Jumat, 28 Maret 2014

Ketika Cinta Harus Bersabar (Part 1)

Karya : NURLAILA ZAHRA


Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah? atau mungkin seorang alim yang menjelma seperti Malaikat? Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok ‘malaikat’ itu masih melekat dalam benakku.
Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit. Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali. Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak nama-nama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam menulis. Dua novelku sudah
beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya. Mau bilang apa lagi? toh kalau mama sudah beralasan, ”Dinda, nanti kalau sampai penyakit mama kumat di jalan, bagaimana?”. Hfh…tak tega rasanya
kalau sampai penyakit asma mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan seorang menantu.
”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”
Hfh…aku hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya sebuah pengharapan seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah. Menikah. Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera mempunyai pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya…minimal seseorang yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya. Tapi kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi? Aku hanya berharap seorang yang soleh yang bersedia menjadi suamiku.

* * *

Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu rumah untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa kami akan datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya. Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.
Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami ketika ia lihat wajah
kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu. Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat aku tersadar dari lamunanku.
”Ini pasti Dinda ya?” Tanya Bu Rahayu.
”I..iya bu..” Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku kembali tersenyum padanya.
”Sudah besar ya? Berapa usia kamu sekarang?” Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat aku ragu-ragu untuk menjawabnya.
”Ehm... 27 tahun bu” Sahutku tanpa semangat yang membara.
Entah mengapa setiap kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
”Tahu darimana Lis kalau aku sakit?” Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
”Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?” Mama balik bertanya.
”Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku” Jawab Bu Rahayu dengan mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya. Diapun mulai bercerita.
”Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk dijadikan istri oleh anakku....”
”Oh iya, mana anakmu itu? Kok tidak kelihatan? Siapa namanya?” Cerocos Mama memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
”Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?”
”Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!” Kata Mama seraya menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
”Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda” Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita Bu Rahayu.
”Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang cocok dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh dengan usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku saat ini” Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
”Sekarang dia kemana bu?” Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku menanyakan hal itu? Aku sendiri tidak tahu alasannya.
”Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik.
“Perginya sih dari tadi, mungkin sebentar lagi juga pulang” Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula. Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang
baru bagiku.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama, dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan pintu itu terbuka dan... Subhanallah!
Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya. Aku tersadar tatkala dia mengucapkan
salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya juga padaku.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya lembut sambil menunduk.
”Wa..wa’alaikummussalam” Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.
Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya. Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan mereka dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
”Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu”.
Apa mungkin bisa ya? Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya dirumah aku sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah, apakah sosok ”malaikat” itu yang menjadi harapan Mama? Oh....Rabbi, selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

* * *

Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok ”malaikat” itu. Dan aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan yang sangat aku kenal, Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi. Fauzi itu sosok seorang ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya. Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
‘Wa’alaikumussalam. Wr. Wb Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu? Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan, lebih baik kamu hubungi saja murabbinya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku mengenalnya. Bagaimana? Afwan ya.’
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta. Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan
diterima. Dari Fauzi. Kubuka. Isinya :
Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak? Syukran.’
Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama, alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan permintaan Fauzi. Setelah aku
megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y? Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.

* * *

Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
”Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi menyukainya. Begitu juga
sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja, sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin”
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya. Hah... jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari
bertengkar, ternyata dikemudian hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
”Wah... wah!! Mau kemana sih kamu Din? Pagi-pagi begini sudah rapi sekali? Ada acara apa?” Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
”Tuh, lihat saja Ma!” Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama mengambil undangan itu dan membacanya.
”Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah” Ucap Mama mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
”Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din? Yang pernah konsultasi sama kamu masalah lamaran....siapa itu?”
”Fauzi Ma!” Sahutku.
”Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini? Katanya nggak suka, kok jadi nikah?” Tanya Mama penasaran.
”Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?” Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tiba-tiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
”Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini”
”Keluarganya Bu Rahayu?” Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
”Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?”
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta keluaganya? Aku mencoba bertanya pada Mama.
”Untuk apa mereka kemari Ma?”
”Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau kami bicarakan” Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku. Membicarakan apa?
”Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?”
Tanyaku makin penasaran.
”Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin” Jawab Mama tenang, tapi tidak bagiku.
Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan ”anaknya yang kemarin”.
”Nanti jangan pulang malam-malam ya? Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya” Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan Mama. Dia ikut? Sosok ”malaikat” itu nanti malam akan datang? Oh Rabbi, kenapa aku ini? Kenapa aku jadi gelisah seperti ini?
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.

* * *

Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu halaqah ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan dan akhwat yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini ada temu penulis novel best seller ”Ayat Ayat Cinta”, Habiburrahman El Shirazy, jadi pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang Abik secara langsung.
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis ”Ayat Ayat Cinta”. Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku dalam menulis novel.
Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan hidup Nabi Muhammad
saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur’aniyah di daerah Poltangan, Jakarta Selatan.
Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis ”Ayat Ayat Cinta” digelar, aku melihat sosok ”malaikat” yang pernah kulihat dirumah Bu Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah mengajaknya berbicara.
Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. ’Aidh bin Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf belum beranjak dari
tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya. Dia tidak tahu kalau aku ada
dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia berbicara dengan temannya.
”Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi? Ente nanti nyesel lho!” Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
”Bener akhi, ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah teman mereka” Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
”Ente jadi ikut sama orang tua ente? Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar undangan?” Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya. Undangan?!
”Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang tua” Sahut Yusuf.
”Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya terima deh nasib dijo...”
”Sstt!!” Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
”Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi” Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanyatanya. Ada masalah apa sebenarnya dengan Yusuf? Apa yang diminta orang tuanya padanya?
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya. Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
”Ya Ma?” Sapaku langsung pada Mama.
”Din, kamu dimana sekarang? Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu akan segera datang” Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
”Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu Rahayu juga akan telat datangnya” Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja masih ada di Senayan.
”Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah” Ucap Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku pikirkan. Apa kira-kira yang
diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf?

Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama menyuruhku ini dan itu.
Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang menurutku aneh.
”Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!” Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
”Untuk apa sih Ma? Ini kan hanya acara silaturahim saja kan? Nggak usahlah pakai baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja” Tolakku tanpa mau mengindahkan permintaan Mama. Ku perhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai keacara walimahan.
”Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak. Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?” Pinta Mama sekali lagi.
Aku hanya Bisa termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang sebenarnya diinginkan Mama dariku? Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu. Ku turuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran, apa mereka sudah shalat Maghrib? Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan minum dibelakang. Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf. Ya, dia datang malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil namaku.
”Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!” Teriak Mama.
”Iya sebentar Ma!” Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua tanganku pada suaminya dan.... Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
”Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah” Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan itu membuat sebuah tanda Tanya besar dihatiku. Cocok?!
”Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya” Sahutku sambil meminta diri.
Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku melangkah ke ruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu Rahayu dan suaminya.
Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki jiwaku.
Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata. Ku suguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya. Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari
ruang tengah. Sambil memainkan sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
”Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?”
”Ya ya, betul betul” Sahut Papa.
”Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini” Lanjut Pak Sardi.
”Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?”
”Prang!!” Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku mendengar jawaban Papa.
”Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah awal untuk kebaikan kita
bersama”
”Amin!” Jawab semuanya serentak. Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu? Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu denganku? Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku mau menerimanya.
Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf? Aku kan belum begitu mengenalnya. Ah! Setelah menikah nanti, kami
akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memanggil namaku.
”Dinda! Kesini sebentar Nak!”
Aduh! Bagaimana ini? Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
”Iya Ma, sebentar” Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku menunduk. Ku beranikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
”Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?” Tanya Mama sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
”Lalu bagaimana dengan kamunya? Menerima tidak?” Tanya Mama yang sebenarnya ingin langsung kujawab
”Mau.. mau!!” Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu aku bersuara.
”Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku miliki, maka dengan menyebut nama Allah....” Kutarik nafasku perlahan.
”Aku menerimanya” Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf. Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya? Dia hanya menunduk. Sesekali bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya, senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku. Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa, Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku sangat bahagia malam ini.
* * *

Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007. Akad dan walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah ditentukan. Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu buah Al-Qur’an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al-Ikhlas. Persiapan ini memang terkesan terburu-buru, namun mau diapakan lagi, toh yang meminta semua ini adalah keluarga Yusuf.
Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang. Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku mulai berpikir yang macam-macam. Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
”Apa ini Ma?” Tanyaku heran.
”Surat dari calon suamimu” Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku tertawa sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh Mama.
”Makasih ya Ma? Akhirnya aku menemukan jodohku” Ucapku sedikit serak.
”Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia” Sahut Mama sambil membelai kepalaku yang masih tertutup jilbab.
Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari Yusuf di atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku harus mencuci dulu semua piringpiring kotor didapur.
Setelah selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini seperti harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan kata-kata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf bersikap seperti itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya. Lebih tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku. Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap muka dengannya, hatiku ini memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya. Kubuka perlahan surat itu. Isinya,

Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Kepada yang terhormat
Dinda Altharina Puteri
Di tempat
Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau bisa merasakan apa
yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan, melainkan orang tuaku.
Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita. Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Aku juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan banyak orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku yang sudah sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk rumah sakit karena aku menolak permintaannya.
Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua kita masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi untuk hal ini.
Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang Islam sia-sia saja karena akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada ’nama’ lain yang mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus ’nama’ itu dan berusaha menggantinya dengan ’namamu’.
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini, maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku pada dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata. Aku akan berusaha
mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku.
Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku.
Afwan
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Dari Seorang Pengecut
Yusuf Abdul Fattah

Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata sudah tak dapat lagi ku bendung. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku temukan selama hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan perasaanku yang sejak awal sudah dipenuhi rasa cinta padanya.
Sekarang aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku lebih mengerti apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan ’nama’ lain yang dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat yang tadi disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi merasa cemburu padamu? Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat Yusuf jatuh hati padamu?
Aku merasakan air mata kembali menetes membasahi kedua pipiku. Sebuah berita menggembirakan yang baru saja aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja berubah bagai
kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur berkeping-keping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi, tolonglah hambaMu ini.
Aku bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan hatiku yang tadi hancur berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah cukup malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri dan melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Mataku memerah tapi kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini.
Malam ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar Yusuf dapat menemukan arti dari sebuah makna cinta sejati.

* * *

Hari ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya. Seusai shalat subuh, tilawah qur’an beberapa halaman, dan wirid ma’tsurat aku langsung bergegas mandi dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa pukul sepuluh nanti. Seusai membereskan rumah, aku
langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja bersama Mama dan Papa.
Di tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba Papa menegurku.
”Din, kamu kenapa? Sepertinya lesu sekali pagi ini?”
Tanya Papa mengejutkanku dari lamunan. Kupandangi wajah Papa dengan tatapan hampa.
”Iya nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam saja. Seharusnya kamu senang dong, kan semalam baru dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya” Imbuh Mama melanjutkan.
Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat menghancurkan hatiku. Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu putih kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.
”Din! Ada apa sih kamu?” Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
”Ehm....Pa, Ma, ada yang mau aku bicarakan” Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku semakin galau.
”Mau membicarakan apa?” Tanya Papa.
Kutarik nafasku dalam-dalam.
”Setelah semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak lamaran Yusuf”
”Apa?!” Teriak Papa dan Mama berbarengan.
”Iya Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf” Kataku lagi mempertegas perkataanku sebelumnya.
”Kamu sudah ngaco apa? Hari pernikahan dan segala persiapannya itu sudah ditentukan, Dinda. Lagi pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya? Bukankah semalam kamu kelihatan bergembira sekali menerima lamaran Yusuf? Bahkan Yusuf sampai menuliskan surat cinta untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah pikiran?” Tanya Mama dengan penuh ketegasan.
Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan aku pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan semua ini pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
”Dinda?” Tegur Mama.
”Ya Ma? Ehm....”
Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah, jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa?
”Ehm...A, aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa, lebih baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku” Jawabku sekenanya.
”Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi untuk apa lagi kau menolaknya?” Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa. Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.
”Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya yang menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf”
Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidakberdayaanku. Sejurus do’a kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali bersuara.
”Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang seperti Yusuf saja kamu tolak?” Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan Mama tak perlu kujawab.
Aku hanya menjawabnya dalam hati.
”Aku hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma” Ucapku dalam hati. Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa memandangiku berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua kegundahanku dalam buku itu dengan air mata berlinang.
Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi tulisanku. Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu
ayat itu yang terdapat di Surat Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin Allah salah? Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu. Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing.
Dan yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu mengetahui kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan cobaan ini? Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan? Dan tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku? Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin, akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini. Ya, saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya, akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya.
Dan janji Allah itu pasti, Innallaha Ma ’ashshobirin. Allah itu selalu bersama orang-orang yang sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi
kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar, dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar, menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu uluran tangan untuk aku
selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar, kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena laki-laki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku.
Tapi kabar menyedihkan itu tak akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu. Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......

* * *

Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala pengantin Jawa karena keluargaku dan keluarganya berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur dan Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap terbalut oleh jilbab syar’i. Para undangan
banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku.
Diantara para undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku. Aku tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat senang karena mereka sangat peduli padaku. Aku hanya bisa mendo’akan mereka supaya mereka
bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
Aku duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang sudah menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku pastinya. Sesekali dia melebarkan senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya.
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan memelukku dengan erat seraya berkata,
”Barakallah ya? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah” Ucapnya pelan.
Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu siapa mereka. Tiba-tiba Yusuf bersuara,
”Syukran ya Alifa sudah mau datang” Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi yang kuketahui bernama Alifa.
Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di book fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya Yusuf itu untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa ’nama lain’ yang ada di hatinya Yusuf, yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah Alifa. Bukan diriku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali. Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.

* * *

Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak di kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar, Mama, Papa, dan orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup, merekapun pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat. Diapun menuruti.
Tak lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang.
Segera saja Yusuf berpamitan padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do’a yang pernah Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do’a
yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah keluar dan hilang dari pandanganku.
Aku langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu Yusuf pulang dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.

* * *

Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih mengenakan jilbabku. Aku masih belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba Yusuf bersuara dan memulai
pembicaraan.
”Maafkan aku ya Din?” Ucapnya pelan.
Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
”Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku, membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus menyakiti Allah karena telah
melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna. Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut”
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
”Maaf, jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh sikapku ini. Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu” Ucap Yusuf lagi pelan.
”Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia” Ucapku menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
”Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan siapa-siapa dihatimu, tapi aku berharap.... kau tidak lagi memikirkan Alifa” Sambungku sekenanya.
”Alifa?!” Tanya Yusuf kaget.
”Dari mana kau tahu tentang Alifa?”
Aku bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh kecemburuan pada seorang wanita yang bernama Alifa.
”Kau tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya minta satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan hal ini” Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik selimut untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil disamping tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Yusuf mau
menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang istri.

Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan kerelaan hati dan jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan generasi pilihan yang dapat menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar