Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 10)

Kata Salma, menjadi perempuan Palestina hanya punya dua pilihan, tidak ada pilihan ketiga,
yaitu hidup mulia sebagai pejuang yang teguh berjuang di jalan Allah, atau mati mulia sebagai
syuhada yang dicintai oleh Allah.
Sejak kecil dan remaja, sang paman sudah menggemblengnya sebagai seorang pejuang. Salma sangat cerdas. Di sekolah ia sering loncat kelas. Dengan kerja kerasnya dan bantuan pamannya ia bisa menyelesaikan pendidikannya menjadi seorang dokter dari American University in Beirut pada usia belum genap dua puluh satu tahun. Setelah itu seorang dosennya merekomendasikan
namanya untuk mendapat beasiswa ke Glasgow. Ia mengambil spesialisasi bedah tulang. Dan Salma menyelesaikan studinya dengan gemilang.
Pulang dari Glasgow Salma langsung mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk rakyat Palestina. Ia terlibat di banyak organisasi kewanitaan yang memperjuangkan bangsa Palestina. Meskipun usianya sangat muda, tetapi ia sangat diperhitungkan. Ia disegani oleh kawan maupun lawan.
Ketika umurnya memasuki dua puluh empat tahun ia menikah dengan seorang pemuda berdarah Palestina-Libanon bernama Ezzuddin. Paman Salmalah yang mengenalkan dan menikahkan mereka berdua. Salma sangat hormat pada pamannya. Ezzuddin, seorang pemuda yang gagah, yang juga terlibat sebagai pejuang Palestina. Selain itu ia juga mengajar di sebuah sekolah menengah di Bour El Brajneh yang terletak di Beirut Selatan.
Satu tahun menikah ia dikaruniai seorang anak lelaki yang ia beri nama Khalid. Satu setengah tahun berikutnya ia hamil anak yang kedua. Hidup Salma penuh liku dan tidak mudah. Ujian datang silih berganti. Toh begitu, ia tetap sabar. Ketika usia kehamilan anak keduanya memasuki bulan ke empat, Ezzuddin gugur bersama puluhan muridnya. Gedung sekolah tempat Ezzuddin mengajar dibom oleh Israel. Puluhan orang tewas dan puluhan lainnya luka berat dan ringan. Ezzuddin termasuk yang tewas.
Salma tetap tegar. Ia tetap berjiwa mulia. Ia tidak membenci kecuali kepada kezaliman dan
kejahatan. Ia tetap menolong siapa saja dengan ilmu kedokteran yang dikuasainya, termasuk
menolong perempuan Yahudi Libanon itu saat usia kehamilan Salma memasuki bulan ke sembilan. Mama semakin dekat dengan Salma. Bahkan Mama banyak belajar ketulusan dan kebesaran jiwa pada Salma.
Sampai akhirnya, pada tanggal 10 September 1982, pagi-pagi sekali Mama dibangunkan oleh
Alison Harowth untuk bergegas ke Rumah Sakit Gaza, karena Salma sedang berjuang untuk melahirkan anaknya di sana. Kami bergerak dengan cepat. Ketika sampai di Rumah Sakit Gaza,
Salma sudah bukaan enam. Mama ikut membantu Salma. Setengah jam kemudian Salma melahirkan bayi perempuannya. Salma langsung meminta bayinya itu dan mengumandangkan sesuatu di telinga kanan dan telinga kiri anak itu.
Dan Salma memberi nama putrinya itu, Sofia. Mama sangat bahagia melihat Salma berhasil melahirkan anaknya dengan selamat. Si bayi Sofia begitu cantik, seumpama malaikat. Rambutnya halus pirang kecoklatan. Hidungnya indah. Matanya jeli. Dan pipinya bagai pualam.
Salma perempuan yang tangguh. Selesai melahirkan ia minta diantarkan pulang ke rumah ibu
mertuanya yang tinggal di sebuah rumah susun tak jauh dari kawasan Sabra dan Shatila. Salma
memang tinggal bersama ibu mertuanya. Mereka hanya tinggal berdua. Karena semua lelaki di
rumah itu telah gugur sebagai pejuang Palestina yang tidak mau hidup kecuali harus merebut
kembali tanah Palestina dari penjajah Israel.
Ibu mertua Salma adalah perempuan Libanon asli yang halus budi. Namanya Zaenab. Dia sudah
tujuh puluh tahun lebih. Ia menikah dengan seorang lelaki Palestina bernama Yaser. Dari
perkawinan itu lahir tujuh anak manusia yang semuanya laki-laki dan semuanya telah gugur membela Palestina.
Karena ibu mertua Salma sudah tua, dan Salma sendiri masih lemah, Mama menyempatkan
untuk menemani Salma barang satu atau dua hari. Dan Salma menyambutnya dengan hati gembira. Mama benar-benar seperti adik atau kakak bagi Salma. Mama seolah menjadi bagian
dari keluarga Palestina yang terbuang di Libanon itu.
Pada hari kedua setelah melahirkan, Salma masih istirahat di rumahnya, tetapi pada hari ketiga ia sudah bangkit dan kembali bekerja di Rumah Sakit Gaza yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan kamp Shatila. Ia jtidak bisa tenang beristirahat sementara masih banyak pasien yang menunggu uluran tangannya.
Dalam keadaan belum pulih benar dari melahirkan, Salma sudah harus melakukan operasi
bedah ortopedis terhadap anak Palestina berusia delapan tahun bernama Fatimah. Si Kecil
Fatimah, menderita luka bakar karena terkena cluster bomb yang menewaskan kedua orang tuanya.
Kedua kakinya yang mungil patah di banyak tempat karena terkena pecahan bom. Banyak
luka Fatimah yang telah membusuk, sehingga diperlukan operasi ortopedis untuk mengangkat
tulang yang telah mati dan membusuk. Setelah operasi selesai, flaktura-flakturanya harus diluruskan agar tidak bengkok. Salma menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan kesabaran dan profesionalitas yang mengagumkan.
Rabu, 14 September adalah hari yang melelahkan sekaligus membahagiakan bagi Salma. Pada hari itu, enam belas jam penuh ia bekerja di rumah sakit. Mama melihat wajah Salma yang pucat karena kelelahan. Tetapi Salma tersenyum bahagia karena pada hari itu ia berhasil menyelamatkan dua anak Palestina yang sekarat. Dua anak Palestina itu dengan sangat terpaksa
harus diamputasi kakinya, karena luka akibat terkena pecahan bom Israel telah membuat kaki
mereka membusuk. Salma pulang agak larut malam. Kami berjalan kaki bersama. Melewati
jalan-jalan kamp Shatila yang lengang. Masih ada satu dua orang yang terjaga. Tetapi kebanyakan penghuni kamp Shatila sedang terlelap dalam impian mendapatkan kembali Tanah Air mereka, yaitu bumi Palestina.
Malam itu, sebelum berpisah, entah kenapa Salma berpesan kepada Mama, kalau terjadi apaapa
pada dirinya ia minta agar bayinya Mama selamatkan dan Mama besarkan sebagai orang Palestina. Mama menyanggupi permintaan Salma. Di perempatan jalan kami berpisah. Salma berjalan lurus menuju apartemen di mana ia tinggal bersama ibu mertuanya yang sudah tua.
Dan Mama belok kanan menuju apartemen Hamra, di mana Mama tinggal bersama para dokter
relawan dari berbagai negara. Sebelum tidur, entah kenapa Mama merasa sangat tidak tenang.
Rasanya Mama ingin bangun dan berlari menuju apartemen Salma lalu membawa Salma dan keluarganya meninggalkan Libanon.
Mama membuang jauh-jauh perasaan tidak enak itu. Mama berusaha menenangkan dalam hati, bahwa akan ada kedamaian di Libanon. Sudah ada kesepakatan damai yang difasilitasi oleh PBB. Para pejuang Palestina yang sebelumnya bermarkas di Sabra dan Shatila telah bersedia dipindahkan ke luar Libanon oleh keputusan PBB. Israel dan milisi Libanon penentang
Palestina telah bersedia menjaga kedamaian dan keamanan setelah para pejuang Palestina dikeluarkan dari Libanon. Yang tinggal di Sabra dan Shatila tinggal anak-anak, kaum perempuan, dan lelaki yang sudah tua renta. Karena yang menjadi mediator kesepakatan damai adalah PBB pastilah PBB akan bertanggung jawab menjaga keamanan di kawasan Beirut itu, terutama Sabra dan Shatila. Mengingat hal itu Mama sedikit tenang.
Malam itu Mama tidur dengan pulas.
Pagi harinya, tanggal 15 September 1982, Mama dibangunkan oleh deru pesawat tempur yang terbang rendah. Pesawat-pesawat tempur itu datang dari arah laut tengah menuju selatan, ke
arah Beirut Barat di mana terdapat kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Mama langsung
teringat rumah sakit Gaza. Tanpa berpikir panjang Mama meluncur ke rumah sakit Gaza. Begitu
sampai di rumah sakit, Mama mendengar dentuman bom menggelegar bertubi-tubi.
Ternyata itu adalah bom yang ditembakkan oleh serangan darat, bukan serangan udara. Mama dan para dokter yang lain naik ke lantai paling atas dan melihat betapa rumah sakit dan kamp Sabra dan Shatila telah dikepung oleh serangan darat yang hebat. Bom-bom terus berjatuhan.
Tengah hari, bom-bom itu sudah sangat dekat dengan rumah sakit. Lalu terdengar suara meriam
dan suara tembakan yang seolah tidak pernah berhenti. Sore hari, belasan orang Palestina
korban peluru-peluru tajam berdatangan ke rumah sakit. Ada yang perutnya robek dari depan
sampai belakang, tapi belum juga mati. Ada yang pahanya hancur. Ada perempuan muda yang siku lengannya hancur. Ia ditembak di ruang tamu rumahnya sendiri yang ada di pinggir kamp
Sabra.
Malam tiba, dan serangan itu semakin menjadi-jadi. Kami terkepung. Langit Sabra dan Shatila dipenuhi desingan peluru-peluru militer. Suara tembakan senapan mesin tidak juga berhenti. Mama teringat Salma. Sejak pagi Mama tidak melihat Salma. Mama sangat cemas. Tetapi saat itu Mama tidak bisa berbuat apa-apa karena Mama harus terus bekerja memberikan pertolongan
darurat pada orang-orang Palestina yang terluka, yang terus membanjiri Rumah Sakit Gaza. Jam tiga malam Mama tertidur kelelahan.
Pagi sekali, hari Kamis 16 September 1982, Mama tergerak untuk menelusup ke rumah Salma. Ternyata suasananya jauh dari yang Mama bayangkan. Suasananya sangat mengerikan. Mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Dan pembantaian terus berjalan. Orang-orang Palestina yang membuka rumahnya diberondong tembakan senapan mesin. Mama nyaris tertangkap tentara pembantai, tetapi Tuhan menyelamatkan Mama. Tiba-tiba dari tempat
persembunyian, Mama mendengar jeritan perempuan. Mama melihat seorang perempuan Palestina sedang jadi bulan-bulanan tentara-tentara durjana itu. Perempuan itu terus melawan.
Dan akhirnya ia ditembak mati setelah mengalami penyiksaan yang tidak ringan. Mayat perempuan itu tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Setelah para tentara itu pergi untuk mencari korban lain, Mama merangkak perlahan mendekati mayat itu. Mama penasaran, sebab dari kejauhan Mama seperti mengenal suara perempuan itu. Ternyata benar Mama mengenalnya. Perempuan itu adalah Salma. Mama menangis, tiba-tiba Mama teringat pesan terakhir Salma sebelum berpisah malam itu. Mama teringat bayi Salma, Mama langsung bergerak untuk bisa keluar dari kamp Sabra dan Shatila. Saat Mama berjalan sambil mengendap-endap Mama tertangkap oleh tentara. Mama dipukul dengan popor senapan. Mama langsung pingsan, tidak tahu apa yang terjadi.
Ketika bangun Mama sudah berada di bangunan seperti gudang. Mama melihat banyak majalah
dan koran berbahasa Ibrani di tempat itu. Juga kaleng-kaleng makanan dan minuman dengan label Israel. Para tentara di situ juga menerima perintah langsung dari pejabat militer Israel.
Di situ Mama tidak sendirian, para dokter relawan dari berbagai negara banyak yang ditawan
di situ. Kami diinterogasi dan dihina. Kami ditakut-takuti mau dibunuh. Satu hari penuh kami
ditahan, dan akhirnya kami dibebaskan dengan syarat harus segera angkat kaki dari Beirut dan
tidak boleh lagi membantu orang-orang Palestina.
Begitu bebas, Mama langsung berlari ke apartemen Salma. Mama merasa bayi Salma dalam bahaya besar. Apartemen Salma ada di luar kamp Sabra dan Shatila tetapi tidak begitu jauh dari kedua kamp itu. Sampai di apartemen Salma, ibu mertua Salma langsung menyerahkan bayi Salma kepadaku, dan memintaku untuk langsung pergi. 'Segera pergi, satu detik sangat berarti untuk selamat. Cepat selamatkanlah anak Salma ini.' Kata Ibu mertua Salma dengan hati bergetar.
Saat itu Mama minta supaya orang tua itu ikut pergi, tetapi ia tidak mau. Dengan tegas ibu mertua Salma itu berkata, 'Ini adalah tanah tumpah darahku. Di sini aku lahir. Di sini aku tumbuh. Dan di sini juga aku akan mati dan dikuburkan. Aku tidak akan meninggalkan tanah kelahiranku ini, apa pun yang akan terjadi. Termasuk jika aku harus mati karenanya.'
Mama tidak bisa memaksanya. Maka Mama terpaksa pergi hanya dengan membawa bayi itu,
anak Salma. Sementara itu pembantaian di Sabra dan Shatila terus berlangsung. Selama tujuh puluh jam lebih, dari tanggal 15 sampai tanggal 18 September, kamp Sabra dan Shatila jadi ladang pembantaian. Mama kira, pembantaian Sabra dan Shatila, adalah tragedi kemanusiaan terbesar, terkejam, terberingas, dan terbiadab sepanjang sejarah.
Seorang koresponden BBC yang datang ke kamp Sabra dan Shatila pada tanggal 19,
mengatakan di Rumah Sakit Gaza ia melihat mayat yang ditumpuk-tumpuk. Dalam satu tumpukan ada sepuluh mayat bahkan lebih. Wartawan itu sampai menangis melihat kebiadaban
itu. Wartawan itu sampai mengatakan, bahwa seekor kucing pun tidak luput dari pembantaian
yang dikendalikan sepenuhnya oleh Israel, meskipun yang melakukan pembantaian di lapangan
adalah milisi Falangis yang tulang punggungnya adalah orang-orang dari Suku Haddad yang sangat memusuhi Palestina dan Islam.
Kau pasti tahu, Anakku. Israel menggunakan tangan milisi Falangis untuk membantai orang-orang Palestina di Sabra dan Shatila, bukan tanpa tujuan. Ada beberapa tujuan. Dan tujuan terpentingnya menurut Mama ada dua. Pertama, dengan menggunakan tangan milisi Falangis yang jelas-jelas beragama Kristen, Israel ingin melanggengkan permusuhan umat Islam dan Kristen di Libanon dan di mana saja. Yang kedua, Israel ingin agar Libanon terus terguncang dan terintimidasi.
Mereka, tentara-tentara Israel yang merencanakan pembantaian itu, sangat sadar bahwa mereka pasti akan pergi. Akan tetapi suku Haddad dan Kata'eb adalah orang asli Libanon yang akan tetap tinggal di Libanon. Mereka tidak akan pergi. Mereka akan menjadi monster yang terus
mengintimidasi orang-orang Palestina yang selamat dari pembantaian. Orang-orang Palestina akan terus ketakutan, bahkan setelah Israel mundur dari Libanon.
Masih pada tanggal 19 September 1982, seorang wartawan yang juga kru film asal Kanada
berhasil mengambil gambar mengerikan yang terjadi di Sabra dan Shatila. Termasuk gambar Salma yang berlumuran darah, dengan isi perut terburai keluar, dan dada hancur.
Anakku, gambar mayat seorang perempuan muda setengah telanjang yang berlumuran darah,
dengan kerudung putih penutup kepalanya lepas tak jauh dari tubuh, yang perutnya sobek, dan
isinya teruarai. Gambar yang baru saja kaulihat berulang-ulang itu, adalah gambar mayat Salma,
Anakku. Salma yang berhati malaikat itu harus mati dengan cara yang sangat tragis dan mengenaskan. Mama selalu menangis setiap kali mengingat Salma dan apa yang terjadi padanya.
Yang sedikit membuat Mama terhibur adalah bahwa Mama berhasil menyelamatkan anak
Salma. Kalau Mama terlambat pergi dari apartemen Salma saat itu, kemungkinan besar Mama
tidak akan bisa menyelamatkan anak Salma.
Bahkan bisa jadi Mama juga akan terbunuh. Sebab, setelah melakukan pembantaian habis-habisan dari Sabra dan Shatila, milisi Falangis dan tentara Israel mengadakan penyisiran di Beirut Barat. Setiap kali menemukan orang Palestina, pastilah orang Palestina itu dihabisi.
Dalam pembantaian Sabra dan Shatila itu, orang-orang Palestina tidak bisa melakukan perlawanan apa pun. Sebab para pejuang mereka telah disingkirkan oleh PBB dari Beirut.
Dan segala senjata yang mereka miliki telah diserahkan kepada pasukan penjaga perdamaian.
Dalam kondisi tanpa senjata apa-apa itulah Israel memanfaatkan situasi. Israel menghabisi orang-orang Palestina yang ada di Sabra dan Shatila tanpa ampun. Genjatan senjata dan perdamaian yang disepakati dilanggar di depan hidung pasukan perdamaian PBB yang tidak berkutik apa-apa.
Pada tanggal 22 September 1982, Palang Merah Internasional mengumumkan jumlah mayat korban pembantaian Sabra dan Shatila sebanyak 2400, berdasarkan jumlah mayat yang mereka temukan. Menurut Mama jumlah korban sesungguhnya jauh lebih banyak dari itu. Sebab, ada wartawan yang melihat stadion yang penuh dengan mayat yang bertumpuk. Dan ada satu
kenyataan penting bahwa setelah mereka selesai melakukan pembantaian, mereka membawa buldoser dan menghancurkan bangunan-banguan yang ada di Sabra dan Shatila demi menimbun
mayat-mayat yang berserakan di mana-mana itu. Jadi banyak sekali mayat yang tertimbun yang
tidak terhitung oleh tim Palang Merah Internasional."
"Terus bayi anak Salma itu, Mama bawa ke mana dan Mama apakan?" Tanya Linor penasaran.
"Bayi itu Mama bawa ke Londoft, dan ke mana saja Mama pergi. Mama rawat dengan penuh
kasih sayang sampai besar layaknya anak Mama sendiri." Jawab Madame Ekaterina.
"Sekarang di mana dia? Apa aku pernah bertemu dengannya?" Linor penasaran.
"Ini yang kau harus tahu Anakku. Bayi yang Mama selamatkan itu adalah kamu. Kamulah anak Salma itu. Perempuan muda yang dibantai dengan cara sangat sadis itu adalah ibu kandungmu,
Anakku!"
"Bayi itu adalah aku?!"
"Ya. Benar. Kaulah bayi Palestina itu."
Mata Linor tiba-tiba berkaca-kaca. Hatinya yang selama ini keras bagai batu jika melihat orang
Palestina atau mendengar nama Palestina, kini tiba-tiba melunak.
"Dan perempuan Palestina yang terbunuh itu adalah ibuku?!"
"Benar."
"Mama jangan mengada-ada!"
"Mama tidak mengada-ada. Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kalau kau tidak percaya kau bisa test DNA. Mama punya beberapa lembar rambut Salma dan contoh darah Salma yang pernah Mama ambil beberapa saat sebelum dia melahirkan.
Mama hanya menyampaikan kebenaran yang tidak boleh Mama tutup-tutupi. Mama tidak mau mengkhianati Salma. Apa kata Salma kepada Mama, jika dia bisa hidup kembali melihat Mama menyembunyikan sejarah hidupmu dan membiarkan dirimu menjadi agen Zionis yang terus membunuhi orang-orang Palestina setiap hari, padahal kau sejatinya adalah orang Palestina. Sekali lagi Mama katakan sebenarnya kau bukan anak Mama, kau anak Salma. Tidak ada darah Yahudi yang mengalir dalam tubuhmu, yang ada sesungguhnya adalah darah Muslim Palestina."
"O tidaaak!" Tiba-tiba Linor menjerit dan menangis pilu.
Pikirannya langsung teringat perempuan muda Palestina yang tewas dengan perut sobek dan dada rusak. Perempuan muda itu adalah Salma, ibunya. Ia merasa betapa jahatnya ia selama ini karena menjadi agen rahasia Israel, dan betapa jahatnya ia telah menjadi bagian dari penyebab hilangnya nyawa orang-orang Palestina yang ternyata adalah saudaranya sendiri, bangsanya sendiri. Linor menjerit dalam batin sesak antara percaya dan tidak percaya. Sebutir airmata tiba-tiba jatuh dari pipinya. Ya, hanya sebutir.

***


Sementara itu, di belahan bumi Allah yang lain, pada waktu bersamaan, saat Linor masih basah oleh airmata, Ayyas nampak bahagia. Ia merasa menemukan kembali dunianya yang selama ini hilang. Ia kembali merasa berjalan di jalan yang lapang. Meskipun lebih sederhana dan lebih sempit, apartemen Pak Joko terasa lebih nyaman dan lebih lapang bagi Ayyas. Ia merasa seumpama ikan yang kembali menemukan air yang jernih dan sehat. Malam itu, untuk pertama
kalinya sejak berada di Moskwa ia merasa tidur di tempat yang tepat.
Sejak sore Ayyas sudah resmi meninggalkan apartemennya di Panvilovsky Pereulok. Ia sudah
pamit kepada Yelena dan Bibi Margareta. Hanya kepada Linor ia tidak sempat memberitahu. Ia
merasa Linor sudah ada di Ukraina dan ia tidak perlu berpamitan padanya. Pada akhirnya nanti
Linor juga akan tahu. Ia sudah nitip salam pada Yelena untuk Linor. Kepada mereka semua ia
meminta maaf, jika selama berada di apartemen itu dan selama berinteraksi dengan mereka, mungkin dirinya melakukan banyak kesalahan.
Yelena sungguh-sungguh menahan Ayyas supaya tetap tinggal di apartemen itu. Bahkan Yelena
tidak kuasa untuk menahan lelehan airmatanya.
Tetapi niat Ayyas sudah teguh dan bulat. Yelena minta kepada Ayyas untuk tetap bisa
berkomunikasi dan bersahabat. Ayyas tidak keberatan. Yelena dengan jujur mengatakan kebaikan Ayyas tidak akan terlupakan, dan ketulusan jiwa orang Indonesia akan terus dikenangnya. Ketika Ayyas ditanya mau pindah ke mana.
Ayyas hanya menjawab, "Kalau ada perlu denganku kalian bisa sms aku atau datanglah ke
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskwa, di Novokuznetskaya Ulitsa. Kalau aku kebetulan tidak ada di sana, kalian bisa nitip pesan." Bibi Margareta juga meneteskan airmata haru mengetahui Ayyas akan pindah.
"Entah kenapa, meskipun kebersamaan kita tidak lama aku merasa engkau telah menjadi bagian dari keluargaku, Malcishka (Panggilan penuh kasih sayang pada anak lelaki, lebih halus dari malcik). Ucap Bibi Margareta dengan penuh kasih sayang. "Aku doakan semoga Tuhan selalu
menyertai langkahmu, Malcishka."
Ayyas mengamini dalam hati. Ia menjelaskan kepada Yelena dan Bibi Margareta, bahwa
kamarnya bisa ditempati oleh Bibi Margareta, tanpa harus mengganti uang sewanya. Ia berharap
Yelena bisa menata hidupnya lebih baik bersama Bibi Margareta yang kini telah dianggap sebagai ibunya sendiri oleh Yelena.
Dengan sekali angkut saja, barang-barang milik Ayyas sudah berpindah dari Panvilosky
Pereulok yang berada di kawasan Smolenskaya ke Aptekarsky Pereulok yang berada di kawasan
Baumanskaya. Jika sebelumnya Ayyas tinggal tepat di jantung kota, kini ia tinggal agak di pinggir kota, tepatnya agak jauh di sebelah timur jalan lingkar dalam. Jika sebelumnya ia tinggal di apartemen yang terkesan mewah, kini ia tinggal di gedung tua yang lebih sederhana. Tetapi ia
merasa lebih bahagia.
Malam itu, Ayyas menata kamarnya. Apartemen itu hanya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi bersama. Dapur menyatu dengan kamar tamu yang sekaligus jadi kamar keluarga.
Ayyas menempati kamar yang agak sempit, tiga Yneter kali dua setengah meter. Tempat
tidurnya hanya cukup untuk satu orang saja. Tetapi bagi Ayyas itu sudah sangat cukup. Yang
paling penting adalah semua sarana vital di musim dingin di rumah itu berfungsi dengan baik.
Pemanas ruangan berfungsi, air tidak ada masalah, dapur berfungsi dengan baik. Itu sudah lebih
dari cukup.
Ayyas menata kamarnya dengan hati gembira. Ia mengatur ulang tata letak meja dan lemari kecil. Untuk posisi tempat tidur ia rasa sudah tepat. Tempat tidur itu sudah berada di posisi terbaiknya. Setelah itu barulah ia menata pakaiannya ke dalam lemari. Dan menata beberapa
bukunya di atas meja. Ia nyalakan laptop dan mencoba mengetik beberapa kalimat. Ia merasa
nyaman.
Sementara Ayyas sibuk di kamarnya, Pak Joko nampak asyik di ruang tamu memeriksa buku PR para siswa Sekolah Indonesia Moskwa. Dengan sabar Pak Joko membaca dan meneliti kerjaan para muridnya. Satu per satu. Kalimat per kalimat. Terkadang ia mencoret. Terkadang menambahkan sesuatu. Dan terkadang membetulkan yang kurang betul. Tidak jarang ia memberi
saran.
"Kita makan apa malam ini Pak Joko?" Kata Ayyas dari dalam kamarnya sambil memasukkan
kopernya ke kolong tempat tidurnya.
"Setelah aku selesai memeriksa pekerjaan anak-anak, kita turun cari makanan. Di ujung timur Aptekarsky Pereulok ada restoran Pakistan. Kita makan di sana saja, bagaimana?"
"Mahal tidak Pak?"
"Biasa saja. Tidak mahal."
"Setuju kalau begitu." .
Setelah Pak Joko menyelesaikan tugasnya, ia memanggil Ayyas untuk mencari makan malam.
Mereka berjalan ke timur menyusuri Aptekarsky Pereulok. Udara dingin berhembus pelan. Pohon-pohon bereozka bergoyang, butir-butir salju terpelanting dari dahan dan rantingnya.
Kendaraan masih ramai berlalu lalang. Ponsel Ayyas berdering ketika mereka sudah berada di
depan restoran.
"Ya. Siapa?"
"Ini Yelena." Jawab suara dari seberang.
"O ya ada apa?"
"Tas kamu ada yang ketinggalan ya?"
"Kurasa tidak."
"Ini di bawah kolong tidur kamarmu ada tas ransel hitam."
"Maaf aku tidak punya tas ransel hitam. Aku punya tas hitam, tapi bukan ransel. Tas hitam untuk
laptopku dan untuk membawa beberapa buku."
"Jadi ini milik siapa?"
"Aku tidak tahu, apa mereknya?"
"Samsonite."
"Mungkin milik penghuni sebelum aku."
"Bisa jadi. Berarti sama dia sengaja ditinggal. Padahal masih bagus. Kalau begitu biar aku gunakan saja ya."
"Terserah kamu."
"Sekali lagi benar ini bukan milik kamu." "Ya benar."
"Ini sedang aku buka tas itu. Isinya bukan buku. Isinya agak aneh. Ya ini pasti bukan milik kamu. Baik, terima kasih. Maaf mengganggu."
"Salam buat Bibi Margareta."
"Ya pasti saya sampaikan. Spakoinoi Nochi (Selamat tidur/malam)“
"Aku belum mau tidur. Ini baru makan malam."
"Kalau begitu selamat makan."
Angin dingin kembali berhembus, kali ini agak kencang. Ayyas mengatupkan rahangnya kuat-kuat menahan dingin. Ia cepat-cepat bergegas memasuki restoran mengejar Pak Joko yang ada di depan. Malam itu Ayyas memilih makan dengan menu nasi Biryani, dengan lauk daging kambing, dan minum teh syahrazad yang lezat.

***


Pagi sekali sebelum matahari terbit Ayyas telah rapi. Dengan agak tergesa-gesa ia keluar dari
apartemen dan berjalan menembus dinginnya udara pagi. Ia berjalan ke timur menyusuri
Aptekarsky Pereulok, sampai di Baumanskaya Ulitsa ia belok kanan. Jalan-jalan masih dipenuhi
kabut yang cukup tebal. Para petugas pembersih salju masih ada yang bertugas di beberapa titik
jalan. Sesekali Ayyas melihat jam tangannya. Ia telah terlambat dua menit. Ia mempercepat
langkahnya.
Ayyas berjanji akan bertemu dengan Doktor Anastasia Palazzo di bawah lambang metro yang
ada di dekat stasiun Baumanskaya. Tepatnya di bawah lambang metro yang ada di Baumanskaya
Ulitsa, yang letaknya paling selatan. Setelah bertemu, Doktor Anastasia Palazzo akan membawanya ke stasiun televisi untuk menjadi pembicara dalam acara talk show "Rusia Berbicara" yang akan disiarkan secara live.
Doktor Anastasia memberitahukan kepadanya, ada perubahan jam tayang talk show tersebut. Yang biasanya tayang di siang hari jam satu siang sampai jam dua, kini diajukan di waktu pagi
dari jam tujuh tiga puluh pagi sampai jam delapan tiga puluh. Dan satu jam sebelum acara
dimulai, semua pembicara harus sudah ada di studio untuk persiapan.
Ayyas berjalan secepat yang ia mampu. Dari kejauhan nampak mobil Prado putih milik Doktor
Anastasia sudah menunggu. Dua menit kemudian Ayyas sudah sampai. Doktor Anastasia mempersilakan Ayyas untuk masuk ke mobilnya dan duduk di sampingnya. Sekilas Ayyas melihat penampilan Doktor Anastasia yang nampak lebih segar dan lebih cantik dari biasanya. Ayyas merasa bahwa doktor muda itu sangat memerhatikan penampilannya, sebab dia akan tampil di layar televisi yang disaksikan jutaan mata umat manusia.
Mobil bergerak ke utara, sebentar kemudian belok ke barat menyusuri Spartakovskaya Ulitsa, dan terus melaju ke barat melewati Staraya Brasmannaya Ulitsa, lalu belok kiri memasuki jalan
lingkar Sadovoe Koltso. Doktor Anastasia mengendari mobilnya dengan tenang dan anggun.
Ayyas merasakan aroma parfum yang dipakai Doktor Anastasia yang begitu segar. Mobil terus
melaju ke selatan, memasuki kawasan Markistskaya, dan terus menyusuri lingkar dalam yang
mulai miring ke arah timur. Sampai di kawasan Sepukhovskaya, Doktor Anastasia belok kiri, dan kembali mengambil jalan lurus ke selatan. Dan mobil itu akhirnya berhenti di sebuah gedung
megah dan tinggi di daerah Nakhimovsky Prospekt.
"Ayo kita turun. Kita akan masuk ke salah satu studio milik televisi yang mengundang kita. Studio itu katanya ada di lantai empat belas." Ucap Doktor Anastasia kepada Ayyas.
"Tema kita masih sama dengan seminar itu? Tidak ada perubahan?" Tanya Ayyas.
"Ya masih sama. Tetapi bisa jadi nanti pemandu acara akan memperlebar permasalahan.
Atau akan ada respons dari pemirsa yang memperluas pembahasan. Kau siap kan?"
"Siap. Saya tidak perlu khawatir selama diskusi bersama Doktor Anastasia Palazzo."
"Kau selalu memuji."
"Benarkah? Aku merasa tidak memuji Doktor, kenapa Doktor merasa dipuji?"
Wajah Doktor Anastasia seketika memerah, ia berusaha mengendalikan diri.
"Sudahlah ayo kita masuk. Kita sudah ditunggu oleh Direktur Program."

***


“Bagaimana Mama bisa menyembunyikan kenyataan ini sedemikian rapat? Apakah ayah juga tahu siapa aku ini sebenarnya? Kenapa ayah begitu membanggakan diriku, dan menganggap
dalam diriku mengalir darah Yahudi yang kental?"
Linor bertanya dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Ia masih belum bisa percaya sepenuhnya pada apa yang didengarnya dari mulut Madame Ekaterina yang selama ini ia anggap
sebagai ibu kandungnya.
Madame Ekaterina menjawab, "Sebelum membawamu keluar dari Beirut. Mama membuat surat keterangan kelahiran di rumah sakit American University, bahwa kau adalah anakku. Ada
seorang relawan dari Amerika yang membantu mengurus surat itu. Dengan bekal surat itu, aku
bisa membawamu masuk London. Dan selanjutnya kepada siapa pun aku mengaku bahwa kau
adalah anak kandungku. Dan tidak ada yang menanyakan siapa ayahmu sebenarnya. Kau tahu
sendiri, hal seperti itu biasa saja di Eropa ini.
Mama juga memberi kabar kepada keluarga Mama di Ukraina, bahwa Mama sudah memiliki
seorang anak perempuan. Dan mereka menyambutnya dengan suka cita. Mama memberimu nama Sofia. Sama dengan nama yang diberi oleh Salma kepadamu. Hanya saja namamu berubah
jadi Sofia Corsova, karena Corsov adalah nama ayah Mama, orang yang selama ini kau kenal sebagai kakekmu. Padahal sebenarnya nama kakekmu adalah Abdul Aziz, sebab nama ibu kandungmu yang sesungguhnya adalah Salma Abdul Aziz.
Ketika umurmu belum genap satu tahun, Mama membawamu berlibur ke sebuah pantai yang indah di Barcelona. Di sana Mama berkenalan dengan seorang pengusaha muda yang tampan,
namanya Eber Jelinek. Dia mengaku berasal dari Rusia dan memiliki beberapa rumah penginapan di Spanyol, Yunani dan Rusia. Dalam waktu yang tidak lama kami sangat akrab. Eber, Mama rasa sangat terbuka dan cerdas, maka Mama sangat terbuka kepadanya. Hampir semua yang ada dalam diri Mama diketahui olehnya kecuali satu hal, yaitu rahasia siapa sebenarnya dirimu.
Eber hanya tahu bahwa kau anak kandungku dari hubungan gelap dengan seorang teman
kuliah yang tidak bertanggung jawab dan kau lahir di Beirut saat Mama bertugas menjadi relawan. Itu saja. Eber sebenarnya sangat kritis, ia sempat bertanya bagaimana mungkin seorang
wanita hamil diijinkan jadi relawan. Mama menjawab saat memasuki Beirut kehamilan Mama
baru dua bulan dan belum nampak. Mama mampu menyembunyikan kehamilan itu. Dan dia
percaya.
Singkat cerita Eber jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama. Dan sebaliknya Mama juga suka padanya. Eber semakin gila dalam menginginkan diri Mama menjadi istrinya setelah tahu bahwa ibu Mama adalah seorang Yahudi. Eber memiliki darah Yahudi yang kental. Singkat cerita kami kemudian menikah. Pernikahan kami diadakan besar-besaran di Rusia, dan Mama akhirnya pindah ke Rusia.
Setengah tahun menikah barulah Mama tahu kalau Eber ternyata seorang agen Zionis. Jujur,
Mama tidak suka dengan Zionis. Dengan baik-baik Mama sampaikan agar dia meninggalkan
profesinya sebagai agen rahasia Zionis Israel, atau kalau tidak, maka Mama minta cerai. Kau
tahu apa reaksi Eber? Ia sangat marah. Ia menangkap kamu dan mengangkat tinggi-tinggi
kamu, dan dia mengancam, 'Berani kau minta cerai, maka anak ini akan aku remukkan tulangnya
dan mencincangnya seperti tukang daging mencincang hewan sembelihannya. Tetapi sebaliknya jika kau setia, maka aku akan memuliakanmu dan memuliakan anak perempuanmu ini semulia-mulianya.'
Bulu Mama sampai berdiri mendengar ancaman itu. Maka tidak ada pilihan bagi Mama kecuali meneruskan hidup bersama Eber. Ini demi menjaga dirimu.
Satu tahun menikah, kami belum juga memiliki keturunan. Dua tahun menikah juga demikian.
Eber mengajak Mama periksa kesehatan. Mama tidak mau, Mama menjawab, anak ini adalah bukti bahwa Mama sehat dan subur. Akhirnya Eber periksa kesehatan, dan benar, ia ternyata
mandul. berbagai terapi ia coba, tetapi tetap saja mandul. Akhirnya diam-diam Mama juga
memeriksakan diri Mama, ternyata Mama juga sama, yaitu mandul. Apa yang terjadi pada Mama
tidak Mama sampaikan kepada Eber. Dengan begitu Mama masih memiliki posisi tawar yang
kuat di hadapannya.
Karena merasa bersalah dirinya mandul, Eber minta agar kamu dianggap saja sebagai anak
kandung dirinya. Ini demi menjaga kehormatannya di hadapan kawan dan kenalannya.
Mama setuju saja. Akhirnya entah bagaimana caranya ia merubah nama Mama menjadi Shim'ona Jelinek. Dan namamu ia rubah menjadi Linor Jelinek. Itulah nama yang kemudian kita
pakai selama hidup di Moskwa. Kau seolah-olah adalah anak Mama dan Eber. Kau mengenal Eber sebagai ayah yang sangat menyayangi dan membanggakan kamu. Eber juga yang mendidik kamu sejak kecil bagaimana menjadi seorang Yahudi, dan bahkan memasukkan kamu menjadi agen Zionis Israel. Eber juga yang membuat kamu sampai sekolah intelijen di Tel Aviv.
Sampai akhir hayat, Eber hanya tahu bahwa kamu adalah anak Mama, dalam darahmu ada
mengalir darah Yahudi. Meskipun menurut tradisi Yahudi, darah Yahudi dari garis ibu kurang
diakui, tetapi kepada kawan-kawannya Eber mengaku bahwa sebelum menikah denganku ia
telah menghamiliku. Jadi darahmu adalah darah Yahudi yang kental. Karena ayah dan ibumu adalah Yahudi.
Itu yang selalu dikatakan Eber kepadamu dan kepada semua orang Yahudi di mana saja. Dia sampai berbohong seperti itu, karena dia ingin menutupi aibnya sendiri, dan sekaligus dia ingin memuliakan dirimu sesuai janjinya. Memuliakan dirimu menurutnya adalah dengan menjadikanmu seorang perempuan terhormat dari trah Yahudi yang murni. Begitu menurutnya.
Itulah kenyataan yang sesungguhnya tentang dirimu, tentang Mama yang selama ini kauanggap
ibu kandungmu ini, dan tentang Eber yang kau anggap sebagai ayah kandungmu selama ini.
Kau boleh percaya boleh tidak. Kau boleh meyakini boleh juga mengingkari. Yang jelas dengan menyampaikan semua ini Mama merasa tidak lagi menanggung beban berat yang terus menghimpit dada. Mama tidak mungkin menceritakan siapa sesungguhnya dirimu selama Eber
masih hidup. Jika Mama menceritakannya saat dia masih hidup, kemungkinan besar nyawa Mama dan nyawamu akan melayang karena kemurkaannya."
Linor mendengar penjelasan Madame Ekaterina dengan perasaan tidak menentu. Tubuhnya
menggigil. Ada rasa kaget berselimut percaya dan tidak percaya, ada rasa haru, ada rasa sedih,
juga ada rasa marah. Ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Aku tahu ini pasti membuatmu kaget bukan kepalang. Tetapi Mama berharap kau tetap
menganggap Mama sebagai ibumu sendiri dan kau bisa berempati kepada ibu kandungmu yang
sebenarnya, yaitu Salma Abdul Aziz yang berhati bagai malaikat. Kau mau melihat foto Salma beberapa hari sebelum melahirkan kamu? Wajahnya persis seperti dirimu. Kecantikan yang
mengalir di wajahmu adalah titisan kecantikan Salma yang berwajah putih bersih. Kau mau Mama tunjukkan fotonya?"
Linor mengangguk. Tenggorokannya seperti kering dan mulutnya begitu berat untuk dibuka.
"Tunggu sebentar. Mama akan ambil foto itu."
Madame Ekaterina beranjak menuju almari besar. Perempuan setengah baya itu membuka almari. Di dalam almari ada koper hitam terletak di bawah pakaian yang bergelantungan. Madame Ekaterina membuka koper itu dan mengambil sebuah buku agenda yang nampak sudah tua. Ia membawa buku agenda itu dan membukanya sambil duduk di samping Linor.
Madame Ekaterina mengeluarkan amplop dari buku agenda itu dan membukanya. Di tangannya
ada foto perempuan berjilbab yang jelita. Paras wajahnya mirip sekali dengan Linor.
"Ini foto ibumu beberapa hari sebelum melahirkan kamu." Ujar Madame Ekaterina sambil menyerahkan foto itu kepada Linor.
Seketika Linor terperanjat melihat foto itu. Ia seolah melihat dirinya dalam foto itu. Ada perasaan sedih yang perlahan menyusup ke dalam hatinya. Bayangan perempuan yang sobek perutnya dan foto itu silih berganti hadir dalam kepalanya.
Rasa haru Linor perlahan membulat di dalam dada. Setetes airmatanya jatuh membasahi foto itu. Airmatanya terus meleleh. Dan tanpa sadar tangannya mengangkat foto itu dan mendekatkan
ke mukanya, dengan suara lirih ia mengatakan,
"Oh ibu." Linor lalu menangis tersedu-sedu.
Dalam tangisnya ia mulai membayangkan semua operasi yang ia jalankan selama ini. Entah sudah berapa ribu nyawa perempuan Palestina yang ia saksikan tewas diterjang peluru dan bom
pasukan Israel. Setiap kali terbayang peluru menembus tubuh perempuan Palestina dan perempuan itu tumbang bersimbah darah, ia langsung teringat bahwa yang tumbang itu adalah ibunya. Hatinya terasa sakit sekali. Ia merasa telah membunuh ibu kandungnya beribu kali.
"Oh ibu, maafkan Linor." Bibirnya bergetar disela isak tangisnya.
Madame Ekaterina juga menangis di sampingnya.
Tak ada suara apa-apa di kamar itu, kecuali isak tangis dua perempuan itu. Linor dan Madame
Ekaterina. Linor menangis karena haru, sedih, dan pelbagai perasaan yang bercampur aduk di dadanya. Sementara Madame Ekaterina menangis teringat Salma, dan teringat pesan Salma. Ada perasaan lega dalam dada Madame Ekaterina, karena ia akhirnya bisa menyampaikan kebenaran yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat dari siapa saja.

***


Sementara itu di kota Moskwa, Ayyas dan Doktor Anastasia Palazzo sedang siaran langsung
acara talk show "Rusia Berbicara." Setelah Doktor Anastasia menjawab semua pertanyaan yang
diajukan kepadanya oleh dua orang pemirsa yang ada di studio, kini giliran Ayyas yang
mendapatkan pertanyaan. Seorang gadis muda berambut pirang menyala dan berjaket biru muda
mengacungkan tangan kanannya dan berkata,
"Kalau boleh saya mau bertanya kepada Ayyas." Kata gadis itu.
Sang pembawa acara mempersilakan sambil tersenyum ramah.
"Baik, saya mau bertanya kepada Tuan Ayyas yang duduk sebagai seorang intelektual Muslim.
Saat ini saya percaya bahwa Tuhan itu ada, hanya saja saya masih bingung agama mana yang harus saya anut. Saya masih dalam pencarian. Tolong yakinkan saya secara ilmiah bahwa Al-Quran itu adalah benarbenar firman Tuhan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut saya agama yang benar adalah agama yang kitab sucinya benar-benar berasal dari Tuhan. Bukan karangan manusia. Terima kasih."
"Silakan Tuan Ayyas." Kata pembawa acara yang tampil anggun dengan jas putih gading. Setelah membaca basmalah dalam hati, Ayyas menjawab,
"Seandainya saya diberi waktu satu hari penuh untuk memaparkan bukti ilmiah keaslian Al-Quran sebagai firman Tuhan, pastilah waktu satu hari penuh itu tidak akan cukup. Ratusan ribu buku telah menulis bukti ilmiah itu. Setiap saat para ilmuwan menemukan bukti baru yang ilmiah tentang kemukjizatan AL-Quran.
Baiklah, di waktu yang singkat ini, akan saya gunakan bercerita singkat tentang bukti keaslian
Al-Quran sebagai firman Tuhan. Bukti ilmiah yang tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
Saya akan bercerita tentang tiga ilmuwan terkemuka di zamannya yang telah membuktikan Al-Quran sebagai kalam Tuhan yang tidak terbantahkan.
Pertama, adalah Dr. Gary Miller. Ilmuwan terkenal ini mengatakan, bahwa sebelum Al-Quran
diturunkan dan Muhammad Saw. Diangkat menjadi rasul, seorang filsuf Yunani Democritus
telah menyampaikan pendapatnya tentang atom. Democritus dan para filsuf berkata, 'Materi terdiri atas partikel-partikel yang sangat kecil yang tidak terlihat dan tidak bisa dibagi, partikel-partikel itu disebut atom.' Itulah definisi atom secara ilmiah yang diketahui manusia selama ribuan tahun.
Orang Arab telah mengetahui definisi ini jauh sebelum Islam datang. Buktinya, kata 'dzarrah'
atau atom' menurut orang Arab adalah bagian terkecil yang diketahui oleh manusia. Namun
sekarang ini, ilmu pengetahuan modern menemukan bahwa atom yang dianggap bagian terkecil
dari materi ternyata masih bisa dibagi lagi. Hal itu dianggap sebagai penemuan baru dalam
science modern. Yang sangat mengherankan, Al-Quran yang diturunkan empat belas abad yang
lalu ternyata telah lebih dulu memberikan informasi ilmiah ini. Allah berfirman di dalam Al-
Quran.
Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu
kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarrah (atom) di
bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada yang lebih besar dari itu
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz).
Tidak diragukan lagi penjelasan bahwa ada yang lebih kecil dari atom seperti yang ada dalam
ayat diatas adalah hal yang samasekali tidak populer ketika Al-Quran diturunkan. Yang diketahui manusia saat itu materi terkecil adalah atom, dan atom tidak bisa dibagi, artinya tidak ada yang
lebih kecil dari atom. Dari manakah Al-Quran bisa memberikan informasi ilmiah yang jauh
melampaui apa yang ditemukan manusia saat itu. Tak lain dan tak bukan adalah dari Allah Swt. Ini membuktikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang tidak lekang oleh zaman.
Kedua, adalah Dr. Maurice Bucaille. Dia adalah seorang dokter ahli bedah terkenal di Perancis.
Seperti dimaklumi bersama, salah satu Negara yang memiliki perhatian besar pada peninggalan-peninggalan purbakala adalah Perancis. Saat Presiden Francois Mitterand terpilih menjadi presiden Perancis tahun 1981, pemerintah Perancis dipenghujung tahun delapan puluhan
meminta kepada pemerintah Mesir untuk melakukan penelitian terhadap mumi Fir'aun di Perancis. Untuk itu dipindahkanlah untuk sementara tubuh Mumi itu ke Perancis.
Mumi itu disambut dengan upacara kenegaraan yang meriah setibanya di Perancis. Dia disambut
bahkan oleh presiden seolah-olah masih hidup. Mumi itu lalu diletakkan di dalam ruangan
khusus di Musium Pusat Perancis untuk diteliti oleh para pakar arkeologi dan dokter ahli bedah
agar mistri seputar mumi Fir'aun itu terungkap. Dan yang menjadi ketua dari para pakar dan ahli
bedah dalam penelitian terhadap mumi itu adalah dokter bedah paling cemerlang saat itu, yaitu Dr. Maurice Bucaille. Para peneliti itu ingin mengetahui apa sesungguhnya yang menyebabkan
kematian Fir'aun.
Setelah melakukan penelitian dengan seksama, mereka pun menemukan jawaban ilmiah, kenapa Fir'aun mati. Sisa-sisa garam yang lengket pada tubuhnya, juga sebagian ada ditenggorokan dan alat pencernaan merupakan bukti kuat bahwa Fir'aun mati di laut. Ketika orang-orang saat itu menemukan jasad Fir'aun di laut, mereka langsung memurnikannya agar awet. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan besar di benak Dr. Maurice Bucaille adalah bagaimana jasad Fir'aun tetap bisa utuh ketika ia ditemukan di laut?
Saat itu ada seorang anggota tim yang ia pimpin berbisik padanya, 'Sebenarnya umat Islam sudah membicarakan mengenai tenggelamnya jasad ini dan keutuhan tubuhnya setelah tenggelam.' Namun Dr. Maurice Bucaille saat itu mengacuhkan informasi itu dan menganggapnya sebagai angin lalu. Dia meyakini bahwa penemuan baru mengenai apa yang terjadi pada mumi Fir'aun itu tidak akan terjadi kecuali melalui serangkaian penelitian dengan menggunakan metode dan alat pendukung yang canggih.
Lalu dokter ahli bedah yang lain yang memiliki tanggung jawab yang sama dalam penelitian
mumi itu mengatakan, 'Benar, sungguh, Al-Quran, kitab suci yang dipercayai kaum Muslim itu
telah menceritakan bagaimana Fir'aun mati tenggelam dan memastikan keutuhan tubuhnya
setelah tenggelam.'
Dr. Maurice Bucaille tercengang tidak percaya, dia merasa itu hal yang aneh. Bagaimana bisa terjadi. Mumi itu belum ditemukan hingga tahun 1898 M atau baru ditemukan dua ratus tahun yang lalu, sementara kitab Al-Quran sudah ada sejak seribu empat ratus tahun yang silam. Bagaimana kitab suci Al-Quran bisa memberikan informasi itu, padahal seluruh manusia termasuk juga bangsa Arab tidak mengetahui apa pun tentang kehidupan Mesir kuno. Manusia baru tahu setelah jasad mumi itu ditemukan bersama peninggalan Mesir kuno lainnya.
Pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiran ahli bedah dari Perancis ini. Ia mulai berpikir tentang kemukjizatan Al-Quran. Ia duduk merenung di hadapan jasad mumi Fir'aun. Kitab suci umat Kristiani memang juga menceritakan tenggelamnya Fir'aun ketika mengejar Musa, tetapi Injil Matius dan Lukas itu tidak menceritakan sedikit pun keutuhan jasadnya setelah tenggelam. Apakah logis mumi itu adalah Fir'aun yang dikejar Musa? Apakah logis Al-Quran benar-benar menceritakan jasadnya utuh setelah tenggelam? Dr. Maurice Bucaille terus gelisah.
Hari berikutnya ia minta kepada beberapa ahli bedah untuk membawa taurat, kitab suci orang
Yahudi. Dia membaca kitab keluaran. Ia kecewa karena Kitab Keluaran samasekali tidak
menceritakan jasadnya akan utuh, yang diceritakan hanyalah Fir'aun mati tenggelam. Kitab Keluaran itu hanya mengabarkan, 'Kemudian berbaliklah air laut itu, lalu menutupi kereta dan
orang berkuda dari seluruh pasukan Fir'aun, yang telah menyusul orang Israel itu ke laut, hingga
tak tersisa seorang pun dari mereka.'
Setelah Dr. Maurice membaca Kitab Keluaran itu tetap bingung sekaligus penasaran dengan
apa yang dikatakan rekannya mengenai informasi yang sudah ada di dalam Al-Quran itu. Setelah
jasad mumi dikembalikan ke Mesir, Dr. Maurice menghadiri konferensi kedokteran di Saudi Arabia. Ia ingin bertemu dengan para dokter Muslim dan menanyakan benar tidaknya apa yang disampaikan rekannya itu. Konferensi itu memang membahas keutuhan jasad Fir'aun setelah tenggelam.
Di tengah acara, seorang ilmuwan Muslim membuka hati Dr. Maurice Bucaille yang sedang
mencari hakikat Al-Quran. Ilmuwan Muslim itu membacakan ayat suci Al-Quran, 'Maka pada
hari itu Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lalai dari tanda-tanda kekuasaan
Kami.’
Ayat suci itu membuat tubuh Dr. Maurice Bucaille bergetar, seketika ia berkata dengan suara lantang, 'Aku masuk Islam dan aku beriman pada Al-Quran ini.' Ia sangat yakin bahwa Al-
Quran benar-benar firman Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Tuhan yang menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Ketiga, apa yang terjadi pada Dr. Keith L. Moore, seorang ilmuwan ahli Embriologi terkenal
dari Amerika. Suatu hari iamembaca artikel bahwa Al-Quran menjelaskan ihwal pertumbuhan
janin dari masa pembuahan sampai lahir. Saat itu Dr. Keith L. Moore hampir tidak percaya. Sebab menurutnya, pengetahuan Embriologi baru diketahui oleh manusia belakangan ini, terutama sejak diketemukannya mikroskop dan piranti-piranti canggih ilmu kedokteran modern lainnya.
Untuk membuktikan kebenaran tulisan itu, Dr. Keith L. Moore lalu membaca dan mempelajari Al-Quran. Dan akhirnya, mau tidak mau ia harus terkagum-kagum kepada Al-Quran. Ternyata benar, Al-Quran memuat ayat-ayat yang menjelaskan tentang Embriologi secara lengkap dan tuntas.
Dr. Keith L. Moore, mengatakan, Apa yang tercantum dalam Al-Quran itu sungguh tidak mungkin terjangkau oleh pengetahuan medis pada abad ke-7 Masehi, ketika Nabi Muhammad
menyebarkan Islam. Ini suatu mukjizat.
Berdasarkan temuan ilmiah itulah Dr. Keith L. Moore kemudian masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang saleh. Dr. Keith L. Moore kemudian aktif menangani publikasi Perhimpunan Medika Islam Amerika Utara, Downers' Grove, Illinois, USA. Dengan tanpa keraguan sedikit pun Dr. Keith L. Moore mengatakan, bahwa rujukan ilmiah tentang perkembangan dan proses reproduksi manusia tersebar di berbagai ayat Al-Quran. Diawali dari QS. Az Zumar ayat 6, keyakinan Dr. Keith L. Moore mendapatkan pondasi ilmiah yang kukuh. Ditambah dengan QS. Al Mu'minun ayat 13-14. Lalu, ia menelusuri QS. Al Hajj ayat 5.
Menurut Dr. Keith Moore, penggambaran tentang fetus, yaitu embrio yang telah berkembang
di dalam uterus atau peranakan, baru muncul pertama kali pada abad ke- 15 oleh Leonardo da Vinci. Memang jauh sebelumnya pada abad ke-2, Galen pernah menggambarkan plasenta dan selaput-selaput janin dalam buku, On The Formation of The Foetus. Tetapi itu jauh berbeda dengan yang diuraikan pada abad ke-7. Ketika itu para ahli medis sudah tahu bahwa embrio
manusia berkembang di dalam uretus, hanya saja tak seorang pun yang mengetahui bahwa perkembangan itu berlangsung secara bertahap. Bahkan pada abad ke-15 pun belum di diskusikan, apalagi digambarkan. Setelah mikroskop ditemukan oleh Leeuwenhook pada abad ke-16, barulah penjelasan tentang tahapan permulaan embrio ayam diselidiki para ahli.
Pengetahuan tentang penahapan embrio manusia dan bentuknya setiap tahap tidak terbayangkan
hingga abad ke-20 ketika Streeter (1941) dan O'Rahilly (1972) mengembangkan system penahapan yang pertama kali. Apalagi tentang tiga lipat kegelapan yang ternyata maksudnya adalah tiga lapisan, yaitu dalam lapisan dinding perut, dinding rahim, dan selaput janin.
Al-Quran menjelaskan, Kemudian Kami menjadikan air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kukuh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan alaqah (sesuatu yang melekat), lalu
sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan
tulang belulang lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik."
Jika kita cermati lebih dalam, sebenarnya al-a’laq dalam pengertian etimologis yang biasa di terjemahkan dengan segumpal darah juga bermakna kepada penghisap darah, yaitu lintah.
Padahal tidak ada pengumpamaan yang lebih tepat ketika embrio berada pada tahap itu, yaitu
7-24 hari, selain seumpama lintah yang melekat dan menggelantung dikulit.
Embrio itu seperti menghisap darah dari dinding uretus, karena memang demikianlah yang sesungguhnya terjadi, embrio itu makan melalui aliran darah. Itu persis seperti lintah yang
menghisap darah. Janin juga begitu, sumber makanannya adalah dari sari makanan yang terdapat
dalam darah sang ibu. Ajaibnya, embrio janin dalam tahap itu jika diperbesar dengan mikroskop
bentuknya benar-benar seperti lintah.
Bisakah kita membayangkan bahwa saat itu Muhammad sudah memiliki pengetahuan sedemikian dahsyat tentang bentuk janin yang seperti lintah, lalu menulisnya dalam sebuah buku.
Padahal saat itu belum ditemukan mikroskop dan lensa. Kita tidak akan bisa membayangkannya.
Karenanya pengetahuan tentang embrio manusia yang mirip lintah, yang dijelaskan oleh Al-Quran tidak mungkin bersumber dari akal manusia.
Jelas itu adalah pengetahuan dari Tuhan, itu wahyu dari Allah, Tuhan seru sekalian, yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Masih ada bukti ilmiah lainnya, dari sudut pandang pelbagai bidang ilmu tentang kemukjizatan Al-Quran sebagai firman Allah. Akan tetapi rasanya saya sudah mengambil waktu yang cukup panjang. Tiga kisah ilmiah di atas kiranya sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan tentang keaslian Al-Quran sebagai wahyu dari Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Para pemirsa menjadi saksi, bahwa saya sudah menyampaikan kebenaran tak terbantahkan ini. Anda boleh percaya, boleh juga tidak percaya. Tidak ada paksaan untuk mengimani Al-Quran sebagai firman Allah. Dr. Gary Miller, Dr. Maurice Bucaille, dan Dr. Keith L. Moore mengimani
isi Al-Quran dan masuk Islam sama sekali bukan karena ada paksaan. Mereka mengimani Al-Quran dan memeluk Islam karena alasan-alasan yang sangat ilmiah. Tidak ada paksaan dalam
(menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan
jalan yang sesat?” Ayyas mengakhiri kalimatnya. Gadis itu nampak berubah mukanya.
Tubuhnya bergetar mendengar penjelasan Ayyas. Seorang pemirsa di studio, seorang ibu setengah baya bermantel cokelat muda mengangkat tangannya. Pembawa acara hampir mempersilakan ibu-ibu itu untuk berbicara, tetapi tiba-tiba Direktur Program memberi isyarat agar acara disela dengan iklan.
Direktur Program lalu mendekati pembawa acara dan minta disudahi saat itu juga. Sebab ada
kejadian luar biasa di Moskwa, yang memerlukan liputan khusus.
Direktur itu menjelaskan, bahwa ada bom meledak di lobby Metropole Hotel! Puluhan orang
tewas dan puluhan lainnya terluka. "Reporter kita sudah ada di sana. Pimpinan minta supaya
kita harus menyiarkan kejadian besar ini secara live! Kita harus paling dulu menyiarkan pengeboman ini!" Ucap Direktur Program dengan muka agak tegang.
Dr. Anastasia Palazzo, Ayyas dan pembawa acara serta siapa pun yang mendengar kabar itu
kaget dan tercengang. Bagaimana mungkin hotel legendaris itu bisa dibom? Bukankah penjagaan
di sana sangat ketat? Siapa yang tega melakukan tindakan keji itu? Apa tujuannya?
Ada banyak tanda tanya dalam benak mereka. Setelah jeda iklan, pembawa acara menyudahi
talk show pagi itu. Selanjutnya tayangan diganti laporan langsung dari Metropole Hotel, tempat
pengeboman yang mengguncang Moskwa.
"Kenapa Anda nampak tegang?" Tanya Ayyas kepada Direktur Program sebelum pamitan minta
diri.
"Adik kandung saya baru datang dari Saratov, tadi malam. Ia menginap di Metropole. Saya
kontak berkali-kali tidak bisa. Saya mengkhawatirkan adik saya." Jawab Direktur Program dengan wajah cemas.
"Saya doakan, semoga adik Anda selamat."
"Terima kasih. Penjelasan Anda tentang Al-Quran sedikit banyak telah membukakan mata saya. Jujur, saya baru tahu kalau Al-Quran sedahsyat itu."
"Akan lebih baik, jika Anda menilai Al-Quran setelah benar-benar membaca dan mempelajarinya dengan seksama."
"Saya berniat untuk itu."
"Itu niat yang baik sekali."

***


Siang itu mentari musim dingin menyibak tebalnya kabut kota Moskwa. Mentari itu nampak
indah memendarkan cahaya. Sinarnya menerpa hamparan putih salju, pantulannya menyilaukan
mata. Pantulan cahaya yang menusuk mata itu bisa menyulitkan pandangan. Bahkan bagi sebagian orang bisa membuat kepala pusing. Tak heran jika mentari yang menyilaukan itu sampai menjadi sebab terjadinya banyak kecelakaan di musim salju.
Ayyas merasa heran dengan suasana seaneh itu. Sebenarnya Moskwa musim dingin dengan salju bertumpuk-tumpuk dan langit biru terang disinari mentari luar biasa indah. Hanya saja, ada yang terasa aneh. Yaitu pantulan cahaya yang menyilaukan mata dan suhu udara yang tetap dibawah titik beku.
Dalam benaknya ia berpikir, jika mentari seterang itu, dan dari salju berpantulan cahaya semestinya udara menjadi hangat. Akan tetapi kenyataan yang dirasakannya sungguh aneh Angin yang berhembus justru semakin dingin seiring dengan semakin teriknya mentari. Ia bingung,
kenapa bisa terjadi demikian.
Ayyas melangkahkan kakinya melewati taman Fakultas Sejarah MGU yang sepenuhnya dibungkus salju. Doktor Anastasia berjalan mengikuti tak jauh di belakangnya. Ayyas membayangkan jika musim semi tiba taman itu pastilah akan nampak indah oleh bunga-bunga yang bermekaran warna-warni dan hamparan rumput yang hijau.
Dengan berjalan sedikit lebih cepat, Doktor Anastasia kini berjalan sejajar dengan Ayyas. Doktor muda itu nampak berseri-seri. Hatinya berbunga-bunga berjalan di samping Ayyas. Setelah acara talk show di stasiun televisi, mereka berdua sepakat untuk langsung ke kampus MGU. Ayyas ingin meminjam beberapa buku di perpustakaan, dan juga yang ada di ruangan koleksi Profesor Tomskii untuk ia bawa pulang dan ia baca di apartemennya. Sementara Doktor Anastasia harus mengajar mata kuliah penelitian sejarah untuk mahasiswa pasca sarjana.
"Talk show tadi terasa hangat, sayang ada pemboman sehingga terpaksa diputus di tengah
jalan." Gumam Doktor Anastasia sambil menengok ke arah Ayyas.
"Menurut Doktor, siapa pelaku pengeboman yang biadab itu?" Sahut Ayyas dengan tetap
mengarahkan pandangannya ke depan.

"Bisa jadi itu kerjaan mafia."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar