Jumat, 28 Maret 2014

Mahkota Cinta (Part 4)

Dua hari pertama di Pantai Dalam Kuala Lumpur, Zul sibuk mengurus berkas-berkas pendaftarannya ke Universiti Malaya. Dengan sabar Sugeng menemani dan mengantar ke sana kemari. Sugeng juga yang mengusahakan rekomendasi dari dua orang guru besar di Universiti Malaya (UM). Dan di hari ketiga berkas itu berhasil dimasukkan ke Institute Postgraduate Program (IPS). Zul mengambil program kerja kursus dan tesis di Fakultas Pendidikan Jurusan Sosiologi Pendidikan.
"Kita tinggal menunggu surat panggilan dari UM. Jika diterima nanti pihak IPS UM akan mengirim offer letter ke alamat kita. Dengan offer letter itulah nanti kamu mengurus registrasi dan lain sebagainya." Jelas Sugeng pada Zul setelah berhasil memasukkan berkas ke IPS.
"Berapa lama kita menunggu offer letter Mas?"
"Mungkin dua bulan lagi sudah kita terima. Sekarang yang paling penting kamu mempersiapkan biaya untuk registrasi jika diterima nanti. Jika ditotal paling tidak nanti kamu harus keluar uang tiga ribu ringgit lebih."
"Besar sekali ya Mas."
"Ini untuk pertama kali saja. Setelah itu tiap semester biaya SPP-nya terus turun. Kalau ditotal biaya kuliah di sini dengan di Indonesia kurang lebih sama. Namun jika kita bandingkan fasilitasnya, rasanya di sini lebih murah. Hanya saja biaya hidupnya di sini cukup tinggi. Tetapi dengan menyempatkan diri sambil bekerja, semua biaya bisa ditutupi. Sekali lagi yang agak berat itu memang biaya masuk awalnya."
"Saya harus menyiapkan tiga ribu ringgit lebih ya Mas."
"Iya."
Zul mengerutkan keningnya. Dalam waktu sekitar tiga bulan ia harus mencari uang sebanyak itu. Ia agak gamang, apakah ia bisa.
"Jangan kuatir, yang penting Zul berusaha dulu. Jika nanti masih kurang, saya akan bantu mencarikan pinjaman dulu. Yang penting, Zul bisa mulai kuliah untuk sesi Juli yang akan datang."
"Iya Mas, terima kasih atas segalanya. Saya akan berusaha keras. Tadi pagi setelah shalat Subuh Mas Rizal mengajak saya untuk kerja lembur di restoran sebuah hotel nanti malam."
"Kalau begitu ayo kita pulang sekarang Zul. Kau perlu istirahat untuk persiapan nanti malam. Sementara nanti pukul dua saya ada jadwal mengajar budak-budak Malaysia di Damansara."
"Ayo Mas, berarti kita shalat Zuhur di surau di bawah flat kita."
"Iya."
* * *

Sore itu menjelang Maghrib, Zul telah siap-siap untuk mulai kerja pertama kalinya di negeri Jiran. Ia begitu bersemangat. Sebab ia punya tujuan yang jelas untuk apa bekerja. Rizal senang melihat Zul bersemangat. Ia senang, sebab malam itu ada yang menemaninya. Selama ini ia biasanya sendirian saja.
"Kita harus sampai di Hotel Grand Season sebelum pukul setengah delapan. Pesta ulang tahun selebriti Malaysia ini akan berlangsung dari pukul delapan sampai pukul sebelas malam. Kita mungkin akan pulang sekitar pukul satu malam. Sebab selain kita bertugas menjadi pelayan yang menghidangkan makanan. Kita juga bertugas membersihkan peralatan setelah acara itu. Bagaimana kau siap Zul?"
"Siap Mas."
"Ayo kita berangkat."
Mereka berdua lalu turun dari flat. Lalu dengan sepeda Honda tua tahun tujuh puluhan mereka meluncur menyisiri jalan raya Kuala Lumpur.
"Kenapa tadi tidak memakai motornya Pak Muslim saja Mas? Lebih cepat." Kata Zul saat melihat Rizal berkali-kali melihat jam tangannya sambil mengendari sepeda motor tuanya.
"Memakai milik sendiri meskipun tua seperti ini rasanya lebih nyaman. Insya Allah tidak terlambat kok." Jawab Rizal.
"Semoga Mas."
Mereka berdua akhirnya sampai di Hotel Grand Season yang berada di kawasan Chow Kit tepat pukul 19.15. Mereka langsung shalat Maghrib. Selesai shalat Maghrib mereka mendapat briefing dari penanggung jawab restoran. Dan malam itu Zul bekerja dengan penuh hati-hati dan dedikasi. Ia begitu semangat, seolah tidak terasa lelah.
Dalam acara yang serba mewah dan glamour itu ia bisa melihat dari dekat selebritis-selebritis papan atas Malaysia. Termasuk diva pop Malaysia yang sangat terkenal di Indonesia. Hanya saja ia tidak berani kenalan, minta tanda tangan atau minta foto bersama. Dalam hati kecil ada juga sebenarnya keinginan untuk sekadar menyapa bahkan minta tanda tangan. Ia hanya membayangkan jika bisa foto bersama artis paling populer di Malaysia dan Indonesia itu, lalu bisa memasang foto itu di kamarnya, atau mengirim foto itu pada teman-temannya
di Batam, pastilah ia akan merasa bahagia.
Namun ia tak memiliki keberanian untuk melakukan itu semua. la juga merasa, sebagai pelayan, sangat tidak etis jika sampai berani melakukan hal itu. Di akhir acara, ia sempat diajak bicara oleh seorang wartawati sebuah stasiun televisi Malaysia. Cantik. Ia sangat tersanjung. Wartawati itu, entah iseng entah serius menanyakan ia berasal dari mana? Lulusan apa? Dan apa motivasinya kerja di restoran hotel itu? Ia menjawab semuanya dengan jujur. Bahwa ia berasal dari Indonesia. Lulus S.l dari sebuah universitas di Semarang. Dan kerja di situ karena harus survive dan harus bisa membayar biaya SPP-nya di UM. Wartawati itu agak terkejut.
"Jadi awak sekarang sedang buat master di UM?"
"Iya."
"Dan awak ini bekerja untuk bayar studi awak?"
"Iya."
"Wah boleh. Awak boleh dikata seorang wira sejati. Saya takjub sama awak. Kalau boleh tahu ambil fakulti apa?"
"Fakulti Pendidikan, spesialisasi Sosiologi Pendidikan."
"Terima kasih. Saya sangat kagum dengan awak.
Semoga berjaya. Ini kartu nama saya. Suatu masa nanti kita lanjutkan pembualan kita ya? O ya lupa lagi, siapa nama awak tadi?"
"Zul Hadi."
"Zul Hadi. Ada number yang bisa dikontak tidak?"
"Wah tak ada. Tapi saya ada alamat email mau?"
"A...boleh-boleh."
Zul lalu menyebutkan alamat emailnya. Wartawati itu mencatatnya di note book-nya. Lalu wartawati itu pergi sambil menganggukkan kepala dan melempar senyum kepadanya. Zul balas mengangguk dan tersenyum.
Pengalaman pertamanya kerja di Kuala Lumpur malam itu sangat mengesankan. Malam itu, ia pulang pukul setengah dua malam. Di tengah perjalanan hujan deras turun. Rizal nekat menerobos hujan itu. Dan malangnya, rantai sepeda motor tua itu putus. Jadilah mereka berdua jalan kaki sepanjang empat kilometer sambil menunrun motor. Mereka sampai di Pantai Dalam
pukul lima. Rizal minta maaf kepada Zul,
"Sorry Zul ya. Jika pakai sepeda Pak Muslim, mungkin kita tidak perlu jalan kaki sejauh itu."
"Tak apa-apa Mas. Malah jadi kenangan indah tak terlupakan."
"Ya. Nanti bisa kita ceritakan ini pada anak cucu kita hahaha."
"Hahaha."
Begitulah. Sejak itu Zul larut dalam dunia kerjanya. Ia benar-benar mati-matian bekerja. Siang dan malam. Demi bertahan hidup dan demi bisa membayar uang kuliahnya. Selain bekerja insidentil di hotel-hotel kalau ada acara-acara besar, secara rutin siang hari Zul bekerja di pom bensin selama enam jam. Rizal jugalah yang mencarikan kerja di pom bensin itu. Dan malam hari ia ikut Arif bekerja sebagai pelayan Jamaliah Cafe di daerah Taman Seputeh. Biasanya ia berangkat pukul tujuh malam dan pulang pukul tiga pagi. Nyaris ia hanya istirahat beberapa jam saja setiap hari. Karena kesibukannya itu, ia belum juga sempat mengambil barangbarangnya yang ia tinggal di rumah Mari, di Subang Jaya. Ia bahkan nyaris melupakannya.
Suatu hari ia hanya bisa mengirim SMS kepada Mari:
"Assalamu'alaikum Mbak Mari. Maaf ya, sy blm bs ke tmpt Mbak. Juga maaf pada wkt itu tdk smpt pamitan. Alhamdulillah sy sdh dpt kerja. Dan sdh dpt tmpt tnggl yg nyaman. Trs trng sy sdng sngt sibuk. Nnti jk sdh agak longgar sy k tmpt mbak untk ambil barang insya Allah. Terima kasih atas sgl kebaikannya ya. Dari adikmu: Zul." Dalam SMS itu ia mengatakan sebagai adik Mari.
Karena ia merasa Mari memang tepat dijadikan kakaknya. Dan saat bertemu untuk pertama kali ia merasakan Mari begitu baik. Dan seolah Mari menganggap dirinya sebagai adiknya.
Smsnya itu langsung dibalas oleh Mari,
"Wassalamu'alaikum wr wb. Alhdulillah kau ternyata masih hidup Aku smpat khwtir krn kau pergi dan dua bulan tdk ada kbrnya. Ya, smg sehat dan sukses. Barang-barangmu masih terjaga dgn baik di sini. Oh ya skdr informasi, jk nnti ke sini mngkn tak akan bertm Mbak Iin lagi. Dia sdh pulang ke Indonesia tiga hari yang lalu. Dan kemngkinan besar tidak akan kembali lagi ke sini. Terima kasih telah menganggapku sebagai kakak. Selamat bekerja. O ya apakah ini nomor hpmu? Salam sayang dari kakakmu: Mari."
Ia bahagia sekali membaca SMS itu. Ia merasakan bahwa Mari memang orang yang tulus. Menolong dirinya tanpa pamrih apapun. Terkadang terbersit dalam pikirannya andai saja Mari masih gadis dan umurnya lebih muda darinya. la merasa bisa jatuh cinta padanya. Cepat-cepat ia menepis pikiran yang tidak-tidak itu. lalu menjawab pertanyaan Mari,
"Mbak ini bukan nomor hp saya. Tapi nomor teman saya. Tapi saya punya alamat email. Jika ingin mengabarkan sesuatu kpd sy, ini alamatnya: zoel_guanteng@okaymail.com. Terima kasih." Ia lalu menerima jawaban singkat dari Mari,
"Ya. Baik."

* * *
Zul terus berjuang dan bekerja. Suatu hari datanglah surat dari Universiti Malaya. Zul benar-benar diterima di perguruan tinggi tertua di Malaysia itu. Dan setelah mati-matian bekerja siang dan malam selama tiga bulan, ia bisa membayar registrasi pascasarjananya. Namun uangnya habis untuk registrasi dan mengurus student pass. Padahal ia harus segera aktif kuliah. Ia tidak bisa lagi kerja full time seperti dulu. Tapi pemasukannya harus tetap seperti dulu. Ia agak bingung menyikapi hal itu. Apalagi jika ia harus naik bus setiap hari dari Pantai Dalam ke UM. Ongkos hidupnya jadi semakin bertambah.
Apa yang ia hadapi itu ia sampaikan kepada Yahya, orang saat ini ia anggap paling dekat dengannya. Sebab Yahya tinggal satu kamar dengannya. Yahya menyimak apa yang disampaikan Zul dengan penuh perhatian. Ia menjadi pendengar yang baik. Setelah Zul menyampaikan masalahnya secara tuntas, Yahya menanggapi,
"Bisa disiasati. Sesungguhnya setiap kali Allah menghadapkan manusia pada satu masalah, sebenarnya Allah juga menyiapkan jalan keluarnya. Inna ma'al 'usriyusra. Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada kemudahan. Begitulah Al-Quran membahasakan. Apa yang kaualami sekarang ini pernah saya alami. Kau masih lebih beruntung Zul, sebab bisa bayar registrasi tanpa berhutang. Saya dulu sampai berhutang. Mari kita petakan apa yang kau hadapi satu per satu.
"Jika kau aktif kuliah artinya waktumu untuk bekerja di siang hari sangat sedikit. Tapi kau bisa bekerja Sabtu dan Minggu. Sebab masa aktif kuliah cuma lima hari. Tapi saya sering lihat juga, bahwa untuk pascasarjana fakulti pendidikan sering masuk sore hari. Sebab mahasiswa dari pribumi Malaysia banyak yang dari kalangan guru. Pagi mereka mengajar, baru mereka bisa masuk kuliah sore hari. Yang paling penting, kau harus pastikan jadwal kuliah secepatnya. Baru bisa menata kapan dan di mana kau bisa kerja. Dan ada lagi yang juga sangat penting Zul, yaitu mulai sekarang kau harus memiliki sepeda motor sendiri. Selama ini kau bisa pinjam Rizal, Pak Muslim, atau siapa saja yang sepeda motornya nganggur. Tapi sekarang tidak bisa Zul. Kau sudah punya jadwal kuliah. Dan kau akan punya jadwal kerja sendiri, yang berbeda dengan Rizal sekalipun. Kalau kemarin kau bisa berangkat kerja bersama Rizal, sekarang belum tentu bisa.
"Menurut saya, sepeda motor sudah kebutuhan primer bagi mahasiswa UM. Tidak sekunder lagi. Bahkan kalau disuruh memilih penting mana sepeda motor sama komputer? Saya akan langsung jawab; penting sepeda motor. Kita tidak akan leluasa bergerak tanpa sepeda motor. Tapi kita masih bisa mengerjakan tugas dengan baik meskipun tidak memiliki komputer. Sebab di kampus
fasilitas komputer sangat berlebih. Di mana-mana ada komputer dan internet. Itu yang bisa saya sarankan Zul."
Zul memikirkan dan merenungi saran Yahya benar. Apa yang disarankan Yahya ia rasakan banyak benarnya. Ia harus punya sepeda motor meskipun tua dan butut. Akhirnya dengan memberanikan diri, ia meminjam uang pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor. Ia membeli sepeda motor yang murah, Suzuki tahun tujuh puluhan akhir.
"Yang penting bisa jalan dan mengantarkan sampai tujuan." Gumamnya dalam hati.
Setelah itu ia melihat jadwal kuliahnya. Dan menata jadwal kerjanya. Dengan terpaksa kerja di pom bensin ia tinggalkan. Sebab kerja di pom bensin itu banyak bertabrakan dengan jadwal kuliahnya. Sebagai gantinya ia kerja di warung runcit. Berangkat pukul delapan sampai pukul dua siang. Setiap hari. Jadwal kuliahnya banyak di sore hari. Mulai pukul tiga atau pukul empat.
Dan seringkali selesai pukul sembilan malam. Di atas pukul sembilan masih ia gunakan untuk bekerja di kedai Jamaliah Cafe. Hanya dua jam setengah saja. Dari pukul setengah sepuluh sampai pukul dua belas malam. Ia hanya punya waktu untuk belajar setelah shalat Subuh. Dan itu ia gunakan sebaik-baiknya. Jika setelah Subuh ia tidak belajar itu artinya ia tidak punya waktu lagi untuk belajar. Maka baginya waktu setelah shalat Subuh sangat mahal. Ia merasa beruntung tinggal satu kamar bersama Yahya. Sebab Yahya punya kebiasaan belajar setelah
shalat Subuh.
"Saya belajar setelah shalat Subuh ini sejak di SD. Saya ini aneh, untuk buku-buku yang serius saya hanya bisa konsentrasi jika membacanya pada pagi hari. Ya setelah shalat Subuh itu. Biasanya kalau yang saya baca setelah shalat Subuh itu banyak melekatnya di otak." Kata Yahya pada Zul suatu ketika.
"Dan lagi setelah shalat Subuh itu waktu yang penuh barakah. Baginda Nabi sudah menjelaskan bahwa barakah untuk umatnya diturunkan pada waktu pagi. Jika kita ingin dapat banyak barakah ya berarti kita harus menghidupkan waktu pagi kita. Waktu Subuh dan setelah Subuh kita." Sambung Yahya.
"Wah cocok sekali apa yang Mas Yahya sampaikan dengan fenomena yang saya amati. Itu orang-orang China yang kaya-kaya. Baik di Indonesia atau di Malaysia, mereka itu selalu membuka toko dan dagangannya pagi-pagi sekali. Saya punya teman di Batam, dia pernah menjadi pembantunya orang China di Jakarta. Dia cerita, tuannya itu sudah bangun pagi sejak pukul empat pagi. Begitu bangun pagi langsung melihat siaran televisi dunia. Melihat indeks harga saham dunia. O jadi nyambung sama barakahnya waktu pagi."
"Iya Zul. Semestinya kita harus bangun lebih pagi dari orang China."
"Benar Mas."

Tak terasa Zul telah melewati satu semester. Selama itu ia seperti tidak mengenal siang dan malam. Hari-harinya ia lewati dengan bekerja dan belajar. Bekerja dan belajar. Ia tampak lebih kurus dari hari pertama saat ia tiba di Malaysia. Hidup setengah tahun lebih bersama Yahya membuatnya lebih banyak tahu tentang ajaran agamanya. Ia yang selama ini tidak mendapat pengajaran agama secara mendalam, banyak mendapat masukan-masukan tentang keindahan Islam. Sedikit demi sedikit Yahya memberikan pencerahan, tanpa terasa. Tidak ada waktu khusus mengaji pada Yahya. Cukuplah interaksi harian menjadi tempatnya menimba ilmu.
Malam itu Kuala Lumpur hujan deras. Zul bangun dan shalat Tahajjud. Di keheningan malam itu ia memuhasabahi dirinya sendiri. Ia merenungi perjalanan hidupnya selama ini. Banyak sekali tingkah lakunya yang jauh dari perilaku yang dibenarkan oleh agama. Ia jadi teringat masa SMA-nya dulu. Ia pernah pacaran dengan anak SMA tetangga desa. Ia pacaran diam-diam. Pakdenya, yang menjadi pengasuhnya, tidak pernah tahu. Ia pernah pergi dengan pacamya itu malam mingguan di Simpang Lima Semarang. Dan astaghfirullah ia bergandeng tangan dan duduk berpelukan mesra dengan pacarnya itu sambil nonton ramainya kawasan Simpang Lima. Ia putus dengan pacarnya, setelah lulus SMA.
Pacarnya itu dikawinkan paksa oleh orangtuanya. Dan ia tidak memberitahukan hal itu kepadanya. Tahu-tahu ia mendapat kabar pacarnya sudah kawin dan hidup bersama suaminya di luar Jawa. Ia sempat sakit hati. Lalu saat kuliah di IKIP ia sempat pacaran lagi. Hanya bertahan
dua bulan. Ia putuskan pacarnya itu setelah ia tahu pacarnya itu temyata punya pacar selain dia. Ia sakit hati. Setelah itu ia tidak pernah pacaran lagi. Dua kali ia dikhianati perempuan, dan baginya itu cukup. Ia tak mau lagi.
Ia bersyukur kepada Allah yang menjaganya, hanya dua kali saja pacaran. Dan tidak sampai melakukan yang lebih dari sekadar bergandeng tangan dan berpelukan. Ia tidak bisa membayangkan jika Allah tidak menjaganya. Mungkin ia telah berbuat maksiat yang lebih besar
lagi madharatnya.
Dari Yahya ia tahu bahwa tidak halal menyentuh tubuh perempuan yang bukan mahramnya. Tidak halal berasyik-masyuk dengan perempuan yang bukan isterinya. Pacaran adalah cara setan menggiring umat manusia agar jatuh pada perbuatan nista yang dikutuk semua agama, yaitu zina. Banyak orang melakukan pacaran yang karena masih disayang Allah—diselamatkan oleh Allah dari dosa besar itu. Namun tidak terhitung jumlahnya manusia yang melakukan pacaran dan akhirnya jatuh ke lembah nista itu, yaitu melakukan perzinahan berulang-ulang kali.
Zul jadi merinding mengingat hal itu. Berulang-ulang kali ia mengucapkan istighfar. Ia membayangkan seperti apa besar dosanya. Berapa kali ia bermesraan dan berpelukan dengan perempuan yang tidak halal baginya.
"Astaghfirullahal adhim. Ya Allah ampuni dosadosaku. Ampuni kebodohanku. Ampuni perbuatan-perbuatan jahiliyahku."
Ia menangis bila mengingat yang terjadi pada teman satu kelasnya di SMA. Dua sejoli si Fulan dan si Fulanah. Mereka berpacaran dan kebablasan. Si Fulanah hamil. Keduanya mengakui perbuatan keji itu pada pihak sekolah. Akhirnya keduanya dinikahkan oleh keluarga mereka. Dan tepat satu minggu sebelum ujian akhir keduanya dikeluarkan dari sekolah. Sebelum pergi ke
Jakarta ia mendengar kabar keduanya cerai. Lebih menyedihkan lagi si Fulanah kabarnya bekerja di Sunan Kuning dan si Fulan dipenjara karena terlibat curanmor.
Jika Allah tidak mengasihinya, bisa jadi nasibnya lebih buruk dari si Fulan dan si Fulanah. Sebab saat ia pacaran ia nyaris pernah melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan pacarnya. Zul kembali menangis mengingat hal itu,
"Ya Allah kalau tidak Kauselamatkan diriku. Akan jadi apakah diriku ini? Akan jadi budak setankah? Akan jadi makhluk yang durhaka kepada-Mu kah? Ya Allah, terima kasih ya Allah telah menyelamatkan diriku. Ya Allah aku ingin hidup lurus di jalan-Mu. Ampunilah dosadosaku
yang telah lalu. Limpahkanlah hidayah-Mu dan jagalah diriku dari perbuatan maksiat dengan penjagaan-Mu yang tidak pernah luput sekejap pun juga."
Di akhir muhasabahnya ia teringat kebersamaannya dengan teman-temannya. Juga perjumpaannya dengan Linda. Ia mohon ampun kepada Allah jika ada perbuatannya yang dosa, juga memintakan ampun kepada Allah untuk Mari, Iin, Sumi dan Linda. Walau bagaimanapun Mari telah memberikan pertolongan padanya.
Pagi harinya entah kenapa ia merasa ingin bersilaturrahmi ke rumah Mari di Subang Jaya. Beberapa kali ia menepis keinginan itu. Ia katakan pada dirinya bahwa besok-besok masih ada waktu untuk mengambil barangbarangnya.
Namun keinginannya untuk pergi ke rumah Mari entah kenapa terus mendesaknya.
Pada akhirnya ia tetap merasa harus bersilaturrahmi hari itu dan pagi itu juga. Ya, bersilaturrahmi sekadarnya saja. Sambil mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di sana. Ia belum mengucapkan terima kasih secara langsung pada Mari. Selain itu ia masih memegang kunci rumah itu. Ia benar-benar lupa kalau memegang kunci milik Linda. Ia harus mengembalikan kunci itu segera.
Pagi itu tepat jam delapan, setelah sarapan roti canai ia langsung ke stasiun KTM. Ia tidak membawa apa-apa.
Kecuali tas cangklong hitamnya. Ia bahkan tidak memakai sepatu, hanya memakai sandal jepit hitam. Dari stasiun Pantai Dalam ia ke KL Sentral. Lalu dari KL Sentral ia naik bus ke Subang Jaya. Di tengah perjalanan ketika bus baru keluar dari KL Sentral hujan turun dengan deras.
Bus tetap melaju dengan tenang. Zul menikmati indahnya kota Kuala Lumpur dalam siraman air hujan. Air mengalir dengan teratur ke selokan-selokan yang diatur rapi. Paru-paru kota yang ada di hampir setiap sudut kota menyerap air hujan dengan segera. Tak ada banjir tak ada air menggenang. Zul boleh salut pada tata kota Kuala Lumpur. Bus melaju dengan kecepatan sedang dan sampai di Subang Jaya pukul sepuluh siang.
Zul turun dari bus. Hujan masih turun rintik-rintik. Ia menutup kepalanya dengan tas hitamnya. Iaberjalan sambil mengingat-ingat jalan menuju rumah Mari.
Sambil berjalan ia meraba saku celananya untuk meyakinkan bahwa kunci yang dulu dipinjamkan oleh Linda telah terbawa. Ia meraba dan menemukannya. Ia melangkah dengan cepat. Ia telah memasuki kawasan Taman Subang Permai. Ia ingat jalan depan belok kanan.
Rumah keempat dari ujung jalan itulah rumah Mari. Tiba-tiba hatinya berdegup kencang. Ia teringat Linda. Yang ada di rumah itu pada waktu siang biasanya adalah Linda. Yang lain pergi kerja. Dan hujan-hujan begini ia akan mengetuk rumah itu dan bertemu Linda. Yang bisa jadi ia akan mengenakan pakaian yang tidak menjaga susila seperti dulu lagi. Ia jadi ragu. Antara
meneruskan langkah atau pulang. Sementara rinai hujan masih terus turun. Akhirnya ia nekat tetap maju meneruskan langkah. Niatnya adalah mengembalikan kunci, mengambil barang-barangnya, dan menyampaikan rasa terima kasih. Bukan yang lain. Ia meniatkan diri untuk tidak lama di rumah itu. Mungkin cuma dua atau tiga menit saja. Ia bisa beralasan sibuk pada Linda.
Sejurus kemudian Zul sudah sampai di depan rumah Mari. Ada mobil Proton Saga berwarna merah hati di depan gerbang. Pintu besi rumah itu terbuka. Namun pintu kayunya tertutup rapat. Artinya ada orang di dalam.
Tiba-tiba ia mendengar suara barang dibanting. Seperti piring. Hujan kembali turun semakin lebat. Ia mempercepat langkah menuju teras. Bersama suara guntur yang menggelegar ia mendengar suara perempuan menjerit-jerit minta tolong dari dalam rumah. Ia kaget. Spontan ia lari ke pintu. Ia menggedor-gedor pintu. Pintu terkunci.
Ia ingat, bahwa ia membawa kunci rumah itu. Suara perempuan dari dalam rumah kembali menjerit-jerit minta tolong.
"Toloong, tolooong! Jangan! Jangan!"
Halilintar kembali menyambar. Ia menyangka suara itu adalah suara Linda yang mungkin hendak dianiaya oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Walaupun ia tidak suka dengan perbuatan dan cara berpikir Linda, tapi ia merasa perempuan itu tetap harus ditolong. La membuka pintu. Dan...
Alangkah terkejutnya ia. Di ruang tamu itu ia melihat Mari tengah bergelut melawan seorang lelaki gundul bertubuh besar yang hendak merogolnya. Mari meronta ronta sekuat-kuatnya. Kedua kakinya menendang nendang.
Pakaiannya bagian atas tidak sempurna lagi menutupi tubuhnya. Ia melihat Mari mati-matian
mempertahankan celana jeansnya yang hendak dilepas paksa. Melihat kemungkaran itu emosi Zul tidak tertahankan lagi. Darahnya mendidih. Ia langsung membentak dengan sekeras-kerasnya,
"Hai bajingan! Berhenti kau! Kurang ajar!"
Bersama dengan meluncurnya bentakan keras dari mulutnya ia langsung melompat menendang lelaki itu, tepat saat lelaki itu kaget dan menoleh ke arahnya. Tendangan itu mengenai muka lelaki gundul itu. Tepat di hidungnya. Tak ayal tubuh lelaki gundul itu terpelanting dari atas tubuh Mari. Mari langsung bangkit dan lari ke pojok ruangan sambil mendekap tubuhnya yang gemetar ketakutan.
"Bangsat! Siapa kau berani mencampuri urusanku!"
Lelaki itu berdiri dengan amarah memuncak di ubunubunnya. Ia memegangi hidungnya yang terasa sakit. Zul tidak gentar. Ia pernah dikeroyok oleh preman Pulo Gadung dan tidak mat! meskipun saat itu tidak bisa dikatakan ia menang atau kalah. Yang jelas ia tidak mati. Zul balik menggertak,
"Justru seharusnya aku yang harus bertanya. Siapa kau bajingan berani kurang ajar sama kakakku!"
"Apa? Mari itu kakakmu! Dasar penjahat. Rupanya kau ya yang membawa lari Mari kemari. Ketahuilah aku adalah Warkum, suami Mari yang sah. Aku ingin membawa dia kembali ke rumahku!"
"Dasar bajingan iblis! Kau bukan suamiku lagi! Aku tidak sudi melihatmu apalagi kembali padamu!"
"Tutup mulutmu perempuan sundal! Mau tidak mau kau tetap isteriku! Dan kau kucing alas, jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain ya! Atau...."
"Atau apa? Aku sudah tahu semuanya. Kau dan Mari tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kau boleh bawa Mari ke mana saja asal bisa melangkahi mayatku!"
"Kurang ajar!"
Lelaki botak itu mengayunkan pukulan tangannya dengan sekuat tenaga. Jika pukulan itu mengenai dada Zul, bisa jadi dada yang tipis itu akan rontok. Tapi Zul yang sudah pernah belajar karate saat kuliah dan pernah berkelahi dengan preman dengan tenang mengelit sambil
menyarangkan tendangan ke perut Warkum. Warkum terhuyung. Emosinya semakin menghebat.
"Setan alas!"
Ia langsung mengambil kursi plastik dan mengayunkan ke kepala Zul. Zul menghindar. Warkum terus memburu. Satu sabetan Warkum mengenai pelipis Zul.
Langsung berdarah. Di pojok ruangan Mari menjerit histeris. Zul berusaha tetap tenang. Ia mencopot sandalnya yang ia rasa mengganggu gerakannya. Ia mencari peluang untuk menyarangkan serangan yang telak. Warkum terus memburunya dengan ganas.
Melihat darah mengalir di pelipis Zul, semangat Warkum untuk membunuh semakin membara. Pada saat Warkum merasa bisa menghantam Zul dengan kursi plastiknya ia langsung mengerahkan segenap tenaganya. Sabetan itu sangat keras. Pada saat menyabet kaki Warkum tidak kokoh menapak di bumi. Dengan gesit Zul mengelak dengan menjatuhkan diri ke lantai. Lalu ia melakukan tendangan memutar sekeras-kerasnya ke arah kemaluan Warkum. Tendangan itu sangat cepat dan keras. Tendangan itu yang tak lain adalah jurus buaya mengibaskan ekor yang pernah ia pelajari dari Mbah Tarmidi yang dikenal sebagai guru silat di desanya. Kekuatan yang digunakan menyerang dalam tendangan itu adalah kekuatan putaran kaki dan senjata untuk melakukan serangan adalah kerasnya tumit kaki. Tendangan Zul sangat akurat.
Akibatnya...

"Plakk!"
Tendangan Zul tepat mengenai sasaran. Tumitnya menghantam kemaluan Warkum dengan sekeras kerasnya. Warkum langsung terjengkang dan mengerang kesakitan. Kursi plastik itu terlepas dari tangan Warkum. Zul tidak mau membuang kesempatan. Ia langsung menyarangkan tendangan keras ke rahang Warkum. Warkum kembali mengaduh.' Ia berusaha bangkit. Namun Zul langsung memukulnya dengan kursi kayu sekeras-kerasnya. Warkum mengerang sambil
mengucapkan kata-kata kotor. Zul melihat televisi yang telah hancur. la angkat televisi itu dan ia tumpukkan ke muka Warkum. Muka itu langsung luka dan berdarah.
Seketika itu Warkum mengaum minta ampun.
"Sudah aku mengaku kalah! Aku tidak akan mengganggu kalian lagi. Tolong maafkan aku!" teriak Warkum sambil memegangi kemaluannya.
Zul melihat ke arah Mari.
"Mbak mau memaafkan dia?" tanya Zul.
Mari menggelengkan kepala.
Zul melangkah ke kamar Mari yang terduduk gemetar di pojok ruangan. Ia pernah melihat ada palu di bawah meja rias. Jika tidak dipindah palu itu pasti masih ada di sana. Dan benar palu itu masih ada di sana. Zul langsung memungutnya. Sementara Mari masih mematung di pojok ruang tamu. Warkum berusaha bangkit. Pada saat ia mau bangkit Zul telah kembali ke ruang itu dan langsung menendang kepala Warkum yang gundul itu sekeras-kerasnya. Warkum langsung mengaduh,
"Ampun tolong. Aku mengaku kalah! Biar aku pergi! Ampuni aku!"
Kini tangan kanan Zul memegang palu erat-erat.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?"
Mari menggelengkan kepala.
Begitu melihat Mari menggelengkan kepala, Zul langsung memukulkan palu yang ada di tangan
kanannya itu ke jari kaki kanan Warkum sekeraskerasnya.
Zul memukulnya dengan cepat tiga kali berturut-turut. Warkum merasakan tulang jari kakinya
remuk. Ia menjerit sekuat-kuatnya minta ampun.
"Bagaimana Mbak Mari mau memberi ampun?" tanya Zul.
Mari diam saja. Warkum memandang Zul yang saat itu berwajah sangat dingin. Ia berusaha menyeret tubuhnya ke belakang.
"Berhenti di tempat! Atau aku pukul gundulmu sampai pecah. Aku tahu kau bajingan dan punya anak buah banyak. Tapi kau harus tahu aku ini tahu bagaimana cara memecah dan meremuk tulang kepala seorang penjahat seperti kamu. Tahu!" Zul membentak. Warkum seketika diam tak berani bergerak. Ia sudah benar-benar tidak berdaya.
"Bagaimana Mbak Mari, mau mengampuni penjahat ini?" Zul kembali bertanya pada Mari.
Mari kembali menggelengkan kepala. Zul langsung mendekati Warkum. Warkum mengaduh minta ampun.
"Letakkan tangan kananmu di lantai!" Perintah Zul. Warkum malah menggenggam tangan kanannya dan tangan kirinya seolah-olah hendak melindunginya.
"Dengar, sekali lagi letakkan tangan kananmu di lantai atau aku akan menghancurkan kemaluanmu dan kau akan mampus saat ini juga!" Gertak Zul dengan muka merah padam. Warkum yang tak punya nyali itu dengan tubuh gemetar meletakkan tangan kanannya di lantai.
"Hmm itu ya tangan yang selama ini digunakan untuk menjahati dan menodai kaum perempuan. Baik nih rasakan!"
Zul memukulkan palunya ke jari-jari Warkum dengan keras beberapa kali. Warkum merasakan sakit luar biasa. Sampai ia tidak bisa lagi menjerit.
"Ini pertanyaan saya terakhir, Mbak Mari mau mengampuni penjahat ini? Jika tidak palu ini akan
mengeluarkan otak penjahat ini dari batok kepalanya. Biar dia mampus di sini dan tidak akan mengganggu Mbak Mari lagi!"
Mendengar kata-kata itu Warkum kembali memohon ampun. Warkum melihat bahwa ancaman Zul bukan gertak sambal saja. Ia melihat pemuda kurus yang menghajarnya ini punya nyali yang luar biasa dan jika nekat matanya seolah buta.
"Mari, to... tolong maafkan aku! Aku tak ingin mari. A... aku khilaf. A... aku janji tidak akan mengganggumu lagi dan tidak akan menampakkan wajah di hadapanmu lagi!" Kata Warkum mengiba dengan suara terbata-bata.
"Bagaimana Mbak Mari? Ini pertanyaan saya terakhir!" tanya Zul dengan wajah dingin.
Mari bangkit dan melangkah lalu meludahi Warkum.
"Saat ini aku belum bisa memaafkan dia Zul. Tapi biarkan dia pergi. Biarkan dia hidup. Jika kau bunuh dia nanti urusannya panjang!"
"Aku tahu dunia preman. Urusannya tidak akan panjang Mbak. Kalau mau biar kubereskan dia. Sampah seperti dia inilah yang merusak kesucian anak gadis di mana-mana. Dia tak pantas hidup!"
"Biarkan dia pergi Zul!"
"Baik Mbak."
Warkum langsung berkata,
"Te... terima kasih Mari!"
"Hei, cepat pergi. Sebelum aku berubah pikiran! Ingat, hari ini kau berhutang nyawa pada Mbak Mari. Sebab jika tidak karena dia menyuruh membiarkanmu pergi, gundulmu itu pasti sudah hancur! Cepat pergi!" Bentak Zul dengan mata dipelototkan.
Dengan susah payah Warkum bangkit. Zul mengambil kain penutup meja dan melempar ke muka Warkum.
"Hei, usap lukamu dengan ini!"
Warkum berdiri. Ia mengusap darah yang mengalir dimukanya. Juga darah yang keluar dari jari-jari tangan kanannya yang hancur. Dengan langkah pincang tertatihtatih ia berjalan keluar rumah. Di luar hujan tinggal menyisakan gerimis. Zul mengikuti sampai di pintu. Ia mengamati Warkum dengan pandangan dingin. Susah payah Warkum masuk ke dalam mobilnya. Ia lalu menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Begitu deru mobil itu tidak terdengar lagi Zul masuk dan langsung duduk di sofa.
Mari langsung menghambur bersimpuh menangis di kaki Zul. Mari menangis terisak-isak mengucapkan rasa terima kasih dengan terbata-bata. Zul terpana sesaat seakan hilang kesadaran. Ia mematung tak tahu harus berbuat apa menerima luapan keharuan Mari yang ditumpahkan sepenuhnya kepadanya. Beberapa saat kemudian kesadarannya pulih kembali.
"Mbak Mari sudahlah. Tolong Mbak bangkit ke kamar dan merapikan pakaian Mbak!" Ucap Zul pelan.
Mari menghentikan isakannya. la melihat tubuhnya sendiri. Barulah ia menyadari ada bagian tubuhnya yang seharusnya tertutupi tapi tidak tertutupi. Baju yang seharusnya menutupi aurat itu sobek. Dan penutup aurat di bawah baju telah putus dan tidak lagi menempel di badannya. Ia tidak menyadari hal itu sebelumnya karena ketegangan dan ketakutan luar biasa.
Begitu sadar muka dan perasaannya berubah seketika, dari haru menjadi malu. Mari langsung
melindungi bagian itu dengan menutupkan bajunya yang sobek, lalu menyilangkan kedua tangannya ke dada. Kemudian ia bangkit dan bergegas ke kamarnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menunjukkan bahwa ia malu luar biasa.
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia memejamkan kedua matanya. Punggungnya ia sandarkan sepenuhnya ke sofa. Ia tak membayangkan akan pernah berkelahi dengan penjahat yang hendak memperkosa seorang wanita seperti yang baru saja terjadi. Ia jadi teringat keinginannya yang sangat kuat untuk pergi ke rumah ini. Keinginan yang tidak bisa ditepisnya sama sekali. Rupanya ia harus datang untuk membela orang yang pernah berbuat baik padanya.
Zul menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memejamkan kedua matanya sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Inilah untuk kedua kalinya ia bertarung dengan penjahat. Dan kali ini ia menang. Ia merasa puas karena bisa memberi ganjaran setimpal pada penjahat berkepala gundul itu.
Mari masih berada di dalam kamarnya.
Zul kembali menarik nafas. Tiba-tiba ia merasa ada yang mengalir di ujung mata kanan turun ke pipi. Ia raba. Darah. Darah itu mengalir dari pelipisnya yang luka. Namun ia yakin luka itu tidak parah. Paling hanya sobek beberapa senti saja. Ia merasa itu hanya luka kecil yang dalam beberapa hari akan sembuh.
Mari keluar dari kamarnya dengan wajah yang lebih cerah. Pakaiannya rapi. Blues merah muda lengan panjang dengan bawahan celana kulot merah marun. Jika diperhatikan dengan sedikit serius penampilannya tampak anggun. Ia menggelung rambutnya dengan sederhana. Sehingga tidak lagi awut-awutan. Tampaknya ia telah membasuh mukanya, dan telah berusaha menghapus bekas-bekas tangis dari wajahnya. Meskipun tidak benar-benar berhasil.
Zul masih memejamkan mata sehingga tidak menyadari ketika Mari keluar dari kamarnya dan
memandangnya beberapa saat lamanya. Posisi Zul membelakangi pintu kamar Mari. Sehingga Mari tidak melihat Zul dari depan. Mari mendekat. Dan ketika melihat wajah Zul ia kaget.
"Zul, kau luka Zul! Kau berdarah Zul, ya Allah ya Rabbi!" Ucap Mari setengah berteriak.
Zul mengerjapkan matanya. Dan langsung menyahut,
"Ah tidak apa-apa kok Mbak. Cuma luka kecil saja."
"Tapi darahnya sampai mengalir ke dagu begitu. Harus segera diusap dan dibersihkan. Sebentar Zul."
Mari kembali ke kamarnya. Ia mengambil kapas dan obat merah.
"Sini Zul biar aku bersihkan dan aku obati!" Kata Mari lagi sambil membawa kapas dan obat merah.
"Tidak usah Mbak. Sini kapas dan obat merahnya biar aku obati sendiri. Sekalian aku mau ke kamar kecil." Sergah Zul.
Mau tidak mau Mari menyerahkan kapas dan obat merah pada Zul. Saat itu Mari ingin sekali mengusapkan dan membersihkan darah orang yang telah membela kehormatannya. Ia rasanya ingin langsung membalas segala kebaikan Zul. Mari memandangi Zul yang melangkah ke kamar kecil dengan pandangan yang susah untuk diartikan. Pandangan merasa berhutang budi, sayang, kagum, kasihan, juga cinta. Zul mengusap lukanya dengan kapas. Lalu membasuh dengan air. Darah dari lukanya mulai berhenti. Setelah mengeringkan lukanya itu dengan kapas, ia mengobatinya dengan obat merah. Setelah itu ia keluar. Mari menunggunya di sofa. Ia duduk tak jauh dari Mari.
"Harus bagaimana aku berterima kasih padamu Zul?" Mari mengawali pembicaraan.
"Tak perlu berterima kasih pada saya Mbak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Itulah kewajiban manusia jika melihat kemungkaran." Tiba-tiba Mari terisak-isak,
"Kau telah menyelamatkan kehormatanku Zul. Kalau tadi tidak ada kau, entah apa jadinya diriku saat ini. Mungkin aku telah bunuh diri Zul!"
"Berterima kasihlah pada Allah Mbak. Allahlah yang menggerakkan kedua kaki saya untuk bertandang ke sini pagi ini."
Mari sepertinya tidak mendengar kalimat yang diucapkan Zul. la menundukkan mata dan larut dalam tangisnya. Dadanya dipenuhi rasa haru dan rasa syukur yang membuncah-buncah. Beberapa saat lamanya hanya isak tangis Mari yang terdengar. Zul hanya bisa diam di tempatnya.
"Terima kasih Zul, kau telah menyelamatkan kehormatan dan kesucianku. Kehormatan yang selama ini aku jaga mati-matian. Tanpa kehormatan itu aku merasa akan hidup sia-sia. Aku sangat berhutang budi padamu."
Mari kembali mengucapkan rasa terima kasih dengan sepenuh jiwanya pada Zul. Zul bisa merasakan itu. la hanya bisa menjawab pelan,
"Ingatlah Allah Mbak. Berterima kasihlah pada Allah."
"Iya Zul, iya. Allah masih menyayangiku Zul. Allah masih menyayangiku."
"Iya Allah masih menyayangi Mbak. Dan semoga terus menyayangi Mbak."
"Allahlah yang mengatur kau datang tepat pada wakrunya."
"Iya Allahlah pengatur kehidupan ini Mbak."
"Aku tak pernah menyangka penjahat itu bisa datang ke rumah ini. Sungguh aku sama sekali tidak menyangka." Guman Mari sambil mengangkat muka dan menghapus airmatanya.
"Bagaimana ceritanya, semua ini bisa terjadi Mbak. Dan Mbak kok di rumah? Apa Mbak sedang libur?"
"Begini lho Zul ceritanya. Sebenarnya aku tidak libur. Pagi ini aku mencuci sampai jam delapan. Aku mau berangkat kerja jam sembilan. Teman-teman sudah berangkat pukul setengah delapan. Kira-kira jam sembilan kurang seperempat aku sudah siap untuk berangkat. Tiba-tiba hujan turun deras sekali. Aku mencari-cari payung tidak ada. Aku baru ingat kalau payungku dipinjam sama temanku yang tinggal di Kelana Jaya. Akhirnya aku telpon ke kantor tempat aku kerja untuk dijemput. Ternyata tidak ada mobil yang nganggur. Semuanya sedang dipakai. Tapi pihak kantor
juga bilang, jika ada mobil nganggur akan segera menjemputku.
“Karena hujan sangat deras, aku diminta tetap di rumah saja. Jika terpaksa tidak ada mobil, aku diberi ijin untuk datang setelah Zuhur. Bahkan boleh libur.
“Akhirnya aku santai di ruang tamu ini dengan tetap memakai pakaian yang biasa aku gunakan kerja. Pukul sepuluh kurang sepuluh menit aku mendengar mobil menderu. Lalu orang mengetuk pintu. Aku tidak curiga sedikit pun. Kukira itu adalah orang kantor yang datang menjemputku.
"Tanpa curiga, aku langsung membuka pinta lebar-lebar. Alangkah terkejutnya diriku ternyata yang datang adalah si Warkum. Aku hendak menutup pintu kembali, tapi sudah terlambat. la berhasil menerobos masuk bahkan langsung mengunci pintu itu. Lalu ia memintaku untuk menuruti keinginan nafsunya. Jelas aku menolak. Aku lebih baik mati daripada menyerahkan kehormatanku padanya. Ia kalap. Amarahnya memuncak.
Pandanganya buas bagaikan serigala liar yang kelaparan. la berusaha memangsaku. Aku terus melawan sekuat tenaga. Aku berusaha mempertahankan kehormatanku sekuat tenaga. Prinsipku lebih baik mati daripada diperkosa.
"Aku terus melawan. Namun aku adalah seorang perempuan, tenagaku tak sebanding dengan tenaganya. Kekuatanku tak mampu menandingi kekuatannya. Aku nyaris tidakberdaya karena kehabisan tenaga. Dan dia nyaris mendapatkan apa yang diinginkannya. Tiba-tiba kau datang.
"Kau datang dan membuat bajingan itu terpelanting. Awalnya aku kira kau adalah malaikat utusan Tuhan yang menyambar penjahat itu dengan cemeti mahasaktinya. Malaikat yang diturunkan Tuhan karena rintihan doaku di saat paling kritis. Malaikat dalam arti sebenarnya. Ternyata bukan, yang datang bukan malaikat tapi manusia. Mahakuasa Allah."
Mari kembali terisak-isak. Zul diam mematung di tempatnya.
"Dik bagaimana ceritanya kok kau bisa kemari pagi ini dan bagaimana kau bisa membuka pintu itu? Dengan apa kau membukanya?"
Zul menarik nafas, lalu dengan tenang menceritakan kronologisnya bisa sampai di rumah itu. Tentang keinginannya untuk datang ke rumah itu. Keinginan yang muncul tiba-tiba pagi itu dan seolah tidak bisa ditolaknya. la juga bercerita tentang kunci Linda yang masih di tangannya. Mari mendengarkan cerita Zul dengan seksama dan dengan mata berkaca-kaca. Lalu merasakan kasih sayang yang dicurahkan oleh Allah kepadanya.
"Siapakah yang menghadirkan keinginan untuk datang kemari itu kalau bukan Allah Mbak? Dan
siapakah yang menghadirkan keberanian dalam dada ini untuk bertarung dengan penjahat itu kalau bukan Allah? Dan siapa yang menolong saya memenangkan pertarungan tadi kalau bukan Allah?"
Airmata Mari kembali meleleh.
Zul diam. Sesaat lamanya ruangan itu diselimuti kesunyian.
"Tetapi Zul, walau bagaimana pun aku sangat berhutang budi padamu Zul. Bagaimana aku harus
membalasnya?" Lirih Mari seraya mengangkat muka memandang wajah Zul. Zul memandang ke arah Mari, lalu menarik pandangannya ke lantai.
"Sudahlah Mbak. Aku merasa tidak berbuat apa-apa selain melakukan kewajibanku sebagai seorang manusia yang melihat kezaliman di depan mata. Mbak jangan mengatakan hal seperti itu lagi."
"Kau harus tahu sesuatu Zul. Agar kau tahu betapa aku sangat berhutang padamu."
"Sesuatu itu apa Mbak?"
"Si W tadi itu, ia datang mengatakan ingin meminta haknya sebagai seorang suami. Haknya yang katanya belum pernah aku berikan padanya setelah dia menikahi aku dan membayar mas kawin
padaku."
"Aku tidak paham maksudnya Mbak."
"Maaf, biar aku perjelas. Pada hari aku menikah dengannya itu, aku sedang datang bulan. Jadi ia tidak menjamah kesucianku. Biasanya aku datang bulan lebih satu minggu. Lha seminggu kemudian, artinya seminggu setelah akad nikah ia pergi ke Jakarta, dan saat itu aku masih dalam kondisi datang bulan. Jadi ia sama sekali belum menjamah kesucianku.
"Seperti yang dulu pernah kuceritakan kepadamu. Kalau tidak salah aku pernah cerita padamu Zul. Dia pergi ke Jakarta dengan alasan bisnis. Ternyata beberapa hari kemudian ia tertangkap dalam kondisi over dosis di sebuah hotel. Ia masuk penjara. Dan aku kemudian tahu semua
kejahatannya. Saat itu aku mengajukan gugatan cerai.
Tak bisa ditawar lagi, karena aku tidak mau punya suami seorang penjahat yang kejahatannya benar-benar telah melampaui batas. Jadi meskipun aku telah menikah sejatinya kesucianku belum pernah dijamah oleh suamiku. Dan sampai hari ini mahkota kesucianku belum tersentuh
oleh siapapun. Statusku memang janda, tapi kesucianku masih utuh. Sumpah demi Allah, Zat Yang Mahatahu.
"Kau harus tahu Zul, selama ini betapa mati-matian aku menjaga mahkota ini. Betapa mati-matian aku menjaga iman ini. Godaan, bujuk rayu datang setiap saat. Alhamdulillah aku kuat. Tiba-tiba si W itu datang mau merenggut mahkota itu. Dan mahkota kesucian yang lebih berharga dari nyawaku sendiri itu nyaris ternistakan, kalau saja kau tidak datang. Inilah Zul sesungguhnya yang aku alami. Inilah Zul yang kau harus tahu, kau telah menyelamatkan kesucianku, kegadisanku. Aku benar-benar berhutang padamu."
Mendengar cerita Mari, hati Zul bergetar. Tanpa ia sadari airmatanya meleleh. Ada rasa kebahagiaan yang sangat halus yang menyusup begitu saja ke dalam hatinya. Rasa bahagia sekaligus rasa bangga karena ia bisa menyelamatkan kesucian seorang wanita. Ia berharap apa yang dilakukannya itu dinilai ibadah oleh Allah. Dan apa yang dilakukannya itu bisa menghapuskan dosa-dosanya saat ia masih remaja dulu. Ia kembali teringat saat SMA, saat ia pacaran dengan gadis tetangga desa. Saat itu ia nyaris melakukan perbuatan yang menistakan kesucian gadis itu. Untunglah saat itu tidak terjadi, karena terhalang oleh keadaan yang tidak
memungkinkan. Ia meneteskan airmata, bersyukur kepada Allah, bahwa kesucian dirinya pun masih belum ternista.
"Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu aku akan memenuhinya." Ucap Mari dengan suara jelas tanpa isak tangis.
‘'Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
"Baik Zul, aku akan berusaha sebisanya. O ya sampai lupa, aku buatkan minuman ya? Mau minum apa Zul?"
"M...tidak usah repot-repot Mbak."
‘'Ah tidak repot kok Zul."
Zul melihat jam di dinding. Ia merasa sudah terlalu lama di rumah itu. Ia teringat bahwa ia harus ke kampus. Ada janji dengan seorang teman. la bangkit dan memanggil Mari yang sudah melangkah ke dapur.
"Mbak Mari!"
"Ya." Mari menghentikan langkah dan menoleh.
"Tak usah bikin minum Mbak. Saya harus pamitan. Saya ada janji dengan seorang teman habis Zuhur."
"Tidak bisa ditunda barang satu dua menit Zul."
"Maaf Mbak. Saya benar-benar harus pamit. O ya saya hampir lupa saya mau mengambil barang-barang saya. Dan ini kuncinya Linda."
"Ya sudah kalau begitu. Sebentar saya ambilkan barang-barangmu."
Mari masuk ke dalam dan mengeluarkan barangbarang milik Zul dari kamarnya.
"Ini kan Zul? Ada yang lain?"
"Tidak Mbak, itu saja."
Zul mengambil tas jinjing yang berisi kekayaan pribadinya yang sebenarnya jika dilihat tidaklah terlalu berharga. Hanya beberapa pakaian, handuk, dan mushaf kecil Al-Quran pemberian Pak Hasan.
"Aku tidak akan pernah melupakan jasamu ini Zul."
"Ah Mbak, kok bicara seperti itu lagi. Sudah lupakan saja Mbak, anggap saja saya tidak pernah berjasa apaapa pada Mbak. Baik, saya pamit dulu ya Mbak. Jaga diri baik-baik."
Zul melangkah keluar rumah. Mari mengikuti sampai pintu. Ketika Zul sampai di gerbang, Mari
memanggil namanya.
"Zul!"
Zul menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Mari memandanginya lekat-lekat. Zul memandang Mari. Wajah Mari tampak pucat dan sayu.
"Ya ada apa Mbak?"
Mari ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan. lalu pura-pura bertanya,
"M..m...kau ada nomor hp Zul?"
"Pakai nomor teman saya yang dulu saya gunakan SMS Mbak saja. Masih tersimpan kan?"
"Ya baik. Masih tersimpan."
"Ada yang lain Mbak?"
"Zul, aku takut."
"Takut apa? Takut kalau dia datang lagi?"
"Iya."
"Percayalah padaku Mbak, dia tidak akan berani datang lagi. Dia sudah kapok! Dia menganggap aku ini juga preman seperti dia. Jari-jari tangan kanan dan kaki kanannya sudah hancur! Kalau pun berniat datang mungkin satu bulan lagi, setelah ia sembuh dari lukanya."
"Tapi aku kuatir dia punya teman."
"Dan dia juga anggapan aku punya teman banyak. Mbak tidak usah kuatirlah. Kalau Mbak kuatir, kunci rumah baik-baik. Dan siapkan nomor telpon polisi. Atau Mbak pindah saja dulu ke rumah teman yang aman. Maaf Mbak ya saya buru-buru."
"Iya Zul, terima kasih ya."
"Ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Mari berdiri memandangi Zul sampai hilang dari pandangan. Setelah itu ia memandang ke arah langit yang mulai terang. Hujan telah reda. Gerimis pun sudah tiada. Mendung mulai pudar. Dan matahari seolah ingin menyibak awan. Mari berulang kali memuji kekuasaan Tuhan. Ia lalu masuk rumah. Menutup pintu dengan rapat. Sayup-sayup, dari surau lirih terdengar suara azan

Zul mondar-mandir di ruang tamu. Penghuni flat itu semua telah tidur. Namun Zul tidak bisa tidur. Malam itu setelah kejadian di rumah Mari, Zul selalu terbayang wajah Mari. Ia kembali merasakan apa yang dulu pernah ia rasakan saat remaja. Sejak pertama bertemu dengan Mari, ia sebetulnya telah terpikat oleh kehalusan tutur katanya. Juga perhatian, kepekaan dan jiwa sosialnya.
Namun itu semua tidak berpengaruh apa-apa dalam hatinya. Mari masih ia anggap sebagai perempuan biasa yang ia kenal di jalan. Tapi setelah kejadian siang itu.
Setelah apa yang ia alami, ia lihat dan ia ketahui rasa sayangnya pada Mari merasuk begitu saja ke dalam hatinya. Rasa sayang yang lebih dari biasa.
Bahwa Mari begitu teguh menjaga kesuciannya itulah yang paling membekas di dalam hatinya. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang tenaga kerja wanita Indonesia di Malaysia yang tidak lagi menjaga kehormatannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit tenaga kerja wanita yang bekerja di kilangkilang juga berprofesi menjajakan tubuhnya selepas bekerja. Tapi Mari tetap menjaga kehormatan dan kesuciannya. Dengan label janda yang dilekatkan pada dirinya, dan parasnya yang tidak bisa dikatakan jelek. tentulah itu perjuangan yang luar biasa. Ia sangat yakin,
bahkan haqqul yakin, kalau Mari tidaklah berkata dusta. Dalam kondisi shock seperti itu kejujuranlah yang lazim keluar dari diri anak manusia. Ia merasa Mari adalah perempuan yang berkarakter, dan sanggup menjadi perempuan yang luar biasa. Itulah yang membuat hatinya condong pada Mari.
Ia bingung harus berbuat apa? Ia sudah dewasa. Dan Mari juga sudah dewasa. Tidak mungkin lagi ia hanya mengutarakan bahwa hatinya condong pada Mari. Mengutarakan itu artinya siap berumah tangga. Ia sudah tahu hukum bermain hati pada perempuan yang tidak halal dari Yahya. Itu dosa.
"Hati pun, kata Nabi, bisa berzina." Kata-kata Yahya itu seolah berdengung-dengung dalam pikirannya.
Tapi bayangan Mari, juga suaranya, seolah terus menghampirinya. Sempat terbersit dalam pikirannya untuk berterus terang pada Mari dan mengajaknya menikah. Lalu hidup sederhana apa adanya di Kuala Lumpur sambil kuliah. Toh, banyak mahasiswa yang berkeluarga dan hidup apa adanya di Kuala Lumpur.
Tapi tiba-tiba ada semacam keraguan dalam hatinya. Ia kuatir jika ia menikah akhirnya kuliahnya tidak selesai. Ia jadi sibuk memikirkan hidup keluarga. Apalagi kalau nanti punya anak. Ia bisa hidup nekat. Makan sehari pun bisa, tapi anak yang masih bayi apa bisa? Sementara ia masih hidup sangat pas-pasan untuk makan, membayar sewa aparteman dan kuliah. Padahal jika berkeluarga ialah yang harus menanggung sepenuhnya sewa rumahnya. Sekarang ia yang menyewa bersama teman-temannya saja, masih terasa berat membayarnya. Hutangnya pada Pak Muslim untuk membeli sepeda motor juga belum lunas.
Ia sempat berpikir bahwa Mari juga bekerja dan bisa meringankan beban. Ia langsung menjawab sendiri bahwa tugas memberi nafkah adalah tugas suami. Andai pun Mari bekerja ia tidak tahu berapa gajinya. Ia juga tidak tahu sanggupkah Mari tetap bekerja jika misalnya hamil. Ia sampai sudah begitu jauhnya memikirkan jika Mari hamil segala. Ia menegaskan pada dirinya jika ia menikahi Mari ia tidak bisa menggantungkan nasibnya pada Mari. Alangkah jahatnya dia jika menikahi Mari karena merasa aman, sebab Mari juga bekerja. Apakah itu namanya bukan eksploitasi? Mari nanti bekerja. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga lazimnya perempuan di Indonesia. Mengurus anak. Jika itu yang terjadi ia merasa tidak menjadi seorang suami yang
benar.
Ia juga sempatberpikir untuk mengajak Mari pulang ke Indonesia dan hidup apa adanya di Indonesia. Buat apa hidup lama-lama di negeri orang. Tapi akal logikanya seolah mencercanya habis-habisan:
"Buat apa susah payah datang ke negeri orang? Katanya mau mengubah takdir? Menyiapkan masa depan yang gemilang? Kalau kau pulang hanya dengan berhasil menikahi perempuan seperti Mari, tidak harus jauh-jauh ke Malaysia. Tidak harus berdarah-darah melewati pergulatan hidup di Semarang, Jakarta, Batam dan Kuala Lumpur. Perempuan seperti Mari di desamu juga banyak! Kalau kau pulang dengan belum meraih kegemilangan yang dicitakan, maka kelak kau akan ditertawakan oleh anak turunmu. Mereka akan mengingatmu dengan sinis;
‘'Kakek kita gagal menyelesaikan studinya karena tergoda oleh seorang tenaga kerja wanita di Malaysia. Inilah yang membuat kita tetap sengsara! Coba kalau kakek kita dulu orang yang teguh, tekun dan tidak mudah digoda wanita, mungkin kita akan bernasib lebih baik! "
Zul termenung. Dialog batinnya tidak membuat bayang-bayang Mari hilang. Wajah sayu yang memancarkan aura ketulusan itu, cerita hidupnya, ucapan terima kasih kepadanya yang diulang berkali-kali dari hati yang dalam. Itu semua sangat membekas di dalam hatinya. Jarum jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul dua. Zul tidak tahan. Malam itu ia mem bangunkan Rizal, ingin meminjam hand phonenya. Ia ingin menelpon Mari. Ia tidak kuasa membendung bara cinta yang membuncah di dalam dadanya.
Rizal bangun sambil mengucek-ucek kedua matanya.
"Ada apa Zul?"
"Handphone-mu mana? Aku mau pinjam?"
"Aduh Zul, hand phone-ku hilang tadi siang."
"Hilang?"
"Iya. Mungkin jatuh atau dicopet orang di Purduraya. Pinjam Mas Yahya saja."
"Segan."
"Ya udah kalau begitu menelpon di wartel saja besok pagi."
"Iya dah."
Zul kecewa berat. Ia harus menunggu pagi untuk bisa menghubungi Mari. Malam itu ia hanya mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali membuka koran using yang sudah berkali-kali ia baca. Atau membaca-baca Majalah I, majalah Islam terbitan Malaysia yang sudah lusuh, yang ia hampir hafal isinya. Itulah yang dilakukannya malam itu sampai Subuh tiba.

* * *

Setelah shalat Subuh Zul langsung mencari wartel yang buka. Semua masih tutup. Di flatnya selain Rizal dan Yahya, Pak Muslim juga punya hand phone. Tapi ia segan meminjamnya. Selama ini jika ia ingin nelpon ke mana saja ia selalu menggunakan wartel. Ia sudah
merencanakan untuk membeli handphone tapi belum juga kesampaian. Dengan langkah gontai Zul kembali ke flat. Wajahnya pucat. Auranya sayu. la tampak seperti orang yang sedang sakit. Yahya yang sangat peka bisa menangkap perubahan yang terjadi pada teman satu kamarnya. Dengan ketulusan seorang sahabat ia mengajak Zul bicara.
"Sepertinya kau sedang ada masalah atau kau sedang sakit Zul?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas?"
"Kalau kau tidak menganggapku sebagai orang lain bicaralah padaku. Tapi kalau kau masih menganggapku orang lain, orang asing bagimu, ya berpura-puralah tidak ada masalah padaku."
Yahya langsung terus terang. Akhirnya Zul berterus terang bahwa ia sedang merasakan rasa rindu dan cinta pada seorang perempuan.
"Siapa perempuan itu? Mahasiswi UM kah?"
"Namanya Mar. Siti Martini. Dia bukan mahasiswi tapi seorang karyawati sebuah perusahaan."
"TKW maksudmu?" Yahya berusaha memperjelas.
Pertanyaan itu agak menyinggung Zul. Ia seperti tidak rela Mari dilabeli TKW. Tapi memang itu kenyataan yang ia tahu. Jadi ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan.
"Iya Mas."
"O, Siti Martini yang pernah kauceritakan dulu itu. Yang satu bus dari Larkin ke Purduraya itu?"
"IyaMas."
"Di sini mahasiswi banyak lho Zul, kenapa kaupilih TKW?"
Pertanyaan Yahya itu kembali menggores hatinya. Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi tidak sampai. Ia tidak bisa menjelaskan detil apa yang ia alami dengan Mari pada sahabatnya yang paling dekat itu. Ia tidak sampai hati untuk membuka kejadian kemarin siang di rumah Mari. Ia juga tidak bisa menjelaskan pesona dan aura yang dimiliki Mari. Ia akhirnya menjawab dengan
jawaban yang klasik,
"Tidak tahu Mas. Namanya juga jatuh cinta. Aku melihat diabaik. Dan menurutku mahasiswi tidak secara otomatis lebih baik dari TKW. Banyak yang sekarang TKW, mungkin kelak jadi orang yang memberi penghidupan pada mahasiswa atau mahasiswi. Dan banyak mahasiswi yang akhirnya jadi TKW. Itu kan cuma label-label saja Mas."
Yahya tersenyum,
"Kau memang sedang jatuh cinta. Dari jawabanmu aku tahu kau sangat membela dia. Ya sah-sah saja kau mencintai dia. Siapapun dia. Asal menurutmu cocok dan baik ya sah-sah saja. Memang benar manusia tidak bisa dinilai dari label atau julukan yang disandangnya. Yang menentukan manusia itu ini lho. Ininya!" Kata Yahya sambil menunjuk dadanya.
"Iman dan takwanya. Agamanya." Lanjut Yahya.
"Itu tukang sapu di jalan yang setiap hari bergelut dengan sampah bisa jadi ia lebih baik di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir jebolan universitas terkenal di Timur Tengah. Di mata Allah belum tentu. Keikhlasan seseorang hanya Allah yang tahu. Bisa jadi tukang sapu itu sangat tahu diri kedhaifan dirinya sebagai makhluk Allah maka tidak ada rasa sombong dalam hatinya. Dan
Guru Besar Tafsir bisa jadi karena merasa hebat, ada satu zarrah rasa sombong dalam hatinya. Ketika ketemu tukang sapu Guru Besar itu merasa lebih terhormat dari tukang sapu. Itu kan sombong. Sebaliknya tukang sapu justru menghormati Guru Besar itu karena tahu dirinya tidak berilmu dan Guru Besar itu punya ilmu. Berarti tukang sapu itu tahu kadar dirinya. Tidak sombong. Jika seperti itu bisajadi tukang sapu lebih mulia di mata Allah daripada Guru Besar Tafsir itu." Terang Yahya panjang lebar.
"Jadi tidak salah saya jatuh cinta pada TKW itu Mas?"
"Jatuh cinta tidak salah. Kau mau memilih siapa pun tidak salah. Asalkan tetap menjaga diri di jalan yang diridhai Allah. Apa kau sudah benar-benar siap untuk menikah Zul?
Zul diam mendengar pertanyaan itu. la tidak bisa menjawab mantap. Akhirnya Zul menjelaskan kebimbangan hatinya. Antara mantap dan tidak mantap. Hal-hal yang berkelebat dalam hati dan pikirannya ia sampaikan kepada Yahya.
"Jadi kemarin kau ke rumah Siti Martini itu?"
"Iya, mengambil barang-barang saya yang masih tertinggal di sana?"
"Kau bertemu dia dan setelah itu kau merasa jatuh cinta?"
Zul mengangguk malu. Ia seperti sedang dihakimi.
Yahya malah tersenyum.
"Kau sedang terkena sihir Zul."
"Terkena sihir apa Mas?"
"Kau sedang terkena sihir nafsu syahwatmu. Aku bisa memastikan kau agak berlama-lama berbicara dengan dia. Aku yakin itu."
"Benar."
"Wajar."
"Maksudnya wajar, wajar bagaimana?"
"Setan telah menghiasi perempuan itu sehingga tampak olehmu pesonanya, keindahannya, auranya, kebaikannya dan lain sebagainya yang membuatmu cenderung kepadanya. Tahukah kau Zul, saya pun bisa lebih parah darimu. Bahkan seseorang yang kuat imannya jika berduaan dengan perempuan yang ia tahu perempuan ia berpenyakit sekalipun bisa luntur imannya. Bahkan bisa melakukan perbuatan nista dengan perempuan itu. Karena apa? Karena perempuan itu dirias dan dihiasi oleh setan. Ditambah nafsu yang ada dalam diri lelaki itu. Maka terjadilah apa yang seharusnya tidak terjadi."
"Jadi apa yang aku rasakan ini nafsu syahwat?"
"Betul. Jujurlah pada dirimu. Kau pasti telah melihat hal yang semestinya tidak kau lihat pada perempuan itu, iya kan?"
Zul malu mengakuinya.
"Ingat Zul seluruh tubuh perempuan yang sudah akil balig itu aurat kecuali muka dan tepak tangannya. Jika ia perempuan yang cantik, yang kecantikannya itu menarik lawan jenisnya maka mukanya juga jadi aurat yang harus ditutupi. Artinya tidak boleh dilihat. Jikalau engkau mencintai wanita karena melihat yang seharusnya ditutupi maka berarti kau ada nafsu dengannya. Yang bergerak dalam aliran darahmu dan syaraf-syarafmu itu adalah nafsu dan syahwat. Jika seperti itu, kau tidak jauh berbeda dengan ayam jago yang langsung mengejar ayam betina setelah melihat keelokan ayam betina."
"Tapi bukankah manusia hampir semuanya begitu Mas?"
"Ya benar. Maka tidak berlebihan jika para filosof menyebut manusia sebagai hayawanun nathiqun. Binatang yang berbicara. Manusia itu binatang, hanya saja ia bisa bicara. Bisa berkata-kata. Itulah definisi manusia yang hanya mengutamakan nafsunya saja. Nafsu jadi panglimanya. Nafsu jadi timbangannya. Dan nafsu itu tidak hanya nafsu pada perempuan saja. Termasuk juga nafsu pada kemewahan dunia. Al-Quran menjuluki manusia yang seperti itu dengan kalimat: 'Mereka seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.' Orang-orang yang dikendalikan oleh nafsunya adalah orang yang lengah. Orang yang tidak memiliki rusyd, atau kesadaran penuh. Orang seperti itu yang akan rugi di mana pun dia berada. Ia akan mudah dicocok hidungnya oleh setan untuk dijerumuskan ke dalam jurang kebinasaan dan kenestapaan."
"Terus bagaimana cara mencintai lawan jenis yang benar menurut Sampeyan?"
"Mencintai dengan timbangan fithrah dan bashirah. Mencintai dengan kesucian dan mata hati. Fithrah dan bashirah yang jadi timbangannya. Yaitu, jika kau mencintai wanita bukan karena tertipu oleh kecantikan paras wajahnya dan keelokan benruk tubuhnya. Bukan karena tersihir oleh matanya yang berkilat-kilat indah seperti bintang kejora. Bukan pula terpikat karena bibirnya yang ranum segar seperti mawar merekah. Juga bukan karena keindahan suaranya yang susah dilupakan. Bukan karena hartanya yang melimpah ruah. Bukan karena kehormatannya, yang kau akan jadi ikut terhormat karena menikahinya. Jika bukan karena itu semua kau mencintainya. Tapi kau mencintai dengan memakai timbangan fitrahmu, dan matabatinmu. Kau
mencintai dia karena merasakan kesucian jiwanya dan agamanya, dan mata batinmu condong karena kecantikan akhlak dan wataknya. Hatimu terpikat karena harumnya kalimat-kalimat yang keluar dari lidahnya. Saat itu kau telah mencintai lawan jenis dengan benar."
"Tapi sulit rasanya Mas aku memakai timbangan fithrah dan bashirah. Hati ini sepertinya telah tertawan dan terbelenggu oleh sihir Mari."
"Ya aku tahu. Memang sangat susah membebaskan diri dari belenggu cinta syahwati. Aku bukannya tidak pernah mengalaminya, aku pernah mengalaminya. Dan aku nyaris binasa karenanya. Jika bukan karena rahmat Allah aku mungkin saat ini sudah hancur berbaur tanah
di kubur."
"Bagaimana ceritanya Mas. Mungkin bisa jadi cambuk bagiku."
"Malu aku mengingatnya."
"Apa Sampeyan tidak kasihan padaku. Apa Sampeyan ingin aku binasa Mas?"
"Singkat saja ya. Saat itu aku masih kelas tiga SMA Al Islam Batu, Malang. Ayahku seorang lurah. Tahun itu ada rombongan KKN dari Unibraw, berjumlah sepuluh orang. Empat mahasiswa, enam mahasiswi. Tiga mahasiswi menginap di rumahku. Tiga lain di tempat Pak
Carik. Dan empat mahasiswa menginap di Balai Desa. Di antara tiga mahasiswi yang menginap di rumahku itu ada yang membuatku tergila-gila. Sebut saja namanya F Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku coba tahan untuk menyimpannya dalam hati diam-diam. Aku tidak tahan.
Akhirnya aku ungkapkan padanya. Ternyata dia menanggapi. Aku kirim surat cinta padanya. Dia
membalasnya dengan surat cinta yang lebih romantis.
Sebab dia sudah mahasiswi. Sudah jauh lebih berpengalaman. Aku seperti buta. Aku sudah merasa dia adalah segalanya. Sampai tiba saat perpisahan, karena masa KKN-nya habis. Sebelum pergi ia berterus terang padaku, bahwa selama ini cuma main-main. Sebenarnya dia sudah punya tunangan di Surabaya. Hatiku seperti dibetot dan kepalaku seperti dihantam palu godam. Aku langsung jatuh sakit. Dua bulan aku dirawat di rumah sakit. Aku bahkan sempat mencoba bunuh diri. Orang- orang menganggap aku sakit terkena santet. Aku seperti orang gila Zul. Itulah ceritanya Zul."
"Terus sembuhnya bagaimana Mas?"
"Akhirnya orangtuaku tahu juga masalahnya. Saat orangtuaku tahu gadis itu sudah menikah dan bekerja di Jakarta. Kakak perempuankulah yang dengan sabar menemaniku dan menguatkan aku. Karena sakit itu aku tidak bisa ikut ujian akhir. Aku benar-benar sembuh setelah aku dibawa ke sebuah pesantren. Di pesantren itulah karena disibukkan dengan ibadah, zikir, olah raga dan lain sebagainya lambat laun, ingatanku akan F hilang. Dan sekarang aku baru menyesal, kenapa dulu
aku bisa begitu bodoh dan tolol. Itulah Zul cinta yang semu sangat menyiksa dan menyakitkan."
Mendengar cerita Yahya, Zul merasa mendapat sedikit pencerahan. Namun cerita itu tidak juga bisa mengusir kuatnya pesona Mari yang menempel di dinding-dinding hatinya. Tapi dari pembicaraannya dengan Yahya ia memiliki seberkas cahaya yang menerangi gulitanya akal pikirannya karena diselimuti bayangan Mari.

***

Nun jauh di Subang Jaya sana. Mari merasakan hal yang tidak jauh berbeda dengan Zul. Bahkan lebih parah. Jika Zul didampingi Yahya, maka Mari tidak punya pendamping dan tempat untuk mengungkapkan gelisahnya. Teman-teman satu rumahnya sibuk bekerja dan ia pandang tidak bisa dijadikan tempat berbagi perasaan. Mari telah berulang kali menelpon nomor yang pemah diberikan oleh Zul kepadanya. Nomor itu adalah nomor Rizal. Karena hp Rizal hilang, maka usaha Mari menelpon Zul jadi sia-sia.
Mari hanya bisa berharap Zul datang lagi ke sana dan ia akan mengungkapkan perasaan cintanya kepada Zul. Ia sudah siap menerima apapun keputusan Zul. Menerimanya ataukah menolaknya. Jika Zul menerimanya, ia berjanji akan menjadi abdi bagi Zul selama hidupnya. Ia merasa hanya Zul-lah yang paling berhak mendapatkan pengabdiannya.
Mari selalu mengingat perkataan Zul saat menanggapi ucapannya, "Mintalah apa saja padaku Zul, selama itu tidak dosa dan aku mampu memenuhinya."
Zul saat itu berkata, "Aku tidak minta apa-apa Mbak. Cukuplah Mbak terus menjaga diri Mbak, kesucian Mbak, dan Mbak terus mendekatkan diri kepada Allah serta berusaha menjadi wanita salehah selamanya, itu akan membuat apa yang aku lakukan hari ini bermakna dan tidak sia-sia."
Kata-kata Zul itu seolah ia jadikan pedoman hidup. Ia berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wanita salehah yang sebenarnya. Ia mengawali dengan menutup rambutnya dengan jilbab. Jilbabnya modis. Cara berpakaiannya pun masih modis. Masih memakai celana jeans dan kaos ketat. Tapi ia terus berusaha. Ia rajin datang ke majelis taklim yang ia ketahui. Setiap ia mendapatkan tambahan ilmu agama, ia berusaha mengamalkan sebaik-baiknya.
Berminggu-minggu setelah itu, ia masih terus berusaha menelpon nomor yang ia terima dari Zul, tapi tidak juga berhasil. Dan Zul tidak juga muncul, tidak pula menelpon. Ia tetap bertahan dan sabar. Ia tetap berusaha untuk sedekat mungkin dengan Allah. Sesuai dengan pesan Zul yang telah terpahat kuat dalam relung hatinya.
Dua bulan berlalu sejak Yahya mengajak Zul berbicara dari hati ke hati. Yahya berharap Zul bisa
menemukan kesadaran prima dan semangat membaranya kembali seperti ketika awal-awal tinggal di flat itu. Namun harapan Yahya belum menjadi kenyataan. Kenyataannya Zul tetap banyak murung dan melamun. Tidak gesit dan semangat dalam bekerja, berusaha, dan belajar.
Seringkali Yahya menemukan Zul hanya tidur di kamar satu siang penuh, padahal ia yakin Zul ada jadwal kuliah dan kerja. Yahya biasanya mengingatkannya dengan bahasa sehalus mungkin, namun Zul seperti tidak mendengar apa-apa. Yahya beberapa kali menyarankan pada Zul jika memang harus mendapatkan Mari, kenapa tidak secara jantan menemui dan mengajaknya menikah. Obat paling mujarab untuk orang yang sakit karena cinta adalah menikah. Tapi Zul gamang dengan dirinya sendiri. Keraguan mengambil langkah telah membuatnya seperti
orang yang kehilangan cahaya kehidupan. Keadaan Zul yang sedang sakit karena cinta itu menjadi perhatian dan keprihatian semua penghuni flat itu.
Pak Muslim merasa kuatir keadaan Zul semakin parah. Jika parah, maka bisa berpengaruh pada suasana rumah. Sudah dua bulan Zul tidak membayar uang sewa rumah. la minta dipinjami dulu. Namun ia bekerja tidak seserius dulu. Seolah bekerja seingatnya saja. Jika ingat bekerja, jika tidak ya tidak bekerja. Pak Muslim juga kuatir Zul tidak bisa mengikuti ujian semester depan jika
sering bolos kuliah. Suasana rumah terasa mulai tidak nyaman. Maka Pak Muslim sebagai yang paling tua berinisiatif mempertegas sikap Zul. Jika ingin serius kuliah maka ia harus segera bangkit dan merubah sikap. Jika sudah tidak ingin kuliah, ia melihat Zul sebaiknya mencari tempat yang lain. Sebab kemalasan Zul bisa merusak situasi rumah yang selama ini nyaman dan
kondusif untuk belajar.
Pak Muslim tidak mau perkataan najis satu tetes merusak kesucian air satu gentong terjadi di rumah itu. Dan tidak ada najis yang paling merusak kesucian umat yang ingin berprestasi kecuali kemalasan. Ia tidak mau Zul jadi najis itu. Zul harus diselamatkan. Jika Zul tetap memilih jadi najis itu maka ia harus disingkirkan agar tidak merusak kesucian semangat orang satu rumah. Pagi itu setelah shalat Subuh Pak Muslim membangunkan Zul yang masih mendengkur di kamarnya.
Berbeda sekali Zul yang dulu dengan Zul saat itu. Zul saat awal-awal datang dulu sudah bangun sebelum Subuh tiba dan selalu di shaf pertama. Tapi Zul saat itu adalah Zul yang harus berkali-kali diingatkan dan dibangunkan baru shalat Subuh dengan wajah malas tanpa cahaya.
Begitu Zul selesai shalat Pak Muslim langsung memanggil Zul ke kamarnya. Dengan menunduk Zul masuk ke kamar dosen Universitas Negeri Yogyakarta yang mengagumi pemikiran-pemikiran Muhammad Iqbal.
"Duduk sini Zul!" Pak Muslim mempersilakan Zul duduk di kursi yang ada tepat di depannya. Setelah Zul duduk, Pak Muslim langsung menutup pintu kamarnya.
"Zul, sudah tiga bulan ini aku lihat kamu sangat berbeda dengan saat kau pertama datang. Apa sebenarnya masalahmu Zul?"
"M...tidak ada masalah Pak. Saya biasa-biasa saja."
"Zul kau masih ingin kuliah?"
"Ya tentu Pak."
"Kau sadar dengan yang kauucapkan?"
"Tentu saja sadar Pak."
"Bagus. Jika kau ingin tetap lanjut kuliah kau harus bangkit dan mengembalikan semangatmu. Cukup tiga bulan saja kamu sakit. Ingat Zul, setiap detik kau berada di Kuala Lumpur ini ada harganya. Dan kau harus membayarnya. Flat ini kita menyewa. Air yang kau gunakan untuk membersihkan dirimu saat buang air juga harus dibayar. Kau makan tidak gratis. Kuliah tidak
gratis. Semua ada tagihannya. Jika kau terus malas dan murung seperti itu kau tidak akan bertahan hidup. Kalau pun kau tetap hidup kau tak lebih bernilai dari sampah. Sampah masih bisa didaur ulang. Tapi manusia yang telah mati sebelum mati jauh merepotkan daripada sampah.
"Aku ingin melihatmu berjaya. Meraih prestasi yang gemilang Zul. Sungguh aku sangat menginginkan itu. Aku akan membantumu semampuku. Itu jika kamu mau. Jika kamu tidak mau aku tidak berhak memaksamu. Kau lebih berhak menentukan jalan hidupmu.
'Aku tahu kau masih sakit. Hatimu masih dijajah oleh rasa cintamu pada wanita yang kau cintai itu. Ketahuilah Zul, tak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu kecuali kamu sendiri. Sebagai orang tua, aku hanya bisa memberikan beberapa saran untuk kebaikanmu dan kebaikan kita bersama.
"Saranku yang pertama Zul, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Jodoh itu tanpa dikejar, tanpa dibuat bersakit-sakit seperti kau sekarang ini jika tiba saatnya akan datang juga. Jodohmu sudah ditulis oleh Allah. Kalau jodohmu memang wanita bernama Siti Martini itu ya nanti Allah pasti akan mempertemukan kamu dengan dia. Tapi jika jodohmu bukan dia, sampai kau minta banruan seluruh jin di jagad raya ini untuk membantumu mendapatkan dia ya kamu tidak akan mendapatkannya.
"Sementara ilmu dan prestasi juga amal ibadah. Jika tidak kauusahakan dengan serius tidak akan kauraih. Ilmu tidak bisa kauraih dengan tiduran dan malas-malasan. Prestasi dan kesuksesan tidak akan kauraih kecuali dengan pengorbanan penuh pikiran, tenaga dan perasaan. Kalau perlu bahkan nyawa. Tak ada dalam catatan sejarah ada orang sukses hanya dengan melamun, tidur, dan banyak angan-angan seperti yang kaulakukan tiga bulan ini. Tak ada seorang juara di bidang apapun kecuali ia pasti seorang pejuang yang ulung. Kalau ingin mendapatkan ilmu yang cukup,
berprestasi dan hidup sukses kau harus bangkit, bersemangat, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan gigih berjuang. Itulah jalannya orang-orang yang sukses.
"Zul, godaan wanita adalah godaan utama orang mencari ilmu. Dan fitnah perempuan adalah salah satu fitnah yang sangat dikuatirkan oleh Nabi akan melumpuhkan umatnya. Bahkan saat Nabi berdakwah di Makkah, di antara hal yang ditawarkan orang-orang kafir Quraisy untuk membujuk Nabi agar menghentikan dakwahnya adalah dengan mengiming-imingi Nabi akan
dinikahkan dengan wanita paling cantik di Arab. Tapi Nabi menolaknya.
Zul, siapa pun yang kasmaran, siapa pun yang jatuh cinta seperti kamu saat ini. Maka akal, pikiran dan perasaannya akan terus terfokus untuk mendapatkan yang dicintainya. Jika keadaan seperti itu terus berlarut, maka kewajiban-kewajibannya, tugas-tugas utamanya akan segera terlupakan. Dan saat itu hanya tinggal menunggu datangnya kebinasaan.
"Sudah tidak terhitung lagi jumlahnya pelajar dan mahasiswa yang gagal karena skandal cinta. Tidak terhitung jumlahnya pemimpin besar dunia yang terpuruk karena skandal cinta. Apakah kau mau menambah panjang daftar itu dengan memasukkan namamu.
"Penuntut ilmu jika jatuh cinta pada lawan jenisnya, maka ilmu itu tidak akan bisa melekat pada akal, pikiran dan hatinya. Sebab akal, pikiran dan hatinya telah dikotori oleh bayangan semu kekasih hatinya. Ada pujangga Arab yang menulis sajak begini Zul, Jika aku sedang sibuk dengan gadisku Yang parasnya laksana cahaya pagi Maka aku enggan memikirkan yang lain
"Maka, aku ulangi lagi saranku yang pertama, jika kamu ingin sukses dan berhasil lupakan wanita itu. Saat ini berkonsentrasilah sepenuhnya untuk menuntut ilmu. Jika ia jodohmu selesai S.2 aku doakan semoga bertemu. Dan bertemu dalam keadaan yang paling baik dan paling barakah. Jika dia tidak jodohmu, semoga kau dianugerai jodoh yang lebih baik dalam segalanya dari wanita itu."
Zul diam saja di tempatnya. Ia tidak membantah, juga tidak mengiyakan. Tapi ia mendengarkan dengan seksama. Pak Muslim jarang sekali bicara serius seperti ini. Jika Pak Muslim bicara seperti ini artinya masalah yang terjadi memang sudah parah.
Pak Muslim mengambil nafas sebentar lalu melanjutkan,
"Saranku yang kedua Zul, jika kau tidak bisa mengikuti saranku yang pertama, aku sarankan kau untuk mendatangi wanita itu secara jantan. Dan nikahi dia. Luapkan seluruh cintamu padanya. Dan hiduplah dalam keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Menikah itu jauh lebih baik daripada kau hanya memikirkan dia siang malam sampai sayu seperti mayat hidup.
Jika kau memilih saran yang kedua ini, aku akan membantumu semampuku. Aku akan meminjami modal untuk pernikahanmu semampuku. Aku bersedia mengantarmu menemui wanita itu, juga bersedia membantumu menemui keluarganya. Dan jika ini yang kau ambil, aku minta kau jangan berhenti kuliah. Tetaplah lanjutkan kuliah. Hiduplah sehemat mungkin. Tetaplah bertahan sampai lulus. Kau harus lebih giatbekerja dan berusaha. Sebab kau tidak hanya menanggung beban hidup dirimu sendiri, tapi juga menanggung orang lain.
Jika saranku yang kedua juga tidak bisa kauikuti, maka aku punya saran ketiga, yaitu ya terserah kamu. Hiduplah sesukamu. Terus seperti sekarang juga boleh. Tapi dengan memohon pengertiannya aku minta kau meninggalkan rumah ini. Bukan kami tidak sayang dan tidak menghargai kamu. Sama sekali tidak. Kami menghargai kamu, dan cara hidupmu. Tapi perlu kamu ketahui juga, cara hidupmu yang hanya malas-malasan, banyak melamun dan berangan-agan itu dapat meracuni kesehatan lingkungan rumah ini. Cara hidupmu yang mulai tidak memikirkan membayar flat adalah carahidup orang yang tidak bertanggung jawab. Itu dapat merusak rasa saling percaya yang telah tercipta dengan indah di rumah ini. Jika kau pilih saran yang ketiga ini, kami akan membantumu mengangkatkan barangbarangmu, juga akan membantumu menemukan tempat yang kauanggap cocok bagi cara hidupmu. Kau masih boleh bermain ke sini, tapi tak bisa tinggal di rumah ini.
Itulah Zul, tiga saran yang bisa aku sampaikan kepadamu. Kau bisa memilih salah satunya. Dan kami tidak keberatan sama sekali yang mana yang kamu pilih. Tapi jika boleh berharap saya pribadi berharap kaupilih yang pertama. Maafkan aku jika harus berlaku tegas padamu. Untuk sebuah kebaikan ketegasan tidak ada salahnya dilakukan. Dan ini pun terpaksa aku lakukan
setelah melihat perkembanganmu yang tidak juga menunjukkan ada perbaikan."
Setelah menyampaikan tiga saran itu, bisa juga disebut tiga opsi untuk Zul, Pak Muslim diam menunggu reaksi Zul. Keheningan menyelimuti kamar itu sesaat lamanya. Zul tampak sedang mengolah saran Pak Muslim yang diseganinya itu. Pak Muslim yang selama ini sangat baik padanya. Bahkan, ia masih punya hutang beberapa ratus ringgit kepadanya untuk membeli sepeda motor butut, dan Pak Muslim tidak pernah menyinggungnyinggung hal itu sama sekali.
"Begini Pak," Suara Zul memecah keheningan. Pak Muslim langsung mengangkat mukanya dan menatap Zul penuh perhatian.
Zul merubah sedikit posisi duduknya lalu menyambung perkataannya,

"Saya minta maaf dan saya menyesal sekali jika kelakuan saya selama ini buruk. Dan itu membuat tidak nyaman rumah ini. Saya akui Pak, saya sedang tidak stabil. Saya berterima kasih sekali atas kesabaran Pak Muslim dan teman-teman selama ini. Saya juga berterima kasih atas saran-saran Pak Muslim. Saya telah menimbang ketiga saran itu. Terus terang saran yang pertama saya rasakan akan berat bagi saya. Saya kuatir saya akan semakin jatuh, semakin tidak bisa menahan perasaan yang mendera hati ini. Adapun saran yang ketiga, saya juga berat menerimanya, sebab saya masih tetap ingin menjadi orang baik dan sukses Pak. Saya bersyukur bertemu dengan orang seperti Bapak dan teman-teman yang masih mau mengingatkan dan menasihati. Jika saya pilih yang ketiga, saya rasa saya akan binasa. Dan jika saya terus begini, Bapak benar, saya akan binasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar