka pintu
kamar.
“Saila...
Saila...” ucapnya, tangisnya pecah dalam pelukku. Aku hanya bisa terdiam
tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tak tahu
harus bicara apa, aku tak dapat berbicara dalam
bahasa Spanyol.
“Saila...Je
suis contente. Mon dieu m’a donnée la soeur, Et c’est toi. Je ne serai plus
seul. (Saila... aku senang. Tuhan telah memberiku
kakak perempuan, dan itu kamu. Aku tidak akan
sendiri lagi).” Ucapnya dalam bahasa Perancis. Tentu saja kali ini aku
mengerti.
“Tu
sais? Je suis seul depuis ma mère est malade. Mes amis me sont laissés. Et
Rafaël, il préfère habiter à Londres. (kamu tahu?
Aku sendiri sejak Ibuku sakit. Teman-temanku meninggalkanku. Dan Rafaël, dia lebih suka tinggal di
London.)” katanya lagi tentu orang terakhir
yang dia maksud adalah Aidan.
Aku
menoleh pada Aidan yang berdiri disampingku. Dia tampak tersenyum melihat
gadis itu manja di pelukkanku.
“J’habite
à Londres pour travailler...tu l’as su. ( aku tinggal di london untuk bekerja,
kau sudah tahu itu).” ucap Aidan lembut. Rupanya
Aidan dan Carlota fasih berbahasa Perancis.
Di
Negara-negara Uni Eropa, bahasa Perancis diajarkan sejak sekolah dasar, seperti
halnya pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Spanyol merupakan salah satu Negara anggota
Uni Eropa sejak tahun 1986, setahun sebelum Aidan lahir. Selain itu, mereka
pernah tinggal di Perancis selama satu
tahun. Mereka ikut bersama ayah mereka yang tengah bertugas di Lille dan Marseille. Keduanya termasuk
kota-kota besar di Perancis. Saat itu usia Aidan
masih tiga belas tahun.
Melihat
kemanjaan Carlota padaku, mengingatkan diriku sendiri yang senang
bermanja pada kak Wafa dan mas Deniez. Malam semakin
larut, Aidan meminta gadis itu untuk segera
pergi tidur. Lantas Carlota pergi dari kamar kami dan aku kembali merebahkah
tubuhku di tempat tidur. Aidan menutup tubuhku yang
begitu terasa lelah dengan selimut, sama
persis seperti aku yang menutupi tubuhnya dengan selimut di hari pertama
pernikahan kami. Lalu dia mengecup keningku.
“Tidurlah...”
bisiknya sebelum dia pergi dan beranjak dari tempat duduknya.
“Kau
tak tidur?” tanyaku.
“Aku
akan tidur setelah pekerjaanku selesai.” Ujarnya.
“Kuharap
kau tidak tidur terlalu larut.” pesanku.
Dia
tersenyum lalu menganggukan kepalanya. Lantas dia pergi ke meja kerjanya. Aku melihat
dia mengambil mushaf dari dalam lacinya.
Kemudian mulai membacakan ayat demi ayatnya yang mengantarkan aku ke dunia
mimpiku.
Aku
terjaga dari tidurku, pukul lima lebih. Aku sungguh terkejut aku telah
melewatkan qiyamul lail. Aku telah lalai dan aku
benar-benar menyesal. Ku lihat ke arah jendela,
masih gelap. Aidan? Aku tak menemukannya tidur di sampingku. Dimana dia? Apa
dia telah bangun lebih awal dariku? Mengapa dia tak
membangunkanku? Pandanganku menyapu seisi
kamar.
Ku
dapati dia tertidur di meja kerjanya. Sungguh keadaannya sangat
mengkhawatirkan. Aku segera menghampirinya. Ku
dapati selembar kertas yang berisi jadwal
sholat. Aku sedikit terkejut nyatanya waktu subuh pukul tujuh kurang waktu
Spanyol.
Semula
aku berniat membangunkannya, tapi ku urungkan. Akan kubiarkan dia tertidur
setidaknya sampai pukul enam. Aku rasa dia
kelelahan dan tertidur terlalu larut. Kali ini aku qiyamul lail lebih dahulu darinya. Setelah beberapa
rakaat aku mendirikan sholat, aku mendengar
Aidan memanggilku.
“Saila...”
panggilnya. Aku menoleh. Rupanya dia telah terbangun. “Mengapa kau tak
bangunkan aku?” tanyanya
“Bukankah
aku telah mengatakan padamu, kau tidak usah tidur terlalu malam, tapi
sepertinya kau tidur terlalu larut, jadi aku tak
tega membangunkanmu dan kubiarkan kau tidur setidaknya
sampai pukul enam nanti.” jelasku.
Dia
beranjak dari tempat duduknya dan segera berwudlu. Kami pun sholat bersama
kemudian dilanjutkan membaca qur’an bersama hingga
waktu shubuh.
Pagi
hadir menyapa kami, sinar mentari musim panas menyeruak menyinari sudut-sudut
kota. Namun aku masih dapat merasakan udara sejuk
di kota yang penuh dengan karya seninya ini.
Aidan
dan aku berdiri di halte menunggu sebuah tramway yang akan kami tumpangi.
Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk
bertemu dengan Nyonya Nicole, mertuaku. Hatiku
semakin berdebar dan aku tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu.
Hatiku tersayat jika mengingat tentang kisah
beliau dari Aidan. Bagaimanapun perceraian adalah kata yang teramat mengerikan bagiku. Meskipun aku tak
mencintai Aidan seperti dulu, tapi aku tak
ingin kata itu tertulis dalam takdirku. Aku berharap Allah membalikkan hatiku
agar aku dapat mencintai Aidan dan menerima
dia dengan ikhlas sepenuh hati.
Sebuah
tram berhenti di depan kami, aku dan Aidan segera naik kendaraan itu.
Kendaraan ini memiliki jalur sendiri seperti
Busway. Namun memiliki bentuk seperti kereta dengan gerbong berwarna-warni, hanya saja Tram memiliki
jumlah gerbong yang lebih sedikit.
Sesampainya
di rumah sakit, kutemukan seorang wanita paruh baya yang masih lebih
muda dari ibuku terbujur kaku di tempat tidur salah
satu kamarnya. Tubuhnya penuh dengan balutan
peralatan medis. Seseorang tengah duduk di sampingnya, aku terkejut rupanya
seorang wanita mengenakan tunik dan jilbab ungu
muda. Ternyata dia Bibi Sarah yang menjaganya
dari semalaman. Melihat kami datang Bibi Sarah beranjak dari tempat duduknya
menuju sofa yang tak jauh dari tempat tidur. Aku
menghampiri Ny. Nicole dan duduk di tepi ranjangnya.
Ku genggam tangannya yang dingin, sedingin hatinya yang terluka dan kesepian.
Sedangkan Aidan berdiri di belakangku menatap kami
berdua.
Perlahan
wanita itu membuka matanya, menatapku dengan pandangan yang sayu dan
sangat payah. Lalu berganti memandang Aidan.
Bibirnya berdesis, sepertinya beliau ingin mengucapkan
sesuatu. Aidan segera menghampirinya dan membisikkan sesuatu di telinganya, tentu dalam bahasa Spanyol yang tidak ku
mengerti. Wanita itu tersenyum padaku dan
mengenggam tanganku erat dan menatapku lekat. Tatapannya seolah berkata dan
memohon agar aku dapat membahagiakan dan tak
menyakiti putranya itu. Aku meraih tangannya,
ku kecup dengan penuh cinta dan sehangat mungkin seperti yang biasa aku lakukan pada ibuku. Wajahnya terlihat lebih cerah dari
sebelumnya.
Aidan
dan aku telah sampai di apartemennya setelah sholat isya, kami mendirikan
sholat isya di sebuah Masjid yang kami lewati dalam
perjalanan pulang tadi. Tentu saja telah sangat
larut malam apabila di Indonesia.
Aku
melepaskan kerudungku dan ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Ku hirup udara
dalam-dalam lalu ku hembuskan. Aidan mendekatiku,
lalu duduk di sampingku. Aku pun bangun dan
duduk di sampingnya.
“Aku
senang dapat melihat ibuku kembali tersenyum. Terimakasih sayang kau mau
mengunjungi keluargaku.” ucapnya.
“Keluargamu,
keluargaku juga bukan?” ujarku.
Aidan
tersenyum, dia menatap mataku dalam, menyentuh pipiku yang dingin dihembus
angin malam dari jendela yang lupa ku tutup. Perlahan wajahnya mendekatiku lalu
di kecupnya bibirku yang
tampak kaku. Ya Allah ini adalah hal yang pertama bagiku. Namun setelah itu aku segera mengelaknya.
“Astagfirullah...
aku lupa menutup jendela...” seruku. Aku segera beranjak dari
tempatku dan menutup jendela kamar kami.
“Hari
ini sungguh melelahkan, bukan?” keluhku. Setelah menutup jendela aku segera
menghempaskan tubuhku di atas kasur. Aku menangkap
kekecewaan dari wajah Aidan.
“Ah...
kau benar! Hari ini kita telah menghabiskan waktu di rumah sakit.” Aidan
menutup kekecewaanya dengan senyum manis. Lalu
berbaring di sampingku, ia menarik selimut
hingga menutupi tubuh kami. Aku memejamkan mataku dan kurasakan dia menggegam tanganku, hangat.
Kulewati
hari-hariku di Spanyol bersama Ny. Nicole di rumah sakit atau bermain
bersama dengan Carlota, gadis kecil yang telah
menemukkan kembali keceriaanya.
Terkadang
Aidan mengajak kami jalan-jalan, hanya untuk sekedar mengenalkan sudut-sudut
kota Barcelona. Aku sungguh menikmati hari-hariku
di Spanyol, aku telah menemukan keluarga
baru disini. Tak terasa hari ini adalah hari kedua puluh delapan aku berada di Negara
tetangga Perancis dan Portugal ini. Keadaan Ny.
Nicole pun semakin membaik seperti halnya hubunganku
dengan Aidan yang semakin membaik pula. Kini aku lebih bisa menerima kehadiran dia di hidupku walau hanya sebagai kakak atau
sahabat, bukan sebagai suami!
Handphoneku
berdering. Ku tengok layarnya. Ibu.
“Assalamualaikum
bu..” sapaku.
“Waalaikumsalam,
bagaimana keadaanmu disana?” tanya Ibu
“Alhamdulillah
baik. Ibu sendiri?” aku balik bertanya.
“Alhamdulillah.
Ibu punya kabar baik, nak.” katanya.
“Kabar
baik? Apa itu?” tanyaku semakin penasaran.
“Kak
Yasmin sudah melahirkan, bayinya perempuan. Dan Kak Wafa Alhamdulillah
ternyata beliau sedang mengandung juga.” jelas Ibu
dengan suara penuh kebahagiaan. Aku dapat
merasakannya, mungkin saat ini wajahnya tengah berbinar-binar.
“Alhamdulillah...”
gumamku dengan senyum lebar.
“Bagaimana
denganmu sendiri? Apa putri ibu yang bungsu ini juga akan segera
memberikan ibu seorang cucu?” ucap ibu dengan
tawanya yang khas.
Hah!
Mana mungkin? Bahkan aku dan Aidan tak berbuat apa-apa. Hamil sekarang?
Itu
hal justru hal yang ku hindari saat ini. Bagaimana mungkin, apa tanggapan
teman-temanku nanti.
Sedangkan mereka tak pernah tahu aku telah menikah. Hanya akan menimbulkan fitnah nantinya.
“Ah...
Ibu. Apa yang ibu katakan? Pernikahan kami baru berumur satu bulan. Bahkan
kami sempat berpisah. Bersabarlah bu...” aku
mencoba mengelaknya.
“Kau
benar nak.” ujar ibu. “ Baiklah semoga kau bahagia di sana dan ibu berharap
kau akan memberiku kabar gembira saat kepulanganmu
dari sana. Ibu merindukanmu nak...” ucap
Ibuku. Suaranya parau seperti menahan tangis. Aku kira ibu memang benar-benar
merindukanku, sama halnya denganku.
“Aku
juga merindukanmu bu...” balasku dengan suara tak kalah paraunya. Aku
sungguh merindukanmu, aku rindu pelukanmu yang
hangat dan belaian tanganmu yang lembut di
kepalaku, ucapku dalam hati. Andai kau tahu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar