Jumat, 28 Maret 2014

Ketika Cinta Harus Bersabar (Part 3)

Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga sama-sama lelah. Tapi menurutku, kadar

kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi? Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah, aku hanya bisa berdo’a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup mereka masing-masing.
Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo’a kelak kota Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang berjilbab lebar dan ikhwan dengan celananya yang semata kaki dan dagunya yang berjenggot tipis. Aku teringat pesan dari Mas Yusuf agar aku menunggunya di depan pintu masuk sampai dia datang. Aku pun menunggunya.
Banyak yang datang namun tak sedikit pula yang keluar. Aku memandangi mereka dengan biasa saja. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17 lewat 15 menit. Aku sudah mulai gelisah. Kuputuskan untuk menelepon Mas Yusuf di menit ke 25. Tak ada jawaban.
”Telepon yang anda tuju, untuk sementara tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi, atau tinggalkan pesan setelah nada berikut”
Itulah jawaban yang aku dengar berkali-kali dari operator telepon. Ada apa dengan Mas Yusuf? Aku benar-benar gelisah. Tiba-tiba ada seorang akhwat yang sangat aku kenal sekali wajahnya, bahkan tak pernah bisa aku lupa, menghampiriku sambil tersenyum.
”Assalamu’alaikum” Ucapnya dengan lembut.
”Wa’alaikumussalam” Jawabku sambil melemparkan senyum padanya.
”Afwan kamu Dinda kan, istrinya Yusuf?”
”Iya. Kamu pasti Alifa” Jawabku menimpalinya.
”Iya aku Alifa. Kamu masih ingat aku? Bukankah kita belum pernah berkenalan?”
”Bagaimana mungkin aku lupa. Suamiku kan pernah menyebut namamu ketika kamu datang ke pernikahanku”.
”Oh, syukurlah kalau kamu masih ingat. Aku pikir kau tak akan mengenaliku”
”Tenang saja. Aku selalu berusaha untuk mengingat orang-orang yang pernah aku kenal. Oh iya, kamu ikut acara ini?”
”Iya. Kamu sendirian? Yusufnya mana?”
”Mungkin sebentar lagi akan sampai. Tadi kami janjian untuk bertemu disini”
”Oh begitu” Sahut Alifa datar. Aku mengangguk sambil tersenyum.
”Oh iya hampir lupa” Tukasnya padaku. Dia mengambil sesuatu dari tasnya.
”Ini” Ucapnya sambil memberikan sebuah undangan pernikahan berwarna biru tua padaku. Aku menerimanya.
”Ini undangan pernikahanku. Datang ya?” Sambungnya. Aku menatapnya sesaat lalu kubuka undangan itu. Disitu tertera nama Alifa Oktaviana menikah dengan Guntur Maulana.
”Selamat ya?” Ucapku padanya. Dia mengangguk.
”Kalau begitu aku ke dalam dulu ya? Jangan lupa datang bersama suamimu di hari pernikahanku nanti” Ucapnya sebelum pergi meninggalkanku.
”Insya Allah nanti aku sampaikan” Sahutku. Alifa tersenyum dan pergi dari hadapanku. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah pukul 17 lewat 30 menit tapi Mas Yusuf belum juga datang. Kemana dia?
Tak lama berselang aku mendapati seorang ikhwan yang dulu pernah aku lihat di book fair. Dia temannya Mas Yusuf yang pernah berbincang dengannya. Aku melihatnya tepat ketika dia melihat kearahku. Dia mengangguk dan menghampiriku.
”Assalamu’alaikum. Yusufnya kemana ukh?” Tanyanya padaku.
Aku menggeleng, ”Wa’alaikumusslam. Belum datang”.
”Oh...Bukannya bareng?”
Aku menggeleng lagi sambil mengarahkan pandanganku kearah jalan. Siapa tahu Mas Yusuf sudah datang.
”Tadi sih ana ketemu dia di sekolah terus dia bilang mau pergi jenguk Mas Bambang yang lagi sakit. Tapi dia nggak bilang mau datang kesini” Jelasnya.
”Memang Mas Bambang sakit apa? Antum tahu kapan dia pergi jenguk Mas Bambang?” Tanyaku.
”Tadi pagi kakinya Mas Bambang tersiram air panas, jadi tadi dia tidak mengajar. Kayaknya abis Ashar tadi deh Yusuf jalan. Soalnya dia bilang, pulang dari rumah Mas Bambang dia mau langsung kerumah ibunya. Mau nginep katanya. Tapi nggak tahu juga sih”
Aku terdiam sejenak.
”Randi!! Ayo!” Teriak salah seorang memanggil ikhwan yang kini ada di hadapanku yang kutahu bernama Randi.
”Afwan. Ana duluan. Asslamu’alaikum” Ucapnya lalu melangkah menghampiri seseorang yang tadi memanggilnya.
”Wa’alaikumussalam” Sahutku.
Pikiranku semakin kacau. Apa Mas Yusuf lupa dengan janjinya? Apa Mas Yusuf lupa kalau aku sekarang tengah menantinya disini? Oh Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Mengapa Engkau mendatangkan Randi kesini untuk memberikan kabar yang membuatku bimbang?
Sesaat lamanya aku terdiam sampai akhirnya aku menyadari kalau rintik-rintik hujan telah membasahi pakaianku. Segera saja aku ambil payung dari dalam tas dan kubuka untuk melindungi tubuhku dari hujan. Kalau saja Mas Yusuf tidak menyuruhku menunggunya disini, pasti aku sudah masuk kedalam lebih dulu. Dan kalau saja aku tidak berjanji untuk menunggunya sampai ia datang, pasti saat ini aku sudah berada di dalam tanpa harus berdiri disini ditemani hujan yang turun semakin deras.
Langit sudah semakin mendung dan azan Maghrib pun berkumandang. Dengan berucap bismillah aku melangkahkan kakiku kedalam diiringi niat kalau aku hendak menunaikan
shalat Maghrib dan bukan bermaksud untuk mengingkari janjiku pada Mas Yusuf.
Setelah shalat Maghrib, aku kembali lagi kedepan. Dengan harapan Mas Yusuf pasti datang. Hujan sudah mulai reda, namun masih ada sisa-sisa gerimisnya yang membasahi jilbabku. Aku sudah mulai letih. Aku berniat menghubungi Mas Yusuf kembali. Tapi kuurungkan. Akhirnya aku putuskan untuk mengiriminya pesan yang isinya,
Mas, bkn mksudku ingin mengingkari janjiku u/ menunggumu disini smp kau dtg. Tp sungguh, aku sdh tk kuat lagi berdiri disini u/ menunggumu. Jd aku hrp, kau mau mengizinkanku u/ plg skrg.
Kukirim segera. Alhamdulillah pengiriman berhasil. Allah selalu ada bagi hamba-hambaNya yang bersabar. Tak lama kemudian satu pesan aku terima. Dari Mas Yusuf. ternyata. Isinya,
Aku segera kesana. Kau jgn kmn2. Kali ini aku janji. Afwan
Tiba-tiba air mataku jatuh membasahi ponsel yang kupegang. Aku berusaha untuk meluruskan pikiranku. Aku berusaha untuk tetap memikirkan hal-hal baik tentang Mas Yusuf, tapi kenapa air mata ini masih saja membasahi wajahku? Sekuat tenaga aku yakinkan diriku kalau Mas Yusuf hanya terlupa. Dan bukan karena dia tidak mencintaiku makanya dia lupa pada janjinya.
Seperempat jam aku menunggunya akhirnya dia datang juga. Entah bagaimana lagi raut wajahku saat ini. Yang pasti aku berusaha untuk tetap tersenyum melihat kedatangannya.
”Maaf ya, maaf banget. Tadi aku lupa kasih tahu kamu kalau Mas Bambang itu sakit. Tadi pagi kakinya tersiram air panas waktu mau menyeduh kopi, jadi tadi dia tidak mengajar. Lalu guru-guru yang lain mengajak aku untuk menjenguknya. Kamu tidak marah kan?” Cerocosnya begitu
dia sampai di hadapanku.
Aku memandanginya lekat-lekat tanpa bisa menjawab sedikitpun. Aku bingung harus menjawab apa. Aku memang marah dan kesal padanya, tapi aku juga tidak mau dia tahu kalau aku marah padanya. Aku putuskan untuk menggeleng sambil berucap, ”Iya”
”Maksudnya?” Tanyanya tidak mengerti.
”Coba kamu pikirkan kembali apa jawabanku barusan. Kalau kau mengerti, pasti kau tahu apa maksud dari jawabanku” Sahutku dengan nada datar. Aku sudah lelah.
Dia terdiam. Acara di Bumiwiyata sudah selesai. Orang-orang sudah berhamburan keluar. Aku teringat Alifa yang memberikan undangan pernikahnnya padaku. Aku segera mengambilnya dari dalam tas dan memberikannya pada Mas Yusuf.
”Nih” Ucapku sambil menyodorkan undangannya.
”Apa ini?” Tanyanya sambil meraih undangannya dariku.
”Undangan pernikahan Alifa” Jawabku. Dia membukanya dan membacanya. Tak lama dia berucap datar.
”Mungkin inilah yang terbaik”
Aku hanya diam. Dia mengembalikan undangannya padaku dan menyuruhku naik ke motornya. Sambil naik aku berkata,
”Sebaiknya kita tidak usah kerumah ibu. Tidak enak rasanya datang kesana dengan pakaianku yang basah. Lebih baik besok saja kita kesananya”
”Baiklah” Sahutnya.
Motor yang kami tumpangi segera berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Sepanjang jalan kami hanya diam sambil mengintrospeksi diri masing-masing. Adakah surga yang tadi aku impi-impikan bisa aku cium baunya? Adakah surga yang telah Allah janjikan itu, bisa juga kami
rasakan? Entahlah. Hanya waktu yang dapat menentukan.
Hanya kesabaran dan kekuatan yang dapat menunjukkan segalanya dengan jelas. Aku hanya bisa berdo’a dalam diamku.

* * *

Hari pernikahan Alifa tiba. Aku dan Mas Yusuf pergi kesana bersama-sama. Setelah kemarin aku menyerahkan revisi novelku yang ketiga pada pihak penerbit, aku langsung membeli kado pernikahan untuk Alifa.
Mas Yusuf terlihat murung. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Apa mungkin dia masih menyimpan nama Alifa dalam hatinya? Entahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Di depan sebuah rumah berbentuk sederhana, Mas Yusuf menaruh motornya dengan beberapa motor lainnya yang sudah terparkir lebih dulu disana. Setelah menulis nama kami di buku tamu dan memberikan bingkisanku pada dua orang wanita berjilbab ayu yang duduk disana, kami masuk kedalam menemui Alifa dan suaminya.
Senyuman penuh kehangatan terpancar di wajah cantik nan menawan Alifa. Dia benar-benar tidak bisa memungkiri kalau hari ini dia begitu bahagia. Bahagia karena hari ini dia sudah resmi menjadi seorang istri, bahagia karena hari ini adalah hari pernikahannya, dan bahagia karena dia dan suaminya, saling mencintai.
Tapi Alifa tidak sadar dan tidak menyadari, kalau ada seseorang yang hatinya begitu hancur melihat dia bersanding dengan orang lain. Dia adalah suamiku sendiri. Sebagai seseorang yang sudah hidup bersamanya selama lima bulan lebih, aku sudah bisa melihat ada kemurungan lain yang aku tangkap di wajahnya yang sendu. Mungkin dia berpikir, ’seharusnya aku yang ada di pelaminan itu dan bukan lelaki yang bernama Guntur itu’. Astaghfirullah!! Aku tak mau su’udzan pada suamiku. Kembali kuluruskan niatku. Aku memasuki halaman rumahnya yang sudah di penuhi oleh para tamu. Undangan laki-laki dan undangan wanita di pisah oleh
hijab.
Aku bersalaman dengan Alifa dan memeluknya dengan erat seraya mengucapkan kalimat yang sama seperti yang pernah ia ucapkan padaku saat menikah.
”Barakallah ya Alifa? Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah”
”Syukran ya?” Ucapnya.
Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Yusuf hanya bersalaman pada Guntur tanpa berucap sepatah katapun padanya. Aku mengerti perasaannya. Sebelum kami beranjak pergi, Alifa meminta kami untuk berfoto bersama. Aku berdiri disamping Alifa dan Mas Yusuf berdiri di samping Guntur. Tinggi badanku hampir sama dengan Alifa dan sepertinya tinggi badan Mas Yusuf pun tak jauh beda dengan Guntur.
Setelah berfoto, aku dan Mas Yusuf meminta diri. Aku mengambil hidangan di tempat akhwat dan Mas Yusuf mengambil hidangan di tempat ikhwan. Setelah menghabiskan makanan kami, Mas Yusuf memberikan isyarat matanya padaku sambil mengangguk pelan. Menandakan bahwa dia ingin segera pulang. Aku pun menurutinya.
Sebelum pulang, sekali lagi kami berpamitan pada Alifa dan Guntur. Dia menyayangkan kami yang terkesan buru-buru sekali. Tapi apa boleh buat, Mas Yusuf sudah mengajakku pulang. Setelah berpamitan, kami pulang dengan perasaan kami masing-masing. Menatap kembali senyum Alifa yang terlihat begitu bahagia.

* * *

Tiga bulan telah berlalu dari hari itu. Dan malam ini, aku kembali meneteskan air mataku. Suami yang aku bangga-banggakan selama ini ternyata berbohong padaku. Kenapa seseoang yang taat beragama, rajin beribadah dan membaca Al-Qur’an, serta seorang yang terbiyah seperti dia bisa
membohongiku?
Aku tak pernah habis pikir. Tadi pagi dia mengatakan padaku bahwa dia tidak bisa ikut hadir dalam acara munasoroh Palestine di Monas. Tapi ternyata, diantara ribuan, bahkan puluhan ribu ikhwan yang datang pada acara itu, kedua mataku menangkap sosok seorang ikhwan yang sudah lebih dari 8 bulan ini hidup bersamaku.
Aku melihat suamiku tengah mengibarkan bendera Palestina, lengkap dengan topi dan ikat kepalanya yang bertuliskan ’Save Palestine’. Dia mengibarkan bendera itu dengan penuh semangat dan ghirah yang selalu membakar jiwa. Entah mengapa Allah swt menampakkannya di penglihatanku di tengah kerumunan orang-orang itu.
Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku sadar dia membohongiku. Berkali-kali aku yakinkan diriku bahwa orang yang aku lihat itu bukan suamiku. Tetapi ketika kutatap sekali lagi wajahnya yang samar-samar kulihat dari kejauhan dan dari kerumunan orang, aku mantapkan hati bahwa dia memang suamiku. Ikhwan itu memang benar-benar Mas Yusufku.
Melihat hal itu, langsung saja aku palingkan wajahku dan mengajak Nadia, sahabatku untuk beranjak pergi dari awal tempatku berdiri. Aku tidak mau Nadia sampai tahu kalau ternyata Mas Yusuf menjadi salah satu pengibar bendera Palestina disana. Sebab dari awal aku sudah
terlanjur bilang padanya bahwa Mas Yusuf tidak bisa hadir karena ada urusan di sekolahnya. Nadia pun percaya. Dan aku tidak ingin kepercayaan Nadia itu berubah menjadi ketidakpercayaan padaku atau pun suami, karena dia telah melihat Mas Yusuf disana.
Dengan gontai kulangkahkan kakiku keluar dari kerumunan orang-orang yang sedang bersemangat itu. Kuajak serta Nadia dari sana dengan alasan aku lelah dan ingin mencari minum pelepas dahaga. Dan kebetulan saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIB, menandakan
bahwa sebentar lagi azan zuhur akan berkumandang. Segera saja kuajak Nadia untuk pergi dari Monas menuju masjid terdekat, Masjid Istiqlal. Disana sudah banyak ikhwan/akhwat yang berpeluh dan berkeringat tengah membanjiri Masjid Istiqlal untuk melaksanakan shalat Zuhur. Aku dan Nadia mencari tempat wudhu wanita dan mengambil wudhu disana. Cukup mengantri memang, tapi akhirnya aku dan Nadia bisa mengambil air wudhu sebelum azan Zuhur
berkumandang.
Kuselonjorkan kakiku dan kusandarkan punggungku kesalah satu tiang masjid ketika aku dan Nadia sudah mendapatkan posisi yang cukup nyaman untuk shalat. Sambil menunggu azan berkumandang, kunikmati sebotol air mineral yang tadi aku beli sambari angin sepoi-sepoi dan semriwing membelai-belai wajahku.
Diwaktu yang sama, kulihat Nadia juga melakukan hal yang sama sepertiku. Kulemparkan senyum padanya lalu kuarahkan kembali pandanganku lurus kedepan. Angin sepoi-sepoi terus saja membelai lembut wajahku ketika tiba-tiba saja kedua mataku basah dengan air mata. Aku teringat kembali dengan Mas Yusuf. Kenapa dia berbohong padaku? Apa dia tidak mau pergi keacara itu bersamaku sehingga dia harus berdusta? Atau apa? Sekuat tenaga kuluruskan pikiranku dan sebenarnya aku tak ingin bersu’udzan padanya. Tapi.....
Seketika air mataku jatuh membasahi wajahku. Aku tersadar. Ternyata azan Zuhur tengah berkumandang. Aku segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat Zuhur bersama Nadia dengan terlebih dahulu melaksanakan sunnah rawatib 2 rakaat. Nadia menjadi imam dan aku menjadi makmum. Setelah shalat Zuhur kami melaksanakan shalat sunnah rawatib lagi 2 rakaat lalu kembali istirahat sebentar.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, kami memutuskan untuk pulang. Diperjalanan Nadia banyak sekali bercerita tentang hal-hal yang lucu. Aku ingin sekali tertawa tapi tidak bisa. Bayang-bayangku tentang Mas Yusuf kembali mengusik pikiranku. Hal itu mengalahkan semua rasa dan pemikiranku yang kala itu tengah mendengarkan cerita Nadia. Aku hanya bisa tersenyum kecil tanpa bisa berkomentar apa-apa. Dan ketika Nadia bertanya padaku tentang sikapku, aku hanya menggeleng dan menjawab,
”Nggak. Aku enggak kenapa-kenapa. Terus bagaimana kelanjutannya?”
Lalu Nadia pun melanjutkan ceritanya. Aku hanya mendengarkannya dengan pikiran yang entah kemana perginya. Nadia mengajakku mampir sebentar ke warung somay yang ada di Stasiun Gondangdia. Aku menurutinya. Aku memesan satu porsi tapi tidak habis. Nadia membayarnya dan aku pun memberikan uang sepuluh ribuan padanya. Awalnya dia menolak tapi kupaksa dan akhirnya dia menerimanya.
Kami naik keatas dan membeli tiket. Nadia yang membelinya. Jurusan Lenteng Agung dan Pasar Minggu. Di Stasiun Gondangdia sudah banyak sekali orang yang beratribut Palestina. Entah bajunya, kerudungnya, atau topi dan pin yang mereka kenakan. Memang, semangat saudara-saudara kita di Palestina tidak pernah surut untuk melawan penjajah Israel, sampai mereka takluk dan menyatakan menyerah pada rakyat Palestina. Ya...memang masa-masa itu belum tahu kapan tapi yang pasti saat-saat itu akan ada masanya.
Dan aku yakin Allah pasti akan menepati janjiNya. Sebagaimana dijelaskan dalam wahyuNya, surat Al-Baqarah ayat 85-86.
”Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan dari kamu kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan perbuatan dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”
Dari jarak beberapa meter aku melihat seorang akhwat yang sepertinya aku kenal. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman akhwatnya sesama aktivis. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Tapi siapa dia? Alhamdulillah setelah berpikir keras, aku mengingatnya. Dia adalah sahabatnya Alifa. Dia pernah datang bersama Alifa ke pesta pernikahanku. Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan menanyakan kabar Alifa padanya. Dengan langkah yang pasti, aku mengajak Nadia untuk menghampirinya.
”Assalamu’alaikum” Ucapku padanya.
”Wa’alaikummussalam” Sahutnya bersama dengan beberapa temannya.
”Afwan, ana mau tanya, apa anti temannya Alifa?”
Tanyaku sambil mengarahkan pandanganku pada orang yang kumaksud.
”Oh, iya ana temannya Alifa. Ana Ririn. Afwan, anti istrinya akh Yusuf kan?”
”Iya. Ehm, ana mau tanya, bagaimana kabar Alifa sekarang? Apa dia tidak ikut munasoroh? Atau mungkin dia pergi dengan suaminya ya?”
Wajah ukhti yang ada dihadapanku terlihat muram.
”Ada apa ya Rin?” Tanyaku langsung padanya.
”Ehm... keadaan Alifa sekarang tidak begitu baik”
Jawabnya dengan nada sedih.
”Memang dia kenapa?”
Ririn mulai menjelaskan.
”Seminggu setelah pernikahannya, suaminya meninggal akibat kecelakaan kereta api. Mobil yang dikendarainya mogok dan terjebak di rel kereta api. Dan pada saat yang bersamaan, kereta datang melintas dan Guntur....” Ririn memutus perkataannya.
Aku hanya bisa diam sambil miris mendengarnya. Dalam hati aku terus beristighfar.
”Lalu keadaan Alifa sekarang bagaimana?” Tanyaku setelah tadi aku sempat terkejut mendengarnya.
”Keadaan terakhir yang aku tahu, dia kini terbaring di rumah sakit karena stres. Awalnya dia bisa menerima kenyataan ini, tapi makin kesini, kondisinya semakin parah. Dia tidak mau makan dan minum, sampai akhirnya sakit. Dia terus memikirkan kematian suaminya yang sangat tragis. Dan
pada akhirnya dia harus dilarikan ke rumah sakit karena kondisi tubuhnya semakin lemah dan parah” Jelas Ririn.
Aku diam sejenak lalu bertanya di rumah sakit mana Alifa dirawat. Setelah Ririn memberitahukan dimana Alifa dirawat, aku segera meminta diri untuk beranjak dari tempatku berdiri kini. Nadia bertanya padaku siapa Alifa. Aku menjelaskan padanya tentang Alifa. Sekedarnya tanpa menceritakan padanya kalau Alifa itulah yang sebenarnya menjadi impian Mas Yusuf.

* * *

Tanpa terasa kereta yang kami tunggu-tunggu sudah datang. Segera saja aku dan Nadia menjejalkan diri masuk kedalamnya. Alhamdulillah bisa masuk dengan selamat. Di sekeliling kami hampir semua berjilbab putih. Sangat bisa ditebak bahwa kami habis melakukan aksi munasoroh Palestine di Monas. Aku tak peduli dengan tatapan orangorang lain pada kami. Aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan merebahkan tubuh ini diatas tempat tidur.
Biasanya sepulang aksi-aksi seperti ini, ada semangat baru yang terpatri dalam diriku untuk kembali bangkit merencanakan hari esok. Tapi sekarang, entah mengapa tiba-tiba semangat itu seakan pudar. Terhapus oleh bayang-bayang Mas Yusuf yang tadi aku lihat dan juga bayang-bayang Alifa yang kini mungkin tengah terbaring tak berdaya dirumah sakit. Tapi aku berharap Alifa pun sudah sembuh dan bisa bangkit merajut hari-hari barunya.
Menuju stasiun Tebet, alhamdulillah ada dua orang perempuan yang bangkit dari duduknya dan segera saja aku gantikan tempat duduknya bersama Nadia. Kulihat kesekeliling tidak ada orang yang mungkin lebih pantas mendapatkan tempat duduk itu. Aku mengucap syukur karena akhirnya bisa duduk. Beberapa menit kemudian datang kehadapanku seorang perempuan tua yang mengais rezeki dengan cara menyapu lantai kereta dengan sapu kecilnya. Pakaiannya compang camping namun tetap berkerudung, menandakan bahwa dia seorang muslim. Di
pinggangnya terdapat sebuah tas untuk menaruh uang hasil menyapu yang dengan ikhlas diberikan oleh penumpang kereta.
Dia menadahkan tangan kanannya padaku. Hatiku tersentuh dan langsung ku keluarkan uang lima ribu rupiah dan kuberikan padanya. Nadia pun ikut mengeluarkan uang seribu rupiahnya untuk diberikan pada ibu itu. Wajahnya begitu berseri-seri saat menerima uang dariku dan Nadia. Dia pun mengucapkan terima kasih dan kembali menyapu bagian yang lain dari lantai kereta. Nadia mungkin heran melihatku memberikan ibu tadi uang lima ribu rupiah. Dia lantas
menanyakan perihal tersebut padaku.
”Kamu memberikannya uang lima ribu Nda?” Tanyanya dengan memanggilku dengan sebutan ’Nda’. Ya, memang hanya Nadia yang memanggilku dengan kosakata terakhir dari namaku, ’Nda’.
”Apa menurutmu, uang lima ribu rupiah itu besar?” Tanyaku balik padanya.
Nadia mengangguk.
”Menurutku itu terlalu besar Nda. Apa tidak ada uang kecil?”
”Ada. Tapi bagiku, uang lima ribu itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan semua nikmat yang telah Allah berikan padaku. Uang lima ribu itu hanya sebagai ungkapan rasa syukurku saja pada Allah swt karena paling tidak, Dia masih berkenan mengizinkan aku untuk dapat hidup enak dan nikmat tanpa harus bekerja keras seperti yang ibu tadi lakukan. Aku hanya ingin membagi rasa syukurku ini pada orang-orang yang memang pantas untuk menerimanya. Lagi pula dia bukan hanya mengemis, tapi juga secara tidak langsung dia sudah membantu kita dengan membersihkan lantai kereta ini. Benar kan Nad?” Jelasku pada Nadia. Nadia mengangguk lagi.
Sesaat lamanya kami diliputi kebisuan. Hanya angin yang berhembus dari jendela kereta yang berbisik-bisik membelai wajah kami. Tepat di Stasiun Tebet banyak penumpang yang turun, namun hanya sedikit orang yang naik. Alhasil kereta menjadi agak sedikit lengang. Banyak penumpang yang tadinya berdiri kini mendapat tempat duduk. Mataku menangkap jelas dua orang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya tidak ada kerutan sedikitpun di baju dan jas
mereka. Dengan masing-masing membawa tas agak besar mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk kereta. Mereka terus berbincang-bincang sampai kereta mulai berjalan kembali. Namun kemudian mereka masuk agak kedalam sehingga tak terlihat lagi oleh pandanganku.
Beberapa menit setelah kereta melaju di rel-nya, tiba-tiba terdengar suara bentakan hebat yang dilayangkan oleh seorang laki-laki.
”Hei! Perempuan tua jalang! Berani-beraninya kau mengotori sepatuku dengan sampah busukmu itu. Pantaslah tanganmu itu kuinjak karena kau telah mengganggu kami dengan sapu bututmu itu. Enyahlah kau dari hadapanku, dasar perempuan tak tahu diri!” Bentak salah seorang dari
penumpang yang aku tidak tahu siapa dia. Aku bangkit dari dudukku sesaat untuk mengetahui siapa yang berani berbuat kurang ajar pada seorang perempuan yang dibilang jalang olehnya.
Ternyata yang berbuat hal yang memalukan itu adalah salah seorang dari dua orang penumpang laki-laki yang berpakaian rapi dengan membawa tas agak besar yang tadi sempat aku perhatikan. Dan perempuan tua yang dihina olehnya adalah ibu tua yang tadi menadahkan tangannya
padaku dan Nadia. Ibu tua itu duduk menangis sambil mengusap-usap tangannya yang katanya terinjak oleh orang yang menghinanya tadi. Aku sungguh tak tega melihatnya.
Orang yang berpakaian rapi yang satunya lagi mengusapusap bahu temannya itu. Aku harap dia bisa menyadarkan temannya itu yang sudah berbuat kurang ajar pada ibu tua itu. Tapi ternyata dugaanku salah. Dengan setali tiga uang, orang yang satunya lagi malah ikut-ikutan mencaci ibu tua itu.
”Hei! Pergi kau dari sini. Seperak pun tak akan aku berikan uangku untukmu. Pergi kau! Dasar perempuan tua tak tahu diuntung. Mengganggu saja! Pergi kau!!” Ucapnya dengan nada yang lebih tinggi dari orang yang sebelumnya.
Semua penumpang yang ada di dalam kereta mengarahkan pandangannya pada dua orang laki-laki dan ibu tua itu. Sungguh, aku jadi naik pitam. Aku sungguh tak tega melihat dua orang itu menghina ibu tua itu. Aku harus bertindak. Tapi apa? Semua orang yang ada dalam kereta tidak berani bertindak. Ini sudah keterlaluan. Ini sudah termasuk perbuatan zalim. Dan kezaliman harus segera di musnahkan.
Setelah kurasa tak ada yang cukup berani meluruskan kesalahan dua orang itu, akhirnya aku putuskan untuk membela ibu tua itu yang aku rasa dia tidak bersalah.
”Cukup-cukup!!” Teriakku sambil berjalan kearah ibu tua itu. Aku rasa semua yang ada disana sedang memperhatikanku.
Sebenarnya aku sangat takut dan gemetar, tapi aku yakin aku bertindak yang memang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim yang melihat kemungkaran dan kezaliman. Dua laki-laki itu mengarahkan tatapan sinis padaku. Jujur, pada saat itu aku hanya bisa pasrah pada Allah
swt.
”Tidak sepantasnya kalian sebagai seorang yang berpendidikan, berperilaku seperti itu. Saya yakin kalian ini pasti seorang yang berpendidikan bukan? Apakah pantas kalian berdua menghina ibu ini dengan hinaan yang sebenarnya sangat tidak patut keluar dari mulut kalian
sebagai seorang yang berpendidikan? Apakah hanya karena sepatu bagus kalian yang mengkilap, kalian merasa pantas menghina ibu ini? Apakah hanya karena kemeja dan celana kalian yang licin, lalu kalian merasa benar untuk mencaci makinya? Kalau hanya karena itu semua kalian merasa benar melakukan hal itu, maka sebenarnya yang hina bukan ibu ini, melainkan kalian” Ucapku dengan tegas sambil membantu ibu tua itu untuk berdiri.
”Apa maksud perkataanmu hei?” Tanya salah seorang dari dua laki-laki itu yang mengenakan kemeja berwarna biru tua.
”Apa kurang jelas apa yang saya ucapkan tadi? Kalau kalian merasa benar melakukan hal itu, maka kalian pun tak lebih tinggi dari seorang pecundang. Kalian menghina seorang ibu yang sudah tua renta ini tanpa sebuah rasa tak tega sedikitpun. Hanya karena dia tak sengaja mengotori sepatu kalian, lantas kalian menghinanya. Apakah harga diri kalian hanya sebatas sepatu kalian yang mengkilap itu?”
”Hei! Tutup mulutmu perempuan berjilbab. Tahu apa kau tentang harga diri. Hah?” Kali ini laki-laki yang mengenakan kemeja merah marun yang bertanya padaku.
”Apakah kalian tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kehidupannya ketika mata kalian melihat dia mencari sesuap nasi dengan membersihkan gerbong kereta ini? Kemana hati nurani kalian tatkala tangan tua rentanya menyingkirkan sampah-sampah yang kita buang sembarangan disini? Saya tanya, apakah pekerjaannya itu mengganggu kalian? Apakah pekerjaannya itu menyusahkan kalian sehingga kalian harus marah padanya? Apakah kalian bisa menjawabnya? Hah?!”
Dua lelaki itu diam seribu bahasa sambil saling bertatap-tatapan. Aku masih terus saja merangkul ibu tua itu tanpa sedikitpun rasa geli dalam diriku karena pakaian yang dikenakannya sangat kotor.
”Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah perbuatan yang terpuji. Kita yang membuang sampah sembarangan lalu dia yang membersihkannya, apa kita tidak malu? Sebagai seorang yang berpendidikan dan beragama, apakah pantas kalian menghina seseorang yang justru telah mengajarkan kita akan pentingnya kebersihan?
Coba kalian pikir, kata-kata yang kalian lontarkan tadi bisa jadi sangat menyakitkan hatinya. Coba kalian perhatikan air mata yang mengalir di wajahnya. Itu menandakan bahwa hatinya sangat perih. Demi mendapatkan sesuap nasi untuk mengganjal perutnya hari ini, dia sampai rela menahan rasa sakit di hatinya karena ucapan kalian. Belum lagi tangannya yang terinjak oleh salah satu diantara kalian. Dia telah berjasa membersihkan tempat ini agar kita nyaman berada di dalamnya, tapi apa yang kalian berikan padanya? Sebuah cacian dan hinaan. Bahkan untuk
mengeluarkan uang seribu dua ribu saja kalian tidak bersedia, kalian malah menghujaninya dengan cacian”
Itulah ucapan yang aku lontarkan pada dua lelaki yang kini hanya bisa diam mematung sambil menatap wajahku dan ibu tua yang kini ada di sampingku. Aku yakin semua orang tengah memandangi kami berempat. Aku kembali berkata pada dua lelaki itu.

”Saya yakin kalian seorang muslim. Terlihat dari gantungan tas kalian yang berlambangkan Allah. Apakah kalian tidak menyadari bahwa iman kalian belum sempurna?”
”Hei, jangan bicara sembarangan. Kami orang yang beriman dan hanya Allah Tuhan kami” Sahut lelaki berkemeja merah marun.
”Kalau kalian merasa benar-benar beriman, seharusnya kalian bisa lebih mencintai saudara kalian sesama muslim. Rasulullah bersabda, ‘Belum sempurna iman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kalau memang kalian mencintai diri kalian, seharusnya kalian juga bisa mencintai saudara kalian sesama muslim sehingga kalian benar-benar bisa merasakan manisnya kesempurnaan iman itu.’ Saya yakin kalian pasti tidak mau memikul kebohongan dan dosa yang nyata bukan?”
”Apa maksudmu dengan kebohongan dan dosa yang nyata?” Kali ini laki-laki berkemeja biru tua yang bertanya.
”Allah berfirman dalam Qur’anNya, ‘Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.’ Saya harap, kalian bisa memahami ayat itu. Dalam ayat yang lain, Allah juga mengingatkan kita agar jangan mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari pada mereka yang mengolok-olok. Mohon
diingat akan hal itu.
Saya hanya ingin mengingatkan kalian agar tidak sombong. Apa yang kalian lakukan itu adalah perbuatan yang sombong dan tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Coba sedikit saja tundukkan hati kalian dan sedikit berpikir, bagaimana kalau semuanya berbalik dan kalian atau keluarga kalian yang sekarang ada di posisi ibu ini. Apa perasaan kalian saat ini? Saya yakin kalian tidak bisa menjawabnya karena jawaban itu sudah kalian telan mentah-mentah
bersama hinaan-hinaan kaliantadi.
Harusnya kalian bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan pada kalian untuk hidup enak sehingga kalian tidak perlu susah-susah mencari uang seperti yang ibu ini lakukan. Tolong kalian buang kesombongan kalian itu. Allah bisa marah karena pakaianNya kalian pakai. Kesombongan adalah dosa besar yang menyebabkan iblis di usir dari surga. Rasulullah
bersabda, ‘Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat bagaikan semut kecil dalam wujud manusia. Mereka dikepung oleh kehinaan dari seluruh arah. Mereka digiring ke sebuah penjara dalam neraka Jahanam. Mereka ditutupi oleh api paling panas dan diberi minuman dari nanah penduduk neraka’.
Jadi sekali lagi saya mohon, buanglah rasa angkuh kalian. Jangan sampai jabatan dan kedudukan kalian saat ini membuat kalian gelap mata dan akhirnya terjebak dalam bayang-bayang neraka jahannam yang tengah menanti orang- orang yang sombong.
Saya melakukan hal ini, karena saya tidak tega melihat ibu ini dicaci dan dihina. Sepatutnyalah
kalian menghormatinya karena biar bagaimanapun, dialah yang lebih dulu menempati dunia ini dibanding kita. Ibu ini telah mengajarkan kita akan banyak hal. Tentang kebersihan,
kesabaran dalam menghadapi hidup, dan sebuah usaha dan kerja keras yang juga di iringi dengan ikhtiar, tawakal, dan rasa syukur. Betapa hidup ini harus dijalani tanpa mengenal kata putus asa. Itulah muslim sejati”
Dua lelaki berkemeja licin itu tampak berkaca-kaca. Raut wajahnya terlihat sekali kalau mereka sangat menyesal. Mereka saling bertatap-tatapan kemudian mereka mengaku sangat menyesal dengan tindakannya terhadap ibu tua itu. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, mereka
menyalami ibu tua yang kini ada disampingku sambil meminta maaf padanya dan memberinya dua lembar uang seratus ribuan.
Ibu tua itu menghapus air matanya. Dia tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. Aku balik tersenyum padanya dan terdengar tepukan tangan yang diiringi dengan pekikan takbir dari penumpang kereta yang hampir seluruhnya adalah mereka yang mengikuti aksi munashoroh
Palestine di Monas.

* * *

Tepat di stasiun Pasar Minggu baru ibu tua itu turun. Aku kembali lagi pada Nadia. Ada beberapa orang mengucapkan selamat padaku. Nadia menyampaikan rasa salut dan kagumnya padaku. Aku sampaikan padanya bahwa sungguh saat aku mengucapkan kata-kata itu, yang terbersit dalam pikiranku adalah bagaimana caranya agar dua lelaki itu bisa mengerti arti kehidupan ini. Dan sejujurnya aku katakan bahwa sampai saat ini hatiku masih berdegup kencang.
Di stasiun Pasar Minggu Nadia turun. Aku hanya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya. Kereta terus melaju dan terus membawaku beserta orang-orang yang ada dalam kereta menuju stasiun yang satu ke stasiun yang lain. Banyak yang turun namun tak sedikit pula yang terus memadati sesaknya kereta. Stasiun Lenteng Agung sebentar lagi. Aku bersiap-siap untuk turun. Setelah sampai aku pun turun. Aku keluar satsiun dan menghentikan angkot berwarna
coklat. Tepat di sebuah sekolah rumah makan padang aku turun dan membayar angkotnya.
Dirumah kontrakanku yang mungil, aku mencurahkan segalanya. Teringat kembali semua kejadian yang aku alami hari ini. Aku yang melihat Mas Yusuf di Monas, pertemuanku dengan sahabatnya Alifa dan mengabarkan aku kalau Alifa saat ini tengah dirawat di rumah sakit karena
suaminya meninggal, juga kejadian di kereta tadi yang membuatku semakin mengerti arti hidup ini.
Setelah istirahat sejenak, aku mandi dan shalat Ashar. Mas Yusuf belum juga pulang. Aku menyempatkan diri memasak sayur sawi dan menggoreng telur untuk makan malam Mas Yusuf. Tapi sampai Maghrib tiba, dia belum pulang-pulang juga. Masakanku sudah dingin. Sebenarnya
aku ingin menghubunginya tapi aku khawatir dia akan menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak semestinya. Akhirnya kuurungkan niatku.
Kulihat jam dan azan Isya berkumandang. Aku putuskan untuk segera shalat dan mengadu PadaNya. Aku ingin sekali menangis. Menangis dengan sungguh-sungguh di hadapan Rabbku. Menangis dengan air mata yang sejak tadi siang kutahan. Aku tak pernah sesedih ini. Rasanya sakit seperti teriris-iris pisau sembilu. Aku kecewa padanya.
Kucurahkan semua perasaanku dalam buku harianku. Diatas buku itu kugoreskan tinta hitamku. Berharap agar perasaanku yang kini gundah dapat berubah menjadi lebih tenang. Hanya buku harianku yang selama ini selalu menemaniku melewati hari-hari yang baru aku jalani bersama
Mas Yusuf. Suamiku yang aku tahu tidak pernah mencintaiku. Suamiku yang aku tahu berbohong padaku tadi siang. Remuk rasanya jiwa ini. Sejadi-jadinya aku menangis sambil terus mencurahkan perasaanku di dalam buku harianku.
Kurasa mataku bengkak. Aku sudah mulai mengantuk tapi Mas Yusuf belum juga pulang. Tidak menelepon ataupun mengirimkan sms sekedar memberitahukan dimana dia sekarang. Kuseka air mataku dan aku beranjak mengunci pintu depan. Mas Yusuf membawa kunci rumah yang satu
lagi. Aku melihat kembali makanan yang tadi aku masak. Sudah sangat dingin. Aku masukkan sayur kedalam penghangat nasi dan telurnya kubiarkan diatas meja makan yang kututup dengan tudung saji.
Aku kembali lagi kekamar dan bersiap untuk tidur. Namun baru sekitar 15 menit aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara pintu rumah dibuka. Aku yakin itu Mas Yusuf. Kudengar dia melangkah masuk kedalam kamar. Aku masih memejamkan mata sambil memiringkan tubuhku membelakanginya. Aku putuskan untuk tidak bangun dan menyambut kedatangannya. Aku kahawatir dia melihat mataku yang bengkak lalu dia menanyakan alasannya.
Kumantapkan hati untuk tidur malam ini. Dan Mas Yusuf? Biarlah dia makan sendiri malam ini. Toh, nasi, sayur, dan telurnya sudah aku siapkan di meja makan. Biar bagaimana pun, aku hanya ingin menjadi istri yang baik dan berbakti pada suami. Meskipun hatiku sakit. Tapi untuk
malam ini, maafkan aku Mas jika kamu makan sendiri. Aku tak sanggup melihat wajahmu.
Di luar, hujan turun secara perlahan mengantarkan deras yang tiada terkira. Dalam pejam malamku aku berdo’a,
”Ya Allah, ampuni segala dosa-dosaku dan dosa-dosa suamiku. Berikanlah kami kekuatan untuk bisa tetap bertahan di jalan IstiqomahMu. Amin”
* * *

Sisa-sisa hujan masih terus saja mengguyur kota Jakarta. Dan pagi ini pun hujan masih terus turun dengan derasnya. Sebagian kota Jakarta sudah ada yang tergenang banjir. Aku lihat di berita pagi yang menyebutkan bahwa sebagian kawasan di Jakarta sudah terendam oleh banjir setinggi 1-2 meter. Kebetulan hari ini adalah hari ahad, jadi tidak ada kegiatan yang mengharuskan aku keluar rumah. Dan aku putuskan untuk tetap dirumah dan kembali duduk di depan komputer untuk meneruskan tulisanku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Kulihat Mas Yusuf sedang menonton televisi. Aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapan paginya. Setelah itu kami sarapan bersama tanpa perbincangan yang berarti. Hanya suara penyiar berita di televisi yang mengisi kebisuan kami. Selesai sarapan aku memasak tumis kangkung dan menggoreng tempe. Tak lupa sambal goreng yang menjadi pelengkap menu masakan hari ini. Selesai masak pukul 08.45. Aku bergegas membersihkan tubuhku dari sisa asap masakan. Aku berencana meneruskan tulisanku setelah shalat dhuha nanti.
Hujan belum juga reda sementara petir terus saja bersahut-sahutan di langit sana. Aku masuk ke kamar dengan sebelumnya menatap Mas Yusuf yang tengah membaca Koran di ruang tamu. Televisinya dimatikan, mungkin karena takut tersambar petir. Aku shalat dhuha di kamar, bermunajat sebentar, kemudian langsung menghidupkan komputerku. Aku mulai terhanyut dalam lautan kata-kata sebelum Mas Yusuf memanggilku karena ada telepon dari pihak penerbit.
Aku keluar dan menerima telepon itu. Tak berapa lama, aku menyudahinya. Dari pihak penerbit memintaku untuk membuat ucapan terima kasih karena novel ketigaku akan segera diterbitkan. Hatiku senang tiada terkira. Berkali-kali kuucap rasa syukur yang teramat dalam pada Allah swt. Ditengah derasnya hujan yang belum juga berhenti, aku mendapatkan berita yang menyejukkan hatiku.
Aku kembali ke kamar untuk meneruskan tulisanku. Kulihat kini Mas Yusuf tengah meringkuk di atas tempat tidur membelakangi diriku. Kuposisikan diriku di depan layar komputer. Baru beberapa baris aku mengetik, Mas Yusuf membalikkan tubuhnya dan bertanya padaku.
”Ada apa dari pihak penerbit menelepon?”
”Memberi tahu kalau novelku yang ketiga akan segera di proses” Jawabku singkat tanpa memalingkan wajahku dari layar komputer.
Tiba-tiba aku berinisiatif membuatkan susu hangat untuk Mas Yusuf. Aku menoleh sesaat ke arahnya yang tengah bersandar di kepala tempat tidur sambil membaca buku. Aku beranjak keluar kamar untuk membuat susu hangat kemudian ku berikan padanya.
”Nih Mas. Susu hangat untuk menghangatkan tubuh” Kataku sambil menyodorkan segelas susu padanya.
Dia menerimanya dan meminumnya sedikit demi sedikit. Aku masih duduk di pinggir tempat tidur sambil menatapnya. Aku begitu mencintainya. Apakah dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Kutepis segera pemikiranku. Aku kembali tertuju pada komputerku sebelum Mas Yusuf menggamit tanganku dan menyuruhku untuk tetap duduk.
Aku tak tahu apa yang hendak dia lakukan. Dia beranjak dari tempat tidur lalu mematikan lampu yang ada di kamar dan menutup semua gorden di jendela kamar. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Apa yang hendak ia lakukan?
Dia berjalan ke arahku dan pada saat yang sama, dia mengajakku bercinta. Yang aku ingat, terakhir kami memadu kasih..... 3 minggu yang lalu.
Hatiku kembali berdebar. Mataku menatap penuh tajam ke arah matanya. Di tengah derasnya hujan, Mas Yusuf membawaku ke taman surga. Di pojok kamar sana, komputer belum sempat
aku matikan. Jujur, ini adalah kado terindah untuk novelku yang ketiga. Atau mungkin, ini adalah penebus rasa bersalahnya karena kemarin dia telah berbohong padaku. Entahlah.

* * *

Dua hari setelah hari itu, sepulang dari kantor aku memutuskan untuk menjenguk Alifa di Rumah Sakit Pasar Rebo. Keadaan Alifa belum sempat aku beri tahukan pada Mas Yusuf. Setelah turun dari angkot berwarna merah, aku langsung masuk kedalam rumah sakit. Menaiki lift dan menuju lantai lima ruang melati.
Di kamar 603 aku dapati seorang ibu paruh baya tengah duduk di sebelah seorang perempuan berwajah manis yang sangat ku kenal, Alifa. Mungkin ibu itu adalah ibundanya. Sambil tertunduk dia membaca surat Yasin dengan suara pelan. Aku memasuki kamar itu sambil mengucapkan salam dengan pelan. Ibu paruh baya itu mengangkat kepalanya kemudian berdiri menghampiriku.
Kucium tangannya sambil berkata.
”Ibu, saya Dinda, sahabatnya Alifa”
”Oh.. iya, iya. Terima kasih sudah mau datang menjenguk Alifa” Sahut ibu paruh baya itu dengan suara agak sedikit serak. Di matanya terdapat butiran-butiran kecil air mata. Mungkin dia habis menangis. Entahlah.
Sejurus kemudian aku mengalihkan pandanganku pada Alifa. Gadis cantik nan ayu itu kini terbaring lemah tak berdaya di kasur rumah sakit. Wajah terlihat pucat dan tubuhnya tampak begitu kurus yang di tutupi dengan selimut tebal. Jilbabnya kini agak sedikit pendek dari biasanya. Namun dia tetap terlihat cantik bagi siapa saja yang memandangnya.
Setelah menatap Alifa yang hanya bisa memejamkan matanya, aku mulai bertanya pada ibu paruh baya yang tak lain adalah ibunda Alifa. Dia bernama Bu Ratih.
”Sejak kapan Alifa masuk rumah sakit Bu?” Tanyaku sambil terus berdiri di samping Alifa.
”Sejak keadaannya semakin parah Nak. Ya... sekitar dua minggu yang lalu. Awal masuk kesini sih masih bisa makan, minum, shalat, bicara juga masih bisa sedikit-sedikit. Tapi makin kesini, kondisinya semakin....” Bu Ratih memutuskan kata-katanya. Air mata yang berusaha ditahannya kini tak dapat lagi terbendung. Aku langsung mengeluarkan tisu dan kuberikan padanya sambil mengelus-elus bahunya.
”Sabar ya Bu?” Ucapku padanya.
Bu Ratih hanya mengangguk sambil menghapus air matanya. Tanpa terasa kedua mataku basah. Sejurus kemudian timbul perasaan yang tiba-tiba saja menyusup ke dalam sukmaku. Aku begitu sedih melihat Alifa terbaring koma.
Sesaat lamanya aku berada disana, tiba-tiba ada seorang dokter cantik yang datang untuk memeriksakan keadaan Alifa. Dia bernama dokter Melisa. Dokter itu bersama dua orang perawatnya. Yang satu mengenakan kerudung dan yang satu lagi tidak. Suster yang mengenakan kerudung memeriksa denyut nadi Alifa lalu menuliskan sesuatu pada kertas yang dibawanya. Sedangkan suster yang satu lagi hanya berdiri sambil membawa beberapa obat-obatan di meja
dorongnya.
Dokter Melisa memeriksa mata Alifa dengan senter kecil. Dan sesekali dia mengecek selang infus yang yang menghubungkan cairan infus ke tubuh Alifa. Cairannya sudah hampir habis dan dia menyuruh suster yang tidak mengenakan kerudung untuk mengganti cairan infus yang sudah habis dengan cairan infus yang baru.
Setelah memeriksa keadaan Alifa, dokter Melisa berbincang sedikit dengan Bu Ratih.
”Bagaimana dok keadaanya? Apa ada kemajuan?” Tanya Bu Ratih penuh harap.
Dokter cantik itu menggeleng.
”Belum ada perubahan apa-apa. Bahkan keadaannya semakin menurun kalau tidak secepatnya dilakukan tindakan” Jawab dokter itu tenang.
”Tindakan apa dok?” Tanyaku menimpali.
”Tindakan untuk mencarikan seseorang yang mau berpura-pura menjadi suaminya. Saat ini dia memerlukan belaian lembut dan kasih sayang dari seorang suami. Maklumlah, Ibu Alifa ini baru seminggu menikah bukan?
Masa-masa itu adalah masa-masa dimana pasangan pengantin baru sedang mesra-mesranya. Makanya wajar jika dia stress kemudian sakit seperti ini. Selain kondisi fisiknya yang lemah, batinnya juga sangat terguncang tatkala dia harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya yang baru seminggu dinikahinya harus pergi dengan kondisi yang sangat kritis” Jelas dokter Melisa sangat detail. Aku mendengarkannya dengan seksama.
”Lalu bagaimana dengan kandungannya dok?” Tanya Bu Ratih yang tiba-tiba saja mengejutkanku.
”Kandungan? Jadi...saat ini Alifa sedang hamil?”
”Iya” Sahut dokter melisa.
”Usia kandungannya baru dua bulan. Alhamdulillah janin yang ada dalam kandungannya tidak mengalami penurunan. Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau
mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami pertamanya yang meninggal. Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama
pernikahannya” Jelas Dokter Melisa kembali.
Aku hanya terdiam tak berbicara apa-apa. Aku dan Bu Ratih mengucapkan terima kasih tatkala dokter Melisa dan dua perawatnya pergi meninggalkan kami. Aku teringat ucapan dokter Melisa barusan,
”Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak bisa menjamin kalau usia kandungannya bisa bertahan lama. Maka dari itu, harus ada yang mau berpura-pura atau mungkin ada seorang laki-laki yang berkenan menikahinya dan bersedia menjadi suami keduanya menggantikan suami
pertamanya yang meninggal”
Aku juga teringat perkataan dokter Melisa yang terus terngiang dalam ingatanku.
”Sehingga Ibu Alifa bisa merasakan kembali kasih sayang dari seorang suami yang memang seharusnya ia dapatkan sejak pertama pernikahannya”
Alifa memang seharusnya mendapatkan kasih sayang itu, tapi Allah telah mengambil suaminya dari sisinya. Sedangkan aku? Nasibku sungguh kontras sekali dengan kehidupan Alifa. Sudah hampir setahun aku menikah namun sampai detik ini aku belum juga mendapatkan kasih sayang itu. Kasih sayang yang memang seharusnya aku dapatkan dari seorang suami.
Bu Ratih mengejutkanku dengan tegurannya.
”Nak Dinda”
”Eh...Ya Bu?” Sahutku.
”Kenapa melamun?”
Aku menggeleng.
”Tidak Bu. Ehm..kalau begitu saya pamit pulang dulu ya Bu? Saya do’akan semoga Alifa bisa secepatnya melalui ujian ini dan semoga Alifa bisa lekas sembuh”
”Terima kasih ya Nak?’ Ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.
Sebelum pulang aku sempatkan menyentuh tangan Alifa yang kurus dan pucat itu. Dalam hati aku berucap padanya,
”Aku akan membantumu, Alifa. Insya Allah”
Setelah berucap sedikit pada Alifa, aku segera pulang dengan terlebih dahulu berpamitan pada Bu Ratih.
”Yang tabah ya Bu? Saya yakin, Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas semua ujian ini. Dan saya pun akan membantu Alifa sebisa saya mampu. Insya Allah. Assalamu’alaikum”
”Wa’alaikumusslam. Terima kasih ya Nak Dinda?”
Aku tersenyum padanya kemudian keluar menuju lift. Setelah keluar dari rumah sakit, di dalam angkot merah yang aku tumpangi, tiba-tiba aku mempunyai sebuah rencana yang mungkin bisa membuat Alifa tersadar dari komanya. Sebuah rencana yang akan aku jalankan untuk membantu Alifa dan bayi yang tengah dikandungnya.

* * *

Setelah sampai dirumah, tak kutemukan Mas Yusuf di setiap sudut rumah. Mungkin dia masih mengajar di sekolah. Aku beristirahat sejenak kemudian mandi dan shalat maghrib. Selesai itu aku sedikit tilawah sebentar sebelum tiba-tiba saja rasa cemas itu menyusup ke dalam dada.
Kemana Mas Yusuf sampai petang begini belum pulang? Tak biasanya dia pulang mengajar sampai malam seperti ini. Tak memberi kabar atau pun sms.
Kusudahi tilawahku yang baru beberapa lembar. Kuraih ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur lalu kuhubungi Mas Yusuf. Tak ada nada sambung dari ponselnya. Kemana dia? Sekali lagi aku hubungi dia dan yang menjawab hanya suara operator telepon seluler.
”Maaf, nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi atau tinggalkan pesan setelah nada berikut....”
Aku coba berkali-kali tetap tidak bisa. Kuputuskan untuk mengiriminya sms. Semoga saja ketika ponselnya sudah aktif, dia segera membaca pesanku dan langsung membalasnya. Sungguh, malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang.
Awalnya aku ingin menanyakan keberadaan Mas Yusuf pada mertuaku, tapi kuurungkan. Aku tak ingin mereka cemas lalu memikirkan hal ini. Aku juga tidak mempunyai nomor telepon teman-temannya kecuali Mas Bambang. Ya, aku akan coba menghubungi Mas Bambang dan
kutanyakan keberadaan Mas Yusuf padanya.
”Halo...” Ucap Mas Bambang dari sebrang sana.
Aku menjawabnya dan segera saja aku bertanya padanya perihal Mas Yusuf. Tapi lagi-lagi aku harus memendam harapku. Mas Bambang sendiri tidak tahu dimana Mas Yusuf sekarang. Yang dia tahu sepulang dari mengajar pukul dua siang, dan Mas Yusuf langsung pulang dengan tergesa-gesa.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Bambang, aku segera menutup teleponnya. Yang menjadi pikiranku, mengapa Mas Yusuf pulang dengan tergesa-gesa? Apakah jangan-jangan, dia sudah mengetahui kondisi Alifa sekarang dan dia pergi menjenguknya?
Ah! Aku tak mau memikirkan hal itu. Biarlah waktu saja yang menunjukkan segalanya. Dan saat ini, sebaiknya aku ingin tidur dan mengistirahatkan tubuh ini yang sudah seharian beraktivitas.

* * *

Pukul satu malam aku terbangun. Ada kehausan yang teramat sangat ketika aku merasakan sadar dari tidurku. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju ke dapur. Setelah minum untuk menghilangkan dahagaku, aku kembali ke kamar. Duduk di tepi tempat tidur sambil termenung
sendirian. Aku masih memikirkan dimana Mas Yusuf malam ini. Aku takut terjadi apa-apa padanya.
Sambil menatap photo pernikahanku yang dipajang di meja kecil disamping tempat tidurku, tiba-tiba aku menangis. Entah apa yang membuatku menangis. Aku ingin shalat tahajud.
Setelah mengambil air wudhu aku langsung melaksanakan shalat tahajud dan bermunajat padaNya untuk keselamatan Mas Yusuf dimana pun dia berada. Lalu aku lanjutkan dengan tilawah Al-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu aku menutupnya dengan shalat witir tiga rakaat.
Kulepas mukenaku dan ku ganti dengan jilbab hitam. Aku berdiri di depan jendela kamarku sambil membuka sedikit gorden yang menutupinya. Di luar gelap. Jalanan hanya di terangi dengan beberapa lampu neon yang tersambung oleh rumah warga.
Ku putar kembali ingatanku satu tahun yang lalu.
Ingatanku ketika keluarga Mas Yusuf datang kerumah untuk melamarku, lalu surat dari Mas Yusuf yang kukira surat cinta ternyata surat yang amat menyakitkanku, dan berbagai sikap-sikap
Mas Yusuf yang sampai sekarang tidak bisa aku mengerti kenapa dia belum bisa menerimaku sebagai seorang istri. Semua ingatan-ingatan itu membuat mataku basah dan akhirnya aku menangis.
Aku melangkah ke meja kerjaku. Sambil mendudukan tubuhku di kursinya, kuambil kembali buku harianku. Tiba-tiba aku melihat sebuah tape recorder yang sudah sejak lama kutaruh di laci. Didalamnya terdapat sebuah kaset kosong yang aku ingat, kaset itu pernah aku gunakan untuk
mewawancarai seorang narasumber untuk keperluan majalah di tempatku bekerja.
Kuurungkan niatku untuk menulis di buku harian dan aku putuskan untuk merekam suaraku di tape recorder itu. Akan kukeluarkan seluruh perasaanku selama ini tentang hatiku, tentang Mas Yusuf, dan tentang Alifa.
Tape recorder aku nyalakan dan aku mulai bercerita.

“Tuhanku,
Hanya Engkau sajalah yang mengetahui isi hatiku. Hanya Engkau sajalah yang menjaga hati dan perasaanku sehingga aku bisa kuat dan tegar sampai saat ini.
Tuhanku,
Aku sudah tak tahu lagi bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hatiku telah membeku. Satu tahun sudah aku hidup sebagai seorang istri. Hidup tanpa kasih sayang dan perhatian dari seorang suami yang aku kasihi. Hidup penuh kegamangan dan kepasrahan dalam menanti cintanya untukku.
Rabbi,
Sungguh aku sangat mencintainya. Sungguh aku sangat menyayanginya. Tapi kenapa sampai saat ini tak sedikit pun rasa cinta itu ia berikan padaku? Apakah ada yang kurang dalam pengabdianku padanya selama ini? Apakah ada yang tak diinginkannya dariku sebagai seorang istri?
Sudah cukup sabar rasanya aku menahan semua ini. Menahan rasa cinta yang tak kunjung terbalas olehnya. Katakan padaku Ya Allah, kapan sekiranya dia mau membukakan pintu hatinya untukku?
Malam ini aku sendiri. Dan lagi-lagi aku harus mengeluarkan airmataku untuknya yang sekarang entah berada dimana. Aku lelah Ya Allah. Bahkan untuk tetap mencintainya saja, kurasa aku sudah tak sanggup lagi. Tapi tak sedikit pun aku berniat menghilangkan dia dari ingatanku.
Biarlah aku menanggung derita ini diatas rasa cinta yang kuusahakan untuk tetap bertahan.
Ya Allah,
Aku sudah memaafkan segala sikapnya selama ini padaku. Tapi aku mohon, janganlah Engkau mencatat segala perbuatannya itu sebagai sebuah kezhaliman. Sungguh, aku sudah memaafkannya dan aku ikhlas dengan semua keadaan ini. Aku hanya ingin Kau menempatkan dia di tempat yang layak di sisiMu. Aku mohon.
Ya Allah,
Selama aku menjadi istrinya, mungkin banyak kekurangan yang hadir pada diriku yang tidak ia sukai. Aku mohon, bantulah aku memperbaiki semuanya. Bantulah aku membahagiakan dirinya, meskipun hal itu amat sangat menyakitkan untukku.
Sekiranya Engkau mengizinkan, biarkanlah aku berbagi cinta pada yang lain. Biarkanlah aku berbagi hidup pada hambaMu yang lain, yang namanya sudah sejak lama bertahta di kedalaman relung hatinya. Tegarkanlah hatiku ketika aku harus menyaksikan waktu membawa suamiku pergi pada bunga yang lain. Kuatkanlah imanku ketika aku harus berbagi suami pada yang lain, pada Alifa.
Aku hanya berharap satu pahala dariMu. Karena aku tahu, Alifa membutuhkan seorang suami dan bayi yang ada dalam kandungannya butuh seorang ayah. Jika sosok itu adalah suamiku, maka dengan segenap hati dan jiwa, aku bersedia.”

Seusai merekam suaraku dalam tape recorder sambil terisak, kusimpan kaset rekaman dan tape recordernya di dalam laci mejaku. Kuseka air mataku dan aku kembali tidur dengan perasaan yang masih gundah memikirkan Mas Yusuf.

* * *
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan pukul 06.00, pintu rumah ada yang membuka. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung melangkah ke ruang tamu.
”Dari mana Mas?” Tanyaku pada seseorang yang ternyata adalah Mas Yusuf.
Dia hanya diam sambil membuka kaos kakinya di kursi. Tanpa menjawab pertanyaanku dia malah berjalan ke kamar. Aku mengikutinya.
”Mas, kamu dari mana aku tanya?”
”Sudahlah!” Bentak Mas Yusuf mengejutkanku.
”Kamu selalu mau tahu saja urusanku”
Aku benar-benar kaget mendengar bentakan Mas Yusuf yang bagai anak panah menikam jantungku. Aku masih terdiam sementara Mas Yusuf kembali bersuara.
”Yang pasti aku tidak berselingkuh karena hal itu tidak mungkin aku lakukan”
”Ya aku tahu hal itu” Sahutku berusaha untuk tenang.
”Lagi pula tak pernah sedikit pun aku berpikir kalau kamu selingkuh. Kita sama-sama orang yang beriman. Aku hanya ingin tahu dari mana saja kamu semalam sampai tidak pulang? Tidak kasih kabar atau pun sms. Aku telepon handphone mu tidak aktif. Akhirnya aku kirim sms. Apa telah kau baca?”
Lagi-lagi dia hanya diam sambil menganggukkan kepalanya.
”Lalu kenapa tidak kau balas untuk memberitahukan dimana kamu berada? Sungguh aku khawatir dengan keadaanmu. Ingat Mas, walau pun kamu tidak mencintaiku, tapi biar gimana pun aku ini istri kamu. Jadi wajar jika kamu tidak pulang semalaman tanpa kabar, akan ada seorang wanita yang membasahi bantalnya dengan air mata dan itu adalah aku. Katakan Mas, dari mana kamu semalam dan kenapa tidak membalas sms ku?”
Mas Yusuf terdiam sesaat lalu menjawab dengan raguragu.
”Aku... aku habis dari rumah Bule Rinta...”
”Bule Rinta?!” Putusku dengan penuh tanya.
”Ada apa dengan Bule Rinta?”
”Kemarin, dirumahnya ada acara.... selametan anaknya yang mau di khitan..” Jawab Mas Yusuf tenang.

”Selametan? Dirumah Bule Rinta ada selametan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar