Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 2)

Dua hari penuh Ayyas istirahat di apartemennya. Ia agak demam. Ingin sekali ia segera
bisa jalan-jalan menelusuri Moskwa dan menyentuh butiran-butiran salju yang turun dari
langit. Ia juga ingin segera melihat keindahan Lapangan Merah yang sangat terkenal itu. Ia
memilih mengurungkan keinginannya. Lebih baik ia istirahat sampai benar-benar sentosa, daripada nekat kemudian jatuh sakit yang bisa membuat rencana yang telah disusunnya berantakan semua.
Ia harus berterima kasih kepada Devid yang membelikan persediaan makanan yang cukup.
Dua belas bungkus mie instan buatan Vietnam, sekilo beras, satu kilo telur, empat kaleng ikan
sarden, sebotol garam, saus tomat, minyak goreng dan barang-barang yang dipesannya.
Devid juga membelikan panci yang bisa ia gunakan untuk masak. Jadi ia tidak perlu keluar
apartemen.
Ia juga merasa Yelena cukup ramah dan membantunya. Setiap kali mau keluar Yelena menawarinya kalau mau titip sesuatu. Selama ini ia hanya satu kali titip dibelikan air mineral. Ia merasa cukup nyaman tinggal di apartemen itu. Hanya yang agak mengganggunya, ia merasa susah menolak setiap kali Yelena mengajaknya berbincang di pagi hari sebelum Yelena berangkat kerja atau malam hari sepulangnya dari kerja.
Yang membuatnya kurang nyaman adalah pakaian yang dikenakan Yelena ketika ada di apartemen. Pakaian yang menguji iman lelaki mana saja yang sehat akal dan jasmaninya.
Justru kalau di luar apartemen Yelena berpakaian sangat tertutup. Nyaris yang kelihatan
cuma wajahnya. Sebab pakaian musim dingin harus benar-benar rapat. Tapi begitu Yelena masuk apartemen yang hangat, pakaian musim dingin yang rapat itu satu per satu ia tanggalkan. Dan ia hanya mengenakan pakaian yang menurutnya perlu ia kenakan.
Sikap Linor kepadanya masih dingin. Ayyas tidak tahu pasti apa sebabnya. Apa memang seperti
itu wataknya? Dingin dan kaku, seperti pernah diceritakan oleh penulis dalam blognya mengenai watak orang-orang Moskwa. Atau karena belum akrab saja? Atau karena ia beragama Islam, agama yang dianggap Linor primitif.
Selama dua hari ini ia tidak memiliki kesempatan berdialog dengan Linor. Ia ingin berdiskusi
dengan gadis yang bekerja sebagai pemain biola pada sebuah orkestra klasik musik Rusia itu jika
ada kesempatan. Ia ingin memberikan pandangan yang berbeda dari yang selama ini diyakini gadis itu. Ia merasa Linor berpandangan demikian buruk pada Islam karena tidak ada yang memberinya informasi yang benar tentang Islam.
Linor tidak mau bergabung saat ia ngobrol sambil minum teh dengan Yelena. Kalau ketemu
Linor hanya say hallo lalu masuk ke kamarnya.
Kalau tidak bekerja, Linor lebih asyik main musik di kamarnya. Terkadang main piano, tetapi
lebih sering main biola. Meskipun kamar Linor sudah dibuat kedap suara, tapi sayatan biolanya
tetap saja terdengar dari ruang tamu yang merangkap jadi ruang tengah dan ruang makan.
Pagi itu adalah Subuh ketiga Ayyas di Moskwa. Ia merasa tubuhnya sudah benar-benar bugar. Selesai shalat Subuh, seperti biasa, ia membaca Al-Quran, zikir ma'tsurat pagi, dan membaca kitab Mudzakarat fi Manazil Ash-Shiddiqin wa Ar-Rabbaniyyin, yang merupakan penjelas dari kalimat-kalimat penuh cahaya dari Ibnu Athaillah As Sakandary. Ia merasa shalat, membaca Al-Quran, zikir dan membaca buku adalah nutrisi jiwanya yang harus ia jaga betul-betul. Ia tidak mau sedikit pun meninggalkan kebiasaannya wiridan dan berzikir kepada Allah. Ia ingat betul kata-kata Ibnu Athaillah, "Tidak ada yang meninggalkan wirid kecuali orang bodoh."
Dengan melanggengkan zikir sebagai pembuka kegiatan harian ia berharap, Allah senantiasa
menjaga jiwa, raga, akal, dan akhlaknya. Ia ingin selalu bersama Allah, ingin selalu mengingat Allah dan diingat oleh Allah. Itulah kenapa setiap pagi ia tidak boleh melupakan empat hal tersebut, shalat, membaca Al-Quran, zikir dan membaca buku yang ditulis orang-orang saleh. "Jika pagi datang, orang yang lalai akan berpikir apa yang harus dikerjakannya. Sedangkan orang yang berakal akan berpikir apa yang akan dilakukan Allah kepadanya." Katakata Ibnu Athaillah itu sedemikian kiiat tertanam dalam hatinya.
Ya, ia telah merancang program hariannya dengan sangat rapi. Tidak hanya harian. Bahkan
peta hidup beberapa tahun pun telah ia rancang sedetil mungkin. Tapi setiap pagi ia merasa harus
meminta kekuatan dari Allah agar dianugerahi hari yang terbaik. Ia hanya bisa merencanakan
dan merancang, namun pada akhirnya Allah-lah yang memutuskan hasilnya.
Ayyas siap melaksanakan apa yang direncanakannya. Ia harus menemui Profesor Abraham Tomskii hari itu. Ia harus memulai penelitiannya.
Kemarin ia sudah sempat berhubungan dengan Guru Besar Sejarah Rusia itu lewat telpon. Profesor Tomskii begitu ramah dan terbuka. Ayyas telah berjanji untuk datang menemuinya pukul setengah sebelas pagi di Universitas Negeri Moskwa atau Moskovskyj Gosudarstvennyj
Universiteit imeni Lomonosova, biasa disingkat MGU. Universitas paling tua dan paling besar di
Rusia ini juga sering disebut Universitas Lomonosova. Orang-orang Moskwa sangat bangga dengan MGU. Mereka beranggapan tidak ada universitas yang lebih hebat dari MGU diatas muka bumi ini. Bahkan Harvard dan Oxford sekalipun.
Maka pagi itu, setelah semua zikir dan wiridnya selesai, ia langsung menyiapkan sarapan paginya. Ia beranjak ke dapur yang menyatu dengan ruang tamu. Ia hanya perlu mengolah ikan
sardennya dan membuat telur dadar. Nasi sisa tadi malam masih bisa dimakan. Ia harus banyak
berhemat. Ketika sedang asyik membuat telur dadar, Yelena keluar dari kamarnya.
"Wow, kau bisa masak ya? Wah bikin omelet ya? Aku minta dibuatkan juga kalau boleh." Sapa
Yelena sambil menggerak-gerakkan tangannya memutar ke kanan dan ke kiri.
"Boleh." Jawab Ayyas kalem. Matanya Sama sekali tidak berpindah dari telur yang sedang ia goreng.
"Mau keluar ya hari ini?" Tanya Yelena sambil terus senam ringan.
"Iya. Saya harus segera mulai penelitian."
Ayyas sudah selesai membuat telur dadar yang pertama. Ia langsung membuat yang kedua.
Tangannya nampak cukup terampil. Ia sudah biasa membuat telur dadar sejak masih SMP. Dan
selama kuliah di Madinah dan kuliah S2 di India ia sering masak sendiri. Meskipun hasilnya tidak istimewa, ia cukup mengusai resep membuat beberapa jenis makanan.
"Hari ini kau mau ke mana?" Yelena mendekat dan berdiri di samping Ayyas.
"Ke MGU, menemui seorang Profesor."
Jawab Ayyas sambil menabur sedikit garam di atas omelet yang sedang ia buat. Yelena melihat
dengan mata berbinar. Bau omelet itu tercium tajam.
"Dari gerakan tanganmu, kau seperti koki yang sudah cukup profesional. Seperti koki di
restoran China." Puji Yelena.
"Ah cuma bikin omelet, apa susahnya. Semua orang juga bisa."
"Tidak juga. Temanku Valda sama-sekali tidak bisa masak."
"Aku yakin bukan tidak bisa masak, tapi dia tidak mau masak."
"Mungkin juga. Oh ya mau naik apa ke MGU?"
"Metro saja yang murah."
"Tahu rutenya."
"Belum. Nanti tanya sama orang."
"Kalau pertama ke Moskwa masih tetap bingung. Atau aku temani saja. Hari ini aku masuk
kerja agak sore, bagaimana?"
Ayyas diam, ia tidak bisa menjawab. Mau menjawab ya, berarti akan jalan berdua sama
Yelena seperti orang pacaran. Kalau bilang tidak, jujur ia belum tahu Moskwa sama-sekali. Ia belum pernah keluar dari apartemen itu sejak ia datang.
Ia memang bisa bahasa Rusia, tapi tidak lancer benar. Selama ini ia berkomunikasi dengan
Yelena lebih banyak dengan bahasa Inggris. Dan sebenarnya dengan ditemani Yelena ia bisa bertanya banyak hal ketika di jalan ia melihat sesuatu yang perlu ia tanyakan.
"Kok diam saja, bagaimana mau ditemani tidak, biar tidak tersesat?" Tanya Yelena lagi.
Ayyas mengangkat omelet dari penggorengan dan meletakkannya di atas piring kecil.
"Ah nanti merepotkan kamu." Gumam Ayyas.
"Sama-sekali tidak. Sambil jalan nanti aku beritahu kamu banyak hal tentang metro, siapa tahu
ada gunanya."
"Kalau begitu boleh. Ini omeletmu sudah siap."
"Terima kasih." Yelena mengambil omelet itu dengan senyum tersungging. Ayyas tanpa sengaja
melihat senyum itu. Seketika hatinya bergetar, meskipun ia sudah berusaha menundukkan
pandangan.
"Ya Allah lindungilah aku dari buruknya hawa nafsuku," Ucap Ayyas dalam hati.

***


Jalan masih sepi. Angin dingin berhembus perlahan. Salju yang menutup aspal dan tanah
mencair. Ayyas keluar dari pintu utama apartemen. Ia langsung menapaki trotoar Panfilovsky
Pereulok, Yelena mengikuti di belakangnya. Ayyas bergegas cepat, Yelena mengejar agar berjalan sejajar. Melewati sebuah taman kecil, tiba-tiba Yelena berhenti. Ia melihat sesuatu yang
tidak biasa dan seketika menyadari ada yang lain dengan pagi itu.
"Wow, berhentilah sejenak Ayyas, ini pagi yang menakjubkan! Baru kali ini aku melihat
pagi musim dingin seindah ini. Luar biasa!" Jerit Yelena dengan wajah cerah dan mata berbinar-binar.
"Ayyas lihat, rumput-rumput itu. Ia seperti muncul dari dalam salju. Dan sinar matahari itu
begitu indah. Sejak kecil sampai sekarang, belum pernah sekalipun aku melihat peristiwa alam
seperti ini. Rumput-rumput kelihatan di puncak musim dingin, dan matahari menyapa dengan
sinarnya. Oh tidak mungkin! Ini keajaiban, Ayyas. Sekali datang ke Moskwa kau menjumpai keajaiban Ayyas!" Lanjut Yelena penuh takjub.
"Kalau Tuhan berkehendak apa pun bisa terjadi!" Sahut Ayyas.
"Ini bukan kehendak Tuhan, ini keajaiban alam." Sanggah Yelena dengan mata tetap berbinar.
"Segala keajaiban itu terjadi karena kehendak Tuhan."
"Sudahlah tak perlu berdebat, kita nikmati saja keindahan pagi ini. Oh ini pasti bisa jadi berita.
Sebentar, aku telpon Linor dulu, dia harus keluar dari kamar dan turun melihat keajaiban ini. Ini
bisa jadi bahan berita baginya."
Yelena mengambil ponsel dari saku paltonya dan langsung menelpon Linor. Sejurus kemudian
Linor sudah menyusul dengan membawa ponsel. Begitu melihat rumput-rumput yang muncul seolah menyibak salju, ia menjerit lirih. "O Elohim (Elohim: Sebutan untuk Tuhan menurut orang Yahudi) kautunjukkan kuasa-Mu!" Wajah Linor begitu berseri-seri. Inilah kali pertama Ayyas melihat wajah Linor yang begitu cerah, tidak kaku dan dingin. Linor langsung mengabadikan fenomena alam yang menakjubkan itu dengan kamera digitalnya. Ia juga langsung lari mencari posisi yang tepat untuk memotret matahari yang menampakkan sinarnya.
"Karena baru kali ini aku merasakan suasana pagi yang sesungguhnya di Moskwa, maka aku
tidak merasakan keajaiban yang kaurasakan. Bahwa aku melihat salju saja sudah seperti melihat
keajaiban. Melihat fenomena alam yang berbeda dengan yang selama ini aku lihat."
"Pagi ini sungguh beda Ayyas. Kau tadi lihat kan, tidak hanya aku yang merasakan, Linor pun
merasakan. Ini puncak musim dingin Ayyas. Tidak ada ceritanya di puncak musim dingin ada
rumput kelihatan. Seharusnya rumput itu terpendam oleh salju satu meter tebalnya. Tapi itu kaulihat, ia kelihatan hijaunya. Dan matahari itu, seharusnya ia muncul nanti di awal Maret paling tidak. Tapi ini sudah muncul menyapa dengan hangat sinarnya. Dan pagi ini terasa hangat
bukan? Ini keajaiban Ayyas. Belum pernah terjadi yang seperti ini.”
"Belum pernah?"
"Ya. Sejak aku kecil sampai sekarang ini. Ya baru sekarang ini terjadi."
"Berarti ini bukan keajaiban, tapi tanda-tanda petaka akan datang?"
"Jangan mengada-ada kau?"
"Aku tidak mengada-ada. Bisa jadi ini terjadi karena apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai
pemanasan global. Karena suhu bumi terus naik, maka musim dingin di Moskwa pun mulai
berubah. Ini fenomena yang berbahaya, ini bencana."
"Kenapa aku tidak berpikir sejauh kamu ya?"
"Karena kaum perempuan lebih tertarik memikirkan yang indah-indah mungkin?"
"Ya masuk akal. Ini karena pemanasan global."
"Sudahlah kita bahas nanti, ayo segera kita jalan. Waktunya semakin mendesak. Aku janji
sama Profesor Tomskii pukul setengah sebelas."
"Kau benar. Untuk pertemuan pertama kau tidak boleh datang terlambat. Kau harus tepat
waktu. Kau harus membuat Profesor itu terkesan padamu. Lebih baik menunggu satu tahun daripada terlambat satu menit." Yelena terus nerocos sambil mengimbangi Ayyas yang berjalan cepat.
"Kita ke stasiun metro Smolenskaya?"
"Ya, kita ambil jalur ke Arbatskaya lalu perekhod (Nyebrang atau pindah jalur) ke jalur
merah menuju stasiun Biblioteka Imeni Lenina, terus ke selatan." Jelas Yelena sambil membetulkan letak syal putihnya. "Hei belok kanan!"
Kata Yelena mengingatkan. Mereka kini berjalan di pinggir Smolenskaya Pereulok. Jalan-jalan
kota Moskwa tertata rapi. Salju yang menempel di aspal sudah dibersihkan. Sebagian yang mencair mengalir ke lubang-lubang drainase yang tertata setiap seratus meter. Gedung-gedung kuno menghiasi kanan kiri jalan sepanjang mata memandang. Gedung-gedung dengan arsitektur
gaya Romanesque dan Gothic itu tersusun, tertata dan terpelihara dengan baik. Indah, klasik,
dan rapi. Ayyas berdecak kagum sambil terus melangkahkan kaki.
Orang Rusia begitu tinggi menghargai sejarahnya. Kalau Indonesia, ah sungguh memprihatinkan, pikirnya. Hampir semua bangunan-bangunan tua di Indonesia menjadi tempat yang kumuh.
Bangunan-bangunan tua itu jadi sarang kelelawar. Sama sekali tidak menarik. Kota lama
Jakarta tidak didesain sebagai daerah kebanggaan orang Jakarta. Hanya dijadikan semacam museum tua pelengkap kota saja: tak dikelola serius dan yang penting ada. Orang lebih suka ke Ancol daripada ke kota lama Jakarta. Ia pernah ke kota lama Semarang, kondisinya sangat memprihatinkan.
Bangunan tua di sana yang telah menjadi cagar budaya hampir setiap hari digenangi air rob yang hitam dengan bau menyengat. Gentengnya banyak ambrol, catnya sudah mengelupas di sana sini. Apa menariknya?
Kira-kira tujuh menit kemudian mereka berdua sudah sampai di gerbang stasiun metro
Smolenskaya. Ada logo berwarna merah berupa huruf "M" di depannya. Bangunan stasiun itu
gagah dan berwibawa. Bangunan berwarna coklat muda itu khas Rusia. Fasad dan bentuknya diukir dengan indah. Begitu serius orang Rusia membangun stasiunnya. Yelena lebih dulu masuk.
Nonik Rusia itu membelikan karcis untuk Ayyas. Mereka lalu turun ke bawah dengan eskalator.
Ayyas terkagum-kagum dengan keindahan stasiun bawah tanah Smolenskaya. Stasiun itu seumpama istana di bawah tanah. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, melihat dengan seksama interior stasiun itu. Mengagumkan. Hampir tiga perempat dindingnya dibalut marmer. Demikian
juga lantainya.
"Lihat itu, itu lambang Viktory!" Yelena menunjuk ke sebuah ornamen yang menempel di
dinding dekat langit-langit. Ornamen yang sangat indah. Sebuah bintang lima yang dipadu dengan kemewahan khas ornamen gereja Ortodoks Rusia.
"Ini belum seberapa. Ada yang jauh lebih indah dari ini. Kau pasti akan terpaku takjub jika
ada di dalam stasiun Komsomolskaya. Kalau kau mengerti arsitektur, kau akan kagum pada
arsitektur stasiun Kievskaya. Kalau kau seorang patriotik, kau pasti tersengat oleh semangat patriotic stasiun Park Pobedy." Terang Yelena.
"Orang Rusia membangun stasiun seperti membangun istana." Gumam Ayyas.
"Lebih dari itu. Stasiun ini dulu dibangun dengan semangat ingin mengalahkan kehebatan
negara-negara kapitalis. Rezim yang berkuasa saat itu ingin membuktikan bahwa kemajuan yang diraih negara-negara kapitalis seperti Amerika bisa diraih oleh negara sosialis. Bahkan sosialis lebih baik. Tidak hanya kehebatan teknologi yang ingin ditunjukkan tapi keindahan seni yang penuh fdosofi. Kau harus tahu, batu-batu marmer itu batu alam asli. Warnanya asli.
Didatangkan dari berbagai negara. Bahkan ada yang didatangkan dari Italia, Laut Baikal dan
kawasan pegunungan Urai. Bandingkan dengan stasiun-stasiun modern negara-negara kapitalis
itu, pasti hanya bernuansa beton yang kaku. Kau boleh mengatakan stasiun metro kami tak ada
duanya di dunia." Yelena menerangkan panjang lebar dengan rasa bangga yang berkobar dan
mata berbinar-binar.
Sebuah metro datang. Metro itu sesak penumpang. Banyak penumpang yang turun, dan banyak pula yang naik. Yelena dan Ayyas naik di gerbong nomor tiga dari depan.
"Ini jam kerja. Maaf. Selalu padat. Kalau kau ingin nyaman naik metro sebaiknya antara jam
sepuluh sampai jam sebelas pagi, setelah melewati jam sibuk. Metro ini transportasi paling
dicintai penduduk Moskwa. Selain tepat waktu, tidak macet, harga tiketnya sangat murah. Bayangkan hanya dengan 19 rubel sekali jalan, kau bebas ke mana saja, bahkan kalau perlu menjelajah seluruh jalur metro. Tidak dibatasi jarak. Asal tidak keluar dari stasiun." Terang Yelena pada Ayyas dengan bahasa Inggris yang lancar.
Beberapa pemuda Rusia memerhatikan Yelena dengan mata berkedip. Di antara mereka ada
yang memandang kagum pada Yelena yang fasih berbahasa Inggris. Sementara Ayyas diam
mendengarkan penjelasan Yelena yang begitu detil.
Sampai di stasiun Arbatkaya mereka turun. Ayyas kembali terpesona oleh keindahan interior
stasiun itu. Matanya terpesona melihat mahligai-mahligai yang melengkung. Lantai yang bersih,
jernih, dari marmer alam cokelat tua. Lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya yang
meneduhkan. Orang-orang Rusia lalu lalang begitu saja, tidak ada yang berhenti dan melihat-lihat dengan agak bengong seperti dirinya. Yelena mengingatkannya untuk segera pindah ke jalur merah.
Semua keterangan dalam stasiun itu ditulis dengan abjad Cyrilic, tidak dalam abjad latin.
Orang yang tidak tahu cara membacanya pasti bingung dan mudah tersesat. Ayyas sudah belajar
cukup banyak bahasa Rusia sejak kuliah di Madinah, membaca abjad Cyrilic biasa ia atasi. Tapi
dengan adanya Yelena perjalanan lebih lancar, dan rasa gugupnya sebagai orang asing yang pertama kali ke Moskwa sedikit hilang.
Ayyas dan Yelena masuk metro yang menuju Biblioteka Imeni Lenina. Metro itu terus melaju
dengan kecepatan sedang melewati stasiun Kropotkinskaya, Park Kukuri, Frunzenskaya, Sportivnaya, dan stasiun Vorobyovy Gori.
Sepanjang perjalanan Yelena terus ngoceh seperti burung beo. Ayyas yang berdiri di sampingnya lebih banyak diam mendengarkan. Sesekali ia merespons dengan mengatakan, "O begitu ya."
Dan Yelena terus bercerita tentang banyak hal mengenai Moskwa dan Rusia. Yelena seperti mendapatkan tempat untuk banyak bicara tentang hal yang lebih manusiawi, hal-hal yang jauh berbeda dari yang selama ini ia bicarakan dengan teman-temannya seperti Olga Nikolayenko,
Rossa, Kezina dan Mavra. Selama tiga tahun ini, baru kali ini Yelena berjalan dengan pria asing yang tidak karena tujuan ranjang dan sejenisnya. Yelena merasa pagi itu memang benar-benar
lain.
Setelah melewati stasiun Vorobyovy Gori, Yelena mengingatkan untuk bersiap turun. "Kita turun di depan. Di stasiun Universitet." Yelena mengingatkan.
Beberapa menit kemudian metro berhenti di stasiun Universitet. Ratusan penumpang yang sebagian besar mahasiswa turun. Ayyas dan Yelena juga turun. Keluar dari stasiun, Ayyas menemukan bangunan universitas yang sangat besar. Benar-benar megah seperti yang diceritakan Devid dalam emailnya. Gedung itu Nampak cantik dan gagah menjulang tinggi khas bangunan keemasan rezim Stalin. Konon gedung MGU adalah bangunan terbesar di Moskwa. Ia
termasuk satu dari tujuh gedung utama pencakar langit yang dibanggakan penduduk Moskwa. Letaknya yang di atas bukit Leninsky Gori membuatnya semakin nampak berwibawa.
"Kita ini turun di belakang kampus MGU. Kalau kita memandang gedung ini dari pelataran
utama akan semakin terlihat indah. Dan dari pelataran utama kita bisa melihat pemandangan
kota Moskwa yang menawan." Ujar Yelena.
"Kau pernah kuliah di sini?" Tanya Ayyas.
"Tidak. Aku dulu kuliah di St. Petersburg."
"Jurusan apa?"
"Bahasa Inggris."
"Pantas bahasa Inggrismu bagus."
"Bagaimana, kita ke pelataran utama dan masuk dari depan?"
Ayyas melihat jam tangannya. "Lain kali saja. Aku harus mencari ruang kerja Profesor Abraham
Tomskii dulu. Biar tenang." Jawabnya.
"Kau benar. Kampus MGU ini sangat besar. Kau perlu waktu untuk mencari ruang Profesor
itu."
"Kau masih mau menemani?"
"Ei tentu tidak. Aku menemani sampai di sini saja. Kau silakan masuk menemui Profesor itu.
Aku mau jalan-jalan di sekitar sini. Aku mau lihat pemandangan kota Moskwa dari atas Leninsky Gori ini. Sudah lama aku tidak ke sini. Setelah itu aku akan cari stolovaya untuk makan siang. Setelah itu aku harus berangkat kerja."
"Warung makan atau kantin. Kerjamu apa sebenarnya? Kau belum cerita."
"Aku kerja di agen wisata."
"O pantas kau bisa begitu detil cerita tentang Moskwa. Baik Yelena, aku jalan dulu."
"Ya. Sampai ketemu lagi (Semoga sukses)”,
Yelena melambaikan tangan sambil tersenyum lalu balik kanan. Mereka berpisah di situ. Ayyas
melangkahkan kakinya memasuki kawasan kampus, sementara Yelena menuju pelataran depan
kampus. Udara dingin berhembus. Pohon-pohon bereozka bergoyang-goyang. Salju yang menempel di daun-daunnya berguguran. Matahari masih menampakkan sinarnya. Kabut tetap menyelimuti udara. Suhu minus tujuh derajat celsius.
Orangorang mengatakan, "Ini adalah puncak musim dingin yang sangat hangat!" Rumput-rumput yang menyembul di antara salju yang mencair nampak berseri-seri. Sesuatu yang jarang terjadi, atau bahkan belum pernah terjadi sebelumnya. Sebab puncak musim dingin di Moskwa biasanya bisa mencapai minus tiga puluh derajat celsius, dan salju akan menutupi rumput-rumput itu lebih dari setengah meter.
Perlu waktu setengah jam bagi Ayyas untuk menemukan ruang kerja Profesor Abramov Tomskii. Itupun setelah ia bertanya empat kali pada orang yang berbeda. Profesor Abramov Tomskii adalah Guru Besar Sejarah Asia Tengah yang sangat disegani di kalangan sejarawan Rusia. Ia pernah satu kampus dengan Profesor Najmuddin Ashgaryang kini menjadi pembimbing tesisnya, saat mereka berdua menyelesaikan program doktornya di Universitas Hamburg, Jerman. Profesor Najmuddinlah yang mengharuskannya melakukan penelitian di Rusia dan menyarankannya untuk menemui Profesor Tomskii.
Profesor Tomskii ternyata belum tiba. Janji dengannya memang pukul setengah sebelas. Dan
sekarang baru pukul sepuluh lebih seperempat, artinya ia datang lebih dulu seperempat jam. Seorang perempuan tua gemuk pendek mendekat. Perempuan itu memakai kerudung kosinka putih lazimnya perempuan tua di desa-desa Rusia. Kedua matanya dihiasi kaca mata yang kecil
bundar.
"Kau boleh duduk di ruangan Profesor Tomskii. Ayo silakan. Profesor tadi sebenarnya sudah
sampai, tapi langsung dipanggil rektor untuk rapat mendadak. Kata Profesor , pukul satu siang
rapat baru selesai. Kau boleh menunggu di ruangannya. Boleh juga menunggu di tempat lain. Di
ruangan Profesor ada Ensiklopedi Kebudayaan Rusia dan buku lainnya, bisa kaubaca." Kata perempuan tua berkerudung kozinka putih itu.
"Baik saya menunggu saja di ruangan Profesor."
"Ya, itu yang diminta Profesor. Aku buatkan teh hangat untukmu. Baik?"
"Boleh. Spasiba balshoi (Terima kasih banyak)
Ruang Profesor Abraham Tomskii cukup besar.
Ada satu set sofa untuk duduk bagi tamu. Ada meja rapat ukuran sedang. Meja kerja Profesor
Tomskii sendiri cukup besar terletak di pojok ruangan. Di atas meja kerja itu ada monitor computer flat terbaru. Ada bola dunia. Dan beberapa tumpuk buku. Di sepanjang dinding belakang meja kerja itu, tertata rapi buku-buku tebal dalam berbagai bahasa.
Hampir semuanya buku penting untuk referensi sejarah. Yang dengan mudah ia baca, sekilas nampak ada Ahsan al Taqasim: The Best Divisions for Knoudede of the RƩgions, The History of al Tabari, Al Kamilfi al Tarikh, Kitab al Futuh, Futuh al Buldan, Geschite Isfahans, Alexandrie MƩdiƩvale, L'Iran Sous les Sassnides, Ensiklopedia of World Religions, Patriarch of Constantinople, Turkestan Down to the Mongol Invasions, Tarikh Bukhara dan lain sebagainya.
Ayyas mengambil buku berjudul Seeing Islam as Other Saw It. Ia duduk di sofa. Ia mulai membaca buku pertama. Beberapa halaman ia baca cukup menarik. Buku itu menjelaskan mengenai pandangan orang-orang non Muslim terhadap Islam awal. Menjelaskan pandangan bangsa-bangsa yang ditaklukkan oleh Islam. Ada yang suka, ada yang tidak suka. Ada yang sangat memusuhi dan ada yang biasa-biasa saja. Yang jelas buku itu ditulis bukan oleh orang Islam.
Tetapi Ayyas merasa ada baiknya membaca buku itu, untuk mengetahui apa pandangan penulisnya terhadap agama yang dipeluknya dan dipeluk oleh kebanyakan orang Indonesia.
Dari buku itu Ayyas mendapat wawasan baru mengenai suara yang paling memusuhi kedatangan
bangsa Arab yang membawa Islam. Suara itu bisa ditemukan dalam sejumlah surat berbahasa
Yunani dan khotbah yang disampaikan oleh Sorphorius, seorang Patriark Yerusalem yang memiliki trauma menyakitkan akan invasi Persia jauh sebelum Islam datang. Invasi Persia itu ia gambarkan sangat kejam, merusak perkotaan dan pedesaan yang diberkati Tuhan dengan belati
yang membunuh. Orang-orang Persia datang merusak Yerusalem dengan kemarahan menakutkan yang telah dimunculkan setan.
Sorphorius yang hidup saat Islam berkembang di jazirah Arab berpandangan, datangnya penguasa Arab akan sama saja dengan invasi Persia yang kejam. Sorphorius memandang orang Arab sebagai bangsa barbar yang membenci Tuhan.
Dalam suratnya Sorphorius samasekali tidak menyoroti datangnya bangsa Arab sebagai pembawa agama baru, yaitu Islam.
Ayyas merasa, mungkin pandangan Sorphorius inilah yang menjadi awal pandangan banyak
orang Barat bahwa Islam selalu disebarkan dengan pedang. Karena surat-surat Sorphorius ditulis dalam bahasa Yunani dan terus dibaca orang Barat berabad-abad setelah kematiannya. Padahal pandangan Sorphorius penuh diselimuti trauma penaklukan Persia jauh sebelum Islam datang ke Yerusalem.
Sejarah kemudian membuktikan ketidak-benaran pandangan Sorphorius. Saat Islam membuka
Yerusalem, kedamaianlah yang dirasakan penduduk Yerusalem. Umar bin Khattab datang dengan penuh cinta dan hormat pada para pendeta di sana. Tak ada gereja yang dirusak. Tak ada kota dan desa yang dinistakan. Tak ada perusakan Yerusalem dengan kemarahan menakutkan yang telah dimunculkan setan. Tak ada pembantaian seperti yang dikhawatirkan Sorphorius. Dan
sejarah menulis keagungan Umar bin Khattab saat memasuki Yerusalem dengan tinta emas yang terus berkilauan.
Ayyas menemukan kenyataan, beberapa penganut Kristen saat itu sampai beranggapan bahwa datangnya bangsa Arab adalah tanda-tanda akan datangnya hari Kiamat. Bahkan ada yang berpendapat, kedatangan mereka sebagai instrument Tuhan untuk menghukum penganut Kristen karena kemerosotan moral.
Menariknya, ternyata dalam catatan sejarah tidak sedikit penganut Kristen kuno yang berpandangan baik akan kedatangan bangsa Arab yang membawa Islam saat itu. Seorang kepala biara di Qartmin yang terletak di Pegunungan Tur Abidin yang bernama Mar Gabriel, yang diakui sebagai orang suci oleh Ortodoks Syiria menganggap datangnya kekuasaan Muslim lebih terasa sebagai rahmat daripada bencana. Banyak sejarawan yang menulis, bahwa Mar Gabriel yang meninggal tahun 667 M lebih menyukai kedatangan bangsa Arab daripada penindasan rezim Byzantium.
Hal serupa juga disuarakan oleh Patriark Benyamin dari Alexandria yang hidup pada masa masuknya Islam ke Mesir. Benyamin dalam tulisannya yang berbahasa Koptik mengakui kedatangan orang Arab yang dipimpin sahabat Nabi Muhammad Saw. yaitu Amru bin Ash sebagai "dini hari yang baru bagi kepahlawanannya", dan "dini hari baru bagi kemerdekaan bangsanya". Amru bin Ash dianggap sebagai pahlawan yang memerdekakan Mesir dari penindasan penguasa Cyrus, gubernur kepercayaan kaisar Byzantium yang kejam.
Hampir satu jam Ayyas menunggu. Profesor Abramov Tomskii belum juga datang. Perempuan
tua berkerudung kozinka putih yang katanya mau membuatkan teh untuknya belum nampak
batang hidungnya juga. Ayyas berpikir perempuan tua itu hanya basa-basi saja. Memangnya
dirinya itu siapa sampai harus dibuatkan teh oleh pegawai MGU Moskwa. Tiga detik setelah
Ayyas berpikiran seperti itu, perempuan tua berkerudung kozinka putih itu muncul membawa
nampan berisi dua cangkir teh. Tubuhnya yang gemuk membuat langkahnya seperti berat. Perempuan tua itu masuk ruangan dengan nafas agak tersengal-sengal.
"Maaf agak terlambat, tadi Doktor Anastasia Palazzo minta tolong digandakan soal-soal ujian,
katanya mendesak. Ah kau mungkin menunggu tehnya terlalu lama. Saya mohon maaf. Profesor
Tomskii sudah sampai, dia sedang berjalan kemari. Silakan diminum tehnya." Kata perempuan
tua berkerudung kozinka putih ramah. Ayyas menganggukkan kepala sambil berkata,
"Spasiba balshoi."
Perempuan tua itu mengangguk sambil tersenyum, lalu menyeret kakinya pergi. Ayyas membaca istighfar, salah menyangka pada perempuan tua berkerudung kozinka putih itu.
Dalam suasana hati kurang nyaman, manusia memang paling mudah berburuk sangka. Perempuan tua berkerudung kozinka putih itu baik hatinya. Ayyas bisa merasakan ketulusannya lewat senyumnya. Ia jadi ingat sama Mbok Jum, penjual nasi sambel tumpang dekat Pesantren Kajoran saat ia mondok dulu.
Perempuan tua itu memiliki dedeg dan gesture tubuh yang mirip dengan Mbok Jum. Pendek dan
gemuk. Sifatnya hampir sama, ramah dan murah hati. Ia bahkan merasa banyak belajar keikhlasan dan ketulusan dengan Mbok Jum. Saking ikhlasnya Mbok Jum lebih rela rugi daripada membuat orang lain tidak nyaman hatinya.
Ia masih ingat betul kejadiannya. Kira-kira jam sembilan pagi hari Selasa. Ia dan teman-teman
satu kelas baru selesai olahraga. Saat itu ia diminta Pak Kiai Lukman membeli empat bungkus nasi sambal tumpang lengkap dengan tempe gembus gorengnya. Katanya untuk suguhan istimewa seorang teman lama Pak Kiai dari Surabaya, yang kalau ke Pesantren Kajoran pasti
nasi sambal tumpang yang ditanya.
Ia bergegas ke tempat Mbok Jum yang masih melayani satu dua pelanggannya. Seorang bapak-
bapak bermata cekung memesan dua nasi sambal tumpang dibungkus. Namanya Pak Turah. Ia menyerahkan uang lima ribu rupiah warna sambil bicara-bicara dengan seseorang yang naik sepeda. Setelah pesanan itu jadi dan dimasukkan kantong plastik. Mbok Jum memberikan kembalian seribu rupiah. Pak Turah itu minta tambah. Katanya masih kurang enam ribu rupiah.
"Lho pripun tho Pak, uang Sampeyan kan lima ribu. Harga dua bungkus nasi sambel tumpang empat ribu. Ya kembaliannya seribu."
Mbok Jum menjelaskan dengan tenang.
Tapi Pak Turah malah marah, "Lho mata Sampeyan apa picek Mbok. Aku tadi memberi sepuluh ribuan, bukan lima ribuan!"
"Lima ribu Pak. Ini lho uangnya, si Ayyas saksinya. Bener tho Le, lima ribu?" Kata Mbok Jum sambil memandang wajah Ayyas.
Ayyas langsung menjawab, "Iya Pak, bener Mbok Jum, tadi uangnya lima ribu."
Bukannya selesai, Pak Turah malah tambah marah dan berkata yang tidak-tidak, "O lha santri
picek. Kamu ikut sekongkol sama Mbok Jum ya. Apa begitu Kiai Lukman mengajarkan kamu
selama ini!?"
Seketika Ayyas naik pitam, ia tidak terima nama kiainya dibawa-bawa dan dituding yang
bukan-bukan. Sebab Ayyas tahu persis apa yang terjadi di depan matanya, bahwa uang yang
diberikan Pak Turah itu lima ribu rupiah bukan sepuluh ribu rupiah.
"Maaf Pak, tolong jangan..!"
Belum sempat melanjutkan kalimatnya Mbok Jum langsung memotong, "Wis Le, jangan diteruskan. Ya sudah Pak Turah, ini tambahannya lima ribu rupiah, tidak usah marah-marah!"
Pak Turah mengambil uang itu dan langsung pergi tanpa salam, tanpa pamitan. Ayyas menanyakan kenapa Mbok Jum melakukan itu, padahal Mbok Jum lah yang benar.
"Kalau Pak Turah itu macam-macam, akan banyak warga kampung Kajoran yang membela Mbok Jum. Orang tidak tahu diri itu harus diberi pelajaran Mbok!" Geram Ayyas. Tapi penjelasan Mbok Jum kemudian membuat Ayyas harus belajar keikhlasan darinya.
Mbok Jum menjawab, "Aku tahu Le, kalau aku yang benar dan yang pasti menang. Sebab
warga kampung ini pasti lebih percaya sama aku dan kamu. Karena aku merasa benar itulah maka aku ngalah. Ya nggak apa-apa sedekah beberapa ribu rupiah. Dengan sedekah itu aku minta barokahnya rezeki, dan aku minta kepada Allah semoga Pak Turah jadi insaf dan baik. Semuanya jadi baik. Aku ingin seluruh saudaraku, tetanggatetanggaku, kenalanku, semuanya baik dan dirahmati Gusti Allah. Intinya kita ini hidup kan untuk ibadah tho Le."
Ingatannya pada Mbok Jum seketika buyar tatkala ada seseorang menyapanya dengan suara
berat bergetar,
"Dabro Dent, (Selamat siang) Ayyas! Maaf saya terlambat!" Seorang lelaki tua berjas rapi, tinggi besar, berkulit putih, botak dan berkaca mata tebal berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Ayyas langsung mengenali lelaki itu.
Tak lain adalah Profesor Abramov Tomskii.
Ayyas langsung bangkit dari duduknya dan menjabat tangan Profesor seraya berkata dengan
senyum mengembang,
"Dabro Dentl Aaa. Eta vi, Profesor? Zhmu vashu ruku!" (Selamat siang! Ini Anda ya Profesor? Aku jabat tangan Anda!)
"Wah bahasa Rusiamu sudah cukup lancar ya? Di mana kamu belajar?"
"Dulu belajar pada teman-teman dari Rusia saat kuliah di Madinah. Lalu sedikit pemantapan
di Moskovskyj Linguisticeskyj Centr (Pusat Linguistik Moskwa ) di Delhi, India."
"Bagus. Profesor Najmuddin sudah banyak cerita tentang kamu. Jadi kamu sedang nulis
tentang Sejarah Islam di Rusia, fokus pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa Pemerintahan
Stalin?"
"Benar Profesor?"
"Sebenarnya kamu tidak perlu bersusah payah mengadakan penelitian kemari. Itu cukup studi
perpustakaan saja. Kau juga bisa banyak mengakses data lewat internet. Dan jika ada yang
kurang kau bisa mengakses data yang ada di perpustakaan MGU ini dari India. Kenapa harus
bersusah-susah, jika dengan yang mudah dan praktis kau bisa mendapatkan data yang akurat
dan bisa dipertanggungjawabkan."
"Jujur saya inginnya seperti itu Profesor Tomskii. Tapi Profesor Najmuddin tidak mau. Dia
mensyaratkan saya harus pernah riset langsung ke Rusia. Harus melihat langsung Rusia. Datanya
harus dari referensi pertama, tidak kedua apalagi ketiga. Referensi kedua hanya sebagai pendukung saja."
"Aku tahu sifat pembimbingmu itu. Sejak dulu dia selalu begitu, dia sangat perfeksionis. Jadi
tidak ada pilihan bagimu, kau harus benar-benar menuruti kata-katanya. Dan saranku lagi, kalau
datamu benar-benar sudah lengkap, dan kau sudah mulai menulis. Setiap bab nanti konsultasikan
dengan dia. Jangan sampai kau sudah nulis berpuluh lembar nanti kau diminta mengganti
total. Tapi aku mengakui dia sejarawan yang hebat." Puji Profesor Tomskii pada pembimbing
Ayyas.
"Baik Profesor. Terima kasih atas sarannya."
"Baik mana surat pengantarnya?" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas mengambil sesuatu dari tasnya. Ia mengeluarkan stopmap lalu menyerahkannya kepada
Profesor Tomskii.
"Selain surat pengantar. Ada juga surat pribadi Profesor Najmuddin untuk Profesor Tomskii."
Jelas Ayyas.
Profesor Tomskii membaca surat dan berkasberkas yang ada di stopmap itu dengan seksama. Lalu dengan wajah cerah ia berkata pada Ayyas.
"Ayyas, aku paham semua yang diinginkan pembimbingmu. Jujur, sebenarnya aku ingin
membimbingmu menemukan data-data terbaik dan melakukan penelitian sejarah terbaik. Aku
sudah menyiapkan waktu untuk itu sebenarnya. Tapi sayang, tadi aku baru mendapatkan tugas
dari rektor untuk terbang ke Istanbul. Aku diminta membantu kedutaan Rusia di Turki selama beberapa bulan, belum bisa ditentukan waktunya. Ada masalah kenegaraan yang harus melibatkan pakar sejarah Asia Barat."
"Jadi saya harus bagaimana Profesor?"
"Tenang. Kau tetap jalankan rencanamu. Aku telah siapkan asistenku untuk membantumu. Dia
nanti akan membantumu dua puluh empat jam kalau perlu. Dan selama aku pergi, kau bisa
menggunakan ruangan ini untuk bekerja. Asal kau jaga kerapiannya. Bagaimana?"
"Spasiba balshoi, Profesor"
"Aku ingin urusan administrasimu selesai hari ini. Semuanya. Besok kau sudah bisa fokus pada
penelitianmu. Sebentar, aku panggil asistenku." Kata Profesor Tomskii, tangannya meraih gagang telpon di mejanya dan memanggil asistennya untuk datang segera.
"Bagaimana keadaan Indonesia? Masih banyak korupsi?" Tanya Profesor Tomskii.
Ayyas hanya tersenyum kecut.
"Kau harus berpikir untuk memperbaiki negerimu. Ingatkan pengambil kebijakannya untuk tidak menjilat Amerika, dan tidak menjilat Negara manapun. Aku pernah ke Indonesia dan aku melihatnya sebagai negara yang sangat besar di antara benua Asia dan Australia. Kekayaannya luar biasa.
Seharusnya sudah jadi macan Asia. Dari segi modal dan fasilitas yang diberikan Tuhan kepada
negerimu, kalau diibaratkan, negerimu itu kelas hotel bintang lima lebih. Tetapi karena bangsamu dan para pemimpinnya tidak bisa mengurusnya, jadinya ya seperti kelas bintang melati yang memprihatinkan. Kau harus kembalikan negerimu ke posisi bintang limanya.
Kau tahu ndak, Ayyas, bahwa Jepang sangat bergantung pada negerimu, Indonesia? Bahkan
saking bergantungnya dengan negerimu, sampai-sampai jika negerimu terancam stabilitasnya, atau bahasa kasarnya, kalau sampai Indonesia mau diserang negara lain, prediksiku dari data yang aku kumpulkan, Jepanglah yang pertama kali akan membela Indonesia." Kata Profesor Abraham Tomskii menceramahi Ayyas.
"Kenapa bisa begitu Profesor?"
"Bodoh kau ini! Kan tadi sudah aku katakana Jepang sangat bergantung pada Indonesia. Kalau
Indonesia chaos, perekonomiannya ambruk, maka orang-orang Jepang tidak akan bisa makan.
Indonesialah yang menghidupkan industry Jepang. Bahan-bahan baku industri Jepang paling
besar didatangkan dari Indonesia. Batu bara, biji besi, tembaga, nikel, semua dari Indonesia. Dan
hasil industri Jepang paling besar dibuang ke Indonesia. Coba kau hitung berapa ribu kendaraan
roda dua setiap harinya yang dibeli orang Indonesia dari Jepang. Belum kulkas, mesin cuci, televisi, telpon, dan peralatan elektronik lainnya. Indonesia adalah tempat Jepang mengeruk uang, juga tempat negara kapitalis lainnya mengambil keuntungan. Dua ratus tiga puluh juta adalah pasar yang sangat besar. Sekali lagi sangat besar. Sudah paham?"
"Sudah Profesor."
"Bagus. Kau pasti senang dibimbing asistenku. Dia bisa diandalkan. Dan yang penting dia
masih muda dan cantik. Kau suka wanita cantik?"
Profesor berkepala botak dan berambut putih itu menggoda.
Ayyas hanya tersenyum.
"Dia sangat cerdas dan ramah. Tapi kerasa kepala dan sangat kuat memegang prinsip-prinsip
keyakinannya yang sangat konservatif. Dia tidak suka Vodka, jangan sekali-kali mengajaknya
minum Vodka. Kalau kau bisa menaklukkan dia maka kau pemuda yang sungguh beruntung."
Tiba-tiba bel berbunyi.
"Lha itu dia datang!" Lirih Profesor Tomskii pada Ayyas dengan mengedipkan mata kirinya.
"Silakan masuk!" Serunya.
Pintu terbuka. Seorang perempuan muda jelita masuk. Ayyas memandang ke arah pintu. Kedua
matanya bertemu pandang dengan perempuan muda itu. Hati Ayyas berdesir. Sebuah desiran yang tidak kalah kualitasnya dengan desiran kala kali pertama bertatapan muka dengan Yelena.
Wajah Ayyas memerah. Ayyas kemudian menundukkan muka untuk menutupi perubahan
wajahnya yang memerah seraya berdoa dalam hati, "Duhai Allah, jauhkan hamba-Mu dari kejahatan dan fitnah yang ditimbulkan oleh wajah jelita nonik-nonik muda Rusia." Sementara itu, Profesor Abraham Tomskii tersenyum tipis melihat perubahan wajah Ayyas yang sempat
memerah.
"Dabro Dentf" Kata perempuan itu lembut. Ia berjalan mendekat. Pakaian yang membalut tubuhnya begitu serasi dengan pesona wajahnya. Ia mengenakan celana jeans ketat putih dan sweeter ketat putih gading. Syalnya juga putih. Mukanya segar bersih. Rambutnya yang lurus dan hitam legam ia biarkan tergerai begitu saja.
"Apa yang bisa saya bantu Profesor?" Tanya perempuan bermuka segar itu.
"Anastasia, kenalkan ini Ayyas dari Indonesia, dia mahasiswa sahabat saya Profesor Najmuddin
di Aligarh. Ayyas, ini Doktor Anastasia Palazzo, asistenku, dia pakar sejarah Asia Selatan. Dia
nanti yang akan menggantikan aku menjadi pembimbingmu selama kau di sini." Kata Profesor
Tomskii mengenalkan keduanya satu sama lain.
"Senang bertemu dengan Anda." Kata Anastasia sambil tersenyum.
"Saya juga senang bertemu dengan Anda. Ini kali kedua saya mendengar nama Anda." Kata
Ayyas.
"O ya, kau pernah mendengar namaku sebelumnya? Kapan dan di mana?" Heran Anastasia.
"Saya mendengar nama Anda dari perempuan tua berkerudung kozinka putih beberapa saat
yang lalu. Dia bercerita sedang menggandakan soal ujian yang Anda minta." Jawab Ayyas
tenang.
"Ah dari Bibi Parlova, saya kira pernah mendengar di mana, Anda bisa saja bercanda." Tukas Anastasia tersenyum, seketika dua pipinya dihiasi lesung pipi yang mampu menarik lelaki
manapun untuk berlama-lama menatapnya.
"Puji Tuhan! Baru bertemu kalian sudah langsung akrab. Apa ini tanda-tanda jodoh hehehe."
Profesor Tomskii berkelakar.
"Profesor bercanda terus." Sahut Anastasia. Sementara Ayyas sedikit tersipu malu mendengar ucapan Profesor Tomskii. Sekilas matanya melirik ke arah Anastasia Palazzo.
Pakar sejarah asisten Professor Tomskii itu memang terlihat segar dan jelita. Hati Ayyas berdesir halus. Tapi ia segera menguasai dirinya.
"Sebagai guru besar, beban saya untuk serius lebih besar dari kalian, maka saya harus mengimbanginya dengan sering bercanda dan rileks, biar pikiran terus segar. Saya tidak mau seperti Profesor Betrishchev yang serius terus. Saat santai pun serius, susah tersenyum dan tertawa. Seolah guru besar tidak boleh bercanda. Akibatnya ya kamu tahu sendiri Anastasia. Dia tidak bisa berumur panjang. Baru lima puluh satu tahun sudah meninggal. Aku ini sudah enam puluh empat, jauh lebih tua dari Betrishchev, tapi masih kuat berenang sejauh dua ratus meter." Kata Profesor Tomskii.
"Wah resep Profesor boleh juga." Tukas Ayyas.
"Mm, jadi apa yang bisa saya bantu Profesor?" Tanya Anastasia Palazzo.
"Ini jawabanku yang kedua kalinya. Ayyas ini sedang menulis tesis. Dia harus melakukan penelitian di sini. Seharusnya aku yang harus menjadi pembimbingnya selama dia di sini. Tapi besok aku harus terbang ke Istanbul. Jadi kau aku minta menggantikan aku menjadi pembimbingnya." Jelas Profesor Tomskii.
"Kenapa harus saya Profesor, kenapa tidak guru besar yang lain yang lebih senior?" Tanya
Anastasia.
"Kalau yang lain nanti urusannya rumit dan berbelit. Banyak birokrasi. Maka harus kamu Anastasia, kamu siap?"
"Saya siap dan tidak ada masalah kalau begitu. Masalahnya yang dibimbing mau tidak? Semestinya dia dibimbing Profesor Abraham Tomskii, bukan Anastasia." Jawab Anastasia.
Profesor Tomskii langsung menoleh pada Ayyas, "Bagaimana Ayyas jika dibimbing dia?"
"Dibimbing siapa pun saya tidak masalah. Yang penting semuanya berjalan dengan baik dan
saya bisa segera menyelesaikan tesis saya dengan hasil terbaik."
"Berarti tidak ada masalah. Aku bisa terbang ke Istanbul dengan tenang." Kata Profesor Tomskii
dengan senyum mengembang.
Setelah itu Profesor Tomskii memberi pengarahan kepada Anastasia Palazzo. Profesor Tomskii ingin agar Ayyas benar-benar mendapatkan kemudahan dan fasilitas yang cukup. Juga agar Ayyas dianggap sebagai fellow reseacher dan mendapat tunjangan beasiswa selama melakukan penelitian.
Anastasia berjanji akan membantu sebaikbaiknya. Siang itu pertemuan ditutup dengan makan siang di stolovaya atau kantin MGU. Ayyas memilih menu terdiri atas kentang, kotlety, yaitu
sejenis perkedel yang terbuat dari daging giling tanpa kentang dengan sup Borsh (Semacam sup
ayam, di dalamnya terdapat irisan berwarna merah dan setangkup roh berbentuk bulat yang
disebut Lipyoshka) khas Rusia serta secangkir teh hangat. Sedangkan Profesor Tomskii dan
Anastasia memilih makan dengan sup ukha (Sup ikan kegemaran orang Rusia), sepiring daging
kambing asap, roti hitam, dan secangkir teh hijau panas.
Sebelum berpisah, Anastasia Palazzo berkata kepada Ayyas, "Besok kita ketemu jam sepuluh
di ruangan Profesor Tomskii, saya ingin tahu lebih detil apa yang sudah dicapai dalam penelitian
Anda."
Dengan agak bergetar Ayyas menjawab,
"Baik, Doktor."
Siang itu Moskwa terasa lebih cerah dari biasanya. Matahari menampakkan sinarnya meskipun
tidak bisa menghilangkan kabut musim dingin yang menyelimuti bumi. Keluar dari kampus
MGU Ayyas langsung bergegas mencari tempat untuk sujud dan rukuk. Ia hampir lupa shalat
Zuhur. Setelah lebih tiga hari di Moskwa, keringanan untuk menjamak dan mengqashar sudah
tidak ada lagi.
Waktu shalat Zuhur hampir habis dan Ayyas belum juga menemukan tempat untuk shalat. Ia
tahu, mencari masjid di Moskwa tidak semudah mencari masjid di Jakarta atau di New Delhi India.
Dari data yang ia punya, hanya ada lima masjid di Moskwa, yang kalau ia mengejar untuk
shalat di salah satunya, maka waktu shalat Zuhur sudah habis. Akhirnya ia nekat, ia masuk stasiun Universitet dan mencari sudut untuk bisa sujud kepada Allah Azza Wa Jalla.
Ketika ia shalat banyak orang melihatnya dengan terheran-heran. Dan ia tetap tidak bergeming, ia tetap khusyuk dalam shalatnya. Selesai shalat seorang polisi mendekatinya, memeriksa dokumennya dan menanyakan apa yang baru saja dilakukannya. Ayyas menjawab ia baru saja shalat, beribadah kepada Tuhannya.
Polisi itu memberinya peringatakan agar jangan sekali-kali melakukan ritual di tempat umum
lagi, sebab tempat ibadah masing-masing agama sudah disediakan di Moskwa. Ayyas hanya menjawab, "Da, da"
Polisi itu nampak puas mendengar jawaban Ayyas yang tidak membantah sedikit pun. Ayyas
langsung angkat kaki, tujuannya KBRI untuk lapor diri secara resmi, meskipun ia sudah memberitahukan keberadaannya kepada pihak Konsuler KBRI melalui email di hari pertama ia tiba.
Ayyas membuka map metro Moskwa yang ia cetak dari internet. Sesaat kemudian ia sudah
tahu bagaimana caranya sampai ke stasiun Tretyakovskaya, stasiun metro yang paling dekat
dengan KBRI. Setelah itu ia akan jalan kaki saja ke KBRI yang terletak di Novokuznetskaya Ulitsa nomor 12. "Mudah, insya Allah" lirihnya dalam hati.
***


Yelena sampai apartemen ketika salju kembali turun. Udara di luar apartemen perlahan-lahan
bertambah dingin. Angin berhembus perlahan dari utara ke selatan, dari selatan ke utara. Yelena
langsung masuk kamarnya dan mandi dengan air hangat. Ia merasa sangat lelah. Dari jam dua siang sampai jam tujuh petang ia harus melayani tiga klien dengan profesional. Ia kembali merasa dirinya bukan lagi seorang manusia. Setan seakan telah menjamah seluruh tubuhnya, dan kini ia merasa dirinya tak ubahnya adalah setan.
Entah mengapa, dengan mandi, sentuhan air dari ujung rambut sampai ujung kakinya seolah
menjadikannya lebih bersih. Seolah bekas-bekas sentuhan setan di sekujur tubuhnya hanyut terbawa air. Ia lebih segar, pikirannya lebih terang dan perasaannya sebagai manusia sedikit tumbuh. Dari mantan suaminyalah ia mendapat pengetahuan mandi untuk menyucikan tubuh dan batin.
Meskipun ia tidak percaya kepada Tuhan dan kepada jenis agama apa pun, tapi ia percaya bahwa
mandi bisa menyegarkan pikiran dan meremajakan otot dan syaraf-syaraf tubuhnya. Dan setelah mandi ia merasa jiwanya sedikit lebih tenang, perasaannya lebih nyaman. Ia telah
membuktikannya. Menurutnya kenyataan itu tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama
seperti yang pernah diutarakan suaminya padanya, tapi itu adalah satu kenyataan ilmiah. Secara
ilmiah air yang bersih dan jernih itu menyehatkan.
Tubuh manusia sangat memerlukan air. Baik untuk minum atau pun untuk membersihkan
kulitnya dari berjenis-jenis kotoran yang halus dan rumit. Tak perlu ajaran Tuhan, ilmu pengetahuan yang menjelaskan semuanya. Begitulah cara berpikir perempuan muda Rusia bernama Yelena ini.
Selesai mandi ia memakai pakaian yang hanya pantas dipakainya di dalam kamarnya saja. Hanya
aurat terpentingnya yang benar-benar tertutup. Ia dan Linor biasa berpakaian seperti itu, apalagi
di musim semi dan musim panas. Mereka berdua dan kebanyakan gadis Rusia memakai pakaian
yang rapat menutup seluruh tubuh hanya ketika musim dingin tiba, itu pun ketika keluar dari tempat tinggalnya. Ketika di dalam rumah yang seluruh ruangannya hangat oleh pemanas ruangan, sebagian mereka tetap lebih suka membiarkan bagian-bagian tubuhnya terbuka.
Di puncak musim dingin seperti malam itu, biasanya Yelena tetap lebih suka memakai swieter
tipis dan celana panjang jika ada di dalam apartemen. Tetapi malam itu ia memilih memakai
pakaian yang membiarkan sebagian besar kulitnya terbuka. Jika Ayyas pulang, ia ingin ngobrol
dengan pemuda dari Indonesia itu, dan ia ingin memamerkan keindahan kulitnya kepada Ayyas
lalu mendengar komentarnya, lebih tepatnya ia ingin mendengar pujian darinya.
Yelena duduk lalu rebahan di atas sofa panjang, kedua matanya terpaku pada layar kaca televisi. Sesekali tangan kanannya meraih gelas di atas meja berisi vodka martini. Ia melihat jam dinding, sudah hampir jam sembilan. Entah kenapa tiba-tiba ada rasa khawatir menelusup ke dalam hatinya, "Jangan-jangan dia tersesat, tidak bisa pulang. Informasi jalur metro tertulis dalam huruf Cyrilic, bukan latin. Jangan-jangan dia tidak bisa membaca huruf itu dan tersesat di bawah tanah tidak bisa keluar di stasiun Smolenskaya. Kasihan anak itu, dia masih baru di sini." Katanya dalam hati.
Yelena bangkit ke kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia mencoba menelpon Ayyas, tapi tidak bisa tersambung. Rasa khawatirnya semakin kuat. "Atau jangan-jangan ia bertemu kelompok rasialis yang ekstrim, yang tidak menyukai bangsa ber-ras non Rusia. Ia bisa celaka kalau ketemu kelompok itu." Gumamnya dalam hati. Yelena kembali duduk di sofa. Tiba-tiba bel berbunyi. Yelena terkesiap bahagia. "Ini dia yang datang." Pekiknya lirih penuh harap. Terdengar suara pintu terbuka. Ada orang masuk. Dari pintu foyer yang terbuat dari kaca ia bisa
melihat siapa yang datang. Ia sedikit kecewa, ternyata bukan Ayyas, tapi Linor.
"Wah di luar dingin banget. Sudah kembali normal musim dinginnya. Sekitar minus lima belas
derajat mungkin, sudah tidak hangat lagi seperti tadi pagi." Kata Linor sambil meletakkan tas
berisi biolanya. Gadis itu langsung menuju dapur dan menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia lalu
duduk di samping Yelena.
"Begitu cepat suhu udara naik turun. Tadi pagi tujuh derajat, malam ini sudah lima belas derajat." Sahut Yelena.
"Efek pemanasan global. O ya Yelena si Muslim Brengsek dari Indonesia itu ada di kamarnya?" Tanya Linor.
"Jangan menyebut dia begitu. Kalau terdengar dia tidak enak. Dia mengerti bahasa Rusia. Dan
dia tidak brengsek. Dia belum pulang. Tadi dia ke MGU, aku menemaninya." Jawab Yelena.
"Wow, jadi kamu mulai jalan bareng sama orang itu? Mulai tertarik pada manusia purba ya?" Tukas Linor dengan nada merendahkan.
"Kau terlalu mengada-ada Linor. Aku hanya berusaha menolongnya. Kasihan dia masih belum tahu apa-apa tentang Moskwa ini."
"Kalau boleh memberi saran, sebaiknya kau jauhi si Brengsek itu. Kau harus ingat masa lalumu. Orang Islam itu di mana-mana kerjanya membuat onar, sangat berbahaya. Mereka seperti tidak punya otak dan belas kasihan. Bahasa mereka bahasa kanibal. Mereka lebih kejam dari tentara Tartar yang membantai umat manusia beberapa abad yang lalu." Linor berkata serius kepada
Yelena sambil sesekali meneguk vodkanya.
Yelena mengambil nafas panjang dan menjawab,
"Tapi dia baik. Aku yakin dia baik."
Yelena tidak ingin mendebat Linor. Ia tahu persis sebesar apa ketidak-sukaan Linor kepada orang Islam. Dalam beberapa artikelnya di koran, gadis itu sampai membuat kesimpulan orang-orang Islam tidak layak hidup di atas muka bumi. Menurut Linor, adanya orang Islam hanya membuat kehidupan di atas bumi ini tidak nyaman dan tidak. aman. Maka Yelena hanya menjawab singkat dan samasekali tidak mendebat Linor.
Meskipun ia tidak percaya pada agama, tapi menurutnya manusia di mana-mana sama. Tidak pandang ras, warna kulit dan agamanya. Di manamana manusia itu sama, ada yang baik dan ada
yang tidak baik.
"Terserah kamu. Yang penting aku sudah mengingatkanmu. Dan aku tidak akan diam begitu
saja jika si Brengsek itu macam-macam di sini!" Tukas Linor.
"O ya, bagaimana rencana konsermu?" Yelena mengalihkan pembicaraan.
"Semakin matang."
"Baguslah."
"Baik. Aku masuk kamar dulu. Istirahat."
"Spakoinoi Nochi, (Selamat malam atau selamat tidur) Linor." Sahut Yelena. Linor menjawab
dengan senyum mengembang kepada Yelena lalu masuk dan menutup pintu kamarnya. Mata Yelena kembali menatap layar kaca yang menyiarkan terjadinya badai salju yang ekstrim di daerah Vyatka. Beberapa pohon tumbang dan ada rumah yang rusak parah. Listrik sempat mati
selama empat jam. Tetapi pemerintah kota Vyatka terlihat sangat tanggap sehingga listrik mati
tidak terlalu lama. Jika listrik mati lama, maka bisa dipastikan sebagian penduduk Vyatka akan
sangat menderita kedinginan, karena alat pemanas ruangannya tidak bisa menyala. Dan tidak
semua rumah siap untuk menyalakan tungku pemanas.
Bel berbunyi lagi. Yelena yakin kali ini pasti Ayyas. Tak lama kemudian pintu terbuka. Dan
benar, Ayyas. Ayyas nampak menggigil kedinginan. Pemuda itu melepas sepatunya lalu masuk ke ruang tamu. Ia kaget bukan main ketika melihat Yelena duduk di ruang tamu dengan pakaian yang tidak genap menutup aurat. Ia langsung menundukkan pandangannya. Ia merasa bahwa ruangan itu penuh sesak oleh setan bertepuk tangan menyambutnya.
"Hei, baru pulang, sukses urusannya?" Tanya Yelena sambil tersenyum.
Tanpa melihat Yelena dan dengan tetap berjalan menuju kamarnya Ayyas menjawab, "Ya sukses. Spakoinoi Nochi, Yelena!"
Yelena bangkit dan berkata, "Hei tunggu, duduklah sini sebentar. Hangatkan tubuhmu dengan
Vodka ini. Temani aku berbincang-bincang sebentar."
"Maaf Yelena, aku sangat letih, aku harus istirahat."
"Duduklah, lima belas menit saja."
"Maaf Yelena, aku tidak bisa. Sebaiknya kau istirahat saja." Kata Ayyas dengan tetap menahan
untuk tidak memandang ke arah Yelena. Ia sebenarnya ingin sedikit mengarahkan mukanya ke wajah Yelena untuk menghormati lawan bicaranya.
Tapi ia tidak berani, karena takut imannya goyang. Begitu selesai mengucapkan kata-katanya Ayyas langsung masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.
"Dasar brengsek!" Umpat Yelena. Ia sangat kecewa pada Ayyas. Sebenarnya ia hanya ingin
ditemani ngobrol, dan berbincang tentang banyak hal. Ya, banyak hal yang lebih manusiawi. Hal-hal yang berbeda dengan rutinitas yang dilaluinya bersama teman-temannya di daerah Tverskaya yang membuat batinnya merintih dan membuat dirinya terasa hampa. Yelena mematikan televise dan masuk kamar dengan membanting pintunya agak keras.
Ayyas mendengar bunyi pintu yang dibanting itu. Ia yakin itu Yelena yang kesal padanya. Ayyas
tidak mengabaikannya. Ia tidak mau ditertawakan oleh setan yang menginginkan manusia selalu berbuat maksiat dan menuruti hawa nafsunya. Ia pemuda yang sehat dan normal. Ia bisa meraba kekuatan imannya sendiri. Iman yang ada dalam dirinya ia rasa belum kuat menghadapi godaan kecantikan perempuan Rusia yang hidup tanpa aturan agama dan moral seperti Yelena.
Karena itu ia harus menyelamatkan dirinya dengan segera masuk kamar dan mengunci
pintunya kuat-kuat.
Ayyas langsung mandi dengan air hangat. Mengambil wudhu, lalu shalat. Setelah shalat ia
membaca Al-Quran satu halaman. Lalu merebahkan dirinya untuk tidur. Ia benar-benar lelah.
Ia melakukan perjalanan satu hari penuh. Dari universitas, KBRI, ke masjid Basoi Tatarski yang
tidak jauh dari KBRI, setelah itu ke rumah Atase Perdagangan, Pak Akmal Hidayat, SE. MBA.
yang ia kenal di KBRI. Sekali kenal langsung akrab, karena Pak Akmal ternyata orang Piyungan
Yogyakarta bertetangga dengan Budenya yang asli Piyungan. Sebenarnya sampai di KBRI ia sudah sangat kedinginan, beruntung Pak Akmal meminjaminya mantel palto tebal. Pak Akmal
punya tiga palto di kantornya. Ayyas sangat bahagia, Pak Akmal yang sudah satu tahun di Moskwa kelihatannya sangat religius dan siap membantu dirinya selama melakukan penelitian
di Moskwa.
Ayyas sudah memejamkan kedua matanya. Ia ingin segera lelap. Tetapi bayangan Yelena dengan segala keindahan tubuhnya, yang baru saja dilihatnya meskipun sekejap, seolah hadir di pelupuk matanya. Bayangan wajah cantik Anastasia Palazzo juga menari-nari di pelupuk matanya. Darah mudanya menghangat: Ayyas berusaha menepis bayangan itu tetapi tidak mudah. Bayangan itu seperti telah tersimpan dan menempel erat di salah satu sudut hatinya. Seperti virus di komputer yang tidak mudah dihilangkan.
Ayyas merasa ujian keimanan ini terasa lebih berat dari musim dingin yang paling menggigit
sekalipun.
Rasa dingin yang menggigil itu bisa hilang begitu saja ketika ia masuk di kamarnya yang hangat oleh pemanas. Tetapi virus moleknya Yelena dan cantiknya Anastasia tidak mudah dihilangkan.
Meskipun ia telah shalat dan membaca Al-Quran, virus itu tidak juga xex-delete sempurna, masih tersisa, hanya bisa dijinakkan. Ayyas membaca istighfar berulang kali. Lebih dari tujuh puluh kali. Dalam istighfar ia teringat pesan Kiai Lukman Hakim, saat ngaji di Pesantren Kajoran Magelang dulu,
"Eling-elingo yo Ngger, endahe wanojo iku sing dadi jalaran batok toponingporo santri lan satrio agung!” Lalu kiai Lukman menguraikan hadis tentang ujian terbesar bagi kaum lelaki beriman
adalah pesona perempuan.
Ayyas terus berzikir dan beristighfar sampai tertidur. Dalam tidurnya yang pulas, Ayyas bermimpi ada dua ekor ular masuk ke dalam kamarnya dan memburunya. Ia mati-matian
menghindari patukan dua ular itu. Ia mencari-cari alat untuk bisa membinasakan kedua ular itu tapi tidak ketemu. Akhirnya dengan kehati-hatiannya ia bisa lolos dari sergapan kedua ular itu. Ia
kemudian lari ke jalan, dan di jalan juga ia temukan banyak ular. Ia lari menghindari ular-ular itu, hampir ada yang bisa mematuk, tapi ia bisa melompat. Ia kelelahan, ular-ular itu terus memburu. Ia kehabisan nafas dan kakinya sudah tidak mampu ia gerakkan, ular-ular itu semakin
dekat. Ia kehabisan cara untuk menyelamatkan diri. Ketika ular-ular itu hendak mematuk dirinya
ia berteriak keras, "Allaahu akbari" Dan seketika ia terbangun dari tidurnya. Ayyas bangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi itu seolah-olah nyata. Sekujur tubuhnya dibasahi keringat dingin.
"Mimpi yang tidak menyenangkan," lirih Ayyas. Seketika ia teringat ajaran Rasulullah Saw.
ketika seseorang bermimpi tidak baik. Ayyas meludah ke kiri tiga kali dan membaca isti'adzah,
memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk. Ayyas lalu bangkit dari tempat
tidurnya dan melihat jam dinding. Pukul setengah tiga dini hari. Ia bangkit mengambil wudhu lalu shalat Tahajud. Setelah berdoa untuk dirinya, kedua orangtuanya, dan untuk kebaikan umat manusia, Ayyas kembali merebahkan tubuhnya. Ia memasang alarm di ponselnya.
Ia harus benar-benar detil mempersiapkan segala hal yang membuatnya tidak meninggalkan
kewajibannya shalat lima waktu. Jika selama kuliah di Madinah dulu azan berkumandang setiap
kali masuk waktu shalat, tanpa memasang alarm pun ia bisa terjaga dan sadar untuk shalat. Tetapi di Moskwa tidak ada azan seperti Madinah, dia sendiri yang harus berjuang bisa mendirikan shalat tepat pada waktunya.
Ia merasa harus semakin merapat kepada Allah. Tak ada yang benar-benar mampu menyelamatkan imannya kecuali Allah. Moskwa bukan Madinah. Jika di Madinah aroma kesucian orang-orang saleh begitu terasa, di Moskwa yang ia rasakan adalah aroma perempuan cantik Rusia seperti Yelena dan Anastasia Palazzo yang mengusik ketenangan jiwa.
***


Pagi itu salju bertasbih. Pohon-pohon bereozka, pohon cemara araukaria juga bertasbih. Batu-batu yang tersusun rapi di pinggir jalan-jalan kota Moskwa yang tertimbun salju juga bertasbih.
Udara dingin kota Moskwa bertasbih.
Semua benda yang ada di kota Moskwa yang pernah dianggap sebagai pusatnya kota orang-orang atheis juga bertasbih. Alam selalu bertasbih mengagungkan nama Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Hanya manusia tidak mengerti bahasa tasbih mereka. Dan ketika alam bertasbih hanya sedikit
manusia yang ikut dalam irama tasbih alam semesta. Hanya sedikit manusia yang mengingat
Tuhannya, sebagian besar manusia hanya ingat pada dirinya dan kepentingannya nafsunya
sendiri.
Di antara manusia yang sedikit itu adalah Ayyas. Pagi itu ia bertasbih bersama tasbih salju,
angin dingin, pohon bereozka, pohon cemara, kayu birk, batu-batu dan seluruh benda di jagat
raya juga para malaikat yang tidak pernah membangkang perintah Tuhannya. Pagi itu Ayyas bertasbih, larut dalam zikir paginya yang panjang. Kali ini zikirnya lebih panjang dari pagi-pagi
sebelumnya.
Yelena juga sudah bangun. Perempuan muda berambut pirang itu berkali-kali mengetuk pintu
kamar Ayyas dan memanggil-manggil nama Ayyas. Ayyas yang sedang khusyuk dalam zikir
paginya samasekali tidak menyahut. Ia tidak mau diganggu. Tak lama kemudian ia mendengar percekcokan kecil antara Yelena dan Linor. Linor mengingatkan Yelena agar tidak mengetuk kamar orang lain. Yang jadi masalah, di ujung kalimatnya Linor mengatakan, "Dasar perempuan
jalang!" Lalu terjadilah cekcok mulut yang cukup panas dalam bahasa Rusia. Dua perempuan itu
saling mencaci dan mengumpat dengan kata-kata tidak terpuji. Sebagian Ayyas paham, sebagian
tidak paham samasekali. Ayyas hanya diam. Ia tidak mau terlibat urusan yang tidak ada manfaatnya, malah banyak celakanya seperti itu.
Selesai zikir Ayyas menyalakan laptopnya. Ia merasa beruntung, di kawasan itu ada sinyal wifi gratis. Ia bisa online kapan saja. Ketika jaringan wifi itu dibuat tanpa pasword dan bisa diakses
siapa saja berarti memang digunakan untuk umum. Atau pemiliknya sengaja membuka jaringan internet miliknya boleh digunakan siapa saja.
Ayyas ingin lebih tahu siapa Doktor Anastasia Palazzo. Ia menulis nama itu dalam situs-situs
pencarian. Cukup banyak yang memuat nama Anastasia Palazzo. Yang jelas, asisten Profesor Tomskii itu bukan orang sembarangan. Ia orang yang cerdas dan brilian. Ia lahir di kota Novgorod. Menyelesaikan SI di St. Petersburg University, S2 di Calcutta, India, S3 di Cambridge, London. Kepakarannya adalah pendidikan ilmu sejarah dan filologi. Anastasia Palazzo menguasai banyak bahasa. Selain bahasa Rusia ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Yunani, Kazakh, Urdu dan Ibrani. Mau tidak mau Ayyas harus mengagumi orang yang akan menjadi pembimbing penelitiannya selama di Moskwa ini.
Ayyas juga membaca dua blog yang ditulis Doktor Anastasia Palazzo, sehingga Ayyas cukup
mengerti riwayat hidup doktor muda itu. Baginya itu sudah cukup untuk bekal bertemu pembimbingnya itu.
Pagi ini ia janji dengan pakar filologi itu. Sebenarnya ada yang tidak nyaman di hatinya ketika ia harus dibimbing Anastasia Palazzo. Ia merasa lebih nyaman melakukan penelitian sendiri. Bukan karena Anastasia Palazzo masih muda dan ia meragukan kemampuan ilmiahnya, sama sekali bukan. Ia bukan jenis manusia yang tinggi hati untuk belajar kepada yang muda, bahkan kepada yang lebih muda darinya ia pun siap. Yang membuatnya tidak nyaman adalah Doktor Anastasia Palazzo seorang perempuan muda. Cantik, cerdas, dan memesona! Tiga karunia Tuhan yang jarang dipadukan kepada kaum hawa, itulah masalahnya bagi Ayyas.
Meskipun Ayyas yakin Anastasia Palazzo pasti akan sangat menjaga kesopanan berpakaiannya
tidak seperti Yelena, tapi justru itulah ujiannya. Yelena jelas ujian yang tidak ringan baginya,
tapi hanya dengan melihat caranya berpakaian alam bawah sadarnya secara otomatis langsung menolaknya. Sedangkan Anastasia yang cukup rapat menutup badannya dengan segala prestasi akademiknya telah membuatnya kagum dan hormat. Imannya merasa tidak aman jika banyak berdekatan dengan Anastasia Palazzo yang kata Profesor Tomskii, yang bisa menaklukkannya adalah pemuda yang beruntung. Jam sepuluh ia harus sudah ada di ruangan Profesor Tomskii. Di ruangan yang nyaman itulah ia akan bertemu dengan Anastasia Palazzo.
Tepat jam delapan ia keluar kamar. Yelena telah rapi seperti biasa ketika akan berangkat kerja, la
agak nyaman melihat Yelena tertutup rapat pakaian musim dingin. Yang nampak hanya wajah
putihnya dan sedikit rambut pirang yang ia biarkan tergerai. Sebagian rambut itu tertutup syal yang melingkar di lehernya. Yelena tersenyum padanya, Ayyas berusaha tersenyum.
"Dabroye Utra, Ayyas. Mau ke MGU?" Sapa Yelena.
"Dabroye Utra, Yelena. Ya aku mau ke MGU. Kau sudah mau berangkat kerja?" Jawab Ayyas,
lalu balik bertanya.
"Tidak. Hari ini aku cuti, aku ada janji dengan seorang teman di Lyublino. Dari pagi aku ketuk
kamarmu beberapa kali. kelihatannya kau masih tidur. Pasti kau sangat kelelahan."
"Ya tadi malam aku merasa letih dan lelah. Tapi pagi ini sudah bugar alhamdulillah"
"Kita keluar bareng sampai stasiun?"
"Mari." Jawab Ayyas sambil bergegas jalan duluan.
Di luar angin yang bertiup sangat dingin menyambut mereka berdua. Ayyas mulai merasa dingin. Kondisi pagi itu sangat berbeda dengan pagi sebelumnya. Langit buram oleh mendung.
Kabut terasa tebal. Salju menggunung di pinggir jalan. Rumput-rumput samasekali tidak ada yang kelihatan.
Sambil berjalan Ayyas meminta kepada Yelena agar kalau di ruang tamu berpakaian lebih rapat. Kalau berpakaian seperti tadi malam sebaiknya saat di kamar saja. Yelena agak kurang suka dengan permintaan Ayyas. Yelena malah menjawab, "Kau baru datang, jangan mengatur aku!"
Ayyas minta maaf jika ada perkataanya yang menyinggung perasaan Yelena. Bukan itu yang diinginkannya. Ia mengatakan hanya ingin menciptakan kenyamanan di ruang tamu, sebab itu milik bersama. Itu ibarat lobby sebuah hotel.
"Jadi kau merasa tidak nyaman melihat aku berpakaian seperti tadi malam?" Tanya Yelena.
"Iya, maaf. Aku sangat tidak nyaman?"
"Kenapa? Apa aku menyakitimu dengan pakaianku itu?"
"Menyakiti secara fisik tidak, tapi secara psikis iya. Melihatmu dengan pakaian seperti itu imanku bisa runtuh." Ayyas berterus terang.
"Ah iman! Buang saja imanmu itu ke tong sampah, maka tidak akan ada yang runtuh. Kau akan nyaman, hidup tanpa aturan iman!"
"Justru kalau aku tidak ditertibkan oleh aturan iman, aku akan diperbudak oleh penjajahan hawa
nafsu, ini lebih tidak nyaman lagi."
"Kalau begitu aku akan membantumu meruntuhkan imanmu. Percayalah tanpa aturan iman kau akan hidup bebas dan nanti kau akan merasa jauh lebih nyaman. Dan hawa nafsu itu tidak ada,
yang ada adalah tuntutan diri kira kepada diri kita sendiri. Kalau kita memenuhinya kita akan meraba nyaman."
"Sejarah berkata lain. Banyak orang stres, tidak nyaman hidupnya dan bunuh diri, justru ketika ia hidup sangat bebas tanpa aturan agama. Ada aturan agama tapi diacuhkannya samasekali. Dan banyak orang yang merasa nyaman karena hidup bebas, tapi sebenarnya jiwanya sakit dan batinnya tersiksa oleh kehampaan dan rasa sia-sia menjadi manusia."
"Orang beragama pun ada yang stres, dan bunuh diri. Sama saja."
"Tidak sama. Yang seperti itu karena tidak benar-benar memahami dan menghayati ajaran
agama dengan sungguhsungguh. Kalau sungguh-sungguh mengamalkan ajaran agama, yang tercipta hanya kebahagiaan dan kesejahteraan."
"Agaknya, terlalu kuat doktrin agama itu meracuni otakmu!" Kata Yelena dengan nada sinis.
Ayyas tersentak kaget mendengar kata-kata Yelena yang pedas, sinis dan bernada merendahkan
itu. Ketidaksukaan Yelena pada agama kelihatannya sudah mengkristal. Stasiun Smolenskaya tinggal beberapa langkah lagi. Ayyas merasa tidak perlu mencurahkan segenap energy meladeni seorang atheis radikal seperti Yelena. Yang perlu untuk dia ketahui justru sejarah hidup Yelena. Kenapa dia bisa begitu anti kepada segala yang beraroma agama, padahal sebelumnya ia pernah beragama? Apa yang menyebabkannya berbalik dari yang beriman kepada Tuhan menjadi orang yang menafikan Tuhan?
"Bagiku agama yang aku yakini adalah sumber utama kesehatan otak, jiwa dan batinku.
Agama bukan racun. Justru agama yang benar adalah penawar segala racun yang mengotori otak dan jiwa manusia. Kita cukupkan sampai di sini dulu Yelena. Biarlah sejarah yang menilai pendapat siapa yang benar di antara kita." Jawab Ayyas sebelum keduanya berpisah di dalam stasiun Smolenskaya. Ayyas menuju MGU, sementara Yelena menuju Lyublino.

***


Ayyas mengira ia akan lebih dulu sampai di ruang Profesor Tomskii daripada Anastasia Palazzo. Ternyata perkiraannya salah. Ketika ia sampai di depan pintu ruangan itu, pintu itu telah
terbuka sedikit, lampunya menyala benderang, seorang perempuan berwajah segar telah ada di
sana, duduk di sofa sambil membaca sebuah buku tebal. Perempuan itu adalah Doktor Anastasia Palazzo.
Ayyas berdiri di depan pintu dan menyapa pelan dengan dada sedikit bergetar, "Dabroye Utra, (Selamat pagi) Doktor!"
"Hei, Dabroye Utra. Kau sudah datang Ayyas." Jawab Anastasia Palazzo sambil meletakkan buku tebal yang dibacanya ke atas meja. Anastasia Palazzo tersenyum ramah pada Ayyas. "Kau
datang setengah jam dari janji kita. Kau kelihatan bersemangat." Lanjut Anastasia.
"Ya, tidak mau terlambat. Ternyata masih lebih lambat dari Doktor." Sahut Ayyas sambil melepas palto dan sepatunya yang agak basah. Ia lalu memakai sandal ruangan yang tersedia di
dekat pintu.
"Kau tidak lebih lambat dari saya, hanya mungkin saya lebih cepat darimu. Saya selalu ingin lebih dulu dari orang lain. Jadi, apa langsung saja kita mulai?"
"Saya ikut Doktor."
"Baik. Silakan duduk. Saya ingin menjelaskan beberapa hal penting kepadamu." Kata Anastasia.
Ayyas melangkah masuk dan hendak duduk.
"Maaf bisa ditutup pintunya." Pinta Anastasia. Meskipun Ayyas merasa lebih nyaman kalau pintu itu terbuka, tapi kedua kakinya tetap menggerakkannya untuk melangkah menutup pintu.
Inilah hal yang ia cemaskan. Berdua dengan perempuan yang tidak halal baginya dalam satu ruangan tertutup. Ia bukan malaikat, ia pemuda biasa yang bisa terpikat pada lawan jenis, apalagi
yang secerdas, secantik dan sesegar Anastasia Palazzo. Kata-kata Profesor Tomskii kembali terngiang dalam telinganya, "Kau pasti senang dibimbing asistenku. Dia bisa diandalkan dan
yang penting dia masih muda dan cantik. Kau suka wanita cantik?"
Kata-kata Profesor Tomskii itu justru menambah ujian bagi keteguhan dirinya memegang iman dan ajaran agama yang diyakininya.
"Jadi kau akan menulis tesis tentang sejarah modern. Kau mau menulis tesis tentang Sejarah Islam di Rusia atau dulunya Uni Soviet, focus pada Kehidupan Umat Islam Rusia di Masa
Pemerintahan Stalin. Benar?" Tanya Anastasia Palazzo setelah Ayyas duduk.
"Be benar, Doktor." Jawab Ayyas dengan suara agak tergagap dan bergetar. Parfum Doktor
Anastasia yang tercium olehnya lah yang sesungguhnya membuat detak jantungnya tidak beraturan. Ia berusaha menenangkan pikiran dan jiwanya dengan istighfar dalam hati.
"Kau agak gugup ya?" tanya Doktor Anastasia Palazzo melihat tingkah Ayyas.
"Ya. Sedikit." Jujur Ayyas.
"Kenapa?"
"Entahlah."
"Kau ingin spesialis di kajian Sejarah Islam Modern atau kajian Sejarah Rusia Modern?"
"Sejarah Islam Modern terlalu luas, Rusia Modern juga luas. Saya ingin yang lebih spesifik, yaitu kajian Sejarah Islam Modern di Rusia Modern."
"Bagus. Berarti kau paham benar tentang pentingnya fokus. Saya ingin sedikit bertanya kepadamu, sebelumnya maaf kalau terkesan menguji?"
"Diuji pun tidak masalah, sebagai pembimbing yang dipercaya Profesor Tomskii Anda boleh
menguji saya."

"Kau kelihatannya begitu bersemangat mempelajari sejarah. Sebenarnya manfaat apa yang kau dapatkan dari sejarah?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar