Mas
Yusuf mengangguk pelan sambil mengganti pakaiannya.
”Kenapa
kamu tidak memberi tahu aku kalau dirumah Bule Rinta ada selametan? Kalau aku tahu kan aku bisa
datang. Kenapa kamu tidak memberi tahu aku Mas? Kenapa
kamu pergi sendiri?”
”Ya...ya,
karena acara kemarin baru hanya selametan. Nanti kalau acara khitanannya akan dilaksanakan baru aku
kasih tahu” Jawab Mas Yusuf seolah tak bersalah.
”Kamu
terlalu Mas” Ucapku sambil menahan tangisku di
tenggorokan.
”Kamu anggap apa aku? Apa kata keluarga kamu ketika mereka melihat kamu datang sendiri? Apa kamu juga ingin membuat mereka jadi membenci aku? Ingat Mas, mereka tahunya kita saling mencintai. Dan kamu juga harus ingat, aku ini istri kamu. Wanita yang sudah sah kamu nikahi setahun yang lalu. Aku harap kamu tidak melupakan hal itu.
Tolonglah
Mas. Untuk urusan keluargamu janganlah tertutup padaku. Setahun Mas, sudah setahun kita menikah.
Tapi sejujurnya, aku tidak pernah merasakan
bahagianya menjadi seorang istri. Katakan
padaku Mas, apakah ini kesalahanku jika kau
tidak mencintaiku? Apakah ini
kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?” Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
kesalahanku jika kau menikahiku? Dimana letak kesalahanku sehingga kau tega menghukumku seberat ini? Dimana Mas?” Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku tak kuat lagi menahan air mata ini. Aku menunduk sementara Mas Yusuf hanya diam di tempatnya berdiri kini.
”Mungkin
sudah saatnya aku mengatakan hal ini” Ucapku
dengan penuh ketegasan. Ku seka air mataku. Mas
Yusuf terlihat penasaran.
”Di
dalam biduk rumah tangga kita memang tidak pernah
ada cinta yang menghiasi. Tapi aku berharap tidak
pernah ada pula kata perceraian di antara
kita. Karena Allah sangat membenci hal itu.
Tapi kalau hal ini dibiarkan, aku tahu hatimu
akan sakit selamanya. Jadi aku mempunyai saran untukmu agar kau bisa hidup bahagia tanpa harus menceraikan aku karena aku tidak ingin kau menceraikanku.....”
”Apa
maksudmu?” Tanya Mas Yusuf penasaran.
Aku
terdiam sejenak sambil menghela nafasku. Kutatap
kedua matanya.
”Nikahi
Alifa......”
”Apa?!
Apa maksud perkataanmu?” Tanya Mas Yusuf menghampiriku.
”Nikahi
Alifa karena kini dia sudah menjadi seorang
janda...” Ucapku menegaskan.
”Janda?!
Alifa sudah menjadi janda?”
”Ya.
Sudah tiga bulan Alifa menjadi seorang janda.
Seminggu setelah pernikahannya suaminya meninggal
akibat kecelakaan kereta api. Sekarang
kondisi Alifa menurun dan kini dia dirawat
dirumah sakit”
”Menurun?”
”Ya.
Kondisi itu disebabkan karena dia tidak bisa
menahan stres dan tekanan batin atas kepergian
suaminya. Dan satu-satunya jalan agar dapat
menolong Alifa dari koma, adalah mencarikan
seorang suami untuknya yang dapat menggantikan
kasih sayang suaminya yang seharusnya ia dapatkan
sejak pertama ia menikah”
”A,
aku tidak mengerti apa yang kamu katakan...”
”Alifa
butuh kamu untuk dapat mengembalikan semangat
hidupnya. Dan bayi yang ada dalam kandungannya
butuh seorang ayah. Waktunya tidak banyak
lagi. Kalau terlambat, maka dokter pun tidak
bisa menjamin kalau Alifa bisa selamat dan
bayi dalam kandungannya juga akan bertahan lama”
Mas
Yusuf terlihat cemas sekali. Mungkin dia tidak
mengira kalau Alifa akan bernasib seperti ini. Dia
tak bisa berkata apa-apa.
”Aku
mohon Mas. Terimalah tawaranku ini. Jika kau
melakukan hal ini, maka akan banyak jiwa yang kamu
tolong. Kau menolong Alifa dari status jandanya,
kau menolong bayi yang ada dalam
kandungannya dari status yatim, kau menolong
hatimu dari kekosongan cinta akan seorang istri,
dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
dan kau pun menolongku untuk membahagiakan suamiku, kamu. Aku mohon” Ucapku dengan penuh harap padanya.
Mas
Yusuf melangkahkan kakinya keluar kamar. Entah
apa yang dipikirkannya saat ini. Dia duduk di ruang
tamu sambil termenung. Raut wajahnya tampak
cemas dan bingung. Tiba-tiba dia bangkit
dari duduknya.
”Tapi
tidak semudah itu untuk berpoligami. Lagi pula
tidak pernah terpikir sedikit pun dalam benakku
kalau aku ingin menikah lagi. Hanya kamu
istriku dan satu-satunya istriku...”
”Istri
yang tidak pernah diperlakukan seperti seorang
istri? Istri yang tidak pernah merasa bahwa dirinya
itu seorang istri?”
Mas
Yusuf terdiam menatapku. Kulangkahkan kakiku
menghampirinya.
”Aku
hanya ingin kamu bahagia. Kamu memang tidak
bisa menemukan kebahagiaan itu denganku, tapi kamu
masih punya kesempatan untuk bisa hidup
bahagia dengan Alifa. Selain itu kamu juga
bisa memberikan kebahagiaan pada Alifa dan
bayi yang dikandungnya. Kamu mengerti kan Mas?”
Aku
rasakan mataku basah. Setetes bening tiba-tiba saja
mengaliri pipiku.
”Aku
harap kamu bisa mempertimbangkan saranku. Ini
demi kebaikan kita semua. Aku yakin jika orang tua
kita mengetahui hal ini, mereka pasti akan
mengerti. Sepulang kerja nanti, aku tunggu
jawabanmu”
Setelah
itu aku masuk ke dalam kamar sambil mengunci
pintunya. Aku tak kuat menahan sesak ini. Di balik
pintu aku menangis. Aku begitu sedih. Semua
perasaan bercampur menjadi satu.
”Rabbi....kuatkan
aku.......”
*
* *
Waktu
berjalan begitu cepat rasanya. Aku masih ingat
betul seperti apa raut wajah Mas Yusuf ketika dia
mengetahui keadaan Alifa saat ini.
Dari
kantor aku langsung pergi kerumah sakit untuk
menjenguk Alifa. Kondisinya tidak begitu baik dari
waktu aku menjenguknya pertama kali. Tak
lama aku disana. Namun kali ini aku bertemu
dengan mertua Alifa dan beberapa anggota
keluarganya. Satu informasi lagi, sampai
sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi
Alifa.
sekarang belum ada seorang laki-laki pun yang mau menikahi Alifa. Aku hanya bisa mengelus dada dan berucap dalam hati, kalau saja mereka tahu siapa yang nantinya hendak menikahi
Alifa.
Setelah
dari rumah sakit aku langsung pulang kerumah.
Jujur, aku sudah tidak sabar mendengar jawaban Mas
Yusuf. Tapi sampai maghrib menjelang, Mas
Yusuf belum juga pulang. Aku coba
menghubunginya lewat hand phone tapi tidak
aktif. Mungkin dia pergi lagi kerumah Bule Rinta, atau mungkin, dia pergi menjenguk Alifa di rumah sakit?
Entahlah,
aku sudah mulai cemas.
Tiba-tiba
handphone-ku berdering. Kulihat satu nomor yang tidak kukenal. Kuangkat.
”Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumussalam.
Apa benar ini Ibu Dinda?” Suara seorang laki-laki tak kukenal menjawab salamku.
”Iya
benar, saya Dinda. Maaf ini siapa ya?”
”Saya
Pak Azril, petugas kepolisian”
”Petugas
kepolisian?”
”Iya.
Saya ingin memberitahukan bahwa suami ibu yang
bernama Yusuf saat ini ada di rumah sakit...”
”Di
rumah sakit? A, ada apa dengannya Pak?” Tanyaku
dengan panik.
”Tadi
siang suami ibu kecelakaan. Motor yang dikendarainya menabrak pembatas jalan dan akhirnya dia
terpental sejauh lima belas meter dari lokasi
kejadian. Kondisinya saat ini sangat kritis
dan dia belum sadarkan diri” Suara petugas
kepolisian itu bagaikan sebuah petir yang
menyambar tubuhku.
menyambar tubuhku.
Aku
bingung harus berbuat apa. Setelah polisi itu memberitahukan dimana Mas Yusuf dirawat
sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
sekarang, aku langsung bergegas pergi kesana. Tiba-tiba aku teringat. Mas Yusuf dirawat di rumah sakit yang sama dengan rumah sakit dimana Alifa dirawat. Apa mungkin Mas Yusuf berniat menjenguk Alifa disana dan akhirnya dia kecelakaan di tempat yang tak jauh dari rumah sakit?
Belum
sempat aku menemukan jawaban itu, aku langsung
pergi ke Pasar Rebo untuk mengetahui kondisi Mas
Yusuf sekarang. Di dalam taxi aku tak bisa
berhenti menangis. Mungkin supir taxi yang
membawaku ke rumah sakit melihatku dengan
heraan, kenapa dari tadi aku menangis?
Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Diapun tak berani menanyakan perihal itu padaku.
Setelah
aku membayar ongkos taxinya aku langsung berlari ke ruang UGD untuk mencari suamiku, Mas Yusuf.
Kupandangi semua pasien yang ada di ruang itu,
dan...ada. Dipojok ruangan aku melihat Mas Yusuf tengah terbaring tak berdaya bersama dua orang polisi yang kini menemaninya.
Segera saja aku menghampirinya.
”Permisi
Pak. Saya Dinda, istrinya Yusuf” Ucapku pada
dua orang polisi itu.
”Oh,
anda yang bernama Dinda. Silahkan, ini suamimu”
Sahut seorang polisi yang mengenakan jaket tebal
dan berkumis. Aku mengangguk pelan dan
segera mengalihkan pandanganku pada Mas
Yusuf.
Di
keningnya terdapat perban yang membalut lukanya. Ditangan kanannya pun terdapat
sebuah jarum yang ditusukkan untuk mengaliri cairan infus kedalam tubuhnya. Wajahnya
penuh luka memar. Mungkin saat kecelakaan, wajahnya
terhantam benda keras.
”Bagaimana
keadannya Pak?” Tanyaku pada salah satu polisi itu.
”Coba
Mbak tanyakan saja keadaan suami Mbak pada dokter atau suster yang ada disana” Jawab polisi itu
sambil menunjuk kearah seorang dokter dan
dua orang perawatnya.
Aku
mengangguk dan menghampiri dokter itu. Setelah
dokter itu memberitahukan kondisi Mas Yusuf
sekarang, aku langsung disuruh mengurus
administrasi agar Mas Yusuf bisa segera
dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku
menurut saja.
Karena
aku tidak membawa uang banyak di tas, aku mengambil tabunganku di ATM. Setelah urusan administrasi
selesai, Mas Yusuf segera dipindahkan ke ruang
rawat inap kelas satu. Aku hanya ingin Mas
Yusuf mendapat perawatan yang benar-benar
intensif agar dia bisa cepat sembuh.
Air
mataku tidak bisa berhenti sampai Mas Yusuf dipindahkan ke ruang rawat inap.
Aku teringat Alifa.
Sebelumnya
aku sempat bertanya pada polisi yang tadi menemani Mas Yusuf, dimana lokasi kecelakaan itu. Dan
polisi itu mengatakan bahwa lokasi kejadian itu tak
jauh dari Rumah Sakit Pasar Rebo. Maka dari
itu Mas Yusuf dibawa kesini.
Aku
sempat mengaitkan kejadian itu dengan keadaan
Alifa saat ini. Mungkin saja Mas Yusuf telat pulang
kerumah karena hendak menjenguk Alifa. Aku
pun menyempatkan diri menjenguk Alifa yang
berada satu lantai dibawah lantai Mas Yusuf
dirawat kini. Kondisinya masih belum menunjukkan perubahan. Sampai sekarang belum ada satu orang pun yang
mau menikahinya. Kalau saja orang tua Alifa tahu
siapa yang sebenarnya hendak menikahi
putrinya itu, mereka pasti akan terkejut.
Tapi sayang, kondisi Mas Yusuf pun tak jauh berbeda
dengan kondisi Alifa saat ini.
Aku
kembali lagi ke kamar Mas Yusuf. Aku duduk disampingnya sambil memandangi wajahnya yang pucat.
Tanpa terasa air mataku jatuh menetes. Disela-sela
waktu itu aku teringat, aku belum shalat
Isya. Kuputuskan untuk mencari masjid
terdekat.
Setelah
shalat Isya, aku berdiam diri sejenak di masjid.
Merenungi segala kejadian yang baru saja aku alami.
Tibatiba aku teringat, aku belum memberi
kabar pada orang tua dan mertuaku.
Kupencet
nomor telepon orang tuaku dan kuberitahukan
keadaan Mas Yusuf saat ini. Mereka benar-benar
tidak menyangka akan hal ini dan mereka
berniat menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Tapi aku bilang bahwa mereka tidak usah
menjenguk Mas Yusuf sekarang karena hari juga sudah larut. Mereka memahami.
Setelah
menghubungi orang tuaku, aku langsung menghubungi mertuaku. Mereka tidak bisa menahan tangis
haru saat aku beri tahu bahwa Mas Yusuf kecelakaan.
Sama seperti orang tuaku, mereka ingin
menjenguk Mas Yusuf sekarang tapi aku juga
melarang mereka dengan alasan hari
sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
sudah semakin malam. Tapi ibu mertuaku bersi keras dan ingin tetap menjenguk Mas Yusuf malam ini juga.
Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun hanya bisa
menangis saat ibu mertuaku menyuruhku untuk tabah.
Malam ini adalah malam yang sangat
menyedihkan untukku. Kuputuskan untuk
kembali ke kamar dan menemani Mas Yusuf
disana. Aku ingin memberikan seluruh kasih sayangku padanya sampai dia tahu kalau aku benar-benar mencintainya.
*
* *
Hari-hari
aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan. Sudah dua hari Mas Yusuf dirawat dan sampai sekarang dia
belum sadarkan diri. Dokter bilang ini disebabkan
oleh reaksi obat yang masuk kedalam
tubuhnya. Mungkin beberapa jam lagi dia akan
sadar kembali. Tapi aku tidak bisa menahan rasa cemasku padanya.
Di
setiap shalatku, selalu aku menyebut namanya di akhir
do’aku agar Allah berkenan menyembuhkannya. Aku tak
kuasa menahan air mataku kala aku menatap wajahnya.
Sudah
dua hari ini aku menemani Mas Yusuf. Aku sudah
meminta izin cuti pada pihak kantor. Alhamdulullah
mereka mengizinkan. Semalam dari pihak
penerbit yang hendak menerbitkan novelku
juga kembali menghubungi karena aku lupa
memberikan prakata ucapan terima kasih pada mereka. Aku sampaikan alasanku kenapa aku sampai lupa. Alhamdulullah juga mereka mengerti dan berencana mengundurkan proses penerbitan novelku.
Selama
aku menemani Mas Yusuf, aku selalu menyempatkan diri menjenguk Alifa juga dikamarnya. Masih
tak ada perubahan. Terakhir aku menemuinya, aku
diberi tahu oleh pihak keluarganya bahwa ada
seorang laki-laki yang datang menjenguk
Alifa membawa serta kedua orang tuanya.
Laki-laki
yang datang itu hendak meminang Alifa sebagai
istrinya. Dia bersedia membantu Alifa
mempertahankan hidupnya. Tapi ketika kutanya
siapa laki-laki itu, pihak keluarga Alifa
tidak bisa memberi tahu siapa dia. Semua itu mereka lakukan atas permintaan laki-laki itu. Aku pun
tidak bisa berbuat apa-apa.
Aku
kembali ke kamar. Tak terasa matahari sudah
menyembunyikan dirinya di peraduannya. Tadi siang
ayah dan ibu mertuaku datang menjenguk Mas
Yusuf. Selepas Ashar, mereka pulang. Dan
tinggal aku sendiri di dalam kamar menemani
Mas Yusuf yang belum juga sadar sampai
detik ini.
detik ini.
Selama
dia tak sadarkan diri, aku yang membasuh tubuhnya dengan handuk kecil basah. Aku tak kuasa melihat
tubuhnya yang penuh luka akibat kecelakaan itu.
Dokter bilang memang tidak ada yang serius
tapi aku sebagai istrinya benar-benar
khawatir akan keadaannya saat ini.
Dari
luar, terdengar azan Maghrib berkumandang. Aku
langsung bergegas mengambil air wudhu dan langsung
menunaikan shalat Maghrib di samping tempat tidur
Mas Yusuf.
Selesai
shalat, aku bermunajat pada Tuhan semesta alam.
Ku adukan semua gundah gulanaku saat ini. Sambil
ditemani air mata yang terus mengalir dari
ujung mataku, aku berdo’a untuk kesembuhan
Mas Yusuf. Dan tak lupa juga kebaikan atas
pernikahanku. Aku mengharapkan yang terbaik dari keputusan yang nantinya akan Mas Yusuf berikan padaku.
Apakah dia bersedia menikahi Alifa atau tidak. Aku
juga masih memikirkan siapa laki-laki yang
datang dan hendak
meminang Alifa itu.
meminang Alifa itu.
Aku
sudah merelakan sepenuhnya hatiku pada Rabb
penggenggam hati seluruh makhluk di dunia ini,
Allah Swt. Aku benar-benar ikhlas kalau
nantinya Mas Yusuf sadar dan dia memutuskan
untuk berkenan menikahi Alifa. Semuanya aku
ucapkan dengan penuh pengharapan bahwa Allah
berkenan memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.
berkenan memberikan yang terbaik untukku, Mas Yusuf, dan Alifa.
Kusudahi
doa panjangku. Kulanjutkan dengan membaca Al Ma’tsurat dan tilawah Qur’an beberapa lembar. Selesai
itu, kulipat sajadah dan kuletakan di pinggir
kursi. Dengan masih mengenakan mukena,
kuhampiri Mas Yusuf dengan mata yang sedikit
memerah akibat menangis.
Kuseret
kursi yang ada dan kududukkan tubuhku disana.
Kubetulkan selimut yang menutupi tubuhnya. Sesaat
kutatap wajahnya yang begitu putih dan
bersih. Perlahan kuberanikan
diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.
diri menyentuh tangannya. Kugenggam dengan erat seperti tak ingin melepasnya.
Inilah
untuk yang pertama kalinya aku menggenggam tangan suamiku setelah setahun pernikahan. Kuciumi
tangannya sambil berucap kata-kata mesara untuknya.
Sekali lagi aku tak kuasa menahan tangisku.
Tangis yang begitu menyedihkan untukku.
Sedih karena Mas Yusuf belum juga sadar dan
sedih karena sampai saat ini, Mas Yusuf belum juga bisa menerimaku sebagai istrinya.
*
* *
”Saya
terima nikahnya dan kawinnya, Alifa binti Sukirman dengan mas kawin tersebut. Tunai” Ucap Mas
Yusuf dengan lantang.
Semua
yang hadir memberikan tepuk tangan yang meriah. Diantara semua tamu yang hadir, mungkin hanya aku
saja yang merasakan kepedihan dalam dada. Aku
menatap Mas Yusuf dan Alifa dengan perasaan
hancur.
Setelah
akad nikah, Alifa membawa Mas Yusuf pergi meninggalkan aku sendiri. Aku duduk terdiam tanpa menghalangi mereka pergi. Mataku menangkap wajah Mas
Yusuf tidak memancarkan kebahagiaan. Sedangkan
Alifa, dia amat bahagia membawa Mas Ysuf
pergi dari hadapanku.
Aku
menangis atas ketidak berdayaanku mencegah Alifa
pergi membawa Mas Yusuf.
Tiba-tiba,
aku terbangun dari tidurku.
Astaghfirullah!
Ternyata semua hanya mimpi. Aku tertidur di tepi
tempat tidur. Kuingat kembali mimpiku
barusan. Mimpi tentang pernikahan Mas Yusuf
dengan Alifa. Aku masih belum
memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
memikirkan bagaimana jadinya kalau hal itu sampai terjadi. Tapi yang aku herankan, kenapa dalam mimpi itu, Mas Yusuf terlihat tidak bahagia?
Kembali
kupandangi wajah Mas Yusuf.
Kuseka
air mataku. Sekuat tenaga aku berusaha untuk
tegar. Kuletakkan tangannya di tempat tidur.
Kembali kutatap wajahnya. Sejurus kemudian,
aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dan....
Subhanallah. Aku menciumnya.
Aku
mencium bibirnya. Dan ini juga untuk yang pertama
kalinya aku menciumnya setelah setahun pernikahan.
Aku mencium bibirnya yang hangat. Ada
perasaan bahagia, senang, cemas, dan takut.
Seketika jantungku berdegup kencang. Ingin
rasanya sekali lagi aku menciumnya tapi aku takut.
Aku
takut kalau dia sampai tidak ridho dengan apa yang
barusan aku lakukan padanya, Allah pasti akan murka
terhadapku. Karena Ridho Allah adalah ridho suami.
Bila suami tidak ridho, maka Allah pun tidak
ridho pula. Tiba-tiba ada perasaan berdosa
yang seketika menyusup ke dalam hatiku.
Apakah aku berdosa bila menciumnya tanpa seizinnya?
Rabbi maafkan aku.
Perlahan
kumundurkan kakiku sambil menggeleng.
”Maafkan
aku Mas, maafkan aku” Ucapku pelan.
Aku
berbalik dan duduk di sofa yang tersedia disana.
Sambil termenung, aku membuka mukenaku dan menggantinya dengan jilbab coklat.
Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, aku melihat Mas Yusuf
menggerakkan jarinya. Oh Tuhan, apa dia sudah
sadar? Aku hampiri dirinya sambil
menggenggam tangannya.
”Mas
Yusuf? Mas sudah sadar?” Tanyaku dengan perasaan senang bercampur cemas.
Perlahan
kulihat kedua matanya terbuka sedikit demi sedikit. Dan... Alhamdulillah, dia bangun. Aku berucap
syukur pada Allah Swt karena telah menyadarkan Mas
Yusuf. Air mata begitu saja mengalir dari
mataku. Aku melihat Mas Yusuf menggerakan
bibirnya.
”D..Dinda.
A, aku ha..us” Ucap Mas Yusuf lirih sambil terbata-bata. Aku segera mengambilkan air putih yang ada
di samping tempat tidurnya dan membantunya
minum melalui sedotan.
Setelah
minum, dia menatapku dengan tatapan hampa. Tak ada senyuman atau pun ekspresi wajah yang lain. Aku
takut dia sadar ketika aku menciumnya tadi. Aku
sungguh takut. Tapi sejurus kemudian, aku
berpikir untuk memberi tahu dokter bahwa Mas
Yusuf sudah sadar.
Aku
melangkah keluar untuk memanggil dokter dan
meninggalkan Mas Yusuf di kamar. Namun baru
beberapa langkah aku keluar kamar, tiba-tiba
aku melihat semua benda yang ada dihadapanku
seolah berputar. Kurasakan mual yang teramat
sangat diperutku. Seketika kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Ketika
kupaksakan diriku untuk terus melangkah, tiba-tiba
kurasakan tubuhku melayang dan terjatuh di lantai.
Kulihat
semua gelap. Samar-samar kulihat ada beberapa
orang suster berlari mengahampiriku. Tapi aku sudah
tak kuat lagi bangun. Kurasakan tubuhku
diangkat. Makin lama aku tak tahu apa yang
terjadi kemudian.
*
* *
Perlahan
kubuka mataku yang tadinya sulit untuk kubuka.
Namun kupaksakan karena memang aku ingin bangun
dari tidurku. Awalnya gelap, lalu perlahan
cahaya itu mulai masuk dan menembus kornea
mataku. Aku merasakan kehangatan di
keningku. Sebuah kecupan hangat tengah mendarat
disana.
Yang
aku dapati, seorang laki-laki tengah mencium
keningku. Samar-samar aku melihatnya. Setelah aku
perhatikan dengan seksama, aku menyadari ternyata
laki-laki itu adalah suamiku. Ya, dia adalah
Mas Yusufku. Oh Tuhan, kekasihku tengah
mencium keningku. Apakah ini nyata? Aku
hanya terdiam merasakan kecupan bibir Mas Yusuf di keningku. Lalu kemudian dia menatap wajahku
lekat-lekat.
”kamu
sudah sadar?” Tanyanya lembut.
Aku
mengangguk pelan.
”Ya”
Suaraku terdenganr begitu lirih.
Dia
tersenyum. Kulanjutkan perkataanku.
”Kau
menciumku?”
Mas
Yusuf mengangguk sambil tersenyum.
”Karena
kau adalah istriku.” Jawabnya dengan nada yang
sangat menyenangkan hatiku. Tapi aku masih belum
mengerti apa maksudnya.
”Bukankah....”
”Sstt!”
Mas Yusuf segera menempelkan jari telunjuknya
ke bibirku.
Aku
melihat ada yang berbeda dari kedua matanya. Di dalamnya terpancar sebuah seuatu yang aku
tidak mengerti apa sesuatu itu. Mas Yusuf kembali
berucap,
”Sudah
dua hari kamu pingsan dan tidak sadarkan diri.
Kamu ingat?”
Aku
berusaha mengingatnya kemudian mengangguk.
”Iya
aku ingat. Waktu itu aku ingat kamu sadar dari
koma, dan aku langsung memanggil dokter untuk
segera memeriksamu. Namun kemudian,
tiba-tiba saja aku merasakan mual di
perutku. Kepalaku pusing dan tubuhku lemas.
Seketika aku merasakan tubuhku melayang dan terjatuh
di lantai. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Tapi yang pasti aku ingat, aku belum shalat
Isya” Jelasku.
”Ya,
kamu pingsan karena terlalu lelah menjagaku setiap
hari. Dokter dan perawatnya segera membawamu untuk
diperiksa” Ucap Mas Yusuf yang wajahnya hampir
mendekati wajahku.
”Maafkan
aku Mas...” Lirihku.
”Untuk
apa?”
”Kemarin
saat kamu tidak sadarkan diri, aku... aku sempat
menciummu. Aku harap kau tidak marah padaku. Dan
semoga kau ridho atas perbuatanku itu”
Mas
Yusuf terdiam menatap wajahku. Aku semakin takut.
Namun tiba-tiba dia tersenyum dan berkata dengan
manis padaku.
”Kenapa
aku harus marah padamu?”
”Ja,
jadi kamu nggak marah sama aku?” Tanyaku yang
kemudian disusul dengan gelengan kepala dan
senyuman Mas Yusuf. Aku tersenyum senang.
Hatiku lega setelah mendapat pengakuan
darinya.
”Aku
adalah suamimu dan kau adalah istriku. Tidak perlu
merasa takut atas perbuatanmu. Insya Allah, Allah
akan meridhoinya. Justru aku yang harusnya
minta maaf padamu”
”Untuk
apa?” Tanyaku pura-pura tidak mengerti.
”Maaf
jika selama ini aku tidak sepenuhnya menjadi
suami yang bertanggung jawab, jika aku sering
menyakiti hatimu sehingga sering membuatmu
menangis di tengah malam”
Hah!!
Aku terkejut. Dari mana Mas Yusuf tahu kalau aku
sering menangis di tengah malam? Aku masih bingung
dengan pernyataan Mas Yusuf sementara dia terus
melanjutkan kata-katanya.
”Maafkan
jika selama ini aku selalu membuat kamu terbangun sebelum fajar untuk makan sahur, karena aku
tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai
seorang suami untuk memuaskanmu”
Aku
semakin terkejut. Mengapa Mas Yusuf tahu hal itu?
Aku tidak pernah menceritakan hal itu pada
siapapun. Tapi, kenapa Mas Yusuf tahu?
”Sekali
lagi maaf, karena aku pernah berbohong padamu...”
”Berbohong
apa Mas?” Tanyaku tidak mengerti. Mas Yusuf coba menjelaskan.
”Tempo
hari, sewaktu ada munashoroh Palestine di Monas, aku bilang padamu kalau aku ada urusan di sekolah
sehingga tidak bisa pergi kesana bersamamu. Aku
memang ada urusan, namun setelah itu aku
pergi kesana bersama teman-temanku. Dan aku
tahu, kau melihatku disana kan? Tapi karena
kau tidak mau aku melihatmu yang memergoki aku,
makanya kamu segera mengajak temanmu untuk pergi dari sana. Iya kan? Aku benar-benar minta maaf atas hal
itu. Aku sungguh menyesal” Jelas mas Yusuf
dengan nada penuh penyesalan.
Aku
masih terbaring di atas tempat tidur rumah sakit dan
air mataku mengalir begitu saja bagaikan anak sungai.
Aku lihat Mas Yusuf menunduk sambil
menangis. Aku menghapus air matanya dengan
tanganku. Dia meraihnya dan menciumnya. Aku
jadi terharu. Lantas, segera saja aku menanyakan
dari mana dia bisa tahu semua hal itu, dan dia menjawab.
”Buku
harianmu. Aku sudah membca semua tulisanmu yang ada disana. Juga kaset rekaman itu. Aku sudah
mendengarnya. Aku mohon segala maafmu atas
kesalahanku selama ini” Pintanya sambil
terisak dan terus menciumi tanganku. Aku pun
semakin sedih dan ikut terisak juga.
Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
Sesaat lamanya kami terdiam dalam lautan kesedihan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
”Mas,
apa... apa semua itu berarti, kau sudah bisa
menerimaku sebagai istrimu?”
Perlahan
kutatap kedua mata Mas Yusuf. Butir-butir cinta
itu masih tersisa disana. Aku perhatikan dan dia
mengangguk. Ya Rabbi, kekasihku mencintaiku. Dan
itu berarti, cintaku terbalas. Ini untuk
yang pertama kalinya aku merasakan cinta
yang sesungguhnya. Cinta seorang suami kepada
istrinya. Aku merasa menjadi wanita yang paling berbahagia. Aku tersenyum dan Mas Yusuf pun tersenyum.
Bahkan lebih manis dari biasanya.
Kupandang
lekat-lekat wajah itu.
”Apa
yang akhirnya membuatmu bisa mencintaiku?”
”Karena
kau adalah anugrah terindah yang pernah Allah
berikan untukku. Kau jiwaku, kau nafasku, kau
nadiku, dan kau adalah hidupku. Betapa
bodohnya aku yang telah membiarkan kau
menderita selama ini. Aku baru menyadari, kalau
aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu dalam hatiku. Tidak akan
ada”
”Termasuk
Alifa?” Tanyaku dengan tiba-tiba.
”Ya.
Termasuk Alifa.” Jawab Mas Yusuf tenang.
”Lalu
apa keputusanmu mengenai Alifa? Saat ini dia
membutuhkanmu Mas...”
Mas
Yusuf terdiam sejenak.
”Sebelum
aku menjawabnya, izinkan aku berterima kasih
padamu. Terima kasih atas kesabaranmu selama ini
padaku. Terima kasih karena kau telah
mencurahkan seluruh cintamu
padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
padaku. Teriam kasih karena kau tak henti-hentinya menemaniku dan mendo’akanku selama aku tak sadarkan diri. Dan terima kasih...”
”Sstt!”
Sahutku menyela perkataannya. Kucoba menempelkan jariku di bibirnya.
”Kau
sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih
padaku. Hanya dengan rasa cintamu padaku pun, itu
sudah lebih dari cukup. Tidak ada rasa tidak
enak dalam hal percintaan. Aku benar-benar
mencintaimu Mas...” Ucapku pelan.
”Terima
kasih sekali lagi, karena sebentar lagi aku akan
menjadi seorang ayah...” Ucapnya senang.
Aku
terdiam mendengar ucapan Mas Yusuf barusan. Aku
tak sanggup berucap satu katapun. Yang ada malah
lelehan air mata yang mengalir di wajahku
lalu menyerap ke jilbab
yang aku kenakan sekarang.
yang aku kenakan sekarang.
Aku
benar-benar terkejut mendengarnya.
”Kamu
hamil, sayang....” Ucap Mas Yusuf lagi dengan
penuh kemesraan.
Air
mataku kembali mengalir membasahi jilbabku dan
kini semakin deras.
”Kau
tidak membohongiku?” Tanyaku seolah ingin penegasan.
Mas
Yusuf menggeleng.
”Aku
tidak bohong. Kau sungguh-sungguh hamil. Saat ini
kau tengah mengandung anakku. Anak kita. Buah cinta
kita” Kuberikan senyumanku pada Mas yusuf.
Aku hamil. Aku benar-benar hamil. Sebentar
lagi aku akan menjadi seorang ibu. Oh Tuhan,
terima kasih. Kau telah memberikan kebahagiaan
ini padaku.
”Kemarin
kamu pingsan karena terlalu letih. Dan setelah
diperiksa oleh dokter, ternyata kamu tengah
mengandung. Usia kandunganmu baru dua bulan.
Kamu harus jaga kesehatan ya?’ Pinta Mas
Yusuf padaku.
Aku
mengangguk dengan air mata yang terus meleleh.
Mas Yusuf menghapusnya dengan sentuhan hangatnya.
Namun tiba-tiba aku tersadar. Kebahagiaanku belum
sepenuhnya menjadi milikku. Masih ada satu yang
mengganjal. Tentang Alifa. Kejadian yang baru saja
aku alami memang suatu kebahagiaan yang
sangat aku impikan.
Kebahagiaan
karena akhirnya Mas Yusuf bisa mnerimaku dan mencintaiku, dan kebahagiaan karena aku hamil.
Tapi biar bagamanapun, aku harus bertanggung jawab
atas permohonanku pada Mas Yusuf yang memintanya
untuk menikahi Alifa. Aku harus siap dengan
segala
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa. Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
konsekwensinya. Aku benar-benar ikhlas kalau saat ini Mas Yusuf menyatakan kesediaannya untuk menikahi Alifa. Aku terdiam dari tangisku dan mulai bertanya,
”Mas...”
”Hm?...”
Kuhela
nafasku sesaat.
”Mencintaimu
adalah suatu hal yang sangat membahagiaakan untukku. Apalagi ketika kau sudah bisa
menerimaku sebagai istrimu. Jelas kebahagiaanku
semakin lengkap, apalagi sebentar lagi kita
akan menjadi orang tua bagi anak kita. Tapi
aku tidak mau egois. Saat ini, aku ingin
mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada
Alifa”.
mendengar keputusanmu tentang penawaranku untuk kau menikahi Alifa. Biar bagaimanapun, dia membutuhkanmu. Dan bayi yang tengah dikandungnya, juga butuh seorang ayah. Aku harap kau bisa memberikan keputusan yang terbaik. Aku hanya ingin membagi kebahagiaanku pada
Alifa”.
Kulihat
Mas Yusuf menundukkan kepalanya. Perlahan dia berdiri dari duduknya.
”Kau
tunggulah disini sebentar. Aku akan keluar untuk
memberikan jawaban dan keputusanku terhadap penawaranmu” Ucap Mas Yusuf pelan lalu pergi keluar
kamar sambil menyisakan rasa penasaran untukku. Apa
yang hendak suamiku lakukan?
Sambil
menatap langit-langit kamar rumah sakit, aku
menunggu Mas Yusuf datang dengan membawa jawaban
dan keputusannya. Sungguh, saat ini aku
begitu resah.
Tiba-tiba
Mas Yusuf datang. Aku menoleh kearahnya.
Tak
ada yang berubah darinya. Juga tak ada yang dibawanya.
Kuperhatikan wajahnya.
”Apa
keputusanmu Mas?” Tanyaku dengan serak menahan tangis.
Dia
menghampiriku tanpa menjawab. Dia memandang
keluar kamar dengan wajah berseri-seri. Aku tambah
tak mengerti. Akupun ikut memandang keluar
kamar. Masih dalam kondisi berbaring di
tempat tidur, perlahan aku melihat sebuah
bayangan datang menghampiri kamarku.
Bayangan siapa itu?
Bayangan siapa itu?
*
* *
Tiba-tiba,
aku melihat sosok yang sangat aku kenal muncul dihadapanku dengan menggunakan kursi roda. Dan
orang yang mendorong kursi rodanya juga adalah
orang yang sangat aku kenal. Dia Alifa dan Randi. Alifa duduk di kursi roda berbalut
ghamis coklat dan jilbab hitam, dan yang
mendorongnya adalah Randi. Orang yang
kukenal sebagai sahabat Mas Yusuf. Orang
yang dulu kutahu menyuruh Mas Yusuf untuk segera
menikahi Alifa. Orang yang dulu sempat menegurku
pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?
pada saat acara di Bumiwiyata, Depok. Kenapa mereka datang bersamaan?
”Alifa?!
Randi?! Kalian....” Ucapku tergagap.
”Ya.
Alifa InsyaAllah akan menikah dengan Randi setelah melahirkan nanti dan masa
idahnya selesai” Sahut Mas Yusuf mengejutkanku.
”Apa?”
”Ya
Dinda. Dia memberiku semangat hidup. Dia sudah membuatku menjadi seperti ini. Alhamdulillah,
Randi berkenan menjadi suamiku” Ucap Alifa sambil Randi mendorong kursi rodanya
mendekatiku.
Mas
Yusuf dan Randi pergi keluar kamar meninggalkan
aku dan Alifa berdua.
Sambil
menggenggam tanganku, Alifa berkata,
”Aku
tahu kamu wanita yang sangat mulia hatinya. Aku
sudah dengar semua dari Yusuf. Kamu menyuruhnya
untuk menikahiku bukan? Niat baikmu untuk
menjadikanku sebagai istri kedua Yusuf
sangat aku hargai. Jujur, sebenarnya kalau aku
tahu yang hendak menikahiku adalah Yusuf, aku tidak akan menerimanya...”
”Kenapa?”
”Karena
aku tidak mau melihat kamu bersedih. Aku yakin
hatimu pasti hancur ketika Yusuf sampai menikahiku.
Untung saja sebelum Yusuf memberikan keputusannya
karena dia mengalami kecelakaan dan koma, Randi
datang dengan sebongkah rasa kasihan dan
ibanya untukku. Aku juga tidak mengerti
kenapa aku bisa seperti ini. Kepergian Mas
Guntur memang menyisakan luka yang mendalam untukku.
Sampai aku harus dirawat di rumah sakit dan
mengalami koma.
mengalami koma.
Dokter
bilang, penyakitku ini disebabkan karena aku
mengalami tekanan batin yang begitu mendalam
sehingga harus ada yang mau menikahiku dan
bersedia menjadi suami keduaku. Aku juga
tidak tahu kenapa aku bisa seperti itu. Tapi
memang, setelah Randi membisikkan janji bahwa dia akan menikahiku kelak dan
berjanji untuk menjagaku sepeninggal suamiku, seolah ada setetes embun pagi yang mengaliri tubuhku. Aku mulai bereaksi.
Memang
aku sempat terkejut ketika kubuka mata, yang
kulihat bukanlah Mas Guntur, tapi Randi. Sahabatku
sendiri. Awalnya aku sempat drop lagi tapi dokter segera memberikan obat untukku. Dan
akhirnya aku sudah bisa menerima semua kenyataan
ini, kalau Mas Guntur sudah tiada dan yang
akan menggantikannya adalah Randi.
Terima
kasih ya? Karena biar bagaimanapun, kau sudah
berniat baik padaku dengan menyuruh Yusuf agar mau
menikahiku dan berkenan menjadi ayah bagi anak yang
tengah kukandung ini. Dan selamat ya? Akhirnya kau
juga akan menjadi seorang ibu”
Alifa
menjelaskan semuanya dengan tenang. Aku tersenyum padanya. Aku baru ingat, ternyata laki-laki
yang dimaksudkan keluarga Alifa yang hendak
menikahi Alifa adalah Randi. Seseorang yang
tanpa sengaja telah menyelamatkan hati dan
cintaku ternyata adalah Randi. Karena dia,
akhirnya aku tidak jadi menjadi istri tua. Terima kasih Randi.
Diam-diam
ada perasaan syukur yang menyusup kedalam diriku.
Tak
berapa lama, Mas Yusuf dan Randi masuk lagi ke
kamar.
Setelah
dokter mengatakan kondisiku sudah cukup pulih,
akhirnya dia mengizinkanku untuk segera pulang.
Begitu juga Mas Yusuf. Beberapa luka di
bagian kepala dan lengannya juga sudah mulai
mengering.
Kami
melewati hari-hari baru kami sebagai suami istri.
Lebih tepatnya lagi suami istri yang baru menemukan
mahligai cintanya. Aku sangat bersyukur sekali
karena kesabaranku dalam mencintai Mas Yusuf
akhirnya menemukan buahnya. Kini aku sudah
memetik buah itu. Cinta itu, kini sudah
menemukan peraduannya. Tak hentihentinya aku
berucap syukur pada Sang Maha Pencipta.
Kini,
tak ada lagi sorot kebencian pada mata Mas Yusuf.
Kini tak ada lagi sosok seorang suami pengecut
dalam kehidupanku. Yang ada hanyalah seorang
pahlawan sejati yang siap menemaniku
kemanapun kakiku melangkah. Terima kasih, Ya
Allah.
Malam
ini, aku dan Mas Yusuf sudah berada di sebuah
beranda di salah satu kamar hotel yang dulu pernah
kami jadikan sebagai tempat malam pertama
kami satu tahun yang lalu. Dengan ditemani
sinaran bintang-bintang, kami memulai
kembali kisah cinta kami yang sempat tertunda
karena sebuah keegoisan.
karena sebuah keegoisan.
Malam
ini, kami serasa seperti kembali menjadi sepasang
pengantin baru. Saat Mas Yusuf menatapku penuh
mesra, rasa berdebar-debar itu tiba-tiba
muncul dalam diriku. Tapi inilah cinta. Aku
sangat menikmati debar-debar itu.
Tatapannya,
belaiannya, dan kecupannya, ini adalah untuk
yang pertama kalinya dia melakukannya dengan penuh
keikhlasan hati dan kerelaan jiwa.
Malam
semakin larut dan dia mulai mengajakku kembali
ke kamar. Entah mengapa, keringat dingin mulai
membasahi tubuhku. Aku ikuti langkahnya.
Kini, dia menuntunku untuk sampai di tempat
tidur. Aku tersenyum padanya.
Dengan
ditemani temaram lampu kamar dan indahnya sinaran bulan sabit di langit luar sana, Mas Yusuf
kembali membuktikan bahwa dia bukan
laki-laki pengecut. Dia bisa menjalankan
tugasnya sebagai seorang suami. Dan itu ia lakukan
tanpa menunggu subuh datang terlebih dahulu. Aku merasakan menjadi makhluk Tuhan yang paling dikasihi.
Peluh kami kembali bersatu lagi.. Inilah kesucian
cinta yang telah tertanam sejak lama yang
kurawat dengan air
kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.
kesabaran. Inilah buah yang kupetik hasilnya ketika cintaku pada Mas Yusuf harus bersabar.
Kini,
lagi-lagi aku harus bersabar untuk menanti datangnya bidadari kecil yang beberapa bulan lagi akan
hadir ke dunia ini untuk menemani kehidupan
kami sebagai Abi dan Bunda.
Bulan
dan bintang memantulkan sinar gemerlapnya pada
diri dua insan yang tengah dimabuk cinta. Semoga
ibadah ini bisa memberikan keberkahan pada
kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Yusuf
nantinya.
Rabb,
Terima kasih.
Alhamdulillah,
Selesai di Kantor Deptan Kamis, 08 Mei 2008 Untuk
mereka yang
menganggap bahwa kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita yang beriman itu lebih baik, dari yang cantik.
menganggap bahwa kecantikan adalah segalanya. Ingat, wanita yang beriman itu lebih baik, dari yang cantik.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar