Jumat, 28 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 1)

Karya : Habiburrahman El Shirazy



Gumpalan tipis lembut bagai kapas nan putih itu terus turun perlahan lalu menempel di aspal, rerumputan, tanah, atap-atap gedung dan menyepuh kota Moskwa menjadi serba putih. Kota
katedral itu seolah diselimuti jubah ihram orang-orang suci. Dalam suasana serba putih, Moskwa
seolah memamerkan keindahan sihirnya di musim dingin.
Jalan-jalan yang putih. Katedral-katedral dan bangunan berbentuk kastil yang disepuh salju. Pucuk-pucuk cemara araukaria yang bertahtakan butir-butir putih. Taman-taman yang menjelma
hamparan permadani serba putih. Air mancur yang membeku menciptakan keindahan ukiran
kristal. Dan, pesona jelita muka nonik-nonik muda Rusia dalam balutan rapat palto merah
muda tebal berkelas. Semua berpadu menjadi sihir kota Moskwa di musim dingin. Sihir musim
dingin kota Moskwa adalah sihir impian surgawi dalam negeri-negeri dongeng.

Matahari sama sekali tidak ada tanda-tanda menampakkan sinarnya. Pohon-pohon bereozka di
kanan-kiri jalan sesekali bergoyang dihempas angin. Pohon-pohort bereozka itu nampak begitu
pasrah kepada takdir Tuhan seru sekalian alam. Ia meranggas diam dalam dingin yang mencekam. Daun-daunnya telah tanggal satu per satu sejak musim dingin mulai memakai jubah
putihnya. Angin dingin terus berhembus perlahan dari kutub utara, menambah suhu udara semakin dingin membekukan apa saja.

Salju beterbangan dan melayang turun perlahan. Pohon-pohon pinus di hutan-hutan kecil
di pinggir bandara Sheremetyevo menggigil kedinginan. Suhu minus empat belas derajat
celcius. Orang-orang menutupi tubuhnya dengan pakaian tebal serapat-rapatnya. Rumah-rumah
dan gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Tak boleh ada sedikit pun
angin dingin yang masuk. Sebab, membiarkan angin dingin leluasa memasuki rumah dan
gedung, kadangkala bisa mengundang aroma jahat kematian. Alat-alat pemanas ruangan
dinyalakan sepanjang siang dan malam, demi menghangatkan badan.
Salju yang turun perlahan dan hawa dingin yang menggigit tulang, samasekali tidak
menghalangi arus lalu lalang orang-orang di bandara Sheremetyevo. Tiga buah taksi datang
menurunkan penumpang. Dengan tergesa-gesa setelah membayar ongkos dan menurunkan koper
bawaan, para penumpang itu masuk ke dalam bandara.

Dua shuttle bus "marshrutka" Nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara. Para sopir carteran berebutan penumpang. Seorang lelaki setengah baya, yang punggungnya sedikit bongkok berwajah khas Rusia, dengan hidung mancung sedikit bengkok ke kiri memandangi orang-orang yang keluar bandara dengan wajah dingin. Tangan kanannya memainkan kunci mobil, sementara tangan kirinya ia masukkan ke saku palto-nya (Mantel musim dingin yang sangat tebal) yang tebal dan kusam.
Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu terus memainkan kunci mobilnya. Kedua kakinya ia
gerak-gerakkan mengusir dingin. Tiba-tiba kedua kakinya berhenti. Mulutnya menyungging senyum. Kedua matanya begitu berbinar menatap dua anak muda berwajah asing; wajah Asia Tenggara. Ia sangat hafal wajah-wajah bangsa-bangsa yang keluar dari bandara Sheremetyevo.

"Yas, kamu membuat aku pangkling. Sudah sembilan tahun kita tidak bertemu. Kamu sekarang jauh lebih gagah dan lebih ganteng dari Ayyas saat SMP dulu." Kata pemuda berkaca mata.
"Ah yang benar aja Dev?" Sahut Ayyas.
"Sungguh. Dulu kamu itu paling kecil dan paling krempeng di kelas. Sekarang jadi tinggi dan
lumayan gagah. Tidak menyangka. Apa karena kamu sering makan daging unta waktu kuliah di
Arab sana?"
"Ah Devid...Devid, caramu bicara kok tidak berubah, segar dan masih suka guyon. Lha kamu
sendiri ini tambah gemuk dan putih. Apa karena suka makan daging Beruang Putih selama kuliah di sini?"
"Beruangnya Mbahmu!"
"Sudah Dev, cepetan yuk, jangan bercanda terus. Masya Allah, dingin sekali Dev. Ini aku sudah rangkap empat lho. Plus jaket tebal yang kubeli di New Delhi. Wuih ternyata masih tembus.
Dev, ayo cepatlah, mana taksi atau busnya! Bisa mati membeku aku kalau agak lama di sini."
Ayyas menggigil dalam jaket hijau tuanya. Uap hangat keluar dari mulutnya saat bicara. Ia kencangkan kuncian sedekap kedua tangan di dadanya.
"Kita bisa naik bus, metro, atau marshrutka. Tapi kita naik taksi carteran saja ya. Biar tidak
repot angkat barang." Jawab Devid yang Nampak lebih tenang dan berpengalaman, sambil membenarkan letak kaca matanya. Ia mengenakan palto hitam dan perlengkapan musim dingin sempurna layaknya orang Rusia pada umumnya.
"Boleh lah. Yang penting cepat sampai apartemen. Uh, dinginnya masya Allah
Laki-laki berhidung bengkok ke kiri mendekat. Dengan muka dingin ia menyapa dua pemuda itu dengan bahasa Rusia.
"Dabro dentl Vi otkuda?" (Selamat siang! Kalian dari mana?) Devid geleng-geleng kepala dan memasang muka tidak mengerti.
"Dev, tidak usah main-mainlah. Jawablah, masak kamu tidak bisa bahasa Rusia? Dingin nih!" Protes pemuda berjaket hijau tua.
"Tenang Yas. Aku mau pura-pura tidak bisa bahasa Rusia. Supaya engkau tahu, bagaimana si
Rusia tua ini memperlakukan kita. Dia pasti mengira kita berdua ini benar-benar makanan empuknya. Katanya kau mau meneliti sejarah Rusia, ya biar tahu sekalian watak asli masyarakatnya."
"Oke, tapi cepat ya, aku sudah mau beku rasanya!"
"Kholodno? (dingin) Sapa lelaki Rusia lagi.
"What? What is kholodno?" Jawab Devid pura-pura tidak tahu.
"Kholodno, kholodno..." Kata lelaki Rusia sambil mendekap dadanya dan menggigilkan tubuhnya. Ia lalu menunjuk-nunjuk pemuda berjaket hijau tua lantas berakting menggigil.

Kemudian ia menawarkan untuk naik taksinya. Lalu terjadilah dialog dengan bahasa isyarat antara lelaki Rusia berhidung mencong ke kiri itu dengan pemuda berkaca mata. Pemuda
berkaca mata lalu mengambil pena dan secarik kertas dari saku paltonya. Ia menulis alamat
apartemennya, dan menyerahkannya pada lelaki itu. Meskipun ditulis dengan huruf latin dan tidak dalam huruf Cyrilic Rusia, lelaki itu bisa membaca.
"Mmm, Panfilovsky, Smolenskaya..." Gumam lelaki Rusia itu seraya mengambil pena dari saku
paltonya. Ia menulis angka dua ratus dolar di atas secarik kertas itu dan memperlihatkan pada
pemuda berkaca mata. Melihat angka yang tertulis seketika pemuda itu menggelengkan kepala
tidak setuju.
"Gila orang Rusia ini Yas! Dia sangat yakin kita bisa dibodohin dan dibantainya dengan
mudah. Masa sekali jalan dari Sheremetyevo ke Smolenskaya dua ratus dolar. Padahal kalau naik
bis paling 25 rubel. Terlalu jauh bedanya."
"Ya sudah Dev, kita naik bis saja, yang murah."
"Tidak Yas. Kalau naik bis belum sampai apartemen nanti kau sudah membeku duluan. Bisnya itu berhenti di mana saja, berkali-kali. Bisa dua jam kita di jalan. Apalagi kalau nanti
macet."
"Terus bagaimana? Aduh semakin dingin Dev."
"Aku tawar sekali ya. Jika dia tidak mau kita cari taksi lain." Devid minta persetujuan, Ayyas
mengangguk.

Devid lalu menulis angka empat puluh dolar dan ia tunjukkan pada lelaki berhidung bengkok
ke kiri itu. Lelaki itu menggeleng. Ia lalu menulis angka delapan puluh. Pemuda agak gemuk
berkaca mata itu menggeleng seraya melangkahkan kaki ke arah kerumunan sopir taksi yang lain. Segera lelaki Rusia itu meraih pundaknya dan menulis angka lima puluh dolar. Devid kembali menggeleng dan mengibarkan tangan lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu.
Tangannya meraih tas koper dan menyeretnya dengan langkah pasti. Ayyas bergegas mengikuti.
Baru lima langkah, Rusia berhidung bengkok ke kiri itu mengejar dan kembali memegang
pundaknya. Dengan suara agak parau ia mengatakan, "Oke!"
Lelaki Rusia setengah baya itu dengan wajah dingin tanpa senyum memberi isyarat dengan
tangan kanannya agar Devid dan Ayyas mengikutinya. Lelaki berhidung bengkok ke kiri itu
berjalan sambil memain-mainkan kunci mobilnya. Ia sama sekali tidak memedulikan Devid dan Ayyas yang sedang menyeret koper dan barang-barang bawaan. Devid dan Ayyas mengikuti
di belakangnya. Lelaki Rusia itu membuka mobilnya. Ayyas kaget dan tertegun sesaat. Mobil merah tua yang sangat kusam.

"Dev, mobilnya rongsokan begitu!" Protes Ayyas.
"Kita naik saja. Kalau kau tidak naik taksi yang seperti ini belum benar-benar mengenal Moskwa!" Jawab Devid mantap.
"Kalau mesinnya ngadat di jalan gimana?"
"Ya berdoa saja semoga tidak."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu membuka bagasi dan memberi isyarat agar Devid dan Ayyas
memasukkan koper dan barang-barang bawaannya ke bagasi. Ia sendiri hanya melihat, tak ada basa-basi membantu menaikkan koper.
Setelah semua barang masuk, ia membanting tutup bagasinya dengan keras. Ia langsung masuk
dan menyalakan mesin. Beberapa kali dicoba tidak nyala, kali yang ke empat barulah menyala.
Mobil kusam merah tua itu meraung-raung.
Devid bergegas masuk. Ayyas agak ragu, tapi Devid menarik lengannya untuk segera masuk.
Mereka duduk di kursi belakang. Mobil merah tua buatan Jepang itu bergerak meninggalkan
bandara Sheremetyevo. Salju tipis masih turun, tapi jarang-jarang. Sopir tua itu mengarahkan
mobil merah tuanya melewati Leningradskoye Shosse. Memasuki jembatan jalan tol MKAD,
2x2x1 Moskovsky Koltso Automomobilny Daroga, salju sudah tidak turun lagi. Tapi di
mana-mana pemandangan putih terhampar.
"Dablo Pozhalovath v Moskve!" Seru sopir Rusia setengah baya itu setengah bergumam dengan wajah tetap dingin memandang ke depan.
"Apa katanya?" Tanya Ayyas pada Devid.
"Lho katanya kamu sudah bisa bahasa Rusia."
"Cuma dikit-dikit. Terus si Rusia tua ini ngomongnya kayak bergumam sih, jadi tidak
jelas."
"Ya dia cuma mengatakan selamat datang di Rusia."
"O."

Mobil kusam merah tua itu terus melaju. Kecepatannya tidak bisa lebih dari enam puluh kilometer per jam. Ayyas semakin mengencangkan kuncian sedekap kedua tangannya di dada. Mobil tua itu tidak dilengkapi AC panas ataupun dingin. Di kanan kiri jalan sesekali nampak pohon bereozka. Gedung-gedung berarsitektur modern.
Juga bangunan-bangunan pabrik. Sopir setengah baya itu samasekali diam. Ekspresinya dingin.
Hanya kepalanya yang nampak sesekali menggeleng ke kiri dan ke kanan seolah mengiringi
suara mobil tua yang sesekali seperti meraung dan terbatuk-batuk. Anehnya mobil itu tetap berjalan dengan pasti.
Memasuki Leningradsky Prospek yang lebih lebar, sopir setengah baya itu mencoba menambah
kecepatan mobilnya. Namun kecepatannya tidak bisa bertambah lagi.
"Dasar mobil tua!" Umpat sopir berhidung bengkok ke kiri itu.
"Jadi setelah lulus SMP itu kamu ke pesantren ya Yas?" Tanya Devid. Ia sama sekali tidak menggubris umpatan sopir Rusia itu.
"Iya. Ke Pasuruan. Kelas tiga Aliyah aku pindah ke Pesantren Kajoran Magelang yang diasuh
Kiai Lukman Hakim."
"Terus, begitu lulus pesantren kamu langsung ke Saudi?"
"Tidak."
"Lho katanya kuliah di Madinah."
"Iya setelah lulus pesantren aku sempat kuliah di IAIN Jakarta, sambil memasukkan berkas ke
Madinah. Coba-coba saja. E, ternyata diterima. Jadi ya sempat di Jakarta satu tahun."
"Jadi, mudah dong kuliah di Madinah?"
"Sebenarnya tidak juga."
"Lalu bagaimana ceritanya kamu bisa kuliah di Madinah? Aku sama sekali tidak menyangka,
kamu bandit kecil waktu SMP itu bisa kuliah di Madinah!"
"Ah iya ya, aku dulu waktu SMP sempat dijuluki bandit kecil sama Bu Tyas, guru bahasa Inggris
kita. Gara-garanya ketika Bu Tyas menuliskan soal bahasa Inggris di papan tulis aku jepret punggungnya pakai karet. Dia benar-benar marah dan menjuluki aku bandit kecil." Ayyas mengenang masa-masa ia nakal dulu.
"Tak habis pikir, aku kok dulu bisa kurang ajar begitu ya." Lanjut Ayyas sambil geleng-geleng
kepala.
"Saat itu aku juga kaget lho Yas. Lha wong aku saja yang kurasa lebih bandel darimu tidak
sampai jepret guru. Kamu yang kecil, kerempeng kok tiba-tiba melakukan hal gila seperti itu. Aku sampai bertanya-tanya, setan apa sih yang merasuki kamu waktu itu?"
"Kamu masih ingat banget kejadian itu Dev?"
"Oh itu kenangan yang mungkin tidak akan terlupakan seumur hidup Yas. Kelakukanmu itu sangat kelewatan. Bu Tyas marah besar. Lalu telingamu dijewernya sampai merah. Setelah itu
beliau tidak mau mengajar satu bulan lamanya. Dan kamu dihukum tidak boleh masuk sekolah
dua minggu. Kamu lalu minta maaf pada Bu Tyas dengan wajah pura-pura memelas. Dan Bu Tyas mau memaafkan asal kamu berdiri di depan kelas selama Bu Tyas mengajar dalam satu
semester."
"Dan aku mematuhi syarat Bu Tyas. Kejadian penjepretan itu di awal semester. Jadi hampir satu
semester selama pelajaran bahasa Inggris aku berdiri bagai patung di depan kelas dengan satu
kaki. Sampai beberapa teman perempuan kita menjuluki aku 'si bandit kecil berkaki satu'."
"Yang aku heran, kamu saat itu kok kelihatan begitu tenang menjalani hukuman itu. Kamu juga
tidak lari pulang ke rumah pada saat pelajaran terakhir. Kamu begitu setia menunggu Bu Tyas
masuk kelas, lalu kamu dengan tanpa disuruh langsung ke depan kelas dan berdiri dengan kaki
satu, lalu diam bagai patung sampai kelas bubar. Apa sih yang membuatmu melakukan kejahilan
gila itu."
"Ya benar Dev. Itu kejahilan. Aku sangat jahiliyyah saat itu. Tahu nggak kenapa aku jepret
punggung Bu Tyas?"
"Kenapa?"
"Saat itu Bu Tyas aku anggap perempuan paling cantik yang pernah kulihat. Kelemahanku sejak
aku mengerti wajah cantik, aku sangat rapuh berhadapan dengan wajah cantik. Entah setan apa
yang merasukiku saat itu, aku ingin sekali melihat Bu Tyas marah. Aku ingin tahu kalau dia
benar-benar marah apa masih cantik. Akhirnya tanpa banyak berpikir aku jepretlah punggung Bu
Tyas dengan karet sekuat tenaga. Pasti beliau kesakitan, sebab aku kan duduk di bangku depan.
Dia marah besar. Saat marah wajahnya ternyata, menurutku sangat mengerikan. Sejak itu aku
tidak lagi melihat Bu Tyas sebagai perempuan yang paling cantik. Dan aku bersabar menerima
hukuman itu sebab aku insaf bahwa aku harus mempertanggungjawabkan kesalahanku. Dan aku
harus mendapatkan maaf dari Bu Tyas, sebab saat itu kita kan kelas tiga. Aku takut tidak bisa
ikut ujian akhir."
"O begitu, baru sekarang aku tahu Yas. Wah, kalau begitu kau semestinya tidak ke Moskwa
Yas?"
"Memang kenapa?"
"Nonik-nonik Rusia ini terkenal cantik-cantik. Nanti kau buktikan saja. Apa kau masih rapuh
melihat wanita cantik?"
"Entahlah."
"Wah bahaya ini! Jangan salahkan aku kalau kamu nanti jadi bandit di Moskwa ini, tidak lagi
sekadar bandit kecil. Tapi benar-benar bandit. Yang akan kauhadapi godaan perempuan Moskwa, Yas. Godaan perempuan di Jawa tidaklah bisa dibandingkan dengan dahsyatnya godaan perempuan sini.
"Aku di sini kan niatnya bukan untuk hura-hura, apalagi cari perempuan Dev."
"Bukan begitu. Terserah apa tujuanmu. Mau belajar, mau penelitian, atau apa saja, godaan
perempuan Rusia akan terus menguntitmu. Bahkan dalam mimpi-mimpimu. Kalau tidak percaya,
ya nanti buktikan saja!"

Ayyas menghela nafas. Ia merasa yang dikatakan temannya itu benar. Teman-temannya dari Rusia saat kuliah di Madinah beberapa kali pernah menyampaikan hal yang sama. Sebagian
mereka ada yang memperlihatkan foto keluarga mereka. Kaum perempuannya jarang yang tidak
bermuka jelita. Ia memejamkan mata dan berdoa,
"Audzubillahi min fitnatin nisaa” (Aku berlindung kepada Allah dari fitnah perempuan)
Mobil merah tua terus berjalan melewati kawasan Belorusskaya, lalu merambah aspal bersalju
Tveskaya-Yamkaya Ulista. Dan beberapa saat kemudian mulai memasuki pusat kota Moskwa yang ditandai dengan jalan lingkar dalam, yang disebut koltso (Koltso artinya cincin. Itu karena jalan lingkar dalam Moskwa seperti cincin yang melingkari jantung kota Moskwa. Di dalam lingkaran koltso itulah istana Kremlin dan bangunan paling penting dan paling bersejarah bagi Rusia berada) Mobil tua itu kini melaju sedang di koltso Sadovaya.
Ayyas melihat berbagai merek mobil yang ia rasa aneh, dan belum pernah ia temui di Indonesia, Saudi maupun India. Ada mobil berwarna hitam bermerek Volda. Ada yang bermerek Gazel, ada Lada, ada Sputnik Zhiguli dan ada Moskvich. Ia rasa itu adalah mobil-mobil buatan Rusia. Tiba-tiba mobil merah tua yang mereka naiki disalib oleh mobil mewah, Roll- Royce. Tepat di belakang Roll-Royce mobil Porsche biru langit mengikuti.

"Kalau kamu setelah lulus SMP ke mana Dev? Terus bagaimana ceritanya sampai kuliah di
sini?"
"Ceritanya panjang dan berliku. Intinya, lulus SMP aku langsung ke Bandung. Karena ayah
pindah tugas di Bandung. Aku melanjutkan sekolah di Bandung. Selesai SMA aku kuliah di
Singapura. Di Singapura aku kenalan dengan mahasiswi dari Rusia, namanya Eva Telyantikova.
Usianya lebih tua dariku, tapi sangat cantik. Secantik para tsarina klasik Rusia. Aku dan Eva
sangat dekat, kami hidup serumah cara Barat. Kau nanti akan tahu sendiri apa yang aku maksud.
Kami sama-sama lulus. Ketika Eva pulang ke Rusia, ke St. Petersburg, aku ikuti dia. Aku tinggalkan kuliahku di Singapura dan pindah ke St. Petersburg sampai sekarang."
"Jadi kau sudah menikah dengan perempuan Rusia?"
Devid menggelengkan kepala.
"Terus!?" Tanya Ayyas agak kaget.
"Ya awalnya kami hidup satu rumah. Sewa apartemen. Biasa saja, layaknya orang-orang Eropa hidup. Sekarang kami berpisah. Eva hidup dengan lelaki dari Polandia. Dan aku sementara sendiri. Kau mungkin kaget mendengar cara hidupku, Yas. Ya sorry saja, aku sudah lama tidak hidup dengan cara Timur. Aku sangat menikmati hidup bebas cara Rusia, cara Eropa.
Kalau kau benar-benar menghayati hidup di Rusia, nanti kau akan rasakan enaknya hidup bebas
tanpa banyak aturan kayak di Jawa atau Saudi."

Ayyas menarik nafas panjang. Ia hanya beristighfar di dalam hati. Ia tidak mungkin menceramahi Devid, sebab Devid bukan orang bodoh. Devid dulu di SMP termasuk siswa
cerdas, selalu masuk tiga besar. Bahkan dirinya saja, ia rasakan saat SMP dulu masih kalah dengan Devid. Nilai raportnya biasa-biasa saja. Ia hanya berdoa, semoga Devid suatu saat nanti
diberi petunjuk oleh Allah. Hanya Allah yang tahu bagaimana caranya memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki.
"Oh ya Yas, kau belum cerita bagaimana bisa kuliah di Madinah? Bagaimana si bandit kecil itu
bisa kuliah di Madinah?!"
"Awalnya kan, ada seorang ulama dari Saudi yang dibawa oleh dosenku ke Grabag, Magelang.
Dosenku itu aslinya Grabag, Magelang. Orangtuanya punya pesantren kecil di sana. Lha aku diminta menemani. Alhamdulillah, selama di pesantren kan setiap pakai bahasa Arab, jadi aku
cukup lancar berkomunikasi dengan ulama itu. Suatu pagi, aku dipanggil sama ulama itu, diajak ngobrol. Ia bicara banyak hal, ini dan itu, dalam bahasa Arab. Aku jawab santai saja. Di akhir
ngobrol itu dia memberi formulir untuk aku isi.
Ternyata formulir pendaftaran Universitas Islam Madinah. Katanya, dia akan coba memasukkannya ke Madinah. Ya berarti kan coba-coba. Ya aku isi saja, aku coba. Terus formulir dibawa sama ulama itu. Dan tahun berikutnya aku dapat panggilan. Aku diterima. Ternyata ulama itu seorang dosen di sana. Begitu ceritanya."

Mobil itu terus melaju pelan ke selatan. Jalan raya yang sangat luas dengan enam belas jalur itu
penuh dengan mobil. Ada dua empat jalur yang macet. Tapi jalur mobil tua kusam yang dikendarai sopir Rusia berhidung bengkok ke kiri itu tidak macet total, tetap berjalan, hanya lambat.
Dengan pasti mobil tua itu memotong Novy Arbat Ulitsa dan terus melaju ke selatan. Di
kanan dan kiri jalan Ayyas menyaksikan gedunggedung kota Moskwa yang eksotik. Arsitektur
klasik sesekali berdampingan dengan arsitektur modern. Ayyas menyaksikan gedung yang sangat megah dengan beberapa sentuhan pahatan yang indah. Mobil itu belok kanan. Lalu di hadapan Ayyas, di sebelah kanan ada gedung menjulang tinggi berarsitektur metropolis.
"Kita ada di Golden Ring. Depan sebelah kanan itu Hotel Belgrad. Yang itu Golden Ring Hotel. Di belakang kita ada gedung Deplunya Rusia. Kawasan Golden Ring ini nempel dengan Smolenskaya. Ini salah satu daerah penting dan strategis di Moskwa. Aku dapat apartemen sangat murah untukmu di daerah ini."
Sejurus kemudian mobil tua itu sampai di dekat halte bis, dan berhenti. Mesinnya tetap menyala. Nampak beberapa petugas pembersih salju bekerja di pinggir jalan. Udara terasa dingin menggigit.
"Sudah sampai, ayo turun!" Kata lelaki Rusia berhidung bengkok ke kiri itu dengan wajah
dingin.
"Belum. Apartemen kami di Panfilovsky Pereulok. depan White House Residence." Jawab
Devid tegas dalam bahasa Rusia.
"Kamu bisa bahasa Rusia rupanya." Lelaki Rusia itu kaget.
"Iya memangnya kenapa?"
"Kenapa tadi pura-pura tidak bisa."
"Lagi malas berbahasa Rusia saja."
"Panfilovsky?"
"Ya."
"Berarti aku harus ke utara lagi?"
"Ya."
"Tambah dua puluh dolar!"
"Tidak mau. Itu kan tengah-tengah Smolenskaya."
"Iya seharusnya kamu bilang. Jadi aku tidak perlu sampai Golden Ring. Aku bisa belok di
Protochny Pereulok terus ke Panvilovsky."
"Salah sendiri tidak tanya."
"Tambah sepuluh dolar!"
"Tidak!"
"Kalau begitu kalian turun di sini!"
"Baik, kami turun. Tapi kami tidak akan bayar kamu!"
"Aku bunuh kamu!"
"Silakan kalau berani, itu ada polisi. Kalau kau macam-macam aku laporkan kau pada
polisi!"
"Brengsek! Kau anak setan!"
"Kau yang anak setan!"
Sambil terus mengomel dan mengumpat sopir tua itu lalu mengundurkan mobilnya pelan-pelan.
Kemudian masuk ke Smolenskaya Pereulok, dan melaju pelan ke utara. Di perempatan Nikholoshcepovsky Pereulok, Ayyas melihat tiga gadis Rusia yang berjalan bersenda gurau di trotoar.
"Gadis itu cantik ya, Yas?" Gumam Devid sambil menunjuk ke arah gadis Rusia yang berdiri
mau masuk mobil BMW SUV X5 hitam.

Karena muka mobil itu berlawanan arah dengan taksi yang mereka tumpangi, maka wajah gadis
Rusia itu nampak jelas. Dibungkus palto biru muda, syal putih dan penutup kepala biru tua,
muka gadis Rusia itu tetap nampak putih bersih. Ia lalu berdiri tegak. Ia menenteng alat musik dan mencangklongkan ke punggungnya.
"Wuah menurutku cantik banget Yas. Itu kelihatannya gadis aristokrat, yang ia bawa itu kelihatannya biola!" Tambah Devid.
"Nggak tahu ah." Jawab Ayyas. Sekilas ia tetap melihat wajah gadis Rusia yang ditunjuk
Devid.
"Tidak usah munafik Yas. Itu jauh lebih cantik dari Bu Tyas yang kaukagumi waktu SMP dulu.
Bahkan aku berani bertaruh, dia berani bertanding dengan Kate Winslet."

Ada sedikit dalam hati Ayyas mengakui gadis Rusia yang ia lihat sekilas itu memang jelita.
Tapi gadis Rusia yang ia temui di pesawat, yang dudifk tepat di sampingnya jauh lebih memesona.
Ia belum pernah melihat perempuan secantik itu. Ia bagai bidadari turun dari surga. Sayang ia
sama sekali tidak tahu siapa gadis itu. Sepatah kata pun ia tidak berani menyapa gadis itu. Dan
gadis itu, dalam keanggunan dan pesonanya begitu tenang asyik bekerja menulis dengan laptopnya yang tipis selama di pesawat, tawaran makan dari pramugari pun ia tolak. Hanya sesekali gadis itu minta minum.
Inna lillah, Ayyas mengucap dalam hati, ia merasa belum sampai ke Moskwa pun ia sudah terjerat oleh fitnah kecantikan nonik muda Rusia. Ayyas tiba-tiba begitu merasa berdosa pada AinaJ Muna, gadis manis dari Kaliwungu Kendal yang sudah dipinangnya dan ia telah berjanji untuk setia padanya.
"Hei kok diam saja Yas. Iyakan, berani bertanding dengan Kate Winslet!"
"Sudahlah Dev. Ngomong yang lain saja, nggak usah ngomong perempuan melulu!" Tegas
Ayyas seraya mengusir perasaan yang tidak-tidak dalam benaknya.
"Lha mulai. Gaya memerintah dan mendikte khas Arab mulai keluar!" Sindir Devid.
"Masih jauh Dev? Kakiku sepertinya sudah beku." Ayyas mengalihkan pembicaraan. Ia merasa
tidak ada faidahnya meladeni sindiran teman lamanya yang bernada mengolok-olok itu.
"Kalau beku ya diamputasi Yas."
"Aku serius ini Dev!"
"Cuma bercanda. Tapi benar lho Yas, jangan sampai ada anggota tubuh kamu yang benar-benar
beku. Kalau beku bisa diamputasi. Tahun lalu ada orang Filipina, teman aku, di puncak musim
dingin dia tidak pakai penutup kepala yang lengkap. Daun telinganya biru beku. Ya daun telinga itu jadi kayak es yang beku dan ia terpaksa kehilangan daun telinganya."
"Aduh gimana nih, aku benar-benar kedinginan."
"Tenang, lima menit lagi sampai."
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu kelihatannya sepintas memerhatikan tangan Devid yang menunjuk gadis Rusia. Ia langsung berkata kepada Devid dan Ayyas dalam bahasa Rusia,
"Kalian mau gadis Rusia? Aku bisa mencarikan yang lebih cantik dari gadis yang kau tunjuk
itu. Sungguh!"
"Tidak terima kasih. Saya bisa cari sendiri!" Jawab Devid juga dalam bahasa Rusia.
Ayyas hanya diam. Ia hanya mengerti sebagian saja dari isi pembicaraan itu. Yang jelas ia
tahu, sopir tua itu menawarkan gadis cantik untuk mereka berdua. Seketika ia merasa, ujian yang
akan dihadapinya di Moskwa tidaklah ringan. Selama ini ia bisa lurus-lurus saja karena berada
di lingkungan yang lurus. Sekarang, di tengah lingkungan yang sangat jauh dari keyakinan dan
norma yang dijunjungnya ia merasa akan menemukan ujian iman yang sesungguhnya.
Satu-satunya orang yang ia kenal dengan baik di Moskwa adalah Devid. Teman SMP dulu. Dan
Devid pun ia rasakan sudah tidak lagi sebagai Devid layaknya orang Jawa yang penuh menjaga
etika ketimuran. Devid sudah tidak lagi melihat aturan agama dalam pergaulannya dengan lawan
jenis. Ia merasa, Devid susah untuk diandalkan sebagai teman yang akan mampu menjaga iman
dan kebersihan jiwanya. Ia hanya berharap, Allah akan memberikan belas kasih padanya, sehingga ia selamat selama hidup di negeri komunis yang mulai kapitalis ini.
"Kau tahu Yas, sopir tua ini menawari kita cewek Rusia?" Kata Devid pada Ayyas.
"Ya aku tahu."
"Kau mau?"
"Gila kau Dev! Itu zina! Haram!"
"He he he! Baguslah kau masih kukuh memegang keyakinanmu. Aku ingin tahu seberapa kukuh imanmu di sini. Kalau aku, sorry saja, aku sudah tidak mau dibelenggu aturan agama apa pun. He he he." Ejek Devid sambil terus terkekeh-kekeh.
"Ya, kau akan dibelenggu oleh nafsumu sendiri! Dalam sejarahnya, orang yang dibelenggu
nafsunya tidak ada yang bahagia!"
"Ah jangan mengkhotbah, Yas!"
"Kalau aku yang ngomong dianggap mengkhotbah, kalau kau yang ngomong tidak mengkhotbah. Ah, ini namanya diskriminasi dan intimidasi. Aku merdeka dong menyampaikan pendapatku."
"Okay, okay, Pak Ustadz Muhammad Ayyas," sahut Devid setengah mengejek setengah bergurau.
Ayyas diam saja tidak menanggapinya.
Tiba-tiba sopir Rusia itu menghentikan mobilnya.
"Kita sudah sampai! Ini kan apartemennya? Ini tepat di depan The White House Residence." Tanya sopir berhidung bengkok ke kiri itu. Devid melihat ke sekeliling sebentar. Ia melihat ke kiri dan kanannya.
"Ya, benar. Di sini tempatnya."
"Kalau begitu, cepat bayar dan cepat turun!" Hardik sopir itu.
Ayyas langsung tahu diri. Ia mengeluarkan uang seratus dolar dari dompetnya. Ia berikan kepada
Devid untuk membayarkannya.
"Jangan seratus dolar Yas. Kau punya uang pas?" Gumam Devid.
"Waduh uang pas tidak ada Dev. Ini aja, biar dia mengembalikan sisanya."
"Dia pasti akan pura-pura tidak punya kembalian. Kalau tidak percaya langsung saja berikan
pada dia."
Ayyas mengulurkan seratus dolar pada sopir tua itu. Sang sopir langsung memasukkan seratus
dolar itu ke sakunya, lalu tenang memandang ke depan.
"Benarkan? Dia pura-pura tidak tahu kalau uangnya seratus dolar. Kalau kau minta kembaliannya dia akan mengatakan tidak punya."
Kata Devid sambil berkomentar.
"Hei, kembaliannya mana?" Ayyas menepuk pundak sopir Rusia itu.
"Kembalian apa?" si Rusia malah balik bertanya.
"Yang aku berikan itu seratus dolar. Ongkos taksi empat puluh dolar. Jadi kau harus mengembalikan enam puluh dolar!" Kata Ayyas agak keras.
"Aku tidak punya kembalian. Aku hanya punya sepuluh dolar! Nih ambil, dan cepat turun!" Sopir setengah baya itu mengulurkan sepuluh dolar.
"Orang ini memang edan Dev!" Sengit Ayyas.
Devid malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Sudah aku bilang ndak percaya, dia akan licik begitu, Yas! Ini Rusia Yas, bukan Madinah,
hahaha..."
"Terus bagaimana ini Dev?"
"Mau kau ikhlaskan lima puluh dolarmu?"
"Ya enggaklah. Aku ini mahasiswa Dev, bukan bos!"
"Ya udah, serahkan padaku!" Kata Devid mantap. Ia lalu mengambil sepuluh dolar dari tangan si sopir Rusia itu dan menepuk punggungnya seraya berkata, "Hei kembalikan yang seratus dolar! Aku ada uang pas!"
"Sudahlah! Kalian cepat turun! Kan harga awalnya dua ratus dolar, ini sembilan puluh
dolar. Ini sudah pas!"
"Baik, aku catat nomor mobilmu dan besok tunggu saja, teman-temanku dari Orekhovskaya
Bratva akan menagihnya padamu!" Hardik Devid sambil membuka pintu. "Ayyas, ayo turun!"
Katanya pada Ayyas. Devid bergegas keluar dari mobil. Ayyas mengikutinya. Mereka menuju bagasi untuk menurunkan koper dan barang bawaan.
Sopir berhidung bengkok ke kiri itu turun dari mobilnya. Ia mendekati Devid sambil mengulurkan uang seratus dolarnya.
"Benar kau punya teman Orekhovskaya Bratva!?" Tanya lelaki setengah baya itu lunak.
"Buktikan saja besok!" Jawab Devid dengan nada mengancam dengan samasekali tidak memerhatikan wajah Rusia tua itu.
"Hmm, ini aku kembalikan sekarang, tidak usah merepotkan teman-temanmu dari Orekhovskaya
Bratva itu. Mana yang sepuluh dolar dan empat puluh dolar?" Sopir Rusia itu mengulurkan
seratus dolar.
"Lha begitu lebih baik," Jawab Devid, ia lalu mengulurkan pecahan sepuluh dolar dan dua lembar dua puluh dolar.
"Okay, masalah kita sampai di sini ya. Sekali lagi jangan kausertakan teman-temanmu dari Orekhovskaya Bratva ya."
"Okay.”
Sopir tua berhidung bengkok ke kiri dengan wajah dingin kembali ke mobilnya. Devid memberi
isyarat barang-barang sudah diturunkan semua dan sopir itu boleh pergi. Sedetik kemudian taksi kusam merah tua itu meninggalkan dua pemuda dari Indonesia itu.
"Orekhovskaya Bratva, itu apa Dev? Kelihatannya si Rusia itu takut sekali." Tanya Ayyas.
"Itu nama gang. Orekhovskaya Bratva itu artinya persaudaraan Orekhovskaya."
"Kau anggota gang itu Dev?"
"Ya tidaklah. Sekadar menggertak sopir Rusia resek itu aja. Ternyata manjur!"
"Kalau gang itu tahu namanya kamu bawa-bawa bagaimana?"
"Ya nggak tahu. Mungkin mereka malah bangga. Namanya saja ditakuti!"
"Wah kamu bermain-main api Dev."
"Sudah jangan berpikir yang bukan-bukan." Sambil menyeret koper, Devid lalu mengajak Ayyas segera memasuki gedung apartemen tua yang dibangun zaman pemerintahan Stalin.
Apartemen tua yang tetap nampak gagah itu terdiri atas lima lantai saja. Ia Berada di kawasan
sangat strategis di pusat kota Moskwa. Ia berhadapan dengan apartemen mewah yang biasa
disebut The White House Residence. Dua blok tepat di sebelah utaranya berdiri megah apartemen kelas menengah atas The Sunset Residence.
Hanya perlu waktu lima menit berjalan kaki untuk sampai stasiun metro Smolenskaya. Tak
jauh di sebelah selatannya adalah kawasan sibuk Golden Ring. Kremlin dan Lapangan Merah symbol kota Moskwa yang legendaris itu bisa dijangkau dengan jalan kaki. Devid menjelaskan
panjang lebar letak strategis apartemen yang mereka masuki kepada Ayyas.
"Cuma sayangnya satu, Yas." Kata Devid.
"Apa itu?" Sahut Ayyas.
"Ya layaknya apartemen zaman Stalin, apartemen ini tidak ada liftnya. Apartemen seperti ini dulu memang dibangun besar-besar, di pelbagai penjuru Moskwa untuk para pegawai pemerintah
dan anggota Central Comite Partai Komunis. Ini salah satu yang masih lestari." Jelas Devid.
"Yang kita tuju lantai berapa Dev?"
"Lantai tiga."
"Alhamdulillah, tidak lantai lima."
"Kita angkat kopermu ini dulu bersama, baru nanti kita ambil barang-barangmu yang lain."
"Baik."
Ketika mereka hendak mengangkat koper, sekonyong-konyong seorang gadis Rusia memakai
palto merah hati turun dari tangga dengan agak tergesa-gesa. Gadis itu tersenyum dan menyapa Devid dengan bahasa Rusia,
"Hai Devid, ini temanmu yang akan tinggal di atas ya?"
"Hai Yelena. Iya, ini temanku. Kenalkan namanya Ayyas. Lengkapnya Muhammad Ayyas:"
Gadis Rusia itu mengulurkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan.
"Sorry, tanganku kaku kedinginan. E, e, senang kenalan dengan Anda." Jawab Ayyas agak
tergagap dalam bahasa Rusia yang terbata-bata. Sekilas Ayyas menatap mata birunya yang
menawan.
"O ya wajar itu, kau pasti baru pertama kali ke sini. Dabro pozhalovath v Moskve"! (Selamat
datang di Moskwa) Tukas Yelena.
"Iya. Kau benar. Terima kasih." Jawab Ayyas
"Mau ke mana kau Yelena? Tidak menyambut temanku ini dulu?" Ujar Devid.
"Maaf, aku harus ke Tverskaya, ada acara.
Jam delapan malam aku pulang. Aku pergi dulu ya." Jawab Yelena dan langsung bergegas keluar
gedung. Devid mengikuti langkah Yelena sampai hilang dari pandangan.
"Cantik ya Yas? Ada darah Finland dalam dirinya. Kau beruntung. Kau akan tinggal satu apartemen dengannya.
Gunakan kesempatan sebaik-baiknya." Gumam Devid sambil tersenyum menggoda Ayyas.
"Apa Dev!? Kau jangan main-main denganku! Aku masih waras Dev! Aku tidak mungkin bisa
hidup bebas seperti kamu!" Muka Ayyas merah padam. Ia merasa Devid sengaja mempermainkannya dengan menyewakan tempat tinggal satu apartemen dengan gadis bule yang katanya berdarah Finland.
"Tenang, Sobat. Jangan marah dulu. Kita bawa dulu barangmu ke atas. Nanti aku jelaskan
semuanya. Aku samasekali tidak bermaksud menjerumuskan kamu. Aku berusaha mencarikan
tempat yang menurutku saat ini terbaik untukmu. Dengarkan dulu semua penjelasanku, baru kau
boleh marah kalau kau memang ingin marah. Okay?"
"Baik!" Jawab Ayyas dengan muka masih merah padam.
"Yang rileks sedikitlah Bos. Aku ini temanmu, percayalah padaku!"
Dua pemuda itu dengan sedikit bersusah payah terus berusaha membawa koper berat hitam ke
lantai tiga. Akhirnya mereka sampai di depan pintu yang mereka tuju. Dengan nafas masih terengah-engah pemuda agak gemuk berkaca mata itu menjelaskan,
"Dalam bahasa Rusia, apartemen ini disebut kwartira. Dan gedung bertingkat di mana
kwartira ini berada mereka namakan dom. Tinggi dom biasanya antara lima hingga enam belas
lantai. Dom yang dibangun di masa pemerintahan Stalin biasanya memang tanpa lift. Hanya tangga panjang dan landai, seperti dom ini. Kamu letih ya Yas?"
"Sudah tidak karuan lagi rasanya tubuhku ini Dev. Rasanya mau ambruk."
"Kau siap-siap saja untuk terkapar beberapa hari. Biasanya yang datang dari Indonesia pas musim dingin pasti ambruk dulu. Karena tubuh tidak bisa langsung menyesuaikan perbedaan
suhu yang sangat ekstrim. Meskipun kau datang tidak dari Indonesia tapi dari India, ya sama saja. Kau perlu istirahat tiga sampai lima hari lah. Lha aku saja yang sudah bertahun-tahun di sini setiap masuk musim dingin mesti ambruk dua-tiga hari. Tapi tenang, tempat yang akan kau tinggali ini sangat nyaman. Ayo kita lihat!"
Devid mengambil kunci dari saku celananya. Ia membuka pintu nomor 303. Begitu pintu dibuka nampak ruangan foyer kecil yang terasa lebih hangat dari udara luar. Ada tempat untuk
menggantungkan palto. Devid melepas paltonya dan menggantungkannya di situ. Ayyas masuk
dan menutup pintu. Ia mengikuti Devid, melepas jaket tebal hijau tuanya dan menggantungkannya di samping palto Devid.
Setelah melepas sepatu dan meletakkan pada tempatnya, dengan tenang Devid menarik koper
berat itu sambil membuka pintu kaca berbingkai kayu birk karelia. Ayyas berdiri mematung sesaat.
Ia melihat tempat sepatu. Sepatu-sepatu itu tertata dengan rapi. Sepatu dan sandal berhak
tinggi dengan pelbagai model. Semuanya milik kaum hawa. Tak ada sepatu untuk lelaki, kecuali
sepatunya Devid. Kepala Ayyas berdenyut-denyut.
"Kenapa Yas, ayo masuk." Ucapan Devid membuatnya terhenyak.
"Barang-barang yang di bawah?" Tanya Ayyas.
"Masuk dulu, sebentar. Aku ingin menjelaskan satu hal kepadamu. Agar kamu tidak marah padaku."
Ayyas melepas sepatunya dan melangkah masuk. Ruangan itu terasa hangat. Sama sekali tidak dingin. Nampak pemanas ruangan di bawah jendela dekat sofa panjang cokelat muda. Ayyas
mengedarkan pandangannya. Ruang tamu itu menyatu dengan dapur yang rapi, yang sekaligus
menjadi bar kecil. Di tembok dapur itu, gelas-gelas kaca berjajar rapi. Ada beberapa botol berisi
aneka jenis vodka. Ada vodka belt, vodka bloody mary, the screwdriver, the white Russian vodka, vodka tonic, dan vodka martini. Ada meja tinggi dari marmer putih memanjang. Meja itu
sekaligus menjadi pemisah dapur dan kamar tamu yang sekaligus menjadi ruang santai. Di depan
meja marmer itu ada empat kursi kayu bundar tinggi.
Lantai ruang tamu itu sepenuhnya dilapisi parket kayu mengkilat. Hanya di bagian sofa saja yang dialasi dengan karpet tebal berwarna coklat muda, hampir sama dengan warna sofanya. Di dinding dekat jendela ada bufet kotak memanjang dan di atasnya ada layar televisi flat 29 inc.
Ada tiga pintu kamar. Pintu pertama dekat dapur. Dan dua lainnya pintu dekat sofa panjang.
Ruang tamu itu cukup lega. Jarak lantai dengan langit-langit ruangan cukup tinggi. Lebih tiga
meter. Di tengah langit-langit sebuah lampu kristal swarovski berukuran sedang menggantung
anggun. Sepanjang garis sudut langit-langit nampak ukiran-ukiran mozaik yang menawan. Nampak sekali ruang tamu apartemen itu didesain menggabungkan unsur klasik Romawi ortodoks dan Rusia modern.
Devid telah memasukkan koper Ayyas ke dalam kamar dekat sofa panjang. Devid menghempaskan badannya ke sofa dan menghela nafas panjang. Ayyas duduk di sampingnya.
"Ayyas, sebelumnya aku minta maaf kalau tempat ini tidak cocok untukmu. Aku tahu kamu
dari pesantren dan lulusan Saudi. Aku sudah berusaha mencari yang paling aman dan nyaman untukmu.
Kau datang di saat-saat Moskwa sedang puncak musim dingin. Kau juga memberitahu aku sangat mendadak. Jujur aku hanya punya waktu tiga hari mencari apartemen yang cocok untukmu. Kau minta yang letaknya strategis, kalau bisa di pusat kota yang aksesnya mudah ke
mana-mana. Aku sudah lihat beberapa tempat.
Yang letaknya strategis dengan harga miring tidak ada. Apartemen ini yang sesuai dengan anggaran yang kau ajukan. Aku menemukan beberapa tempat di pinggir kota, tapi aku agak ragu
keamanannya.
Dari anggaran yang kau ajukan, kau tidak bisa menyewa apartemen utuh sendiri. Yang
memungkinkan ya menggabung dengan orang lain, yang penting satu kamar sendiri. Aku sudah
kontak teman-temanku yang dari Indonesia dan Asia Tenggara di sini. Mereka tidak ada tempat
kosong yang bisa kau tempati.
Sebenarnya ada satu orang Indonesia menawarkan kau tinggal satu kamar dengannya. Dia
ingin sedikit pengiritan. Tapi aku sudah sangat yakin kau pasti menolaknya. Karena yang menawarkan itu perempuan yang kerja di night club di kota ini.
Kau mungkin bertanya kenapa aku tidak mencarikan yang tinggal dengan orang asing yang laki-laki saja? Begini Sobat. Ini negeri asing. Ketika kau mau tinggal satu rumah dengan orang lain di negeri asing, ada beberapa pilihan.
Pertama, dan ini yang paling aman dan nyaman, adalah tinggal dengan orang yang sangat kamu kenal dengan baik. Biasanya adalah orang satu negara denganmu. Sudah aku katakan, kali ini tidak ada tempat teman-teman Indonesia yang kau bisa bergabung dengannya. Teman-teman dari Asia Tenggara yang lain juga. Itu setahuku, sependek usahaku dalam tiga hari ini. Aku tidak mungkin meletakkan kamu di tempat perempuan yang kerja di club malam itu kan.
Kedua, tinggal satu rumah dengan orang asing, yang satu jenis kelamin denganmu. Kau
lelaki, memang idealnya ya tinggal dengan lelaki.
Aku tahu kau banyak memegang norma dan ajaran. Masalahnya dari beberapa tempat yang
aku datangi, aku merasa kau tidak akan aman dan nyaman tinggal di sana. Aman jiwamu, juga
barang-barangmu. Aku tidak menemukan tempat yang aku merasa tenang kau aman. Aku ini,
bolehlah kausebut bajingan. Hidup bebas. Maka aku paham di mana orang seperti kamu akan
aman. Kalau ada yang aku rasa aman, aku pasti akan memilihkan kamu satu rumah dengan laki-laki, bukan perempuan.
Ketiga, tinggal satu rumah dengan orang asing, yang beda jenis kelamin. Kau tinggal restoran.
Ini pun tentu tidak asal tinggal. Harus dipilih yang benar-benar aman dan nyaman. Ketika aku
mendapatkan apartemen ini, aku rasa kamu cocok tinggal di sini. Aku sudah bicara panjang
lebar dengan yang punya rumah. Dua gadis bule penghuni rumah ini sudah dua tahun tinggal di
sini dan mereka tidak pernah bikin masalah. Aku sudah kenalan dengan Yelena tadi itu. Dia tinggal di kamar yang dekat dapur itu. Dia ramah. Jadi kau aman di sini. Begitu Sobat."
Jelas Devid panjang lebar. Ayyas mendesah panjang. Ia belum merasa puas dengan penjelasan
teman lamanya itu. Masih ada yang sangat mengganggu nuraninya. Tinggal satu apartemen dengan dua gadis bule adalah hal yang belum pernah ternalar dalam pikirannya. Terbersit pun
tidak.
"Mungkin dengan tinggal bersama perempuan kau merasa aku aman. Ya, mungkin tubuh dan
hartaku aman. Tapi bagaimana dengan imanku Dev? Justru imanku sangat terancam. Jika tinggal
dengan bule yang laki-laki aku malah akan merasa aman!" Kata Ayyas tegas.
"He he he, kamu merasa tinggal bersama bule laki-laki aman? Bodoh! Di antara bule itu ada yang gay. Apalagi gay yang ekstrim. Bayangkan kalau kau ternyata tinggal bersama empat bule
gay. Kau mau jadi apa, heh? Nanti kau kira aku yang menjerumuskan kamu!" Sengit Devid.
Ayyas diam tercengang. Ia tidak sampai berpikir sejauh itu.
"Dan kau merasa kalau tinggal bersama bule lelaki, lalu kau akan selamat dari godaan bule
perempuan? Bodoh! Kau kira teman bulemu itu tidak berani membawa teman perempuannya ke
kamarnya? Imanmu malah lebih terancam! Justru setahuku, kalau bule perempuan masih berpikir
membawa pasangannya ke kamarnya." Lanjut Devid sengit.
"Agaknya aku datang ke tempat yang salah." Lirih Ayyas.
"Terserah kamu. Kamu boleh menyalahkan dirimu. Asal jangan menyalahkan aku. Tapi cobalah
jangan pesimis dulu. Lihat apartemen ini. Jarang ada apartemen seperti ini. Indah dan teratur. Dan kau harus tahu. Biasanya apartemen yang dibuat zaman Stalin cuma punya satu kamar
mandi. Karena memang untuk keluarga, jadi tak ada masalah. Tapi lihatlah apartemen ini. Pemiliknya telah merenovasinya dengan sangat baik.
Karena tujuannya untuk disewakan per kamar. Setiap kamar di apartemen ini punya kamar
mandi pribadi. Yang digunakan bersama hanya ruang tamu dan dapur. Maka anggap saja kau
seperti di hotel. Privasimu sangat terjaga di kamarmu. Dan ruang tamu ini anggap saja seperti
lobby hotel. Dapur dan bar itu anggap saja seperti restorannya. Si Yelena itu akan mandi di kamar mandinya sendiri, temannya yang aku tidak tahu namanya juga sama akan mandi di kamarnya sendiri, kecuali kalau kau mengajak mereka mandi di kamarmu. Jadi menurutku kau aman dan nyaman di sini. Lain ceritanya kalau kamar mandinya untuk bersama, wah itu gawat untuk manusia moralis seperti kamu. Jadi kalau di tempat dengan privasi terjaga seperti ini, kau sampai tergoda oleh Yelena atau temannya, ya itu karena diri kamu sendiri. Sebab pada dasarnya jika kau ada di kamarmu, terus kau kunci rapat-rapat, kau aman. Jelas?"
Ayyas mengangguk dan menarik nafas, mukanya berubah lebih cerah. Penjelasan Devid itu membuat Ayyas merasa agak lega. Ia lalu bangkit dan memeriksa kamarnya. Kamar itu
bernuansa biru. Indah, sejuk dan menyegarkan mata. Terlihat rapi dan cukup leluasa untuk aktivitasnya. Lantainya terbungkus karpet biru tua.
Ada kamar mandi yang bersih di dalamnya. Lantai dan dindingnya dilapisi keramik putih
gading. Meskipun sempit dan kecil, tapi sudah sangat cukup baginya. Di depan pintu kamar
mandi ada wastafel mungil yang cantik. Ia putar krannya, airnya keluar perlahan. Ia periksa semua lampu, semua berfungsi dan menyala. Pemanas di bawah jendela juga baik keadaannya. Pemanas itu menyala sehingga kamar terasa hangat. Ada meja dan kursi yang bisa ia gunakan untuk menulis dan membaca. Lemari berukuran sedang cukup untuk menyimpan pakaian dan barang-barangnya. Ayyas membuka tirai jendela. Kaca jendelanya yang tebal itu mengembun.
Meskipun demikian ia masih bisa menangkap pemandangan di luar jendela. Meskipun agak buram dan terhalang gedung, ia masih bisa sedikit melihat sungai Moskwa. Jika cuaca cerah, ia rasa sepenggal pemandangan sungai Moskwa di sela dua gedung di depan jendela itu akan terlihat lebih jelas dan indah.
"Baiklah kawan, aku mau turun dulu untuk membelikan pengganjal perut untukmu. Kalau kau merasa ada yang perlu nitip sesuatu boleh?" Devid masuk kamar sambil menyeret koper hitam yang nampak berat.
"Aku ikut saja!"
"Tidak usah. Kau istirahat saja. Kau harus segera memulihkan tenagamu. Kau tulis saja apa yang kau perlukan. Pakai ini!" Devid mengulurkan pena dan secuil kertas dari sakunya.
"Baiklah." Ayyas menerima pena dan kertas lalu menulis apa-apa yang ia perlukan dalam dua
tiga hari ini. Ia menulis sambil bergumam,
"Kartu seluler, air mineral, teh, gula, susu bubuk, madu, biskuit, gelas, piring, sendok, sabun mandi, deterjen. Sudah." Lalu menyerahkan pada Devid.
"Itu saja?"
"Oh ya kalau ada tambah jahe untuk menghangatkan tubuh dan obat flu atau obat yang menurutmu cocok untukku yang kaget karena perbedaan musim ya."
"Sip. Aku akan coba cari. Satu jam lagi aku datang. Kau istirahat saja, atau menata kamarmu. Itu di almari ada selimut yang cukup untuk menghangatkan tubuhmu. Aku pergi dulu Yas. Oh ya mana paspor dan immigration card-mu sekalian aku uruskan local registration-nya."
Ayyas mengambil paspor dan mengulurkan kepada David.
"Immigration card-nya. terselip di dalam paspor. Oh ya Dev, arah selatan mana ya?"
"Kalau kau menghadap lemari berarti kau menghadap selatan."
"Terima kasih Dev."
Devid bergegas keluar. Ayyas menutup pintu kamarnya, menyalakan lampu kamar mandi, dan
mengambil air wudhu. Ia langsung shalat menghadap selatan. Ia merasa bahwa ujian imannya di Moskwa ini akan berat. Ia akan tinggal di Moskwa beberapa bulan, tidak sehari dua hari. Dan dua tetangganya adalah perempuan muda Rusia yang ia rasa tidak akan sama cara hidupnya dengan kebanyakan perempuan di dunia Timur. Ia kini berada di jantung kota Moskwa yang terkenal sebagai salah satu surge kehidupan bebas di dunia. Seluruh dunia maklum bahwa pengakses situs porno terbesar dunia adalah Rusia, dan Moskwa ibu kotanya.
Ayyas merasa dirinya akan sangat lemah, imannya pasti akan runtuh di Moskwa jika tidak
ditolong dan dijaga oleh Allah Ta'ala. Ia tahu seberapa kuat keteguhan imannya. Perang melawan
musuh di medan perang mungkin ia akan tetap teguh sampai tubuh gugur bersimbah darah.
Imannya tidak akan ciut dan runtuh oleh kilatan pedang yang mahatajam. Ia samasekali tidak
gentar. Tapi di hadapan fitnah kecantikan perempuan sejelita gadis-gadis Moskwa seperti Yelena, gadis pembawa biola dan gadis yang bersamanya di pesawat, ia merasa imannya perlahan bisa lumer bagai garam disiram air.
Ia merasa tidak punya benteng dan senjata apapun untuk menjaga imannya, kecuali berdoa memohon kepada Allah, agar iman yang ada di dalam hatinya tidak tercabut dalam kondisi apa
pun. Hanya Allahlah yang bisa menjaga imannya. Hanya Allahlah yang bisa menyelamatkannya
dari segala fitnah dan tipu daya setan. Tak ada yang lebih dahsyat dari rukuk dan sujud kepada
Allah Yang Maha Kuasa. Dan mohonlah pertolongan Allah dengan sabar dan shalat. Dan
shalat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk..
Ayyas tegak dalam shalatnya. Rasa takut akan fitnah perempuan menjalar ke seluruh syaraf dan
aliran darahnya. Hati dan pikirannya menyatu dalam bujuk haru kepada Allah. Dalam sujud ia
berdoa,
"Ya Allah rahmatilah hamba-Mu ini dengan meninggalkan maksiat selamanya, selama hamba-Mu yang lemah ini Engkau beri hidup di dunia ini. Duhai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati hamba-Mu ini memegang kuat agama-Mu, teguhkanlah hati hamba-Mu ini untuk taat kepada-Mu dan meninggalkan segala larangan-Mu. Amin."
Selesai salam, Ayyas langsung berdoa sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw.,
"Ya Allah hamba minta kepada-Mu kebaikan daerah ini, kebaikan penghuninya dan kebaikan
yang ada di dalamnya. Dan hamba berlindung kepada-Mu ya Allah dari buruknya daerah ini, dari buruknya penghuni daerah ini dan segala keburukan yang ada di dalamnya. Amin."
Selesai berdoa Ayyas kembali tegak mendirikan shalat Zuhur dan Ashar, jamak dan qashar.
Setelah itu Ayyas menghempaskan dirinya di atas kasur. Tak ada hitungan menit ia sudah terjatuh dalam tidur yang pulas, la samasekali tidak tahu ketika Devid datang membawa makanan dan barang-barang yang dipesannya. Devid tersenyum melihat sahabatnya itu tertidur begitu lelap.
Devid mengambil selimut di almari lalu menyelimutkan ke tubuh Ayyas. Ayyas hanya menggeliat pelan.
Devid mengeluarkan barang-barang dan makanan yang ia beli. Di antaranya membeli enam potong monti, daging giling yang dibalut tepung dan disiram mayonnese, dan dua wadah
kentang goreng. Ia menyantap tiga potong monti dan sebagian kentang goreng itu. Sebagian sengaja ia sisakan untuk Ayyas. Setelah itu ia menulis pesan di secarik kertas untuk Ayyas.
Cukup panjang. Ia lipat kertas itu, ia selipkan pada paspor Ayyas, lalu meletakkan paspor itu di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur Ayyas.
Devid lalu keluar meninggalkan apartemen itu sambil menenggak sebotol Vodka yang baru dibelinya. Ia harus menembus dinginnya Moskwa menuju stasiun pusat. Ia mengejar waktu untuk segera sampai St. Petersburg secepatnya, sebab besok ada ujian. Sebenarnya ia tidak enak meninggalkan Ayyas sendirian menghadapi hari-hari pertamanya di Moskwa.
Meskipun ia sudah banyak memberikan petunjuk waktu chatting dengan Ayyas sebelum Ayyas
terbang ke Moskwa, tetapi Moskwa tetaplah asing bagi Ayyas. Tapi ia ada ujian yang tidak bisa
ia tinggalkan. Hal yang membuatnya agak tenang adalah Ayyas bukan anak kecil. Bukan juga orang yang tidak berpengalaman. Ayyas sudah pernah hidup di negara orang, pasti bisa mengatasi setiap masalah yang menimpanya. Ia yakin Ayyas mampu. Ia sudah memberitahu Ayyas cara pergi ke KBRI jika memerlukan bantuan dari KBRI. Devid berjalan menembus salju yang halus turun perlahan, beberapa kali ia menenggak Vodka mengusir dingin.

***

Yelena duduk termangu di sofa kamar president suite Hotel Tverskaya Inn. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat profesional.
Kliennya menyampaikan rasa puasnya. Untuk kerja empat jam itu ia mendapat enam ratus dolar, bersih. Ia sudah mandi dan rapi. Ia melihat jam tangannya. Sudah saatnya ia pulang. Kliennya
sedang makan malam. Dan bukan tugasnya untuk menemani makan malam. Kesepakatannya;
ia hanya menemani sampai jam tujuh malam.
Yelena bangkit dan berdiri di depan cermin besar. Ia pandangi tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia memandangi wajahnya sendiri dalam-dalam. Mukanya yang halus dan manis, dagu yang menawan, muka lonjong dan bulat yang memesona, dua mata dengan tatapan
yang menyihir. Perlahan kedua matanya berkaca-kaca, lalu airmatanya meleleh,
"Tidak ada yang tidak mengakui kecantikanmu Yelena. Tapi apa sebenarnya yang kau cari? Untuk apa kau hidup sebenarnya? Bahagiakah kau dengan cara hidup seperti ini? Bahagiakah kau dengan ribuan dolar yang kau dapat dari para hidung belang itu? Inikah hidup terhormat di era modern yang kau dambakan? Bahagiakah kau Yelena? Bahagiakah kau Yelena?"
Ia mengatakan itu dengan setengah berbisik pada bayangan dirinya sendiri di cermin. Sebentar
kemudian tangisnya pecah. Ia merasa telah mengkhianati dirinya sendiri. Ia merasa tidak
mendapatkan kebahagiaan apa pun dari kemewahan yang ia dapat. Ia merasa setiap detik yang ia
lalui hanya menambah kering dan hampanya jiwa.
Ia merasa, setiap hari semakin bertambah rusak bangunan jiwa dan batinnya. Raganya memang nampak segar, penuh pesona. Ia masih bisa menari balet dengan lincah. Bahkan banyak yang memujinya awet muda, sehingga siapa pun yang berjumpa pertama kali dengannya akan mengiranya sebagai gadis muda yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Tetapi dialah
yang sesungguhnya paling tahu dirinya sendiri.
Dialah yang paling tahu apa yang terjadi pada batin dan jiwanya. Ia bahkan merasa sudah tidak
lagi sebagai manusia yang sepenuhnya manusia. Raganya memang cantik, la paham betul itu.
Namun jiwanya terus mengerang kesakitan. Ia jauh lebih memahaminya. "Yelena, Yelena, apa
yang kaucari selama ini?" Ia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sudah tiga tahun ia merasa tidak menjadi manusia. Sejak ia sampai di Moskwa dan bekerja
menjamu lelaki hidung belang, sebagaimana yang baru saja dilakukannya dengan kliennya, ia
merasa telah hilang kehormatannya sebagai manusia. Seringkali jiwanya menggugat. Hatinya merintih dalam diam. Batinnya bahkan sudah sangat kesakitan ingin berhenti. Akal sehatnya
ingin kembali hidup bersih, sebagai perempuan bersih, seperti saat ia merasakan damai dan bahagia bersama keluarganya dulu.
Tapi begitu ia bertemu dengan teman-temannya seprofesi, seperti Olga Nikolayenko, Rossa De Bono, Valda Oshenkova, Mavra Ivanovna, Kezina Parlova, Amy Lung dan lainnya, akal sehatnya seolah hilang, lenyap ditelan bumi.
Saat berkumpul bersama teman-temannya ia merasa bahwa pekerjaan ini tidak salah, bahkan
sangat nyaman, menyenangkan, sangat mudah, dan sangat menghasilkan. Ratusan dolar gampang didapat hanya dengan kerja beberapa jam saja. Ada banyak perempuan Rusia yang sedang antre untuk sukses bekerja seperti dirinya dan teman-temannya. Namun mereka belum memperoleh kesempatan. Kalau sudah begitu, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia; uang, kecantikan, dan dikagumi banyak pelanggan.
Lebih dari itu, dengan manajemen yang baik ia memiliki banyak kenalan laki-laki terpandang
dari pelbagai negara. Kliennya yang baru saja bersamanya adalah anggota parlemen dari Indonesia.
Lelaki itu bahkan menawarinya kalau mau ke Indonesia akan memperlakukannya seumpama ratu atau tsarina dari Rusia. Bahkan, kata kliennya itu, kalau ia ke Indonesia, dengan hanya bisa sedikit berbahasa Indonesia ia bisa main film atau sinetron televisi. Betapa ia merasa dihargai. Kalau ia tinggalkan profesi ini, apakah ada jaminan ia akan mendapat pekerjaan yang lebih
menguntungkan?
Olga, temannya yang paling senior mengatakan, dengan kecantikan yang dimilikinya, ia masih akan bisa duduk di jajaran papan atas wanita paling dikagumi klien; paling tidak empat tahun lagi. Jika sudah seperti itu, gugatan batin dan jiwanya menguap seketika. Ia merasa bahwa dirinya baik-baik saja, pekerjaan yang dilakoninya wajar-wajar saja, tak ubahnya dengan pekerjaan di bidang jasa lainnya.
"Apakah kau benar-benar bahagia Yelena, dengan cara hidupmu seperti ini?"
Ia masih di depan cermin berdialog dengan dirinya sendiri. Guratan rasa tertekan tergambar
pada wajahnya yang molek. "Tidak Yelena, bodoh kalau kau mengatakan dirimu bahagia! Bukan ini jalan yang kauinginkan sesungguhnya. Kau harus jadi manusia yang dihargai sebagai manusia yang memiliki jiwa dan kehormatan, bukan sebagai onggokan daging yang diperjual-belikan. Lalu apa bedanya dengan onggokan daging babi yang dijual kiloan di pasar-pasar?"
Setetes airmatanya jatuh. Hanya setetes. Yelena kembali duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah amplop berisi enam ratus dolar yang diletakkan kliennya di atas meja dekat jendela. Dua bulan lagi kontrak kerjanya dengan agen yang menyalurkannya selesai. Olga
Nikolayenko sebagai manajer agen, sudah dua kali 'memaksa'-nya agar memperpanjangan kontraknya. Ia belum bisa menjawab.
Jika tidak ia perpanjang, ia mau bekerja di mana ia tidak tahu. Dan apa pula reaksi Olga
Nikolayenko padanya nanti, ia juga tidak tahu.
Bekerja di toko hanya cukup untuk makan, ia tidak akan bisa bernafas di kota paling mahal di
dunia ini. Meneruskan kontrak berarti menyiksa batinnya sendiri. Ia terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba ia teringat keluarganya. Andai ia bisa kembali ke tengah-tengah damai dan tenteramnya keluarga seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ah! Setiap kali mengingat keluarga, harapan indah muncul, tapi rasa sakit hati tiada terkira juga muncul bersamaan. Ia sama sekali tidak salah. Apa dosanya sampai ia harus terbuang dari keluarga dan harus hidup menanggalkan harga dirinya sebagai manusia tiga tahun ini, dan entah sampai kapan? Apa dosanya? Jika
Tuhan itu ada kenapa tidak menolongnya? Kenapa membiarkannya dizalimi sedemikian menyakitkan? Mana keadilan yang dijanjikan oleh Tuhan dalam ajaran-ajaran agama? Karena itulah ia tidak lagi mengakui Tuhan. Ia sependapat dengan Olga dan Rossa Nikolayenko yang berpendapat, bahwa Tuhan hanyalah ilusi belaka. Tuhan hanyalah angan-angan manusia untuk menghibur diri ketika penderitaan dan rasa sedih tiba. Sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Ia hanya diada-adakan oleh orang yang kalah menghadapi kerasnya kehidupan. Sebab manusia memang tidak memerlukan Tuhan. Manusia lebih memerlukan jalan keluar yang nyata dalam menghadapi kehidupan, dibandingkan sekadar berilusi adanya Tuhan yang akan membantu.
Ia merasa telah mengalami sendiri kebenaran pendapat Olga, Rossa dan banyak manusia lainnya yang sependapat dengan mereka berdua. Saat ia sangat menderita; yaitu saat dicampakkan
dari keluarga, dicampakkan dengan cara yang sangat membuatnya sakit hati sampai saat ini,
Tuhan diam saja. Ketika dia sampai sekarat menjadi gelandangan di puncak musim dingin
Moskwa, Tuhan juga tidak hadir menyelamatkannya. Justru Olgalah yang membantunya, memberinya jalan keluar dan pekerjaan, sehingga ia bisa bertahan hidup di Moskwa sampai sekarang.
Ia ingin menengok keluarganya. Seperti apa wajah si kecil Omarov sekarang. Dia mungkin sudah bisa menyanyi. Seperti apa suara tawanya. Apakah kalau ia datang Omarov akan mengenalinya?
Ia ingin memeluk Omarov. Ia ingin merasakan bau badannya yang wangi bagai mawar di
musim semi. Kerinduan pada buah hatinya itu membuncah. Tapi dendam dan sakit hatinya seolah menghalanginya. Dan ia tidak tahu harus berbuat apa. Sementara dari detik ke detik jiwa dan batinnya ia rasakan seperti membusuk pelanpelan.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ada sms masuk. Dari Olga Nikolayenako. Mengabarkan ada klien istimewa dari Jepang.
"Kau sudah selesai kan? Ini ada ikan tuna dari Jepang. Istimewa. Kurasa kau yang paling tepat
memasaknya. Bumbu dan resepmu pasti cocok untuk ikan istimewa ini. Mau tidak? Kalau tidak
biar aku minta Mavra yang memasaknya. Segera balas."
Batin Yelena masih terasa perih. Ia melihat jam tangannya. Ya, sudah saatnya pulang. Ia punya
janji pada mahasiswa Indonesia bernama Devid, untuk membantu temannya yang baru
datang. Ia telah menyanggupi meskipun tanpa bayaran. Ia merasa harus beramal untuk sedikit
mengembalikan sifat kemanusiaannya. Ia takut telah ditunggu. Kasihan mahasiswa Indonesia
yang baru datang itu. Kasihan kalau dia kelaparan.
Yelena pernah merasakan betapa tersiksanya kelaparan di tengah musim dingin. Kasihan juga
kalau mahasiswa Indonesia itu sakit demam karena kaget pada perbedaan musim. Ia harus pulang.
Ia juga ingin berkenalan lebih dekat dengan mahasiswa itu. Ia yakin ia bukan jenis lelaki
buaya seperti kliennya yang sedang keluar makan malam. Dan ia tahu mahasiswa bukan orang yang banyak uang, tujuannya ke Moskwa pun bukan untuk senang-senang.
Yelena bangkit. Ia mengenakan paltonya. Memasukkan amplop ke dalam tasnya. Lalu keluar dari kamar itu dan meninggalkan kuncinya pada resepsionis. Dengan taksi Moskvick ia meluncur
ke apartemennya di kawasan Panfilovsky.
Tanpa ragu sedikit pun ia balas sms Olga Nikolayenko, dirinya tidak bisa memasak ikan
tuna dari Jepang yang katanya istimewa itu.
Di tengah jalan, ia sempatkan untuk mampir ke toko makanan milik orang Uzbekistan. Ia pesan
nasi plof dengan lauk jamur, bubur isi ikan smelt, kue kentang. Masing-masing dua porsi dan
satu botol besar Coca Cola. Ia ingin memberikannya kepada orang Indonesia yang tinggal satu
apartemen dengannya. Ya, semacam ucapan selamat datang. Kalau selama ini ia melakukan dosa, ia berharap dengan berbuat baik ada dosanya yang terhapus. Ia heran sendiri, ia sudah membuang kepercayaan adanya Tuhan, kenapa percaya dengan dosa? Ah, ia tidak mau rumit
memikirkannya.

***

Yelena sampai di apartemen, ketika Ayyas sedang shalat. Suara Ayyas membaca Al-Quran
ketika shalat terdengar jelas. Yelena agak tersentak. Yang dibaca Ayyas itu pernah ia dengar, pernah begitu akrab dalam telinganya bertahuntahun yang lalu. Ia teringat bagaimana ia juga
pernah rukuk dan sujud. Dulu, begitu damai. Yah itu dulu, sebelum ia dibuang dari keluarganya.
Dan sejak itu ia jadi agak benci dengan yang namanya agama. Semua agama, tak terkecuali Islam.
Suara Ayyas itu juga mengingatkan si kecil Omarov. Mungkin buah hatinya itu sekarang sudah
bisa membaca ayat-ayat suci itu. Kerinduan pada darah dagingnya itu kembali hadir. Ia ingin
Omarov ada di sisinya, meskipun ia tidak suka pada agama, mungkin ia akan bahagia jika Omarov yang membacakan ayat-ayat itu untuknya dan terus bersamanya.
Yelena mendengar salam Ayyas, tanda shalatnya telah selesai. Yelena menunggu beberapa saat. Keheningan tercipta. Yelena merasa sudah tiba saatnya. Ia mengetuk pintu kamar Ayyas. Perlahan Ayyas membuka pinta kamarnya. Yang pertama kali dilihat begitu pintu terbuka adalah
kecantikan wajah Yelena. Hati Ayyas berdesir.
Wajah cantik Yelena benar-benar nyaris menyihirnya. Ia gugup bertatapan muka dengan Yelena,
meski itu tidak sengaja.
"Mm...hai Yelena!" Sapa Ayyas dengan kegugupan sempurna.
"E hai, siapa tadi namanya, saya lupa, maaf."
"A... A... Ayyas."
"Oh ya, hai Ayyas."
"Ba.. baru pulang?"
"Iya. Jangan gugup begitu dong."
Ayyas diam membisu. Ia menata hati dan pikirannya. Ia ambil nafas perlahan-lahan untuk
menghilangkan kegugupannya. Perlahan ia sudah bisa mulai menguasai diri dan pikirannya yang
sempat oleng.
"Hai Ayyas, kok malah diam sih." Ucapan Yelena tiba-tiba memecah kebisuannya.
"Oh iya, ada apa?" Sambar Ayyas balik bertanya sekenanya. Kali ini dengan kegugupan yang nyaris hilang sempurna.
"Makan malam yuk. Saya membeli makanan untuk kita berdua."
Ayyas merasa ujian itu datang juga. Makan berdua dengan perempuan cantik seperti Yelena?
Ia berdoa kepada Allah agar menjaga diri dan imannya.
"Maaf saya baru saja makan, tadi sebelum shalat."
"Tolong jangan kamu tolak, ini hanya semacam ucapan selamat datang dari tetangga kamar."
"Aduh maaf Yelena."
"Tolong jangan ditolak kalau kamu menghormati orang Rusia." Tegas Yelena.
Ayyas terpaksa keluar dari kamarnya dan makan bersama Yelena di ruang tamu. Yelena
mengambil tempat duduk tepat berhadapan dengan Ayyas. Pemuda yang pernah kuliah di Madinah itu banyak menunduk, ia berperang melawan dirinya sendiri, berusaha sekuat tenaga
untuk menjaga pandangan.
"Kamu orang Islam yang taat ya?" celetuk Yelena seraya mengunyah makanan yang
dibawanya.
"Berusaha taat. Kalau kamu, maaf, Ortodoks ya?" Ayyas yakin dugaannya benar. Sebab mayoritas penduduk Rusia memeluk Kristen Ortodoks pasca runtuhnya rezim komunis Uni Soviet.
"Tidak. Dulu aku memang pernah memeluk suatu agama. Pernah Budha, pernah Konghucu,
pernah Ortodoks, dan pernah Islam?"
"Pernah memeluk Islam?"
"Ya pernah. Itu karena mantan suamiku agamanya Islam."
"Sekarang?"
"Aku tidak memeluk agama apa pun. Aku tak percaya lagi sama agama, juga Tuhan."
Ayyas kaget bukan kepalang mendengarnya. Ia serasa disambar petir yang menggelegar dari
petala langit ke tujuh. Memang, untuk urusan agama dan soal ketuhanan, Ayyas tergolong
sensitif. Terhadap orang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan di muka bumi ini, hatinya mudah mendidih. Lebih mendidih lagi terhadap orang yang menyinggung ataupun menghina agama yang dipeluknya, Islam.
"Innalillahl" seru Ayyas.
"Kamu jangan kaget. Di sini banyak yang tidak beragama. Menurut pengalamanku, agar hidup kita mudah dan mendapat banyak kemudahan memang kita tidak memerlukan agama, juga Tuhan. Adanya agama dan Tuhan itu malah bikin masalah!"
"Itu tidak benar. Agama hadir justru untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mendera
umat manusia."
"Ah itu cuma teori, kenyataannya tidak begitu. Hampir semua masalah manusia ini selesai karena hebatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusia. Bukan karena Tuhan. Sebab Tuhan itu yang mengada-adakan juga manusia. Kalau kita sepakat Tuhan tidak ada, ya
pasti tidak ada. Tuhan itu ada karena kita berpikiran dia ada." Jelas Yelena serius.
"Kau boleh mengatakan apa saja, sesukamu. Tuhan tetap ada. Meskipun seluruh penduduk
bumi ini mengatakan dan memercayai Tuhan tidak ada, tetap saja Tuhan itu ada. Tuhan sudah
ada sebelum alam semesta, termasuk dunia seisinya dan manusia ada. Sebab adanya Tuhan
itu termasuk kebenaran postulat."
"Apa itu kebenaran postulat, aku tidak mengerti?" tanya Yelena penuh penasaran.
"Menurut Immanuel Kant, kebenaran adanya Tuhan adalah kebenaran postulat. Yaitu kebenaran
tertinggi dalam tingkatan kebenaran. Kebenaran tak terbantahkan. Kebenaran yang berada di
luar jangkauan indera, akal dan ilmu pengetahuan.
Itulah yang disebut postulat, yaitu dalil teoretis yang berada di luar jangkauan pembuktian
teoretis. Ah Yelena, kau ini mau mengajak aku makan atau mau diskusi. Kalau mau diskusi
boleh saja, tapi sebaiknya kita cari waktu yang lebih tepat. Jujur saya perlu istirahat." Jawab
Ayyas serius, dengan mimik muka yang serius pula.
"Ah maaf, ayo kita makan, ini aku beli dari rumah makan Uzbekistan, dijamin halal."
"Hei, kau tahu halal?"
"Mau diskusi lagi?" Sahut Yelena, sambil tersenyum pada Ayyas. Sekilas melihat senyum Yelena hati Ayyas kembali berdesir. Kali ini desirannya lebih keras ketimbang tadi saat bertatap
muka dengan Yelena kala membuka pintu.
"Ya aku tahu. Sudah ku katakan aku pernah jadi orang Islam. Ayo makan."
"Kata teman saya, orang-orang Rusia banyak yang dingin, maaf. Tapi kamu berbeda ya."
"Ya seperti biasanya manusia. Ada yang dingin, ada yang hangat. Aku pun bisa dingin, juga
bisa hangat."
"Kau benar."
"Jadi mau berapa lama di Moskwa?"
"Rencananya cuma tiga bulan. Tapi bisa mundur, paling lama lima bulan."
"Kau kursus ya?"
"Tidak. Hanya penelitian untuk tesis magisterku. Aku harus menemui salah seorang Profesor
sejarah di Universitas Moskwa."
Tiba-tiba bel berbunyi.
"Itu pasti Linor. Baru pulang. Dia pasti lupa bawa kunci. Coba kulihat ya." Kata Yelena sambil
beranjak ke arah pintu. Sejurus kemudian pintu terbuka. Ayyas tetap berusaha tenang
menyuapkan bubur isi ikan smelt ke dalam mulutnya. Pandangannya menunduk pada bubur
yang dimakannya.
"Untung kau sudah pulang Yelena. Kalau tidak aku bisa jadi patung menunggu di luar. Kunciku ketinggalan, tadi tergesa-gesa sekali." Kata Linor sambil melepaskan palto dan sepatu
botnya.
"Sudah kuduga. Oh ya kita punya teman baru."
"Oh ya? Yang katanya dari Indonesia itu?"
"Ya."
Yelena dan Linor mendekati Ayyas. Linor menurunkan alat musik yang dibawanya. Ia menatap Ayyas yang menunduk khusyuk menikmati bubur ikan smeltnya.
"Ayyas, ini Linor. Duduklah Linor." Kata Yelena memperkenalkan.
Ayyas menaikkan pandangannya. Ia menatap Linor dan sedikit terkesiap. Yang ada di hadapannya adalah gadis yang tadi ia lihat di jalan. Gadis yang mau masuk BMW SUV X5
hitam. Gadis yang menenteng alat musik, yang kata Devid tidak kalah dengan Kate Winslet.
Beberapa detik mata Ayyas terpaku pada wajah Linor.
"Ya kenalkan saya Linor. Lengkapnya Linor E.J. Lazarenko." Ucap Linor mengenalkan diri. Resmi dan kaku. Dengan wajah tanpa senyum. Tanpa mengulurkan tangan untuk jabat tangan.
Ayyas merasakan kekakuan wajah Linor, meskipun cantik wajah itu kurang memancarkan
aura keramahan.
"Saya Muhammad Ayyas. Mahasiswa dari Indonesia." Jawab Ayyas.
"Pasti Muslim."
"Benar."
"Ternyata benar, banyak sekali penganut agama primitif itu." Desis Linor dengan nada
mencela. Kata-kata Linor membuat Ayyas tersentak bagai disengat Kalajengking. Ia sama sekali
tidak mengira gadis yang baru beberapa detik ia kenal namanya itu, akan mengintimidasinya
dengan kalimat yang sangat tidak bersahabat.
"Apa maksud Anda? Siapa yang Anda maksud penganut agama primitif? Orang-orang Muslim?"
geram Ayyas.
Yelena tahu apa yang terjadi. Ia tahu persis watak Linor selama ini. Ia bisa memprediksi
Ayyas pasti akan membela agamanya sampai mati. Siapapun kalau keyakinannya diusik tidak
akan rela. Kalau dialog itu diteruskan akan jadi perang kata-kata yang sengit. Maka sebelum
bibir Linor bergetar membalas ucapan Ayyas, Yelena langsung menyela,
"Linor sebaiknya kau istirahat saja di kamar. Kau pasti letih. Biarkan Ayyas menyelesaikan
makan malamnya bersamaku. Setelah itu biar dia istirahat. Besok perkenalan ini bisa kita lanjutkan dengan suasana lebih jernih. Dalam kondisi letih dan capek, akal pikiran sering tidak bisa berpikir jernih. Begitu kata orang bijak."
Dengan tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Linor bangkit dari duduknya, mengambil biolanya
dan melangkah ke kamarnya. Saat ia mau membuka pintu kamarnya, Yelena berkata,
"Selamat istirahat Linor!"
Linor menengok dan berkata, "Kalian juga." Lalu masuk dan menutup pintunya.
"Kelihatannya dia sangat letih, dan suasana hatinya sedang tidak baik. Maafkan kalau Linor
tadi menyinggung perasaanmu." Lirih Yelena pada Ayyas.
"Semoga temanmu itu bisa istirahat dan suasana hatinya kembali membaik." Jawab Ayyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar