Minggu, 30 Maret 2014

Setelah Kau Menikahiku (Part 3)

"Maaf, Pit," bisiknya.
"Aku tidak bisa menangis di depan kakak-kakakku. Mereka...."
"Aku tahu. Tidak apa-apa," tanganku masih gemetar saat aku mengelus rambutnya.
"Aku buatkan teh panas, nanti kau minum, ya."
Ia mengangguk dan aku beranjak meninggalkannya. Ketika aku kembali, ia kelihatan agak lebih baik.
Dihirupnya sedikit teh yang kubawa. Wajahnya tidak lagi pucat setelah itu. Ketika aku merapikan kembali selimutnya, ia memegang tanganku.
"Terima kasih."
"Kau pernah melakukan lebih dari ini untukku."
"Bukan untuk tehnya. Untuk tidak memberiku pernapasan buatan," ia tersenyum nakal.
"Oh, kau!" aku ikut tersenyum, lega.
"Dan untuk menikah denganku," lanjut Idan kemudian, ekspresinya begitu serius.
"Setidak-tidaknya sebelum meninggal, Mama bisa tenang karena mengira aku sudah beristri. "
Aku tertegun sesaat. Suaraku goyah dan terbata saat aku bicara, "Aku yang mesti berterima kasih kepadamu."
"Untuk apa?"
"Untuk setahun yang kau lewati denganku. Untuk kesabaranmu. Pengorbananmu."
Idan tersenyum kecil.
"Aku tidak melakukan apapun yang tidak kusukai. Ini setahun yang sangat menyenangkan untukku. Seharusnya aku yang berterima kasih."
"Jangan memaksa," aku mencoba bercanda. "Aku yang harus berterima kasih. Mengalahlah sedikit."
Idan tersenyum dan mencubit hidungku. Tangannya tidak sedingin tadi dan itu melenyapkan sisa-sisa kekhawatiranku.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau akhirnya mau terlibat dengan ide gilaku ini," katanya.
"Entahlah, Dan," aku tertawa kecil.
"Mungkin aku sudah sangat capai berkilah tiap kali ibuku merongrong soal perkawinan. Dan aku melihat usulmu itu sebagai jawaban yang paling jitu untuk menyelesaikan dua masalah sekaligus, keenggananku untuk menikah, karena tidak ada calon yang pas; dan keinginan ibuku yang menggebu-gebu untuk segera melihatku menikah."
"Apa yang kau dapat setelah setahun kita menikah?" tanyanya dengan mimik lebih serius.
Aku terdiam sejenak.
"Banyak," jawabku akhir nya. "Aku belajar bahwa aku tidak menikah dengan malaikat atau monster, tapi dengan manusia, yang punya kekurangan yang harus kumaafkan dan keistimewaan yang tidak bisa kuabaikan. Aku belajar bahwa dalam pernikahan, bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan tidak selalu berarti kekalahan, tapi boleh jadi suatu kemenangan bersama."
Aku ingin menambahkan bahwa pernikahan membutuhkan cinta dan kesetiaan seperti gurun memerlukan air, tapi aku tidak punya nyali untuk menyatakan semua itu.
"Kau memang selalu pintar bicara," Idan tersenyum.
"Kau sendiri? Apa yang kau pelajari selama ini?"
"Hanya satu. Hidupku mungkin tidak akan pernah sebahagia ini lagi setelah kau pergi."
Aku tertegun. "Apa maksudmu?"
Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku.
"Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat."
Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.
"Aku masih belum mengerti," bisikku.
"Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku."
"Apa maksudmu kau mencintaiku?" suaraku tercekik.
"Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu" kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas.
"Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini."
"Kau... kau tidak pernah...."
"Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu."
"Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan," ujarku lirih. "Kau istimewa dengan caramu sendiri."
Ia mengangkat bahu.
"Tidak cukup untuk kau cintai."
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.
"Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?" tanyaku datar.
Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya.
"Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun."
Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku.
"Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau disini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan."
Ia menghela napas berat.
"Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga."
Lama kami berdua saling berpandangan.
"Terima kasih, Dan," desahku akhirnya.
Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.


***


"Aku sudah bicara dengan Idan, Pram. Tapi aku terpaksa menunda proses perceraian itu. Idan baru saja kehilangan ibunya. Rasanya tidak pantas bicara soal perceraian saat ini."
"Berapa lama?"
"Entahlah. Sebulan dua bulan mungkin."
"Kau tahu waktu kita sangat terbatas, Ta. Aku tidak bisa menunda kepulanganku ke Jerman. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa kembali ke sini lagi. Mungkin tidak dalam setahun atau dua tahun ke depan. Dan kita akan kehilangan waktu yang mestinya bisa kita lewati berdua."
"Aku tahu, Pram. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Idan sekarang. Dia membutuhkan aku."
"Aku lebih membutuhkanmu dari dia, Ta. Dan pikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak ingin kita bisa seterusnya bersama?"
Aku menghela napas panjang.
"Entahlah, Pram, " bisikku.
"Apa maksudmu?" suara Pram terdengar kaget.
"Aku.... Aku tidak akan bahagia kalau Idan menderita."
"Ita! Kau tidak.... Dengar, pikir baik-baik. Menurutmu, kalau kau tersiksa hidup dengannya, ia akan bahagia?"
"Aku tidak merasa menderita menjadi istrinya."
"Tapi kau tidak bahagia!"
"Aku bahagia, Pram. Mungkin tidak seperti saat aku bersamamu. Tapi Idan membuatku bahagia."
"Kau tidak bisa melakukan ini, Ta. Kau hanya kasihan kepadanya. Sebentar lagi kau akan berubah pikiran dan saat itu kau akan menyesal karena membuang kesempatan ini."
"Aku bisa belajar memaafkan diriku sendiri."
"Ita, kau tidak mencintainya!"
"Ia mencintaiku. Itu lebih dari cukup."
"Kau hanya bingung, Ta. Aku mengerti. Tapi apa kau lupa kalau aku sangat mencintaimu?"
"Aku tidak pernah akan lupa, Pram."
"Lantas apa yang membuatmu berubah pikiran secepat ini?"
"Idan mengajariku tentang cinta."
"Hanya karena itu?"
"Juga karena aku yakin, aku akan belajar mencintainya."
"Ita...."
"Selamat tinggal, Pram. Mudah-mudahan kau akan sebahagia aku nantinya, atau mungkin lebih bahagia lagi."
Telepon kututup sebelum air mataku luruh.

"Upit."
Aku tersentak dan berbalik seketika. Entah sudah berapa lama Idan berdiri di belakangku. Wajahnya penuh tanda tanya dan ia menggeleng perlahan sambil duduk di lantai di sisi kursiku.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku tak bisa menjawab. Air mataku menetes satu-satu dan dengan lembut ia menyeka pipiku dengan jarinya.
"Aku tak bisa melihatmu begini," lanjutnya pelan.
"Ini keputusan yang sangat konyol, Pit. Kau benar-benar akan membiarkan kesempatanmu berlalu sekali lagi?"
Aku mengangguk.
"Dia akan membuatmu sangat bahagia, Pit."
Aku mengangguk.
"Kau akan menyesal."
Aku mengangguk.
"Kau akan sedih, kecewa...."
Aku mengangguk.
"Kau tidak mencintaiku."
Aku menggeleng.
Idan terbelalak. "Upit!" pekiknya tertahan.
"Idan!"


***

Ya. Begitulah pada akhirnya status “simulasi” dalam pernikahan kami berakhir. Waktunya menghadapi keseriusan bahwa aku sekarang sudah benar-benar menjadi istri Idan yang sah meskipun sebenarnya dari awal pernikahan kami, akad itu sudah sah menurut agama karena ternyata Idan mengucapkan ijab qobulnya dengan sungguh-sungguh.
Hanya aku saja yang waktu itu menganggap bahwa pernikahan kami semata-mata hanyalah simulasi belaka. Namun nyatanya? Idan serius mencintaiku yang malangnya aku tak pernah menyadarinya sebelumnya.
Dan berakhir pula hubunganku dengan Pram yang semula aku harapkan akan jadi masa depan impianku. Namun, bukankah di dunia ini apapun bisa terjadi? Segalanya bisa berubah dengan sangat cepat semudah membalikkan telapak tangan kita.
Perceraian yang kami rencanakan sebelumnya pun batal. Dan kami hanya ingin kami sajalah yang mengetahui perihal itu… Oh tidak hanya kami, tapi juga Pram yang juga mengetahuinya. Biarlah keluarga, kerabat dan teman-teman tetap menganggap tidak terjadi apa-apa yang serius di antara kami dan biarlah mereka tetap dengan anggapan bahwa kami hidup bahagia selayaknya suami istri pada umumnya.
Masih terngiang betapa terpananya Idan ketika aku bilang aku juga mencintainya. Ada gurat kebahagiaan tiada tara di wajahnya, pendar takjub di matanya dan seulas senyum di bibirnya yang entah aku masih sulit mengartikan senyum itu. Ia memelukku erat-erat seolah tidak mau lagi kehilangan diriku lagi. Dan akupun memeluknya dengan haru di wajahku yang entah kurasa cukup untuk mengatakan “Maafkan segala ketololan dan kebutaanku selama ini” karena saat itu aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku begitu tercekat menahan tangisku. Tangis penyesalan atas segala kesalahan dan tangis keharuan atas keputusan besar yang baru saja aku ambil.
Aku tidak tahu seberapa besar aku mencintainya setelah semua yang telah terjadi namun hal itu sudah membuat Idan begitu bahagia. Yang jelas, sekarang aku benar-benar sedang belajar mencintainya, memulai kembali aktivitas kami seperti hari-hari awal pernikahan “simulasi” kami, dan merenda jalinan cinta sesungguhnya yang tidak pernah ada di awal pernikahan kami yang aku anggab hanya simulasi.
Aku mulai mengagumi segala kelebihan Idan dan aku mulai lagi belajar menerima kekurangannya, kebiasaan-kebiasaan buruknya dan segala kekonyolannya. Bahkan aku mulai sering menemaninya menonton film-film action kesukaannya, menemaninya bermain bola pada akhir pekan namun dengan konsekuensi, dia juga harus menemani aku jalan-jalan dan jadwalnya bergiliran. Dia juga tidak boleh protes jika aku sedang menikmati music-musik orchestra kesayanganku. Impas lah istilahnya.
Awalnya memang sangat sulit dan menyiksa diri namun ketika bad mood itu datang, kupandangi wajah Idan yang begitu bahagia saat kutemani, keantusiasannya bercerita ini-itu untuk menghiburku, ku ingat bahwa dia tidak pernah mengeluh saat aku memintanya menemani aku jalan-jalan yang mungkin sebenarya sangat membosankan baginya. Pengorbanan.
Ya, mungkin memang perlu pengorbanan dari masing-masing dalam menjaga keharmonisan hubungan dalam rumah tangga. Setidaknya, itulah salah satu hal yang kucatat ketika kami menjalani pernikahan simulasi sebelumnya.
Idan pun makin lama kurasakan makin memanjakanku. Banyak hal yang harusnya kulakukan sebagai seorang istri, malah Idan yang melakukannya. Sebelum berangkat kerja dia masih sempat menyiapkan sarapan untukku. Bahkan jika aku sedang kecapekan dan tak sempat mencuci bajuku sendiri, dia pula yang mencucikan dan menyetrikanya.
Dan herannya aku tak bisa menolaknya. Justru aku menikmatinya karena dia selalu melakukan hal-hal itu dengan senyum terkembang yang sulit kuartikan. Hmm paradox sekali dengan diriku beberapa tahun lalu saat masih lajang, sebagai wanita karir yang terbiasa mandiri dan tak pernah mau membebani orang lain.
Ada apa denganku? Tapi sebisa mungkin aku mengimbanginya dengan berusaha membantu pekerjaaanya dan menemaninya melakukan aktivitas rutin jika diperlukan. Aku usahakan membuat kesan bahwa segala hal bisa kami lakukan bersama. Berdua.
Namun ada kalanya kami sibuk dengan keasyikan masing-masing. Tentu setiap orang kadang butuh sendiri. Ya seperti sekarang ini, ketika aku sibuk menimang-nimang dan menata baju-baju baru kesayanganku, Idan juga sibuk sendiri di depan computer canggih kesayangannya.
Dengan sedikit mengendap-endap kuintip ia di ruang kerjanya. Dia sedang asyik membuka-buka program yang entah aku tak tahu apa fungsinya. Serius banget. Hmm mungkin perlu sedikit dikagetkan. Pelan-pelan kubuka pintunya dan diam-diam aku berjalan di belakangnya dengan niatan menggelitikinya. Aku tahu banget kalau Idan sangat sensitif jika digelitiki dan dia bisa sampai tertawa terbahak-bahak sambil minta ampun.
Sedikit lagi sampai. Tapi sebelum aku sempat menyentuhnya, dengan cepat Idan lebih dulu menarik tanganku sehingga aku jatuh ke pangkuannya dan justru dia yang lebih dulu menggelitikiku.
“Aaaaaa hentikan!” pintaku karena akupun tak tahan digelitikin.
Idan terbahak.
“Rasakan nona manis. Ini akibatnya jika berusaha menjahili orang.”
“Kok bisa tahu sih?” tanyaku heran.
Dengan masih belum berhenti menggelitikiku, mata idan melirik nakal ke kaca kecil yang terpasang di samping monitornya. Oooh ternyata cerdik juga orang ini. Dia baru berhenti menggelitikiku saat aku berontak dan balas menggelitikinya. Dia menjerit-jerit minta ampun dan melepaskanku. Aku bergegas keluar ruangan dan sebelum aku menutup pintu idan masih sempat nyeletuk.
“Jangan kira kalau pangeran tampan ini gak tahu jika sang putri suka diam-diam mengintipnya hahaha”
Huuuh. Kututup pintu ruang kerjanya dengan sebel. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri kenapa sih akhir-akhir ini aku suka melakukan hal-hal yang aneh seperti barusan. Bikin tengsin saja. Maluuuu…!!!


***


Pagi ini aku berusaha bangun lebih pagi dari biasanya mengalahkan keinginanku untuk tidur lagi setelah subuh. Kulirik sesosok lelaki disampingku, tak seperti biasanya Idan tidur lagi. Mungkin ia sangat kecapekan setelah semalaman lembur mengerjakan proyek terbarunya. Hmm di sampingku?
Iya Idan tidur di sampingku. Perlu diingat bahwa kami sekarang sudah menjadi suami-istri yang sesungguhnya. Bukan lagi “simulasi”.
Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur kami. Aku keluar dan kututup pintu pelan-pelan agar Idan tidak terbangun. Tiba-tiba kubuka kembali pintu itu. Ingin sekali memandangi Idan yang tertidur pulas dengan wajah yang sama sekali berbeda dari saat dia sadar dan penuh dengan kekonyolan. Manis juga.
Aku sengaja bangun lebih pagi karena aku ingin mempraktekkan resep yang diam-diam telah kupelajari selama beberpa hari ini. Aku ingin menyiapkannya untuk sarapan Idan. Sarapan yang belum pernah kusiapkan sekalipun untuknya selama kami menjadi suami-istri. Biasanya selalu Idan yang menyiapkan sarapan kami. Maklum aku kan tadinya suka bangun telat. Dan hebatnya lagi hal itu tidak pernah diprotes oleh Idan.
Meskipun yakin aku telah hafal dan paham dengn resep masakan kemarin, tapi aku masih ragu. Kubaca-baca kembali buku resepnya. Nah, sekarang aku sudah yakin dan segera kusiapkan alat-alat dan bahannya. Duuuh Idan jangan bangun dulu ya sebelum semuanya selesai? Ini pasti akan berantakan sekali..

***
Air di panci masakanku sudah terdengar mendidih. Tandanya masakanku sudah matang. Sup santan jagung asparagus, resep yang kudapatkan dari sebuah majalah wanita langganan ibuku. Kuangkat dan kutuang ke mangkok besar pemberian Ibuku. Dari aromanya sih tercium menggiurkan. Rasanya? Perlu kucoba dulu. Kuambil sendok makan dan kurasakan sedikit. Hmm sedap juga.
Baru kali ini aku berhasil masak dengan resep yang agak rumit. Sekali lagi kucoba menyeruput satu sendok. Sedap. Tapi kenapa tiba-tiba perutku jadi agak mual? Ah paling gara-gara masih pagi dan belum makan apa-apa.
Aku angkat mangkok besar itu untuk kutaruh di meja makan. Tiba-tiba mual-mual di perut tadi kembali menyerang dengan sangat hebat dan kepalaku tiba-tiba pusing. Sekonyong-konyong tubuhku pun oleng dan tanpa sengaja mangkok besar sup panas tadi jatuh, pecah dan tumpah kemana-mana. Aku pun hampir ambruk sebelum akhirnya Idan lebih siap menyanggaku dari belakang. Ternyata dia lebih sigap demi mendengar suara pecahan mangkok porcelain yang sangat nyaring bunyinya.
“Astaga kamu kenapa Pit? Kalau lagi sakit jangan maksain diri buat masak segala! Biasanya kan aku yang nyiapin sarapan buat kita? Sori tadi aku ketiduran jadi gak sempet membuat sarapan. Tapi kita kan bisa beli di luar aja? ” Idan berkata sambil memapahku menuju kamar.
“Aku gak sakit kok tadinya” Ujarku lemah.
Aku tidak bilang kalau aku hendak memberi kejutan buatnya. Malu kan jika mau memberi kejutan sekali saja langsung gagal.
Tiba-tiba mual tadi menyerang kembali. Kali ini sudah tidak bisa ditahan dan aku perlu ke kamar mandi. Aku langsung masuk kamar mandi dan kututup pintunya. Di dalam aku langsung muntah-muntah hebat. Rasanya seperti di pencet perutku. Dan setelah itu kepalaku langsung pusing-pusing.
Di luar Idan masih menungguiku di depan pintu.
“Kamu gak apa-apa kan Pit?” Tanyanya. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya.
Aku keluar dan segera dipapah ke tempat tidurku. Aku masih diam.
“Mending hari ini kamu tidak usah masuk kerja. Aku juga akan cuti sehari ini. Akan kuantar kamu ke dokter.”
“Tidak usah Dan. Aku gapapa. Mungkin cuma masuk angin sedikit. Kamu berangat kerja aja.”
Semula Idan tetap bersikukuh akan mengantarku ke dokter. Namun setelah kuyakinkan kalau aku benar-benar tidak apa-apa akhirnya dia nurut juga. Dia berangkat ke kantor dengan enggan. Tanpa kuantar sampai ke depan, tanpa kurapikan dasinya, tanpa kucium tangannya dan tentu tanpa kebiasaannya mengecup keningku sebelum pergi.
Sebelum pergi dia masih sempat menelepon ibuku untuk mengabarkan atau lebih tepatnya mengadukan kalau aku sakit hari ini.


***


Idan memberikan telponnya padaku. Katanya ibu ingin bicara.
Pelan-pelan kuucapkan salam. Setelah menjawab salamku ibu langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Kujawab seadanya sampai pada kesimpulan sepihak dari ibu.
“Jangan-jangan kamu hamil Pit!” dari seberang sana ibu begitu histeris.
“Masak sih?” tangapanku enteng.
Aku yakin ini hanya masuk angin biasa tapi kenapa ibu bisa menyimpulkan sampai sejauh itu?
“Udah pokoknya kamu periksa ke dokter sekarang biar kamu yakin. Minta Idan mengantarmu sekarang!”
“Tapi Idan sudah berangkat ke kantor.”
“Kamu minta temenmu atau siapa lah terserah buat ngantar kamu ke dokter. Ibu gak sabar ingin tahu”
Klik! Telpon ditutup. Aduh kesannya kok maksa sih? Tapi aku penasaran juga. Masak iya sih aku hamil? Apa tanda-tandanya Cuma seperti tadi?


Daripada penasaran aku pun berangkat ke dokter. Aku masih sempat telpon ke kantor tadi buat ijin tidak masuk kerja karena gak enak badan. Aku berangkat sendirian dengan taksi. Masih sedikit pusing tapi kalau Cuma jalan beberapa meter masih kuat lah.
Aku masih bertanya-tanya: apa benar aku hamil?
“Selamat, anda positif” Ujar dokter cantik itu sambil mengulurkan selembar kertas yang isinya tidak kumengerti.
“Maksudnya dok? Saya kena penyakit apa?”
“Anda tidak sakit, anda positif hamil sekarang” dokter itu tersenyum.
“Hamil?” tanyaku masih belum percaya.
“Iya dan selamat anda akan segera menjadi seorang ibu”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain senyum yang kupaksakan tersungging di depan dokter itu karena di benakku masih ada sisa-sisa keterkejutan yang teramat sangat. Entah bagaimana perasaanku sekarang aku masih belum paham. Namun ada kebahagiaan tersirat di dalamnya. Kebahagiaan macam apa ini? Apakah ini rasanya jika akan menjadi seorang ibu? Rasanya akan punya anak yang lahir dari rahim sendiri? Mungkin ini seperti yang dikatakan Idan jika punya anak sendiri pasti berbeda rasanya dengan jika hanya anak angkat.


Kutelpon ibu. Kukabarkan kebenaran tebakan ibu tadi. Dari seberang sana kudengar ibu histeris bahagia.
“Sudah kau beritahu Idan?”
“Belum” jawabku pendek.
“Segera beritahu dia! Dia pasti sangat senang!”
“Iya nanti lah. Udah dulu ini taksinya sudah datang. Assalamu’alaikum”
“Oh iya. Wa’alaikumusalam”
Kututup handphoneku dan segera menyetop taksi yang lewat.
Dalam perjalanan pulang aku masih bertanya-tanya entah apa yang akan kukatakan pada Idan nanti di rumah? Dan seperti apa nanti reaksinya?


***


Sampai rumah Idan belum pulang. Masih beberapa jam lagi dia biasanya baru pulang.
Rasanya sepi sekali sendirian begini. Padahal hari-hari sebelumnya biasa saja rasanya sendirian di rumah. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini? Aku jadi merindukan Idan. Aku ingin dia segera pulang sekarang.
Aku beranikan diri meneleponnya. Sesaat nada tunggu terdengar nyaring di telingaku sampai akhirnya suara orang yang kutunggu-tunggu itu terdengar.
“Halo Pit? Ada apa? Kamu udah baikan?”
“Kapan kamu pulang?” aku langsung pada pertanyaan intiku.
“Oh dua jam lagi aku pulang. Sabar ya? Kamu mau dibelikan lauk apa buat makan malam nanti? Mau gulai kepala kakap gak?”
“Terserah apa aja. Aku mau bilang sesuatu ke kamu” kataku. “Hati-hati di jalan nanti”
“O iya. Jaga diri baik-baik di rumah ya?”
Entah kenapa aku yang menginginkan Idan pulang cepat ternyata tidak punya cukup keberanian untuk memaksanya pulang sekarang. Aku tidak ingin lebih dulu merusak suasana karena aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padanya nanti.
Aku tidak tahu harus ngapain sekarang sambil nunggu Idan. Akhirnya aku duduk melamun di dekat jendela sambil menunggunya pulang.


Berbagai pikiran melintas di benakku sampai aku tersadarkan oleh suara klakson di depan rumah. Tandanya Idan sudah pulang. Kuintip dari jendela lantai dua. Kulihat dia tampak lelah sekali, keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk sambil menenteng bungkusan yang aku tahu itu pasti lauk yang ia janjikan tadi.
Aku langsung turun dan menyambutnya.
“Hai Pit. Kamu tampak udah baikan sekarang” sapanya.
“Aku kan sudah bilang aku tidak apa-apa.”
“Kita langsung makan malam yuuk. Ini aku sudah bawakan gulai kepala kakap yang aku janjikan tadi.”
“Sebaiknya kamu mandi dulu dan ganti pakaian. Bau sekali” saranku padanya. Entah kenapa aku merasa keringat Idan lebih bau hari ini.
Idan menurut dan langsung ke kamar buat menaruh tas kerja, mandi dan ganti pakaian. Aku menunggunya di meja makan sambil mengeluarkan nasi yang belum sempat dimakan tadi pagi dari ricecooker.
Idan datang ke ruang makan dengan wajah yang sudah lebih segar dari yang tadi. Entah karena dia kurang bersih membilas sabun mandinya tadi atau apa, aku merasa bau sabun mandi yang dikenakan Idan masih sangat menyengat.
Kami pun mulai makan. Idan membuka bungkusannya tadi dan menuangkannya di mangkok sedang sambil bertanya,
“katanya mau bicara sesuatu padaku?”
“Iya, tapi kamu makan dulu aja. Aku takut setelah kubilangin, kamu jadi gak doyan makan nanti”
“Masak? Jadi penasaran nih. Jangan bilang kamu mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita lagi seperti dahulu hehehe” canda Idan.
Aku melengos dan kutinju tangannya. Dia mengelak.
Sesaat kulihat gulai kepala kakap yang sepintas sangat menggiurkan. Namun saat kusendok sedikit ke piringku, tiba-tiba baunya jadi sangat menyengat dan mual-mual yang sempat menyerangku tadi pagi terasa kembali. Aku langsung lari ke kamar mandi diikuti Idan yang terkejut.
“Kamu gak apa-apa kan Pit? Kalau sakit ayo aku antarkan ke dokter.”
Di dalam kamar mandi aku masih diam karena masih menahan muntah. Barulah setelah muntahnya mereda aku keluar dan dengan dipapah Idan aku menuju kamar untuk sekedar berbaring sejenak. Saat sudah berbaring Idan menungguiku di samping tempat tidur.
“Kamu makan aja dulu. Aku lagi gak selera makan” perintahku padanya.
“Kamu masih sakit Pit. Ayo kuantar ke dokter!” Idan tidak memperdulikan perintahku tadi.
“Aku gapapa” desahku.
“Tapi jelas kamu seperti ini! Bagaimana kamu bisa bilang gapapa?”
“Aku beneran gapapa Dan. Tadi aku sudah ke dokter.”
“Kamu ke dokter? Diantar sama siapa?”
“Sendirian”
“Sendiri? Kenapa tidak minta aku buat mengantarkan tadi pagi? Kalau aku udah di kantor kenapa tidak minta ibu atau temenmu buat ngantarkan? Nanti kalau kamu pingsan di jalan gimana? Siapa yang ngejagain?” Idan mencercaku dengan banyak pertanyaan.
“Aku gak mau ngerepotin kamu dan ibu. Lagian aku gapapa kok. Buktinya aku gak pingsan di jalan, masih bisa pulang dan ketemu kamu?”
“Tapi Pit, aku kan suamimu? Aku jelas khawatir!” Idan tampak gemas.
“Aku tahu. Udahlah jangan diperdebatkan lagi. Aku sedang tidak punya tenaga untuk berdebat denganmu seperti biasanya. Aku cuma mau ngomong sesuatu ke kamu.”
Tatapan Idan pun melembut dan bertanya “Mau ngomong apa”
“Janji jangan kaget ya?” pintaku sambil mengulurkan jari kelingkingku sebagai tanda persetujuan janji.
Idan menyambutnya sambil berkata “Asalkan jangan bilang mau ngingetin berakhirnya kontrak pernikahan simulasi kita aja. Kalau yang itu mungkin aku akan kaget setengah mati, kena serangan jantung dan mati mendadak hehehe”
Kutinju lagi tangannya. Dia mengaduh kesakitan. Dasar Idan tak pernah berhenti mencandaiku.
“Aku hamil Dan” kataku pendek namun cukup untuk menghentikan tawa Idan seketika.
Aku menunggu reaksinya. Dia masih diam tak berkata- apa-apa sambil menatapku. Aku tak bisa membaca ada apa di balik tatapannya itu dan tiba-tiba dengan cepat Idan menarikku dan memelukku erat sambil berkata “ Aku belum pernah sebahagia ini Pit”
Aku pun turut larut dalam kebahagiaan itu. Kebahagiaan Idan. Kebahagiaan kami..


***


Aku menjalani masa-masa kehamilan selayaknya perempuan-perempuan hamil yang lainnya. Gak boleh begini, gak boleh begitu, gak bisa ini gak bisa itu, gak boleh makan ini gak boleh makan itu. Setiap hari selalu dicereweti Ibu yang tiap hari telpon buat memastikan kalau anak perempuanya ini bener-bener baik-baik saja. Menyebalkan tapi aku nikmati saja saat-saat seperti ini. Mungkin inilah asyiknya pernak-pernik jika menjadi calon ibu.
Idan juga makin memanjakanku. Tiap hari ia membelikanku berbagai macam hadiah kejutan. Katanya biar aku senang. Jika aku senang maka anak dalam kandunganku pun juga senang. Apapun yang kumau juga diusahakan oleh Idan untuk dipenuhi. Idan menuruti saja apa kata ibu yang bilang kalau orang hamil minta sesuatu tidak dituruti, maka anaknya nanti akan jadi ngileran. Ah tahayul menurutku. Emang ada penjelasan ilmiahnya?
Tapi ada untungnya bagiku karena aku jadi bisa minta apa aja ke Idan. Tapi aku juga masih perasaan karena aku juga tak mau membuat Idan makin kelimpungan di samping kesibukannya mencari nafkah yang sebenarnya aku sendiri juga mensuplai cukup banyak untuk kebutuhan rumah tangga kami.
Dalam masa kehamilan ini sebenarnya aku tidak terlalu rewel untuk masalah makanan dan susu nutrisi ibu hamil. Cuma mungkin jadi agak sensi ketika bertemu dengan makanan yang bersantan dan berbau menyengat karena bau yang dalam kondisi biasa akan tercium biasa saja, kali ini akan tercium berlipa-lipat lebih menyengat dan membuatku mual-mual.
Idan pun menyesuaikan diri dengan membuat makanan-makanan yang baunya tak terlalu menyengat, jika membuat sayur menghindari yang bersantan dan dia harus rela meninggalkan makanan kesukaannya: gulai yang paling tidak harus ia hindari sampai aku melahirkan nanti. Makan di luar? Tetap tidak bisa karena jika pulang nanti pasti aku masih bisa mencium baunya.
Setiap hari Idan sibuk membuat list apa saja yang harus dibeli untuk kebutuhan bayi kami nanti. Ia bahkan membeli banyak buku-buku tentang kehamilan dan persiapan melahirkan mulai dari tips dan trik sampai buku tentang nama-nama anak yang bagus. Aku bahkan belum sempat membaca buku-buku itu. Kulihat Idan juga jarang membacanya. Lalu untuk apa dibeli? Mungkin gejolak sesaat saja karena ia masih gugup mengetahui dirinya akan menjadi calon ayah buat anak pertama kami ini.
Aku masih bekerja meskipun mungkin agak berkurang intensitasnya. Idan sudah melarangku bekerja. Namun itu berarti aku harus meninggalkan pekerjaanku sekarang dan aku gak mau itu sampai terjadi. Aku pun bersikeras kalau aku gak ngapa-ngapain justru malah akan makin bosan, susah, capek pikiran dan malah jadi gak sehat. Idan pun mengijinkanku bekerja sampai masa-masa ketika aku perlu cuti nanti dengan catatan aku tidak boleh terlalu capek, stress dan harus banyak-banyak istirahat. Aku mengiyakan saja.
Yang jelas hari-hari kehamilanku tak kurang apapun, penuh kejutan dan kebahagiaan selama ini sampai suatu sore ketika Idan pulang cepat dan mengabariku kalau ia harus tugas keluar kota.
“Aku ada tugas keluar kota Pit. Jadi kamu akan sendirian di rumah untuk beberapa waktu. Besok pagi aku berangkat”
“Kenapa tiba-tiba sekali? Sampai berapa lama? Kok harus kamu sih? Apa gak bisa orang lain? Temen-temenmu? Nanti kalau aku butuh sesuatu ke siapa dong? Kok kamu tega sih ninggalin aku di saat-saat seperti ini?”

Aku menjejalinya dengan pertanyaan-pertanyaan kebingunganku. Sebenarnya bukan karena “jika aku butuh sesuatu minta ke siapa” karena aku juga bisa sendiri atau minta ke ibu. Yang aku butuhkan saat ini adalah Idan. Aku butuh bersama dia, aku butuh dia menemaniku di masa-masa labilku sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar