Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 9)

"Di tempat yang benar-benar aman?"
"Sangat aman. Aku berani menjamin seratus persen. Sebab keamanannya adalah jaminan kemerdekaan hidupku."
"Bagus. Kalau begitu sekarang giliranku untuk menyempurnakan semuanya. Eh Yelena, aku bisa
minta tolong sedikit padamu?" Kata Linor dengan kening sedikit berkerut.
"Pasti bisa. Apa yang harus aku lakukan untukmu?"
"Aku minta tolong, Bibi Margareta membelikan sesuatu untukku di gastronom Itu yang pertama.
Yang kedua, aku minta kau carikan untukku penginapan yang layak di Kiev. Kau carikan lewat
internet dari komputermu. Ini laptopku lagi ada sedikit masalah. Bisa?"
"Itu tidak susah. Segera akan dikerjakan dengan sempurna untukmu, Sahabatku." Yelena bangkit dan memanggil Bibi Margareta di kamarnya.
"Bibi minta tolong membantu Linor ya. Dia ingin dibelikan sesuatu di gastronomi Ujar Yelena pelan. Bibi Margareta mengangguk dengan tersenyum. Orang tua itu lalu keluar dari kamar Yelena dan menemui Linor yang masih duduk di ruang tamu.
"Apa yang harus Bibi lakukan untukmu?" Tanya Bibi Margareta kepada Linor.
"Saya kelaparan Bibi, belikan roti hitam, trovog, kentang goreng, mayones, dan satu liter
susu segar ya." Kata Linor sambil memberikan beberapa lembar rubel kepada Bibi Margareta.
"Baik."
"O ya. Bibi boleh membeli sesuatu dengan sisa uang itu."
“boleh”
"Terima kasih, Anakku."
Linor meminta Bibi Margareta ke gastronom sebenarnya ada tujuannya. Lebih dari sekadar untuk membelikan makanan. Demikian juga ketika ia meminta Yelena mencarikan penginapan di Kiev lewat internet. Sebenarnya ia ingin mensterilkan ruang tamu itu untuk satu aksinya yang
sangat penting. Yang hanya perlu waktu beberapa detik saja. Aksinya itu tidak boleh diketahui siapa pun, termasuk Yelena dan Bibi Margareta.
Linor masih terganggu dengan pintu kamar Yelena yang masih terbuka. Kelihatannya Yelena
sudah menghidupkan komputernya. Linor berdiri dan berjalan melongok ke kamar Yelena.
"Bagaimana internetnya nyala?" Tanya Linor dengan tetap berdiri di pintu.
"Ini baru aku hidupkan. Ayo masuklah. Nanti bisa kita cari berdua."
"Ah tidak. Aku harus ke kamar. Aku tunggu saja hasilnya."
"Baik. Aku akan carikan penginapan yang pas untukmu. Percayalah padaku."
"Aku percaya. Aku tutup pintunya ya?"
"Ya boleh."
Linor menutup pintu kamar Yelena pelan. Ia langsung bergerak cepat. Ia menuju pintu kamar
Ayyas. Ia periksa. Terkunci. Tanpa berpikir panjang ia langsung membukanya dengan sebuah alat.
Dan klik! Pintu kamar Ayyas terbuka. Dengan gerakan sangat cepat ia masuk ke kamarnya dan
mengambil tas ransel yang sudah lama dipersiapkannya. Ia bawa tas ransel itu ke kamar Ayyas. Ia melihat-lihat kondisi kamar sekilas. Ia mengambil sebuah buku kecil berbahasa Arab. Ia masukkan ke dalam tas ransel itu. Dan dengan cepat ia meletakkan tas ransel itu di bawah kolong tempat tidur Ayyas.
Ia meletakkannya di bagian paling pojok dan menutupinya dengan selembar kain yang berwarna
biru tua, warna yang sama dengan karpet yang membungkus seluruh lantai kamar itu. Setelah itu Linor kembali ke ruang tamu. Ia kembali mengunci pintu kamar Ayyas seperti sedia kala. Ia merasa lega. Ia melihat jam tangannya. Ia puas. Tak ada satu menit. Setelah itu dia ke kamarnya.
Menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk dan bernafas lega. Ia sangat yakin, seluruh rencana dan aksinya akan berjalan dengan sempurna. Akan ada dua kejadian yang menggemparkan Moskwa:
Pertama, pertempuran dua mafia Rusia. Yaitu antara kelompok Voykovskaya Bratva yang
dipimpin Boris Melnikov, dan kelompok Tushinskaya Bratva yang dipimpin oleh Vladimir
Nikolayenko yang tak lain adalah suami Olga Nikolayenko.
Linor sudah bisa membayangkan siapa yang jadi pemenangnya. Ia sangat yakin Boris
Melkinovlah yang akan menang dan Vladimir akan mengalami kerugian besar jika tidak kebinasaan. Kecuali jika di antara mereka akan ada perjanjian damai sebelum terjadi pertempuran.
Meskipun terjadi perdamaian, pasti Boris Melnikov akan memberikan syarat yang sangat merendahkan Vladimir. Dan tidak mudah bagi Vladimir untuk menerimanya. Jika menerima syarat itu, maka Vladimir tidak akan memiliki kekuasaan apa-apa lagi. Dan itu tetap menjadi
jalan keluar yang baik bagi Yelena.
Dalam perhitungan Linor, keduanya mengadakan perjanjian damai itu sangat kecil. Sebab keduanya sudah akan disulut emosi yang memuncak di awal. Pihak Boris Melnikov pasti marah besar ketika menemukan bukti bahwa ponsel Sergei Gadotov ditemukan di kamar mandi Olga Nikolayenko. Mereka akan langsung mengambil kesimpulan, pembunuh orang penting di kelompok Voykovskaya Bratva adalah Olga Nikolayenko. Atau paling tidak Olga Nikolayenkolah yang paling bertanggung jawab. Pihak Boris Melnikov pasti akan minta supaya Olga dikirimkan kepada mereka untuk dieksekusi.
Dan sebaliknya pihak Vladimir Nikolayenko akan sangat marah dituduh melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan samasekali. Apalagi yang dituduh adalah Olga Nikolayenko, istri pimpinan tertinggi kelompok mafia mereka. Mereka tidak mungkin mau menyerahkan Olga Nikolayenko begitu saja. Vladimir akan membela mati-matian istri yang sangat dicintainya itu.
Linor sudah mengatur segalanya untuk mengadu dua kelompok mafia yang sangat menjengkelkannya itu. Di antaranya Linor mengirim surat kaleng kepada Boris Melnikov yang isinya memberitahukan pernah melihat Sergei Gadotov berjalan bersama Olga Nikolayenko memasuki sebuah apartemen di kawasan Tverskaya. Ia tahu Boris Melnikov tidak akan percaya begitu saja pada isi surat itu. Tapi tujuan Linor bukan untuk membuat Boris Melnikov mempercayainya.
Tujuannya adalah agar Boris Melnikova mengarahkan pandangannya ke Tverskaya, ke tempat di mana Olga Nikolayenko menjalankan bisnisnya. Dan pada saat Boris Melnikov mengaktifkan pelacak sinyal untuk kembali mencari keberadaan Sergei Gadotov, terompet perang itu berbunyi dengan sendirinya, jika benar Yelena telah meletakkan ponsel milik Sergei itu di kamar mandi yang ada di dalam ruang pribadi Olga Nikolayenko.
Kejadian kedua yang akan menggemparkan Moskwa adalah pengeboman lobby Metropole
Hotel yang terletak di jantung kota Moskwa, tepatnya di kawasan Teatralnaya, yang tak jauh
dari Kremlin. Lobby itu akan dibom bertepatan dengan datangnya seorang pejabat penting Inggris ke sana. Seorang anak buah Ben Solomon akan masuk ke Metropole Hotel dengan
menyamar berpenampilan persis seperti Ayyas.
Dan opini dunia akan digiring untuk mengatakan bahwa seorang pemuda Islam terpelajar terbukti melakukan tindakan teroris. Sebagai bukti fisik adalah ditemukannya bahan-bahan pembuat bom di kamar Ayyas. Bahan-bahan itu sama persis dengan bom yang diledakkan di Metropole Hotel.
Dengan adanya kejadian itu Rusia akan marah dan mengambil jarak dengan negara-negara
Islam, negara-negara Arab utamanya. Itu karena Ayyas diketahui adalah lulusan dari Arab, akan
sangat mudah Ayyas dikaitkan dengan jaringan Al Qaeda. Dan keadaan itu akan digunakan oleh
Israel sebaik-baiknya. Israel bersama sekutunya akan semakin mudah menggebuk Palestina dan
negara-negara Arab lainnya. Sebab Rusia yang selama ini masih sering berhubungan dengan
negara-negara Arab diharapkan ikut aktif bersama barisan pendukung Israel.
Tas ransel berisi bahan pembuat bom itu sudah Linor masukkan di kamar Ayyas. Bahkan ia
juga memasukkan satu buku kecil yang ada di meja Ayyas ke tas ransel itu. Pada saat polisi
Rusia menggeledah kamar Ayyas dan menemukan tas itu, Ayyas sendiri akan terdiam seribu bahasa, ia tidak akan bisa membantahnya ketika ada bukunya yang juga didapati ada di dalam tas itu.
Dua kejadian itu akan jadi berita hangat di Moskwa. Bahkan di dunia. Dan sebenarnya akan
ada kejadian ketiga yang tidak kalah menggemparkan, yaitu terbunuhnya putri salah seorang
diplomat Syiria. Ia telah ditugasi langsung oleh Ben Solomon untuk membunuhnya. Yang harus
ia bunuh adalah seorang gadis yang masih kuliah semester dua di MGU. Gadis itu bernama Rihem. Jika Rihem mati, menurut Ben Solomon, hal itu bisa berpengaruh pada hubungan Syiria-Rusia. Dan ia diminta agar pembunuhan gadis itu sebagai kejadian kriminalitas yang mengguncang dunia. Tetapi Linor agak gamang melakukannya.
Ia tahu, gadis itu selain kuliah di MGU juga belajar musik di Moscow State Conservatory. Ia
telah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri betapa berbakatnya gadis itu memainkan biola.
Setiap kali mengawasi gadis itu dan melihat gadis itu, ia seperti melihat dirinya sendiri saat
belajar bermain biola dengan didampingi oleh ibunya. Ia tidak sampai hati membunuh gadis itu,
karena membunuh gadis itu seolah ia membunuh dirinya sendiri.
Akan tetapi jika ia tidak melaksanakan tugasnya, ia sendiri akan dieksekusi oleh Ben Solomon
atau agen lainnya. Maka kepada Ben Solomon ia minta supaya diberi jeda waktu untuk
membunuh gadis itu. Ia memberi alasan, jika ada banyak kejadian teror yang berturut-turut, ia
khawatir pihak Rusia akan mencium gerakan mereka. Ben Solomon setuju dengan argumentasi
Linor. Sementara ia bisa mengulur waktu, ia akan mencari cara supaya bukan dia yang membunuh gadis itu, tapi agen lain.

***

Linor mendengar suara gaduh di ruang tamu. Ia lihat layar laptopnya. Ia tersenyum dingin.
Yang datang adalah Bibi Margareta membawa bungkusan besar yang ia yakin adalah pesanannya, dan Ayyas yang juga membawa bungkusan yang nampak kelelahan. Dalam hati
Linor berkata, "Sebentar lagi kau akan jauh lebih lelah Ayyas. Rambutmu yang hitam itu akan
langsung beruban ketika kau digelandang polisi dan dimasukkan ke dalam penjara tanpa tahu
dosa apa yang kau lakukan."
Bibi Margareta mengetuk pintu kamarnya. Linor mengganti tampilan layar laptopnya dengan gambar bunga yang dibasahi embun dari wallpaper Windows Vista. Ia lalu beranjak membuka
pintu kamarnya.
"Sudah pulang Bibi?" Ramah Linor dengan berusaha tersenyum.
"Sudah. Sudah dapat semua yang kau pesan."
"Spasiba Balshoi Bibi. Ayo kita makan malam bersama lagi."
"Ayo. Kebetulan itu Ayyas sudah pulang. Tadi kami bertemu di ujung Panvilovsky Pereulok."
Linor keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya pelan memandang ke arah Ayyas.
Pada saat yang sama Ayyas sedang menoleh ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Linor berusaha tersenyum, tapi tetap terasa dingin.
"Hai, kak dela? (Apa kabar?)” Sapa Linor.
"Alhamdulillah, Ya Vso Kharasho! (Saya baik-baik saja)” Jawab Ayyas.
"Bungkusan apa yang ada di depanmu itu?"
"Biasa roti pirozkhi."
"Aku minta Bibi Margareta membeli makanan. Kita bisa makan bersama."
"Boleh. Mana Yelena?"
"Dia ada di kamarnya. Bibi tolong panggil Yelena."
Bibi Margareta melangkah ke kamar Yelena, tak lama kemudian Yelena datang.
"Linor, ini sudah aku temukan tempat menginap yang nyaman untukmu. Letaknya di jantung
kota Kiev." Ujar Yelena dengan wajah berseri-seri.
"Apa nama penginapannya?"
"Sunflower B&B Hotel. Letaknya di Kostolna Street. Tak jauh dari stasiun metro Maydan Nezalezhnosti. Di sebelah utaranya, tidak begitu jauh, berdiri megah St. Michael's Monastery yang terkenal dengan kubah emasnya itu."
"Baik itu tempat menginap yang tepat."
Tiba-tiba Ayyas menyela, "Kalian mau pergi ke Kiev?"
"Hanya Linor, aku tidak." Jawab Yelena.
"Kapan kau berangkat ke Kiev Linor?" Tanya Ayyas.
"Besok siang." Jawab Linor sambil mengunyah kentang goreng yang telah ia celupkan ke
cairan moyones.
"Pakai pesawat?"
"Ya."
"Ada tugas liputan ya?" "Benar."
"Enak ya jadi wartawan, bisa ke mana-mana dan bisa bertemu banyak orang penting."
"Ya semua pekerjaan ada enaknya ada tidak enaknya."
"Berapa hari kau di sana?"
"Tiga atau empat hari. Kau sendiri bagaimana penelitianmu?"
"Lumayan. Saya sudah mendapatkan tujuh puluh lima persen dari data yang saya perlukan. Masih dua puluh lima persen lagi. Satu bulan lagi semoga sudah dapat seratus persen. Setelah itu
saya bisa jalan-jalan melihat-lihat semua sudut kota Moskwa, bahkan ke kota-kota lain yang tidak kalah pentingnya."
"Jangan lupa, kamu harus mengunjungi St. Petersburg. Itu kota yang sangat indah. Pernah
menjadi ibukota Rusia sebelum revolusi 1917. Pergilah ke sana dan kamu akan menemukan pemandangan yang menakjubkan." Linor memberi saran.
"Linor benar, kamu harus mengunjungi kotanya para tsar Rusia itu. Banyak orang mengatakan,
bahwa seseorang belumlah dianggap menginjak tanah Rusia jika belum menginjakkan kakinya di
kota St. Petersburg." Yelena menguatkan.
"Ya itu sudah saya rencanakan. Ada saran kota mana lagi?"
"Kalau bisa mampirlah ke kota Novgorod, sebelum ke St. Petersburg atau mungkin sesudah dari sana. Kota Novgorod ini sangat bernilai sejarah, ia termasuk kota tua yang juga memiliki banyak peninggalan, ada kremlin juga di sana." Kata Linor.
"Kalau saya menyarankan ke Smolensk. Sebuah kota di dataran tinggi dengan pemandangan yang menakjubkan. Kalau musim semi kau bisa menyaksikan bunga-bunga yang indah bermekaran."
"Ya nanti kalau cukup waktu dan cukup biava saya akan mengunjungi tiga kota itu insya Allah
Mereka makan malam sambil berbincang-bincang tentang banyak hal. Suasana bertambah hangat ketika Bibi Margareta ikut serta dengan membawa empat cangkir teh hangat. Bibi Margareta banyak bercerita tentang masa mudanya, juga percintaannya dan petualangannya sampai ke Rusia. Bibi Margareta ternyata berasal dari desa kecil di pinggir kota Voronezh, yang terletak lebih dari 511 km di selatan Moskwa. Setelah bercerita masa kecilnya Bibi Margareta banyak bertanya kepada Ayyas tentang tempat di mana Ayyas berasal. Tentang negaranya, desanya, orangtuanya dan banyak hal.
Dengan santai dan dengan senang hati Ayyas bercerita tentang Indonesia. Ayyas bercerita
tentang bagaimana Indonesia merdeka. Tentang Indonesia yang terdiri atas ribuan suku dan bahasa.
Tentang Indonesia yang memiliki lebih dari tiga belas ribu pulau. Ayyas juga bercerita tentang indahnya pantai Parangtritis. Pesona Gunung Merapi yang terus mengepulkan asap. Pemandangan dataran tinggi Ketep, Dieng, yang siapa pun yang berada di sana seolah sampai di
tangga langit. Ayyas juga menceritakan kehidupan desanya yang damai. Sawah-sawah yang
menguning bagai taburan emas. Dan kopi tubruk yang tidak ada tandingannya di dunia ketika di
minum di pagi hari dengan pisang goreng yang masih panas.
Bibi Margareta mendengar cerita Ayyas dengan mata berbinar dan mulut sedikit melongo.
Ketika Ayyas menyelesaikan ceritanya tentang Indonesia. Bibi Margareta hanya mengucapkan satu kalimat, "Interesno (Menarik)" Malam itu berakhir dengan berakhirnya cerita Ayyas tentang sebuah negeri yang indah bernama Indonesia. Bibi Margareta sampai bermimpi ingin ke sana. Ketika semuanya hendak bangkit berdiri dan beranjak ke kamar masing-masing Bibi Margareta berkata setengah berteriak, "Ada sesuatu yang aku hampir lupa!"
"Apa itu?" Ayyas dan Yelena menyahut hampir bersamaan.
"Tadi sebelum hari gelap ada perempuan muda ke sini. Dia mencari Ayyas." Jawab Bibi Margareta.
"Itu pasti dia." Sahut Yelena sambil mengedipkan mata pada Linor.
"Iya." Sahut Linor biasa saja.
"Dia siapa?" Ayyas penasaran.
"Yang mencium kamu di acara seminar."
Jawab Yelena membuat muka Ayyas memerah.
"O jadi perempuan muda itu kekasih kamu?" Tanya Bibi Margareta dengan wajah polos saja.
"Perempuan muda itu siapa Bibi? Saya tidak tahu. Namanya siapa?" Gemas Ayyas.
"Namanya An.. Anas.. siapa ya aku agak lupa. Maklum sudah tua."
"Anastasia!?" Ayyas mengingatkan.
"Ya benar. Itu dia. Anastasia. Dia gadis yang cantik dan sopan." Puji Bibi Margareta.
"Benarkan dia yang datang?" Sahut Yelena menggoda.
Ayyas tidak menanggapi, ia malah bertanya pada Bibi, "Ada pesan darinya?"
"Kamu diminta menemuinya. Katanya penting." Jawab Bibi Margareta.
"Segera temui dia. Dia telah menunggumu dengan ciuman yang hangat. Lebih hangat dari
Vodka di musim dingin." Ledek Yelena.
"Sudahlah, kau ini berbicara apa Yelena. Sudah, ayo kita istirahat. Jangan lupa berdoa kepada Tuhan biar diberi mimpi yang indah." Ujar Ayyas sambil berjalan ke kamarnya.
"Aku ingin malam ini bermimpi pergi jalan-jalan ke Indonesia." Sahut Bibi Margareta dengan
wajah bahagia.
Ayyas menyahut, "Jangan lupa ajak serta Linor dan Yelena. Dan jangan lupa mampir ke
rumahku ya Bibi. Aku menunggumu dengan makanan paling enak yang telah disiapkan oleh
ibuku."
"Baik. Dengan senang hati." Bibi Margareta tersenyum lebar.
Mendengar dialog itu, Yelena dan Linor juga tersenyum tanpa komentar.

***


Sampai tengah malam Linor belum juga tidur. Sesungguhnya nuraninya paling dalam tidak
menyetujui semua yang ia lakukan selama ini. Tetapi akal pikirannya selalu melibas nuraninya
itu tanpa belas kasihan. Ia selalu teringat pesan ayahnya untuk berjuang menegakkan kedaulatan
negeri yang dijanjikan dan memerangi kejahatan yang mengancam. Ayahnya bahkan memaksanya masuk ke dalam persaudaraan Gush Emunim.
Menurut ayahnya Gush Emunim yang artinya adalah "Blok Kaum Beriman" merupakan komunitas orang-orang yang menjalankan keagamaan Yahudi paling benar. Ayahnya sangat
membanggakan Rabbi Simcha Hakohen Kook sang pendiri Gush Emunim. Berkali-kali ayahnya
memintanya untuk mengulang-ulang ucapan Rabbi Kook yang menegaskan, bahwa bangsa Yahudi berperang melawan kekuatan jahat.
Tak ada yang diperangi oleh Yahudi kecuali kejahatan. Orang-orang Palestina sampai anakanak
kecil Palestina yang ditembaki tanpa ampun oleh Yahudi Israel adalah kekuatan jahat yang
memang harus dihapuskan. Seluruh orang Palestina dan siapa saja yang mendukung Palestina adalah kejahatan yang mengancam, yang karenanya harus dihapuskan dengan segala cara, tanpa kompromi dan tanpa ampun.
Selama ini, setiap kali nuraninya yang paling dalam memrotes apa yang dilakukannya, ia selalu
membungkamnya dengan doktrin-doktrin yang ia terima dari Gush Emunim. Dengan mengingat
doktrin-doktrin itu, ia merasa segala tindakannya benar. Apa pun yang ia lakukan tidak salah. Termasuk ketika harus membunuh orang yang tidak bersalah sama sekali.
Malam itu nuraninya kembali bicara. Nuraninya mengingatkan, Ayyas tidak seharusnya difitnah.
Ayyas orang yang baik. Yang kerjanya hanya membaca, melakukan penelitian dan beribadah. Dia tidak berhubungan dengan aktivitas apa pun yang mengancam kedaulatan negeri yang dijanjikan. Dia bahkan baik kepada siapa pun yang ditemuinya. Bibi Margareta senang padanya. Dia juga yang menolong Yelena. Dan juga menolong dirinya ketika nyaris putus nafasnya karena dicekik oleh Sergei Gadotov.
Linor langsung membungkam nuraninya, bahwa salahnya Ayyas adalah satu; dia tidak Yahudi.
Karena tidak Yahudi maka tidak ada masalah apapun jika dikorbankan untuk kepentingan
Yahudi. Doktrin Gush Emunim kembali ia gumamkan. Nuraninya kembali ingin bicara tapi cepat-cepat ia libas. Ada pergulatan dalam jiwa Linor. Tetapi setan-setan yang mendukung doktrin Gush Emunim tidak tinggal diam. Setan-setan itu samasekali tidak memberi kesempatan
bagi nurani dan akal sehat Linor untuk bersuara.
Setan-setan itu malah kemudian membisikkan sesuatu yang mengusik nafsu Linor. Nafsu Linor
bergerak. Linor melihat di layar laptopnya. Ruang tamu atau ruang tengah lengang. Pintu kamar Yelena tertutup rapat. Pintu kamar Ayyas juga tertutup rapat. Linor lalu melihat kamar Ayyas. Nampak Ayyas sedang shalat.
"Inilah saatnya. Aku yakin dia belum pernah menyentuh perempuan. Aku ingin aku adalah orang
yang pertama disentuhnya. Dan nanti jika dia dipenjara dia bisa menghibur dirinya pernah merasakan keindahan dengan aku. Dan dia sama sekali tidak tahu bahwa akulah yang sebenarnya
menjebloskannya ke penjara." Gumam Linor sambil tersenyum tipis.
Linor mengganti pakaiannya. Ia ingin mengenakan pakaian yang beberapa waktu yang lalu
gagal ia perlihatkan pada Ayyas. Ia mengenakan gaun jersey putih halus berpayet. Dengan mengenakan gaun itu ia yakin memiliki sihir yang mampu meluluhkan iman lelaki mana pun yang melihatnya. Barulah setelah itu ia menutupinya dengan mantel tidurnya yang rapat. Tidak lupa ia menggunakan parfum terbaiknya.
Linor menuju pintu kamar Ayyas. Terkunci.
Linor tersenyum. Kali ini ia tidak harus mengetuk pintu. Ia membuka pintu kamar Ayyas yang terkunci dengan alat andalannya. Perlahan pintu kamar Ayyas terbuka. Ia memasukkan kembali alat itu ke dalam mantelnya. Ayyas Nampak sedang sujud. Linor lalu mengunci pintu kamar Ayyas dari dalam sehalus mungkin. Ia melepas mantelnya dan meletakkannya di sandaran kursi dan ia duduk di kursi yang berada tepat di belakang Ayyas yang sedang shalat. Linor menunggu Ayyas menyelesaikan shalatnya.
Saat itu Ayyas sedang sujud di rakaat terakhir dalam shalatnya. Ia merasakan ada yang memasuki kamarnya. Ia menyabarkan dirinya untuk menyelesaikan shalatnya yang tinggal ujungnya saja. Begitu mengucapkan salam. Ayyas menengok ke arah belakangnya, seketika ia terperanjat kaget bukan kepalang.
"Astaghfirulloh?" Seru Ayyas. Linor tetap duduk di tempatnya. Ia tersenyum saja melihat Ayyas kaget melihatnya. Ia menunggu Ayyas bangkit dari duduknya di lantai.
"Kau masuk kamarku tanpa izin!"
"Aku sudah izin, hanya kau tidak mendengarnya. Dan aku percaya kau mengijinkan!"
"Bagaimana kau masuk, padahal pintu itu terkunci!?"
"Kau tidak menguncinya. Atau kau lupa menguncinya. Aku masuk begitu saja!
"Dengan hormat aku minta kau keluar sekarang!"
"Setelah kau membantuku. Aku perlu bantuanmu!"
"Kau tidak harus memasuki kamarku kalau ingin aku membantumu."
"Justru aku ingin kau membantuku di kamarmu ini."
"Aku tidak paham maksudmu?"
"Dengan melihatku berpakaian seperti ini, kau tidak juga paham?"
"Ya aku paham?"
"Apa aku juga harus melepas semua yang ku kenakan sampai kau paham?"
Ayyas terhenyak. Ia paham maksud Linor. Dia juga lelaki normal. Jantungnya berdegup kencang. Aliran darahnya menghangat. Tidak akan ada orang yang melihat jika ia melakukan ajakan Linor. Keluarganya juga tidak akan tahu kalau ia melakukan itu.
Orang takut kehormatannya jatuh karena ketahuan melakukan perbuatan yang diharamkan itu.
Tetapi kehormatannya tidak akan jatuh, ia rasa, karena tidak akan ada yang mengetahuinya.
Ayyas melihat Linor yang perlahan bangkit dari duduknya. Ayyas juga bergerak bangkit dari duduknya di atas lantai. Saat itu akal sehat Ayyas nyaris tertutupi oleh apa yang dilihatnya. Ayyas hampir tergelincir dalam dosa besar. Shalatnya hampir saja sia-sia belaka. Tiba-tiba ia
teringat bahwa tetap ada yang melihat, tetap saja ada yang menyaksikan apa yang akan dilakukannya dengan Linor, yaitu Allah Yang Maha Melihat.
Allah Maha Melihat.
Alangkah celakanya dirinya jika sampai melakukan dosa besar yang dilarang agama itu.
Alangkah meruginya, jika ia melakukannya, dan kemudian semua amal-amal saleh yang ia jaga
mati-matian selama ini kemudian menjadi terhapus dan sia-sia belaka.
Ayyas kembali memegang kendali akal sehatnya.
"Jadi kau mau?" Lirih Linor dengan senyum penuh kemenangan.
"Mendekatlah!" Jawab Ayyas dengan suara bergetar. Linor mendekat.
"Berbaliklah, aku ingin melihat punggungmu!" Ayyas semakin gemetar ketika Linor begitu
dekat dengannya. Linor mengikuti perintah Ayyas.
Perempuan muda itu membalikkan tubuhnya. Begitu melihat punggung Linor, Ayyas langsung
mengetuk satu titik di punggung Linor dengan pukulan cukup keras. Dan akibatnya, "Aaa!"
Linor menjerit keras lalu pingsan. Ayyas segera menangkap tubuh Linor supaya tidak jatuh berdebam ke lantai.
Ayyas menurunkan tubuh Linor perlahan ke lantai. Ia lalu mengambil mantel Linor yang ada
di sandaran kursi. Ayyas berusaha memakaikan mantel itu ke tubuh Linor. Setelah itu Ayyas
menuju pintu. Pintu itu terkunci. Kuncinya tidak ada di tempatnya. Ia berpikir sejenak. Ia menduga Linor memasukkan kunci pintu kamarnya ke saku mantelnya. Ia cari kunci itu di saku mantel Linor. Dan benar.
Ayyas membuka pintu kamarnya, lalu menyeret tubuh Linor dan membiarkan tubuh itu
terkulai begitu saja di atas karpet ruang tamu. Setelah itu ia menutup pintu kamarnya. Menguncinya. Dan menggeser meja di kamarnya sebagai pengganjal pintu kamarnya.
Setelah itu Ayyas menangis tersedu-sedu.
"Hampir saja ya Allah. Oh hampir saja ya Allah!" Rintihnya sambil menangis. "Rabbana
zhalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khasiriin." Ayyas terus mengulang-ulang doa itu dengan airmata terus meleleh.
Ia sadar Allah lah yang menyelamatkan dirinya. Imannya ternyata masih lemah. Kekuatan
imannya belum kuat untuk menghadapi godaan setan yang tampil dalam pesona kemolekan perempuan seperti Linor. Ia yang baru saja shalat, yang baru saja mengisi kekuatan iman, begitu
setan mendatangkan Linor di kamarnya, ia langsung tidak berdaya. Kalau bukan karena Allah,
maka dirinya akan benar-benar dihina oleh setan untuk selama-lamanya.
Ia juga sadar, bahwa berhijrah ke tempat yang lebih baik, harus dilakukan secepat mungkin.
Bahkan tidak boleh ditunda samasekali meskipun cuma satu malam. Semestinya, jika ia tetap
bermalam di rumah Pak Joko setelah makan malam, dan baru kembali ke apartemennya
keesokan harinya untuk merapikan dan mengambil barang-barangnya, maka kejadiannya akan berbeda. Ia akan lebih selamat dari tipu daya setan.
Dengan adanya kejadian yang nyaris membuat dirinya terhina seumur hidup itu, keputusannya
untuk segera meninggalkan tempat di mana selama ini ia tinggal semakin bulat. Ia sudah bersumpah mulai besok siang, ia tidak akan menginjakkan kakinya di apartemen itu lagi.
Setelah airmatanya mulai berhenti meleleh, ia mengambil air wudhu untuk kembali shalat dan
bersujud kepada Allah. Ia harus terus minta pertolongan Allah. Ia teringat kalimat Ibnu Athaillah,
"Kalau kamu tahu bahwa setan tidak pernah melupakanmu dan terus berupaya membinasakan
kamu, maka kamu janganlah lupa kepada Tuhan yang nasibmu berada di tangan-Nya."

***


Kira-kira tiga jam Linor pingsan. Menjelang pukul empat dini hari, ia siuman. Awalnya ia
kaget tegeletak di lantai ruang tamu. Setelah ingatannya benar-benar pulih, ia sadar apa yang
telah terjadi. Ia diminta membalikkan badan oleh Ayyas dan tiba-tiba punggungnya disodok sangat keras dan ia pingsan. Ia tidak tahu setelah itu apa yang dilakukan Ayyas kepada dirinya.
Tiba-tiba ia sangat marah. Ia ingin tahu apa yang telah diperlakukan Ayyas pada dirinya ketika pingsan. Apakah pemuda itu memperkosanya? Jika benar, ia akan menuntut pemuda itu. Ia tidak mau hanya dijadikan boneka oleh pemuda itu.
Linor bangkit. Punggungnya masih sedikit sakit. Ia melangkah ke kamarnya. Ia buka
laptopnya. Dan ia putar ulang rekaman dari kamera yang ia pasang di kamar Ayyas. Ia melihat
ulang apa yang terjadi. Mulai sejak ia masuk ke kamar itu. Ia menguncinya dari dalam. Dan
seterusnya sampai ia membalikkan badan. Ayyas ternyata menotok punggungnya dengan keras.
Ayyas menjaga tubuhnya agar tidak jatuh membentur lantai. Ayyas lalu mengenakan mantel
yang ia letakkan di sandaran kursi. Lalu Ayyas menyeretnya keluar.
Kemudian Linor melihat rekaman yang di ruang tengah. Nampak dirinya diseret oleh Ayyas
dan dibiarkan telentang di atas lantai begitu saja. Ayyas lalu masuk ke kamarnya.
Pemuda itu sama sekali tidak menodai dirinya. Sama sekali. Kecantikan dirinya yang ia banggakan sama sekali tidak menarik pemuda itu. Penampilannya yang ia anggap akan meruntuhkan semua iman lelaki yang melihatnya sama sekali tidak menggoyahkan iman pemuda itu. Ia nyaris tidak percaya melihatnya. Ia juga nyaris tidak percaya ada pemuda yang begitu teguh menjaga kesuciannya.
Tiba-tiba ia merasa kerdil dan hina. Ia merayu-rayu. Tapi rayuan itu sama sekali tidak ada gunanya. Ia bertanya pada dirinya, apa sebenarnya tujuannya merayu pemuda itu. Kalau mau bersenang-senang dengan lelaki bukankah ia bisa ke klub-klub malam di Tverskaya? Kenapa
harus melakukan perbuatan konyol seperti itu? Dan betapa memalukan dirinya diseret seperti
bangkai anjing penyakitan seperti itu. Lalu ditinggalkan begitu saja. Ia merasa dihina. Dan ia
akan segera membalasnya. Tak lama lagi ia akan membuat pemuda itu diseret bagai bangkai anjing oleh para polisi yang menangkapnya. Ya, tak lama lagi setelah bom meledak di Metropole
Hotel dan mengguncang kota Moskwa.

***


Pagi itu, tak ada tegur sapa antara Ayyas dan Linor ketika bertemu. Ayyas telah rapi ia menenteng tas ranselnya. Demikian juga Linor, juga telah rapi dan siap pergi dengan membawa tas ransel dan koper. Keduanya bertemu di ruang tamu. Keduanya nampak sama-sama ingin keluar pagi itu. Linor telah berjalan selangkah lebih dulu. Ia mengenakan sepatu musim dinginnya. Ayyas menunggu dengan wajah dingin. Setelah Linor selesai memakai sepatunya, barulah Ayyas bergegas mengambil sepatunya.
Itu masih pagi sekali. Belum jam tujuh. Yelena dan Bibi Margareta belum terdengar suaranya.
Linor melangkah membuka pintu. Sebelum keluar, dengan muka marah dan dingin, Linor
berkata kepada Ayyas, "Hei bodoh, tunggu pembalasanku! Ingat, tunggu pembalasanku!" Ia lalu
membanting pintu dan melangkah cepat. Ayyas tersentak dengan ketidakramahan Linor
pagi itu. Ia menyerahkan semuanya kepada Allah.
Ia jadi teringat bagaimana marahnya Zulaikha kepada Yusuf ketika Yusuf tidak memenuhi keinginan Zulaikha. Yusuf sampai menderita harus dipenjara bertahun-tahun. Apakah dirinya akan mengalami nasib seperti Yusuf, ia akan dipenjara di Moskwa ini karena tidak mau memenuhi ajakan Linor? Hanya kepada Allah ia kembalikan segala urusan.
Pagi itu tujuan Ayyas adalah rumah Pak Joko. Ia ingin makan pagi dengan Pak Joko! Setelah
shalat Subuh ia di-sms oleh Pak Joko untuk datang makan pagi bersama. Setelah itu ia akan
ke MGU menemui Doktor Anastasia Palazzo. Ia merasa tidak bijak jika terus bersikap seperti
anak-anak pada Doktor Anastasia Palazzo. Ia tetap harus menemui pembimbingnya itu. Dan ia
harus berterus terang bahwa ia tidak suka dengan ciuman yang dilakukan Doktor itu setelah seminar tentang Ketuhanan waktu itu. Ia harus menjelaskan dengan detil apa yang menjadi prinsip dan pegangan hidupnya yang akan ia pegang teguh sampai ajal menjemput. Dengan penjelasan yang luas ia berharap Doktor Anastasia akan maklum dan tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sangat tidak diinginkannya itu.
Itu yang ia rasa harus ia lakukan. Apalagi Doktor Anastasia Palazzo sampai mendatangi apartemennya. Itu berarti ada hal yang memang penting yang ingin disampaikan doktor muda itu kepada dirinya. Walau bagaimanapun, setelah ia menerima Doktor Anastasia sebagai pembimbingnya selama di Moskwa mewakili Profesor Abraham Tomskii, ia telah mengakui doktor muda itu sebagai gurunya. Guru yang memberikan bimbingan penelitiannya. Dan sebagai santri yang pernah ngaji kitab Talimul Mutdallim, ia tetap harus menghormati gurunya. Yang baik ia ambil darinya, yang tidak baik ia buang saja.
Sementara Linor, pagi itu pergi untuk mengamankan segala data yang berkaitan dengan aktivitasnya sebagai agen Israel selama ini.
Segala data dan berkas itu telah ia masukkan ke dalam koper yang dibawanya. Ia akan memindahkannya ke sebuah tempat yang tidak ada seorang pun yang tahu kecuali dirinya sendiri.
Ia harus mengamankan segala data dan segala sesuatu yang memancing kecurigaan pihak keamanan Rusia, karena tidak lama lagi akan ada pemboman Metropole Hotel yang sudah dirancang dengan detil oleh Ben Solomon dan anak buahnya. Dan semua media, juga pihak keamanan Rusia, dan nantinyal opini dunia akan digiring bahwa pelakunya adalah seorang pemuda Indonesia bernama Muhammad Ayyas, yang ternyata anggota jaringan Islam garis keras yang berbahaya.
Pihak keamanan Rusia akan diarahkan untuk menggeledah tempat tinggal Ayyas. Dan di
kamar Ayyas akan] ditemukan ransel berisi bahan peledak dan buku-buku Islam, Tidak mustahil
pihak keamanan Rusia juga akan menggeledah kamar Yelena dan Linor. Karena itulah Linor sudah bersiap-siap dan mengamankan semuanya. Ia hanya meninggalkan barang-barang yang sama sekali tidak akan membuat pihak keamanan curiga.
Setelah meletakkan kopernya di tempat yang hanya ia yang tahu, Linor akan langsung terbang
ke Kiev, ibu kota Ukraina?! Sudah tiga kali ibunya memintanya untuk datang. Ia tidak memberitahu Ben Solomon bahwa dirinya terbang ke Kiev. Ia hanya minta izin saat peristiwa pengeboman itu terjadi. Ya, saat bom mengguncang Mokswa ia akan berada di luar jauh sana. Ia baru akan ke Moskwa ketika Ayyas sudah dipenjara-dan ia akan menjenguk anak muda itu di saat anak muda itu terlihat putus asa dengan nasibnya. Barulah ia akan mengatakan kepadanya, "Inilah pembalasanku!"

***


Di ruang Profesor Tomskii, nampak Doktor Anastasia sedang sibuk di depan laptopnya. Ia
sedang sibuk mengakses data ke beberapa perpustakaan di dunia. Data-data itu ada yang bisa
dia down load, atau dia copy, ada juga yang sifatnya hanya bisa ia baca. Ia sedang sibuk mendownload dan sesekali menulis beberapa hal penting dari data yang hanya bisa ia baca.
Meskipun sibuk seperti itu, ternyata konsentrasi Doktor Anastasia sebenarnya tidak sepenuhnya pada data-data yang sedang ia kumpulkan. Sebagian pikirannya terus tidak lepas dari Ayyas.
Siang itu adalah batas waktu dia harus memberi jawaban kepada pihak stasiun televisi tentang
kesediaan Ayyas dan dirinya. Untuk dirinya tidak ada masalah, dia jelas bersedia. Sedangkan untuk Ayyas, ia tidak tahu. Tidak ada kabar dari Ayyas.
Ia yakin ibu-ibu tua yang ada di apartemen Ayyas itu pasti menyampaikan pesannya kepada Ayyas. Jika pihak stasiun televisi menelponnya ia akan mencoba minta tambahan waktu sampai
malam. Pagi-pagi sekali ia akan memberi kabar. Ia sudah mengambil keputusan bulat, jika sampai sore Ayyas tidak juga memberi kabar dan tidak juga datang, ia akan kembali mendatangi apartemen Ayyas. Jika bertemu di sana, dia bersyukur.
Jika ternyata Ayyas tidak ada di apartemen, ia akan menunggu sampai Ayyas pulang.
"Doktor Anastasia, apa kabar?" Seseorang menyapanya.
Karena kedua matanya tertuju sepenuhnya pada layar laptop, dan pikirannya mengembara ke mana-mana, Anastasia sama sekali tidak sadar kalau ada seseorang memasuki ruangan itu dan kini orang itu telah berdiri tak jauh di hadapannya. Dokter Anastasia mengangkat pandangannya dan ia terkesima seketika.
"Oh kau!" Kata Doktor Anastasia Palazzo setengah tidak percaya.
"Ya. Kenapa Doktor seperti kaget begitu?" Jawab orang itu dengan tenang, yang tak lain adalah Muhammad Ayyas.
"Aku kira kau tidak akan datang lagi? Aku kira kau sudah pulang ke Indonesia atau ke India?"
Doktor Anastasia Palazzo menjawab sekenanya.
"Di mana saja kau selama ini? Kau tidak memberi kabar, tidak sms, juga tidak menelpon. Ditelpon tidak bisa, disms tidak dibalas. Ada apa denganmu?" Lanjut Anastasia sambil bangkit
dari tempat duduknya. Doktor muda itu Nampak bahagia dengan kedatangan Ayyas.
"Maafkan saya Doktor, agak lama saya tidak memberi kabar, saya ada sedikit masalah."
"Masalah apa?"
"Saya sedang marah kepada seseorang."
"Marah kepada seseorang? Apa hubungannya dengan kehadiranmu ke sini?"
"Sangat berhubungan. Sebab, terus terang saja, saya marah pada Anda, Doktor?"
"Marah pada saya? Apa yang saya lakukan sehingga membuatmu marah?"
"Anda telah berlaku tidak patut pada saya."
"Apa itu? Saya tidak paham."
"Anda telah mencium saya dengan semena-mena."
"Jadi karena ciuman itu?!" Anastasia kaget.
"Ya."
"Itu biasa saja. Aku pikir kau suka."
"Aku tidak mau mendapat ciuman dari perempuan yang tidak halal bagi saya. Anda bukan
siapa-siapa saya. Bukan ibu saya, bukan kakak saya, dan bukan adik saya. Anda tidak halal bagi
saya. Anda tidak boleh mencium saya. Dan saya tidak boleh mencium Anda. Kalau Anda mencium saya atau saya mencium Anda, kita telah menodai kesucian diri kita. Kita telah melakukan dosa. Itu ajaran agama saya."
"Kalau istri mencium suaminya?"
"Boleh. Halal. Bahkan mendatangkan pahala dari Tuhan."
"Maafkan aku kalau begitu. Aku tidak tahu. Aku tidak akan mengulanginya, kecuali nanti kalau aku suatu saat halal bagimu." Kata Doktor Anastasia Palazzo pelan.
Hati Ayyas bergetar mendengar kata-kata Doktor Anastasia Palazzo. Kalimat terakhirlah yang membuat hatinya bergetar. Seolah doctor cantik itu berharap, suatu saat akan menjadi perempuan
yang halal baginya.
"Baiklah. Kita lupakan saja yang sudah berlalu. Sekarang kalau boleh saya mau tanya, apa benar kemarin petang Doktor mendatangi apartemen saya? Dan berpesan pada Bibi Margareta ada sesuatu yang penting yang ingin Doktor sampaikan kepada saya?"
"Benar. Aku datang ke sana, karena aku tidak menemukan cara lain untuk menghubungimu.
Memang ada hal sangat penting yang ingin aku sampaikan. Ada stasiun televisi yang mengundang kita. Mengundang aku dan kamu untuk talk show di acara 'Rusia Berbicara' untuk membincangkan masalah ketuhanan seperti yang ada di seminar itu. Dua hari lagi acaranya. Kau bisa ya?"
"Menurut Doktor saya harus bagaimana?"
"Datang. Nanti bersama saya."
"Si Viktor Murasov yang pembeo Nietzsche itu datang juga?
"Mungkin. Saya tidak tahu persis. Yang jelas kita berdua diundang untuk jadi narasumber."
"Baiklah Doktor. Saya siap."
"Terima kasih. Saya senang sekali. Saya akan langsung memberitahu Direktur Programnya."
"Itu acaranya pagi, atau sore, siang atau malam?"
"Kalau tidak salah siang. Tepat pas waktu makan siang. Nanti saya pastikan."
"Baiklah.”
"Ini sudah saatnya makan siang. Kau mau aku traktir makan siang di stolovaya” Tanya Anastasia dengan mata berbinar.
"Tidak. Terima kasih Doktor. Saya masih kenyang. Sebelum ke sini tadi saya baru makan di KBRI. Saya mau pesan teh panas pada Bibi Parlova saja."
"O begitu. Kalau begitu biar saya yang pesan pada Bibi Parlova. Kau duduk saja dan bisa mulai
melanjutkan penelitianmu."
"Baik. Terima kasih Doktor."
Ayyas heran dengan sikap Anastasia yang begitu ramah padanya melebihi biasanya. Doktor itu bahkan sampai meladeninya memesankan teh panas pada Bibi Parlova. Apakah benar ledekan Yelena itu? Ia jadi ingat setelah ia panjang lebar menjelaskan tentang jenis-jenis atheisme, Yelena berkomentar, "Penjelasanmu runtut dan memahamkan. Bahkan bisa membuat orang terpana.
Wajar kalau pembicara yang di sampingmu yang cantik itu sampai menciummu begitu kau selesai berbicara. Kelihatannya dia jatuh cinta padamu. Siapa namanya? Anastasia...?"
Apakah sikap Anastasia itu adalah tanda-tanda bahwa dia jatuh cinta padanya?
Ayyas beristighfar. Ia memohon kepada Allah agar dirinya dilindungi dari godaan setan yang
terkutuk. Juga memohon kepada Allah agar dilindungi dari godaan perempuan yang sering
membuat tak berdaya kaum lelaki di mana saja. Ia merasa, setelah lolos dari sergapan setan
melalui Linor, ujian berat berikutnya nampaknya akan datang melalui Anastasia Palazzo yang tak kalah jelita dan menariknya.

***


Salju baru berhenti turun ketika Linor tiba di Bandara Internasional Boryspil. Hanya masih ada
satu dua butir salju yang jatuh melayang dari langit. Linor langsung menaiki FM Taxi begitu
keluar dari bandara. Hari mulai gelap. FM Taxi itu meluncur ke utara menuju tengah kota Kiev
yang jaraknya tidak kurang dari 40 km dari Boryspil.
Linor tidak menuju Sunflowe B&B Hotel seperti yang disarankan oleh Yelena. Hotel model itu
kurang cocok untuk seorang agen seperti dirinya. Ia lebih suka untuk meletakkan tasnya di
Shreborne Guest House yang letaknya tak jauh dari stasiun metro Arsenalna, dan dari sungai
Dnipro yang ada di sisi timur kota Kiev.
Tujuan Linor terbang ke ibu kota Ukraina bukan untuk menginap di hotel, atau untuk sebuah
operasi intelijen. Samasekali tidak. Tujuan sebenarnya adalah untuk menemui ibunya yang sudah hampir satu tahun tidak bertemu dengannya. Untuk menemui ibunya ia tidak mau ada satu agen pun yang tahu, termasuk Ben Solomon.
Ia memiliki lima paspor dari lima Negara dengan nama yang berbeda-beda, identitas yang
berbeda dan wajah yang sedikit berbeda. Agen yang lain tahunya ia memiliki empat paspor, termasuk paspor Rusia. Ada satu paspor yang sangat ia rahasiakan, dan itu adalah paspor yang ia gunakan untuk memasuki Ukraina untuk menemui ibunya. Jika di paspor Rusia namanya adalah Linor dan ia juga memiliki ID Card resmi dari Pemerintah Rusia dengan nama Linor, maka untuk paspor yang ia gunakan memasuki Ukraina ia memilih nama Sofla Corsova, berkebangsaan Belarusia.
Sofia adalah nama yang diberikan oleh ibunya untuknya. Dan Corsov adalah nama kakeknya,
ayah ibunya. Nama ibunya sendiri sesungguhnya adalah Ekaterina, yang lahir di kota Ratomka,
Belarusia. Lengkapnya Ekaterina Corsova Fyodorovna. Tetapi oleh ayahnya nama ibunya itu
diganti menjadi Shim'ona Jelinek agar lebih Nampak kental Yahudinya.
Nama ayahnya sendiri adalah Eber Jelinek. Dan namanya sendiri yang ada di dokumen sejak
kecil adalah Sarah Jelinek. Itu namanya yang sebenarnya, karena itu adalah nama pemberian
ayahnya dan mengikut kepada nama keluarga ayahnya. Dari lima paspor yang ia miliki, salah
satunya memakai nama Sarah Jelinek, berkebangsaan Polandia.
Jadi dari data dan realitas yang ia tahu, meskipun sejak usia dua belas tahun ia hidup di
Moskwa dan hidup sebagai orang Rusia serta diakui sebagai warga Rusia, ia sesungguhnya
adalah berdarah Belarusia dan Polandia. Tepatnya berdarah Yahudi Belarusia dan Polandia.
Ayahnya sering mengatakan, kalau darah ayahnya adalah Yahudi tulen yang masih terjaga darah ras Yahudinya. Dan karena ayahnya adalah Yahudi tulen ia sangat bangga menjadi anak ayahnya yang dengan sendirinya berarti ia Yahudi tulen. Ia merasa menjadi manusia paling beruntung karena ditakdirkan menjadi Yahudi, yang menurut para rabi dan para hakhom, Yahudi adalah manusia pilihan Tuhan di atas muka bumi ini.
Setelah istirahat sebentar di kamar eksekutif Shreborne Guest House, Linor menghubungi
penyewaan mobil. Ia menyewa mobil sedan hitam untuk beberapa hari. Malam itu juga ia meluncur ke arah selatan, meninggalkan kota Kiev. Ia mengendarai mobil sedan hitam itu menuju sebuah kawasan Pyrohovo yang terletak delapan kilometer dari kota Kiev.
Sampai di Pyrohovo Linor membawa mobilnya memasuki jalan Horodotska. Ia mencari apartemen bernuansa Romawi. Tak lama kemudian ia menemukan apartemen itu. Perlahan ia
mengarahkan mobilnya memasuki tempat parker dan ia langsung menuju lantai tujuh. Tepat di depan pintu 7011 Linor menelpon ibunya. Ketika ibunya menanyakan di mana keberadaannya,
Linor mengatakan, "Mama, bukalah pintu, aku berada tepat di depan pintu apartemen Mama."
Pintu terbuka. Seorang perempuan yang belum begitu tua muncul dari balik pintu. Sebagian
rambut perempuan tua itu telah memutih, tetapi kulit wajahnya masih segar. Hidungnya
mancung, dan tatapan matanya tajam. Perempuan itu langsung membuka tangannya lebar-lebar
sambil tersenyum. Linor menghambur ke pelukannya dengan hati damai. Kini ia merasa damai
dalam dekapan ibunya.
Dulu saat masih remaja, ia selalu ingin lepas dari ibunya, juga dari ayahnya. Setelah ia lepas dan benar-benar hidup bebas, ia sering merasa hatinya gelisah entah kenapa. Dan dalam dekapan ibunya selalu merasa tenang. Seolaholah dada ibunya itu telah menyedot seluruh gelisahnya.
Setelah ayahnya meninggal dua tahun lalu karena terkena kanker liver, ibunya hidup sendiri.
Ia memilih hidup di desa yang pernah menjadi kenangan ibunya waktu remaja. Yaitu desa Pyrohovo, yang berada di pinggir selatan ibu kota Ukraina. Menurut cerita ibunya sendiri, ibunya
memang lahir di Ratomka, Belarusia, tahun 1957.
Kakeknya adalah seorang dokter gigi yang bekerja pada dinas kesehatan pemerintah. Sebenarnya, kakeknya mengawali kariernya di Minsk, tetapi dalam perkembangan kariernya, dia ditugaskan di Ratomka sebagai ketua pengawas kesehatan di kota itu. Dalam kondisi yang cukup
baik itulah ibunya dilahirkan.
Kakeknya orang Belarusia biasa yang pada waktu muda dulu belajar ilmu kedokteran di Universitas Negeri Moskwa. Neneknyalah yang masih memiliki aliran darah Yahudi. Neneknya,
konon, termasuk Yahudi yang melarikan diri dari Polandia dan bisa sampai di Moskwa dengan
selamat ketika PD II berkecamuk dengan sengitnya. Di Moskwa itulah neneknya bertemu dengan kakeknya. Selanjutnya neneknya menikah dengan kakeknya, dan terus ikut kakeknya ke
mana pun kakeknya pergi dan di mana pun kakeknya berada.
Dari pernikahan kakek dan neneknya itu lahirlah ibunya yang diberi nama Ekaterina. Dan tiga
tahun berikutnya, lahirlah bibinya yang diberi nama Agneszka. Mereka berdua lahir di Ratomka, tapi kemudian besar di Pyrohovo.
Menurut cerita ibunya, ketika ibunya memasuki usia sebelas tahun, kakeknya pindah ke Ukraina
karena adanya perselisihan yang serius dengan pegawai dinas kesehatan kota Ratomka yang lain.
Kakeknya tidak bisa tenang dengan perselisihan itu, akhirnya memilih pindah ke Ukraina.
Kakeknya langsung mendapat kepercayaan memimpin sebuah klinik kesehatan di Kiev, tetapi
kakeknya memilih tinggal di luar kota Kiev. Tepatnya di desa Pyrohovo. Sejak itu kakek, nenek, ibu dan bibinya tinggal di desa Pyrohovo. Ibu dan bibinya berkembang dan menghabiskan masa
remajanya di desa itu.
Sayangnya rumah yang dulu ditempati ibunya ketika masa remaja sudah dijual oleh kakeknya
sebelum meninggal. Dan kini rumah itu sudah diratakan dengan tanah. Di atasnya telah di bangun toko swalayan serba ada, semacam universam kalau di Moskwa.
Akhirnya ibunya memilih tinggal di apartemen di jalan Horodotska. Apartemen itu ayahnya
yang membelikan, tapi diatas namakan seorang nenek tua penduduk Pyrohovo yang miskin dan
hidup sebatang kara. Nenek itu bernama Natasha, dan kini tinggal berdua dengan ibunya. Ayahnya sudah menyegel bahwa begitu Natasha meninggal, maka secara otomatis apartemen itu menjadi milik ibunya yang dalam segel itu dianggap sebagai satu-satunya pewaris nenek yang hidup sebatang kara itu.
Ayahnya sampai melakukan hal rumit seperti itu demi mengamankan ibunya dari musuh-musuh
ayahnya yang tidak sedikit. Ayahnya ingin agar ibunya dan segala yang dimiliki oleh ibunya tidak terlacak oleh para intelijen mana pun. Setelah ayahnya meninggal, ibunya langsung
menghilang dari peredaran. Teman-teman ayahnya di Moskwa bahkan tidak tahu di mana
ibunya berada. Banyak yang beranggapan ibunya juga telah meninggal bunuh diri karena frustasi. Padahal ibunya kini hidup tenang di daerah Pyrohovo dengan harta peninggalan ayahnya yang melimpah.
"Kau selalu mengejutkan Mama." Kata Madame Ekaterina dengan mata berkaca-kaca karena
terharu bahagia. Madame Ekaterina mengendorkan pelukannya tapi kedua tangannya yang mulai keriput itu memegang kepala Linor dan menghadapkan ke wajahnya dengan penuh lembut.
"Aku ingin membuat Mama terkejut bahagia."
Jawab Linor sambil menatap mata ibunya dengan penuh cinta.
"Dan kau sudah berhasil melakukannya."
"Mama sehat-sehat saja?"
"Ya. Seperti yang kau lihat. Kau sendiri bagaimana, Anakku?"
"Linor baik-baik saja, Mama."
"Ah kenapa masih juga kau pakai nama itu. Mama lebih suka kau memakai nama Sofia."
"Baiklah kalau bersama Mama, aku akan memakai nama Sofia." Kata Linor halus. Perangainya
sangat berbeda ketikal bersama orang lain. Biasanya Linor selalu dingin dan kelihatan! tidak peduli. Tetapi kepada ibunya Linor begitu lembut dan penuh perhatian.
Mereka berdua masuk ke dalam apartemen dan menutup pintu. Ruang tamu apartemen itu
bernuansa Rusia klasik nanl mewah. Dindingnya berwarna putih gading. Langit-langitnya berhias ukiran khas Rusia yang berwarna keemasan. Lampu kristal yang indah menggantung di
tengah ruangan. Jendela yang tertutup rapat dihiasi gorden yang indah dari sutra yang1 disulam
dengan benang-benang emas. Siapa pun yang memasuki ruang tamu itu akan merasa berada di
salah satu ruang pembesar kekaisaran Rusia abad delapan belas. Itu juga yang dirasakan oleh
Linor.
"Istirahatlah di kamarmu. Mama sudah mempersiapkannya sejak memintamu datang. Istirahatlah dulu. Nanti akan Mama panggil untuk makan malam bersama."
"Baik Mama."
Linor langsung melangkah memasuki sebuah kamar yang cukup besar. Itu adalah kamarnya.
Sudah beberapa kali ia tidur di kamar itu sejak ibunya memutuskan untuk menghabiskan masa
tua di daerah Pyrohovo yang terletak di pinggir kota Kiev itu. Linor merebahkan tubuhnya ke
kasur empuk. Tubuhnya terasa begitu dimanja oleh kenyamanan kasur itu. Ia hampir terlelap, ia
teringat untuk mandi dengan air hangat.
Sudah tiga hari ia tidak mandi. Tidak mandi beberapa hari adalah hal yang biasa ia lakukan di
musim dingin. Ia merasa cukup dengan membersihkan muka dan memakai bedak penyegar untuk tubuhnya, serta parfum tubuh untuk pengharum. Itu sudah cukup. Tetapi setelah tiga hari tidak mandi ia merasa harus mandi agar tubuh terasa lebih segar. Maka Linor pun hanyut dalam kenikmatan belaian air hangat yang kesegarannya dapat ia rasakan sampai ke seluruh tulang-tulang tubuhnya.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Madame Ekaterina memanggilnya untuk makan malam.
Linor menuju meja makan dengan nafsu makan yang menyala. Ibunya sudah duduk menunggu,
juga seorang perempuan yang sudah renta bernama Natasha.
Di atas meja nampak roti Ukraina yang masih hangat. Di sampingnya ada sup jamur, ada juga pay isi daging kelinci yang juga masih hangat dan potongan-potongan keju keras yang ditaburi merica ala Italia. Menu makan malam itu dilengkapi salad yang terdiri atas berbagai jenis sayuran dan buah yang dicampur dengan minyak Zaitun yang harum. Linor juga mencium aroma
segar teh Long Jing. Teh termahal di dunia yang dipetik dari perkebunan teh Long Jing di daerah
Hang Zhou, China.
Ibunya memang memiliki selera minum the yang sangat tinggi. Ia punya daftar puluhan jenis
teh paling enak di dunia. Selain teh Long Jing, teh paling enak di atas muka bumi ini adalah teh
hijau dari perkebunan teh Solok, Sumatera Barat, Indonesia. Ibunya biasa mendapatkan teh itu
tidak dari Indonesia, tapi justru dari Amsterdam, Belanda.
Linor makan malam dengan sangat bersemangat. Ia menyantap habis pay isi daging kelinci yang masih hangat itu. Pay buatan ibunya itu memang salah satu makanan kesukaannya sejak kecil. Sup jamur yang masih panas itu membuat badannya terasa hangat. Dan kehangatan itu
disempurnakan oleh segarnya teh Long Jing.
Madam Ekaterina, nampak sangat bahagia melihat Linor makan seumpama orang yang berhari-hari tidak makan. Hampir semua hidangan yang tersaji di atas meja, Linorlah yang menyantapnya. Setelah makan malam, Madame Ekaterina Corsova Fyodorovna mengajak Linor ke kamarnya yang luas. Kamar itu tertata dengan sangat mengagumkan. Tiga tirai keemasan
melindungi jendela-jendela kaca-gandanya.
Langit-langitnya dihiasi ornamen keemasan. Di salah satu dindingnya nampak rak buku yang
membuat kamar itu jika dilihat dari sudut itu, seumpama perpustakaan yang memiliki koleksi
buku klasik dan kontemporer sama banyaknya.
Di atas tempat tidur yang nampak elegan itu ada lukisan besar cat minyak yang menghidupkan
kamar mewah itu. Yaitu lukisan bunga mawar putih yang begitu segar. Jika dilihat dari jarak
agak jauh sambil sedikit melangkahkan kaki, bunga mawar itu bisa nampak seperti bergerak
pelan seperti tertiup angin.
Madame Ekaterina meminta Linor duduk di sofa yang empuk. Sofa itu menghadap ke layar
televisi flat yang sangat besar. Madame Ekaterina duduk dengan tenang. Ia memandangi Linor yang malam itu nampak sangat anggun dalam balutan gaun merah tua berlengan panjang yang Nampak klasik sekaligus modern.
"Kau semakin cantik, Anakku." Puji Madame Ekaterina sambil tersenyum pada Linor.
"Karena Mama cantik."
"Jadi kau merasa cantik karena kecantikanmu itu menurun dari Mama?"
“Iya.”
"Apa kau masih lelah, Anakku?"
"Tidak Mama. Rasa lelah itu sudah hilang begitu Sofia bertemu Mama." Linor sudah menyebut dirinya sebagai Sofia. Nama yang dicintai oleh ibunya.
"Bolehkah Mama mengajakmu bicara panjang lebar sampai larut malam?"
"Dengan senang hati Mama."
"Aku ingin kau mengetahui siapa kau sebenarnya?"
"Mengetahui siapa aku sebenarnya? Apa maksud Mama?"
"Mama merasa ini sudah waktunya. Kau harus tahu siapa kau sebenarnya, sehingga kau benar-benar akan mendapatkan kemerdekaanmu yang sebenarnya. Mama ingin kau benar-benar merdeka menentukan jalan hidupmu, setelah kau mengetahui jatidirimu yang sesungguhnya. Mama tidak ingin kau dijajah oleh siapapun dan apapun, termasuk dijajah oleh kenyataan yang
selama ini Mama tutup rapat-rapat darimu." Madame Ekaterina bangkit menuju layar televisi.
Tetap duduklah di situ. Mama ingin kau melihat dokumen sejarah ini." Kata Madame Ekaterina
sambil membuka rak kaca berisi kaset-kaset video.
Tak berapa lama Madame Eketerina sudah berhasil memutar sebuah kaset dengan pemutar kaset video yang terletak di bawah layar televise yang lebar itu. Di layar nampak keterangan yang
menjelaskan bahwa video itu adalah dokumen sejarah nyata yang direkam oleh seorang wartawan dari Kanada. Lalu keluarlah judul "Dokumentasi Pembantaian Sabra dan Shatila 1982."
"Apa hubungan diriku dengan pembantaian Sabra dan Shatila?" Tanya Linor agak penasaran.
"Duduklah dan lihatlah dengan baik-baik. Nanti Mama akan jelaskan semuanya."
Dilayar kaca nampak dari jarak yang agak jauh, seorang tentara berseragam hijau menembak
tubuh seorang anak kecil yang tangan dan kakinya terikat dengan kabel listrik. Terakhir
tentara itu memecahkan kepala anak kecil itu dengan senjata otomatisnya. Kamera kemudian
mengambil middle close up dari dada hingga muka anak kecil itu. Layar kaca itu seperti merah
kehitaman. Muka itu sudah tidak berbentuk.
Sepenuhnya darah. Benar-benar hancur. Kamera lalu bergerak menyusuri jalan. Tertulis di layar, itu adalah sebuah jalan di Sabra. Di jalan itu terlihat mayat-mayat bergelimpangan dan bertumpuk-tumpuk. Lalu nampak mayat seorang pria tua. Ia mengenakan baju panjang berwarna
cokelat muda dan kopiah putih. Pria tua itu ditembak di kepalanya dan kedua matanya telah
dicungkil.
Di layar kaca kemudian nampak rumah-rumah yang dirobohkan, bangunan-bangunan yang hancur, puing-puing, wajah-wajah yang ketakutan, dan seorang perempuan muda yang membawa bayi dengan wajah putus asa. Dua orang tentara mendekati perempuan muda itu dan merebut bayinya. Perempuan muda itu mati-matian mempertahankan bayinya. Tetapi beberapa detik kemudian darah muncrat dari jilbab putih yang menutupi kepalanya. Beberapa butir peluru menembus kepalanya. Bayinya juga mengalami nasib yang sama. Mayat perempuan muda dan anaknya itu tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Adegan penembakan lainnya di jalan utama kamp Sabra dan Shatila terekam jelas. Kemudiam
nampak di layar kaca tumpukan mayat terlihat di kedua sisi jalan. Lalu nampak mayat-mayat
yang tergeletak di gang-gang kecil di kamp, mayat-mayat yang ditumpuk di atas mayat-mayat
lainnya, tubuh-tubuh yang terpotong, dengan tangan-tangan yang terlepas, tubuh-tubuh yang
membusuk dan membengkak yang pastinya telah mati sehari atau dua hari sebelumnya.
Kamera kemudian mengambil close up mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah. Kerudung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh. Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan isinya terurai. Dahinya nampak lebam oleh pukulan benda keras. Yang membuat bulu kuduk tambah berdiri dada perempuan itu rusak, payudaranya seperti disayat-sayat sampai hancur.
Melihat pemandangan itu, Linor yang biasanya dingin . dan sering tidak memiliki rasa kasihan
kepada korban yang harus dibunuhnya, kali ini Linor merasakan kengerian dalam dirinya. Ia
tidak bisa membayangkan kalau hal itu terjadi pada dirinya.
Di layar kemudian nampak mayat-mayat yang tangan dan kakinya diikat dengan kabel listrik
dan mayat-mayat yang dipenuhi tanda bekas habis dipukuli sebelum akhirnya dibunuh. Mayat
anak-anak, bocah perempuan dan laki-laki serta wanita dan pria yang sudah renta. Beberapa mayat masih digenangi merahnya darah, lainnya tergenang dalam cairan darah yang kecoklatan,
bahkan menghitam.
Dan kembali nampak mayat-mayat wanita yang bajunya terlepas dari dari tubuhnya, tetapi kondisi tubuhnya terlalu rusak sehingga susah untuk mengatakan apakah mereka habis diperkosa atau disiksa sampai mati. Linor kembali merasakan kengerian menyusup ke dalam hatinya.
Layar kaca kemudian menampilkan sebuah stadion yang dipenuhi mayat yang bertumpuktumpuk
dan bergelimpangan. Di sekitar stadion nampak banyak pakaian wanita. Kamera lalu mengambil close up beberapa mayat wanita yang binasa tanpa pakaian. Lalu nampaklah seorang lelaki setengah baya yang wajahnya mengguratkan ketakutan, kecemasan sekaligus kemarahan.
Orang setengah baya itu adalah orang Libanon yang tinggal di dekat Sabra dan Shatila yang
selamat dari pembantaian. Dengan marah lelaki setengah baya itu memberikan kesaksian bahwa
banyak wanita dipaksa bertelanjang bulat, lalu diperkosa para tentara sebelum akhirnya dibunuh.
Setelah itu nampak seorang wanita Libanon yang selamat dari pembantaian. Ia memperlihatkan
rumahnya yang sebagian telah hancur, dan memberikan sebuah kesaksian, bahwa ia tinggal dekat stadion itu dan dari tempat persembunyiannya ia dapat melihat apa yang terjadi.
Ia merasa geram karena ada manusia yang tega berbuat seperti itu kepada sesamanya, la mengakhiri kesaksiannya seraya berteriak, "Jangan sampai ada lagi! Bahkan seorang nenek tujuh puluh tahun pun diperkosa tanpa ampun dan dibunuh dengan kejam."
Wanita itu gemetaran saking marahnya. Linor ikut gemetar. Dan Madame Ekaterina sejak awal
telah meneteskan airmata karena sedih yang luar biasa. Perempuan yang rambutnya sudah memutih itu seolah-olah kembali berada di tengahtengah kamp Sabra dan Shatila yang mencekam. Ia seolah-olah kembali mencium anyir darah. Ia kembali teringat ketika seorang wanita tua Libanon menyerahkan seorang bayi kepadanya untuk diselamatkan. Ia diminta untuk membawa pergi sejauh-jauhnya dari Sabra dan Shatila.
"Bawalah pergi, selamatkanlah nyawanya. Ibunya telah diambil para milisi itu. Bawalah dia,
aku percayakan padamu. Cepatlah pergi, tak ada waktu lagi. Tak lama lagi milisi-milisi itu akan
kembali mengadakan operasi. Mungkin akan tiba giliranku menyusul saudara-saudaraku yang telah terbunuh. Cepat bawalah bayi ini pergi. Hanya pintaku, suatu saat tolong beritahu dirinya, siapa sesungguhnya dirinya. Dirinya adalah orang Palestina. Ibunya Palestina. Ayahnya orang
Libanon. Ayah dan ibunya sudah gugur bertemu Allah di kamp Sabra dan Shatila."
Kata-kata wanita tua Libanon itu kembali terngiang-ngiang di telinganya. Seolah-olah ia baru saja mendengarnya. Madame Ekaterina tiba-tiba terisak-isak, airmatanya meleleh. Linor melihat
sesuatu yang tidak biasanya pada ibunya.
Tidak biasanya ibunya menangis menyaksikan orang-orang Palestina dibantai. Meskipun ibunya
tidak pernah ikut membantai, tetapi selama ini ia tahu ibunya selalu mendukung ayahnya yang sering melakukan operasi intelijen untuk kepentingan Israel.
Berkali-kali ayahnya menjadi dalang pembunuhan siapa saja yang mendukung perjuangan orang Palestina, dan ibunya tahu itu. Tapi ibunya tidak pernah menangis. Ibunya selama ini, sepengetahuan dirinya selalu mendukung ayahnya.
Tetapi kenapa kali ini menyaksikan pembantaian Sabra dan Shatila ibunya menangis. Kenapa?
"Ibu menangisi apa? Menangisi orang-orang Palestina yang mati itu?" Tanya Linor dengan ekspresi dingin.
"Anakku, cobalah kau putar ulang bagian perempuan muda yang gamisnya terkoyak-koyak,
payudaranya hancur tersayat-sayat tak berbentuk, perutnya sobek, dan isinya terurai. Cobalah putar ulang di bagian itu, Anakku." Kata Madame Ekaterina pelan.
Linor beranjak dari duduknya dan memenuhi permintaan ibunya. Ia memutar balik kaset video
itu. Kemudian ia kembali memutar adegan pembantaian Sabra dan Shatila. Di layar kaca yang
lebar itu langsung nampak gambar yang mengerikan. Mayat-mayat yang tergeletak di gang-gang kecil di kamp, mayat-mayat yang ditumpuk di atas mayat-mayat lainnya, tubuh-tubuh yang terpotong, dengan tangan-tangan yang terlepas, tubuh-tubuh yang membusuk dan membengkak
yang pastinya telah mati sehari atau dua hari sebelumnya.
Lalu nampak mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah. Kerudung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh. Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan isinya terurai. Dahinya Nampak lebam oleh pukulan benda keras. Yang membuat bulu kuduk tambah berdiri, dada perempuan itu rusak, payudaranya seperti disayat-sayat sampai hancur.
Kamera meng-close up mayat perempuan muda yang mati dengan cara sangat mengenaskan itu dengan sangat jelas. Siapa pun yang menyaksikan gambar itu, jika masih memiliki hati dan nurani yang sehat pasti akan merinding dan gemetar karena dicekam rasa ngeri sekaligus marah, marah sekaligus ngeri. Bagaimana mungkin ada manusia yang tega melakukan tindakan yang sedemikian keji kepada sesama manusia.
"Tolong dĆÆ-pause, Anakku!" Kata Madame Ekaterina kepada Linor.
Di layar kaca Nampak gambar midle close up perempuan itu dari dadanya yang rusak sampai kepalanya. Dahinya lebam membiru. Mata kanannya seperti telah dicukil. Ada darah mengalir di pojok bibirnya. Pipinya kotor oleh tanah dan bercak darah. Rambutnya yang pirang kecoklatan nampak awut-awutan. Jilbabnya lepas tak jauh dari kepalanya.
"Lihatlah gambar perempuan yang mati dengan sangat tragis itu, Anakku! Apa yang kau rasakan, Anakku?" bibir Madame Ekaterina bergetar, airmatanya meleleh.
"Aku tidak merasakan apa-apa Mama." Jawab Linor dingin.
"Kau tidak merasakan apa-apa? Tidak ada sedikit pun di hatimu rasa kasihan? Atau rasa marah pada orang yang berbuat keji pada perempuan itu?!" Sahut Madame Ekaterina dengan mata menyala.
"Tidak perlu kasihan. Kenapa harus kasihan pada orang bodoh seperti perempuan Palestina itu?" Jawab Linor sinis.
Airmata Madame Ekaterina meleleh semakin deras. Ingin rasanya ia menampar muka Linor sejadi-jadinya dan memarahi Linor semarah-marahnya, tetapi ia segera sadar bahwa Linor sedemikian benci pada orang Palestina karena memang selama ini dia didoktrin untuk itu.
Bukankah Linor kini adalah agen rahasia Israel?
"Anakku Linor, bukan salahmu kalau kau sangat tidak menyukai orang Palestina. Tetapi Mama minta cobalah kau lihat baik-baik perempuan yang ada di layar kaca itu. Lihatlah baik-baik.
Rasakanlah getaran-getaran halus nuranimu paling dalam. Tolong!"
Linor diam. Kedua matanya memandangi gambar perempuan Paletina yang mati mengenaskan
itu. Sesaat lamanya Linor memandangi gambar itu. Hatinya sama sekali tidak tersentuh olehnya. Tak ada perubahan apa-apa di wajahnya. Madame Ekaterina juga diam dengan airmata terus meleleh. Sesaat keheningan menyelimuti ruangan itu.
"Anakku." Suara Madame Ekaterina memecah kesunyian.
"Sebenarnya Mama ingin bercerita panjang kepadamu. Cerita nyata yang sangat penting untuk
kau dengar. Tetapi kurasa kau perlu istirahat setelah perjalanan jauh. Istirahatlah di kamarmu. Mama juga perlu istirahat. Besok pagi setelah sarapan pagi, Mama akan bercerita kepadamu."
"Baiklah Mama."
"Hanya Mama minta, sebelum tidur bayangkanlah wajah perempuan yang ada di layar itu. Bayangkanlah meskipun cuma sekejap."
"Mama ini minta yang aneh-aneh. Kenapa aku harus membayangkan wajah perempuan itu?
Kenapa tidak harus membayangkan wajah Mania saja?"
"Besok akan Mama ceritakan semuanya. Setelah Mama ceritakan semuanya, Mama berharap kau tidak lagi membenci perempuan yang kaulihat di layar kaca itu. Mama sangat berharap."
"Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang Mama ucapkan. Tetapi baiklah aku akan menunggu sampai besok. Sampai Mama menceritakan apa yang perlu Mama ceritakan. Dan aku
tidak yakin bisa memenuhi harapan Mama."
"Mama sangat berharap."

***


Linor baru bangun dari tidurnya. Pagi itu salju turun perlahan di seantero kota Kiev. Salju juga
turun seolah membungkus segala benda yang ada di Pyrohovo. Linor bangkit dan menuju ruang
tamu. Linor melihat Madame Ekaterina sedang duduk di sofa sedang membaca buku tebal. Dan
Bibi Natasha sedang menata makanan di meja makan untuk sarapan.
Linor duduk di samping Madame Ekaterina. Ia memerhatikan apa yang dibaca oleh ibunya.
Linor agak terkejut melihat buku yang dipegang ibunya.
"Bukankah yang Mama baca itu kitab sucinya orang Islam?" Tanya Linor dengan wajah mengguratkan keheranan sekaligus rasa tidak suka. Madame Ekaterina, mengangkat mukanya dan memandang Linor dengan penuh kasih sayang dan tersenyum.
Ia menjawab pelan, "Iya. Kenapa? Apa salah kalau aku membaca kitab sucinya orang Islam?"
"Tidak Mama. Cuma, Mama hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Lebih baik Mama membaca talmud, itu jauh lebih bermanfaat. Jauh lebih mengukuhkan jatidiri Mama sebagai: orang Yahudi."
"Itu doktrin ayahmu ya?"
Iya.”
"Sudah saatnya kau memiliki wawasan yang lebih luas. Tidak terbatas pada talmud. Sudah
saatnya kau meluaskan bahan bacaan, Anakku. Dan menurutku kitab suci orang Islam ini, layak
untuk kaubaca. Siapa tahu kau akan menemukan kebaikan di sana."
"Mama harus hati-hati, membaca kitab suci orang Islam itu bisa membuat Mama tersesat."
"Kau memandang Mamamu ini seperti anak kecil saja, Anakku. Ingatlah, Anakku yang mengajari kamu membaca dan menulis pertama kali adalah Mamamu ini. Yang mengajari kamu
pertama kali bagaimana bermain biola dengan baik juga Mamamu. Mamamu ini pernah kuliah
di London, jadi jangan kau remehkan seperti itu." Kata Madame Ekaterina dengan tegas.
tapi bisa saja..
"Sudahlah Anakku," Madame Ekaterina memotong perkataan Linor, "kita tidak usah berdebat
tentang hal-hal seperti ini, mari kita makan pagi, setelah itu aku akan bercerita panjang kepadamu. Tentang banyak hal yang harus kamu ketahui sebelum nanti Mama keburu mati. Sebab kita tidak tahu kapan kematian itu akan datang menjemput. Sebab kematian itu selalu mengintai kita dari waktu ke waktu. Ayo kita sarapan. Bibi Natasha sudah menatanya di atas meja makan. Ayo kita ke sana!"
Linor mengikuti ajakan Madame Ekaterina. Mereka berdua beranjak ke meja makan yang tak
jauh dari sofa tamu. Bibi Natasha sudah duduk tenang di sana. Melihat menu yang dihidangkan
mata Linor langsung berbinar bahagia. Ada tiga piring trovog. Ada cyorni khleb atau roti hitam
yang bergelimangan di sebuah piring besar. Ada panci berisi sup ukha yang masih mengepul,
menyebarkan aroma yang khas. Juga ada kentang kukus yang nampak kuning keemasan. Ada salad sayur dan buah yang diaduk dengan maionez dan minyak olive. Juga ada buah-buahan segar, anggur, pir dan apel.
"Wah, ini pesta Mama!" Seru Linor.
"Ya, keberadaanmu di sini adalah hari raya, Anakku."
"Siapa yang membuat sup ukha-nya?"
"Ciumlah aromanya, kau akan tahu khasnya dan kau akan tahu siapa pembuatnya." Linor tersenyum. Ia lalu mendekatkan hidungnya ke dekat panci di mana sup ukha masih mengepulkan asap. Ia memejamkan mata dan menghirupnya dengan bibir tersenyum.
"Mmm, dicium dari aromanya, ini buatan Mama." Kata Linor sambil tetap memejamkan mata dan menghirup aroma sup ukha.
"Ya, begitu bangun dari tidur Mama langsung menyiapkan sup ini untukmu."
"Spasiba balshoi, Mama."
Mereka bertiga lalu menikmati makan pagi itu dengan penuh semangat. Linor sampai menyeruput empat mangkuk sup ukha. Madame Ekaterina melihatnya dengan senyum bahagia. Sementara Bibi Natasha nampak sangat menikmati roti hitam yang ia makan dengan trovog yang juga masih hangat. Madame Ekaterina sendiri mengambil roti hitam dan memakannya bersama
dengan sup ukha.
Di apartemen itu, Linor merasa sangat lapang dada dan pikirannya. Ia terbebas dari banyak
tekanan. Terutama tekanan tugas dari Ben Solomon yang menjadi pimpinan seluruh agen rahasia
Israel di Rusia. Sarapan pagi itu ditutup dengan makan buah-buahan dan minum teh Long
Jing kesukaan Madame Ekaterina.
Selesai sarapan Madame Ekaterina mengajak Linor ke kamarnya. Ia ingin bercerita banyak hal
kepada Linor. Dengan hati diliputi penasaran Linor mengikuti ibunya ke kamar. Ia merasa
ibunya kali ini berlaku sangat aneh. Memintanya menonton film dokumenter tentang pembantaian orang Palestina di kamp pengungsian Sabra dan Shatila. Memintanya untuk melihat ulang perempuan muda Palestina yang dibantai dan mati mengenaskan.
Dan lebih aneh lagi, ibunya itu meminta supaya mengingat perempuan muda yang mati
mengenaskan itu sebelum tidur. Dan tadi ia baru saja melihat ibunya itu membaca Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Ia jadi bertanya-tanya, kenapa ibunya jadi bertingkah laku aneh seperti itu?
"Duduklah, Anakku. Kita akan menonton film dokumenter itu sekali lagi. Baru setelah itu
Mama akan bercerita panjang lebar, tentang hal yang harus kamu ketahui. Sebuah rahasia besar yang harus kamu ketahui. Mamamu ini tidak mau membawa rahasia itu sampai mati."
Linor diam saja, dan duduk tenang di samping ibunya. Madame Ekaterina menyalakan kaset
video yang telah diputar tadi malam. Sejurus kemudian Linor dan Madame Ekaterina kembali
menyaksikan pembantaian Sabra dan Shatila di layar kaca. Linor sudah setengah hafal dengan
alur yang ditampilkan di layar kaca itu. Ia kembali menyaksikan gambar mengambil close up
mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah. Kerudung putih
penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh.
Gamisnya nampak terkoyak-koyak. Perutnya sobek, dan isinya terurai. Dahinya nampak lebam
oleh pukulan benda keras. Dada perempuan Palestina itu rusak, payudaranya seperti disayatsayat
sampai hancur. Sepanjang film documenter itu diputar, Linor diam tidak berkomentar. Begitu film habis, Madame Ekaterina berkata.
"Dengarkan baik-baik, Anakku. Mama akan bercerita. Setelah bercerita Mama berharap kamu
tetap mencintai Mama. Kamu tetap menyayangi Mama. Sebab di dunia ini, sekarang ini kamulah
yang paling berharga bagi Mama. Kau mau berjanji Anakku?"
Linor mengangguk dan berkata, "Iya Mama, Linor berjanji akan tetap mencintai dan menyayangi
Mama."
"Sungguh, Anakku?"
"Sungguh Mama. Nyawa Linor taruhannya."
"Terima kasih, Anakku. Mama bahagia mendengarnya. Mama sekarang akan cerita. Sesungguhnya Mama melihat langsung pembantaian orang-orang Palestina di kamp pengungsian
Sabra dan Shatila pada bulan September 1982 itu. Mama ada di sana. Saat itu Mama menjadi relawan tim medis dari London. Seperti yang kamu ketahui Mama kuliah di Fakultas Kedokteran
University of London. Setelah resmi disumpah menjadi dokter Mama bekerja di sebuah rumah sakit swasta di London. Mama mempunyai banyak teman yang baik dan peduli pada kemanusiaan. Di antaranya adalah dr. Jeane Croft, dr. Alison Harowth, dan John Trondike.
Suatu hari mereka bertiga mengajak Mama untuk menjadi sukarelawan ke Beirut. Tepatnya
ke kamp pengungsian Palestina di Beirut Barat.
Awalnya Mama menolak, tetapi Jeane Crofit meyakinkan Mama dengan memberikan kepada
Mama data-data tentang kehidupan orang-orang Palestina yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Mama akhirnya ikut terbang ke Beirut.
Saat itu Beirut baru selesai perang. Kota yang pernah mendapat sebutan pengantin timur tengah
itu dalam keadaan porak poranda.
Di Beirut Mama bertemu dengan banyak relawan dari berbagai negara. Ada dr. Rio Spirugi,
pria berkebangsaan Swiss-Italia, ada Ben Alofs dari Belanda, ada Ellen Spigel dan dr. Jill Drew
dari Amerika, ada dr. Ang Swee Chai dari Singapura, dan banyak lainnya. Para relawan itu
orang yang sangat tulus menolong sesama manusia dan sangat teguh memperjuangkan harga diri sesama manusia.
Bersama beberapa relawan Mama bekerja di bawah payung PRCS atau Palestine Red Crescent
Society sebuah organisasi kemanusiaan yang sangat tidak disukai Israel. PRCS saat itu punya program menghidupkan kembali rumah sakit-rumah sakit milik orang-orang Palestina yang hancur karena dibombardir Israel. Salah satu rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Gaza yang terletak berhimpitan dengan kamp pengungsian Sabra dan Shatila. Mama bertugas di Rumah
Sakit Gaza bersama enam relawan.
Di Rumah Sakit Gaza itu Mama bertemu dengan perempuan-perempuan Palestina yang sangat baik hati. Ada Ummu Khalid, ada Azizah Abbas, ada Nahla, dan ada dokter muda yang cantik bernama Salma Abdul Aziz. Mama sangat dekat dengan Salma. Mama kagum kepada Salma. Ia masih muda, umurnya baru dua puluh enam tahun tapi sudah menyelesaikan spesialisasinya di bidang bedah tulang, dan telah meraih gelar master di bidang jurnalistik dari Glasgow. Saat itu ia sedang hamil tua, mengandung anaknya yang kedua.
Tidak mudah bekerja sebagai relawan di bawah payung organisasi kemanusiaan Palestina, apalagi PRCS yang saat itu dijuluki sebagai organisasi 'para teroris' oleh Israel dan dunia internasional yang mendukung Israel. Tetapi kami tetap maju menolong anak-anak tak berdaya yang sekarat karena kena bom fosfor Israel, atau kena cluster bomb yang sengaja dijatuhkan oleh Israel di kawasan-kawasan padat penduduk.
Kau tentu tahu apa itu cluster bomb atau fargmentation bomb. Kau pasti sudah diajari oleh Mosad saat kau dididik satu tahun di Tel Aviv. Ah, bom jenis itu sangat mengerikan. Bom jenis
itu kalau dijatuhkan di suatu tempat akan meledak dan tersebar luas dalam bentuk kepingan-kepingan kecil. Lalu kepingan-kepingan itu akan diam, sampai datang anak-anak yang tak sengaja menyentuh atau mencungkilnya karena rasa ingin tahu. Begitu tersentuh, kepingan-kepingan itu akan meledak menjadi pecahan-pecahan kecil yang tajam dan membinasakan dalam jumlah yang tidak terhitung jumlahnya.
Siapa yang kena bom ini akan tewas atau mengalami luka yang sangat serius di wajah, mata, tulang dan organ-organ tubuh lainnya. Bom jenis ini sering dijatuhkan oleh Israel di daerah padat penduduk Palestina. Tak terkecuali Sabra dan Shatila juga Bour El Brajneh.
Hampir setiap hari Mama melakukan operasi ringan maupun berat bersama dr. Salma Abdul Aziz. Kami menolong siapa saja yang perlu pertolongan. Kami tidak memandang ras, warna
kulit, dan agama. Meskipun rumah sakit itu di bawah payung PRCS tetapi banyak juga penduduk
Libanon yang kami tolong, apa pun agamanya, termasuk Yahudi Libanon juga kami tolong.
Salma orangnya sangat terbuka, berwawasan, dan memiliki rasa tanggung jawab yang luar biasa.
Ia pernah menemani seorang perempuan Yahudi Libanon yang tinggal di dekat Sabra semalam penuh karena perempuan itu mau melahirkan.
Padahal saat itu Salma sendiri sedang hamil tua. Ia menemani perempuan itu dan membantunya
melahirkan anaknya dengan selamat. Bahkan ketika ternyata perempuan itu kekurangan darah setelah melahirkan, Salma tidak ragu mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan nyawa perempuan itu setelah melihat golongan darahnya ternyata cocok dengan perempuan itu.
Mama tahu Salma sangat membenci kezaliman Zionis Israel. Salma tidak bisa menerima dan tidak bisa memaafkan kejahatan Yahudi Israel yang telah menghabisi ayah, ibu dan kedua kakaknya. Ia selamat karena saat itu sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ada di rumah pamannya. Tetapi sebagai dokter Salma tetap berjiwa besar.
Ia benar-benar berhati malaikat, ia menolong siapa saja, tidak memandang apa agamanya. Ia
benar-benar mengamalkan sumpah yang telah diucapkannya ketika menjadi dokter, bahwa seorang dokter itu bersumpah untuk merawat para pasien tanpa memandang ras, agama, warna kulit maupun keturunan.
Salma tidak ragu untuk menolong perempuan Yahudi Libanon, dan menyelamatkan nyawa perempuan itu dengan mendonorkan darahnya. Sejak itu Mama sangat kagum pada Salma. Mama sempat bertanya kepada Salma, bagaimana dia bisa berbuat sedemikian tinggi menjunjung nilai kemanusiaan. Salma menjawab bahwa di dalam kitab suci yang diyakininya, yaitu Al-Quran, dijelaskan bahwa menolong satu nyawa untuk tetap bisa hidup itu seolah menolong seluruh umat manusia untuk tetap hidup.
Sejak itu mama dekat sekali dengan Salma Abdul Aziz. Akhirnya ibu tahu perjalanan hidup
Salma yang berdarah-darah. Salma lahir di pinggir selatan kota Akka, Palestina. Kampungnya
diduduki oleh Israel, banyak orang Palestina yang dibantai. Termasuk keluarganya. Sejak keluarganya dibantai tentara Israel, ia ikut keluarga pamannya yang membawanya mengungsi ke
Libanon. Sang paman membawanya ke daerah Shatila, Beirut Barat dan bergabung dengan banyak pengungsi Palestina di sana.
Kau harus tahu, Linor, bagaimana sejarah orang Palestina membuat kamp pengungsian di
Libanon, khususnya di Sabra dan Shatila. Dan bagaimana mereka hidup di sana. Pada tahun
1948 Zionis Israel mengusir orang-orang Palestina yang tinggal di sebelah utara Galilea. Banyak di antara orang Palestina yang menyeberang perbatasan utara menuju Libanon. Orang- orang dari Galilea tersebut menjadi pengungsi di Libanon. Sebagian lainnya melarikan diri ke Yordania, Mesir, Suriah, Irak dan seluruh jazirah Arab. Atlas dunia tidak lagi memuat peta Palestina, tetapi hal itu tidak menyurutkan semangat orang-orang terbuang yang berjumlah 750 ribu orang ketika itu untuk mengingat Tanah Air mereka.
Pada mulanya para pengungsi Palestina diharapkan akan membaur ke dalam komunitas
negara-negara tetangga sesama bangsa Arab, sehingga akhirnya mereka mengikuti jejak bangsa-bangsa lain yang tak terhitung jumlahnya yang telah terhapus dari sejarah. PBB, bersama-sama
dengan organisasi kemanusiaan dan pemberi bantuan, memasok tenda-tenda dan mendirikan
kamp-kamp bagi rakyat Palestina yang kini telah kehilangan tempat tinggal. Orang-orang Palestina dari daerah Galilea menghuni beberapa 'tenda sementara' ini di Sabra,
Shatila, dan Bourj El Brajneh di pinggiran Beirut Selatan. Para penghuni ini tidak mau kehilangan identitas mereka sebagai orang Palestina. Mereka ingin Palestina tidak hilang dari sejarah. Maka mereka tidak bisa benar-benar berbaur karena mereka bukanlah pengungsi sungguhan. Mereka lebih tepat dikatakan orang-orang buangan, dan ada perbedaan antara dua hal itu. Sebagai orang-orang buangan, mereka selalu ingin pulang ke rumah. Tenda-tenda yang disediakan PBB itu segera dirobohkan oleh orang-orang Galilea sendiri.
Selanjutnya, di tempat-tempat pembuangan, berdasarkan kenangan dan sedikit foto rumah
mereka, mereka kembali membangun komunitas sendiri. Komunitas orang Palestina. Banyak dari rumah-rumah itu dibangun sedemikian rupa agar nampak sama dengan rumah di kampung halaman mereka.
Setelah tenda-tenda itu digantikan dengan rumah-rumah dan flat-flat dari batu bata, kampkamp
tersebut menjadi kota-kota orang buangan, dengan masjid, taman kanak-kanak, sekolah-
sekolah, bengkel-bengkel, klinik-klinik dan rumah sakit-rumah sakit. Mereka menamakan rumah sakit mereka dengan Rumah Sakit Gaza, Haifa dan Akka, seperti nama-nama kota Palestina supaya mereka tidak pernah lupa dengan akar mereka.
Meskipun kamp-kamp itu awalnya dibangun untuk orang Palestina. Namun orang-orang Palestina itu telah mengambil pelajaran dari kesengsaraan mereka dan menerapkan sebuah
prinsip nondiskriminatif yang meliputi seluruh institusinya, sehingga tidak pernah kamp itu khusus diperuntukkan orang-orang Palestina semata.
Rumah sakit-rumah sakit yang dikelola PRCS misalnya, memberikan perawatan gratis bagi semua orang yang membutuhkan. Mereka tidak mempermasalahkan negara asal, ras, ataupun agama. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh orang-orang Palestina memberikan pendidikan gratis bagi semua orang. Institusi-institusi kejuruan dan organisasi-organisasi wanita yang mereka kelola menjalankan kebijakan pintu terbuka. Hasilnya lebih dari sepertiga penduduk Sabra dan Shatila bukan bangsa Palestina, melainkan orang-orang Libanon yang berpihak kepada rakyat Palestina atas dasar persamaan nasib, yaitu kemiskinan dan persamaan hak.

Salma hidup sebagai orang buangan layaknya orang Palestina yang lain. Ia begitu bangga menjadi orang Palestina. Rasa bangganya sebagai orang Palestina samasekali tidak luntur meskipun ia hidup tidak di tanah kelahirannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar