Jumat, 28 Maret 2014

Samudera Hati (Part 4)

“Berhentilah membicarakan tentang mimpi itu Saila. Bukankah dokter mengatakan semakin kau mengingatnya semakin lama pikiranmu akan pulih? Aku malah khawatir kau jadi depresi. Lantas...” kata-kata mas Deniez terhenti. Ia selalu mengingatkanku dan meyakinkan aku sekali lagi.
Aku memandangi tangan kiriku, jarum infus menusuk kulitku, mengalirkan cairannya dari belalai plastik menuju aliran darahku. Namun bukan itu yang sesungguhnya aku perhatikan, tapi sebuah MP4 hitam yag tergeletak di telapak tanganku. Aku berpikir keras untuk menemukan jawaban darimana sesungguhnya aku mendapatkan benda itu sebelum aku hilang kesadaran. Aku terus berpikir dan berpikir... tak ada sedikitpun kenangan tentang benda itu, kecuali di sebuah malam di musim dingin yang beku, Aidan memberikannya untukku agar aku tidak merasa sedih dan kesepian lagi. Agar benda itu bisa membantuku belajar menghapal Al-Qur’an.

“Ku harap alat ini dapat menghiburmu ketika kau sedih dan merasa kesepian. Tapi kau harus ingat bahwa Allah selalu bersama kita.” Bahkan aku masih ingat kata-kata Aidan saat menyerahkan benda itu padaku.
Meskipun kini Aidan tak disampingku lagi, aku tak boleh sedih karena Allah selalu bersamaku. Tapi aku akan terus mencari apa yang sebenarnya terjadi.
“Assalamualaikum Saila...” seorang perawat datang membawa satu tampan makanan untuk sarapanku dan meletakkannya di meja samping tempat tidurku.
“Waalaikumsalam.” Jawabku.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya lagi.
“Alhamdulillah baik.” Jawabku.
“Aku senang kau telah siuman. Sepanjang hari kau hanya memejamkan matamu. Lemah dan seperti tak pernah punya keinginan untuk bangun.” Jelas perawat itu.
“Benarkah?! Lantas, menurutmu apa yang kira-kira mampu mengembalikanku?” tanyaku. Kutatap dia yang tengah sibuk mengukur tekanan darahku.
“Hm... dorongan semangat dari orang yang mencintaimu, selalu terhembus ditelingamu, agar kau bangun dan lantunan ayat-ayat suci yang mengiringi hari-harimu. Ia yang selalu mendampingimu.” Jelasnya lagi. Ia merapihkan peralatannya setelah ia selesai mengukur tekanan darahku tadi.
“Aku bersyukur memiliki keluarga yang begitu mencintaiku.” Ujarku.
Ia menghentikan tangannya yang sibuk bekerja. Dia menggelengkan kepalanya perlahan.
“Ya, tapi sebagian besar keluargamu datang menjelang detik-detik kau siuman.” Tuturnya polos.
“Maksudmu? Jadi siap yang mendampingiku?”
“Kau tahu siapa yang selalu menemanimu sepanjang hari, siang dan malam tanpa lelah, saat kau dalam keadaan kritis? Kau tahu siapa yang aku maksud?” pertanyaannya membuatku tak mengerti. Bagaimana mungkin aku tahu, sementara aku tak sadar.
Aku menggelengkan kepalaku. “Siapa?” aku menjawab dengan ketidakyakinan.
Perawat itu menggelengkan kepalanya.
“Dia adalah orang yang membawamu ke ruang gawat darurat. Dia tampak sangat khawatir melihat keadaanmu begitu tak berdaya, seolah kau tak pernah punya harapan lagi untuk hidup.”
Perawat itu berhenti bercerita, dia menghela nafas berat.
“Hanya dia seorang yang membawaku kemari?”
“Ya. Hanya dia, dan hanya dia juga yang menemanimu selama ini.”
“Siapa dia? Lantas dimana dia sekarang?” aku semakin heran, siapa orang yang dimaksud perawat itu.
“Dia baru pergi saat keluargamu datang.”
“Kau tahu kemana dia pergi?”
“Entahlah...dia pergi dengan wajah kecewa dan penuh kesedihan. Aku yakin harapannya adalah melihatmu bangun.”
“Kau tahu kenapa dia pergi sebelum aku bangun padahal tadi kau mengatakan sepertinya dia ingin melihatku terbangun?”
“Entahlah.” Jawabnya singkat.
Lantas perawat itu diam membisu, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, dia hanya sibuk membersihkanku. Suasana terasa semakin beku diantara kami.
Aku sendiri masih berpikir dan terus bertanya siapa orang yang dia maksud. Aku tertegun, mungkinkah itu Aidan? Apa benar itu dia? Aku terus bertanya dalam hati.
“Kau masih ingat dia?”
“Ya, seorang pria berkulit putih, sepertinya dia berkewarganegaraan asing. Maafkan aku Saila, aku sempat berpikir dia bukan keluargamu. Karena perbedaan yang aku lihat itu.”
Aku terhenyak mendengar pernyataan dari perawat itu. Aku yakin itu Aidan! Lantas siapa lagi orang yang akan mengkhawatirkanku, menjagaku, seorang pria berkulit putih dan berkewarganegaraan asing yang ada dalam hidupku kecuali Aidan. Aku yakin semua itu bukan mimpi dan ini benar-benar menjadi sebuah petunjuk bagiku. Aku tak mengerti kenapa keluargaku berpura-pura padaku, apa mungkin ayah memang masih marah pada Aidan. Lalu kenapa dokter mengarang-ngarang cerita tentangku. Pikiran-pikiran buruk mulai melintas di benakku pada mereka. Astagfirullah, aku berusaha beristigfar.
“Ada apa, Saila?” perawat itu memandangku heran.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Baiklah Saila...aku pergi.” Ujar perawat itu setelah ia selesai membersihkan dan mengganti pakaianku. Lalu perawat itu pun meninggalkanku.
“Assalamuaikum, Saila...” salam ayah dan ibu yang baru saja datang.
“Ayah...kau tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit saat kejadian itu? Perawat itu mengatakan seorang pria berkewarganegaan asing, siapa dia?” ujarku seraya menunjuk pada perawat yang baru saja meninggalkan kamarku.
Ayah diam tak menjawab untuk beberapa saat. Lalu beliau menoleh pada ibu.
“Ya perawat itu benar. Dia dosenmu yang dari Perancis itu bukan?” jawab ayah.
“Monsieur Dylan...” desisku kecewa.
“Dia yang menemukanmu tergeletak di dekat tangga, dia dengan sigap membawamu kemari.” Ucap Ibu pelan. Aku merasa ibu menyembunyikan sesuatu dariku yang entahlah apa itu.
“Apa beliau juga yang menjagaku selama aku koma? Selama kalian tak ada?”tanyaku lagi.
“Ya, dia yang menjagamu ketika kami belum sempat datang kemari.” Jawab ayah.
“Lalu siapa yang selalu membacakan Qur’an ketika aku koma?” aku tak berhenti bertanya.
“Siapa lagi yang bacaan Qur’annya sangat bagus, kalau bukan Kak Yasmin.” Kini Ibu yang menjawab.
Aku terdiam beberapa saat. Aku teringat pada MP4 yang ada dalam genggamanku.
“Ini? Ayah tahu, darimana aku mendapatkan ini?”
Ayah tampak terkejut, bibirnya diam terkatup tak mengucapkan sepatah kata pun. Kedua bola matanya bergerak cepat, seolah kekahawatiran menyergap hatinya.
“Apa kau lupa Saila? Itu adalah hadiah ulang tahun dariku. Aku pikir kecelakaan itu membuatmu sedikit amnesia.” Ujar Kak Wafa yang tiba-tiba datang.
“Jangan bercanda kau, Wafa! Ada apa lagi ini mengatakan adikmu Amnesia pula.”
Ayah menyikut lengan kak Wafa.
“Aku baru mendapat penjelasan tambahan dari dokter kemarin. Menurut pemeriksaan lebih lanjut pada kepala Saila. Benturan itu juga menyebabkan amnesia ringan. Itu kenapa ilusinya lebih kuat mendominasi memori otaknya karena beberapa bagian memorinya yang lain hilang.” Jelas kak Wafa. Pernyataan kak Wafa menambah satu belati lain yang menghujam jantungku. Separah itukah aku?
“Wafa... tidak sebaiknya kamu mengatakan semua itu langsung di depan adikmu. Kita bisa membicarakan hal itu diluar.” Sergah ibu. Kak Wafa terdiam. Lalu dia kembali pergi meninggalkan kamar rumah sakit yang aku huni beberapa hari terakhir ini.
Aku sangat kecewa. Apa yang aku pikirkan selama ini ternyata hanyalah sebuah mimpi. Aku sungguh kecewa, tanda-tanda yang muncul dan aku anggap sebagai petunjuk itu tak berarti apapun untukku.
“Ada apa Saila? Ada sesuatu yang kau pikirkan?”tanya Ibu. Beliau mendekatiku dan membelai-belai kepalaku.
“Apa kau memikirkan apa yang kau katakan pada kami kemarin? Tentang pernikahanmu yang ternyata hanya mimpimu itu?” ujarnya lagi. Ibu menekankan kata-kata terakhir dalam pengucapannya.
Aku diam tak menjawabnya. Aku harap mereka tak membahas tentang hal itu lagi. Apalagi memperjelas kata-katanya yang terakhir, bahwa pernikahan itu hanyalah mimpi dalam ketidaksadaranku.
“Assalamualaikum Saila...” seorang dokter dengan seorang perawat yang membawa kruk ditangannya datang menghampiriku.
Kruk itu... aku teringat akan satu kejadian, seorang pria berjalan dengan kruk perlahan dan tertatih-tatih... lalu beberapa saat kemudian terdengar sebuah erangan. Lalu kutemukan pria itu terduduk lemas di kamar mandi dengan rembesan darah di gipsnya dan wajahnya tampak meringis kesakitan. Pria itu adalah Aidan!
Hentikan Saila!!! Semua itu hanya ilusi!, aku mencaci diriku. Mencoba menyangkalnya. Aidan?? Tak ada Aidan!! Yang hanya adalah Rafaël. Perlu kau tahu Rafaël tak pernah mengenalmu apalagi menikahimu. Semua itu hanyalah mimpi... mimpi... dan mimpi.
“Kau baik-baik saja Saila?” sapa Dokter itu membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Ku lihat kau jauh lebih baik sekarang. Hari ini kau akan belajar berjalan mengenakan kruk.” Ujarnya.
“Apa aku harus berjalan dengan kruk untuk selamanya?” tanyaku seraya ku lirik kruk yang diletakkan perawat itu di sampingku.
“Tidak! Kau hanya membutuhkan benda itu beberapa bulan saja. Sampai aku melepaskan gips di kakimu itu?” jelas dokter itu sambil menunjuk kaki kananku yang terluka.
“Baiklah...”
Mereka membantuku bangun dari tempat tidurku. Mulailah aku belajar berjalan dengan kruk itu. Sungguh sulit! Pertama, aku bertopang pada dua benda itu. Kedua, aku harus menahan rasa sakit di kakiku. Ketiga, aku seringkali tergilincir dan hampir jatuh. Hingga perlahan-lahan aku dapat berdiri dan berjalan benar dengan benda itu, Alhamdulillah.

***


Esok harinya dokter mengizinkanku pulang. Dengan alasan kondisiku yang masih lemah, keluargaku membawaku ke rumah mas Deniez. Padahal aku ingin sekali pulang ke rumah orang tuaku.
Aku bersyukur saat ini tengah liburan, sehingga aku dapat konsentrasi memulihkan kondisiku dan aku tidak harus meninggalkan kuliah karenanya.
Malam itu aku duduk sendiri di kamarku. Ku nyalakan MP4 hitam ‘pemberian’ kak Wafa itu, meski dalam hatiku aku tak yakin bahwa MP4 itu darinya. Lantunan ayat suci mulai mengalir di telingaku, sejuk, damai dan menenangkan hatiku. Aku memejamkan mataku mencoba menghayati setiap ayatnya yang mengalir.
“Aku telah memasukkan Qur’an digital dan lagu-lagu Islami dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Aku juga telah memasukkan lagu-lagu Perancis dan Spanyol, supaya kau bisa belajar bahasa melalui lagu-lagu itu.” Suara Aidan membisik di hatiku. “Untukku?” tanyaku. Dia mengangguk seraya melemparkan sebuah senyumannya yang khas, hanya menampakkan sedikit deretan giginya yang rapi.
“Tante...!” seseorang memanggilku, aku tersentak. Suara lembut itu menyadarkanku dari lamunan. Aku membuka mataku. Ku lihat sosok mungil berdiri di depan pintu kamarku.
“Nawfal? Kemarilah sayang...” panggilku. Dia berjalan mendekatiku, lalu duduk di pangkuanku.
“Tante kenapa? Tante, apa kau sedang sedih?” tanyanya. Aku memandangi wajah polosnya.
“Kenapa Nawfal? Apa tante terlihat sedih?” aku balik bertanya kepadanya.
Dia mengangguk. “Sejak tante pulang dari rumah sakit. Aku tak pernah melihatmu tersenyum. Bahkan tante tak pernah mengajakku dan Ayla bermain.”
“Maafkan tante, kau tahu kaki tante masih sakit. Tante janji akan mengajak kalian bermain jika tante sembuh nanti.”
“Bukan itu! Aku hanya tak ingin melihatmu sedih. Bunda berkata tante tengah sedih sekarang. Bunda juga mengatakan aku harus selalu menjaga tante.”
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. “Jika kau selalu disamping tante, tante takkan sedih.” Aku mengecup keningnya dalam-dalam.
“Aku mohon, tante jangan bersedih lagi.” Nawfal memelukku.
“Insya Allah, tante takkan bersedih lagi.” bisikku ditelinganya. Aku memandangi MP4 itu. Terbesit dalam hatiku untuk menanyakan tentang Aidan pada Nawfal. Tapi... apa jadinya kalau semua itu memang hanyalah ilusi dan aku benar-benar telah gila oleh mimpi itu.

***

Waktu terus berjalan. Keadaan kakiku telah lebih baik, tapi hatiku masih hancur dan tak jelas. Perlahan aku harus melupakan semuanya. Bagaimanapun juga semua itu hanya mimpi, aku tak ingin mimpi itu mempengaruhiku dan menggangu kehidupanku.
“Ukhti, kembalikan semua itu hanya pada Allah. Apa yang membuat kamu seperti ini terus karena kamu lupa untuk meminta pertolonganNya.” Ujar kak Yasmin. Saat dia dapati aku murung di kamarku.
Apa yang dikatakan kak Yasmin memang benar, aku telah melupakanNya, aku lupa meminta pertolonganNya. Aku telah egois.
Ya Allah maafkan aku… ampuni aku.
Liburan pun telah usai, aku mulai kembali ke kampus dan bertemu dengan kawan-kawanku.
Kehadiran mereka telah membantuku melupakan mimpi itu.
“Aku dengar, Monsieur Dylan sudah tidak mengajar disini lagi?” tanyaku pada Rahma.
“Ya, dia mengajar di Auckland sekarang!” ujar Rahma.
“Tu as raison, je vais enseigner à Auckland (Kau benar, aku akan mengajar di Auckland).” Itu adalah kata-kata yang ku dengar dalam mimpiku. Kenapa bisa begitu tepatnya dengan kenyataan. Apa ini hanya suatu kebetulan belaka? Aku mencoba berpikir.
Ah, mungkin saja percakapan aku dengan monsieur Dylan itu benar terjadi, namun kedatangan Aidan setelahnya adalah kejadian dalam mimpiku. Bukankah memori otakku menjadi ‘campur aduk’ karena kecelakaan itu? Sehingga aku tak belum bisa memisahkan mana kenyataan dan ilusiku.
“Kau baik-baik saja?” Rahma membuyarkan lamunanku.
“Oh ya? Lalu siapa penggantinya?” aku mencoba mengalihkan perhatian Rahma.
“Aku dengar, native sekarang perempuan. Namanya Cecile.” Jelas Rahma.
“Oh...”
“La, kau mengontrak mata kuliah olahraga?” tanya Rahma lagi.
“Ya.”
“Kakimu masih sakit!” ujarnya seraya menunjuk kaki kananku yang masih berjalan pincang meskipun tanpa kruk.
“Bagaimana lagi? Aku sudah mengontraknya sebelum aku sakit.” Kataku seraya menunjuk kartu kontrak studi yang ku pegang.
“Kau masih bisa membatalkannya, bukan?”
“Aku harus kehilangan 2 sks karena aku sakit? Di depan itu masih banyak sks yang harus aku kontrak.” Kataku masih dengan keras kepala.
“Kau hanya akan membahayakan dirimu sendiri.” Ucap Rahma dengan wajah kekhawatirannya.
“Tenang saja teman, Insya Allah aku akan baik-baik saja.” Ujarku.
“Ya kuharap begitu. Aku tahu, kau masih harus check up ke rumah sakit.” Ujarnya dengan nada tak mau lagi debat denganku.
“Hm... kau tahu kapan jadwal mata kuliah olahraga?”
“Kapan lagi kalau bukan hari rabu?”
Hari ini tepat dua bulan sudah setelah aku kecelakaan itu. Walaupun aku tak tahu kapan jelasnya kecelakaan itu terjadi. Aku sendiri lupa bagaimana semua itu terjadi, semuanya begitu cepat dan semua kejadian itu terhapus begitu saja dalam benakku. Aku berdiri di depan tangga lantai dua, tempat dimana aku terjatuh. Aku mencoba mengingat lagi kejadian itu. Meskipun tak ada sedikit pun yang aku ingat kecuali saat itu aku bertemu Aidan, lalu kami bertengkar, dia memegang tanganku, aku berusaha untuk melepaskan diriku, lalu kakiku tergelincir dan semuanya menjadi gelap.
Tidak Saila! Itu hanya mimpi, kejadiannya tak seperti itu! Batinku.
Aku masih mencoba mengingat, tapi tetap sama aku hanya menemukan memori itu dan tidak terganti. Memori yang ‘campur aduk’, gumamku kesal.
Aku benci tak bisa mengingatnya. Aku terkulai lesu disamping tangga, pandanganku mulai memudar terhalangi butiran-butiran bening dari mataku. Aku menutup wajahku. Kenapa aku tak bisa ingat apapun kecuali Aidan...Aidan dan Aidan lagi. Aku mulai terisakisak menahan perih yang merasuki dadaku.
“Saila... apa yang kau lakukan disini?” tanya Rahma datang dengan tiba-tiba.
“Rahma, bolehkah aku bertanya padamu?”
Rahma mengangguk cepat.
“Kau melihatku saat aku kecelakaan?” tanyaku, kuhapus air mataku.
“Tidak! Saat itu aku telah pulang ke Sukabumi. Bukankah hanya Monsieur Dylan yang tahu kecelakaan itu dan dia pula yang menolongmu.”
“Apa dia mengatakan bagaimana kronologisnya padamu atau orang lain?”
“Aku rasa tidak! Dia terlanjur pergi ke Auckland dan tak sempat bercerita pada siapapun.”
“Ah!” aku memukul lutut kiriku kesal.
“Rahma...apa aku pernah bercerita tentang pria bernama Aidan?” tanyaku.
“Aidan? Siapa dia?” dia balik bertanya dengan penuh keheranan, lalu menggelengkan kepalanya.
“Apa kau pernah melihat aku makan atau pergi dengan seorang pria kewarganegaraan asing?”
“Tidak!” jawab Rahma. “Aku tak pernah melihatmu berjalan bersama dengan pria yang bukan mahrammu, bagaimana mungkin??”
“Apa kau tahu aku sudah menikah? Dan pria itu adalah suamiku?” ujarku dengan nada sedikit meninggi.
“Saila, kau baik-baik saja? Kau tidak sakit lagi bukan? Aku cukup mengenalmu, apapun yang terjadi dalam hidupmu, kau selalu bercerita padaku. Tapi kau tak pernah bercerita kalau kau telah menikah!” jelasnya. “Apa kau sedang bercanda? Aku tahu kau suka berkhayal... tapi kalau kau berkata telah menikah dengan pria yang kau sebut tadi, berkhayalmu itu telah keterlaluan!” ujarnya lagi.
Hentikan Saila!! Padahal kau sudah tahu bahwa semua itu hanya mimpi... kenapa kau masih mengungkitnya? Semua itu hanya akan melukaimu saja...
“Ya kau benar Rahma. Aku hanya bercanda dan itu hanya khayalanku saja.” Aku tertawa datar. Tawa yang mengiringi keperihan di hatiku. Sedikit demi sedikit tawa itu berubah menjadi tangis kembali.
“Saila... sebenarnya apa yang terjadi?” Rahma menatapku dengan heran penuh kekhawatiran.

“Tidak ada, aku hanya menyesali kenapa aku bisa tak ingat saat kecelakaan itu.”
“Itu bukan masalah Saila. Dokter mengatakan kau mengalami amnesia ringan dan akan segera sembuh. Jadi ingatanmu akan segera kembali.” Rahma mencoba menghiburku.
Ya, aku akan sembuh bukan sekedar dari ingatan itu tapi dari mimpiku. Meski jauh di dalam hatiku aku yakin itu bukan mimpi tapi sebuah misteri yang harus aku ungkap.
“Aku yakin kau akan baik-baik saja.” Rahma kembali menghiburku.
Sesungguhnya dia tak pernah tahu apa yang aku pikirkan, apa yang menjadi kegundahan hatiku. Maafkan aku Rahma, kau selalu tahu tentangku, tapi untuk hal ini aku tak dapat menceritakannya
padamu.
Pandanganku terus meluncur pada anak-anak tangga dihadapanku yang menurun ke bawah. Aku ingat saat tubuhku terhempas dari anak tangga satu ke anak tangga yang lainnya.

***


Part 12 : Rumah Bibi Sarah


Waktu bergulir meninggalkan hari-hari kelam yang mencekamku. Enam bulan sudah berlalu sejak aku bangun dari ketidaksadaranku, namun sesungguhnya aku belum bangun dari tidur panjangku, meski aku tak pernah lagi berpikir atau berharap Rafaël adalah suamiku. Tidak! Tidak pernah dan tidak akan!
Ketika aku merasa lebih tenang dengan keputusanku untuk menerima kenyataan itu dan tidak lagi melakukan hal bodoh untuk mengungkapnya lagi. Sebuah mimpi buruk malah datang menyapaku. Setiap kali mengiang dalam telingaku, suara-suara yang membuat hatiku hancur. Seolah semua itu mencegahku untuk melupakan mimpi konyol itu.
“Tapi kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu Ayah.” Tiba-tiba sebuah suara mengiang ditelingaku dengan keras dan penuh keangkuhan.
“Ku mohon Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku.” Suara lain terdengar memelas di telingaku. Suara seorang pria yang begitu ku kenal.
“Demi bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!” suara pertama menjawab dengan kasar tanpa perasaan, seolah tak pernah peduli dengan ratapan pria itu.
Hingga aku tersadar Adzan shubuh memanggil dan aku terbangun dari tidurku. Aku belum melupakannya, percakapan yang sering hadir di setiap malamku dalam dua bulan terakhir itu adalah percakapan dalam mimpi ketidaksadaranku, ilusiku. Percakapan itu telah menyayat hatiku, aku telah memakinya, aku telah melukainya, dan aku merasa menyesal melakukannya.
Kenapa semuanya terasa begitu nyata? Kenapa hatiku hancur setiap kali mimpi itu datang? Dan kenapa aku menyesalinya? Bukankah itu tidak nyata? Aku tak pernah mempunyai bukti bahwa mimpi yang selalu kurasa nyata itu sungguh nyata. Tak ada cincin kawin, MP4 itu pun tak bisa kujadikan bukti bahkan untuk meyakinkan diriku sendiri pun aku tak mampu.
Tiba-tiba aku teringat satu hal. Paman Ali dan bibi Sarah! Jika Aidan hanya mimpiku, maka mereka pun tidak akan pernah ada. Tapi mengapa aku masih mengingat alamat tempat tinggal mereka. Tidak mungkin, jika itu mimpi maka rumah itu tak akan pernah ada juga, aku harus membuktikannya!, pikirku.
Ingatanku tentang paman Ali dan bibi Sarah menyuntikkan semangat baru untuk mengungkap misteri itu. Entah mengapa hati kecilku masih belum dapat menerima kenyataan yang dikatakan dokter dan diyakini keluargaku, setidaknya aku harus mengungkap mimpi buruk yang menghiasi malamku dan meminta maaf padanya. Ini adalah bukti terakhirku, jika paman Ali dan bibi Sarah memang tak ada aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memikirkannya lagi meski mimpi buruk itu menghantuiku setiap malam. Aku tak peduli!
Tapi sekarang aku harus mampu membuktikan walau hanya untuk meminta maaf.

***


Sore itu sepulang kuliah aku langsung pergi ke sebuah komplek perumahan mewah di Bandung. Dengan perasaan ragu aku melangkah mendekati rumah bercat cokelat muda itu, aku memandangnya. Tidak ada perubahan sama sekali, rumah bernomor 66E itu masih terlihat sama persis seperti dalam ingatanku. Aku semakin percaya diri untuk mendekatinya, namun semakin dekat aku semakin ragu saat kulihat kondisi rumah itu yang berdebu, seolah tak berpenghuni lagi. Aku pun tak dapat melihat mobil Audi A3 Paman Ali yang biasa di parkir di halaman rumah. Aku menengok ke kiri dan kanan. Seorang wanita muda berjalan di depanku.
“Assalamualaikum.” Sapaku pada wanita itu.
“Waalaikumsalam.” jawabnya.
“Mbak. Boleh saya tanya?”
“Tanya apa mbak?” Wanita muda itu balik bertanya.
“Apa rumah ini tak ada penghuninya?”
“Sejak saya tinggal disini, rumah ini kosong.”
“Apa benar ini rumahnya Bapak Ali Nurhakim?”
“Maaf mbak, saya baru tinggal disini empat bulan yang lalu. Saya kurang tahu siapa pemilik rumah ini.”
“Oh begitu ya. Terimakasih Mbak.”
“Sama-sama.”
Wanita itu berlalu dari hadapanku. Aku meninggalkan rumah itu dengan langkah gontai. Sudahlah Saila, sesulit apapun kau untuk menerima kenyataan ini pada akhirnya kau harus menerimanya juga. Kau memang harus melupakannya. Tak ada alasan lagi untuk menolak dan berontak dari kenyataan. Mimpi buruk itu hanyalah ilusi dan semua itu akan berakhir cepat ataupun lambat.
Langkahku sungguh berat meninggalkan rumah itu, sesekali aku menengok kebelakang berharap sesorang keluar dari rumah itu dan memanggilku. Seharusnya aku tersadar, jika memang tidak pernah ada seorangpun yang memanggilku.
“Saila... kenapa kau pulang malam? Bukankah kau kuliah hanya sampai jam tiga?” suara kak Yasmin mengejutkanku.
“Pulang kuliah aku pergi ke komplek perumahan Pondok Hijau.” Jawabku datar.
“Untuk apa?” Mas Deniez tiba-tiba datang mengejutkanku.
“Aku ingin bertemu dengan Bibi Sarah.” Ujarku.
“Mereka itu hanya ilusimu, Saila!” suara mas Deniez semakin meninggi.
Aku terkejut. Bukan karena bentakannya, tapi darimana beliau mengenal Bibi Sarah, jika aku tak pernah bercerita tentang paman Ali dan bibi Sarah, kecuali Aidan.
“Bagaimana mungkin mas Deniez mengatakan bibi Sarah itu bagian dari mimpiku. Apa mas tahu siapa Bibi Sarah?”
“Tentu saja. Dia itu Bibinya Aidan, bukan?”
“Bagaimana mas tahu kalau bibi Sarah itu bibinya Aidan, kalau sebelumnya aku tak pernah cerita hal itu pada kalian semua?”
Mas Deniez tak menjawab pertanyaanku. Beliau diam seribu bahasa. Mulutnya kini terkunci rapat.
“Kenapa juga harus mempermasalahkan tentang mimpimu itu?” ucap mas Deniez sinis.
“Tapi mimpi itu telah mengganggu malam-malamku, mas!” Ujarku memelas.
“Ah.. itu karena kamu terlalu memikirkannya.”
“Sudahlah...” Kak Yasmin melerai kami. “Saila, ayo mandi sana...”
Aku pergi meninggalkan mereka, masih dapat kutangkap reaksi mas Deniez yang tampak masih marah padaku. Aku masih memikirkan apa yang dikatakan mas Deniez tadi. Seribu tanda tanya seolah memenuhi isi kepalaku. Kenapa misteri ini sulit sekali terungkap, padahal bukti-bukti seolah datang menghampiri.
Aku menghentikan langkahku, perut bagian bawahku terasa melilit. Ku pegang erat perutku. Tubuhku tersungkur ke lantai mencoba menahan rasa sakit ini.
Oh ya Allah... rasanya aku tak kuat menahan sakit ini..., desisku. Aku tak tahu mengapa sakit ini tiba-tiba datang, dan aku pun tak tahu penyebab dari sakit ini. Bayanganku kembali ke masa lalu. Rasa sakit ini sama ku rasakan persis ketika aku terjatuh dari tangga itu, namun akhinrya semuanya gelap dan aku tak tahu apa yang terjadi lagi padaku.
“Saila? Apa yang terjadi padamu?” Kak Yasmin segera datang menghampiriku segera.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku meringis menahan rasa sakit. Kak Yasmin membantuku berdiri dan merebahkan tubuhku di tempat tidurku. Setelah itu kak Yasmin pergi meninggalkan kamarku dan kembali dengan teh manis hangat di tangannya.
“Minumlah...” ujarnya. Aku meminumnya sedikit, tapi teh manis itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang kurasakan.
“Kau sudah lebih baik?” tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepalaku. Aku dapat merasakan keringat mengalir di dahi dan pelipisku.
“Bagaimana jika kita pergi ke dokter saja?” usul kak Yasmin.
Aku menggelengkan kepalaku lagi tanda tak setuju.
“Aku sungguh khawatir melihatmu seperti ini, Saila.” Ujarnya.
“Insyaallah, aku akan baik-baik saja. Aku akan tidur, mungkin setelah itu aku akan kembali pulih.” Rasa sakit itu mulai mereda.
“Baiklah...”
Aku memejamkan mataku. Dalam beberapa menit mimpi itu kembali menghampiriku. Berawal dari pertengkaran kecil di dekat tangga hingga aku tergelincir dan jatuh di tangga, dan kurasakan rasa sakit yang begitu dahsyat menghujam di perut bagian bawah. Aku meringis kesakitan seraya beberapa kali kuucapkan kalimat istighfar.
“Masya Allah Saila...” ku dengar kembali suara lembut yang menenangkan itu.
“Saila, kau baik-baik saja?” sekarang kudengar suara seorang wanita memanggilku.
“Saila.” Seseorang menyentuh bahuku.
Aku terjaga dari tidurku. Ku lihat seorang wanita berdiri dihadapanku dengan wajah panik.
“Kau baik-baik saja?” tanya Kak Yasmin kembali. Aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya. Aku masih meringis menahan rasa sakit di perutku.
“Kau harus ke dokter... kau harus ke dokter.” Ujarnya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa ketika Kak Yasmin dan Mas Deniez membawaku pergi ke dokter. Aku berada diambang kesadaranku, aku tak tahu apapun, yang kuingat kami pergi di larutnya malam.
Aku memasrahkan diriku, ketika seorang wanita dengan jas putihnya memeriksa perutku.
“Apa yang terjadi dengannya?” tanya Kak Yasmin pada wanita itu.
“Ada sedikit infeksi pada rahimnya...” kudengar jawaban dari wanita itu ditengah kesadaranku yang tiba-tiba datang dan hilang. “Apa yang pernah terjadi padanya? Apa dia pernah mengalami keguguran?”
Aku tak mendengar jawaban lagi dari kak Yasmin. Sesaat semuanya sunyi dan gelap.
“Hasil diagnosa saya, infeksi bisa jadi dari keguguran yang pernah dialaminya...”
sayup-sayup kudengar penuturan dokter itu. Semuanya gelap dan aku tak tahu apa yang terjadi padaku setelahnya. Hingga Kak Yasmin membangunkanku untuk sholat shubuh, dan rasa sakit itu sudah hilang sama sekali.
“Kak, boleh aku bertanya sesuatu padamu?” ucapku setelah selesai mendirikan sholat shubuh.
“Tentu.” Jawabnya.
“Apa yang dikatakan dokter tentang rasa sakit yang aku derita?”
“Hm... entahlah. Hanya ada sedikit infeksi di rahimmu.”
“Apa aku akan baik-baik saja? Apa mereka tidak harus mengangkat rahimku seperti di sinetron-sinetron?”
“Insyaallah kau baik-baik saja.” Jawab Kak Yasmin. “Kau terlalu banyak menonton sinetron Saila!”
“Kenapa rahimku bisa infeksi? Setahuku selama ini rahimku baik-baik saja.”
“Itu karena makanan yang kau konsumsi saat menstruasi tidak baik untuk rahimmu. Bukankah kakak sering mengingatkanmu?”
“Benarkah? Ku dengar dokter mengatakan infeksi itu disebabkan karena keguguran?”
“Keguguran? Kapan kau hamil, Saila? Lagi pula tadi malam kau benar-benar tak sadarkan diri. Kau hanya salah dengar.” Kak Yasmin tersenyum kecil, dalam senyumannya aku menangkap luka dalam hatinya. Air mata mulai menutupi bola matanya yang hitam. Kak Yasmin segera berpaling dariku dan pergi dari kamar rumah sakit yang aku diami. Aku merasakan keganjilan dalam dirinya. Aku merasa dia bukan lagi kak Yasmin yang kukenal dulu.
Siang harinya ayah, ibu dan kak Wafa datang menjengukku. Aku menangkap wajah khawatir dari ketiganya.
“Saila, kau baik-baik saja, nak?” seru Ibu. Aku mengangguk.
“Kau membuat kami khawatir.” Kata Kak Wafa.
Aku memandang wajah mereka silih berganti. Ketiganya seolah menyembunyikan sesuatu dariku dan luka itu kembali menyeruak dalam dadaku.
Ya allah kapan kiranya aku bisa berhenti dari semua ini dan berhenti bersuudzan pada mereka.
Aku menghela nafas berat. Pandanganku beralih pada pemandangan di luar jendela rumah sakit. Gedung-gedung tinggi berbaris seolah berlomba untuk menyentuh langit. Namun langit itu masih kokoh berdiri dengan ketenangannya, kesunyiannya, seolah semuanya akan baik-baik saja.
Andai aku bisa seperti langit itu, tetap kokoh dalam ujianNya. Andai aku seperti air di danau yang tetap tenang tanpa ombak.
“Saila, apa kau merasakan sakit lagi?” Kak Wafa membuyarkan lamunanku. Aku melemparkan seulas senyum padanya.
“Tidak.” Jawabku singkat. Meskipun memang aku merasakan sakit, tapi bukan di perutku melainkan di balik dadaku, hatiku yang masih remuk redam.
“Insyaallah, kamu akan pulih seperti biasa.” Kak Wafa mencoba menghiburku.
Aku tersenyum kecut. Dalam hatiku, aku tak yakin aku akan kembali pulih. Bahkan aku telah lupa bagaimana kehidupanku yang pulih sebelum kecelakaan itu terjadi, karena semua yang aku ingat hanyalah aku telah menikah dengan Aidan dan tinggal di asrama. Asrama?
Satu lagi kata kunci yang mungkin bisa kuungkap. Bukan untuk kembali menjadi istri Aidan, Rafaël atau siapapun nama lelaki itu. Minimal aku bisa meminta maaf atas kesalahan dan keangkuhanku padanya, dan aku bisa terlepas dalam bayang-bayang mimpi itu.
Sudahlah Saila...! sampai kapan? Yang ada kau hanya akan kembali dikecewakan oleh fakta. Jika Paman Ali dan bibi Sarah saja memang tak ada dalam hidupmu, lagipula mereka telah wisuda. Sekarang mungkin di asrama itu hanya ada orang-orang baru yang tidak mengenalmu sama sekali. Lagi pula benarkah aku pernah masuk asrama ataukah itu hanya bagian dari mimpiku saja? batinku. Ku urungkan niatku untuk pergi ke tempat itu. Aku hanya takut kecewa untuk kesekian kalinya.
“Kau melamun lagi, Saila?” Kak Wafa kembali membuyarkan lamunanku.
Aku memandang seorang bayi perempuan dalam gendongannya.
“Bayi siapa itu Kak ?” tunjukku pada bayi berumur kurang lebih satu tahun itu.
“Ya ampun Saila, ini Zaira. Putri kakak dan mas Fadli.”
“Astagfirullah... bagaimana bisa aku tak ingat kakak sudah punya anak?”
“Karena selama ini kau hanya sibuk pada duniamu sendiri. Bangunlah Saila, kembalilah seperti Saila yang dulu, Sailaku yang manis, Sailaku yang ceria, Sailaku yang manja. Bukan Saila yang terus terpuruk dan putus asa seperti ini. Hidup ini masih panjang, jangan kau sia-siakan waktumu. Allah tak menyukai hambaNya yang lemah.” Butiran bening mulai membasahi bola matanya. “Kami ingin Saila kami kembali.”
Aku turut meneteskan air mataku. “Aku hanya hambaNya yang lemah.”
“Allah lebih mencintai hambaNya yang kuat.”
“Tapi aku merasa tidak bisa menjadi hamba yang kuat.”
“Allah sebagaimana dengan perasaan hambaNya. Jika kau merasa lemah, maka kau akan selamanya lemah. Allah tidak akan mengubah nasib seseorang jika kau sendiri tidak mau mengubahnya.” Aku tertegun mendengar ucapan Kak Wafa
Ya! Kau benar Kak Wafa. Aku harus mengubah diriku sendiri, ujarku dalam hati.

***


Part 13 : Pendatang Baru


Aku mencoba menjalani hidupku sewajar mungkin. Mencoba melupakan semua kejadian-kejadian yang mereka katakan sebagai mimpiku. Aku tak peduli lagi dengan mimpi-mimpi buruk yang selalu menggemparkan malamku. Aku tahu semuanya akan berakhir. Aku mencoba untuk menjadi Saila seperti yang dikatakan mereka. Aku bertekad untuk melupakan semua itu. Selama Allah disampingku, aku tak perlu sedih dan mengkhwatirkan apapun juga.
“...tapi kau harus ingat bahwa Allah selalu bersama kita.” Kata-kata itu mengalir ditelingaku. Tentu aku masih ingat siapa yang mengatakannya. Seorang pria yang terbaring di tempat tidur dengan luka di kaki kanannya mengatakan itu padaku di malam yang beku dengan salju-salju yang bertebaran di jalanan. Tentunya dalam mimpiku saat aku tak sadarkan diri.
“Saila, kau bisa mengantarku ke Islamic Center sekarang?” tanya Rahma seraya memandangiku yang tengah sibuk memasukan barang-barang kedalam tasku setelah Monsieur Kemal mengakhiri kuliahnya.
“Islamic Center ?” tanyaku setengah terkejut. “Untuk apa?”
“Meminjam buku.”
“Pinjam buku? Mengapa harus kesana? Kau bisa pinjam di perpustakaan tutorial Agama Islam disini, bukan?”
“Kau tahulah disana lebih lengkap.”
“Hmm baiklah...”
“Oh terimaksih Saila... aku mencintaimu...” ujarnya.
“Sudah hentikan! Tidak perlu berlebihan seperti itu!” ucapku geli. Ku cubit pipinya yang chubby. Ia mengerang dan mencoba menepis tanganku.
“Ayo...” ajak Rahma. Kami pun segera bergegas pergi.

Sesampainya disana Rahma segera menghambur menuju perpustakaan dan memburu buku yang dicarinya. Aku hanya duduk menungguinya seraya membaca majalah Islam terbaru. Beberapa saat kemudian Rahma datang menghampiriku dengan wajah kecewa.
“Ada apa?” tanyaku
“Aku tidak bisa menemukan buku yang kucari.”
“Buku apa yang kau cari?”
“Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Al-mubarakfuri.”
“Hm...” aku beranjak dari tempatku dan membantunya mencari, tapi aku pun tak berhasil menemukannya.
Seorang pria dengan kemeja cokelat muda dan celana hitam berdiri tak jauh dariku. Aku mendekatinya mencoba menanyakan buku yang dicari Rahma.
“Assalamualaikum...” sapaku.
“Waalaikumsalam...” jawabnya.
“Afwan Akh... boleh saya bertanya?”
“Oh... silakan.” Pria itu menoleh ke arahku. Wajahnya tampak terkejut saat melihatku.
“Temanku mencari buku Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Almubarakfuri.”
Ujarku. “Antum tahu disebelah mana buku itu?”
Pria itu belum menjawab pertanyaanku. Matanya masih terpaku padaku di balik kacamata minusnya, tatapan keheranan seolah ia telah mengenalku. Aku tak mengerti apa yang terjadi padanya. Bahkan aku tak mengenalnya sama sekali.
“Afwan Akh...” ucapku dengan sinis. Aku mulai kesal dengannya yang terus memandangiku.
“Astagfirullah...” desisnya. Dia segera berpaling dariku. “Sebelah sana...ukh. Di rak timur bagian pojok sana terdapat buku sirah karangan berbagai ulama.”
“Syukron akh..” ucapku dan segera meninggalkannya menuju rak yang ditunjuknya.
“Tampaknya kau mengenal pria itu? Siapa dia?” tanya Rahma
“Siapa?”
“Laki-laki yang tadi ngobrol denganmu.”
“Hmm... aku tak mengenalnya.” Jawabku dingin.
“Kau yakin?”
Aku mengangguk.
“Tapi beliau ganteng, Sa!”
“Rahma? Bukankah kau berjanji akan belajar menjaga pandanganmu?”
“Ups! Aku hanya tidak sengaja melihatnya, ukh!”
Aku mendengus.
Akhirnya Rahma menemukan buku yang dicarinya di tempat yang ditunjukkan lelaki itu. Dengan wajah ceria Rahma segera membawa buku itu pada petugas perpustakaan untuk dipinjam.
“Saila... aku senang melihatmu kembali ceria.” Ujar Rahma.
“Benarkah?”
Rahma mengangguk girang.

***


Sore itu aku tengah bermain dengan Nawfal dan Ayla. Ayla telah tumbuh menjadi anak yang lincah. Semakin hari aku semakin mencintainya seperti anak kandungku sendiri.
“Tante... lihat gambarku! Bagus bukan?” teriak Nawfal dengan riangnya.
“Coba tante lihat.” Aku mengambil kertas dengan tangan kananku. Tangan kiriku masih menggendong Ayla.
“Subhanallah... gambar Kakak bagus sekali.”
“Sini tante gambar ayam di sebelah sini ya...” aku menggoreskan pinsil di atas kertas itu hingga membentuk gambar ayam.
“Saila... saila...” panggil Kak Yasmin. Beliau menghampiriku dengan tergesa-gesa.
“Ada apa?” aku memandangnya heran.
“Saila... Kakak ingin berbicara padamu.”
“Bicara apa?”
“Kemarin kami kedatangan seorang tamu. Kenalan lama keluarga kita.”
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Haekal El Syahidan.” Jawab kak Yasmin. Aku mengernyitkan dahiku.
“Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya.”
“Dia teman baik Fadli. Kau tahu apa tujuan beliau datang kemari?”
Aku mengelengkan kepalaku.
“Dia ingin melamarmu. Saat itu juga aku dan mas Deniez segera menelepon ayah dan ibu. Mereka sangat senang mendengarnya dan mereka setuju, tapi mereka mengembalikan keputusan itu padamu.”
Aku terkejut mendengar perkataan kak Yasmin. Sebuah guntur serasa menyambar kepalaku. “Katakan kalau kakak cuma bercanda.” Responku.
“Aku serius!” kak Yasmin menyerahkan selembar amplop cokelat padaku. “Ini fotonya.”
Aku membukanya perlahan. Aku tatap foto itu dengan seksama. Pria dengan kulit kuning kecokelat-cokelatan. Bola mata yang bulat dengan iris yang hitam pekat, hidungnya mancung dan bibir tipis dilengkapi dengan janggut tipis di dagunya, tidak lebih tampan dari pangeranku, Aidan. Dia! Pria yang aku temui di perpustakaan Islamic center!
Aku memasukkan kembali foto itu ke dalam amplop cokelat dan menyerahkannya kembali pada kak Yasmin. “Beri aku waktu beberapa hari. Aku ingin shalat istikharah agar aku yakin dengan keputusan yang akan aku ambil nanti.” Ku lemparkan seulas senyum pada kak Yasmin.
“Keputusan yang sangat bijak. Aku suka kau tidak tergesa-gesa.”
Aku masih tidak percaya dengan berita dari Kak Yasmin itu. Aku tidak percaya ada seorang pria yang ingin menjadikan aku sebagai istrinya. Bagaimanapun juga sebagai seorang wanita aku merasa tersanjung. Aku harap kedatangannya bisa mengobati luka di hatiku. Sebelum pergi tidur aku sempatkan sholat istikharah dua rakaat dan berdoa memohon diberikan yang terbaik untukku. Setelahnya aku terlelap dalam tidurku.
Sore itu aku telah duduk di kursi taman yang tak jauh dari rumah mas Deniez. Langit tampak begitu terang, awan-awan putih menghiasi birunya sang langit. Kicauan burung membaur bersama angin semilir yang menyapu ujung jilbabku.
Kuperhatikan ikan-ikan yang berenang dalam kolam di hadapanku. Ikan-ikan itu mengapung saling berebut potongan-potongan roti yang ku lemparkan ke dalam kolam itu. Sesekali datang seekor burung mendekat dan menangkap ikan-ikan kecil yang tak berdaya.
“Assalamualaikum...” seseorang datang menyapaku. Aku terperanjat kaget. Aku menoleh ke arah suara. Kulihat seseorang tengah berdiri disampingku. Aku lebih terkejut ketika ku tahu lelaki itu adalah orang yang telah ku kenal sebelumnya, Aidan. Aku memandangnya penuh keheranan. Aku tak tahu apa yang ia lakukan disini dan apa maksud kedatangannya. Yang ku rasakan saat ini, aku merasa dekat dengannya. Aku benar-benar merindukannya.
“Saila, aku datang kembali untukmu. Aku datang untuk menepati janjiku.” Bola mata cokelat kehitaman di balik kacamatanya memandangku lembut, mencoba menyelami ke dalam kedua mataku, seolah mencari puing-puing cinta yang pernah ia tanamkan sebelum ia pergi. Perlahan tangannya mendekat dan menyentuh pipi kiriku. Lalu di belainya pipiku dengan lembut.
“Aku bahagia melihatmu bahagia, Saila.” Ujarnya.
Aku masih terdiam membisu, tak sepatah kata pun yang aku keluarkan. Bahkan aku pun belum menjawab salamnya.
“Aku kembali Saila...” ucapnya kembali.
“Kau... Apa kau Aidan?” tanyaku. Dia mengangguk cepat. “Maafkan aku Aidan...”
“Apa kau tahu, aku sangat merindukanmu.” Desahku. “Jangan pernah kau tinggalkan aku sendiri dengan kesepianku.” Pintaku.
“Tapi aku akan pergi lagi Saila...” ujarnya.
“Apa kau akan membawaku bersamamu?”
“Itu tidak mungkin!”
“Bawa aku bersamamu, Aidan!” ratapku.
“Tetaplah disini, aku akan bahagia melihatmu bahagia.” Aidan melepaskan genggaman tangannya. Aku berusaha untuk tetap memegangnya, namun dia berhasil melepaskan tangannya, dengan cepatnya dia telah menghilang dari hadapanku.
“Aidan!!!” panggilku, tapi dia sudah tak terlihat lagi.
Aku terjaga dari tidurku. Semua itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat aneh, bukan mimpi pertengkaran seperti biasanya melainkan mimpi yang penuh kedamaian. Ketenangan menjalar dihatiku bagai air yang menyejukkan saat kuingat aku telah meminta maaf padanya. Mimpi itu hanya datang sekali dalam tidurku, tidak seperti mimpi burukku yang begitu sering mengunjungiku.
“Assalamualaikum kak Yasmin.” Sapaku pada kak Yasmin yang tengah sibuk menyiapkan sarapan. Aku menuruni tangga dengan riang.
“Wa’alaikumussalam Saila. Ayo lekas sarapan sebelum pergi ke kampus.” Ajaknya dengan wajah ceria. “Hari ini kau terlihat lebih riang.”
“Terimakasih.” Balasku.
“Assalamualaikum semua.” salam mas Deniez menghampiri kami dengan Nawfal. Beliau tak kalah riangnya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab kak Yasmin dan aku serempak. “Ayla mana?” tanyaku
“Dia baru kembali tidur lagi.” Jawab mas Deniez.
“Semalam dia malah begadang.” Jawab mas Deniez. “Hmm... Saila bagaimana keputusanmu dengan lamaran Haekal?”
“Aku... aku... aku setuju, jika ayah dan ibu memang menyukainya.” Jawabku mantap.
“Alhamdulillah... kabar baik ini. Aku akan segera menelepon beliau.” Seru mas Deniez.
Kak Yasmin turut gembira, aku senang melihat semua gembira. Seandainya dari dulu aku bisa mempersembahkan yang terbaik untuk keluargaku dan tidak membuat mereka bersedih karena kemurungan yang disebabkan oleh mimpi-mimpi yang terus menghantuiku. “Aku bahagia melihatmu bahagia, Saila.” Kata-kata dalam mimpiku kembali datang mengingatkanku.

***


Selepas sholat isya aku segera bersiap-siap mengenakan pakaian terbaikku, gamis biru muda −favorit Aidan dalam mimpiku− dengan kerudung biru yang berhias payet. Jantungku berdegup kencang ketika kulihat jarum jam di meja belajarku mendekati angka delapan dan dua belas. Ayah dan ibu juga kak Wafa dan mas Fadli telah siap. Malam ini Haekal El Syahidan akan datang bersama keluarganya untuk mengkhitbah–melamar- ku. Kedua orang tuaku menginginkan aku di khitbah di rumah Mas Deniez dengan alasan keefisienan waktu dan tempat karena kami sama-sama tinggal di Bandung. Bahkan mereka merancang pernikahan kami disini. Agak sedikit mengherankan bagiku, tapi alasan mereka cukup masuk akal. Aku tak punya waktu libur banyak, kuliahku padat itulah mengapa Haekal pun tidak turut mengambil cuti yang telah diberikan kantornya.
“Saila. Mereka telah menunggumu di bawah. Ayo turunlah.” Kak Yasmin mengulurkan tangannya. Aku segera menyambutnya dan menggenggam tangannya, kurasakan tangannya begitu hangat.
“Hei! Tanganmu dingin.” Seru Kak Yasmin
“Aku gugup.” Jawabku datar.
Aku dan Kak Yasmin menuruni tangga, disana aku melihat keluargaku tengah berbincang dengan keluarga Haekal. Pria itu terlihat lebih santai, tidak tegang sama sekali. Obrolan mereka terhenti saat mereka melihat kami datang.
“Assalamualaikum...” sapaku pada semua.
“Waalaikumsalam.” Jawab mereka serempak.
Aku duduk disamping Ayah dan ibu. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menunduk.
“Bagaimana ukhti? Apa anti bersedia menerima adik saya Haekal sebagai pemimpin dalam keluarga kecil yang akan antum berdua bina?” tanya seorang pria, yang kukenal sebagai kakak tertuanya menggantikan peran ayah mereka yang telah meninggal.
“Bismillah, saya terima beliau...” jawabku dengan nada bergetar.
“Alhamdulillah...” ucap semuanya bersamaan.
“Kalau begitu mahar apa yang diharapkan anti pada adik ana?” tanyanya lagi.
“Apapun yang sekiranya tidak memberatkan Akhi Haekal. Bukankah seorang wanita yang paling besar kemuliaannya adalah wanita yang paling ringan tanggunganya dan tidak memberatkan calon suaminya?”
“Itu benar.” Ujar pria itu lagi
“Jadi anti ikhlas dengan apapun mahar yang akan ana berikan?” Tanya Haekal
“Insyaallah.” Jawabku.
Seorang wanita paruh baya menghampiriku dengan mata berkaca-kaca. Mengulurkan tangannya meraih tanganku.
“Sebagai seorang Ibu. Saya merasa terharu, Haekal akhirnya menemukan gadis sepertimu. Terimalah cincin ini.” Ibu itu membuka cepuk berisi cincin yang begitu indah dan menyematkannya di jari manis kiriku.
“Terimakasih Ibu.” Ucapku. Ku cium punggung tangannya.
“Barakallah...” desisnya.

***





Part 14 : Mahar Teristimewa di atas Segala yang Istimewa


Hari yang dinanti itu datang, seperti yang diharapkan oleh keluargaku akad nikah kami dilangsungkan di Masjid dekat rumah Mas Deniez dengan sangat sederhana. Hanya kerabat dan teman-teman terdekat yang kami undang, namun semuanya terasa sangat khidmat.
“Saya terima nikahnya Saila Najla’ Ashalina binti Rahman dengan mahar sebuah buku dan cara menjelaskannya dibayar tunai.”
“Aku bahagia melihatmu bahagia, Saila.” Suara itu kembali membisik dihatiku, tapi kali ini rasa sedih menyergap hatiku. Aku merindukan pemilik suara itu. Butiran bening menghalangi pandanganku.
“Aku tak percaya kamu menikah dengan pria yang kita temui di perpustakaan itu.” Bisik Rahma membuyarkan lamunanku.
“Ayo Saila...” Kak Wafa dan Rahma menuntunku keluar untuk menemui suamiku.
Aku telah berdiri di depan pria itu, Haekal El Syahidan. Dia tersenyum padaku. Aku
membalas senyumannya. Dengan ragu Haekal mengulurkan tangannya dan menyentuh tanganku. Haekal memandangku, namun aku memalingkan pandanganku pada tamu yang hadir. Ku tebarkan pandanganku pada tamu-tamu, hingga pandanganku terhenti pada dua orang tamu yang wajahnya sudah sangat ku kenal, Paman Ali dan Bibi Sarah yang tengah berdiri di depan pintu Masjid.
“Paman Ali! Bibi Sarah!” panggilku pelan.
Aku menatap Haekal dalam-dalam mencoba mengatakan dari hati ke hati. Haekal dan aku menoleh kearah pintu, namun aku tak menemukan mereka lagi.
“Hanya halusinasiku.” Ucapku pada Haekal, meski dalam lubuk hatiku yang terdalam aku meyakininya mereka bukan halusinasiku.
Haekal membacakan surat Ar Rahman sebagai hadiah pertama pernikahan kami. Aku menyimaknya dengan air mata tak henti meleleh diiringi bayangan seorang pria terluka yang membacakan surat itu dengan lancar di malam yang bertabur salju.
Hari pun telah malam, semua tamu termasuk keluarga Haekal telah pulang. Aku terduduk di kamarku menghempas rasa lelah setelah seharian beramah-tamah dengan para tamu undangan. Sedangkan Haekal sendiri masih asyik mengobrol dengan Mas Fadli di ruang tamu.
Sambil melepas lelah aku mendengarkan lantunan murattal dari MP4 yang masih terasa misterius bagiku meskipun Kak Wafa mengatakan itu pemberian darinya. Sekilas aku melirik mahar yang tergeletak di atas tempat tidurku. Sebuah buku yang dibungkus rapih, dalam hati aku penasaran buku apa yang diberikan Haekal untukku, sepertinya terkesan sangat rahasia. Ah paling juga buku fiqh sunnah atau kumpulan hadits Bukhari-Muslim.
Seseorang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya. Kulihat Haekal membuka pintu kamarku dan melemparkan seulas senyuman padaku. Aku membalasnya dengan tulus. Aku melepaskan earphone dari telingaku.
“Assalamualaikum istriku.” Haekal kembali memberiku salam.
“Waalaikumsalam suamiku.” Balasku. Senyuman segera merekah di bibirku.
Lantas Haekal mengajakku sholat sunnah berjamaah. Aku pun berdiri dibelakangnya. Selesai sholat Haekal menyentuh kepalaku dan membacakan doa. Aku mengamininya dengan penuh kekkhusyukan.
Aku dan Haekal duduk di atas tempat tidur. Haekal meraih mahar yang tergeletak tak jauh darinya.
“Istriku aku tak sabar untuk menjelaskan buku ini padamu.” Ujarnya. “Kamu tahu buku apa ini?” aku segera menggeleng. Aku memutar bola mataku.
“Ini adalah sebuah buku milik sahabat dekatku.”
Aku mengernyitkan dahiku. “Kenapa kakak menjadikan mahar untukku?”
“Kamu akan tahu kenapa aku memberikannya sebagai mahar untukmu setelah aku menjelaskannya padamu.” Jelasnya. “...tapi sebelum aku menjelaskannya, aku akan sedikit menceritakan bagaimana buku ini ada padaku sekarang.”
“Baiklah.” Aku memasang telinga baik-baik siap untuk mendengarkannya.
“Temanku meninggalkan buku ini di rumahku, saat itu beliau datang untuk bersilahturahmi denganku, beliau menginap di rumahku. Aku tak tahu ternyata saat itu beliau tengah menghadapi permasalahan yang sangat pelik, tapi beliau masih tenang seperti biasanya. Keesokan harinya beliau pulang ke rumahnya dengan pesawat, namun pesawat itu tergelincir saat hendak landing dan kecelakaan itu telah merenggut nyawanya. Ternyata itu adalah silahturahmi kami yang terakhir.” Haekal menghentikan ceritanya beberapa saat dan menghela nafas berat.
“Aku turut sedih, kakak pasti merasa kehilangannya...” aku turut bersimpati.
“Benar aku sangat terpukul mendengar kabar itu.” Desis Haekal. “Rupanya beliau meninggalkan buku ini di kamar tempat beliau menginap di rumahku. Aku penasaran dengan isi buku itu, semua isinya tertulis dalam bahasa asing yang tak bisa aku pahami. Namun, aku sangat tertarik untuk mengetahui isi buku ini. Aku memutuskan untuk belajar bahasa asing itu hanya agar aku bisa memahami isinya. Setelah aku paham, aku sungguh terkejut dengan apa yang beliau tulis dalam buku ini. Tapi aku tak tahu bagaimana mengembalikan pada orang terdekatnya.
“Aku mencoba mengembalikan pada kerabatnya, tapi mereka tidak tinggal di tempat itu lagi. Ku dengar sejak berita kematian itu, mereka pindah dan tinggal bersama kakaknya, ibu sahabatku itu.
“Akhirnya aku memutuskan untuk menyimpannya. Hingga beberapa bulan belakangan ini aku bertemu denganmu di perpustakaan, aku teringat pada buku itu. Aku hendak memberikan buku itu padamu, namun saat itu kamu tak ada di rumah. Mas Deniez lah yang menyambutku saat itu. Beliau memintaku menyerahkan buku itu pada kedua orang tuamu, tapi saat aku menyerahkan buku itu. Aku tahu bahwa saat itu keluargamu tengah terpukul. Mereka menceritakan tentang keadaanmu. Entah darimana keberanian itu muncul, akhirnya aku menawarkan diri untuk melamarmu saat itu juga.
“Tunggu! Aku tak paham, apa hubungan aku dan keluargaku dengan buku ini?” tanyaku heran.
“Coba kamu buka buku itu.” Aku membuka kertas kado yang membalutnya perlahan. Pada sampulnya tertulis “La Agenda”. Aku masih belum paham, ku buka sampulnya. Di halaman pertama kutemukan sebuah nama “Rafaël Alvarez”.
“Buku itu milik Aidan, almarhum suamimu!” bisik Haekal di telingaku dengan lembut, tapi yang kurasakan kata-kata itu begitu kuat menghantam telingaku, mencabik jantungku, mengoyak hatiku dan meremas paru-paruku hingga rasanya sulit sekali aku bernafas. Untuk kesekian kalinya, hatiku... hancur.
“Aku tak percaya... bukankah yang mereka katakan bahwa Aidan itu hanya ilusi?” desisku pelan. “Bahkan penjelasan dokter tentang kondisi fisikku cukup jelas membenarkan bahwa semua itu hanya ilusi, mimpi dalam ketidaksadaranku.”
“Keluargamu dan dokter bekerjasama untuk menutupi kebenaran itu. Karena mereka begitu mencintaimu, mereka melakukan itu agar kamu tak bersedih mendengar kematian Aidan. Kuharap kau bisa memaafkan mereka. Mereka melakukan semua itu hanya untuk melindungimu dari duka. Percayalah bukan hal yang mudah bagi mereka untuk membohongimu. Kau ingat dengan benda ini?” Haekal menunjukkan kalung mas putih dengan liontin dari batu safir hitam dalam bingkai berbentuk hati padaku. “Aku ingin mengembalikannya padamu.”
“Bolehkah aku memasangkannya untukmu?” bisik Aidan lembut. Aku kembali teringat saat Aidan hendak memasangkan kalung itu di leherku.
“Kenapa benda ini ada padamu?” aku menatap Haekal dengan mata berkaca-kaca.
“Keluargamu mengembalikan kalung ini pada Aidan saat kau tak sadar. Sebagai perwakilanmu khulu’ atau gugatan cerai dari pihak istri. Agar Aidan menjatuhkan talak padamu.”
“Apa Aidan telah mentalakku sebelum dia meninggalkan rumah sakit?”
“Bagaimana mungkin dia melakukan itu padamu? Dia memang menerima kalung ini kembali. Tapi dia tidak pernah menjatuhkan talak padamu. Aidan meninggalkan kalung ini beserta buku hariannya di kamarku. Sebelum…” kata-kata Haekal terhenti pada tenggorokannya yang tercekat.
Perlahan air mataku jatuh, lalu disusul dengan air mataku yang lain terus menerus.
Hingga aku sulit bernafas dan dadaku terasa sesak. Luka itu semakin menganga dan terus menderaikan darah yang tiada henti. Perih sekali harus menerima kenyataan pahit ini.
“Aidan... Aidan... dia suamiku dan telah pergi tanpa memberiku kesempatan untuk meminta maaf padanya.” tangisku mulai pecah. “Semua itu nyata ya Allah. Aidan bukan mimpiku. Kapan kecelakaan itu terjadi?” tanyaku dengan suara parau.
“Delapan Juli tahun lalu.”
Hatiku semakin perih, delapan Juli adalah hari dimana aku baru tersadar dalam tidur panjangku. Hari aku merasa jauh dengannya, dimana keluargaku menyambut kesadaranku dengan senyuman getir dan tangisan ibu. Aku ingat, saat itu selepas sholat ashar aku menyaksikan beritanya, dan ternyata itu adalah berita kematiannya. Bodohnya, aku tidak menyimak berita itu dengan seksama.
Haekal menarik tubuhku dan mendekapku erat dalam pelukannya. Aku tak mampu menahan tangisku. Seribu sesal mencabik hatiku. Kenangan bersamanya bagai slide show yang terus terlintas dalam benakku. Masih ku ingat caci dan maki yang aku lontarkan padanya tiada henti.
“Lepaskan aku Aidan!” pintaku.
“Tidak! Sampai kau memberiku kesempatan untuk berbicara padaku.”
“Jangan bertindak seperti anak kecil, Aidan!”
“Kau yang bertindak seperti anak kecil.”
“Aku tidak main-main Aidan! Aku serius. Bahkan aku jamin bayiku tak akan pernah mengenalmu. Dia tak perlu mempunyai Ayah sepertimu.”
“Bayi?” Aidan memandangku heran. “Kau tengah mengandung?” ujarnya. Aku diam tak menjawabnya. Matanya memandangku haru.
“Aku akan menjadi seorang ayah?” senyumnya segera mengembang di bibirnya.
“Tapi kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu ayah.”
Senyum Aidan menyurut dari bibirnya. Tangannya masih kuat mencengkram tanganku.
“Kumohon Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku.”
“Demi bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!”
Hingga cacian terakhirku padanya masih melekat dalam benakku. “Maafkan aku Aidan!” desisku.
Haekal membelai kepalaku dengan lembut, namun bagiku masih belum bisa menggantikan kelembutan Aidan. Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Itu tidak benar, kan? Aidan hanya ilusi.” Aku masih menyangkalnya dalam tangisku.
“Itu benar Saila. Apa kalung ini dan MP4 dalam genggamanmu itu tidak cukup sebagai buktinya. Aku yakin kamu masih ingat saat beliau memberikan MP4 itu padamu.”
Aku tentu masih sangat ingat kejadian itu dan tak bisa kuenyahkan bayangan itu dari benakku. Haekal mengulurkan tangannya dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan aku sendiri di kamar.
“Aku mendengar suara tangisan Saila. Apa yang antum lakukan pada dia, akh?” kudengar suara Kak Wafa dari balik pintu.
“Anti tenang saja. Saila baik-baik saja.” Jawab Haekal tenang.
“Bagaimana antum bisa berkata begitu. Jelas saya dengar dia menangis.”
“Percayalah pada Ana. Ana tidak melakukan apapun padanya.”
“Apa antum sudah membocorkan rahasia itu?”
“Benar.”
“Secepat itukah?”
“Ana tak bisa menunggu lama. Ana harus menjelaskan isi buku itu padanya. Karena itu bagian dari mahar ana.”
“Seharusnya antum tidak pernah menjadikan buku itu sebagai maharnya. Biarkan semuanya sebagai rahasia keluarga kami.”
“Apa anti sanggup hidup dalam kebohongan lebih lama lagi? Afwan, Ana sendiri tidak sanggup. Bukankah salah satu tujuan ana menikahinya juga untuk membantu ia mengetahui dan menerima kenyataan ini?”
Aku tak mendengar suara dari keduanya untuk beberapa saat. “Antum benar akh.”
Kudengar suara Kak Wafa pelan.
Dalam beberapa menit Haekal datang dengan segelas susu putih di tangannya. Tak lupa seulas senyum mengembang di bibirnya yang tipis.
“Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik ?” tanyanya seraya mengusap bahuku.
“Belum lebih baik dari sebelumnya.”
“Minumlah semoga kamu bisa lebih tenang.” Haekal menyodorkan gelas berisi susu hangat itu padaku. Aku meminumnya beberapa teguk. Lalu menyerahkannya kembali padanya. Haekal segera menerima gelas itu dariku dan meneguk susu itu dari bibir gelas bekasku dan meletakkan gelas itu di atas meja.
“Sudah lebih tenang?” tanyanya lagi. Aku mengangguk perlahan. “Tidurlah.” Ujarnya lagi.
“Kakak tidak akan membacakan isi buku itu ?” tunjukku pada diary yang berisi bahasa Spanyol itu.
“Saila... aku rasa malam ini kamu tampak lelah, dan kamu belum siap untuk mendengar isi buku itu. Insyaallah aku akan membacakannya untukmu.”
“Aku masih siap mendengarnya. Bacakanlah minimal satu lembar.” Aku memohon.
“Maaf Saila. Aku tidak bisa. Kau harus istirahat. Bukankah besok kau harus kuliah ?”
“Baiklah.” Aku mengalah.
Aku berbaring diatas tempat tidurku, dan berusaha memejamkan mataku. Haekal menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhku dengan selimut. Diusapnya lenganku, sebelum dia mematikan lampu dan pergi dari kamarku entah kemana.

***


Malam ini aku telah berada di rumah Haekal, atau katakan saja di rumah kami. Rumah kecil yang sangat asri dan rapi. Selesai mengerjakan tugas kampus, aku segera bergegas pergi ke dapur untuk menghangatkan kembali makanan yang telah aku masak sore tadi sebelum Haekal kembali dari kantornya pukul delapan malam nanti.
Aku melirik jam yang menempel di dinding dapur. Jam delapan lebih sepuluh menit, itu berarti Haekal sebentar lagi pulang. Dugaanku tak salah saat kudengar suara pintu diketuk disusul suara salam yang jelas aku cukup mengenal suara itu, suara Haekal.
Aku segera menghambur ke pintu dan membukakan pintu itu untuknya.
“Waalaikumsalam.” Jawabku. Aku segera mencium punggung tangannya.
“Hm... baunya enak. Kakak tak sabar ingin segera makan malam. Kebetulan Kakak lapar sekali.” Ujarnya saat mencium bau masakan yang telah aku tata di atas meja makan.
“Mandi dulu?” aku menawarkan opsi yang lain.
“Baiklah.”
Selesai makan malam aku telah siap dikamarku dan duduk di atas tempat tidurku untuk mendengar Haekal membacakan isi diary itu. Haekal mengambil buku itu dan membukanya perlahan menuju halaman pertama :

Rafaël Alvarez
Halaman kedua :
Beberapa bulan terakhir ini di setiap malam aku seringkali bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Dia tampak tidak seperti gadis pada umumnya yang aku kenal. Seorang gadis dengan gaun putih panjang menjulur hingga mata kakinya, rambutnya tersembunyi dalam kerudung putih panjang khas gadis-gadis arab pada umumnya, tetapi wajah dan bentuk tubuhnya jauh sekali dari gambaran gadis arab. Gadis itu tersenyum padaku, wajahnya tidak begitu cantik, namun tampak begitu anggun dan menawan. Belum pernah sebelumnya aku bertemu dengan gadis sepertinya di sepanjang hidupku di Eropa ini. Bukan pertama kalinya aku melihat gadis berkerudung, toh bibiku seorang muslimah juga dan menggunakan kerudung. Tapi ini pertama kalinya aku melihat seorang gadis tampak sangat anggun dengan pakaiannya. Bahkan kecantikan dan keanggunan gaun malam tak pernah membuat Sandrine bisa menandingi keanggunannya yang membuat dia mempesona.
Gadis itu melangkah menuju suatu tempat. Karena aku terpesona padanya, aku terus mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya aku melihatnya memasuki sebuah rumah ibadah orang-orang Muslim, Masjid. Aku melihatnya tengah berdo’a penuh kekhusyukan sambil menangis tersedu-sedu. Aku bisa mendengar do’a yang dia panjatkan pada Tuhannya “Ya Allah... tunjukkan jalan kebenaran untuk Rafaël Alvarez. Bukakanlah hatinya untuk dapat menerima cahayaMu. Tunjukan padanya indahnya Islam. Aamiin.”
Aku sungguh terkejut mendengar do’anya sekaligus heran. Adakah yang salah denganku? Benarkah jalanku salah? Aku hanya menjalani kehidupanku seperti orang lain pada umumnya dan aku bahagia dengan apa yang aku punya sekarang. Aku merasa jalanku benar.
Pertama mimpi itu datang, aku tidak pernah peduli, aku hanya menganggapnya sebagai bunga tidur. Tapi nyatanya mimpi itu terus datang padaku seminggu dua atau tiga kali selama empat bulan lamanya. Aku menjadi penasaran. Mungkinkah benar jalanku salah. Tapi aku tidak menceritakan mimpi ini pada siapapun untuk menanyakan maksud mimpi itu, konyol rasanya jika aku bertanya hal itu.
Nyatanya semakin aku memendam rasa penasaran itu, batinku semakin berontak. Saat libur musim panas tiba, aku memutuskan untuk menemui Paman dan bibiku di Indonesia. Lalu aku menceritakan mimpi itu. Bibi Sarah sangat bahagia mendengar ceritaku.
“Subhanallah... putraku Rafaël, rupanya Allah menjadikanmu salah satu dari orang-orang terpilih untuk mendapat hidayahNya.” Sungguh aku semakin tidak mengerti dengan pernyataan bibiku.
Akhirnya bibiku mengajak aku ke sebuah tempat dimana orang-orangnya menyambutku dengan terbuka. Mereka menyambutku dengan ramah meskipun aku bukan golongan dari mereka, sehingga aku merasa nyaman berada disekitar mereka.
Diantara mereka aku bertemu dengan seorang pria, dia orang baik di antara orang-orang baik yang berada di lingkungan itu. Namanya Haekal El Syahidan, seorang mahasiswa di Perguruan Tinggi dekat tempat itu.
Aku bertanya padanya tentang sikap orang-orang di sini yang berbeda dengan di lingkungan yang dahulu. Haekal mengatakan, “Karena kami ingin seperti yang dicontohkan idola kami.”
“Idola kalian? Siapa? Seorang pelatih sepak bola yang hebat, penulis, politikus, aktor ? ataukah presiden kalian?” Haekal malah menggeleng setiap kali aku menyebut tokoh masyarakat.
“Rasulullah SAW, Kekasih Allah, Rasul kami, Pemimpin Kami, Pejuang kami, dan tauladan ummat muslimin di seluruh dunia. Aku malah semakin penasaran pada pernyataan Haekal, lebih penasaran daripada mimpi dan pernyataan Bibi Sarah. Seperti Apa Rasulullah?
Haekal memberiku sebuah buku biografi “Muhammad” dalam bahasa Inggris. Aku baru tahu ternyata itu Muhammad yang menjadi bahan ejekan di Eropa beberapa waktu silam karena karikaturnya yang dibuat oleh orang Denmark itu.
Membaca namanya saja membuatku penasaran pada orang itu. Berabad-abad yang lalu dia hidup, kenapa dia masih berpengaruh kuat kepada umat muslimin hingga zaman sekarang. Aku membaca lembar demi lembar hingga selesai, sehingga terjawab sudah semua rasa penasaranku. Satu kalimat yang keluar dari mulutku saat itu, “Beliau adalah orang yang sangat sempurna.” Belum pernah aku temukan sebelumnya seseorang yang dapat menjadi Pemimpin, Prajurit Perang, Bisnisman, Suami, dan Ayah. Beliau memerankan semua itu dengan baik. Saat itu aku mengatakan pada Bibi Sarah ingin memeluk Islam dan menjadi pengikut “Manusia Sempurna” itu.
Kamis malam Bibi Sarah dan Paman Ali membawaku kembali ke tempat itu, mereka menyebutnya “Pesantren”. Di Masjid itu, di hadapan banyak orang yang mendengarkan ceramah pemilik pesantren itu. Pemilik pesantren yang mereka panggil “Kyai” itu menuntunku mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai salah satu syarat memeluk Islam. Dalam beberapa saat aku telah menjadi seorang Muslim.
Saat itu aku tak tahu apa yang mendorongku untuk segera menelepon Sandrine dan memutuskan hubunganku dengannya. Padahal saat itu aku dan dia tengah menyusun rencana pertunangan kami. Aku tahu saat itu Sandrine Shock berat, terlebih aku memutuskannya melalui telepon. Aku tahu tindakanku sangat pengecut!
Bibi Sarah menyarankan untuk mempelajari Islam lebih dalam di Pesantren itu. Akhirnya aku belajar privat Islam di sana melalui program “Santri Privat”. Santri adalah julukan untuk para siswa yang belajar di Pesantren itu. Lucu bukan?
Aku semakin akrab dengan Haekal, dia mengajarkanku banyak hal dan aku bahagia bisa berteman dengannya. Seringkali Haekal mengajakku pergi mengunjungi keluarganya di sana. Sama halnya seperti Haekal keluarganya menyambutku dengan ramah.
Namun keakrabanku dengan Haekal, tak pernah membuatku membocorkan siapa diriku yang sebenarnya, bahwa aku adalah “Rafaël Alvarez.” Seorang pesepakbola muda dari klub terkenal di Inggris. Dengan kacamata lensa netral yang menyerupai kacamata minus itu sudah cukup bagiku untuk menutupi identitas asliku di depan semua orang. Aku hanya ingin mereka menganggapku sebagai orang biasa bukan selebritis olahraga.
“Aku sungguh terkejut ketika membaca ini. Ternyata beliau memang seorang pesepakbola yang dielu-elukan oleh pecinta sepakbola di Dunia. Aku pernah mengatakan padanya bahwa dia mirip Rafaël Alvarez. Dia hanya tersenyum dan mengatakan ‘Aku memang Rafaël’. Dan beliau tak pernah mengatakan padaku nama belakangnya.” Ujar Haekal ditengah-tengah ceritanya.

***




Part 15 : Samudera Hati

Halaman selanjutnya :
Faiyaz Basel Aidan
(Sebuah awal yang baru dimulai dari nama baru) Sedikit perubahan dalam diaryku menggambarkan perubahan besar dalam hidupku. Paman Ali menyarankan aku untuk mengganti namaku dengan nama Islami dan demi kenyamanan aku tinggal di sini. Akhirnya muncul nama “Faiyaz Basel Aidan”. Nama Faiyaz adalah nama yang diusulkan oleh Haekal yang berarti “Artistik”, itu karena aku menyukai hal-hal yang berbau seni, namun aku sendiri tidak bisa melakukan apapun yang berbau seni. Basel adalah nama yang diusulkan oleh Bibi Sarah, alasan Bibi memilih nama itu tentunya karena aku terlahir di kota Basel, Swiss. Selain itu Basel mengandung arti “Berani” itu hanya sebagai ungkapan rasa terimakasih Bibi Sarah karena aku telah berani mengambil keputusan menjadi seorang muslim. Nama terakhir Aidan, tentunya diberikan oleh Paman Ali. Aidan yang berarti “Cerdas” hanyalah sebuah harapan Paman Ali agar aku menjadi cendekiawan muslim. Kadang hal itu membuatku geli, tapi apapun yang diberikan mereka itu adalah bukti kasih sayang mereka padaku dan aku senang menerimanya.
Sesekali aku menghapus air mataku. Kerinduan padanya menyeruak dalam hatiku bagai udara di musim dingin yang menghembus dan membekukan hatiku. Beribu penyesalan menambah rumit suasana hatiku.
“Apa aku harus melanjutkan malam ini?” tanya Haekal. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan jam setengah sembilan malam.
“Tentu, aku pikir masih terlalu sore untuk tidur.”
“Baiklah.” Haekal membuka lembaran baru.
“Tunggu!”seruku.
“Ada apa?” Haekal memandangku heran.
“Apa yang kakak lakukan pada buku itu?.” Tunjukku pada kalimat-kalimat berwarna biru oleh Stabilo.
“Aku menandai segala sesuatu yang hanya berhubungan denganmu dan kemuallafannya. Selebihnya hanya tentang kariernya.”
“Hm...Baiklah, bisa kakak lanjutkan lagi?”

Suatu ketika Haekal mengajakku pergi ke rumah sahabat baiknya, Fadli. Tak perlu kuceritakan lagi, mereka pun ramah padaku, maksudku dia dan istrinya. Rupanya mereka adalah pengantin baru. Kabar yang aku dengar dari Haekal mereka baru menikah dua bulan yang lalu.
Rumah mereka sangat kecil, namun sangat menyenangkan berada di dalamnya. Aku dan dia pun dalam sekejap langsung akrab. Mudah bagiku untuk mengajaknya mengobrol, karena Fadli sangat menyukai sepakbola.
Sebenarnya aku tidak suka dengan kebiasaan lamaku ini, setiap kali datang kerumah orang lain yang baru aku kunjungi. Mataku selalu menyapu seluruh isi ruangan, lebih lagi rumah Fadli sangatlah unik, menarik perhatianku. Pandanganku terhenti saat aku melihat sebuah foto keluarga dihari pernikahannya. Kupandangi setiap orang di foto itu dari tempat dudukku. Aku sungguh terkejut bukan main, saat kutemukan seorang gadis dengan tunik merah jambu. Gadis itu! Dia gadis dengan gaun putih yang mendoakanku dalam mimpi.
“Siapa dia?” tunjukku langsung.
Fadli menoleh.
“Dia Saila! Adik iparku. Adik kandung Wafa.” Jawab Fadli.
Aku menghapus air mataku yang sulit aku bendung lagi.

Jantungku berdegup kencang saat Fadli menyebut namanya. Dorongan apa yang membuatku akhirnya bertanya, “Apa dia sudah punya pacar?”
Fadli malah menertawakanku dan menjawab, “Bagaimana mungkin dia pacaran? Dia tak akan melakukan itu. Jika dia melakukannya maka dia akan berurusan dengan aku dan Wafa.” Ujar Fadli terkekeh. “Meskipun ketika duduk di bangku SMA, dia pernah melakukannya. Tapi itu karena dia belum paham saja.” Bisik Fadli padaku.
“Apa kalian mengancamnya untuk tidak pacaran lagi?”
“Tidak juga! Karena sekarang dia sudah paham bahwa Islam melarang pacaran. Jadi dia tidak akan pacaran lagi, tapi langsung menikah dengan pria yang berani melamarnya.” Fadli menjadi salah seorang yang membuatku menambah rasa penasaran. Ternyata selalu ada hal baru dalam Islam yang membuatku penasaran.
“Benarkah? Tak ada pacaran dalam Islam?” ku ungkapkan rasa penasaran itu pada Haekal, namun dia tidak menjawab pertanyaanku.
Dia malah memberiku sebuah buku tentang pergaulan laki-laki dan perempuan dalam bahasa Indonesia. Karena saat itu kosakata dalam bahasa Indonesiaku sangat minim, dan aku tidak mungkin meminta Bibi Sarah untuk menjelaskan isi buku itu. Aku memutuskan untuk belajar privat bahasa Indonesia, juga untuk menunjang pembelajaranku di Pesantren.
Setelah kosakataku bertambah, aku mulai membaca isi buku itu. Sungguh mencengangkan. Semuanya sangat berbeda dengan apa yang aku lakukan di Eropa dengan Sandrine. Jangankan untuk menyentuh gadis yang bukan keluarga (mereka mengatakannya “bukan Mahram”) untuk memandangnya pun tidak boleh, hanya dibolehkan melihat satu kali saja.
Aku semakin kagum pada Islam, semua hukumnya diatur sedemikian detail untuk umatnya. Hingga tata cara menuju pernikahan dan bagaimana cara melamar seorang wanita pun ada. Tidak hanya itu, ada tata cara makan yang lebih sehat dan bersih dari table manner yang biasa kami lakukan di Eropa. Jika aku dulu berpikir makan hanya menggunakan tangan itu jorok, dan makan dengan menggunakan sendok itu bersih. Justru malah terbalik. Makan menggunakan tangan itu lebih bersih. Tidak percaya?
Coba bayangkan berapa orang yang menggunakan dan memasukkan sendok itu kedalam mulutnya. Sedangkan tangan? Bukankah tangan kita hanya masuk kedalam mulut kita sendiri? Jadi, makan dengan tangan itu lebih bersih dan sehat bukan? Selain itu pada jari kita, yaitu ibu jari, telunjuk dan jari tengah kita terdapat enzim yang bermanfaat untuk pencernaan kita. Subhanallah, Islam memang agama yang mengerti kebutuhan manusia pada umumnya. Aku semakin bangga menjadi seorang Muslim.
Waktu telah memasuki bulan Juli akhir saat itu. Itu berarti waktu libur musim panasku akan segera berakhir dan aku harus segera kembali ke Inggris juga meninggalkan Indonesia, berat sekali rasanya. Sebelum pergi Haekal membekaliku dengan buku-buku tentang Islam untuk aku pelajari di sana.
Beberapa bulan telah berjalan, aku semakin merindukan Indonesia. Wajah gadis itu pun selalu terbayang dalam benakku. Seringkali aku bertanya “Apa dia sedang menonton pertandinganku di televisi?” karena aku dengar dari Fadli, gadis itu menyukai sepakbola juga dan menyebut aku sebagai salah seorang idolanya.
Akhirnya aku memutuskan sebuah keputusan baru. Malam itu aku meminta Paman Ali untuk melamarkan gadis itu pada keluarganya sesuai ketentuan Islam yang aku baca dalam buku yang Haekal beri. Keputusan itu membuat Paman Ali dan bibi Sarah terkejut, heran sekaligus bahagia juga.
“Benarkah dia gadis yang ada dalam mimpimu itu, Aidan?” hanya itu pertanyaan dari Bibi Sarah.
Dengan yakin aku menjawab “Benar, bi.”
Aku bersyukur pada Allah, semua prosesnya sangatlah mudah. Keluarganya langsung menyetujui lamaran Paman Ali untukku. Sebulan setelah itu aku langsung terbang ke Indonesia untuk mengkhitbahnya, atau yang kukenal dengan bertunangan. Padahal saat itu aku masih memiliki beberapa pertandingan yang terpaksa aku tinggalkan. Bagiku tidak ada yang lebih penting dari bertunangan dengannya.
Aku tak percaya jika saat pertamakali bertemu dengannya adalah saat aku bertunangan dengannya. Sedikit aneh namun sangat indah. Dia terlihat begitu polos. Kepolosannya menambah keanggunannya di balik gaun biru muda yang membalut tubuhnya. Tangannya begitu kuat mencengkram tangan kakak perempuannya saat Bibi Sarah menyematkan cincin di jari manis kirinya.
Haekal menutup bukunya. Lalu memandang kedua mataku yang telah lebam oleh air mata. Dihapusnya air mataku dengan jari-jarinya.
“Kamu tahu, Aidan sangat beruntung. Dia lebih cepat dua minggu dariku untuk melamar dan mengkhitbahmu.”
Aku terkejut, ”Kakak? Hendak melamarku juga?”
“Aku hendak melamarmu melalui Fadli. Saat itu kau tahu apa yang dikatakan oleh Fadli?”
Aku menggeleng.
“Fadli mengatakan ‘Antum terlambat Haekal, antum tahu, sahabat antum yang muallaf itu telah mengkhitbahnya dua minggu yang lalu.’”
‘“Aidan?’ tanyaku pada Fadli dan Fadli mengiyakan.”
“Tapi sekarang kan, kakak sudah memilikiku.”
Haekal mengangkat bahunya. “Sudah malam kita akan melanjutkanya besok. Besok kita sama-sama libur, jadi kita bisa memulainya kapanpun kau mau.”
“Aku setuju.”

***


Siang itu kami baru saja selesai menyantap makan siang. Ketika seseorang mengetuk pintu rumah kami. Haekal beranjak dari tempat duduknya untuk membukakan pintu sedangkan aku sendiri masih sibuk di dapur untuk membereskan sisa makan siang kami. Ah... itu pasti kawan-kawan Haekal yang sudah berjanji akan bersilaturahmi ke rumah kami, pikirku.
“Saila! Kemarilah... ada yang mencarimu.” Panggil Haekal. Aku berhenti bekerja. Sejenak aku berpikir, aku tak pernah membuat janji dengan siapapun hari ini.
“Saila!” Haekal kembali memanggilku.
“Ya, aku datang.” Aku segera melepaskan celemek yang aku gunakan dan menggantungkannya di paku yang tertancap di dinding dapur. Ah... paling itu Rahma yang mau mengajakku kerja kelompok.
“Siapa?” tanyaku. Aku berjalan dari dapur menuju ruang tamu. “Apa itu Rahma?” Haekal tak menjawab pertanyaanku. Sesampainya di ruang tamu, aku melihat Haekal tengah memandang tamuku yang masih berdiri di depan pintu tanpa mengizinkan tamuku itu masuk.
“Kenapa tak disuruh masuk, kak?”
“Silahkan masuk.” Ujar Haekal terbata-bata.
Dua tamuku melangkah masuk, seorang laki-laki dan seorang perempuan berjilbab. Aku tercengang begitu sadar, mereka adalah Paman Ali dan Bibi Sarah. Butiran bening menghalangi pandanganku, memburamkan wajah mereka. Serta merta aku berlari menghambur pada keduanya dan kupeluk Bibi Sarah dengan erat. Tangisku meledak dalam pelukkannya. Ingin rasanya aku mengatakan betapa aku merindukan mereka, betapa aku hancur dengan kepergian Aidan. Namun lidahku terlalu kaku untuk merangkai kata-kata. Hanya isak tangisku yang mewarnai pertemuan itu. Bibi Sarah membelai kepalaku dengan lembut.
Bibi Sarah melepaskan pelukannya dan dihapusnya airmataku dengan jari-jarinya yang lentik. Kini aku dapat memandang wajahnya yang cantik seperti boneka porselen itu dengan jelas.
“Sudahlah Saila. Tak ada yang perlu kau tangisi lagi.” Ujarnya.
“Aku merasa menjadi orang bodoh. Aku merasa menjadi orang pengecut.” Ucapku kesal, menyesali betapa aku tidak dapat mengungkap bukti-bukti bahwa benar Aidan adalah kehidupan nyataku.
“Sampai kapan kau akan mencaci dirimu. Semuanya telah terjadi! Semua itu takkan pernah mengembalikan keadaan.” Ucap Bibi Sarah.
“Tapi aku tak mengerti. Mengapa saat aku datang ke rumah Bibi, aku tak dapat menemukan kalian disana?”
“Setelah kepergian Aidan, kami memutuskan pindah ke Barcelona untuk merawat kakakku, Nicole. Nicole sangat depresi mendengar berita kematian Aidan, sakitnya bertambah parah dan Ernest membawa Carlota ke Bern.” Jelas Bibi Sarah.
“Ernest? Siapa beliau?”
“Ernest itu Ayah Aidan, Saila! Apa Aidan tidak pernah menceritakan tentang ayahnya padamu?”
Aku menggeleng
“Saat ini Ernest bekerja di Bern. Pekerjaan dia mengharuskannya berpindah-pindah, kau mungkin tahu kenapa Aidan lahir di Basel? Karena berpindah-pindah itu juga menjadi salah satu penyebab perceraian mereka. Hari ini dia ditempatkan di Bern, kemarin dia ditempatkan di Strasbourg setelah itu di Valencia sebelum dia dipindahkan ke Bern dan mungkin besok dia ditempatkan di Frankfurt, begitulah dia akan berpindah dari satu kota ke kota lainnya di berbagai Negara di Eropa. Biasanya dia hanya menetap lima bulan di setiap kotanya.”
“Lantas kenapa beliau harus membawa Carlota?”
“Berita kematian Aidan menjadi alasan baginya untuk membawa Carlota. Dengan memanfaatkan sakitnya Nicole, dia tahu bahwa hanya dia yang berhak menjamin kehidupan Carlota. Tanpa anak-anaknya Nicole merasa tidak mempunyai alasan untuk hidup lagi. Dia semakin depresi saat Ernest membawa Carlota pergi.”
Hatiku merasa perih mendengar penuturan Bibi Sarah. Jika saat itu Aidan menuruti permintaanku untuk meninggalkan Eropa, maka hal seperti inilah yang akan terjadi pada Ny. Nicole. Aku merasa bersalah, aku terlalu egois.
“Mama...”desisku memanggilnya. “Kau masih mempunyai aku. Putrimu...” air mata kembali menderai membasahi pipiku. Haekal mendekatiku dan merangkul bahuku.
“Saila. Maafkan kami, sebenarnya kami telah datang di hari pernikahanmu. Namun kami tidak mampu untuk menghampirimu, apalagi mengucapkan ‘Selamat’ padamu. Kami merasa telah kehilanganmu.”
“Tidak... tidak. Jangan pernah berkata begitu. Meskipun saya telah menikahinya, tapi Saila tetap milik anda juga. Putri Anda berdua dan Ny. Nicole.” Ucap Haekal.
“Benar. Kalian tetap keluargaku.” Tambahku.
“Saila. Sekarang kami sudah siap untuk mengucapkan ‘Selamat’. Semoga pernikahan kalian barakah dan dikaruniai keturunan yang sholeh dan sholehah. Malam nanti kami harus kembali ke Spanyol.” Jelas Paman Ali.
“Kenapa kalian harus pergi secepat ini?” ratapku.
“Maafkan kami. Kami mendapat kabar saat ini keadaan Nicole sudah lebih baik.”
“Baiklah. Syukurlah, jika Mama sudah lebih baik. Sampaikan salam sayang dan rinduku pada beliau. Ingin rasanya kembali memeluknya, tapi aku tak tahu kapan aku bisa kesana.”
“Insya Allah...” ucap Paman Ali. “Kami pamit sekarang.” tambahnya.
Aku kembali memeluk Bibi Sarah dengan erat, air mata kembali mewarnai perpisahan kami. Aku menatap kepergian mereka dengan kesedihan dan kerinduan yang membuncah.
Ku tatap Audi A3 hitam itu semakin menjauhi rumahku dan hilang dari pandanganku.
Tiba-tiba rasa sakit menggerogoti perutku lebih dahsyat dari sebelumnya, seolah ribuan pisau mengoyaknya. Ku gigit bibir bawahku mencoba menahan rasa sakit itu, tubuhku terhempas pada dinding di sebelahku. Aku mengerang kesakitan.
“Masya Allah... ada apa Saila?” aku menangkap segurat wajah panik Haekal.
Semuanya menjadi buram, dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi padaku.
Ketika aku terbangun aku tak merasakan lagi rasa sakit yang mencabik itu, aku mendapati Haekal tertidur, kepalanya ditopang oleh kedua lengannya yang ditumpuk menyilang di atas ranjangku. Ternyata aku tengah terbaring kembali di rumah sakit. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Haekal tampak kelelahan, aku tak tega untuk membangunkannya. Tapi dia tidak akan suka jika aku tidak membangunkannya untuk qiyamullail.
“Kak...” panggilku, aku belai kepalanya. “Kak sudah jam tiga. Sudah waktunya sholat tahajud.” Bisikku. Haekal bergeming, kepalanya terangkat, lalu mengucek kedua matanya dan mengenakan kacamatanya yang ia letakkan di atas meja disampingku.
“Bagaimana sekarang, sudah lebih baik?”
“Sebenarnya kenapa dengan perutku?”
“Tidak apa-apa.” Jawabnya. Aku menatap kedua matanya tajam, bertanda aku tidak puas dengan jawabannya. Dia menatapku ragu.
“Katakanlah.” Desakku.
“Ada sedikit infeksi dalam rahimmu.”
“Lantas? Mereka akan mengangkat rahimku.”
“Tidak separah itu. Kamu hanya butuh pengobatan dan terapi rutin.”
“Apa infeksi itu akibat dari keguguran yang pernah aku alami?”

Haekal mengangguk, “Penyebabnya dari mekanisme saat mengeluarkan janin.”
Aku menghela nafas berat, seberat saat aku mengingat kecelakaan itu terjadi. Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan sakit. Bukan sakit di perutku namun luka di dadaku yang telah siap menganga kembali.
Haekal beranjak dari tempat duduknya mengecup dahiku dalam-dalam sebelum dia ke kamar mandi untuk berwudlu. Haekal mendirikan sholat tahajud sendirian, sedangkan aku kembali tidur, hingga adzan shubuh Haekal membangunkanku untuk sholat berjamaah, tentunya aku mendirikan sholat diatas ranjangku.
Selesai sholat Haekal membuka mushaf al qur’annya untuk mengulang kembali hafalannya. Surat Al Mulk mulai mengalir dari bibirnya dengan merdu. Disusul dengan surat Al Qalam, Al Haqqah dan surat-surat setelahnya di juz 29. Hingga matahari terbit, dan cahayanya menembus tirai jendela kamarku. Haekal mengakhiri hafalannya di surat Al Mursalat. Dia beranjak dari tempat duduknya dan membuka tirai, sehingga cahaya sang surya dengan leluasa menerangi seisi ruangan.
Haekal mendekatiku dengan buku harian Aidan ditangannya. “Kamu ingin aku membacakannya lagi untukmu?” tanyanya. Aku mengangguk sumringah.
Dibukanya buku itu dengan perlahan.

Aku telah melangkah sejauh ini, aku sendiri tak percaya. Hari ini aku telah menikahi seorang gadis Indonesia yang telah merasuk ke dalam hatiku lewat mimpi itu. Aku ingin membina keluarga sakinah, mawwadah dan warahmah seperti yang tergambar dalam buku-buku yang aku baca dan tentunya seperti Paman Ali dan Bibi Sarah yang kulihat selalu damai.
Malam ini aku berdua dengan gadis itu. Seringkali dia menatapku penuh curiga dan perasaan takut. Kadangkala bola matanya bergerak cepat saat aku mendekatinya. Gadis yang kukira tegar itu ternyata terlihat sangat rapuh. Aku menemukan hal yang berbeda dalam dirinya, sungguh dia sangat berbeda dari gadis-gadis Eropa pada umumnya. Dia begitu polos, hingga dia memintaku keluar kamar saat dia hendak mengganti pakaiannya. Tak ada pilihan selain mengikuti keinginannya. Aku keluar kamar untuk mengganti bajuku dengan piyama yang telah disiapkan Ibunya untukku seraya membawa segelas susu hangat yang diberikan Fadli untuk kami. Awalnya aku tak mengerti kenapa Fadli memberikannya padaku. Lalu aku teringat cerita tentang malam pertama Rasulullah dengan Aisyah. Saat itu Rasulullah dan Aisyah meminum susu dari gelas yang sama. Sungguh sangat romantis. Saat aku kembali ke kamar aku sungguh terkejut melihat Saila. Sekarang aku yakin bahwa gadis yang kini menjadi istriku itu benar-benar gadis yang sangat polos dan masih kekanak-kanakan. Apa kau tahu yang diperbuatnya? Dia mengenakkan piyama bergambar film animasi Jepang yang sudah lusuh dengan sebuah kerudung yang membalut kepalanya.
Dia tampak terkejut melihatku masuk kamar, bola matanya bergerak cepat dan dia tampak ketakutan. Ya Allah... apa keputusan menikahinya adalah sebuah kesalahan? Apa aku telah menyakitinya dengan pernikahan ini? Terlintas dalam benakku untuk menceraikannya agar dia dapat kembali bebas dariku, namun aku pernah mendengar bahwa cerai adalah perbuatan halal yang paling Allah benci. Itulah salah satu nasehat yang kudengar dari Paman Ali saat aku memutuskan untuk menikahinya. Beliau mengingatkanku agar benar-benar serius dengan rencanaku, bersiap untuk berkomitmen dan jangan pernah sekali-sekali berpikir untuk bercerai, kecuali jika memang keadaannya tidak dapat diperbaiki lagi.
Aku mencoba bersikap wajar padanya, mencoba untuk tidak melukiskan rasa terkejutku. Aku meletakkan gelas berisi susu itu di meja riasnya, lalu aku duduk di tempat tidur sedangkan dia duduk disudut lain tempat tidur. Tidak ada pilihan lain lagi, aku mulai mengajaknya mengobrol berusaha mencairkan suasana yang sangat beku, padahal saat itu musim panas. Aku khawatir dia tidak akan bahagia menikah denganku maka saat itu kuucapkan “Saila, ku harap kau bahagia menikah denganku...” aku menatap matanya sungguh mata yang sangat indah. Aku ungkapkan rasa kagumku padanya. Aku tak peduli jika dia hanya menganggapnya sebagai rayuan picisan.
Aku mulai menceritakan tentang diriku dan keluargaku, sejujurnya aku tak pernah ingin mengekspos kemalanganku di hadapannya, tapi Paman berpesan sebuah pasangan harus saling terbuka. Keadaan mulai mencair, aku memintanya untuk membuka jilbabnya untukku, suaminya yang sudah halal baginya. Dia terkejut mendengar permintaanku, dengan ragu dia membuka jilbabnya. Rambutnya yang lurus mulai tergerai hanya sebahu, dia membereskannya dengan jemarinya yang lentik. Ku pasangkan kalung mahar dariku. Ia tampak semakin cantik dengan kalung itu, bahkan aku berani bertaruh batu safir yang tersemat pada liontin itu kalah cantik darinya. Aku mendekatinya dan kuraih rambutnya, halus dan lembut. Aku menyentuh pipinya yang kemerah-merahan menahan malu, memandangi kedua matanya yang telah menghipnotisku dalam cinta. Namun kemesraan itu harus berakhir saat adikku menelepon dan mengabarkan Mama kembali jatuh sakit. Aku sungguh telah jatuh cinta padanya, kerapuhan dan kepolosannya membuatku semakin mencintainya, dan selalu membuatku ingin melindunginya, melindunginya bahkan dari diriku sendiri, aku tak pernah ingin melukainya, walau dia hanya meneteskan satu tetes air matanya aku takkan pernah rela.
Kami harus menjalani pernikahan ini dengan jarak jauh. Dia harus melanjutkan kuliahnya di Indonesia, sedangkan aku harus melanjutkan kuliahku dan bekerja di Inggris. Suatu kali aku mendengarnya menangis saat aku meneleponnya, ternyata dia sudah pindah dari rumah saudara lelakinya ke sebuah asrama untuk menuntut ilmu agama di pesantren dimana aku belajar Islam dulu. Dia mengatakan dia tak kerasan tinggal di asrama, dia tak mampu untuk bersosialisasi dengan teman-temannya. Saat itu aku ingin sekali berada di sampingnya, menghiburnya dan mengatakan bahwa sesungguhnya dia tidak sendiri, melainkan ada Allah yang selalu menjaganya. Namun aku sadar, aku tidak mungkin melakukan itu, aku hanya bisa menemaninya lewat telepon. Setiap hari sepulang latihan, aku selalu meneleponnya, yang aku tahu di sana telah larut malam. Aku berusaha menghibur dan menemaninya dengan caraku sendiri, aku hanya tak ingin dia sedih dan merasa sendiri. Aku tak ingin lagi mendengarnya menangis.
Aku melirik jam dinding dihadapanku. Jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit.
“Kakak tidak pergi ke kantor?” seruku.
“Aku sudah izin untuk menjagamu hari ini dan mungkin juga besok.” Ujar Haekal.
Aku tahu dari awal pernikahan aku dengannya. Saila tak pernah mencintaiku dia hanya mencoba patuh pada orang tuanya. Namun kini Allah telah membalikan hatinya, dan aku sangat senang. Musim dingin itu aku mengalami kecelakaan saat bertanding, kaki kananku patah, tapi kecelakaan itu membawa berkah bagiku. Saila sangat panik saat mendengar aku kecelakaan, dari situ aku dapat menyimpulkan dia kini mencintaiku, seperti aku mencintainya.
Dia merawatku dengan telaten, mengobati lukaku, membantuku bertayamum, memasakkan makanan, membangunkan aku untuk sholat dan apapun yang bisa dia lakukan untukku. Dia merawatku hingga aku pulih lebih cepat dari prediksi dokter, terakhir dia memberikan yang terbaik untukku sebelum aku kembali ke Inggris, satu hal yang membuatku benar-benar menjadi seorang suami. Satu hal yang aku nanti-nanti nyaris sepuluh bulan lamanya, meskipun aku bisa saja sedari awal memaksakan diriku agar ia memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, tapi sungguh aku tak ingin membuat ia terpaksa. Dan aku tak pernah menyangka bahwa hal itu adalah akhir dari kebahagiaan kami.
Aku difitnah, dan dia termakan fitnah itu. Fitnah itu berawal dari sebuah pesta pertunangan teman kerjaku, Pablo. Aku datang ke pesta itu seorang diri, ya… meskipun jauh dalam lubuk hatiku aku ingin pergi bersama Saila, aku ingin sekali mengenalkan dan membanggakannya di depan teman-temanku, tapi itu sangat tidak mungkin. Setelah memberikan ucapan selamat pada temanku, aku memilih duduk sendiri di sofa, aku teringat Saila, tiba-tiba aku mengkhawatirkannya. Sehingga aku tak sadar Sandrine telah ada disampingku, rupanya Pablo juga mengundangnya. Sandrine menyapaku, dan aku menjawab sapaannya, hanya itu! Lalu aku kembali bergabung dengan teman-teman kerjaku yang lain. Aku tak pernah menyangka ternyata ada seorang paparazzi yang mengintai kami dan memanfaatkan momen itu. Hingga akhirnya menimbulkan pertengkaran yang besar diantara aku dan Saila. Dan aku melanggar janjiku sendiri untuk melindunginya dari apapun yang dapat melukai hatinya, bahkan aku pun tak mampu melindunginya dari amarahku sendiri. Aku telah memukulnya tepat diwajahnya, karena emosi yang tak bisa aku bendung lagi. Maafkan aku Saila...
Aku berusaha untuk menjelaskan fitnah itu dan berusaha meminta maaf padanya. Tapi dia tidak memberiku kesempatan kedua kecuali jika aku bersedia meninggalkan Eropa dan karirku, sebuah pilihan yang sangat sulit bagiku. Pikiran buruk mulai merasukiku, aku pikir Saila benar-benar membenciku sekarang. Cinta di hatinya untukku tak tersisa lagi.
Aku menyesal, ternyata usahaku untuk mendapatkan maaf darinya justru menimbulkan tragedi baru. Ketika aku berharap mendapat maaf dan damai, yang terjadi justru sebuah pertengkaran yang lebih besar dari sebelumnya di antara kami. Akibat dari pertengkaran itu dia jatuh dari tangga di gedung fakultasnya oleh tanganku sendiri, celakanya beberapa menit sebelum kecelakaan itu, keluar kata-kata dari mulutnya yang membuatku tercengang sekaligus bahagia, dia mengatakan bahwa dia tengah mengandung buah hati kami. Namun semuanya telah terjadi, kecelakaan itu telah merenggut bayi kami dan nyaris merenggut nyawanya, tubuhnya terkulai lesu dipangkuanku dengan darah yang bersimbah menodai pakaiannya. Aku membawanya ke rumah sakit dengan bantuan Dylan, dosennya yang berasal dari Perancis.
Aku menyesal dengan kejadian ini, berhari-hari setelah kecelakaan itu dia hanya tertidur sepanjang hari di ranjang rumah sakit. Dia tak pernah mau membuka matanya, hingga aku merasa frustasi melihat keadaannya terbaring begitu lemah. Aku tak mampu melekukan apapun untuknya, yang bisa aku lakukan hanya berdo’a agar dia segera sadar dan kembali pulih, serta membacakan ayat al Qur’an di telinganya, setiap kali aku menatap wajahnya yang pucat. Terdengar bibirnya berdesis memanggil namaku. Pikiran buruk yang sempat terlintas di benakku sirna. Dia masih memanggil namaku, masih ada cinta di hatinya untukku, dia tidak membenciku, dia hanya marah dan dia membutuhkan aku di sisinya. Aku berhenti membacakan ayat suci itu untuk menjawab panggilannya dan kubelai kepalanya, ternyata dia masih menutup matanya, dia menginggau. Lantas dia menanyakan bayi yang dikandungnya, tak ada yang bisa kukatakan selain “Dia baik-baik saja” jawabku. Bayi itu telah jauh lebih baik kembali kepada pemilikNya.
Tak berapa lama keluarganya datang, ayahnya tampak begitu marah padaku. Aku memang pantas untuk mendapatkan semua itu. Ayahnya meminta hal yang sama padaku, yaitu meninggalkan karirku atau meninggalkan putrinya, sungguh pilihan yang sangat berat.
Lantas aku pergi dari rumah sakit, bukan untuk mengambil keputusan bahwa aku akan meninggalkan Saila. Tidak! Bukan itu, aku akan pulang ke Spanyol untuk menemui Papa yang kudengar saat itu beliau tengah ditempatkan di Valencia sebelum masa kontrak kerjanya habis dan dipindahkan ke Bern. Aku akan meminta Papa kembali pada Mama, aku yakin Mama akan bahagia, karena beliau pernah mengatakan padaku bahwa beliau masih mencintai Papa dan menyesal telah meminta untuk diceraikan, tapi egonya terlalu tinggi untuk mengatakan “Ernest, aku masih mencintaimu.” Aku akan meminta Papa untuk memaafkan Mama, meskipun aku harus menggadaikan harga diriku, meskipun aku harus berlutut di hadapannya, meskipun aku tahu Papa akan menghinaku. Aku tak peduli! Aku hanya ingin Mama pulih, Carlota mendapatkan kembali figur seorang ayah yang sebenarnya, bukan dariku dan aku bisa hidup bersama Saila di Indonesia menebus semua luka yang aku torehkan di hatinya. Aku yakin Saila akan sangat terpukul, jika dia tahu dia telah kehilangan bayinya saat dia terbangun nanti.
“Aku harus pergi untuk beberapa saat. Tapi aku akan kembali untuk menjemputmu. Tunggulah aku disini. Jangan pernah pergi kemanapun sampai aku datang.” Bisikku ditelinganya sebelum pergi. Tentu bukan maksudku agar dia tetap berada di rumah sakit, tapi yang aku maksud adalah agar hatinya tak pernah pergi dariku dan tak pernah berpaling dariku. Aku mencintaimu Saila karena Allah...
Haekal menutup bukunya, “Selesai.” Ujarnya.
Aku merasa luka dihatiku semakin membengkak, aku meringis menahan rasa sakit itu. Sebenarnya aku sangat beruntung memilikinya. Penyesalan mengisi semua sudut hatiku.
Haekal kembali menghapus air mataku.
“Saila izinkan aku meneruskan keinginan Aidan untuk mengobati luka dihatimu.”
Aku hanya diam. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya.
“Aku tahu, aku tak mungkin menggantikan Aidan dihatimu, tapi izinkan aku menempati hatimu walau hanya sebesar zarrah pun.”
Haekal mengulurkan tangannya dihadapanku. Aku menatap tangannya
“Aku tak akan menyesal jika kau bisa seperti laki-laki lainnya yang hidup normal tanpa penggemar dan paparazzi.”
Sebuah ungkapan bahwa aku telah menyesal menikah dengan seorang selebritis seperti Aidan kembali mengiang di kepalaku. Kematiannya seolah sebuah teguran dari Allah, atas kekufuranku akan nikmatNya dan Allah sungguh telah menggantinya dengan seorang suami dari kalangan biasa yang terbebas dari gangguan paparazi seperti yang aku harapkan. Semoga kini aku bisa mensyukurinya, supaya Allah tidak mengambilnya lagi.
Aku menyambutnya dan kugenggam tangannya. “Tentu, karena kau suamiku dan aku mencintaimu karena Allah. Aku tak ingin kehilangan anugerahNya untuk kedua kalinya karena aku kufur akan nikmatNya.” Ujarku seraya menatapnya haru. Haekal tersenyum senang.

***


Matahari senja tampak anggun di ufuk barat sana. Cahaya keemasannya membias pada dedaunan, memantul pada air, dan menerpa wajahku. Aku berdiri menantang cahaya itu, melawan angin yang menerpa wajahku, menghembus jilbabku. Ku hirup ia dalam-dalam, mengisi seluruh sudut paru-paruku. Menyejukkan. Ku pejamkan mataku lama. Menikmati semua keanggunan alam yang tersaji sore itu.
Aidan, mengenalmu adalah karunia yang terindah. Menjadi bagian dari hidupmu adalah permata yang tak ternilai. Aku tak menyesali apa yang terjadi padaku. Tidak lagi. Betapa hatimu seluas samudera, betapa bersabarnya engkau melunakkan keegoisanku. Mengenalmu, mengajarkan aku memahami keluargaku. Cinta mereka. Cinta ayahku, meski ia mengungkapnya dengan cara yang salah. Percayalah ia tak pernah menbencimu, ia hanya berupaya melindungi putrinya agar tidak menangis seperti yang sering ia lakukan padaku saat aku kecil. Utamanya, kau mengajariku cinta padaNya. Arti bersyukur padanya. Kau pula yang mengajariku untuk hidup, hidup sebagaimana mestinya. Bagaimana aku harus menerima kenyataan pahit dan menegaskan bahwa tak selamanya hidup itu semanis permen cokelat. Melaluimu, aku tumbuh dewasa, meredam jiwa kekanak-kanakanku.
Dewasa untuk siap menghadapi kemungkinan di hari esok. Semoga engkau mendapatkan tempat terbaik di sana, semoga Allah mempersatukan engkau dengan bayi kita di sana.
Aku membuka mataku. Ku raih bunga dandelion yang tergeletak di dekat kakiku. Aku meniupnya hingga kelopaknya bertebaran di udara. Ku langkahkan kaki meninggalkan taman ini. Taman yang menjadi pilihan aku dan Aidan biasa bercengkrama.




TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar