Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 3)

Ayyas memejamkan kedua matanya. Dirinya benar-benar diuji oleh Doktor Anastasia. Ini
semacam ujian lisan. Ia harus menjawab dengan baik. Ia tidak mau Doktor Anastasia bercerita kepada Profesor Tomskii bahwa dirinya bodoh, buta tentang segala hal yang berkaitan dengan
ilmu sejarah. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya sebenarnya tidak perlu diuji lagi dengan
pertanyaan-pertanyaan sepele seperti itu. Sudah saatnya dirinya diajak berdialog sejajar dengan
siapa pun. Maka ia tidak mau menjawab seperti anak SD ketika ditanya oleh gurunya, jawabannya seperti hafalan, persis seperti yang tertulis dalam buku teks. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan cara yang sedikit berbeda. Dengan bahasa Inggris yang fasih, Ayyas berkata tenang,
"Wah saya merasakan banyak sekali manfaatnya Doktor. Misalnya, yang saya rasakan saat ini,
dengan mempelajari sejarah saya bisa mencium harumnya parfum seorang gadis cantik Rusia,
saya sesekali bisa memandangi wajahnya yang segar, saya bahkan bisa melihat kecantikan tsarina Rusia yang ditulis dalam buku-buku sejarah itu langsung. Bahkan lebih dari itu saya bisa melihat perpaduan kecantikan tsarina Rusia dan wibawa kaisar Roma. Pemandangan yang tidak
akan saya dapat kalau saya mempelajari Aritmatika yang hanya berjejal angka-angka.

Dengan mempelajari sejarah saya bisa mengenal sosok yang bisa menginspirasi untuk lebih
maju. Sosok yang masih sangat muda sudah meraih gelar doktor. Sosok yang tumbuh dalam murninya udara Novgorod, kota para kesatria. Sosok yang sejak kecil dijaga kesuciannya oleh ibunya yang teguh memegang ajaran agamanya.
Dengan mempelajari sejarah saya bisa melihat mukanya yang marah ketika gurunya mengajarkan teori Darwin. Sosoknya benar-benar murni. Di kamarnya, di depan cermin ia berkata sambil memandangi wajahnya, 'Kata Darwin kau keturunan kera. O tidak, tidak! Darwin itu bodoh! Kau keturunan ibumu yang anggun. Dan ibumu keturunan dari ibunya yang lebih anggun, begitu terus. Nenek moyangmu adalah manusia. Darwin salah menulis asal-usul manusia!
Dengan mempelajari sejarah saya bisa mencium aroma darah yang mengalir dari para penduduk
kota St. Petersburg ketika mati-matian mempertahankan kotanya dari serbuan Nazi Jerman
dalam perang dunia kedua. Juga saya bisa mencium aroma parfum gadis itu ketika ia duduk di
bangku St. Petersburg University.
Saya bisa merasakan angan-angannya untuk kuliah di Sorbonne, Paris, sehingga ia berdarah-darah mempelajari bahasa Perancis, sampai saya bisa mendengar dia berteriak-teriak melafalkan
kosa kata Perancis seperti orang gila di kamarnya. Tekadnya luar biasa. Lalu saya bisa melihat bening-bening tetes airmatanya ketika ibunya melarangnya pergi ke Paris. Ibu dan ayahnya memaksanya untuk ikut ke India karena tugas negara. Terpaksa ia kuliah di kota yang kumuh
dan sering banjir, di kota Calcutta. Tapi semangat gadis itu seolah melebihi Mahatma Gandhi, semakin sengsara semakin dahsyat. Di Calcutta, dengan segala penderitaannya ia bisa menyelesaikan masternya dengan gemilang, yang karenanya seorang profesornya mengusahakan
beasiswa untuknya di Cambridge University. Dan gadis itu akhirnya menyelesaikan doktor sejarahnya dengan gemilang. Salah seorang pengujinya langsung menariknya ke Moskwa untuk
menjadi asistennya.
Dengan mempelajari sejarah saya bisa memahami kenapa gadis itu mengepalkan tangannya di
depan patung Stalin. Saya bisa memahami kenapa ia menantang Stalin dengan mata merah menyala dan mengatakan, 'Hai Stalin, jika Herbert Morrison mengatakan bahwa kau adalah orang besar, hanya saja kau bukan manusia yang baik. Maka aku katakan kau adalah manusia kerdil dan bahkan tidak layak disebut manusia!' Saya juga bisa mendengar suaranya yang lembut ketika merayu Tuhan untuk memberikan tempat terbaik bagi ayah yang dicintainya ketika ayahnya itu meninggal. Dengan membaca dan mempelajari sejarah saya bisa merasakan pengalaman-pengalaman manusiawi yang indah, yang jika ditulis bisa menjadi karya sastra yang dahsyat dengan segala genrenya."
Kini Doktor Anastasia Palazzo yang gantian berdegup tak teratur jantungnya. Tubuhnya seperti
melayang karena merasakan efek dahsyat dari kata-kata Ayyas, yang sebenarnya menceritakan
perjalanan hidupnya sejak kecil sampai ia mengajar di Universitas Negeri Moskwa. Ayyas
menjawab manfaat mempelajari sejarah dengan bahasa sindiran yang halus. Hampir seluruh manfaat dan fungsi mempelajari sejarah telah diuraikan secara tersirat oleh Ayyas. Kegunaan sejarah yang dirumuskan Louis Gotschalk terjabarkan dengan indah. Kegunaan edukatif, instruktif, inspiratif, dan rekreatif terselip rapi dalam penjelasan Ayyas.
Bahkan manfaat sejarah seperti yang dirumuskan Robert Jones Shafer ada di ujung kalimat
Ayyas. Bahasa Ayyas bahkan terasa lebih anggun. Ketika Robert Jones Shafer mengatakan, di
antara manfaat sejarah adalah "memperluas pengalaman-pengalaman manusiawi", Ayyas
membahasakannya dengan "bisa merasakan pengalaman-pengalaman manusiawi yang indah,
yang jika ditulis bisa menjadi karya sastra yang dahsyat dengan segala genrenya."
Lebih dari itu, belum pernah ada orang yang menyanjung dirinya seindah dan seanggun Ayyas.
Meskipun Ayyas tidak terang-terangan menyebut namanya dalam sosok yang diceritakannya itu, tapi sosok itu adalah dirinya. Itulah yang justru membuat hatinya bergetar. Jujur ia ingin ada namanya disebut dalam penjelasan itu, tapi samasekali tidak disebut oleh Ayyas. Jiwanya sebagai perempuan muda yang suka dipuji kecantikan dan kelebihan-kelebihannya terbit. Maka ia tidak bisa mencegah hatinya untuk bertanya,
"S s siapakah sosok, yang katamu memiliki perpaduan kecantikan Tsarina Rusia dan wibawa
Kaisar Roma itu?"
Suara Anastasia bergetar, mukanya kemerahmerahan. Ayyas tersenyum. Ia merasa sudah di atas
angin.
"Doktor Anastasia adalah pakar sejarah jebolan Cambridge, pasti sangat menguasai teori
inrerprestasi sejarah. Silakan Doktor tafsirkan sendiri, siapakah sosok itu. Yang jelas sosok itu
jika gugup mukanya memerah, sehingga kecantikan tsarina tercantik pun lewat olehnya."
Tubuh Anastasia seperti melayang mendengarnya. Ada kebahagiaan dan keindahan luar biasa yang tiba-tiba dirasakannya. Dalam hati ia menjerit kecil, "Oh, puji untuk-Mu Tuhan!"

***

Hari mulai gelap. Salju tipis turun perlahan. Ayyas melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan stasiun Prospek Mira. Ia memilih berjalan daripada naik trem. Ia ingin benar-benar merasakan dirinya menyatu dengan bumi Allah yang bersalju. Dan salju-salju turun sambil terus bertasbih kepada Allah.
Ayyas melangkah melewati jalan yang digenangi salju tipis. Pohon cemara araukaria bergoyang
menggugurkan butiran-butiran salju dari pucuk-pucuk dedaunannya. Ayyas semakin menggigil, bibirnya terus berzikir. Masih empat ratus meter lagi jarak yang harus ia tempuh. Di depannya nampak stadion Olimpiski yang atapnya putih oleh sepuhan salju. Ayyas terus berjalan, tak lama kemudian ia belok kiri menyusuri jalan Durova. Sedetik kemudian kedua mata Ayyas melihat kubah bulat di sudut komplek Olimpiski. Ayyas semakin mendekat. Ia merasakan kebahagiaan luar biasa bahwa akhirnya ia melihat sebuah masjid.
Di Moskwa benar-benar ada masjid. Dan yang ada di hadapannya adalah masjid yang cukup indah.
Bangunan berwarna biru toska, kubah bulat, menara runcing dengan ujung bulat sabit. Itulah
masjid agung bagi umat Islam di kota Moskwa. Masjid paling besar di antara lima masjid. Orang-orang menyebutnya Moskovsky Soborni Mechet atau Masjid Agung Moskwa. Sementara orang-orang yang ada di KBRI, seperti Pak Akmal Hidayat menyebut masjid itu sebagai Masjid Pusat Prospek Mira atau Masjid Prospek Mira. Ada juga yang menyebut Masjid Olimpiski karena terletak nempel dengan stadion Olimpiski yang pernah menjadi tuan rumah olimpiade olahraga sedunia tahun 1980.
Ayyas memasuki masjid. Ada puluhan orang di dalam masjid yang sedang membaca Al-Quran
dalam kelompok melingkar. Azan Maghrib lima menit lagi. Ayyas mengambil air wudhu lalu duduk membaca Al-Quran tak jauh dari lingkaran. Azan berkumandang. Panggilan cinta dari Allah. Begitu sejuk, begitu merdu. Ayyas meneteskan airmata. Setelah berhari-hari di Moskwa, baru kali ini ia mendengar suara azan.
Dan baru kali ini ia akan shalat berjamaah di masjid.
Di Moskwa ada azan. Laa ilaaha ilallah! Tiada Tuhan selain Allah. Hati terasa damai. Suara
imam masjid ketika membaca Al-Quran dalam shalat begitu menyentuh. Ayyas merasakan shalatnya kali ini terasa sangat berbeda dan istimewa. Shalat berjamaah di tengah musim dingin di kota Moskwa. Setelah shalat sang imam membacakan tiga hadis dari kitab Sahih Bukhari lalu menjelaskannya secara ringkas dalam bahasa Rusia.
Setelah mendengarkan penjelasan sang imam, jamaah bubar. Ada yang shalat sunah. Ada yang
keluar masjid. Ada yang tetap duduk berzikir. Dan ada yang membaca Al-Quran. Ayyas shalat
dua rakaat lalu mendekati imam. Ia memperkenalkan dirinya kepada sang imam dan menyampaikan tujuannya berada di Moskwa. Imam itu berusia sekitar lima puluh tahunan. Masih gagah. Ia berasal dari kota Kazan, Tatarstan. Namanya H asan Sadulayev.
"Jadi kamu pernah kuliah di Madinah?" Tanya sang imam.
"Iya Imam." Jawab Ayyas.
"Alhamdulillah. Pernah belajar pada Syaikh Abu Bakar Al Jazairy?"
"Alhamdulillah pernah Imam."
"Alhamdulillah. Aku bahagia berkenalan denganmu. Jika kamu ada waktu, kamu bisa membantu memakmurkan masjid ini.
"Insya Allah, Imam."
"Terus sekarang sedang menyelesaikan master bidang sejarah. Kamu ke Moskwa ini dalam rangka penelitian untuk tesismu?"
"Benar, Imam."
“Tentang apa?
"Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan Stalin?"
"Bagus itu. Tapi kenapa pada masa Stalin saja?"
"Agar lebih fokus Imam."
"Kamu benar. Aku juga pernah membuat tesis seperti kamu. Bachelor aku selesaikan di Universitas Damaskus Syiria dan Master aku selesaikan di Birmingham, Inggris, dalam bidang
hukum Islam."
"O, masya Allah."
"Maksudku kenapa di masa Stalin saja, tidak juga masa Lenin. Menurutku kau akan tetap fokus
meskipun menggarap apa yang terjadi pada umat Islam di negeri ini pada masa Lenin dan Stalin. Pasti akan lebih mantap."
"Masukan dari Imam Hasan sangat saya pertimbangkan. Saya mendapat karunia tak terhingga
bertemu Imam. O ya Imam, ini jamaahnya cuma segitu jumlahnya?
"Malam ini agak sedikit karena cuaca yang dingin sekali. Biasanya ratusan, bahkan ribuan. Kalau hari Jum'at tidak muat. Kalau Ramadhan selalu penuh. Kita sedang merenovasi dan melebarkan beberapa sisi.
"Setelah ini kau mau ke mana?"
"Menunggu shalat Isya terus pulang Imam."
"Tinggal di mana?"
"Di sebuah apartemen di Panfilovsky Pereulok, dekat stasiun Smolenskaya."
"Dekat The White House Residence?"
"Ya. Di depannya Imam."
"Kalau begitu kau bisa ikut satu mobil dengan aku. Aku mau ke The White House Residence. Ada seorang teman lama saat kuliah di Birmingham dulu. Dia dari Spanyol sedang menginap di
sana. Aku ingin menemuinya."
"Terima kasih Imam, jazakallah khaira (Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) ”
"Wa iyyakum" (Dan semoga juga kamu (mendapat balasan kebaikan dari Allah)) Ayyas mengikuti Imam Hasan Sadulayev keluar masjid. Salju tipis sudah berhenti turun. Tapi angin dingin tetap berhembus agak kencang. Udara dingin membuat Ayyas mengatupkan rahangnya kuat-kuat dan giginya gemerutuk. Ia bersyukur memakai pakaian musim dingin lengkap standar Rusia. Jika ia memakai pakaian seperti pertama kali datang, pasti kakinya sudah kaku.
"Maaf kita harus jalan agak jauh." Kata Imam Hasan.
"Tidak masalah Imam. Tadi saya juga jalan dari stasiun Prospek Mira."
"Biasanya saya memarkir mobil di tempat parkir masjid. Tapi tadi pagi saya berangkat terlalu
dini. Jalan menuju masjid masih dipenuhi salju, petugas pembersih salju belum datang, sehingga
mobil saya parkir di jalan agak dekat stasiun Prospek Mira."
"Itu tidak jauh Imam."
"Alhamdulillah, kau benar-benar pemuda yang bersemangat."
"Sejak kapan Imam diamanahi masjid ini?"
"Sejak tujuh tahun yang lalu. Ah tunggu agak pelan sedikit. Kasihan Aminet, agak susah dia
mengikuti kita." Kata Imam Hasan sambil menengok ke belakang. Ayyas ikut menengok. Ia
baru menyadari kalau ada seorang perempuan yang berjalan dua puluh meter di belakang mereka.
"Istri Imam?" Tanya Ayyas.
"Tidak. Dia adik saya. Masih kuliah di MGU."
"Fakultas apa?"
"Kedokteran."
Mereka terus berjalan menapaki jalan bersalju. Ayyas langsung akrab dengan Imam Hasan, seolah keduanya adalah sahabat lama yang bertahun-tahun tidak bertemu. Jiwa keduanya seolah-olah pernah bertemu sebelumnya. Imam Hasan bercerita kalau dulu selama di Syiria ia banyak belajar pada ulama-ulama terkemuka Syiria seperti Syaikh Ahmad Kaftaro, Syaikh Muhammad Sa'id Ramadhan El Bouthi, Syaikh Nuruddin Itr, bahkan sempat juga belajar ilmu hadis pada Syaikh Abu Fattah Abu Ghuddah.
Akhirnya mereka sampai di tempat mobil diparkir. Imam Hasan membuka pintu mobil sedan yang atapnya tertimbun salju. Agak susah. Imam Hasan terus berusaha. Dengan sedikit kesabaran akhirnya pintu mobil terbuka. Beberapa jurus kemudian mobil itu sudah menyala. Ayyas masuk duduk di bagian depan, di samping Imam Hasan. Aminet duduk di bangku belakang. Mobil Zhiguli buatan Rusia itu lalu melaju perlahan-lahan. Roda-rodanya menyibak salju di jalan.
Mobil Zhiguli merah tua itu melaju ke selatan dengan tenang di atas aspal Stretenka Ulista, lalu
melewati Bolshaya Lubyanka Ulista. Tak lama kemudian sampai di bundaran dekat stasiun Lubyanka, lalu belok kiri menelusuri Teatralny Proezd. Ayyas seolah tidak mengedipkan kedua
matanya sedikit pun. Ia menikmati betul pemandangan malam di Moskwa di tengah musim dingin.
Kendaraan masih ramai. Di beberapa tempat mobil-mobil berjalan lamban seperti semut. Di
beberapa titik terjadi kemacetan. Mobil buatan Rusia yang sudah tua berbaur dengan mobil buatan Jepang yang mulai dekil. Mobil-mobil mewah terbaru juga nampak sesekali.
"Tahun 2003 yang lalu Rusia mengimpor mobil bekas dari Jepang besar-besaran. Akibatnya ya seperti ini, jalanan jadi penuh sesak." Kata Imam Hasan pada Ayyas.
Ayyas melihat beberapa papan reklame yang sangat berbau kapitalis. Papan-papan iklan berukuran besar-besar itu menawarkan produk industry modern Amerika, Eropa dan Jepang seperti minuman ringan, ponsel, jam tangan, bir, kosmetik dan produk-produk lainnya yang dulu pernah dikecam habis-habisan sebagai produk kapitalis. Produk-produk yang dulu dilarang masuk kini membanjiri Moskwa.
Imam Hasan membelokkan Zhigulinya ke arah Arbatskaya. Beberapa menit kemudian mobil itu sudah meluncur di atas aspal Arbat Ulista menuju stasiun Smolenskaya. Memasuki Panfilovsky
Pereulok, Imam Hasan berpesan pada Ayyas,
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di sini tidak ringan. Ini adalah Negara paling bebas di dunia. Penganut free sex, dan pengakses situs porno terbesar di dunia. Kebebasan di Amerika maupun Belanda sekalipun, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Rusia ini. Kamu harus ekstra hati-hati. Kalau kamu memerlukan bantuanku jangan segan."
"Baik, Imam." Jawab Ayyas.
Di depan The White House Residence, mobil itu berhenti. Ayyas turun dan langsung memasuki
apartemen yang ada di depannya, sementara Imam Hasan dan Aminet memasuki The White House. Ayyas menaiki tangga dengan hati bahagia.
Ia merasa menemukan satu sumber penelitian yang bagus. Ia bisa bertanya kepada Imam Hasan Sadulayev banyak hal. Dan pasti beliau akan bisa menunjukkan orang-orang Muslim Rusia yang bisa ditanya untuk pengumpulan datanya.
Ayyas sudah sampai di depan pintu apartemennya. Ia melihat jam tangannya. Pukul setengah sembilan. Yelena dan Linor mungkin sudah pulang. Jika mereka sudah pulang, ia berharap, Yelena tidak lagi memakai pakaian yang membuka aurat di ruang tamu. Dan Linor semoga
tidak seperti Yelena.
Ayyas membuka pintu dan terkejut bukan kepalang. Ayyas menyaksikan adegan yang tidak
boleh disaksikan oleh siapapun. Ayyas langsung memalingkan mukanya dan beristighfar sejadi-jadinya.
Di atas sofa Linor bergumul dengan seorang lelaki bule dan melakukan hal yang diharamkan
oleh semua agama. Tubuh Ayyas langsung kaku. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Hei kawan kenapa berdiri saja di situ, kemarilah!" Lelaki bule itu menyapanya dan terang-terangan
mengajaknya berbuat dosa besar yang tidak pernah dibayangkannya sama-sekali.
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Suara Imam Hasan langsung berdengung di telingannya dan menyebarkan
kekuatan iman ke seluruh syaraf-syarafnya.
Ayyas membaca istiadzah dan meludah ke kiri tiga kali. Lalu melewati ruang tengah dengan
cepat dan masuk ke kamarnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah dua setan terkutuk itu. Ayyas
membanting pintu kamarnya dengan keras. Ia mendengar sumpah serapah lelaki bule itu. Dan
sebentar kemudian ia masih mendengar suara kemaksiatan dari ruang tamu itu. Ayyas langsung
menyalakan laptopnya dan membunyikan murattal sekeras-kerasnya sampai ia merasa aman.
Ia tidak pernah membayangkan akan menyaksikan adegan kemaksiatan yang keji itu. Baru saja ia bertemu dengan orang saleh, yaitu Imam Hasan Sadulayev, dan mendapat banyak masukan dan nasihat yang indah, ia langsung berhadapan dengan sepasang setan berwajah manusia yang
melakukan perbuatan keji. Ia sedikit merasa beruntung, Imam Hasan baru saja menasihatinya,
"Bertakwalah kepada Allah selama di Moskwa ini, Saudaraku. Berhati-hatilah ujian imannya di
sini tidak ringan." Nasihat Imam Hasan itu sangat membantunya. Imam Hasan Sadulayev seolah
mengerti kalau dia akan menghadapi ujian iman yang dahsyat di Moskwa.
Ayyas mengambil air wudhu lalu shalat. Ia teringat sabda Rasulullah Saw., "Dan ikutilah
perbuatan dosa dengan amal kebaikan, maka amal kebaikan itu akan menghapusnya." Ia merasa
bahwa melihat adegan tidak senonoh itu, meskipun tidak ia sengaja adalah dosa. Ia bahkan
merasa dosa itu sangat besar, la sangat takut seolah ada gunung yang runtuh mau menimpanya. Ia ingin menghapus dosa itu dengan rukuk dan sujud kepada Allah Swt.
Dalam sujud berulang kali ia memohon ampun kepada Allah. Berulang kali ia ucapkan doa Nabi Yunus ketika berada di dalam perut ikan.
"Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau (ya Allah), sungguh aku termasuk orang-orang
yang zalim.".
Ayyas menangis memohon kepada Allah agar tidak diuji dengan ujian yang ia tidak mampu
melewatinya dengan selamat. Ia minta dilindungi oleh Allah, diteguhkan hatinya untuk tetap lurus memegang ajaran Islam yang mulia.
Ayyas masih tersungkur dalam sujudnya, murattal di laptopnya tetap menyala, tiba-tiba pintu
kamarnya digedor dengan sangat kerasnya.
Ayyas agak kaget. Ia lanjutkan shalatnya. Pintu kamarnya kembali digedor-gedor. Selesai salam,
Ayyas bangkit dengan kemarahan yang langsung menyala. Siapa yang tidak memiliki sopan santun itu? Mau apa dia menggedor-gedor pintu kamarnya seperti orang gila?
Ayyas membuka pintu kamarnya, dan di hadapannya seorang lelaki bule muda berdiri tegap memelototinya. Di belakangnya berdiri Linor yang berpakaian seadanya dengan mimik wajah yang sangat buruk. Bule itu hanya mengenakan celana panjangnya. Telunjuk kanan bule itu langsung menuding ke arah Ayyas, dan berkata kepada Ayyas dengan nada menghardik,
"Hai brengsek! Suara dari laptopmu itu mengganggu kami! Kau mau aku pecahkan laptopmu itu!"
Mendengar kata-kata yang sangat memusuhi dan mengintimidasi itu kemarahan Ayyas semakin
bertambah. Keberaniannya naik berlipatlipat.
Spontan Ayyas menjawab,
"Hai setan busuk, jaga mulutmu! Ingat, sekali lagi aku melihat kalian melakukan perbuatan keji
seperti binatang di ruang tamu ini, aku pecahkan kepala kalian!? Kalau melakukan perbuatan keji
itu pergilah sana ke kandang babi, jangan mengotori ruang tamu ini! Ruang tamu ini hanya untuk
manusia, tidak untuk babi-babi kurap seperti kalian!"
Bule Rusia itu mengatupkan rahangnya, giginya bergemeretak, matanya semakin memerah.
Amarahnya tidak tertahan lagi. Ia langsung menyarangkan pukulan ke rahang Ayyas. Ia ingin
menghajar Ayyas sejadi-jadinya. Tapi ia terlalu menganggap enteng Ayyas. Pemuda Indonesia
yang pernah belajar karate selama enam tahun sejak dari SMP itu dengan mudah mengelak,
bahkan langsung menyarangkan pukulan ke ulu hati bule itu. Bule itu terhuyung ke belakang.
Ayyas maju satu langkah. Pandangannya berputar menyapu seluruh ruangan dengan cepat.
Pertarungan tak terelakkan. Ia langsung mempelajari medan perang, sebab ia harus menang.
Kebenaran harus ditegakkan. Kekejian harus disingkirkan.
Lelaki bule itu mengumpat dan langsung mengambil kuda-kuda. Ayyas langsung tahu kemampuan apa yang dimiliki lawannya. Itu adalah yudo. Ayyas berdiri tenang. Matanya menatap lelaki bule itu dengan tajam. Ayyas memberi isyarat kepada bule itu agar menyerangnya
kalau berani. Bule itu bergerak cepat melancarkan tendangan lurus ke dada Ayyas dengan
kaki kanan. Gerakan Ayyas lebih cepat, dengan reflek ia menghindar ke samping kanan. Tendangan bule itu mengenai angin kosong. Belum sampai kaki kanan bule itu menjejak lantai, Ayyas sudah menendang selangkangan bule itu dengan tumit kaki kanannya sekeras-kerasnya.
Tendangan itu mengenai sasarannya. Dan terdengarlah bunyi "plak!" sangat keras. Linor yang menyaksikan hal itu menjerit dan gemetar. Bule itu mengaduh, hendak roboh. Saat kedua lutut bule itu hendak menyentuh lantai, Ayyas mengirim tendangan berikutnya dan tepat mengenai rahang bule itu. Seketika terdengarlah bunyi "krak!". Darah mengalir dari mulut bule itu. Tubuhnya tak ayal terpelanting dan kepalanya terbanting ke lantai.
Ayyas masih diamuk amarah. Ia masih hendak melumat bule itu. Ketika ia hendak mengayunkan
tendangan lagi ke arah kepada bule itu, Linor menjerit, "Tolong hentikan!" Ayyas mengurungkan
tendangannya. Ia lalu melangkah mundur dan berdiri tegap. Linor menghambur ke arah bule yang terkapar di lantai itu dan berkata,
"Oh Sergei, kau terluka. Sudahlah kita...."
"Aku tidak apa-apa Linor. Minggirlah kau. Berdarah seperti ini biasa bagi lelaki. Ini baru satu jurus, aku kurang waspada saja. Lihat saja, brengsek itu akan aku lumat seperti bubur!" Bule
Rusia bernama Sergei itu menepis tangan Linor dan bangkit.
"Jangan Sergei, sudah jangan diteruskan!" Tahan Linor. Tapi bule itu malah menempeleng muka Linor dan menghardik, "Diam kau pelacur!"
"Apa katamu, Sergei!?" wajah Linor bertambah buruk.
Sekuat tenaga Sergei menampar lagi wajah Linor dan berkata keras, "Diam!" Linor terpelanting.
Ayyas diam di tempatnya. Ia kini menyaksikan dua setan sedang bertengkar. Linor tidak terima begitu saja diperlakukan seperti itu oleh Sergei. Ia mengambil botol Vodka dan melemparnya ke arah Sergei yang telah menghadapkan wajahnya kepada Ayyas. Sergei tidak menduga sama sekali akan diserang Linor. Lemparan botol itu tepat mengenai pelipis kanannya. Botol itu pecah.
Pelipis kanannya muncrat darah. Sergei balik arah mengejar Linor. Yang ada dalam dirinya adalah nafsu untuk membunuh perempuan yang baru saja dizinainya.
Linor lari ke dapur dan melempari Sergei dengan segala benda yang ada. Dengan pelipis
berdarah, Sergei merangsek maju. Lemparan-lemparan Linor dengan mudah dihindari Sergei.
Akhirnya Linor terkunci di pojok dapur. Dengan sekuat tenaga Linor memukul dan menendang
Sergei. Tapi kekuatan lelaki itu sama-sekali bukan tandingan Linor. Sergei memukul mulut Linor
hingga berdarah. Lalu mencekik leher Linor sekuat tenaga. Linor meronta. Ia berada dalam
keadaan antara hidup dan mati, antara mati dan hidup.
Ayyas diam di tempatnya. Ia melihat dua setan saling bunuh. Ia mendengar Linor minta tolong
padanya dengan suara tersengat. Tapi ia tetap saja mematung di tempatnya. Namun, tibatiba
ia tersadar, jika Linor mati, urusannya akan panjang. Ia bisa terseret-seret ke permasalahan hukum Rusia yang bisa mencelakakannya. Bisa-bisa ia nanti yang dianggap membunuh Linor.
Dengan sangat cepat Ayyas melompat ke dapur dan melancarkan tendangan sangat keras ke lambung Sergei. Cekikan Sergei pada leher Linor terlepas. Sergei terpelanting, tapi langsung berdiri. Ayyas mundur kembali ke ruang tamu. Ia sangat waspada. Ia merasa pertarungan ini tidak main-main, lelaki bule itu pasti ingin membunuhnya, tidak sekadar melumpuhkannya.
Sergei menggeram dan menyerang Ayyas sejadi-jadinya. Ayyas mampu menghindari serangan
itu dan beberapa kali balik menyerang. Tapi Sergei seperti robot baja yang tahan pukul. Sergei
menyerang seperti orang gila. Dan satu ketika satu pukulan Sergei yang sangat keras mengenai
pundak kiri Ayyas. Ayyas terpelanting dan merasakan tulang pundaknya seperti patah. Sergei
menyeringai tenang. Ia menyerang semakin ganas.
Ayyas berusaha menghindar dengan pundak kiri terasa sakit. Ayyas terdesak. Akhirnya ia merasa tidak bisa tidak, ia harus menggabung karate dengan ilmu bela diri Thifan Po Khan.
Ayyas merasa pundak kirinya semakin nyeri, ia bisa tumbang jika tidak segera menyudahi Sergei.
Maka begitu ada kesempatan terbuka ia menyarangkan pukulan tenaga dalam andalan Thifan
Po Khan yang ia kuasai. Pukulan itu tepat mengenai dada kiri Sergei. Seketika Sergei mengerang
dengan darah muncrat dari mulutnya. Sergei terhuyung ke belakang dan merasakan rasa sakit
luar biasa. Ia merasa tidak kuat lagi melawan Ayyas. Sergei ambruk menggelosor bersandar
sofa. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan Ayyas padanya.
Ayyas berdiri merapikan pakaiannya. Pundak kirinya terasa sakit. Ia merasa ada tulang yang
patah atau ada tulang yang lepas dari engselnya. Linor berjalan pelan dari dapur. Ayyas menatap
Linor tajam. Pandangan mereka beradu.
"Hei setan, bawa temanmu itu pergi dari sini. Jika tidak aku habisi kalian berdua di sini. Cepat!"

Hardik Ayyas pada Linor dengan mata melotot. Linor tidak terima direndahkan oleh Ayyas yang selama ini ia sebut "Muslim brengsek." Tapi Linor tak berdaya apa-apa kecuali menuruti perintah Ayyas. Linor mendekati Sergei. Ia mengambil baju Sergei. Memakaikan baju dinginnya. Lalu ia merapikan dirinya sendiri, setelah itu ia memapah Sergei meninggalkan
apartemen.
Ayyas duduk melepas lelah di sofa ruang tamu. Ia tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.
Yang jelas ia telah menghajar lelaki Rusia yang kurang ajar itu. Ia tidak tahu apakah Sergei
akan selamat dari pukulannya apa tidak. Sebab selama ini ia hanya melatih pukulan itu dan tidak
pernah benar-benar menggunakannya pada manusia. Ia sebenarnya tidak ingin menggunakan
pukulan tenaga dalam itu, tapi ia sangat terdesak. Jika ia tidak melumpuhkan Sergei, ia yang akan dilumpuhkan bahkan dibunuh.
Ia jadi teringat ketika mempelajari Thifan Po Khan. Ia belajar ilmu bela diri Muslim China itu
justru ketika kuliah di Universitas Islam Madinah. Suatu hari ia olahraga dengan melatih jurus-jurus karatenya agar tidak lupa. Ia berlatih di tanah lapang di samping asrama. Saat ia berlatih,
Ahmad Wong, teman satu kelasnya dari Urwon, China melihatnya. Ahmad Wong mengajaknya
berlatih bela diri pada malam hari setelah shalat Tahajud. Ternyata Ahmad Wong adalah seorang
pendekar di daerahnya. Ia sangat menguasi Tai Chi dan Thifan Po Khan.
Sejak itu ia menjadi murid Ahmad Wong. Pendekar China Muslim itu mengajarkan Thifan Po Khan setiap minggu dua kali kepadanya. Mengajarnya setelah shalat Tahajud. Menurut penjelasan Ahmad Wong, Thifan Po Kang adalah salah satu ilmu kung fu andalan. Dalam bahasa
Urwun, Thifan Po Khan berarti Pukulan Tangan Bangsawan. Disebut demikian karena gerakan-gerakan dalam Thifan lebih halus dibandingkan beladiri sejenisnya seperti Syufu Taesyu Khan.
Sehingga Kung Fu yang halus ini dianggap cocok untuk para bangsawan.
Di negeri China, Thifan menjadi olahraga beladiri kalangan pesantren-pesantren yang lazim
disebut lanah. Konon, lanah berasal dari bahasa Arab lajnah, yang berarti panitia atau lembaga.
Layaknya pesantren di Indonesia, yang dipelajari dalam lanah tidak hanya ilmu beladiri, tetapi justru yang utama adalah ilmu-ilmu agama.
Kini istilah lanah sudah bergeser pemaknaannya. Lanah masih digunakan untuk menyebut sebuah padepokan latihan ilmu beladiri Thifan, meskipun tidak lagi berupa lembaga
pendidikan seperti pesantren.
Yang membedakan Thifan dengan ilmu beladiri lainnya, di antaranya adalah, di Thifan etika
Islami benar-benar ditegakkan. Kelompok latihan laki-laki dan perempuan senantiasa dilakukan
terpisah. Bahkan pelatihnya pun yang sejenis.
Gerakan-gerakan dan jurus antardua kelompok ini juga berbeda. Untuk kalangan perempuan lebih halus, namun memiliki kedahsyatan yang sama. Tidak berarti kalau gerakan perempuan lebih halus terus pasti kalah dengan laki-laki.
Setiap kali latihan harus dimulai dan diakhiri dengan doa pembuka dan penutup majelis layaknya majelis ilmu para ulama. Bahkan sering kali ditambah dengan majelis ilmu berupa kajian sirah nabi dan lain sebagainya. Itu juga yang dilakukan Ayyas bersama Ahmad Wong dan beberapa
mahasiswa Universitas Islam Madinah ketika latihan Thifan. Latihan dimulai dengan shalat Tahajud, lalu tadabbur satu dua ayat dari Al-Quran, baru latihan.
Ahmad Wong sangat serius dalam mengajarkan gerakan-gerakan dasar dalam Thifan mencakup pukulan, tendangan, sapuan, bantingan, serta elakan. Ahmad Wong juga melatih koprol dan salto, sebagaimana sering dilihat di film-film laga dari Hongkong. Latihan salto ini menurut Ahmad Wong sangat diperlukan untuk bertarung, terlebih jika dikeroyok banyak orang.
Ahmad Wong juga sangat disiplin melatih pernafasan yang baik. Dalam ilmu bela diri Thifan,
selain untuk kesehatan, latihan ini berguna untuk membangkitkan tenaga dalam dari tubuh yang disebut daht. Daht ada yang panas dan ada yang dingin. Jika latihan itu sering dilakukan siang
hari yang akan keluar adalah daht panas, yang jika sebuah pukulan yang disarangkan ke tubuh musuh dilambari daht ini, tubuh musuh yang kena pukulan bisa hangus. Dan jika latihan dilakukan pada malam hari, maka daht yang keluar adalah daht dingin yang dapat menjalarkan
rasa dingin membeku pada bagian tubuh lawan hingga ke pangkal tulang.
Kitab kuno yang menjelaskan ilmu bela diri Thifan adalah kitab Zho Dam. Dalam kitab itu menurut Ahmad Wong, Thifan merupakan ilmu perkelahian tersendiri dan merupakan pecahan
dari ilmu Tao Kungfu atau Kungfu Tao. Tae berarti dahsyat, sedangkan Kungfu berasal dari kata
kungfu yang dalam bahasa China berarti tekun, kebaikan, silat atau tenaga yang terpusat. Konon,
kitab Zho Dam itu merupakan sebuah kitab kuno tentang Thifan karya Ahmad Syiharani, seorang pendekar Thifan asal Urwun, China.
"Dengan menguasai Thifan, kita insya Allah aman, memiliki ilmu beladiri yang dahsyat, dan aqidah tetap terjaga. Yang paling penting jangan sampai kita takabbur dan berbuat zalim pada orang lain." Kata Ahmad Wong berpesan.
Ayyas sedikit pun tidak menyesal telah menyarangkan pukulan tangan bangsawan ke dada Sergei. Setan bertubuh manusia seperti Sergei harus diberi pelajaran yang setimpal. Kemungkaran tidak boleh didiamkan. Kemanusiaan harus ditegakkan. Seingatnya, ia melatih pukulan tenaga dalam Thifan itu "pada malam hari, kemungkinan daht yang mengenai Sergei adalah daht dingin. Ia penasaran, apa akibat yang dialami oleh Sergei karenanya. Apakah pukulannya bertaji ataukah tidak bertaji sama sekali? Kalau tidak bertaji samasekali berarti ia harus banyak berlatih lagi. Yang pasti, tak lama lagi Linor akan memberitahu apa yang terjadi pada Sergei.


***


Ayyas masih duduk melepas lelah di sofa ruang tamu ketika Yelena pulang. Perempuan muda
itu kaget bukan kepalang melihat ruang tamu yang berantakan. Pecahan gelas dan botol berhamburan di sana-sini. Kursi yang morat marit.
Dinding yang kotor oleh vodka yang botolnya pecah membentur dinding. Dan tetesan darah
yang berceceran di mana-mana.
"Apa yang terjadi Ayyas? Apa yang telah terjadi, kenapa semua berantakan begini?" Tanya Yelena gusar bercampur cemas.
"Linor datang membawa penjahat. Penjahat itu ingin membunuhku. Aku melawan sekuat tenaga. Terjadilah pertempuran. Dan kini penjahat itu entah diseret ke mana oleh Linor setelah aku lumpuhkan." Jawab Ayyas.
"Ceritamu terlalu singkat. Tolong ceritakanlah kronologisnya dengan detil kepadaku. Ini bukan
masalah kecil, kalau orang yang kau sebut penjahat ternyata anggota sebuah mafia. Kau pernah
dengar kan bagaimana kejamnya mafia Rusia? Ceritakanlah semua padaku jangan ada yang kaututupi, siapa tahu aku bisa memberikan masukan penting!"
Ayyas kemudian menceritakan apa yang terjadi, dari awal sampai akhir. Termasuk bagaimana
Linor mau dibunuh Sergei.
"Benar namanya Sergei?"
"Ya. Kenapa?"
"Dia anggota mafia?"
"Anggota mafia?"
"Ya. Dia anggota Voykovskaya Bratva, (Persaudaraan Voykovskaya) salah satu jaringan mafia yang ditakuti di Moskwa. Tapi jangan khawatir, Sergei tidak akan berani macammacam padamu."
"Kenapa kau berkata begitu. Apa jaminannya? Sergei bisa datang dengan anggota mafianya
menggeruduk rumah ini."
"Untuk kasus kali ini dia tidak akan berani."
"Apa karena sudah pernah aku lumpuhkan?"
"Bukan karena jera dia pernah kaulumpuhkan. Sama sekali tidak. Jika di tengah jalan kau bertemu dia pasti dia akan mengajakmu berkelahi lagi. Dia tidak akan menggeruduk kemari bersama anggotanya karena dia tidak ingin hubungannya dengan Linor diketahui oleh Boris
Melnikov, ketua mafia Voykovskaya Bratva. Sergei bisa ditembak mati. Linor atau Sergei juga tidak akan berani lapor polisi, jika itu terjadi malah akan membuat Boris Melnikov tahu segalanya. Ancamanmu paling berbahaya hanya jika bertemu Sergei lagi, pasti dia akan mengajakmu bertarung lagi sampai mati. Jika mengajakmu bertarung kurasa kau lebih beruntung. Yang repot kalau dia langsung menembak kepalamu dengan revolvernya tanpa peringatan apa pun." Jelas Yelena.
Dalam hati Ayyas berdoa semoga Sergei tidak bisa berjalan lagi, sehingga tidak membahayakan
siapa-siapa lagi.
Yelena meletakkan tasnya ke kamar. Lalu keluar lagi, mengambil sapu dan berusaha
membersihkan kaca-kaca yang berhamburan. Ayyas bangkit, ia merasa harus membantu Yelena, dengan berjongkok ia memunguti serpihan-serpihan botol yang pecah bercampur darah yang berceceran di lantai yang dilapisi parket kayu mengkilat itu. Darah juga membasahi beberapa bagian sofa dan karpet di bawahnya. Sambil memunguti serpihan-serpihan itu, Ayyas membayangkan jika tidak bisa melumpuhkan Sergei mungkin kepalanya juga akan pecah seperti botol itu. Lalu jasadnya akan dilempar dari jendela. Kemudian di koran Pravda akan keluar laporan ada orang Indonesia bunuh diri meloncat dari lantai tiga, kepalanya pecah membentur batu dan seluruh dunia akan percaya begitu saja.
Meskipun Sergei telah ia lumpuhkan, Ayyas meyakini bahwa masalahnya dengan Sergei tidak
akan selesai begitu saja. Sergei pasti akan menggunakan segala cara untuk membalas dendam.
Sergei tidak akan tinggal diam. Menghadapi kenyataan itu, Ayyas memasrahkan diri sepenuhnya
kepada Allah, Tuhan yang menghidupkan dan mematikan.
"Darah yang nempel di sofa dan karpet itu akan susah dihilangkan." Kata Yelena sambil tetap membersihkan serpihan kaca di lantai. "Aku mengkhawatirkan sesuatu." Sambung Yelena.
"Apa itu?" Tanya Ayyas.
"Kalau ada tetangga yang lapor polisi karena suara gaduh saat kalian berkelahi."
"Semoga tidak ada."
"Kalau ada urusannya akan panjang. Darah yang menempel di sofa itu bisa jadi perkara yang
berbuntut tidak baik."
"Semoga tidak." Sahut Ayyas sambil menenteramkan dirinya. Jika ia sampai berurusan dengan polisi, atau bahkan sampai berurusan dengan pengadilan, maka rencana yang ia susun selama di Moskwa bisa berantakan semuanya. Maka setelah membersihkan ruang tamu itu, Ayyas masuk kamar dan kembali sujud memohon pertolongan Allah. Ia meminta kepada Allah agar diselamatkan dari orang-orang yang zalim. Ia berdoa, "Allahumma ahlikizh zhaalimina bizh zhaalimin (Ya Allah hancurkanlah orang-orang yang zalim dengan orang-orang yang zalim).”


***

Mobil BMW SUV X5 hitam itu meluncur cepat ke utara meninggalkan pusat kota Moskwa.
Setelah melewati Tlmiryazevskaya mobil itu belok kanan. Seorang perempuan muda duduk di
kursi sopir, di sebelahnya seorang lelaki dengan muka berdarah terkulai lemah. Bibir lelaki itu pucat menahan dingin yang luar biasa. Mobil terus berjalan kencang menembus dinginnya malam dan salju yang tipis turun perlahan.
"T..tolong, bawa aku ke rumah sakit Linor. T..t..tolong." Rintih lelaki itu.
Linor diam seribu bahasa. Mukanya sangat dingin menyiratkan kemarahan luar biasa. Ia sudah
tahu apa yang harus ia lakukan pada lelaki yang ada di sampingnya. Kali ini ia sudah tidak
mungkin memaafkannya.
"Linor, bawalah aku ke rumah sakit. Aku bisa mati kedinginan! Aku tidak kuat lagi Linor!"
Lelaki itu ingin bergerak tapi seluruh tubuhnya seperti lumpuh. Tulang-tulangnya seperti telah membeku. Jika ia punya kekuatan ia ingin menghajar Linor yang sudah tidak menganggapnya
sama sekali.
Di sebuah tempat yang gelap dan sepi Linor mengganti plat mobilnya dengan sangat cepat. Ia
lalu kembali masuk ke mobilnya dan menjalankan mobilnya kembali ke Timiryazevskaya.
Salju terus turun perlahan. Linor membawa mobilnya terus ke utara hingga melewati hutan
bereozka.
"Aaakh!" Lelaki itu mengerang pelan lalu diam. Kedua matanya mel'otot ke depan. Linor sama sekali tidak memerhatikannya. Yang ada dalam benaknya adalah membawa lelaki yang kini sangat dibencinya itu ke suatu tempat untuk dihabisinya. Ia tidak bisa melupakan rasa sakitnya
saat nyaris mati dicekik oleh lelaki itu.
Mobil terus melaju. Setengah jam kemudian belok kiri memasuki jalan agak sempit yang bersalju tebal. Linor bekerja keras agar bisa melewati salju itu dengan baik. Mobil terus maju
perlahan-lahan. Setengah jam kemudian Nampak bangunan gudang tua yang hitam. Atapnya tertimbun salju belasan sentimeter. Tempat itu benar-benar sunyi dan gelap. Tak ada suara yang terdengar selain mesin mobil dan desau angin malam. Linor menghentikan mobilnya di jalan
depan halaman gudang itu. Ia turun dari mobilnya. Lalu berjalan ke arah pintu depan satu. Ia membuka pintu itu dan menghardik lelaki itu,
"Hai Sergei ini saatnya kau ketemu iblis di neraka!"
Sergei diam saja. Tidak bergerak sama sekali.
"Hai mana kepongahanmu Sergei? Bicara Sergei!"
Tetap diam. Linor agak curiga. Ia periksa tubuh Sergei. Dingin dan kaku. Ia periksa nadinya,
tak ada denyutnya sama sekali. Sergei yang akan dibunuhnya itu telah mati beberapa saat yang
lalu. Linor agak kecewa, karena Sergei tidak mati di tangannya. Ia ingin merasakan kepuasan
menghabisi orang yang ingin membunuhnya.
Orang yang sebelumnya ia cintai dan ia ajak berzina, tapi sedetik kemudian sangat ia benci
setengah mati.
Linor tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menurunkan mayat Sergei dan membiarkannya
berdebam begitu saja di atas salju. Ia lalu lari ke dalam gudang. Ia mendapat beberapa pakaian bekas, kain serbet dan ember. Linor menyeret mayat Sergei, lalu melucuti semua pakaiannya. Setelah itu ia menyiram mayat Sergei dengan air, di bagian tertentu ia menggosoknya dengan kain lap. Setelah Linor yakin mayat itu aman ditinggal, tidak ada DNA dirinya yang nempel pada
mayat itu, Linor memakaikan pakaian bekas pada mayat itu. Kemudian menyeret mayat itu ke jalan beberapa puluh meter di belakang mobil. Linor meninggalkan mayat itu tergeletak begitu saja.
Linor kembali ke halaman gudang. Seluruh pakaian Sergei yang dilucutinya ia bungkus dalam sebuah kain bekas dan ia masukkan ke jok belakang mobilnya. Setelah mengembalikan ember
dan beberapa kain ke tempatnya Linor menjalankan mobilnya terus ke depan. Salju turun
perlahan. Lima belas menit kemudian mobil mewah itu sudah kembali menapak di jalan raya
yang lebar. Jalan sudah tidak padat lagi. Linor memacu mobilnya agak kencang. Ia tetap
memasang kewaspadaan tinggi, memastikan bahwa tidak ada yang mengetahui peristiwa itu.
Linor kembali memasuki pinggir kota Moskwa, menuju kawasan Skakovaya. Ia membawa
mobilnya melewati gang sempit. Salju yang menumpuk terlalu tinggi. Ia berhenti. Dengan cepat
ia kembali mengganti plat nomor mobilnya. Setelah itu ia mengambil bungkusan kain dari jok
belakang. Ia tinggalkan mobilnya begitu saja. Dan dengan sedikit tergesa-gesa ia melangkah
memasuki bangunan tua yang tidak dihuni siapa-siapa.
Dengan sedikit sinar dari ponselnya yang menyala ia menemukan sebuah kotak tua di pojok
ruangan. Ada senter kecil, bensin dan korek api. Ia memeriksa bungkusan itu.
Yang pertama ia ambil adalah ponsel milik Sergei. Dari ponsel itu ia mengirim sms kepada sebuah nama, tepatnya seorang bernama Yvonna Melnikova, mengajak untuk bertemu di sebuah
cafe malam di Arbatskaya. Lalu ia mengirim sms kepada saudara tua Yvonna yang bernama Boris Melnikov, isinya minta izin berkencan dengan adiknya di Arbatskaya. Baru setelah itu, dengan ponsel yang sama ia menelpon sebuah cafƩ malam di Arbatskaya. Ia membesarkan suara
menjadi suara lelaki dewasa. Dalam telpon ia memesan tempat untuk dua orang, namanya Sergei Gadotov dan Yvonna Melnikova.
Setelah itu Linor membakar seluruh barang milik Sergei, sampai benar-benar jadi abu, kecuali
ponselnya. Sebab ia masih ingin bermain dengan ponsel Sergei Godotov itu. Setelah yakin tidak ada yang tersisa, ia kembali ke mobil dan mengendarainya dengan cepat kembali ke apartemennya.
Salju terus turun pelan-pelan. Ia tersenyum dan bahagia sekali melihat salju turun. Ia berharap
bahwa salju itu akan terus turun sampai jam delapan pagi. Dengan begitu mayat Sergei akan sepenuhnya tertutup salju secara alami, dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh roda mobilnya
juga terhapus dengan sendirinya.
Sampai di apartemen ia kaget ruang tamu telah rapi. Kamar Ayyas dan Yelena gelap, berarti sudah tidur. Ia teliti dengan seksama ruang tamu itu. Bekas yang tersisa adalah noda darah yang
terlihat jelas di karpet dan sofa. Linor menggeser sofa dan mengangkat karpet dengan agak susah.
Ia gulung karpet itu dan membawa ke kamarnya. Ia mengeluarkan karpet baru dari bawah kolong
tempat tidurnya dan memasukkan karpet bernoda darah itu ke sana. Karpet baru itu memiliki warna yang sama persis dengan karpet lama. Mereknya juga sama. Linor lalu memasang kapet baru itu di ruang tamu. Ia yakin, bahkan Yelena sekalipun jika tidak teliti tak akan mengira kalau karpetnya telah diganti.
Setelah itu Linor membersihkan bercak darah yang ada di sofa dengan keterampilan khusus yang dimilikinya. Noda itu pun nyaris hilang, meskipun tidak seratus persen. Linor kembali memeriksa kamar tamu dan dapur dengan seksama. Setelah yakin tidak ada yang mengganjal
di dalam hatinya, ia masuk kamar lalu memejamkan kedua matanya. Ia yakin pagi-pagi sekali akan ada polisi yang datang memeriksa. Sebab ia yakin ada yang melaporkan kegaduhan yang baru terjadi, atau mungkin ada yang melihatnya membawa Sergei Gadotov yang berdarah
keluar dari apartemen.


***


Ayyas terbangun setelah alarm dari ponselnya melengking-lengking hampir satu menit. Ia
mendengar percakapan dua orang di ruang tamu.
Suara Yelena dan Linor. Tidak biasanya mereka bangun sepagi ini. Ayyas menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu bangkit untuk mengambil wudhu dan shalat Subuh. Setelah itu berzikir dan membaca Al-Quran. Dua puluh menit kemudian Ayyas keluar dari kamarnya.
"Kak Dela (Apa kabar) Ayyas?" Sapa Yelena begitu melihat Ayyas menyembulkan kepalanya
dari pintu kamarnya.
"Ya Vso Kharasyo (Saya baik-baik saja)." Jawab Ayyas.
"Mungkin sebentar lagi polisi akan datang." Kata Linor dengan wajah dingin.
"Jadi kau melaporkan aku ke polisi?" Sahut Ayyas.
"Tidak. Buat apa?" Tukas Linor.
"Ya kau mungkin tidak terima pacarmu itu aku lumpuhkan."
"Justru aku ingin dia mati saja. Kau lihat kan tadi malam dia aku lempar pakai botol sampai
berdarah."
"Terus kenapa polisi datang kemari?"
"Ya mungkin ada tetangga yang melaporkan adanya kegaduhan tadi malam. Atau ada yang
melihat aku membawa Sergei yang berdarah-darah."
"Kalau ada yang melaporkan adanya kegaduhan, pasti polisi datangnya langsung tadi
malam kan?"
"Seharusnya begitu. Tapi tadi malam salju turun, bisa jadi polisi malas. Dan baru pagi ini
mereka datang kemari."
"Terus kalau polisi datang kita harus bagaimana? Atau kalian ingin aku dipenjara?" Kata
Ayyas blak-blakan.
"Tidak. Jika polisi datang biar kami yang menghadapi. Kami yang orang Rusia. Kamu sebaiknya
diam saja di kamarmu. Kalau polisi masuk juga ke kamarmu dan bertanya ini itu, pura-pura tidak bisa bahasa Rusia saja." Kali ini Yelena yang menjawab.
Dugaan Linor benar. Belum sempat mereka menambah pembicaraan, pintu diketuk berkali-kali.
Linor beranjak ke pintu dan mengintip dari lubang pintu. Ia lalu berkata dengan tanpa suara
mengisyaratkan yang datang adalah polisi.
Yelena minta Ayyas masuk ke kamarnya. Ayyas menurut tanpa membantah sedikit pun, jantungnya berdegup kencang. Ia duduk dengan pasrah. Yang ia khawatirkan adalah jiwa dua perempuan itu sepakat untuk memfitnah dan mengirimnya ke penjara. Ia sudah mulai tahu
bahwa Linor sangat tidak menyukai dirinya, hanya karena dirinya seorang Muslim. Jadi, meskipun ia telah menyelamatkan nyawa Linor, tidak ada jaminan bahwa Linor telah berubah
pandangan terhadapnya.
Linor membuka pintu. Dua polisi masuk dan menjelaskan maksud kedatangannya.
"Ada yang melapor kepada kami, tadi malam di sini telah terjadi kekacauan, dan ada yang terluka. Apa benar?" Tanya seorang polisi berwajah lonjong.
"Iya benar. Tapi sebenarnya cuma kekacauan kecil biasa." Jawab Linor.
"Kekacauan kecil bagaimana? Katanya ada yang berdarah-darah, ada suara minta tolong segala." Cecar polisi satunya yang lebih berumur bernama Kirsanov.
"Ah Tuan ini seperti tidak pernah muda saja. Yang bertengkar itu saya tadi malam. Saya dengan pacar saya. Biasa Tuan, karena cemburu. Saya melemparinya botol-botol vodka dan wiski. Salah satunya mengenai pelipisnya. Dia berdarah. Hanya luka kecil. Tapi kami sudah baik lagi."
"Di mana pacar Anda itu sekarang? Namanya siapa?"
"Sekarang istirahat di rumahnya Tuan. Namanya Potseluyev. Dia tinggal di sebuah apartemen kecil di kawasan Semenovskaya. Tuan bisa mengeceknya ke sana." Jawab Linor dengan
sangat yakin.
"Berarti Anda dan pacar Anda harus dibawa ke kantor polisi. Karena kalian mengganggu
ketenangan." Tegas polisi Kirsanov.
"Ini kan cuma persoalan kecil anak muda Pak. Kenapa harus diperbesar, seperti Bapak tidak pernah muda atau tidak punya anak remaja saja." Bantah Linor.
"Dia benar, Pak Kirsanov. Tidak usah diperpanjang. Yang melaporkan kakek tua yang egois
itu. Hampir setiap minggu dia lapor. Ada-ada saja yang dia laporkan ke polisi." Polisi berwajah
lonjong memperkuat bantahan Linor.
Polisi bernama Kirsanov diam sesaat, matanya melihat ke seluruh ruang tamu. Ia mencari-cari
kalau ada yang mencurigakan. Setelah merasa tidak' menemukan apa-apa, ia berkata, "Baiklah.
Kali ini kami maafkan. Lain kali kalau rebut dengan pacar jangan sampai mengganggu orang
lain ya."
"Baik Tuan. Oh ya jadi memerlukan alamat pacar saya?" Kata Linor.
"Ah sudah tidak perlu." Jawab Kirsanov. Kedua polisi itu lalu pergi meninggalkan apartemen.
Yelena bernafas lega. Ayyas juga menarik nafas lega. Ia telah mendengar pembicaraan dua polisi
itu dari kamarnya. Ia bisa melewati hari-hari di Rusia dengan tenang.
Ayyas keluar dari kamarnya. Ia pura-pura bertanya,
"Bagaimana, mereka sudah pergi?"
"Tak ada masalah apa-apa. Mereka sudah pergi." Terang Yelena.
"Alhamdulillah." Jawab Ayyas.


***


Tidak seperti biasanya yang agak acuh tak acuh dengan dandanannya, kali ini Anastasia Palazzo mematut-matutkan dirinya di depan cermin hampir setengah jam. Ia memoles wajahnya seanggun mungkin. Sebelumnya lima kali ia ganti setelan pakaian atas dan bawah yang pas.
Akhirnya ia memilih sweeter ketat berwarna pink yang ia beli di Amsterdam tiga bulan yang lalu, dan celana jeans merah hati yang ia beli di Berlin.
Setelah merasa yakin bahwa keanggunannya benar-benar sekelas atau sedikit di atas para tsarina,
barulah ia memakai palto berkerah panjang, penutup kepala, syal, kaos tangan dan sepatu musim
dinginnya. Setelah itu ia beranjak keluar meninggalkan kwartina-nya. yang terletak di sebuah
gedung bertingkat tak jauh dari galeri Tretyakov yang terkenal.
Ia hampir lupa membawa sebuah buku penting tentang teori sejarah total. Ia ingin menghadiahkan buku itu kepada Ayyas. Anastasia masuk ke dalam mobil Toyota Pradonya yang
berwarna putih. Sejak bisa membeli mobil ia selalu mengendarai sendiri mobilnya. Pagi itu ia
lebih bersemangat pergi ke universitas dari harihari sebelumnya. Ia ingin segera sampai kampus,
lalu masuk ke ruang Profesor Tomskii kemudian bertemu Ayyas dan memberikan sedikit materi
sejarah total kepada Ayyas.
Setelah itu ia akan minta kepada Ayyas untuk pergi ke perpustakaan, sementara dirinya memberi mata kuliah kepada mahasiswa S1. Saat makan siang ia akan memanggil Ayyas menemaninya makan sambil berdiskusi tentang tema-tema Asia Tenggara kontemporer.
Anastasia sampai kampus lima belas menit lebih awal dari biasanya. Bibi Parlova yang seperti
biasa berkerudung kozinka putih dengan cekatan menyediakan teh. Perempuan tua itu seperti tidak pernah mengganti pakaiannya. Setiap hari selalu sama.
Anastasia membaca ulang buku penting tentang teori sejarah total yang ada di tangannya. Ia larut dalam bacaannya. Tak terasa sudah satu jam lebih ia berada di ruangan Profesor Tomskii, tapi Ayyas belum juga datang. Ia melihat jam dinding, seperempat jam lagi ia harus memberi mata kuliah kepada mahasiswa SI. Ia agak kecewa. Seharusnya Ayyas sudah datang empat puluh menit yang lalu. Kenapa ia terlambat sekali, bahkan belum juga datang. Rasa kecewa itu perlahan berubah jadi amarah. Tapi ia berpikir kenapa mesti harus ada amarah yang terbit dalam
dirinya? Ia merasa ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan dalam dirinya. Keanehan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berusaha menepisnya, tapi tak bisa. Ia juga berusaha meredakan amarahnya, tapi gagal begitu saja.
Ayyas benar-benar tidak datang sampai Anastasia Palazzo masuk kelas.
Kali ini Anastasia mengajar tidak dengan konsentrasi penuh. Amarahnya kepada Ayyas yang
ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja hadir, membuat sebagian kecerdasannya hilang. Doktor
muda itu hanya bertahan dua puluh menit di kelas, selebihnya ia memberi tugas kepada mahasiswa untuk pergi ke perpustakaan dan membaca buku sejarah pendirian kota Moskwa kemudian membuat ringkasannya.
Anastasia masih berharap Ayyas akan datang. Ia kembali ke ruang Profesor Tomskii. Ternyata
tidak juga datang. Sampai waktu makan siang tiba, Ayyas tidak juga menampakkan batang hidungnya. Anastasia benar-benar marah bercampur malu pada dirinya sendiri. Ketika ia berdandan dan tampil seanggun mungkin, orang yang paling ia ingini untuk melihat penampilannya malah tidak datang.
Kenapa ia ingin Ayyas melihat penampilannya? Ini yang membuat dirinya malu. Ia tidak tahu sebabnya. Apakah ia jatuh cinta pada pemuda Indonesia itu? Ia tidak berani mengatakan iya. Harga dirinya mencegahnya untuk mengakui itu. Kalau ia tidak tertarik pada pemuda itu kenapa ia ingin pemuda itu melihat penampilannya? Belum pernah ia menginginkan orang lain melihat penampilannya sebelumnya seperti yang ia inginkan pada Ayyas.
Kalau ia tertarik pada Ayyas, apa menariknya pemuda itu?
Apakah ia tampan? Tidak. Para pemuda Rusia menurutnya lebih tampan dan lebih gagah. Pemuda itu masih kalah gagah. Apakah ia cerdas? Mungkin. Tapi ada doktor Rusia yang tampan
dan masih muda yang menurutnya lebih cerdas dari Ayyas. Doktor muda itu pernah mendekatinya melalui Profesor Tomskii, tapi ia sama sekali tidak tertarik padanya. Ia bahkan
muak mendengar suara yang keluar dari mulutnya.
Apakah karena Ayyas kaya? Jelas tidak. Ia tahu pemuda itu pasti tidak kaya, lazimnya para
mahasiswa Indonesia yang hidup pas-pasan. Ia yakin Ayyas tidak jauh keadaannya dari mereka.
Terus kenapa ia tertarik pada Ayyas? Ia sendiri tidak bisa menjawabnya. Anastasia mondar-mandir di ruang Profesor Tomskii. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mau membaca tidak lagi bisa konsentrasi. Mau makan sudah tidak berselera. Mau merampungkan tulisannya sudah tidak mood sedikit pun. Mau pulang ke apartemen belum saatnya pulang. Ia benar-benar bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Nyaris seluruh kecerdasannya yang selama ini ia bangga-banggakan, menguap bagai asap yang ditiup udara ke angkasa raya. Dalam geramnya diam ia memendam kebingungan dan kegalauan, kegalauan dan kebingungan.
"Ini semua gara-gara dia tidak datang. Kenapa aku bisa seperti orang dungu begini?" Kata Anastasia pada dirinya sendiri. Lalu tiba-tiba amarahnya yang belum sepenuhnya sirna kembali
datang, "Pemuda itu sama sekali tidak menghormati aku sebagai pembimbingnya. Kalau dia tidak datang seharusnya izin atau mengirim pemberitahuan, tidak seenak perutnya seperti ini. Dasar orang tidak tahu disiplin!" Umpatnya pada Ayyas lirih penuh kejengkelan yang hanya ia sendiri yang mendengarnya.
Doktor Anastasia lalu duduk dan iseng membuka ponselnya. Ada dua sms masuk. Ia buka. Yang pertama dari Profesor Lyudmila Nozdryova memintanya untuk menjadi pembicara seminar di
fakultas kedokteran tentang ketuhanan, sekaligus minta supaya dicarikan satu pembicara lagi.
Yang kedua dari Ayyas. Hatinya langsung berdesir. Desiran sempurna, yang hanya dia sendiri yang bisa merasakannya. Ternyata pemuda itu telah mengirim sms sejak pukul delapan pagi, yaitu ketika ia sedang asyik berdandan di depan cermin. Ia jadi malu pada dirinya sendiri. Ia tidak tahu kalau pemuda itu telah mengirim sms. Dengan hati girang penuh penasaran, Anastasia Palazzo membaca isi sms Ayyas,
"Yang saya hormati doktor anastasia palazzo. Sebenarnya saya ingin sekali datang ke kampus untuk menimba ilmu dari doktor. Tetapi mohon maaf tadi malam saya mengalami kecelakaan di
apartemen, pundak kiri saya sakit, saya tidak tahu apakah ada patah tulang atau cuma engselnya
yang lepas tidak pada tempatnya. Yang jelas hari ini saya ingin mengobatkan pundak kiri saya itu. Maka saya mohon izin untuk tidak datang hari ini. Hormat saya, Ayyas."
Bahasanya begitu santun, rendah hati dan sangat menghormati dirinya. Itu yang mungkin membuat hatinya tertarik. Ah, bukan tertarik, tapi jatuh cinta rasanya. Namun benarkah dirinya bisa jatuh cinta? Anastasia seolah tidak percaya dengan apa yang saat ini sedang dirasakannya.
Tiba-tiba Anastasia merasa sangat menyesal kenapa ia sudah terburu-buru marah pada pemuda itu. Yang salah adalah dirinya kenapa tidak membuka ponsel sejak dari tadi. Tiba-tiba pula rasa kasihan itu menjelma menjadi iba. Dan dari iba kemudian berubah menjadi khawatir. Ya, ia menjadi khawatir dengan keadaan Ayyas. Ia semakin merasa aneh dengan dirinya sendiri. Pemuda Indonesia itu benar-benar telah memenuhi lebih dari separo hatinya.
Kini ia sudah tahu kenapa Ayyas tidak datang. Ia berharap sakit di pundak kiri Ayyas tidak parah. Maka dengan hati bergetar ia menulis kalimat singkat di ponselnya sebagai balasan,
"Saya ikut prihatin atas kecelakaan itu. Semoga cepat sembuh. Anastasia."
Sebenarnya setelah kalimat "semoga cepat sembuh", Anastasia menulis kalimat "aku menunggumu di kampus", tapi ia hapus kalimat itu sebelum mengirim sms itu pada Ayyas.
Anastasia malu untuk mengatakan "aku menunggumu di kampus" pada Ayyas. Ia tidak ingin merendahkan dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Meskipun ia benar-benar menunggu kedatangan Ayyas di kampus.

***


Sementara itu, pada saat yang sama Ayyas ada di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa nomor 12. Tepatnya Ayyas sedang berada di
kantor Sekolah Indonesia Moskwa yang memang menyatu satu komplek dengan KBRI. Sekolah
Indonesia Moskwa yang biasa disingkat SIM itu berada di salah satu sudut KBRI. Gedung itu
agak kecil berbentuk L bersebelahan dengan Wisma Duta. Sekolah itu sudah ada sejak tahun
1963, bisa disebut sebagai sekolah Indonesia di luar negeri yang pertama ada.
Pundak kiri Ayyas sedang diurut oleh seorang guru Sekolah Indonesia bernama Pak Joko Santoso. Awalnya Ayyas menceritakan pundak kirinya yang sakit kepada Pak Akmal Hidayat,
Atase Perdagangan. Ayyas menanyakan apakah di KBRI ada orang yang bisa silat atau ilmu bela
diri lainnya. Pak Akmal menjawab, ada. Ayyas diminta datang langsung ke KBRI.
Sampai di KBRI Ayyas dikenalkan dengan Pak Joko Santoso, guru ilmu biologi yang merangkap
guru olahraga, guru kesenian, dan guru bahasa Indonesia. Pak Joko Santoso menguasai karate sampai ban hitam, juga menguasai ilmu memijat dan mengurut dengan baik.
Dengan hanya meraba pundak Ayyas sedikit menekan, Pak Joko langsung mengerti ada engsel
tulang yang tidak pada tempatnya. Meskipun Ayyas bercerita bahwa pundaknya sakit karena
kecelakaan kecil di apartemen, tapi Pak Joko tidak sepenuhnya percaya.
"Ini bukan sekadar jatuh, ini karena kena benturan benda keras, atau malah pukulan benda keras." Kata Pak Joko sambil mulai mengurut.
"Pak Joko benar. Ini kena pukulan orang Rusia. Tadi malam saya berkelahi dengan orang Rusia. Terakhir orang Rusia itu gantian saya hantam dengan keras." Jawab Ayyas.
"Kamu harus melaporkan kejadian itu ke KBRI."
"Tidak usah, Pak. Itu cuma keributan kecil. Semua sudah selesai dengan baik."
"Jika dia ternyata anggota mafia maka tidak ada istilah keributan kecil. Semua jadi besar."
"Kelihatannya dia bukan anggota mafia. Kalau dia anggota mafia pasti setelah pergi dia akan
datang lagi membawa teman-temannya untuk menggeruduk saya."
"Ya sudah. Tapi saya sarankan Mas Ayyas tidak usah cari perkara dengan orang Rusia lagi
ya."
"Iya Pak, baik."
Kedua tangan Pak Joko mengurut pundak kiri Ayyas, tiba-tiba tangan kanan Pak Joko seperti
mencengkeram pundak itu, sementara tangan kirinya memukul punggung bawah pundak kiri,
agak keras sampai terdengar bunyi krak! Ayyas mendesis kesakitan.
"Insya Allah tulang yang lepas dari engselnya sudah kembali seperti sedia kala. Hanya beberapa
otot perlu sedikit saya sentuh lagi." Gumam Pak Joko sambil masih mengurut bagian-bagian tertentu di pundak kiri Ayyas. Tujuh menit kemudian pemijitan itu selesai. Pak Joko mempersilakan Ayyas minum teh yang masih mengepulkan asap.
"Pak Joko membawa keluarga ke sini?" Tanya Ayyas.
"Iya. Saya membawa istri saya." "Anak tidak dibawa?"
"Anak saya cuma dua. Yang satu sedang kuliah semester dua di Bandung, yang satu masih di
pesantren."
"Kenapa anaknya tidak dikuliahkan di sini saja Pak?"
"Saya inginnya begitu. Tapi anak itu tidak mau. Dia lebih milih kuliah di Bandung. Kebetulan
neneknya ada di Bandung. Jadi dia tinggal di rumah neneknya."
"Jadi Pak Joko asli Bandung?"
"Tidak. Yang asli Bandung istri saya. Saya sendiri asli Surabaya. Kalau Mas Ayyas?"
"Saya asli Klaten Pak."
"Dekat pusat pengecoran logam dan baja itu?"
"Iya tidak terlalu jauh."
"Adik saya kerja di PT. Sari Logam, Batur, Klaten."
"Itu tidak jauh dari rumah saya Pak Joko. Saya asli Pedan. Pedan dan Batur itu bertetangga."
"Berarti kenal sama Kiai Yunan?"
"Yang mengasuh Pesantren Raudhatush Shalihin?"
"Benar."
"Kenal baik Pak. Dia masih sepupu sama saya."
"O masya Allah, dunia ini memang benar-benar sempit. Istri Kiai Yunan itu keponakan saya. Jadi kita ini sedulur ya, meskipun jauh."
"Tidak jauh Pak, dekat. Persaudaraan yang diikat oleh laa ilaaha illallah itu kuat dan dekat."
"Benar kau Mas. Aku bahagia sekali ketemu Sampeyan."
"Saya juga Pak Joko. Saya berterima kasih sekali, Pak Joko sudah membetulkan pundak saya."
Dua orang Indonesia itu langsung benar-benar akrab. Pak Joko kemudian bertanya banyak hal
kepada Ayyas, kenapa ada di Moskwa, tinggal di mana dan lain sebagainya. Ayyas menjelaskan
dengan panjang lebar kenapa ia sampai di Moskwa. Ayyas juga menceritakan tempat dimana ia tinggal, dan tantangan keimanan yang dihadapinya. Ayyas juga minta kepada Pak Joko untuk mencarikan kalau ada tempat tinggal yang terjangkau untuknya.
"Mungkin lebih baik saya berkorban materi. Menyewa tempat lain yang lebih aman, daripada
iman dan Islam saya berantakan karena tidak kuat menghadapai ujian perempuan." Kata Ayyas
tegas.
Pak Joko mengangguk membenarkan, "Saya akan mencoba membantu. Sebenarnya satu bulan
lagi istri saya mau pulang ke Indonesia. Dia akan lama di Indonesia. Lha saat itu kau bisa menginap di rumah saya. Begini saja, kau coba saja bertahan di situ satu bulan, nanti baru pindah ke rumah saya."
"Wah kalau satu bulan terlalu lama Pak. Kalau bisa secepatnya."
"Lha secepatnya itu tidak mudah. Tapi saya akan mencoba membantu mencarikan penginapan
yang lebih aman untuk satu bulan. Kau juga coba mencari. Mungkin coba tanya sama dosenmu di MGU, siapa tahu bisa menyewa kamar di asrama mahasiswa. Coba saja. Kalau tidak dapat juga ya bersabarlah!"
"Baik Pak."
Pak Joko Santoso lalu mengajak Ayyas keluar makan siang. Pak Joko mengajak Ayyas melangkah ke arah utara KBRI. Siang itu terasa agak lebih hangat. Suhu minus sepuluh derajat.
Langit nampak lebih cerah. Salju tetap terlihat menumpuk di kanan kiri jalan. Mereka berdua
berjalan menyusuri Novokusnetskaya Ulitsa. Tak lama kemudian belok kiri menyusuri Klimentovski Pereulok. Dengan jalan kaki Ayyas merasa tubuhnya lebih hangat. Mereka melewati sepasang muda-mudi yang berciuman di pinggir jalan.
"Jangan kaget, seperti itulah cara hidup sebagian besar anak muda di sini. Mereka hidup bebas.
Semuanya hidup bebas, kecuali yang Muslim dan sedikit ortodoks yang menjaga kesucian hidupnya." Komentar Pak Joko sambil terus berjalan.
"Itulah Pak ujiannya. Kalau di sini memiliki istri tidak masalah. Kalau masih 'bujang’ seperti
saya bisa celaka!"
"Kalau tidak kuat, cobalah berpuasa. Dengan berpuasa jiwamu akan lebih tenang, dan nafsumu
akan lebih jinak dan terkendali."
"Iya Pak Joko benar. Saya akan mencoba Pak."
"Tapi kau harus juga melihat kondisi. Kalau musim dinginnya sangat ekstrim, di atas 18 derajat
celcius kau harus memperhitungkan kesehatanmu. Suhu dingin yang ekstrim bisa membuat tubuh kita mengalami dehidrasi fatal."
"Iya Pak Joko."
Mereka sampai di Pyatnitskaya Ulitsa. Mereka menyusuri jalan besar itu terus ke utara. Sampailah mereka di tepi Kanal Moskwa. Ayyas melihat pemandangan yang indah. Gedung-gedung tua yang tertata rapi. Sungai yang membelah kota. Dan salju yang terlihat di mana-mana. Ia seperti masuk di alam mimpi.
"Kalau kita ke utara terus, tidak begitu jauh, kita akan sampai Red Square atau Lapangan Merah. Kau sudah melihat Lapangan Merah?"
"Belum Pak."
"Masih banyak waktu. Kau harus melihatnya. Bahkan kau harus melihatnya di empat waktu. Di
pagi hari, siang hari, sore hari dan malam hari. Biar mantap. Orang sini mengatakan siapa yang
ke Moskwa belum sampai di Lapangan Merah berarti belum sampai Moskwa."
Ayyas hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pak Joko mengajak Ayyas memasuki restoran Lyudi yang letaknya menghadap Kanal.
Banyak orang sedang makan di situ, tapi tidak penuh. Mereka berdua mengambil tempat di pojok
ruangan, dekat jendela. Dari jendela Ayyas bisa melihat kanal dan gedung-gedung tua.
"Halal tidak Pak?" Tanya Ayyas ragu.
"Ada yang halal, dan ada yang haram. Tapi aku pilih menu yang jelas halalnya. Jangan
khawatir Mas Ayyas. Salah satu koki di sini orang Kirghiztan. Dia Muslim. Aku sering ketemu
dia di masjid Balsoi Tatarski dekat KBRI. Aku tadi pesan sama dia. Dia sudah tahu." Terang Pak
Joko menepis segala keraguan Ayyas.
Pelayan restoran datang membawa dua cangkir teh panas dan dua gelas sari jeruk. Lalu pelayan kedua datang menghidangkan menu pembuka berupa salad khas Rusia berisi berbagai sayuran dan buah-buahan yang dicampur minyak zaitun dan keju cair. Ayyas mencicipi salad itu. Rasanya agak aneh. Tapi ia tetap melahapnya pelan-pelan.
Hidangan berikutnya adalah hidangan inti, tersaji di meja, yaitu sup bors merah tanpa daging,
roti baton khas Rusia, nasi plof dengan lauk jamur. Ayyas melahap semua hidangan itu tanpa
sisa. Pak Joko senang sekali melihatnya. Hidangan makan siang itu ditutup dengan buah apel
dan pir.
Tak terasa, hampir satu jam lamanya mereka berada di restoran itu. Ayyas melihat jam tangannya. Sudah saatnya shalat Zuhur. Mereka bangkit meninggalkan restoran. Pak Joko membayar di kasir. Sang kasir mengucapkan terima kasih dengan senyum dingin khas Rusia.
Tepat selangkah di luar pintu Ayyas melihat orang yang tidak asing baginya. Seorang perempuan
muda Rusia yang sedang digandeng lelaki hitam besar berjalan mendekati restoran. Perempuan
muda itu nampak asyik bercengkerama dengan lelaki hitam besar itu, sehingga tidak tahu kalau Ayyas berdiri hanya lima meter di depannya.
"Dabro Dent (Selamat siang) Yelena!" Sapa Ayyas keras. Perempuan muda itu nampak kaget dan gugup melihat Ayyas menyapanya.
Ia segera menguasai dirinya dan menjawab, "Oh Ayyas, dabro dentl Sedang apa di sini?"
"Ya makan siang-lah. Kau bersama siapa ini? Seorang wisatawan ya?" Tanya Ayyas santai.
"Iya, dia wisatawan dari Afrika Selatan. Setelah saya ajak keliling Lapangan Merah dia minta
ditunjukkan tempat makan siang yang enak. Maka saya bawa kemari."
"Okay kalau begitu selamat bekerja."
"Terima kasih. O ya bagaimana pundak kirimu?"
"Sudah baik. Ini Pak Joko yang mengobati." Jawab Ayyas sambil menunjuk ke Pak Joko. Pak
Joko mengangguk dingin pada Yelena.
"Baik sampai ketemu lagi." Kata Yelena seraya mengajak lelaki berkulit hitam memasuki restoran.
Begitu Yelena masuk, Pak Joko langsung bertanya kepada Ayyas, "Kau kenal dia?"
"Iya kenal Pak. Dia satu apartemen dengan saya. Cuma beda kamar."
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un." Kata Pak Joko spontan dengan wajah sangat kaget.
"Kenapa Pak?" Tanya Ayyas penasaran melihat reaksi Pak Joko.
"Kau tidak tahu siapa dia? Apa profesinya?"
"Yang saya tahu namanya Yelena. Katanya dia bekerja di sebuah agen pariwisata sebagai guide para wisatawan."
"Dia jujur sekaligus bohong padamu."
"Apa maksud Pak Joko."
"Mungkin nama aslinya Yelena. Tapi namanya yang populer adalah Lisa Nikolaevna. Dia
pelacur papan atas. Ya, dia guide bagi wisatawan maksudnya guide plus. Belum lama ini dia
dipakai seorang pejabat dari Jakarta yang berkunjung kemari."
"Bapak tidak salah orang?"
"Tidak. Kalau mau coba saja kau cari diinternet nama Lisa Nikolaevna, kau akan lihat
semuanya setelah masuk window khusus di situsnya. Window itu ada paswordnya, dan paswordnya adalah kata lisa dibalik."
Mendengar keterangan Pak Joko, tubuh Ayyas langsung gemetaran. Apa yang diperbuat oleh
Linor yang seperti binatang jalang itu sudah ia lihat dengan mata dan kepala sendiri. Dan kini ia
tahu siapa Yelena sebenarnya.
Sampai saat ini ia masih selamat. Tapi apakah ia bisa selamat jika terus tinggal bersama dua
perempuan yang hidup sangat bebas seperti itu. Ia tidak membayangkan kalau hidup di Moskwa
akan seberat ini bagi yang memegang teguh iman seperti dirinya. Kalau bagi yang ingin hidup bebas tanpa aturan moral dan agama, mungkin Moskwa adalah surganya. Sebab kota Moskwa
juga dikenal sebagai surganya pecandu seks bebas dan kotanya kaum gay.
"Jadi memang benar. Kau harus pindah dari sana segera. Saya akan membantu semampu saya. Sekarang ayo kita ke masjid Balsoi Tatarski untuk shalat Zuhur." Ajak Pak Joko.
"Mari Pak. Semoga dengan shalat kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar."
"Amin." Ucap Pak Joko sambil menengadahkan telapak tangan ke atas lalu mengusapkan
kedua telapan tangannya ke mukanya.
Dalam hati Ayyas masih bisa bersyukur bahwa di kota seperti Moskwa masih ada masjid. Masih ada orang-orang yang rukuk dan sujud kepada Allah Azza wa Jalla.

***


Selesai shalat Zuhur Ayyas bingung mau ke mana. Mau pulang ke apartemen masih siang, dan ia sudah merasa tidak nyaman lagi kembali ke apartemen. Mau jalan-jalan, tidak ada rencana yang matang. Dia selalu melakukan aktivitas dengan rencana yang jelas dan matang. Mau ke MGU, ia tidak tahu mau apa persisnya di sana kalau Doktor Anastasia mungkin sudah tidak ditempatnya dan ruangan Profesor Tomskii sudah tidak boleh dibuka.
Setelah berpikir beberapa saat, yang paling baik menurutnya adalah pergi ke MGU, dengan syarat ruangan Profesor Tomskii boleh ia gunakan sampai malam. Untuk memastikan hal itu ia bisa bertanya kepada Doktor Anastasia lewat telpon.
Maka tanpa membuang waktu lagi ia langsung mengontak Doktor Anastasia. Saat itu Doktor
Anastasia sudah sampai di apartemennya. Doktor muda itu sudah ganti pakaian santai dan
sibuk menulis paper yang ia persiapkan untuk menjadi pembicara seminar internasional di kota
Praha.
"Doktor Anastasia, zdrafstuitet, kak vasha dela (Hallo, apa kabar)?” Sapa Ayyas begitu telpon di seberang diangkat. Ia menyapa Doktor Anastasia menggunakan bahasa yang sangat formal.
"Ya Vso Kharasyo (Aku baik-baik saja). Siapa ini?" Jawab Anastasia sambil terus mengetik dengan jari-jari tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang ponsel dan menempelkannya di telingan kirinya.
"Saya Ayyas Doktor."
"Aaa. Eta vi! (Aa. Ini kamu ya!) Bagaimana pundak kirimu?" Jawab Anastasia antusias tapi
lembut. Ia langsung berdiri meninggalkan laptopnya dan menuju ruang tengah. Ia senang sekali mendengar suara Ayyas. Baginya, suara Ayyas seumpama oase di padang sahara bagi para pengelana.
"Sudah baik. Ada orang Indonesia di kedutaan yang bisa membetulkan letak tulang yang salah
dengan mengurutnya."
"O hebat orang itu ya."
"Saya beruntung ketemu dia, jadi tidak perlu dibawa ke medical centre"
"Saya ikut senang. Hai, kenapa kau nelpon saya? Ada yang bisa saya bantu, Ayyas?" Selidik
Anastasia penasaran.
"Doktor Anastasia masih di kampus?"
"Saya sudah pulang. Sudah sampai apartemen satu jam yang lalu."
"Padahal saya berharap Doktor masih di kampus, tapi tidak apa. Saat ini saya sedang bersiap
mau ke kampus, apa ruangan Profesor Tomskii bisa saya gunakan sampai malam? Maaf."
"O bisa. Kau datang saja. Bibi Parlova masih di sana. Dia pulang pukul tujuh malam. Kunci
ada padanya, kau bisa memintanya. Kau juga bisa minta dibuatkan teh hangat kalau mau."
"Baik. Terima kasih Doktor."
"Ya. Ada hal lain yang perlu bantuan saya lagi?" tanya Anastasia separo basa-basi, separo
mengulur-ulur pembicaraan.
"Tidak. Itu saja Doktor. Terima kasih," jawab Ayyas datar.
"Baiklah. Sama-sama."
Setelah mengetahui Ayyas akan ke kampus, Doktor Anastasia sebenarnya ingin pergi juga ke
sana. Ia merasa akan lebih nyaman menulis paper di ruangan Profesor Tomskii, sambil bisa diskusi dengan Ayyas. Tapi lagi-lagi ia merasa, jika ia pergi ke kampus itu berarti ia telah merendahkan harga dirinya sendiri. Ayyas pasti akan bertanya-tanya dalam hati, kenapa Anastasia menyusul ke kampus padahal sudah pulang ke apartemen.
Karena berpikiran seperti itu, Doktor Anastasia mengurungkan niatnya pergi ke kampus. Ia berharap Ayyas besok juga ada di kampus.
Sementara Ayyas, setelah ia memastikan dirinya bisa menggunakan ruangan Profesor Tomskii
sampai malam, ia merasa menemukan jalan yang lurus dan indah. Ia minta diri pada Pak Joko
Santoso, lalu berjalan cepat menuju stasiun Metro Tretyakovskaya. Dari Tretyakovskaya ia
meluncur mencari jalur metro yang mengantarkannya sampai di stasiun Metro Universitet.
Sampai di kampus ia langsung bergegas ke ruang Profesor Tomskii. Di lorong ia berpapasan
dengan banyak mahasiswi yang asyik bersenda gurau. Ada juga di antara mereka yang
menyapanya dengan nada agak menggoda. Ia hanya melambaikan tangan dan tersenyum pura-pura tidak mengerti bahasa mereka. Di antara mereka, ada mahasiswi yang wajahnya paling cemerlang di antara yang lain. Rambutnya yang hitam ia potong pendek seperti gaya Demi Moore dalam sebuah filmnya tahun sembilan puluhan. Mahasiswi berwajah cemerlang itu juga ikut-ikutan seperti teman-temannya.

Dengan nada bergurau mahasiswi itu bergurau, "Hei tampan kau sudah punya pacar?" Ayyas terus berjalan dengan sama sekali tidak menghiraukan gurauan gadis-gadis yang sedang usil itu. Sepuluh menit kemudian ia sudah sampai di depan ruangan Profesor Tomskii dan Bibi Parlova
sudah menunggu di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar