Dua
hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaftarannya ke
Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan
mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang
mengusahakan rekomendasi dari dua orang guru
besar di Universiti Malaya (UM). Dan di hari
ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke
Institute Postgraduate Program (IPS). Zul
mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas
Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa
lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin
dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk
registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling
tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu
ringgit lebih."
"Besar
sekali ya Mas."
"Ini
untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester
biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya
kuliah di sini dengan di Indonesia kurang
lebih sama. Namun jika kita bandingkan
fasilitasnya, rasanya di sini lebih murah. Hanya
saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya
bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu
memang biaya masuk awalnya."
"Saya
harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya
Mas."
"Iya."
Zul
mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak
gamang, apakah ia bisa.
"Jangan
kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika
nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan
pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah
untuk sesi Juli yang akan datang."
"Iya
Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan
berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas
Rizal mengajak saya untuk kerja lembur di
restoran sebuah hotel nanti malam."
"Kalau
begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara
nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar
budak-budak Malaysia di Damansara."
"Ayo
Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah
flat kita."
"Iya."
*
* *
Sore
itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk
mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia
begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan
yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang
melihat Zul bersemangat. Ia senang, sebab malam
itu ada yang menemaninya. Selama ini ia
biasanya sendirian saja.
"Kita
harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti
Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan
sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin
akan pulang sekitar pukul satu malam. Sebab
selain kita bertugas menjadi pelayan yang
menghidangkan makanan. Kita juga bertugas
membersihkan peralatan setelah acara itu. Bagaimana
kau siap Zul?"
"Siap
Mas."
"Ayo
kita berangkat."
Mereka
berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur
menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa
tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal
berkali-kali melihat jam tangannya sambil
mengendari sepeda motor tuanya.
"Memakai
milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat
kok." Jawab Rizal.
"Semoga
Mas."
Mereka
berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul
19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai
shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari
penanggung jawab restoran. Dan malam itu Zul
bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi.
Ia begitu semangat, seolah tidak terasa
lelah.
Dalam
acara yang serba mewah dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan
atas Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang
sangat terkenal di Indonesia. Hanya saja ia
tidak berani kenalan, minta tanda tangan
atau minta foto bersama. Dalam hati kecil
ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar menyapa
bahkan minta tanda tangan. Ia hanya membayangkan
jika bisa foto bersama artis paling populer
di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada teman-temannya
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia.
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia.
Namun
ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua.
la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis
jika sampai berani melakukan hal itu. Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang
wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik.
Ia sangat tersanjung. Wartawati itu, entah
iseng entah serius menanyakan ia berasal
dari mana? Lulusan apa? Dan apa motivasinya
kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya
dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja
di situ karena harus survive dan harus bisa
membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu
agak terkejut.
"Jadi
awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan
awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah
boleh. Awak boleh dikata seorang wira sejati.
Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil
fakulti apa?"
"Fakulti
Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima
kasih. Saya sangat kagum dengan awak.
Semoga
berjaya. Ini kartu nama saya. Suatu masa nanti
kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi,
siapa nama awak tadi?"
"Zul
Hadi."
"Zul
Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah
tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh-boleh."
Zul
lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati
itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati
itu pergi sambil menganggukkan kepala dan
melempar senyum kepadanya. Zul balas
mengangguk dan tersenyum.
Pengalaman
pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang
pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan
hujan deras turun. Rizal nekat menerobos
hujan itu. Dan malangnya, rantai sepeda
motor tua itu putus. Jadilah mereka berdua
jalan kaki sepanjang empat kilometer sambil
menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry
Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak
apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan."
"Ya.
Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita
hahaha."
"Hahaha."
Begitulah.
Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya. Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam.
Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang
kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel
kalau ada acara-acara besar, secara rutin
siang hari Zul bekerja di pom bensin selama
enam jam. Rizal jugalah yang mencarikan
kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut
Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena
kesibukannya itu, ia belum juga sempat
mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di
rumah Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris
melupakannya.
Suatu
hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum
Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan.
Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt
tnggl yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt
sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k tmpt
mbak untk ambil barang insya Allah. Terima
kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul." Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari.
Karena
ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap
dirinya sebagai adiknya.
Smsnya
itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum
wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua
bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses.
Barang-barangmu masih
terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi,
jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu.
Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke
sini. Terima kasih telah menganggapku
sebagai kakak. Selamat bekerja. O ya apakah
ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu:
Mari."
Ia
bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan
bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong
dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam
pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya
lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh
cinta padanya. Cepat-cepat ia menepis
pikiran yang tidak-tidak itu. lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak
ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya: zoel_guanteng@okaymail.com. Terima kasih." Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya.
Baik."
*
* *
Zul
terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah
surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar
diterima di perguruan tinggi tertua di
Malaysia itu. Dan setelah mati-matian
bekerja siang dan malam selama tiga bulan, ia
bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student
pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia
tidak bisa lagi kerja full time seperti
dulu. Tapi pemasukannya harus tetap seperti
dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. Apalagi
jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa
yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya,
orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya.
Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya.
Yahya menyimak apa yang disampaikan Zul
dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar
yang baik. Setelah Zul menyampaikan masalahnya
secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa
disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan
manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra.
Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan.
Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami
sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih
beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa
berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita
petakan apa yang kau hadapi satu per satu.
"Jika
kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja
di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja
Sabtu dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah
cuma lima hari. Tapi saya sering lihat juga,
bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan
sering masuk sore hari. Sebab mahasiswa dari
pribumi Malaysia banyak yang dari kalangan
guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus
pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata
kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang
juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau
harus memiliki sepeda motor sendiri. Selama
ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau
siapa saja yang sepeda motornya nganggur.
Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri,
yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin
kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang
belum tentu bisa.
"Menurut
saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau
disuruh memilih penting mana sepeda motor sama
komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda
motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa
sepeda motor. Tapi kita masih bisa
mengerjakan tugas dengan baik meskipun tidak
memiliki komputer. Sebab di kampus
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
Zul
memikirkan dan merenungi saran Yahya benar.
Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua
dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia
meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda
motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki
tahun tujuh puluhan akhir.
"Yang
penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah
itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata
jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom
bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom
bensin itu banyak bertabrakan dengan jadwal
kuliahnya. Sebagai gantinya ia kerja di
warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai
pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh. Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah
shalat Subuh.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh. Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah
shalat Subuh.
"Saya
belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD.
Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya
hanya bisa konsentrasi jika membacanya pada
pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu.
Biasanya kalau yang saya baca setelah shalat
Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata
Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan
lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh
barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa
barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi.
Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti
kita harus menghidupkan waktu pagi kita.
Waktu Subuh dan setelah Subuh kita."
Sambung Yahya.
"Wah
cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi
sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung
melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga
saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya
waktu pagi."
"Iya
Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi
dari orang China."
"Benar
Mas."
Tak
terasa Zul telah melewati satu semester. Selama
itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hari-harinya
ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan
belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama
saat ia tiba di Malaysia. Hidup setengah
tahun lebih bersama Yahya membuatnya lebih
banyak tahu tentang ajaran agamanya. Ia yang
selama ini tidak mendapat pengajaran agama
secara mendalam, banyak mendapat masukan-masukan
tentang keindahan Islam. Sedikit demi sedikit
Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa. Tidak
ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.
Malam
itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan
hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya
yang jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh
agama. Ia jadi teringat masa SMA-nya dulu.
Ia pernah pacaran dengan anak SMA tetangga
desa. Ia pacaran diam-diam. Pakdenya, yang
menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. Ia
pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng
tangan dan duduk berpelukan mesra dengan pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang
Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA.
Pacarnya
itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia
tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu
ia mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan
hidup bersama suaminya di luar Jawa. Ia
sempat sakit hati. Lalu saat kuliah di IKIP
ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati. Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati. Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
Ia
bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya
dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan
yang lebih dari sekadar bergandeng tangan
dan berpelukan. Ia tidak bisa membayangkan
jika Allah tidak menjaganya. Mungkin ia
telah berbuat maksiat yang lebih besar
lagi madharatnya.
lagi madharatnya.
Dari
Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat
manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang
dikutuk semua agama, yaitu zina. Banyak
orang melakukan pacaran yang karena masih
disayang Allah—diselamatkan oleh Allah dari
dosa besar itu. Namun tidak terhitung jumlahnya
manusia yang melakukan pacaran dan akhirnya
jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan perzinahan
berulang-ulang kali.
Zul
jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang
kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan
seperti apa besar dosanya. Berapa kali ia
bermesraan dan berpelukan dengan perempuan
yang tidak halal baginya.
"Astaghfirullahal
adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatan-perbuatan jahiliyahku."
Ia
menangis bila mengingat yang terjadi pada teman
satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si
Fulanah. Mereka berpacaran dan kebablasan.
Si Fulanah hamil. Keduanya mengakui
perbuatan keji itu pada pihak sekolah.
Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga mereka.
Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir keduanya
dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
Jika
Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya
lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab
saat ia pacaran ia nyaris pernah melakukan
perbuatan yang dilarang itu dengan pacarnya.
Zul kembali menangis mengingat hal itu,
"Ya
Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan
jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah?
Akan jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu
kah? Ya Allah, terima kasih ya Allah telah
menyelamatkan diriku. Ya Allah aku ingin
hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."
Di
akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya
dengan teman-temannya. Juga perjumpaannya dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada
perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun
kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau
bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan
padanya.
Pagi
harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi
ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia
menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya
bahwa besok-besok masih ada waktu untuk
mengambil barangbarangnya.
Namun
keinginannya untuk pergi ke rumah Mari entah kenapa terus mendesaknya.
Pada
akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi
hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi
sekadarnya saja. Sambil mengambil
barang-barangnya yang masih tertinggal di
sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang
kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu
segera.
Pagi
itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai
ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa
apa-apa.
Kecuali
tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari
stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL
Sentral ia naik bus ke Subang Jaya. Di
tengah perjalanan ketika bus baru keluar
dari KL Sentral hujan turun dengan deras.
Bus
tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya
kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air
mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang
diatur rapi. Paru-paru kota yang ada di
hampir setiap sudut kota menyerap air hujan
dengan segera. Tak ada banjir tak ada air
menggenang. Zul boleh salut pada tata kota Kuala
Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.
Zul
turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik.
Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya.
Iaberjalan sambil mengingat-ingat jalan
menuju rumah Mari.
Sambil
berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan
bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah
terbawa. Ia meraba dan menemukannya. Ia
melangkah dengan cepat. Ia telah memasuki
kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan depan
belok kanan.
Rumah
keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari.
Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat
Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang
biasanya adalah Linda. Yang lain pergi
kerja. Dan hujan-hujan begini ia akan
mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. Yang
bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda.
Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda.
Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
Tiba-tiba
ia mendengar suara barang dibanting. Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia
mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara
guntur yang menggelegar ia mendengar suara
perempuan menjerit-jerit minta tolong dari
dalam rumah. Ia kaget. Spontan ia lari ke
pintu. Ia menggedor-gedor pintu. Pintu
terkunci.
Ia
ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara
perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit
minta tolong.
"Toloong,
tolooong! Jangan! Jangan!"
Halilintar
kembali menyambar. Ia menyangka suara itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya
oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun
ia tidak suka dengan perbuatan dan cara
berpikir Linda, tapi ia merasa perempuan itu
tetap harus ditolong. La membuka pintu.
Dan...
Alangkah
terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat
Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul
bertubuh besar yang hendak merogolnya. Mari meronta
ronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya
menendang nendang.
Pakaiannya
bagian atas tidak sempurna lagi menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian
mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya,
mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya,
"Hai
bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"
Bersama
dengan meluncurnya bentakan keras dari mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu,
tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya.
Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu.
Tepat di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki
gundul itu terpelanting dari atas tubuh
Mari. Mari langsung bangkit dan lari ke
pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya yang
gemetar ketakutan.
"Bangsat!
Siapa kau berani mencampuri urusanku!"
Lelaki
itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya.
Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit. Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo
Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa
dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak
mati. Zul balik menggertak,
"Justru
seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"
"Apa?
Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku
adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin
membawa dia kembali ke rumahku!"
"Dasar
bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku
tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"
"Tutup
mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut
campur urusan rumah tangga orang lain ya!
Atau...."
"Atau
apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari
ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"
"Kurang
ajar!"
Lelaki
botak itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada
Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok.
Tapi Zul yang sudah pernah belajar karate
saat kuliah dan pernah berkelahi dengan
preman dengan tenang mengelit sambil
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
"Setan
alas!"
Ia
langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke
kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.
Langsung
berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari
peluang untuk menyarangkan serangan yang telak. Warkum terus memburunya dengan ganas.
Melihat
darah mengalir di pelipis Zul, semangat Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya.
Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki
Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit
Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai.
Lalu ia melakukan tendangan memutar
sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Warkum.
Tendangan itu sangat cepat dan keras.
Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah
Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya.
Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan
itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk
melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki.
Tendangan Zul sangat akurat.
Akibatnya...
"Plakk!"
"Plakk!"
Tendangan
Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Warkum dengan sekeras kerasnya.
Warkum langsung terjengkang dan mengerang kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.
Seketika
itu Warkum mengaum minta ampun.
"Sudah
aku mengaku kalah! Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak
Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul
melihat ke arah Mari.
"Mbak
mau memaafkan dia?" tanya Zul.
Mari
menggelengkan kepala.
Zul
melangkah ke kamar Mari yang terduduk gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di
bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti
masih ada di sana. Dan benar palu itu masih
ada di sana. Zul langsung memungutnya.
Sementara Mari masih mematung di pojok ruang
tamu. Warkum berusaha bangkit. Pada saat ia
mau bangkit Zul telah kembali ke ruang itu
dan langsung menendang kepala Warkum yang
gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung mengaduh,
"Ampun
tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! Ampuni aku!"
Kini
tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.
"Bagaimana
Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?"
Mari
menggelengkan kepala.
Begitu
melihat Mari menggelengkan kepala, Zul langsung memukulkan palu yang ada di tangan
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya.
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya.
Zul
memukulnya dengan cepat tiga kali berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.
"Bagaimana
Mbak Mari mau memberi ampun?" tanya Zul.
Mari
diam saja. Warkum memandang Zul yang saat itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret tubuhnya ke belakang.
"Berhenti
di tempat! Atau aku pukul gundulmu sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak
buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu
bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala
seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul
membentak. Warkum seketika diam tak berani
bergerak. Ia sudah benar-benar tidak
berdaya.
"Bagaimana
Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.
Mari
kembali menggelengkan kepala. Zul langsung mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun.
"Letakkan
tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul.
Warkum malah menggenggam tangan kanannya dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya.
"Dengar,
sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai
atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau
akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan
muka merah padam. Warkum yang tak punya
nyali itu dengan tubuh gemetar meletakkan
tangan kanannya di lantai.
"Hmm
itu ya tangan yang selama ini digunakan untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik nih rasakan!"
Zul
memukulkan palunya ke jari-jari Warkum dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit
luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.
"Ini
pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!"
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!"
Mendengar
kata-kata itu Warkum kembali memohon ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika
nekat matanya seolah buta.
"Mari,
to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari.
A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan
mengganggumu lagi dan tidak akan menampakkan
wajah di hadapanmu lagi!" Kata Warkum
mengiba dengan suara terbata-bata.
"Bagaimana
Mbak Mari? Ini pertanyaan saya terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari
bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.
"Saat
ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia
nanti urusannya panjang!"
"Aku
tahu dunia preman. Urusannya tidak akan panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah
seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis
di mana-mana. Dia tak pantas hidup!"
"Biarkan
dia pergi Zul!"
"Baik
Mbak."
Warkum
langsung berkata,
"Te...
terima kasih Mari!"
"Hei,
cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari.
Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu
pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat
pergi!" Bentak Zul dengan mata dipelototkan.
Dengan
susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.
"Hei,
usap lukamu dengan ini!"
Warkum
berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan
kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang
tertatihtatih ia berjalan keluar rumah. Di
luar hujan tinggal menyisakan gerimis. Zul
mengikuti sampai di pintu. Ia mengamati
Warkum dengan pandangan dingin. Susah payah
Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu menghidupkan
mesin mobilnya dan meninggalkan rumah itu.
Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari
langsung menghambur bersimpuh menangis di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan
rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana
sesaat seakan hilang kesadaran. Ia mematung
tak tahu harus berbuat apa menerima luapan
keharuan Mari yang ditumpahkan sepenuhnya
kepadanya. Beberapa saat kemudian
kesadarannya pulih kembali.
"Mbak
Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari
menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya
sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya
yang seharusnya tertutupi tapi tidak
tertutupi. Baju yang seharusnya menutupi
aurat itu sobek. Dan penutup aurat di bawah
baju telah putus dan tidak lagi menempel di badannya.
Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena ketegangan dan ketakutan luar biasa.
Begitu
sadar muka dan perasaannya berubah seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa.
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa.
Zul
menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya
ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi
dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang
wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi
teringat keinginannya yang sangat kuat untuk
pergi ke rumah ini. Keinginan yang tidak
bisa ditepisnya sama sekali. Rupanya ia
harus datang untuk membela orang yang pernah
berbuat baik padanya.
Zul
menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan
kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya
ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung
dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa
puas karena bisa memberi ganjaran setimpal
pada penjahat berkepala gundul itu.
Mari
masih berada di dalam kamarnya.
Zul
kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada
yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia
raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya
yang luka. Namun ia yakin luka itu tidak
parah. Paling hanya sobek beberapa senti
saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang
dalam beberapa hari akan sembuh.
Mari
keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih
cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan
panjang dengan bawahan celana kulot merah marun.
Jika diperhatikan dengan sedikit serius
penampilannya tampak anggun. Ia menggelung
rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak
lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah
membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus
bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak
benar-benar berhasil.
Zul
masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan
memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
"Zul,
kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya
Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.
Zul
mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,
"Ah
tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."
"Tapi
darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari
kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan
obat merah.
"Sini
Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata
Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
"Tidak
usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar
kecil." Sergah Zul.
Mau
tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan
dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta.
Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh
dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti.
Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia
mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia
keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh
dari Mari.
"Harus
bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan.
"Tak
perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran."
Tiba-tiba Mari terisak-isak,
"Kau
telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat
ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"
"Berterima
kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
Mari
sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam
tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa
syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat
lamanya hanya isak tangis Mari yang
terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya.
"Terima
kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku
merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang
budi padamu."
Mari
kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan
itu. la hanya bisa menjawab pelan,
"Ingatlah
Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah."
"Iya
Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah
masih menyayangiku."
"Iya
Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak."
"Allahlah
yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya."
"Iya
Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."
"Aku
tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama
sekali tidak menyangka." Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya.
"Bagaimana
ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak. Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
"Begini
lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau
berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah
berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam
sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk
berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku
mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau
payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di
Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat
aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada
mobil yang nganggur. Semuanya sedang
dipakai. Tapi pihak kantor
juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera menjemputku.
juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera menjemputku.
“Karena
hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi
ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan
boleh libur.
“Akhirnya
aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul
sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil
menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak
curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang
kantor yang datang menjemputku.
"Tanpa
curiga, aku langsung membuka pinta lebar-lebar.
Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang
adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali,
tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk
bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia
memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya.
Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati
daripada menyerahkan kehormatanku padanya.
Ia kalap. Amarahnya memuncak.
“Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan.
la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat
tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku
sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada
diperkosa.
"Aku
terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya.
Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku
nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan
dia nyaris mendapatkan apa yang
diinginkannya. Tiba-tiba kau datang.
"Kau
datang dan membuat bajingan itu terpelanting.
Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan
yang menyambar penjahat itu dengan cemeti
mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan
karena rintihan doaku di saat paling kritis.
Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata
bukan, yang datang bukan malaikat tapi
manusia. Mahakuasa Allah."
Mari
kembali terisak-isak. Zul
diam mematung di tempatnya.
"Dik
bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi
ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu?
Dengan apa kau membukanya?"
Zul
menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan
kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang
keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan
yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak
bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang
kunci Linda yang masih di tangannya. Mari
mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan
dengan mata berkaca-kaca. Lalu merasakan
kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya.
"Siapakah
yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan
siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?"
siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?"
Airmata
Mari kembali meleleh.
Zul
diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti
kesunyian.
"Tetapi
Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus
membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai.
membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai.
"Sudahlah
Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selain melakukan kewajibanku sebagai seorang manusia
yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan
mengatakan hal seperti itu lagi."
"Kau
harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa
aku sangat berhutang padamu."
"Sesuatu
itu apa Mbak?"
"Si
W tadi itu, ia datang mengatakan ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin
padaku."
padaku."
"Aku
tidak paham maksudnya Mbak."
"Maaf,
biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak
menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan
lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian,
artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi
ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam
kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum
menjamah kesucianku.
"Seperti
yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi
ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa
hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi
over dosis di sebuah hotel. Ia masuk
penjara. Dan aku kemudian tahu semua
kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.
kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.
Tak
bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami
seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar
telah melampaui batas. Jadi meskipun aku
telah menikah sejatinya kesucianku belum
pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari
ini mahkota kesucianku belum tersentuh
oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu.
oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu.
"Kau
harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian
aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku
menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap
saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W
itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan
mahkota kesucian yang lebih berharga dari
nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau
saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku.
Aku benar-benar berhutang padamu."
Mendengar
cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang
sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam
hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena
ia bisa menyelamatkan kesucian seorang
wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya
itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang
dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya
saat ia masih remaja dulu. Ia kembali
teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan
yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat
itu tidak terjadi, karena terhalang oleh
keadaan yang tidak
memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
"Mintalah
apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari
dengan suara jelas tanpa isak tangis.
‘'Aku
tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus
mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha
menjadi wanita salehah selamanya, itu akan
membuat apa yang aku lakukan hari ini
bermakna dan tidak sia-sia."
"Baik
Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai
lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa
Zul?"
"M...tidak
usah repot-repot Mbak."
‘'Ah
tidak repot kok Zul."
Zul
melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu
lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke
kampus. Ada janji dengan seorang teman. la
bangkit dan memanggil Mari yang sudah
melangkah ke dapur.
"Mbak
Mari!"
"Ya."
Mari menghentikan langkah dan menoleh.
"Tak
usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."
"Tidak
bisa ditunda barang satu dua menit Zul."
"Maaf
Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda."
"Ya
sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu."
Mari
masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang
milik Zul dari kamarnya.
"Ini
kan Zul? Ada yang lain?"
"Tidak
Mbak, itu saja."
Zul
mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu
berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan
mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.
"Aku
tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."
"Ah
Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan
saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa
apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya
Mbak. Jaga diri baik-baik."
Zul
melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari
memanggil namanya.
memanggil namanya.
"Zul!"
Zul
menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mari memandanginya lekat-lekat.
Zul memandang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu.
"Ya
ada apa Mbak?"
Mari
ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. lalu pura-pura bertanya,
"M..m...kau
ada nomor hp Zul?"
"Pakai
nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"
"Ya
baik. Masih tersimpan."
"Ada
yang lain Mbak?"
"Zul,
aku takut."
"Takut
apa? Takut kalau dia datang lagi?"
"Iya."
"Percayalah
padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini
juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan
kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun
berniat datang mungkin satu bulan lagi,
setelah ia sembuh dari lukanya."
"Tapi
aku kuatir dia punya teman."
"Dan
dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci
rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi.
Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman
yang aman. Maaf Mbak ya saya
buru-buru."
"Iya
Zul, terima kasih ya."
"Ya.
Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mari
berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit
yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun
sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan
matahari seolah ingin menyibak awan. Mari
berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia
lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat.
Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan
Zul
mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu
semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur.
Malam itu setelah kejadian di rumah Mari,
Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali
merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan
saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari,
ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun
itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa
yang ia kenal di jalan. Tapi setelah
kejadian siang itu.
Setelah
apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa
sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam
hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa.
Bahwa
Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah
banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita
Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga
kehormatannya.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang juga
berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja.
Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya.
Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya,
dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek. tentulah itu perjuangan yang luar
biasa. Ia sangat yakin,
bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia
bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan
Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya
mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari.
Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia
sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan
yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati
pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya
itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya.
Tapi
bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi
tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya.
Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak
selesai. Ia jadi sibuk memikirkan hidup
keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia
bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa,
tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar
sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga
ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman-temannya saja,
masih terasa berat membayarnya. Hutangnya pada
Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga
belum lunas.
Ia
sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa
meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri
bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami.
Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa
gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari
tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai
sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari
hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya
pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari
karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah
itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja.
Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang
terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang
benar.
benar.
Ia
juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang
ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia.
Buat apa hidup lama-lama di negeri orang.
Tapi akal logikanya seolah mencercanya
habis-habisan:
"Buat
apa susah payah
datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau
kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan
seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia.
Tidak harus berdarah-darah melewati
pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam
dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di
desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan
belum meraih kegemilangan yang dicitakan,
maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu.
Mereka akan mengingatmu dengan sinis;
‘'Kakek
kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia.
Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau
kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak
mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib
lebih baik! "
Zul
termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan
aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima
kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati
yang dalam. Itu semua sangat membekas di
dalam hatinya. Jarum jam dinding di ruang
tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan.
Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin
meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon
Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta
yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal
bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada
apa Zul?"
"Handphone-mu
mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh
Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya.
Mungkin jatuh atau dicopet orang di Purduraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya
udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok
pagi."
"Iya
dah."
Zul
kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondar-mandir
di ruang tamu. Sesekali membuka koran using yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca
Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang
sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya.
Itulah yang dilakukannya malam itu sampai
Subuh tiba.
*
* *
Setelah
shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal
dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi
ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia
ingin nelpon ke mana saja ia selalu
menggunakan wartel. Ia sudah
merencanakan untuk membeli handphone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
merencanakan untuk membeli handphone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya
kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak
ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau
kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku
orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah
tidak ada masalah padaku."
Yahya
langsung terus terang. Akhirnya
Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan
rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan.
"Siapa
perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya
Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW
maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas.
Pertanyaan
itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang
ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
mengiyakan.
"Iya
Mas."
"O,
Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu.
Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di
sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih
TKW?"
Pertanyaan
Yahya itu kembali menggores hatinya. Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia
tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami
dengan Mari pada sahabatnya yang paling
dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk
membuka kejadian kemarin siang di rumah
Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan
jawaban yang klasik,
jawaban yang klasik,
"Tidak
tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara
otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang
TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya
tersenyum,
"Kau
memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau
mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok
dan baik ya sah-sah saja. Memang benar
manusia tidak bisa dinilai dari label atau
julukan yang disandangnya. Yang menentukan
manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman
dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu
tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut
dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah
daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas
terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah
belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya
Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu
sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan
Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi
tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh
cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun
tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan
yang diridhai Allah. Apa kau sudah
benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul
diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa
menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan
kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak
mantap. Hal-hal yang berkelebat dalam hati
dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi
kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya,
mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau
bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh
cinta?"
Zul
mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi.
Yahya
malah tersenyum.
"Kau
sedang terkena sihir Zul."
"Terkena
sihir apa Mas?"
"Kau
sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya
wajar, wajar bagaimana?"
"Setan
telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa
lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat
imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu
perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur
imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista
dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan
itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu
yang ada dalam diri lelaki itu. Maka
terjadilah apa yang seharusnya tidak
terjadi."
"Jadi
apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul.
Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat
hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan
itu, iya kan?"
Zul
malu mengakuinya.
"Ingat
Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil
balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya.
Jika ia perempuan yang cantik, yang
kecantikannya itu menarik lawan jenisnya
maka mukanya juga jadi aurat yang harus
ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya
ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang
bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu
itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti
itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago
yang langsung mengejar ayam betina setelah
melihat keelokan ayam betina."
"Tapi
bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya
benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof
menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun.
Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang,
hanya saja ia bisa bicara. Bisa
berkata-kata. Itulah definisi manusia yang
hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi
panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu
itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk
juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran menjuluki
manusia yang seperti itu dengan kalimat: 'Mereka
seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.' Orang-orang
yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang
lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau
kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan
rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah
dicocok hidungnya oleh setan untuk
dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus
bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai
dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan
bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau
mencintai wanita bukan karena tertipu oleh
kecantikan paras wajahnya dan keelokan
benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh
matanya yang berkilat-kilat indah seperti
bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya
yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan.
Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut
terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu
semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan
memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau
mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi
sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan
dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya
aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak
pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan
aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena
rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah
hancur berbaur tanah
di kubur."
di kubur."
"Bagaimana
ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu
aku mengingatnya."
"Apa
Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan
ingin aku binasa Mas?"
"Singkat
saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu
ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh
orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga
mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat
Pak
Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan.
Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia
membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis.
Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan.
Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia
membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis.
Sebab
dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman.
Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena
masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus
terang padaku, bahwa selama ini cuma
main-main. Sebenarnya dia sudah punya
tunangan di Surabaya. Hatiku seperti dibetot
dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah
sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang-
orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku
seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya
Zul."
"Terus
sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya
orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di
Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar
menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku
tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh
setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di
pesantren itulah karena disibukkan dengan
ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya
lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan
sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu
aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar
cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa
mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di
dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya
dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang
menerangi gulitanya akal pikirannya karena
diselimuti bayangan Mari.
***
Nun
jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal
yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih
parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari
tidak punya pendamping dan tempat untuk
mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu
rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak
bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari
telah berulang kali menelpon nomor yang pemah
diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari
menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari
hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana
dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada
Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul.
Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul
menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi
bagi Zul selama hidupnya. Ia merasa hanya
Zul-lah yang paling berhak mendapatkan
pengabdiannya.
Mari
selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi
ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul,
selama itu tidak dosa dan aku mampu
memenuhinya."
Zul
saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak.
Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian
Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah
serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya,
itu akan membuat apa yang aku lakukan hari
ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata
Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan
diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah
yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup
rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis.
Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih
memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia
terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu
agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya.
Berminggu-minggu
setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi
tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul,
tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan
sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat
mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan
Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
Dua
bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa
menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar.
menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar.
Seringkali
Yahya menemukan Zul hanya tidur di kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal
kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya
dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti
tidak mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali
menyarankan pada Zul jika memang harus
mendapatkan Mari, kenapa tidak secara jantan
menemui dan mengajaknya menikah. Obat paling
mujarab untuk orang yang sakit karena cinta adalah
menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri. Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti
orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu.
orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu.
Pak
Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana
rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa
rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja
tidak seserius dulu. Seolah bekerja
seingatnya saja. Jika ingat bekerja, jika
tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga kuatir
Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika
sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan
kondusif untuk belajar.
sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan
kondusif untuk belajar.
Pak
Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes
merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah
itu. Dan tidak ada najis yang paling merusak
kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali
kemalasan. Ia tidak mau Zul jadi najis itu.
Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap memilih
jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah. Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan
Zul yang masih mendengkur di kamarnya.
Berbeda
sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul
saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum
Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul
saat itu adalah Zul yang harus berkali-kali
diingatkan dan dibangunkan baru shalat Subuh
dengan wajah malas tanpa cahaya.
Begitu
Zul selesai shalat Pak Muslim langsung memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta
yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal.
"Duduk
sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul
duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah
Zul duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu
kamarnya.
"Zul,
sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya
masalahmu Zul?"
"M...tidak
ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja."
"Zul
kau masih ingin kuliah?"
"Ya
tentu Pak."
"Kau
sadar dengan yang kauucapkan?"
"Tentu
saja sadar Pak."
"Bagus.
Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus
bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga
bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau
berada di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan
kau harus membayarnya. Flat ini kita
menyewa. Air yang kau gunakan untuk
membersihkan dirimu saat buang air juga
harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah.
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah.
"Aku
ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang
gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu.
Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau.
Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau
lebih berhak menentukan jalan hidupmu.
‘'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh
rasa cintamu pada wanita yang kau cintai itu.
Ketahuilah Zul, tak ada dokter yang bisa
menyembuhkanmu kecuali kamu sendiri. Sebagai
orang tua, aku hanya bisa memberikan
beberapa saran untuk kebaikanmu dan kebaikan
kita bersama.
"Saranku
yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar,
tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang
ini jika tiba saatnya akan datang juga.
Jodohmu sudah ditulis oleh Allah. Kalau
jodohmu memang wanita bernama Siti Martini
itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan kamu
dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk
membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan
mendapatkannya.
"Sementara
ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih.
Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malas-malasan.
Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan
perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam
catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan
melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang
kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di
bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang
ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup,
berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.
berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.
"Zul,
godaan wanita adalah godaan utama orang mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu
fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan
melumpuhkan umatnya. Bahkan saat Nabi
berdakwah di Makkah, di antara hal yang
ditawarkan orang-orang kafir Quraisy untuk
membujuk Nabi agar menghentikan dakwahnya
adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya.
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya.
Zul,
siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh
cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan
perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan
yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus
berlarut, maka kewajiban-kewajibannya,
tugas-tugas utamanya akan segera terlupakan.
Dan saat itu hanya tinggal menunggu
datangnya kebinasaan.
"Sudah
tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan mahasiswa yang gagal karena skandal cinta. Tidak terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau menambah panjang daftar itu dengan memasukkan namamu.
"Penuntut
ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya, maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran
dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah
dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada
pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul,
Jika aku sedang sibuk dengan gadisku Yang parasnya laksana cahaya pagi Maka aku enggan memikirkan yang lain
"Maka,
aku ulangi lagi saranku yang pertama, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat
ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut
ilmu. Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan
semoga bertemu. Dan bertemu dalam keadaan
yang paling baik dan paling barakah. Jika
dia tidak jodohmu, semoga kau dianugerai
jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari wanita
itu."
Zul
diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah,
juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan
seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius
seperti ini. Jika Pak Muslim bicara seperti
ini artinya masalah yang terjadi memang
sudah parah.
Pak
Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan,
"Saranku
yang kedua Zul, jika kau tidak bisa mengikuti
saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk
mendatangi wanita itu secara jantan. Dan
nikahi dia. Luapkan seluruh cintamu padanya.
Dan hiduplah dalam keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh lebih
baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam sampai sayu seperti mayat hidup.
Jika
kau memilih saran yang kedua ini, aku akan membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang kau ambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah
lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah
bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja
dan berusaha. Sebab kau tidak hanya
menanggung beban hidup dirimu sendiri, tapi
juga menanggung orang lain.
Jika
saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti,
maka aku punya saran ketiga, yaitu ya terserah
kamu. Hiduplah sesukamu. Terus seperti
sekarang juga boleh. Tapi dengan memohon pengertiannya
aku minta kau meninggalkan rumah ini. Bukan
kami tidak sayang dan tidak menghargai kamu.
Sama sekali tidak. Kami menghargai kamu, dan
cara hidupmu. Tapi perlu kamu ketahui juga,
cara hidupmu yang hanya malas-malasan, banyak
melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang mulai tidak memikirkan membayar flat adalah carahidup
orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan
indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga
ini, kami akan membantumu mengangkatkan
barangbarangmu, juga akan membantumu
menemukan tempat yang kauanggap cocok bagi
cara hidupmu. Kau masih boleh bermain ke
sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini.
Itulah
Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami
tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu
pilih. Tapi jika boleh berharap saya pribadi
berharap kaupilih yang pertama. Maafkan aku
jika harus berlaku tegas padamu. Untuk
sebuah kebaikan ketegasan tidak ada salahnya
dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan
setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan."
setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan."
Setelah
menyampaikan tiga saran itu, bisa juga disebut tiga opsi untuk Zul, Pak Muslim diam menunggu
reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat
lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak
Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama
ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya
hutang beberapa ratus ringgit kepadanya
untuk membeli sepeda motor butut, dan Pak
Muslim tidak pernah menyinggungnyinggung hal
itu sama sekali.
"Begini
Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak
Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap
Zul penuh perhatian.
Zul
merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung
perkataannya,
"Saya
minta maaf dan saya menyesal sekali jika kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak
nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak
stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran
Pak Muslim dan teman-teman selama ini. Saya
juga berterima kasih atas saran-saran Pak
Muslim. Saya telah menimbang ketiga saran
itu. Terus terang saran yang pertama saya
rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan
yang mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga,
saya juga berat menerimanya, sebab saya
masih tetap ingin menjadi orang baik dan
sukses Pak. Saya bersyukur bertemu dengan
orang seperti Bapak dan teman-teman yang
masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika
saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar