“Ar-Rahman...
’Allamal qur’an... khalaqal insan...” ku dengar suara Aidan nyaring
membacakan surat itu. Surat Ar-Rahman, surat
favoritku, namun aku belum hafal semua ayatnya.
Perlahan
butiran bening menetes dari ujung mataku. Mengalir kecil di pipiku. Aku
menangis terharu. Tak pernah terpikir olehku dia
dapat melantunkan ayat-ayat itu dengan indahnya.
Masih teringat dalam benakku bayangan dua tahun yang lalu. Saat kulihat fotonya
tengah memegang gelas berisi Champagne. Aku terpaku
di balik pintu, hingga dia membacakan
ayat-ayat terakhirnya.
Setelah
dia selesai membacakan surat Ar-Rahman, ku buka pintu itu. Aku masuk
dengan perlahan. Pandanganku menyapu seisi ruangan.
Kudapati dia tengah duduk di tempat tidurnya.
Aku lebih terkejut lagi saat kutemui dia tanpa mushaf qur’an di sekitarnya. Dia
membaca surat itu tanpa mushaf, itu berarti dia
telah menghafalnya. Subhanallah...
“Assalamualaikum...”
ucapku.
Dia
langsung menoleh ke arahku. Senyumnya segera
mengembang di bibirnya. Matanya berbinar-binar dan
tanpa menunggu lama dia menjawab,
“Waalaikumsalam.”
Aku
segera manghampirinya dan kupeluk dia lekat. Tangisku pecah dalam
pelukannya.
“Tak
perlu khawatir.” Bisiknya lembut.
“Bagaimana
aku tak khawatir...!” aku melepaskan pelukanku. “Lihatlah kondisimu.”
Kataku seraya menunjuk kaki kanannya yang digips.
Aku duduk di tepi tempat tidurnya. Kuperhatikan
dia baik-baik.
“Ya
aku tahu. Tapi aku ingin kau tenang. Panik itu bisikkan syetan.” Ucap dia
dengan lembut. Ah!
Kata-katanya telah menamparku. Ingatlah Saila, dia baru satu setengah tahun
menjadi seorang muslim, tapi ilmunya jauh di
atasmu. Kemana saja usia 20 tahun yang kau jalani
sebagai muslim?
“Hei...
kenapa kau?” seru Aidan saat melihat sisa darah yang mengering di hidungku.
“Kau
baik-baik saja?” tanyanya penuh rasa khawatir namun tetap tenang. Dia mengambil
tissue basah di meja kecil di sampingnya. Dia gunakan
tissue itu untuk menghapus darah yang telah
mengering itu.
“Aku
baik-baik saja. Aku hanya kedinginan tadi.”
“Kau
kedinginan? Aku akan menambah volume penghangat ruangannya.” Aidan
meraih remote control penghangat ruangan.
“Tidak
perlu, aku sudah cukup hangat. Aku kedinginan saat di luar tadi.” Kataku.
Ku
lepaskan sarung tangan tebalku yang penuh dengan
ceceran darah yang telah mengering.
“Aku
mendengar kau membaca surat Ar-Rahman tadi.” Kataku. Aidan tersipu malu.
Dia
menarik laci di meja kecil tadi yang di atasnya terdapat foto pernikahan kami.
Dia mengeluarkan sesuatu
dari dalam laci tersebut. Sebuah MP4 hitam dan menyerahkannya padaku.
“Untukmu!”
katanya.
“Untukku?!”
aku sedikit terkejut.
“Kau
bilang, kau selalu kesepian di asrama, oleh karena itu aku membeli ini
untukmu.” Ujarnya.
“Aku
telah memasukkan Qur’an digital dan lagu-lagu Islami dalam
bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Aku juga telah
memasukkan lagu-lagu Perancis dan Spanyol,
supaya kau bisa belajar bahasa melalui lagu-lagu itu.” ujarnya lagi. Dia
menghela nafas panjang, aku memperhatikanya.
“Aku
menghafal qur’an dengan cara mendengarkan dari alat ini.” katanya. “Ku harap
alat ini dapat menghiburmu ketika kau sedih dan
merasa kesepian. Tapi kau harus ingat bahwa
Allah selalu bersama kita.”
“Jika
MP4 ini aku bawa, bagaimana kau menghafal qur’an lagi?” tanyaku.
“Tak
perlu khawatir, aku masih memiliki yang lain.” Dia mengeluarkan MP4 lain di
saku piyamanya.
“Hm...
bagaimana dengan keadaanmu di asrama sekarang? kau baik-baik saja?”
Aidan mulai menanyakan keadaanku.
“Bagaimana
dengan Nabila? Orang yang sering kau ceritakan yang telah
membantumu itu. Jika aku bertemu dengannya, aku
harus berterimakasih padanya, karena dia telah
banyak membantu istriku yang manja ini” katanya dengan sedikit gurauan.
“Ah...
kau!” aku berpura-pura cemberut. “Hubungan aku dengannya kini memburuk.
Di saat aku telah dekat dengan saudara-saudara
asrama lainnya, dia justru malah menjauh.” Ucapku
sedih.
“Mungkin
dia sedang sibuk atau memiliki kegiatan lain yang mengharuskan dia terasa
jauh bagimu.” Nasehatnya.
“Andai
kau tahu. Bagaimana responnya sekarang padaku sangat buruk.” Ujarku
dengan nada sedikit kesal.
“Tidak
sebaiknya kau berkata demikian! Mungkin itu hanya perasanmu saja.”
“Ya...ya..ya..
ok! Itu hanya perasanku saja, dan semua orang mengatakan itu padaku!
Selalu aku yang disalahkan. Perasaanku yang salah!
Aku yang terlalu egois dan possesif.” Aku
sungguh kesal pada Aidan! Kenapa dia malah menekan istrinya sendiri. Padahal
dia tak mengenal Teh Bila dan tak
menyaksikan apa yang terjadi. Kupalingkan wajahku dari hadapannya.
Aidan
menyentuh bahuku dengan lembut. Lalu menyentuh wajahku dan menolehkan
wajahku ke hadapannya dengan lembut pula.
“Maafkan
aku, mungkin aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Tapi kata-katamu
tentangnya meyakinkan aku bahwa Nabila adalah orang
yang sangat perhatian padamu. Ya kurasa
demikian!” dia merangkul bahuku dengan penuh kelembutan.
“Jangan
biarkan pikiranmu bersu’udzan! Jangan memberikan ruang pada syetan untuk
menghasutmu. Jangan sampai keegoisan membuatmu lupa
pada kebaikannya. Hal yang normal jika
seseorang membuat kesalahan.”
Aku
menatap kedalam matanya, menyelaminya. Aku segera memeluknya dan
tangisku pecah dalam pelukannya.
“Biarkan
aku pergi dari tempat itu.” Ucapku dengan tangis yang tak mampu ku
bendung. Dia menyentuh kepalaku dan memegangnya.
“Ada
apa denganmu?” suaranya terdengar cemas. “Kau tak kerasan hanya karena satu
orang?” tanya Aidan.
“Kau
harus ingat tujuanmu semula, kenapa kau ingin masuk program itu? Semua itu
keinginanmu. Aku pun tak memaksamu. Jadi lakukan
semua itu karenaNya.” Lagi-lagi Aidan
menesehatiku dan kuakui ilmunya telah jauh diatasku. Aku sangat malu padanya.
“Aku
takkan pernah izinkan kau keluar dari program itu sebelum program itu selesai.”
Bisiknya.
“Percayalah...
Allah selalu mendukungmu, dan Dia yang menghendakimu hadir
disana. Jangan kau sia-siakan.” Katanya lagi.
“Berjanjilah padaku untuk membuang jauh-jauh keinginan pergi dari tempat itu. Tempat itu adalah tempat
yang terbaik untukmu. Berjanjilah apapun
yang terjadi kau tak kan meninggalkan tempat itu. Kecuali jika Allah telah
berkehendak lain.”
Tangisku
mulai mereda. “Insya Allah.” Ucapku pelan. Aidan menghapus air mataku.
Aidan bergerak kecil mencoba beranjak dari tempat
duduknya. Perlahan dia menurunkan kakinya
satu persatu.
“Kau
akan pergi kemana?” tanyaku.
“Aku
ingin pergi ke kamar mandi.” Katanya.
Aku
segera beranjak dari tempat dudukku dan segera mengambil kruk yang tak jauh darinya. Aku
mencoba membantu dengan memegangi tangan
kanannya. Walau aku sadar sepenuhnya jika dia terjatuh, aku takkan mampu menahan tubuhnya yang tinggi dan besar itu. Tubuh
yang begitu kontras dengan tubuhku yang
mungil. Aku malah berpikir. jika aku yang berada pada posisinya, aku tak perlu
bersusah payah untuk pergi ke kamar mandi dengan
kruk. Dia pasti akan menggendongku. Aidan
pun masuk ke dalam kamar mandi, sedang aku menunggunya di luar.
Sebenarnya
aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Entah itu jatuh ataupun terpeleset. Ah...
tapi aku tak berani masuk dengannya.
Duuk...bruuk...!!!
aku mendengar suara aneh itu dari dalam kamar mandi. Tak lama
setelah mendengar suara itu aku mendengar Aidan
mengerang. Aku sungguh khawatir, kuketuk
pintu kamar mandi. “Kau baik-baik saja?” tanyaku. Aku tak mendengar jawaban,
yang terdengar hanya suara rintihannya. Aku semakin
panik. Hatiku berusaha membisikkan kata,
Tenang... tenang... Saila. Tapi rasanya tak berguna, aku belum dapat mengusir
kepanikanku.
“Tenanglah
Saila...” aku mendengar suara Aidan yang tahu benar keadaanku yang
mengkhawatirkannya.
mengkhawatirkannya.
Bagaimana
mungkin aku bisa tenang, jika dia tak berhenti merintih.
Seseorang
mengetuk kamarku. “Mrs. Saila... what’s happens?”. aku mendengar suara
Alan. Aku segera membuka pintu kamar. Aku dapati
Alan dan Bibi Sarah telah berdiri di hadapanku.
“Apa
yang terjadi?” tanya Bibi Sarah. Kedua wajah mereka melukiskan kekhawatiran.
Kugelengkan kepalaku.
“Entahlah...aku
rasa Aidan terjatuh di kamar mandi.” Ujarku gugup.
Air
mataku meleleh diantara kedua
bola mataku. Alan segera berlari ke arah kamar mandi. Aku dan Bibi Sarah segera mengikutinya. Alan segera mendobrak pintunya
dan kudapati Aidan tengah terduduk di
lantai. Wajahnya meringis menahan sakit. Aku melihat rembesan darah di gipsnya. Aku tak kuasa melihat pemandangan itu.
Kusembunyikan wajahku di pelukan bibi Sarah.
Bibi Sarah memelukku hangat dan lembut layaknya seorang ibu pada putrinya.
“Dia akan baik-baik saja Insya Allah. Dia kuat.” Bisiknya.
Aku
menoleh pada Aidan. Alan membantunya berdiri perlahan. Bibi Sarah segera
mengambil handphone Aidan yang tergeletak di atas
meja. Lalu menekan beberapa tombolnya.
Beliau menghubungi dokter yang terbiasa merawat Aidan. Aku masih berdiri
terpaku menatap mereka. Aku tampak bodoh! Aku tak
tahu harus berbuat apa. Aku pun segera
mambantu Alan memegang tangan Aidan dan mambawanya ke tempat tidur. Tak berapa lama dokterpun datang, dan memeriksa keadaan
Aidan. Ku harap dia baik-baik saja, bisikku
dalam hati.
“I’m
dissappointed to say that your condition is worse. You’ll be better, if you don’t
act much and take a rest more.” Ucap dokter itu
pada Aidan. Tangannya sibuk menuliskan resep
di secarik kertas. Lalu menyerahkan kertas itu pada Alan dan pergi setelah
berpamitan pada kami. Alan dan bibi Sarah
pun turut meninggalkan kami.
Aku
menghampiri Aidan. Wajahnya tak melukiskan rasa sakit lagi. Kupikir, rasa
sakitnya telah mereda, setelah dokter menyuntikan
obat penahan sakit.
Aidan
tersenyum padaku.
“Apa
yang terjadi padamu?” tanyaku dengan penuh kekhawatiran, namun sudah jauh
lebih tenang dari sebelumnya.
“Aku
tak apa-apa! Hanya saja kruk yang ku pegang tergelincir saat aku hendak
berdiri.” Jelasnya.
Hanya
tergelincir?! Aku tak mengerti mengapa Aidan meremehkan kejadian itu. Dia
memandang wajahku lekat.
“Aku
menyesal tak membantumu tadi.” Ucapku penuh rasa bersalah dan sejuta
kesedihan yang memenuhi dadaku.
“Astagfirullah...kau
tak perlu menyesali apapun. Ini semua kehendakNya.” Lagi-lagi
kalimat tauhid meluncur dari mulutnya. Kalimat yang
membuat hatiku sejuk, sekaligus sebagai obat
mujarab pengusir rasa panik dan rasa bersalahku. Sungguh hanya sederetan kata
yang sederhana, namun pengaruhnya sangat dahsyat.
Aidan
membelai kepalaku yang masih mengenakan jilbab. Lalu memegang tanganku
yang dingin. Sedingin es di luar sana.
“Kau
tampak kelelahan... tidurlah!” ucapnya seraya memberikan isyarat lewat
matanya agar aku segera berbaring di sampingnya.
Aku mengangguk lalu tidur disampingnya. Aku
meliriknya ku lihat Aidan memejamkan matanya. Aku menarik selimut dan ku pejamkan mataku.
***
Hari
tentu masih sangat gelap dan udara terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Sehingga aku harus menambah volume penghangat
ruangan di kamar kami. Namun aku tak tahu
pasti berapa temperaturnya mungkin tiga derajat celcius, nol derajat atau lebih
rendah lagi, yang jelas aku yakin suhu
menurun drastis dari yang sebelumnya, mungkin! Aku masih duduk bersimpuh di atas sajadah, setelah aku
mendirikan sholat tahajud. Kuangkat kedua
tanganku.
Ya
Allah ampunilah hambaMu ini. Ampunilah kekhilafan dan kedurhakaanku
padaMu. Begitu banyak nikmat yang selalu mengiringi
hari-hariku, tapi sedikit sekali aku mensyukurinya.
Salah satu dari nikmatMu yang tak dapat ku hitung ialah kau menganugrahkan dia sebagai suamiku. Dia yang sering
menyadarkan aku akan kekuasaan dan
keesaanMu.
Kini
Kau mengujinya dengan rasa sakit di tubuhnya, jadikan rasa sakitnya sebagai
penggugur dosa-dosanya. Jadikan ketabahannya membuat
dia semakin dekat denganMu dan semakin
mencintaiMu. Angkatlah rasa sakit itu untuk mempermudahnya mencari karuniaMu.
Aamiin.
Air
mataku tak terasa meleleh membasahi mukena putihku pemberian Aidan. Malam
ini aku sengaja berdo’a khusus untuknya. Semoga dia
memperoleh kesembuhan dan mendapatkan hikmah
dari sakitnya itu. Adzan shubuh berkumandang dari Qur’an digital yang tergeletak di meja kerjanya. Aidan telah mengatur waktu
sholat pada alat itu.Aku segera mendirikan
sholat shubuh sendiri tanpa Aidan yang masih terlelap dalam tidurnya. Setelah
salam ku sempatkan berdo’a untuk keluargaku di
Indonesia, Aidan dan juga Paman Ali dan bibi
Sarah yang telah banyak membantuku dan Aidan.
Kuhampiri
Aidan yang masih terlelap dalam tidurnya. Mungkin pengaruh obat yang
diberikan dokter malam itu mengandung obat
tidur.Aku mengecup keningnya dalam-dalam. Lalu
duduk di tepi tempat tidur, di hadapannya. Perlahan dia membuka matanya.
Kusambut pandangan pertamanya di hari ini
dengan senyuman terbaikku. Dia membalas senyumanku. “Saatnya sholat shubuh” kataku. Dia mengangguk. Aku
membantunya bertayamum.
Lalu
dia mendirikan sholat shubuh di tempat tidurnya. Aku memperhatikanya disetiap
gerakan isyarat sholatnya, sampai dia menyesaikan
sholatnya. Wajahnya terlihat damai seakan
dia berbicara dan berhadapan langsung dengan Kekasih sejatinya, Tuhan yang
mempertemukan kami, Allah Swt.
Dialah
pangeranku... anugrah ilahi yang aku sia-siakan selama ini.
Hari
beranjak siang, aku pergi ke dapur bermaksud membuatkan sesuatu untuk
sarapan Aidan. Ku putuskan hari ini aku akan
memasak sup krim untuknya. Aku cukup tahu tentang
apa-apa yang disukainya di internet beberapa waktu sebelum aku menikah dengannya. Termasuk makanan kesukaannya, sup, ikan dan
donat. Bahkan dia menyukai itu semua sejak
dia masih kanak-kanak.
Ketika
orang tuanya mengajaknya ke restauran cepat saji khas Amerika. Dia akan
menolaknya dan berkata, “Aku lebih suka makan ikan
dan sup.”
“...Sungguh
tidak seperti kebanyakan anak lainnya...” itulah yang dikatakan kedua
orang tuanya..
Aku
segera mengambil sayuran yang telah tertata rapi di dalam lemari es. Wortel,
bayam, kentang, brokoli dan jamur. Deborah, pelayan
Aidan datang. Dia tersenyum padaku, aku
membalasnya. Bibi Sarah pernah bercerita padaku. Dia pelayan Aidan dari Spanyol. Dia sangat baik, ramah, namun dia tak
mengucapkan apa-apa padaku, dia tak pandai berbicara
bahasa asing. Dia hanya berbicara bahasa Catalan dan Castellano atau Spanyol.
Dia membantuku memotong sayuran dan sedikit
heran ketika melihat jamur. Setelah memotong sayuran dia pergi meninggalkanku untuk mengerjakan
tugasnya yang lain.
“Gracias...(terimakasih)
.”ucapku. Hanya itu kata dari bahasa Spanyol yang aku
ketahui. Dia hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku
mulai memasukkan sayuran ke dalam panci yang berisi air mendidih. Lalu aku
masukan bahan-bahan pelengkap lainnya.
Aku
mulai merasa terganggu dengan acara televisi yang tadi dinyalakan oleh Deborah
sebelum dia pergi. Acara yang membahas tentang
kehidupan selebriti. Ya... semacam infotainment
di Indonesia.
Aku
dengar acara ini adalah acara unggulan di channel TV termuka di Inggris, dan
menjadi acara favorit bagi orang-orang London
termasuk Deborah. Ah... aku tetap saja merasa
tak nyaman dengan acara semacam itu. Aku meraih remote untuk mematikan televise
itu.
Namun
kuurungkan niatku semula, saat kudengar seorang menyebut nama Rafaël. Tentu
yang mereka maksud Aidan. Perhatianku mulai beralih
pada acara itu. Dua orang gadis tengah duduk
di sofa. Seorang gadis mengenakan blazer hitam dan celana berwarna hitam
pula. Rambutnya lurus sebahu dan kuketahui dia
sebagai presenter acara tersebut. Seorang gadis
lainnya mengenakan pakaian lebih informal. Rambutnya ikal pirang sebahu. Ku
ketahui namanya Sandrine, seorang petenis
nomor tujuh di dunia yang baru saja memenangkan turnamen Swiss terbuka sebulan yang lalu.
Sandrine?
Nama itu terasa tak asing lagi bagiku. Sandrine atlet tenis dari Perancis,
lalu apa hubungannya dengan Aidan. Ku aduk-aduk sup
krim yang berada di dalam panci, seperti aku
mengaduk-aduk otakku untuk menemukan jawaban siapa Sandrine. Aku memperhatikan percakapan dalam bahasa Perancis itu.
“Selamat
kau kembali menjadi juara.” Ujar presenter itu.
“Terimakasih.”
Jawab gadis bernama Sandrine itu.
“Mana
yang lebih kau banggakan saat menjadi juara di Wimbledon ataukah
sekarang?”
“Tentunya
saat aku menjadi juara di Wimbledon, karena hanya petenis-petenis
berkelas yang berada di turnamen itu. Dan aku
bangga bisa menyingkirkan petenis-petenis hebat
itu dan keluar sebagai juara. Tapi...”
“Tapi
apa?”
“Tapi
aku juga bangga menjadi juara di Swiss, karena aku bisa membuktikan pada
Rafaël, aku bisa terus berprestasi tanpanya, tanpa
dukungan darinya.”
“Ya
seperti yang kita tahu, dua tahun yang lalu saat kau menjadi juara di
Wimbledon. Rafaël
benar-benar mendukungmu dan dia selalu hadir saat kau bertanding, kecuali jika
jadwalmu bentrok dengan jadwal pertandingan
sepakbolanya...” Presenter itu menghela nafas panjang.“... dan kau pun sering datang ke pertandingannya
untuk mendukungnya. Bukan?” tanya presenter
itu. Sandrine mengangguk.
“Sungguh
kalian benar-benar pasangan yang serasi. Banyak orang yang menyesali
keputusan kalian untuk berpisah.”
“Itu
keputusannya.” Jawabnya masygul.
Aku
sekarang mengerti Sandrine adalah mantan kekasih Aidan yang dulu membuatku
iri padanya. Jika ku pikir mengapa aku harus iri
padanya, bila pada akhirnya Aidan memang jodohku.
Kadang kita tak pernah mengerti bagaimana takdirNya berjalan dari waktu ke
waktu. Itu pula yang terjadi, jalan takdirNya yang
membawa Aidan padaku.
“Berbicara
tentang Rafaël, sekarang dia telah berpindah agama. Apa itu salah satu
penyebab berakhirnya hubungan kalian?”
“Entahlah...
mungkin ya.”
“Namanya
pun telah berganti, walaupun di lapangan dia masih mengenakan nama
yang sama.”
“Siapa
yang akan mengenalinya di lapangan jika dia mengenakan nama barunya itu.”
Ujar Sandrine sinis. “..dan dia telah
menyembunyikan status barunya itu hampir satu setengah tahun lamanya dari media.”
“Kami
dengar dia baru mengungkap dirinya sebagai muslim setelah dia menikah
dengan seorang muslimah dari Indonesia.”
“Itu
benar.” Jawab Sandrine malas, tapi presenter itu semakin semangat
mengorek-ngorek masalah
pribadinya.
“Apa
pendapatmu Sandrine? Kau cemburu padanya?”
Sandrine
tertawa hambar. “Dia adalah masa lalu bagiku. Indah jika ku kenang masa-masa
bahagia bersamanya. Tapi sekali lagi dia masa
laluku! Masa lalu tak berarti apa-apa bagiku.
Aku hanya berharap dia bahagia dengan siapa pun juga.”
Aku
menuangkan sup krim yang telah matang ke dalam mangkuk.
“Mulia
sekali kau Sandrine.” Puji presenter itu “Kau tahu Rafaël kini tengah di bekap
cedera. Dokter mengatakan dia harus istirahat
selama empat bulan. Jika kau rasa dia tengah menyaksikan acara ini apa yang akan kau katakan padanya?”
“Jika
saat ini kau tengah menonton acara ini aku hanya ingin mengucapkan semoga
kau cepat sembuh dan kembali ke lapangan,
penggemarmu di luar sana sangat menantikanmu.
Ciptakanlah gol-gol cantik dan menangkanlah setiap pertandingan. Bawalah
clubmu menjadi juara liga musim ini.” Ucap
Sandrine. Aku bisa merasakan ketulusan dari hatinya
sekaligus perhatian yang didasari cinta. Cinta yang mungkin masih bersisa di
hatinya. Aku meletakkan mangkuk di atas
tampan dan segera pergi ke kamar, setelah terlebih dulu ku matikan televisi itu.
Aku
mendapatkan Aidan tengah menonton acara yang sama di kamarnya.
Pandangannya
terpaku pada televisi. Bahkan dia tak menyadari kehadiranku di ruangan ini.
Nafasnya mengalir tak beraturan.
Aku
duduk di sampingnya, dia terperanjat kaget. Seulas senyuman tak lupa dia
lemparkan untukku.
“Kedua
gadis itu tengah membicarakanmu?” tunjukku pada dua gadis di televisi.
“Kau
tahu wanita itu?” tunjuk Aidan pada gadis berambut ikal itu.
“Sandrine?!”
jawabku, namun nadaku cenderung balik bertanya.
“Ya
Sandrine! Mantan kekasihku.” Ujar Aidan.
Kata-katanya
membuat hatiku panas terasa
di bakar bara api.
“Melihatnya
membuatku teringat masa lalu...” katanya lagi.
“Dan
aku merasa kau tak pantas untukku.” Kata-katanya yang terakhir lebih mengiris
hatiku. Aku tak tahu apa dia sadar mengucapkan
kata-kata itu?
Hatiku
sungguh teriris. Lalu bagaimana kau menganggap aku selama ini? Aku sadar
sepenuhnya, aku memang tak pantas untukmu di
bandingkan dengannya. Dia selebriti sepertimu.
Dia petenis nomor tujuh di dunia, dia cantik, cerdas dan sedertan keunggulan
lain yang dapat menyeimbangkan keunggulanmu.
Sedang aku? Aku memang tak punya apapun seperti
yang kau tahu sejak awal pernikahan.
Hatiku
semakin panas. Aku merasa terlempar dari kehidupannya, dari hatinya lebih
tepatnya. Cemburukah aku? Perih rasanya. Mataku
mulai berkaca-kaca. Namun aku berusaha untuk
tidak menangis di depannya. Aku berusaha mamberikan senyuman untuknya meski
senyum itu menambah luka di hati semakin
membengkak. Aku berusaha untuk tetap tegar, meskipun
jauh dalam kenyataannya, usaha itu hanya menutupi kerapuhan dan ketidakberdayaanku. Tanganku bergetar dan mungkin aku
akan menjatuhkan mangkuk berisi sup itu. Aku
segera meletakkan mangkuk itu di atas meja kecil disampingnya. Aku memegang nampan itu erat. Mencoba menahan emosi yang
meluap dan menumpahkan kekecewaan yang tak
mampu kuungkapkan.
“Kau
tak pantas bagiku Saila...” Aidan mempertegas kata-katanya. Sebuah kalimat
yang mencambuk hatiku sekali lagi. Matanya
tertunduk memandangi selimut yang menutupi sebagian
tubuhnya.
“Ya...kau
benar. Sandrine memang pantas bagimu di banding aku. Dia cantik, cerdas
dan berprestasi.” Aku menyerah, air mataku tumpah,
aku tak mampu membendungnya lagi.
“Tapi
dia tidak sepertimu, kau tak pernah tersentuh oleh lelaki meski kau telah
berpacaran sebelumnya, kau pantas mendapatkan laki-laki
lain yang lebih baik dariku sedangkan aku
dan dia...” Aidan tak melanjutkan kata-katanya lagi. kata-katanya kini bagai
air mengalir yang menghapus segala luka-lukaku,
jadi sedari tadi aku salah paham. Aidan mengangkat
kepalanya dan menatap wajahku.
“Hei
kenapa kau menangis?” tanyanya setengah terkejut.
“Tidak!
Aku baik-baik saja.” Ujarku tersenyum.
“Aku
malu, aku terlalu banyak melakukan hal-hal buruk dulu.”
“Bukankah
itu masa lalumu? Lalu kenapa kita tidak bersama-sama menatap masa
depan saja?” ujarku. “Kau tahu? Ketika seseorang
memutuskan menjadi seorang muslim dan mengucapkan
syahadat dosa-dosanya di masa lalu akan terhapus dan kembali suci seperti
bayi yang baru dilahirkan.” Tambahku. Dia
tersenyum.
“Aku
beruntung mendapat petunjuk dariNya dan memilikimu.” Ucapnya setengah
berbisik. Dia menghapus air mata di pipiku. “Aku
tak ingin membuatmu terluka...aku mencintaimu.”
Suasana
menjadi hening di antara kami tak ada yang mengucapkan sepatah katapun.
Suasana semakin terasa beku untuk beberapa saat.
Pandangannya kosong menatapku. Pikiranku pun
melayang kesana kemari. Ku teringat teh Husna, mungkin dia kini mengkhawatirkanku. Karena aku pergi tanpa memberitahunya
terlebih dahulu.
“Hei
apa yang kau bawa di mangkuk tadi?” tanya Aidan memecah kebisuan sekaligus
membuyarkan lamunanku.
“Astagfirullah,
aku lupa! Aku membuatkan sup krim untukmu. Aku harap kau
menyukainya.”
“Tentu
aku akan menyukai apapun yang kau masak untukku.”
Aku
mengambil mangkuk berisi sup krim itu. Ku sodorkan sendok yang berisi sup itu
ke depan mulutnya. Aidan hampir membuka mulutnya.
Namun dia hanya memandanginya.
“Apa
itu?” tanyanya. Telunjuknya mengarah pada sayuran berwarna cokelat di atas sendok itu.
“Jamur.”
Jawabku. Lantas dia diam dan hanya memandangi sendok itu dan aku silih
berganti. Aku balas memandangnya dengan heran.
“Aku…”
dia tak melanjutkan kata-katanya.
“Astagfirullah
aku lupa lagi. Kau tak suka jamur. Padahal aku sangat menyukainya.
Baiklah aku akan menyingkirkannya.”
“Kenapa
harus di singkirkan, bukankah kau menyukainya? Bagaimana kalau kita
makan bersama?”
“Aku
setuju…” ujarku tersenyum.
***
Aku
menghabiskan hari-hariku bersama dengan Aidan, merawatnya, menjaganya,
membantu dia bersiap untuk sholat, hingga
mengantarkan ke rumah sakit untuk check up. Aku
merasa senang dapat melakukan tugasku sebagai seorang istri. Aku kini paham
bagaimana para istri mengabdi pada suaminya.
Seperti juga yang dilakukan ibu pada ayah, kak
Yasmin pada mas Deniez, atau kak Wafa pada mas Fadli.
Tapi
semua itu akan berakhir seiring
aku harus kembali ke Indonesia. Aku berharap Aidan akan ikut bersamaku agar aku
dapat merawatnya hingga sembuh. Aku ingin
menyaksikan untuk pertama kalinya dia berjalan
tanpa kruk lagi. Namun aku merasa itu adalah hal yang tak mungkin. Aidan harus
tetap disini, manajernya tak akan mengizinkan dia
pergi, terlebih di Indonesia tak ada dokter yang
lebih baik daripada para dokter disini yang terbiasa menangani kasus seperti
Aidan. Aku pun tak mungkin untuk terus
menetap disini. Semester baru pun akan segera di mulai.
“Apa
yang kau pikirkan, Saila?” tanya bibi Sarah yang menghampiriku di ruang
makan. Beliau seolah telah membaca kecemasanku.
“Aidan…”
ujarku.
“Aidan?
Ada apa dengannya?”
“Aku
masih sangat ingin merawatnya. Tapi seperti yang kau tahu aku harus segera
kembali ke Indonesia.”
“Ya,
kau harus kembali kuliah.” Ujar bibi Sarah. Dia melemparkan seulas senyuman
padaku.
“Kau
tak perlu khawatir, Aidan akan ikut bersama kita ke Indonesia.” Lanjutnya.
“Aku
tak mengerti maksud bibi. Bagaimana mungkin?”’
“Mungkin
saja. Manajernya memberi waktu dua bulan untuk pergi kemanapun Aidan
ingin pergi untuk memulihkan kondisinya sekarang.”
“Tapi
tak ada dokter yang lebih bagus dari para dokter disini. Aku tak yakin di
Indonesia Aidan akan cepat pulih.”
“Kau
lupa Saila yang memberikan kesembuhan itu bukan dokter, tapi Allah. Mereka
hanya membantu kita berikhtiar.” Tiba-tiba Aidan
datang dan bergabung bersama kami.
“Aku
merasa lebih baik saat kau merawatku. Karena kau selalu menghiburku.
Suasana hatiku yang baik dapat mempercepat penyembuhan
juga.” Jelas Aidan lagi.
“Aku
memutuskan untuk ikut ke Indonesia. Aku ingin memulihkan diriku juga
pikiranku yang selama ini terlalu banyak diisi oleh
segala sesuatu tentang sepakbola. Aku ingin
mengunjungi pesantrenku dulu untuk menyegarkan kembali pikiran dan ruhiyahku.”
Tambah Aidan.
“Aku
senang mendengarnya.” Ucapku riang. “Kita akan pulang ke Indonesia...”
seruku.
***
Sesampainya di Indonesia aku meninggalkan Aidan di rumah Bibi Sarah. Aku sendiri kembali ke asrama. Aku tahu meskipun Aidan di Indonesia, aku tak bisa merawatnya sebagaimana aku merawatnya di London. Kami harus berpisah. Aku tak mungkin membawa Aidan ke asramaku, ataupun selamanya aku tinggal di rumah Bibi Sarah. Tapi aku berjanji, Insya Allah aku akan sering menjenguknya di sana. Akan ku gunakan waktu lenggangku untuk bersamanya. Bagi kami itu lebih baik daripada kami harus berpisah terlalu jauh.
Aku
telah berdiri di depan pintu asramaku. Keadaannya sangat sepi. Tak ku dengar
sedikit pun suara gaduh dari dalam. Hari minggu,
sebagian orang mempunyai acara masing-masing,di luar asrama.
“Saila,
kau telah kembali sayang!” teriak teh Husna dari jendela kamarnya.
“Ya
teh.” Jawabku lesu. Ada perasaan malu ketika menatap wajahnya. Aku segera
masuk ke dalam, teh Husna segera menghampiriku dan
dia memelukku erat.
“Kemana
saja kau selama ini?” tanyanya penuh kekhawatiran.
“Maafkan
aku. Aku pergi tanpa izin. Kerabatku ada yang sakit sehingga
mengharuskanku pergi segera.”
“Tak
apa. Asal kau tak ulangi lagi.” Teh Husna menatapku haru.
“Saila…”
Kak Erin memanggilku, lalu menghampiriku dan memelukku. Teh Nabila
berjalan ke arahku, lalu memelukku setelah Kak Erin
melepaskan pelukannya.
“Maafkan
aku, Saila.” Desisnya. “Kami sangat mengkhawatirkanmu.”
“Maafkan
aku juga… aku telah membuat kalian khawatir.” Ujarku.
“Apa
kau marah pada kami?” tanya Kak Erin.
“Bagaimana
mungkin aku marah pada kalian. Sedangkan kalian begitu baik padaku.
Kalian seperti saudaraku.”
Aku
merasa terharu melihat bagaimana mereka menyambut kedatanganku. Padahal
aku telah membuat mereka khawatir. Rasa lelahku
menghentikan kami melepas rindu. Aku segera
merebahkan tubuhku dan memejamkan mataku.
“Teh,
kau habis darimana? Pulang ke rumah orang tua?” tanya Nurma yang datang
menghampiriku.
“London.”
Jawabku tenang.
“London??”
Nurma tampak heran. “London yang sebelah utara Bandung itu?”
godanya.
Aku
yakin dia tak percaya padaku. Itu memang wajar, siapa yang akan percaya aku
baru saja dari sana. Hal itu memang sulit di terima
logika, aku bukan orang kaya, juga tak punya
urusan apapun untuk pergi kesana. Itulah yang mereka pikirkan. Sejak hari itu
aku semakin dekat dengan mereka. Aku
menemukan keluarga baru di sini.
Aku
menepati janjiku pada diriku sendiri untuk merawat Aidan. Meskipun banyak
waktu yang kukorbankan. Meskipun aku harus
melewatkan waktu belajarku di pesantren karena
Aidan sering memintaku menemaninya sampai larut malam atau dia sengaja memintaku menginap di rumah Bibi Sarah. Aku sungguh tak
bisa menolak permintaannya.
“Maukah
kau menginap disini? Aku butuh teman untuk mengobrol. Paman dan Bibi
pergi ke Jakarta…” pintanya suatu hari.
“Aku
ingin malam ini tahajud bersamamu.” Katanya di lain hari.
Jika
sudah begitu, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya bisa berkata. “Baiklah…”
Lagipula
aku senang berada di sampingnya. Meskipun Aidan tak memintaku aku
sendiri yang datang menemuinya. Aku memanfaatkan
keberadaannya disini. Toh aku tak bisa setiap
hari bersama dengannya. Aku hanya punya waktu yang terbatas bersamanya, dia
akan segera kembali ke Inggris jika dia
telah sembuh nanti.
Hari
keempat belasnya di Bandung, Aidan telah meninggalkan kruknya. Dia telah
dapat berjalan dengan baik. Meskipun dia masih
berjalan tak selancar biasanya. Dua bulan sudah
Aidan tinggal di Bandung. Keadaannya sudah jauh lebih pulih dari sebelumnya.
Dia pun dapat berjalan dengan normal seperti
biasanya.
Siang
itu dosenku baru saja meninggalkan kelas. Ketika tiba-tiba handphoneku
berdering.
My
Prince memanggil…
Aidan?
Kenapa dia meneleponku sekarang? Aku segera menjawab panggilannya.
“Assalamualaikum…”
ucapku.
“Waalaikumsalam.”
Jawabnya.
“Ada
apa? Baiklah beberapa saat lagi aku akan ke rumah bibi Sarah.” Ujarku.
“Tidak
usah… coba kau lihat ke halaman gedung kampusmu.”
“Sekarang?”
tanyaku
“Tentu.”
Katanya
Aku
segera melangkah menuju jendela. Pandanganku menyapu seluruh halaman
gedung. Aku melihat Aidan berdiri di sebuah anak
tangga menuju gedung fakultasku. Aku melambaikan
tangan padanya. Dia membalasnya. Aku segera berlari untuk menghampirinya.
“Saila,
kau akan pergi kemana?” teriak Rahma teman sekelasku.
“Pulang.”
Jawabku. Aku terus berlari hingga keluar gedung dan menemuinya dengan
nafas terengah-engah.
“Aku
tak tahu, kalau kau akan datang menemuiku di sini.” Ucapku pada Aidan.
“Aku
ingin membuat kejutan untukmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”
Jelasnya.
“Suatu
tempat? Kau akan membawaku kemana?” tanyaku penuh penasaran.
“Ke
Masjid dimana pertama kalinya aku mengucapkan kalimat syahadat.” Ujarnya.
“Aku
ingin mengenang masa lalu yang indah disana.” Ujarnya lagi penuh semangat.
“Masjid
Daarul Ihsan?” kataku terkejut.
Aku
tak mungkin ke Masjid itu. Bagaimana jika aku bertemu dengan teman-temanku disana? Mereka bisa
bersuudzan padaku, pergi dengan laki-laki
yang bukan mahram. Itu akan menyebabkan fitnah.
“Aku
tak bisa kesana.” Kataku.
“Kenapa?”
dia menatapku heran.
Aku
membalasnya dengan tatapan ragu dan penuh rasa bersalah. Haruskah aku
menceritakan semuanya pada Aidan? Apa dia takkan
marah padaku?
Seribu
tanya, gelisah dan takut menyerbu diriku. Merontokkan seluruh tulang,
melemaskan otot dan sendi-sendi tubuhku. Aku
menatap Aidan dengan rasa malu yang tak dapat
kusembunyikan lagi. Tamatlah riwayatku sekarang. Apa yang harus ku katakana
padanya? Pembelaan diri yang seperti apa yang akan
aku persiapkan untuk menghadapi kemarahannya
nanti? Bagaimana cara dia marah? Apa dia akan berteriak di hadapanku seperti ketika dia marah di lapangan pada wasit atau
lawannya, saat dia kecewa? Tapi itu dulu
sebelum dia menjadi muslim. Aku tak pernah melihatnya marah lagi di lapangan
sekarang. Lalu apa dia takkan marah padaku? tapi
rasanya itu tak mungkin.
Segala
pertanyaan berputar-putar dalam benakku. Keringat dingin mengalir di
tubuhku. Aku menatapnya dengan rasa yang semakin
berdebar-debar. Tatapannya semakin melukiskan
keheranannya yang semakin mambuncah dan tak mampu untuk di bendung lagi.
“Baiklah,
aku akan menceritakannya padamu, tapi tidak disini.”
Aku
dan Aidan pun pergi ke kantin. Aku menceritakan semuanya pada Aidan. Disana,
Aku ceritakan padanya bahwa aku telah menyembunyikan
status asliku dari teman-temanku. Aidan
mendengar ceritaku dengan baik. Tak lama setelah aku selesai bercerita terlihat
wajahnya tampak kecewa.
“Kau
malu menikah denganku? Mempunyai suami sepertiku?” ucapnya lesu.
“Tidak.
Tidak bukan itu maksudku. Aku punya alasan sendiri kenapa aku
menyembunyikannya.” Aku menghela nafas sejenak,
melirik pelayan yang mengantarkan minuman
untuk kami, yang sesekali mencuri pandang pada Aidan. “Aku takut mereka mengeluarkanku dari pesantren ini. Bukankah kau telah
memintaku berjanji untuk tidak keluar sampai
wisuda nanti. Lagi pula aku terlanjut nyaman dengan orang-orang disana. Mereka sudah seperti saudaraku.”
Aidan
masih belum menjawab. Dia meminum jusnya perlahan.
“Kau
marah padaku?” tanyaku.
Ku
tatap wajahnya yang masih merah menahan marah. Aku berusaha menatap kedua matanya. Tapi dia tak
membalasnya, dia malah memalingkan wajahnya
dari hadapanku.
“Ku
mohon jangan marah padaku.” Aku mengiba. “Aku sungguh minta maaf padamu.
Awalnya aku memang sengaja menyembunyikan pernikahan
ini dari teman-temanku. Aku hanya ingin
mereka tahu bahwa aku masih single seperti mereka.” Jelasku
“Lagipula
pesantren itu tak mau menerima calon santrinya yang telah menikah.
Padahal kau tahu betapa aku ingin sekali menjadi
santrinya.” Tambahku.
“Kau
tahu? Kau telah membohongi mereka! Kau keterlaluan!” hanya itu yang Aidan
katakan.
“Aku
tak membohongi mereka. Aku hanya diam, tutup mulut.” Aku mencoba
membela diri.
“Jika
kau marah padaku, aku terima. Apapun yang kau mau akan aku lakukan
asal kau mau memaafkanku dan menyimpan rahasia ini
sampai aku wisuda di pesantren. Setelah itu
aku akan katakan pada orang-orang, kau adalah suamiku.”
Aidan
masih diam memendam marahnya. Dia menghisap jus terakhir di gelasnya
melalui sedotan bening yang mengalirkan cairan itu
dari gelas menuju mulutnya. Tak ada kata
lagi yang keluar dari mulutnya.
“Baiklah
aku akan katakan pada mereka, aku telah menikah. Dan kau akan
mendapatkan aku keluar dari tempat itu. Serta aku
akan kehilangan sahabat-sahabatku disana.”
“Aku
memang pantas mendapatkan itu.” Ucapku dengan nada bergetar.
Pandanganku
mulai kabur tertutup butiran-butiran air yang tak
mampu ku bendung dan mulai mengalir perlahan.
Aidan
menghela nafas dalam-dalam lalu memandangku, tangannya yang halus
menghapus air mataku.
“Kau
tak perlu mengatakan apa-apa pada mereka. Aku yang memintamu untuk
bertahan disana. Dan aku akan memintamu untuk tetap
disana.” Ujar Aidan.
“Apa
itu berarti kau memaafkanku?” tanyaku dengan suara serak.
Aidan
mengangguk pelan.
“Terimakasih.”
Desisku.
“Baiklah
aku akan pergi kesana sendiri sekarang.” Ujarnya.
Dia
beranjak dari tempat duduknya.
Aku mengikutinya.
“Kau
akan pulang ke asramamu?” tanyanya.
“Aku
juga akan pergi ke Masjid itu. Aku akan berjalan di belakangmu.”
“Baiklah.”
Kami
pun melangkah menuju Masjid itu. Kami berjalan berjauhan layaknya dua
orang yang tidak saling mengenal. Beberapa orang
melirik Aidan, mereka mungkin berpikir orang
yang dilihatnya itu adalah seseorang yang mirip dengan Rafaël Alvarez, bintang
sepak bola yang tengah cedera parah itu.
Namun aku yakin tak seorangpun yang menyangkanya bahwa dia memang Rafaël Alvarez yang telah berganti nama
menjadi Faiyaz Basel Aidan. Aidan melirik
orang-orang yang memperhatikannya di balik kacamata minus yang ku ketahui, kacamata itu hanyalah kacamata dengan lensa
netral yang menyembunyikan identitas aslinya
sebagai Rafaël Alvarez.
Sesampainya
di Masjid beberapa orang menyambutnya dengan jabat tangan dan
pelukan persaudaraan termasuk para ustadz yang
mengajarku. Aku memperhatikannya dari tangga
menuju tempat jemaah wanita, yang berjarak kurang lebih dua meter dari
tempatnya berdiri.
“Assalamuaikum.
Apa kabarnya?” ujar seorang pria yang ternyata mudabirku
(seorang pria mendampingi santri putra) sendiri,
Kang Haris.
“Waalaikumussalam.
Alhamdulillah baik…” jawab Aidan dengan senyum khasnya.
“Saya
dengar antum sudah menikah? Apa benar?” Tanya pria yang sama.
Aidan
tak langsung menjawabnya dia tersenyum, lalu menoleh ke arahku. Aku
langsung memalingkan pandanganku darinya.
“Benar.”
Pelan ku dengar ia menjawab.
“Saya
juga dengar antum menikah dengan muslimah dari Indonesia? Benar?”
“Benar.
Beliau tinggal di kota ini.” kali ini Aidan menjawab lebih panjang.
“Subhanallah…apa
antum datang bersamanya juga kemari?”
Aidan
kembali diam, lalu menoleh kembali ke arahku. Kali ini aku langsung beranjak
dari tempat dudukku lalu pergi ke tempat wudlu.
“Iya.
Dia baru saja pergi ke tempat wudlu akhwat.” Aku masih bisa mendengar dia
menjawab pria itu.
***
“Assalamualaikum…”
aku mengucapkan salam saat memasuki asrama. Sayup-sayup
ku dengar beberapa orang tengah mengobrol di ruang
makan. Aku pun ikut serta bergabung bersama mereka.
“Apa
teteh tidak salah lihat?” Tanya Kak Erin.
“Teteh
tidak salah lihat itu Kang Aidan. Beliau ngobrol dengan Kang Haris di depan
Masjid. Ustadz-ustadz juga menyapa beliau.” Jelas
Teh Husna.
“Kang
Aidan. Siapa beliau?” tanyaku pura-pura tak mengenalnya.
“Beliau
itu muallaf dari Spanyol. Beliau dulu pernah jadi santri.” jawab kak Erin.
“Oh…
sepertinya orang-orang disini semua mengenalnya.” Ujarku lagi.
“Karena
beliau satu-satunya santri dari Spanyol. Santri teladan pula, tidak mudah bagi
kami untuk melupakan beliau. Semangat beliau
mempelajari Islam menjadi tauladan bagi santri-santri
yang lain.” Jelas Teh Husna penuh kekaguman. Lantas teh Husna lekas beristighfar, ia merasa bersalah terlewat mengaggumi
ikhwan itu.
Teh
Husna dan kak Erin adalah dua senior kami. Mereka tinggal di Daarul Ihsan
setahun lebih dulu dariku. Oleh karenanya mereka
pernah mengalami tahun pendidikan yang sama
dengan Aidan, tentunya dengan program yang berbeda. Aidan memang sangat menonjol saat itu, kulitnya yang seputih susu lengkap
dengan bola mata cokelatnya menstimulus
orang yang melihat mempertanyakan dirinya. Pertama kali ia mengucapkan kalimat syahadat di Masjid Daarul Ihsan di acara kajian
ma’rifatullah yang disaksikan seluruh santri.
Siapa pula yang tidak merekam momen yang membuat orang yang hadir bergetar
hatinya dan tak banyak yang meneteskan air matanya
saat pak kyai memintanya menceritakan
perjalananannya hingga ia sampai di Masjid itu, lebih tepatnya sampai Allah
menurunkan hidayah baginya. Tak lama berselang ia
pun memutuskan untuk menjadi bagian keluarga
besar Daarul Ihsan dengan mengikuti program santri privat.
“Kak
Erin…Kak Erin…” Iis datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Ada
apa? Kenapa heboh begitu?” tanyaku heran dengan tingkahnya. Sedangkan Kak
Erin sendiri terlihat acuh.
“Kak
Erin. Coba tebak tadi aku bertemu dengan siapa?” katanya lagi tanpa
mempedulikan pertanyaanku.
“Siapa?”
Tanya Kak Erin.
“Kang
Aidan…Kang Aidan… Mr. Aidan... Mr. Aidan.” ucap Iis histeris. “Alumni
santri privat itu. Beliau makin ganteng aja.”
“Istighfar.”
Ucap teh Husna bijak. “Ghadzul Bashar ukh...”
“Eh
bukan cuma itu. Denger-denger beliau sekarang lagi rajin ngehafal Qur’an. Calon
suami yang ideal. Ya Allah jodohkanlah aku
dengannya.” Iis masih tampak takjub pada ikhwan
itu, suamiku.
“Apa
kamu juga udah denger kalau beliau sudah menikah?” giliran kak Erin yang
sekarang berbicara.
Glekk.
Iis menelan ludahnya.
“Apa?
Benarkah?” Iis terkejut, dia seolah tak percaya.
“Benar.
Beliau menikah dengan muslimah dari Indonesia juga. Beliau juga
mengatakan istrinya itu dari Jawa Barat. Orang
Sunda.” Jelas Teh Husna.
“Ah…
ya Allah kenapa Kau tak memberiku kesempatan untuk jadi istrinya.” Ucap Iis
dengan mendramatisir kata-katanya.
“Istighfar
Is, jodoh itu sudah di atur olehNya. Mungkin dia bukan yang terbaik
untukmu. Percayalah kalau Allah telah menyiapkan
seseorang yang lebih baik darinya.” Nasehat
teh Husna.
“Iya.
Kau benar. Tapi siapa muslimah yang beruntung menjadi istrinya itu?” Iis
menghela nafas.
“Aku.”
Jawabku polos.
“Hah!
Kamu? Masa? Emang kamu kenal dia? Ketemu aja belum kan?” ujar Iis sinis.
Aku
mengangkat bahuku.
“Bercandamu
itu tidak lucu.” Ucapnya lagi. Ia meringis, mungkin menahan luka di
hatinya. upss...
“Maaf.”
Ucapku.
Siapa
yang percaya kalau aku ini istrinya Aidan, santri teladan se-Daarul Ihsan,
tampan, kaya, sholeh pula. Sedangkan aku? Tak dapat
di hitung, berapa kali aku membuat pelanggaran
disini. Mulai pergi dari asrama tanpa izin, bolos materi, tidak ikut forum
kesantrian, dan sederetan pelanggaran lainnya yang
bahkan aku telah melupakannya.
Sungguh
benar-benar sangat berbeda. Apa yang ku dengar tentang Aidan dari mulut mereka
membuatku termotivasi untuk menjadi lebih baik
lagi. Serta membuatku tersadar betapa aku beruntung
menjadi istrinya. Rasa syukurku merasa lebih berlipat-lipat lagi dari
sebelumnya.
Ya
Allah terimakasih…aku menyesal telah menyesali pernikahan dengannya… saat itu
juga ingin ku katakan dengan lantang bahwa aku benar-benar istrinya, tanpa ragu
sedikitpun. Namun aku
telah terikat janji pada Aidan yang mengendalikan aku untuk tidak mengatakan
hal itu. Jika aku mengatakan itu, maka aku harus
bersiap merapikan barang-barangku dan pergi
dari tempat itu dan berpisah dengan saudara-saudara di Asrama yang begitu
hangat karena ukhuwah ini. Cinta karena
cinta padaNya.
“Berjanjilah
kau takkan pergi dari tempat itu…” kata-kata Aidan terngiang di
telingaku dan menyadarkanku untuk tidak melakukan
perbuatan bodoh itu.
“Hei…
apa yang kau lamunkan?” tegur Teh Husna membuyarkan lamunanku.
Aku
tersenyum kecil. Lalu menggelengkan kepalaku.
“Tidak
ada.” Jawabku.
“Jangan
lupa, sabtu ini kita camping di Parongpong.” Ujar teh Husna.
Glekk.
Aku menelan ludah. “Sabtu ini?” teh Husna mengangguk.
Sabtu
ini adalah malam
terakhir Aidan di Indonesia. Minggu pagi ia harus kembali ke London. Bagaimana
bisa aku melewatkan malam itu. Aku sudah berjanji
akan menghabiskan malam itu
bersamanya. Kabar buruknya, aku belum pernah camping di hutan, merasakan qiyamul lail di alam terbuka tentunya sangat menenangkan dan menyenangkan dan mungkin itulah momen dimana aku bisa merasakan kedekatan dengan Rabbku. Ah bimbang...
bersamanya. Kabar buruknya, aku belum pernah camping di hutan, merasakan qiyamul lail di alam terbuka tentunya sangat menenangkan dan menyenangkan dan mungkin itulah momen dimana aku bisa merasakan kedekatan dengan Rabbku. Ah bimbang...
“La,
kau akan ikut camping bersama kami kan?” Tanya Kak Erin.
“La,
kau akan ikut bukan?” sekali lagi Kak Erin bertanya.
“Maafkan
aku, sepertinya aku tidak bisa. Aku harus ke rumah Bibiku sabtu ini.”
Ujarku.
Akhirnya aku lebih memilih bersama Aidan dengan harapan semoga Allah ridha
padaku yang berusaha membahagiakan suamiku.
“Bagaimana
pun juga kau harus ikut! Ini merupakan acara kebersamaan kita. Kapan
lagi kita dapat berkumpul di acara seperti ini. Kau
harus ikut ya!” Teh Husna membujukku.
“Seandainya
tak ada hal yang lebih penting dari acara ini. Aku pasti ikut bersama
kalian.” Ujarku lesu.
***
Sabtu
sore, saudara-saudara asramaku sibuk menyiapkan keperluan mereka untuk
pergi camping ke daerah pegunungan yang terkenal
dengan keindahannya itu. Hatiku begitu bergejolak,
betapa aku ingin merasakan rasanya tidur di alam bebas dalam kesendirian,
mengenang indahnya nikmat yang Allah karuniakan
untuk kita sebagai manusia. Alam semesta
yang telah diciptakan dengan sempurna. Berkumpul dengan teman-temanku. Ah…
aku hanya bisa ikut berbahagia atas mereka.
Tawa
saudara-saudara asramaku memenuhi seisi asrama. Betapa mereka menyambut
acara itu dengan riang gembira. Aku hanya bisa
menatap mereka satu persatu sebelum aku pergi
ke rumah Bibi Sarah.
Sesampainya
di rumah Bibi Sarah aku telah melupakan keinginanku untuk pergi
camping bersama teman-temanku. Aku menghabiskan
malam itu dengan mengobrol bersama Aidan,
layaknya sepasang kekasih yang melepas rindu. Malam pun semakin larut. Tapi
obrolan kami belum berakhir. Udara semakin dingin
dan sunyi. Aku dan Aidan bahkan tak mendengar
lagi suara Bibi dan Paman bercakap-cakap di kamar mereka yang bersebelahan
dengan kamar kami.
Kami
kembali mengenang awal-awal pernikahan. Bahkan kuceritakan padanya
bagaimana perasaanku terhadapnya saat aku duduk di
bangku SMA dan dia belum mengenalku sama
sekali. Dia sendiri menceritakan kehidupannya ketika di pesantren dulu. ketika dia dan teman-temannya berjualan donat di sekitar
pesantren hingga kampusku. Donatnya selalu
lebih awal habis daripada teman-temanya. Selain oleh pembeli, donat-donat
itu pun kadang habis di makannya. Aku sendiri
selama itu tak pernah bertemu dengannya, meskipun
Daarul Ihsan berada di belakang kampusku.
“Mereka
senang membeli donatku, mereka mengatakan mereka senang beli donat di
abang bule, aku sendiri tidak tahu apa itu bule.
Kau tahu apa itu bule, Saila?” tanyanya.
Aku
mengangkat bahuku. Tawa kecil kami menghangatkan
suasana, mencairkan kebekuan malam yang
semakin dingin dan kaku. “Tak ada yang mengira bahwa aku ini Rafaël,
pesepakbola yang sering mereka sebut namanya
itu, apalagi yang percaya.” Ujarnya.
“Mereka
hanya mengatakan aku mirip Rafaël, tanpa sedikitpun berpikir, akulah
Rafaël. Ah biarlah… aku lebih senang begitu.
Sehingga aku bisa membaur dengan masyarakat.
Apalah artinya seorang Rafaël yang tidak kenal dengan Tuhannya sendiri.” Jelas
Aidan panjang lebar.
Aku
kembali tersenyum mendengar ceritanya itu. “Mungkin sebagian
orang berpikir karena Rafaël dan Aidan sama-sama
dari Spanyol. Jadi mereka tidak mempermasalahkan
atau menaruh curiga bahwa kau dan Rafaël adalah orang yang sama.” Timpalku.
“Ah...
mungkin. Masuk akal juga.”
Aku
mungkin akan mengenang semua ini. Aku ingin waktu berhenti, namun
kenyataannya waktu terus bergulir dan esok pagi
Aidan akan pergi. Jarak akan memisahkan kami
lagi, samudera dan benua yang membentang seolah menjadi penghalang bagi kami.
Namun
samudra hati akan mempersatukan cinta kami, semua penghalang itu tak akan
berarti lagi bagi kami.
Indahnya
bisa mengabdi dan mengurus Aidan sampai sembuh karena Allah yang telah
memberi kesempatan untuk memanfaatkan ladang amal
itu. Aku masih selalu haus untuk memerankan
diriku sebagai istrinya, aku selalu merasa apa yang kuberikan padanya belum
maksimal. Aku masih ingin di sampingnya, selalu
mempersembahkan sesuatu untuknya. Aku selalu
ingin melihatnya tersenyum, melihatnya tersenyum merupakan suatu kebahagiaan
bagiku. Aku telah melakukan apapun untuknya selama
dia berada disampingku, sebagai seorang
istri.
Malam
ini aku melengkapi peranku sebagai seorang istri dengan
mempersembahkan yang terbaik untuknya, hal yang
semestinya aku berikan untuk Aidan sejak
dulu, segenap jiwa, raga dan seluruh cintaku untuknya. Sekali ini yang
benar-benar dikatakan meleburkan dua hati
menjadi satu, menyelaraskan dua rasa menjadi serasa, mengokohkan cinta yang bersemayam dalam setiap hentakan
jantung. Dengan harapan, Allah berkenan
melimpahkan rahmat dan banyak kebaikan pada kami.
Kami
tertidur beberapa saat, sebelum akhirnya kami kembali bangun, mandi dan
mendirikan sholat tahajud bersama. Seperti biasanya
Aidan pergi shalat shubuh di Masjid bersama
paman Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar