Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 4)

"Bibi menunggu saya?" Tanya Ayyas penasaran.
"Iya. Ini kuncinya." Jawab perempuan tua berkerudung kosinka putih sambil menyerahkan kunci ruangan.
"Bagaimana Bibi tahu saya mau ke sini?" Tanya Ayyas penasaran.
"Doktor Anastasia baru saja menelpon. Dia yang memberitahu, dan dia memintaku untuk
menunggumu di sini." Jelas Bibi Parlova sambil membetulkan letak kaca matanya yang kecil
bundar tapi agak tebal.
"Terima kasih Bibi Parlova."
"Rencana kau mau sampai jam berapa?"
"Bisa jadi sampai jam sebelas malam Bibi."
"Baik. Biar aku beritahu bagian keamanan. Oh ya kau mau teh panas?"
"Boleh Bibi."
"Baik tunggu sepuluh menit."
Ayyas membuka ruangan khusus Profesor Tomskii itu. Ia copot sepatunya. Melepas paltonya dan meletakkannya pada tempat yang telah disediakan. Setelah itu menyalakan lampu dan pemanas ruangan. Nampaklah sebuah ruangan yang didesain indah dan segar. Ruangan yang rapi dan membuat betah para pencinta sejarah untuk berlama-lama di dalamnya. Ruangan yang di desain dan ditata langsung oleh tangan dingin Profesor Abraham Tomskii.
Ayyas meletakkan tas ranselnya di dekat sofa lalu merebahkan badannya ke sofa sejenak. Pundak kirinya masih sedikit nyeri tapi sudah jauh lebih nyaman. Ayyas merasa punggungnya
begitu nyaman menyentuh sofa yang berbusa itu.
Ia memejamkan matanya, mengistirahatkan syaraf-syarafnya. Tak terasa ia langsung terlelap. Ia sama sekali tidak sadar ketika Bibi Parlova datang membawa secangkir teh panas.
Ayyas terbangun ketika ponselnya melengking-lengking. Ia memang memasang alarm pada ponselnya untuk menandai datangnya waktu shalat. Ayyas bangun tergagap. Ia langsung sadar ia ada di ruangan Profesor Tomskii.
Di atas meja ada secangkir teh yang sudah dingin. Berarti ia terlelap cukup lama. Ia seruput teh
itu. Lalu berwudhu dan menegakkan shalat. Ayyas rukuk dan sujud di ruangan itu dengan penuh
rasa khusyuk dan menyatu dengan keagungan rahmat Allah Subhanahu wa Taala.
Setelah shalat Ayyas menyalakan laptopnya. Ia nyalakan bunyi ayat-ayat suci Al-Quran yang
dibawakan dengan tartil dan indah oleh Syaikh Sa'ad Al Ghamidi. Suara murattal itu ia nyalakan
pelan, dalam batas yang tidak terdengar dari luar ruangan.
Rencana Ayyas kali ini adalah membaca sejarah Rusia kontemporer. Terutama sejak masamasa
akhir kekaisaran Tsar di Rusia. Lalu runtuhnya kekuasaan Nicolas Romanov, Tsar terakhir Rusia di tangan Lenin. Lalu Lenin membentuk Uni Soviet. Kemudian masa pemerintahan Stalin. Sampai akhir pemerintahan Stalin.
Ayyas melihat buku-buku referensi induk yang dikoleksi oleh Profesor Tomskii. Ia mengambil buku sejarah Rusia yang berjilid-jilid. Ia teliti sebentar lalu ia mengambil satu buku yang menulis kejadian sejarah yang ingin ia baca.
Ia lalu mengambil buku yang menulis biografi Lenin dan Stalin. Ia membawa tiga buku lalu duduk di sofa sambil terus membaca dengan diiringi suara ayat-ayat suci Al-Quran yang di kumandangkan Syaikh Sa'ad Al Ghamidi. Ia merasa sangat nyaman berada di ruangan itu. Suasananya begitu bersih dan ilmiah.
Setengah jam kemudian Ayyas diliputi rasa mencekam yang dalam. Buku sejarah itu seolah
layar bioskop yang lebar. Di sana Ayyas melihat berbagai macam peristiwa yang mencekam dan
tragis dalam catatan perjalanan umat manusia. Ia masuk ke zaman Lenin dan Stalin.
Dengan didasari ideologi komunis yang digagas Karl Marx dan dengan slogan "tanah", "roti"
dan "perdamaian", Lenin menggerakkan partai Bolshevik yang radikal untuk memberontak dan
mengambil alih kekuasaan Rusia dengan kekerasan. Pemberontakan pertama gagal. Lenin merasa, kekerasan yang digunakannya belum maksimal. Maka pada bulan Nopember 1917 pemberontakan kedua dilancarkan dengan kekerasan yang lebih maksimal dan total. Lenin
menghalalkan segala cara demi mewujudkan kegilaan ideologi komunisnya.
Lenin lebih keras dari Karl Marx. Jika Karl Marx hanya mengisyaratkan perlunya kediktatoran
proletariat sesekali saja, Lenin berbeda, Lenin mempraktikkan kediktatoran total untuk melanggengkan pemerintahan komunisnya.
Kekerasan berdarah terus terjadi di Rusia yang berubah menjadi Uni Soviet saat itu. Keluarga
Tsar Nicolas Romanov dibantai habis oleh kaum komunis pengikut Lenin dengan cara yang keji.
Keluarga Tsar dan pengikutnya yang disekap di pegunungan Urai dibangunkan di tengah malam.
Lalu dibawa ke gudang di bawah tanah. Mereka ada yang dibayonet dan dipukuli sampai mati.
Kaum perempuannya diperkosa lalu dicincang. Tsar sendiri dan keluarganya dicincang, disiram
bensin dan dibakar hidup-hidup lalu dilempar ke sumur bekas tambang. Tak ada keturunan Tsar yang tersisa.
Tragedi kemanusiaan yang mahakejam benar-benar terjadi berkali-kali waktu itu. Nyawa manusia tak ada harganya. Kaum perempuan tak ada nilainya. Siapa yang berani menentang Lenin, sudah bisa dipastikan binasa dalam kondisi mengenaskan; mati dengan jasad tanpa rupa. Ditangan Lenin wajah jahat asli komunis betul-betul menampakkan wujud aslinya.
Kekerasan, kekejaman, dan kebengisan adalah ciri utama rezim komunis Lenin. Bagi Lenin, ide
tentang kediktatoran sesungguhnya lebih penting daripada politik ekonomi negaranya. Mempertahankan kekuasaan adalah tujuan utamanya. Dan atas nama kekuasaan ia bisa menghalalkan segala cara. Membantai, membunuh, dan mencincang penentang-penentangnya sampai habis tak tersisa adalah jalan pertama dan utamanya. Sangat bengis, kejam, mengerikan, biadab dan tidak berperikemanusiaan sama sekali.
Ya, ciri pokok pemerintahan Lenin yang kemudian dipertahankan para penerusnya yang komunis dan pemerintahan komunis manapun di dunia, adalah pemerintahan diktator total. Yaitu teknik mempertahankan kekuasaan untuk jangka waktu tidak terbatas dengan segala cara yang ada.
Semua lembaga dan perangkat yang ada dalam negara harus dikontrol dan diawasi dengan detil.
Jika ada yang berbeda dengan pemerintah harus ditumpas habis sampai ke akar-akarnya.
Di negara itu tidak ada yang boleh mengatur kecuali negara, dan negara diatur oleh pemimpin
utama. Di negara itu bahkan tidak boleh ada Tuhan, karena yang jadi Tuhan, yang mengatur dan mengendalikan rakyat dan semuanya adalah sang pemimpin negara. Pemimpin negaralah yang menentukan kaya dan miskinnya bawahannya.
Bahkan sang pemimpin negaralah yang menentukan si A harus mati dan si B boleh hidup. Itulah yang diterapkan oleh Lenin dan kemudian diikuti oleh negara-negara komunis lainnya.
Tak heran sejak Lenin memegang kekuasaan, selama dia masih hidup, tidak ada satu negara
komunis di dunia ini yang dapat digulingkan setelah merebut pemerintahan. Saat itu teori
kediktatoran total benar-benar dijalankan oleh Lenin tanpa boleh kendor sedikit pun. Kelemahan
Lenin pasti ada, hanya saat itu Lenin mampu sedemikian ketat menjaga kelemahannya. Lenin benar-benar nyaris mirip Fir'aun dan Namrud. Bahkan lebih. Ya, ia lebih kejam daripada Fir'aun dan Namrud. Lenin yang sombong, angkuh, kejam dan mahabengis itu akhirnya mati juga digerogoti penyakit. Kediktatorannya tidak sanggup melawan kuman penyakit.
Lenin mati dan digantikan oleh diktator baru yang mewarisi seluruh ide Lenin, bahkan jauh lebih
diktator dan lebih kejam. Pengganti Lenin adalah Stalin.
Ayyas membaca banyak pembantaian mengerikan yang dilakukan Stalin demi menjaga
kekuasaannya. Jutaan nyawa manusia melayang di ujung telunjuknya. Ada banyak catatan sejarah yang menulis kekejaman tokoh komunis psikopat ini.
Saat Stalin berkuasa, ia banyak melakukan penangkapan terhadap ratusan bahkan ribuan orang
di pelbagai daerah di seantero penjuru Soviet. Mereka yang ditangkap diikat dan dibawa ke tempat-tempat interogasi yang telah dirancang rapi. Stalin banyak belajar dari Lenin. Ia
mengadopsi hampir semua cara Lenin, hanya saja Stalin lebih gila lagi dalam melaksanakannya. Ia lebih psikopat ketimbang Lenin. Stalin yang berarti baja, lebih keras dan lebih diktator dari
Lenin.
Penangkapan besar-besaran warga Soviet yang tak bersalah itu merupakan bagian awal kejahatan
mesin teror Stalin. Tujuan mesin teror itu bukan sekadar untuk menghancurkan orang-orang yang dibidik. Namun lebih dari itu; untuk meremukkan mereka, menghina mereka, dan memaksa mereka untuk mengakui diri mereka sebagai "musuh masyarakat." Dan setelah mereka mengakui hal itu, maka Stalin bebas melakukan apa saja pada mereka.
Stalin menggunakan pelbagai macam jenis kekerasan dan penyiksaan guna mempertahankan rezim komunisnya. Cara Stalin itu dikenal sebagai "pengaruh metode fisik" yang dijalankan
Stalin sejak tahun 1937.
Stalin menyiapkan badan polisi rahasia yang dikenal NKVD untuk menyiduk siapa saja yang
dicurigai. Setelah diciduk, orang yang dicurigai itu lalu diinterogasi dengan cara menyiksanya
sampai mau menuruti kemauan sang penyidik.
Orang-orang yang pernah disiksa oleh rezim Stalin dan akhirnya bisa lolos menceritakan bentuk-bentuk penyiksaan yang sangat biadab.
Di bawah tekanan penyiksaan interogator rezim Stalin, orang-orang yang tidak bersalah terpaksa harus mengakui kesalahan yang tidak mereka lakukan. Setelah mengakuinya, sering kali mereka tetap dibinasakan. Karena sadisnya penyiksaan, mereka lebih memilih segera mati daripada menderita penyiksaan berkepanjangan. Catatan-catatan sejarah menulis, yang terjadi pada waktu itu, penyidik NKVD menyiksa tahanan selama beberapa jam, dan berulang kali.
Penyidik yang kejam bahkan sampai meremukkan tubuh tahanan. Mereka menimpakan berbagai macam siksaan kepada tahanan. Mematahkan tangan, atau kaki, mencabuti kuku, memanggang korban dengan besi menyala, bahkan sampai memotong alat vital segala. Sungguh biadab dan mengerikan.
Kisah mengerikan yang terjadi pada masa itu adalah kisah anak gadis Alikhanova. Kisah nyata
yang ditulis di banyak buku di dunia. Disebut di sana, bahwa anak buah Stalin pernah mengambil anak gadis Alikhova yang berusia 16 tahun ke tempat investigasi dan memperkosanya dihadapan sang ayah. Setelah itu, anak gadis itu dibunuh dengan cara yang sangat keji. Dan sang ayah dipaksa menandatangani seluruh pengakuan keji, bahwa anak gadisnya telah dibebaskan dari tahanan, namun tewas karena melindaskan diri pada kereta api.
Korban yang meninggal akibat kekejaman Stalin tercatat sebanyak 20.000.000 orang. Namun versi lain menulis korban yang tewas selama Stalin berkuasa antara 40-50 juta orang.
Pendapat terakhir oleh sebagian ahli sejarah dianggap mendekati kebenaran, jika diperhitungkan
juga dari korban yang tewas karena keterlibatan Soviet dalam Perang Dunia II, yang sebagian besarnya adalah rakyat sipil biasa, di samping juga para tentara.
Tidak kurang 46 juta rakyat Eropa tewas dalam Perang Dunia II, dan enam puluh persennya dari jumlah itu adalah penduduk Uni Soviet yang dijadikan tumbal oleh Stalin. Tak kurang 20 ribu rakyat sipil dikorbankan oleh Stalin sebagai tameng hidup untuk mempertahankan dua kota, yaitu Leningrad dan Mokswa dari serbuan Hitler.
Ayyas membaca satu catatan sejarah, ketika tentara Uni Soviet memasuki Jerman, tak kurang dari 2 juta perempuan diperkosa oleh tentara Uni Soviet dan itu menjadi pemerkosaan terbesar
dalam sejarah kebiadaban umat manusia di muka bumi. Dan yang paling bertanggung jawab atas
kebiadaban itu tak lain adalah Stalin. Sebab telunjuk Stalinlah yang memerintahkan tentaranya
melakukan tindakan-tindakan biadab itu.
Setiap mengenang Perang Dunia II, sebagian warga Rusia memandang Stalin sebagai pahlawan
yang berperan besar dalam mengalahkan Nazi Jerman. Bahkan, mereka sangat membanggakan
Stalin yang tanpa bantuan sekutu, dapat melibas Nazi Jerman. Namun sebagian yang lain menolak pandangan itu. Mereka menganggap Stalin memiliki kesalahan besar dalam Perang
Dunia II. Korban yang mati sia-sia di tangan "manusia baja" itu terlalu besar.
Stalin akhirnya mati tiba-tiba. Ada yang mengatakan ia mati karena virus yang menyerang otaknya. Ada yang menyebutkan ia mati karena diracun. Berbagai macam sebab, tetapi kematian
itu tetaplah kematian. Dan siapa pun, sekuat apa pun tentara yang mengawalnya, akhirnya akan
mati juga. Tak akan ada yang lolos dari kematian, Stalin mati dengan meninggalkan catatan kelam dalam sejarah peradaban umat manusia.
Ayyas merasa sangat lelah membaca sejarah kelam yang ditorehkan Lenin dan Stalin di atas
kanvas kehidupan. Ia bisa membayangkan betapa susah hidup di zaman itu. Khususnya betapa
susah hidup sebagai seorang Muslim di zaman itu. Zaman ketika manusia tidak boleh mengakui
adanya Tuhan, semua harus ikut satu ideology yaitu komunis.
Ayyas langsung teringat peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia atau biasa disingkat
PKI di Indonesia.
Pemberontakan tabun 1948 dan pemberontakan tahun 1965. Pada pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun, tidak sedikit umat Islam yang dibunuh, dibantai, dan dicincang dengan cara yang keji dan kejam oleh PKI. Dan pada pemberontakan G 30/S PKI, para perwira tinggi TNI diculik dan dihabisi. Sebelumnya PKI telah lebih dahulu melakukan pembantaian dan intimidasi
di mana-mana.
Bahkan kakeknya yang hanya petani miskin dan seorang imam mushalla di kampungnya, juga tak luput dari pembantaian PKI. Menurut sumber cerita ibunya, kakeknya digorok lehernya oleh
PKI saat melakukan shalat Subuh berjamaah dengan beberapa orang kampung. Tak hanya
kakeknya, seluruh jamaah shalat Subuh di mushalla kakeknya juga dibantai tanpa sisa oleh PKI.
Ibunya sendiri yang saat itu belum genap berusia tujuh tahun, bisa selamat karena ia pas
kebetulan lagi menginap di rumah Pak Dhe-nya yang terletak di kampung sebelah. Allah masih
menyelamatkan ibunya dari kebiadaban PKI. Jika tidak, Ayyas pasti tidak akan lahir ke muka bumi ini. Ayyas merinding mengingat cerita ibunya itu. Tak hanya menyelamatkan ibunya, Allah juga menyelamatkan Indonesia. Pemberontakan G30/S PKI digagalkan oleh rakyat Indonesia. Jika tidak, Ayyas tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Indonesia. Mungkin Indonesia akan mengalami sejarah yang lebih kelam dari apa yang dilakukan oleh Lenin dan Stalin di Uni Soviet.
Jika korban kekejaman Stalin sampai 20 juta, mungkin bila PKI berkuasa jumlah manusia yang
dibantai bisa dua kali lipatnya. Sebab metode Stalin telah menjadi inspirator bagi hampir seluruh
penguasa komunis di mana pun di dunia, termasuk PKI, yang alhamdulillah, atas izin Allah,
tak bisa menggulingkan NKRI.
Pol Pot yang sangat kejam itu juga seorang komunis, yang ketika berkuasa meniru apa yang
dilakukan Stalin. Pol Pot adalah bukti bahwa ideologi komunis bisa merubah secara radikal
manusia yang berbudi halus menjadi manusia yang buas tidak berperikemanusiaan.
Pol Pot sebenarnya seorang guru yang dikenal halus budi, tapi setelah ideologi komunis masuk ke dalam otaknya dan teori Stalin mengalir dalam darahnya, jadilah ia manusia yang terkenal kejam. Sejarah mencatat, ia telah melakukan pembunuhan massal di Kamboja. Ratusan ribu
manusia mati karena kekejaman Pol Pot yang kata seorang Kamboja kala itu, "dan dewa-dewa
tidak berbuat apa-apa untuk menghentikannya."
Alarm di ponsel Ayyas melengking-lengking.
Ayyas harus shalat Maghrib.Ketika hendak takbiratul ihram hatinya bergetar hebat. Bahwa ia
bisa shalat dan sujud di ruangan seorang guru besar Universitas Negeri Moskwa (MGU) adalah
nikmat yang agung dari Allah. Sebab itu adalah hal yang mustahil ia lakukan jika hidup di zaman
Stalin.
Di zaman Stalin, bahkan Rektor Universitas Negeri Moskwa yang bernama Andrei Vyshingky
dipilih Stalin untuk menjadi Ketua Pengadilan yang bertugas mengadili orang-orang yang akan dihabisi oleh Stalin. Rektor MGU saat itu adalah bagian dari rezim Stalin yang kejam.
Jika ia shalat di salah satu sudut MGU pada waktu iru, entah siksaan seperti apa yang akan diterimanya dari para interogator Stalin. Yang jelas ia pasti masuk daftar orang yang harus disirnakan dari muka bumi, Ayyas shalat dengan mata berkaca-kaca.
Betapa mahalnya kesempatan yang dilapangkan oleh Allah kepadanya. Ia bisa rukuk dan sujud
tanpa diancam dan diintimidasi. Ia bisa mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan nyaman, dan di luar salju kembali turun ke bumi menjalankan titah Tuhan.

***


Salju turun perlahan. Jam kota menunjukkan pukul sebelas kurang sedikit. Sebuah mobil sedan
berwarna hitam meluncur dari utara di atas aspal Smolenskaya Pereulok. Mobil itu kemudian belok kanan memasuki jalan yang agak sempit.
Tiba-tiba mobil itu berhenti. Sang sopir dan dua orang laki-laki melihat ke kanan dan kiri, juga
melihat ke depan dan belakang. Setelah dirasa tidak ada yang melihat, seorang perempuan muda
dilempar begitu saja dari dalam mobil dan langsung jalan. Perempuan muda itu tergeletak tak
berdaya di atas tumpukan salju. Kedua matanya menengadah ke langit yang hitam berhias titik-titik salju yang turun perlahan.
Perempuan yang dilempar dari mobil itu tak lain adalah Yelena. Ia merasa seluruh tubuhnya
remuk. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Tangan kanannya ia rasa patah, sedangkan tangan
kirinya susah ia gerakkan. Kepalanya ia rasakan nyeri luar biasa.
Salju terus turun. Udara semakin dingin. Gedung-gedung menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Yelena merasa sekarat. Belum pernah dalam hidupnya ia mengalami penyiksaan dan penghinaan seperti yang ia alami saat itu. Ia diperlakukan tidak sebagaimana layaknya manusia oleh tiga orang lelaki hidung belang. Ia dicambuk, dipukul dan ditendang bergantian selama berjam-jam. Empat kali ia pingsan. Dan begitu bangun ia kembali disiksa, dihina dan diperlakukan tidak sebagai manusia. Setiap kali ia berteriak minta tolong atau minta ampun, para
penyiksanya itu justru semakin senang dan semakin beringas menghajarnya. Sampai akhirnya ia pingsan yang keempat kalinya. Ketika bangun ia sudah ada di dalam mobil dan kemudian
dilempar begitu saja ke pinggir jalan seperti kotoran.
Yelena berusaha berteriak sekeras-kerasnya minta tolong. Namun pita suaranya seperti sudah putus. Saat disiksa berjam-jam ia sudah kehabisan suara karena terus menjerit-jerit kesakitan.
Yelena berusaha menggerakkan kedua kakinya, tapi tidak bisa. Ia sudah seperti lumpuh tak
bertenaga.
Sementara salju terus turun dan udara semakin dingin. Yelena mulai menggigil kedinginan. Jika
dalam satu jam tidak ada yang menolongnya memasukkan tubuhnya ke tempat yang hangat, ia
akan mati membeku. Ia berharap ada orang yang lewat jalan kecil itu. Di kejauhan ia melihat satu dua orang berlalu lalang di jalan besar. Ia berteriak minta tolong, tapi suara itu tidak ada yang keluar.
Salju terus turun perlahan. Setitik demi setitik salju itu menutupi mantel Yelena. Yelena masih
bernafas, tapi ia tidak merasakan apa-apa kecuali rasa dingin dan rasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.
Yelena tiba-tiba dicekam rasa takut yang luar biasa. Ia akan mati! Yelena meneteskan airmata. Ia bahkan tidak bisa menyeka air matanya karena tangannya terasa kaku tidak bisa digerakkan lagi. Ia merasa sedang berada di gerbang kematian. Ia akan mati tak lama lagi. Sebuah kematian yang sangat tragis. Mati membeku dipinggir jalan bagai anjing kurap yang menjijikkan karena berpenyakitan.
Beberapa koran akan memberitakan kematiannya sebagai gembel yang banyak mati di Moskwa tiap tahun. Jika ada polisi yang memvisum mayatnya, pasti akan disimpulkan, bahwa ia akan dianggap gembel kotor yang bekerja sebagai pelacur yang naas digebuki pelanggannya.
Yelena kembali meneteskan airmata. Apakah ia akan mati sehina itu? Apakah ia benar-benar akan mati mengenaskan seperti anjing yang mati membeku di pinggir jalan karena penyakitan? Ia sangat takut. Ia tidak siap untuk mati. Ia masih ingin hidup. Tapi siapakah yang akan
menyelamatkannya dalam kondisi sekarang seperti itu? Siapakah yang akan menyelamatkannya?
Ia bertanya-tanya dalam lolongan panjang hatinya yang nyaris putus asa.
Ia ingat sesuatu. Ia punya ponsel di saku paltonya. Ya, jika ia bisa menghubungi polisi mungkin ia bisa selamat. Atau ia menghubungi Linor mungkin bisa selamat. Ya, teknologi juga yang akan menyelamatkannya.
Tapi ia seperti tidak bisa lagi bergerak. Ia kumpulkan segenap tenaga untuk bergerak. Tangan
kirinya ia paksa untuk bergerak. Tidak bisa. Tangan kanan. Tidak bisa. Seolah tangan itu bukan tangannya lagi. Seolah tangannya telah hilang. Ia mencoba sekali lagi. Ia kumpulkan segenap
semangatnya. Ia harus bisa mengambil ponselnya. Tangan kirinya sedikit bisa digerakkan.
Ia sedikit merasa ada harapan. Ia terus memaksa. Tangan itu bergerak ke arah saku paltonya. Terus ia paksa. Akhirnya bisa meraih ponselnya.
Ia harus berusaha lebih keras lagi. Ia tidak ingin mati. Kalaupun ia harus mati, biarkah ia mati diatas kasur di dalam kamar dalam apartemennya yang hangat, jangan di pinggir jalan kecil dan membeku seperti anjing berpenyakitan.
Ponsel itu perlahan bisa ia raih. Tangan kirinya terus ia paksa. Ia gerakkan ke arah mukanya.
Akhirnya ponsel itu sudah berada tepat di depan hidungnya. Ia merasa harapan untuk hidup ada di depannya. Ponsel itu mati. Dengan jari-jarinya perlahan ia hidupkan ponsel itu. Tidak juga
hidup. Ia diserbu rasa cemas luar biasa. Ia ingat, sejak siang baterai ponselnya lemah. Ia belum
sempat mengisinya. Ia tekan tombol untuk menghidupkan ponsel itu, tetap saja tidak hidup. Ponsel itu tetap mati! Ia langsung putus asa, berarti ia akan juga mati! Teknologi tidak juga
menyelamatkannya.
Salju terus turun perlahan, setitik demi setitik menutupi wajah Yelena. Airmata terus mengalir dari kedua mata Yelena. Ia mulai sekarat.
Ajalnya sudah dekat. Malaikat maut sudah membentangkan jubah hitamnya. Ia sangat cemas
dan takut. Tiba-tiba dari relung hati terdalamnya ia teringat Tuhan. Ya, Tuhan yang menciptakan
manusia. Tuhan yang menghidupkan dan Tuhan pula yang mematikan. Dari hati yang paling dalam, ia minta ampun kepada Tuhan karena selama ini telah mengingkari keberadaaan-Nya.
Dalam cemas dan rasa takut yang tiada terkira, ia meminta kepada Tuhan agar diberi kesempatan
untuk tetap hidup. Ia minta kepada Tuhan agar mengulurkan tangan pertolongan-Nya. Airmata
Yelena terus menetes. Suara hatinya yang paling dalam terus menjerit meminta pertolongan
Tuhan. Berkali-kali nama Tuhan ia sebut dalam hati. Ia benar-benar berharap, Tuhan tidak akan
pernah melupakannya meskipun ia telah lama melupakan Tuhan. Akankah Tuhan mengulurkan
kasih sayang-Nya pada Yelena, pelacur papan atas Rusia yang telah lama meninggalkan-Nya?
Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawabnya.

***


Di ruangan Profesor Tomskii, Ayyas asyik membaca buku sampai pukul sebelas malam. Ia
tidak sadar, bahwa sudah tiba saatnya ia harus meninggalkan kampus. Seorang polisi keamanan
kampus mengetuk pintu. Ayyas bangkit membuka pintu dengan buku tetap ia pegang. Polisi
itu menatap Ayyas dengan wajah dingin.
"Maaf Anda harus meninggalkan kampus!"
Kata polisi itu tanpa senyum sedikit pun.
"Boleh saya di sini sampai pagi? Saya harus melakukan riset perpustakaan." Jawab Ayyas
minta kelonggaran.
"Maaf tidak bisa. Data yang masuk di kami, Anda diijinkan sampai jam sebelas malam. Jadi
Anda harus tinggalkan ruangan ini."
"Baiklah. Kunci ruangan ini bagaimana?"
"Biar kami yang mengurus."
Mau tak mau Ayyas harus segera berkemas dan meninggalkan ruangan Profesor Tomskii.
Sebenarnya ia ingin tinggal di situ sampai pagi. Kalau lelah ia bisa tidur di sofa. Ia tidak perlu
khawatir tidak membawa selimut, sebab ruangan itu tetap hangat karena ada mesin penghangat ruangannya.
Polisi itu menunggu di pintu sampai Ayyas keluar. Ayyas berkemas dengan cepat. Ia
kembalikan tiga buku itu ke tempat semula. Ia pakai perlengkapan musim dinginnya satu per
satu. Ia matikan lampu dan pemanas. Lalu ia keluar dan menyerahkan kunci pada polisi itu.
Setelah Ayyas keluar, polisi itu mengunci ruangan dan mengikuti Ayyas dari jauh. Ayyas berjalan menuju stasiun Universitet. Metro paling akhir pukul satu dini hari, jadi ia tidak perlu khawatir. Salju turun perlahan, angin berhembus kencang. Rahang Ayyas mengeras dan gigi-giginya beradu gemeretak menahan dingin.
Ayyas tetap kedinginan meskipun ia memakai pakaian dingin cara Rusia lengkap. Pakaian ia
sampai rangkap lima. Yaitu kaos dalam, lalu kaos monyet atau ia sebut kaos hanoman yang mepet ke kulit, kaos panjang biasa, kemeja, sweeter dan terakhir mantel musim dingin yang biasa disebut palto. Perlengkapan itu masih ditambah syal, penutup kepala dari kulit, dan kaos kaki lapis tiga. Tetap saja dingin itu bisa menelusup sampai ke kulit Ayyas. Sungguh Maha Kuasa Allah, Dialah Tuhan seru sekalian alam. Dialah Tuhan yang menciptakan siang dan malam, menciptakan matahari dan bintang, menciptakan panas dan dingin, menciptakan angin dan cuaca, menciptakan kabut dan salju, dan menciptakan segala yang ada di alam raya.
Ayyas berjalan menuju stasiun metro dengan hati setengah terpaksa dan malas. Yang membuatnya malas pulang apartemen adalah karena di apartemen itu ada Yelena dan Linor. Dua perempuan muda Rusia yang kini membuatnya ingin mual jika memandang wajahnya. Ya, Yelena dan Linor memang jelita, lapi apa yang dilakukan Linor bersama Sergei yang seperti binatang jalang, dan apa yang dilakukan Yelena dengan banyak lelaki hidung belang membuatnya merasa jijik bukan kepalang. Wajah jelita itu tidak lagi ada artinya apa-apa ketika harga diri dan jiwa kemanusiaannya sama sekali telah tiada.
Maka Ayyas berharap, ketika sampai di apartemen, dua perempuan itu telah tidur di kamarnya atau sama sekali tidak ada di apartemen, sehingga kedua matanya tidak perlu melihat mereka.
Stasiun mulai lengang tapi tetap ada orang. Ayyas naik metro di gerbong paling belakang. Ia
duduk di samping lelaki tua bermata cekung. Lelaki itu tidak memedulikannya sama sekali, kedua matanya terpaku pada koran Pravda yang ia jembreng. Metro berjalan dengan kecepatan sedang.
Seperti biasa, sampai di stasiun Arbatskaya Ayyas turun ganti metro. Pemuda dari Indonesia itu berjalan santai dan tenang, tidak tergesa-gesa.
Yang membuatnya sedikit berpikir adalah, bahwa perutnya terasa lapar sampai melilit perih. Berarti begitu sampai di Smolenskaya ia harus mencari gastronom (Toko yang menjual makanan berukuran sedang. Di Moskwa dan di kota-kota lain di Rusia terdapat toko-toko atau warung yang menjual makanan dan kebutuhan sehari-hari layaknya kota mana pun di dunia. Toko yang berukuran kecil di jalan kecil biasanya disebut Produkti.
Toko yang berukuran sedang yang terletak di jalan agak besar disebut Gastronom. Dan toko yang besar di jalan utama disebut Universam) yang buka dua puluh empat jam untuk membeli makanan. Ia ingat bahwa jika begitu keluar dari stasiun Smolenskaya ia langsung berjalan ke utara, maka di pojok Protochny Pereulok bagian timur ada gastronom yang menjual banyak
jenis makanan. Gastronom itu buka dua puluh empat jam.
Di bawah tanah, metro melaju dengan kecepatan sedang. Di atasnya mobil-mobil masih berlalu
lalang. Malam semakin kelam. Salju turun perlahan. Udara semakin dingin. Tiap-tiap manusia mengalami kejadian yang berbeda satu sama lain. Malam selalu menjadi saksi bagi kebaikan
dan kejahatan, kebahagiaan dan kesedihan, kesejahteraan dan penderitaan, juga kehidupan
dan kematian.

***


Salju terus turun perlahan. Seorang perempuan tua bertubuh gemuk dengan pakaian lusuh
berdiri mondar-mandir di pinggir jalan dengan wajah cemas. Setiap kali ada yang lewat ia
hentikan untuk minta tolong. Dan orang-orang seperti tidak memedulikannya. Setiap kali ia
minta tolong pada seseorang dan tidak dipedulikan, ia langsung melontarkan sumpah serapah.
Ayyas berjalan menyusuri pinggir jalan itu dengan agak tergesa. Perutnya yang kosong terasa
perih. Dingin yang menusuk menambah rasa lapar semakin menyiksa. Ia ingin segera membeli
makanan dan mengganjal perutnya. Ia yakin tidak salah, bahwa di pojok timur pojok Protochny
Pereulok ada gastronom yang menjual banyak jenis makanan.
Perempuan tua bertubuh gemuk itu memanggil Ayyas. Ayyas pura-pura tidak tahu dan tidak
mendengar. Ia terus saja berjalan. Ia tahu perempuan tua itu adalah gelandangan yang banyak
berkeliaran di kota Moskwa. Ayyas tidak mau berurusan dengan gelandangan Moskwa yang
banyak membuat masalah. Perempuan tua itu dengan langkah berat mengejar Ayyas dan langsung memegang tangan kiri Ayyas.
"Tolong berhenti. Ada orang sekarat di sana. Kalau tidak ditolong dia akan mati!" Kata perempuan tua itu dengan wajah cemas. Tangan kanannya menunjuk ke arah jalan sempit.
Ayyas mengibaskan tangan perempuan tua itu pelan, lalu mengisyaratkan kalau ia tidak mau.
Ayyas tidak mau melibatkan dirinya dalam urusan yang tidak jelas. Apalagi ia adalah orang asing. Ia tidak tahu orang yang katanya sekarat itu siapa dan sekarat karena apa. Kalau yang sekarat adalah seorang anggota mafia dan ia mencoba menolongnya ternyata kemudian tidak tertolong, ia bisa dianggap sebagai pembunuh orang itu, maka ia akan jadi buruan mafia Moskwa. Segala urusannya akan berantakan. Tidak hanya itu, nyawanya bisa-bisa melayang.
Perempuan tua itu seperti mencengkeram tangan kanan Ayyas.
"Tolonglah. Anda orang baik. Tolonglah orang yang sekarat itu. Tuhan akan memberkati hidup Anda," desak perempuan tua itu.
Ayyas menggelengkan kepalanya.
"Kenapa Anda tidak mau menolong orang lain? Kenapa Anda juga seperti orang-orang lain
yang tidak memiliki hati itu? Apa Anda merasa tidak akan memerlukan pertolongan orang lain
suatu ketika, sehingga Anda tidak mau menolong orang lain? Ah, tak ada lagi manusia berhati
manusia. Manusia sekarang hatinya adalah batu. Tak ada perasaan iba, tak ada perasaan kasihan
pada sesama!" Perempuan tua itu meluapkan kemarahannya pada Ayyas.
Ayyas terdiam sesaat. Ia bingung menentukan langkah.
Akal pikirannya menyuruhnya untuk tidak menggubris perempuan tua yang cerewet itu. Sebab,
salah menolong orang malah bisa berujung petaka. Sementara dari nuraninya yang paling dalam, ia tidak boleh bersikap sebagai manusia yang tidak memiliki perasaan dan kasih sayang. Ia tidak mau dikatakan hatinya adalah batu.
Keraguan Ayyas langsung dibaca oleh perempuan tua itu. Keraguan Ayyas dimanfaatkan perempuan tua itu untuk meluluhkan hati Ayyas, "Ayo malcik (Panggilan sayang kepada anak
lelaki) kita tolong orang sekarat itu. Aku tidak bisa menolong sendirian. Kita selamatkan satu
nyawa malam ini. Ayo jangan ragu berbuat kebajikan! Kau memiliki hati yang lunak, aku percaya itu.
Hatimu tidak terbuat dari batu atau baja seperti orang-orang itu. Ayolah kita berbuat satu
kebaikan malam ini. Kita tunjukkan kepada Tuhan, masih ada manusia yang berbuat baik di
atas muka bumi Moskwa ini."
Ayyas langsung teringat Allah. Bahwa diciptakannya manusia oleh Allah adalah untuk
beribadah kepada-Nya, untuk berbuat kebaikan di atas muka bumi ini karena-Nya. Ia langsung
teringat perintah Allah di dalam AJ-Quran untuk menjaga nyawa orang lain, bahwa menjaga hidup satu nyawa manusia itu sama dengan menjaga nyawa seluruh umat manusia. Kalimat yang disampaikan perempuan tua itu berhasil menggugah sisi iman Ayyas.
"Baiklah. Mari kita selamatkan satu nyawa umat manusia malam ini semampu kita." Kata
Ayyas.
"O puji Tuhan, kau orang baik. Ayo, cepat!"
Perempuan tua itu bergegas terseol-seol dengan tetap memegang lengan tangan kanan Ayyas. Seperti orang yang dihipnotis, Ayyas menurut saja tanpa banyak pertanyaan dan rasa curiga. Perempuan tua itu membawa Ayyas menelusuri jalan agak sempit yang gelap. Jalan yang
sebenarnya bisa dilalui dua mobil, tapi karena salju yang menumpuk di kanan dan kiri jalan agak tinggi, jalan itu nampaknya hanya cukup dilalui satu mobil.
Tak lama kemudian, perempuan tua itu menghentikan langkah. Di depannya ada tubuh perempuan muda yang terkapar. Sebagian palto dan mukanya tertutup salju tipis. Perempuan tua
itu meraba nadi tubuh perempuan muda itu.
"Dia pingsan. Dia masih hidup. Nadinya masih berdenyut. Ayo bawa dia ke tempat yang
hangat, atau bawa dia ke rumah sakit. Boponglah dia kalau kau kuat, atau bagaimana caranya
terserah!"
Ayyas duduk lalu mencoba mengangkat tubuh perempuan muda itu. Gelap malam membuat wajah perempuan muda itu kurang jelas. Ayyas membopongnya. Terasa berat, apalagi pundak
kirinya masih belum sembuh benar, tapi Ayyas merasa kuat untuk membawanya sampai jalan besar yang terang. Di jalan besar, tubuh itu bisa diangkut dengan taksi menuju rumah sakit.
Ayyas berjalan dengan tertatih-tatih. Ia benar-benar harus berjuang untuk membopong tubuh
itu sampai ke jalan besar. Perutnya yang kosong bertambah perih. Ia sendiri harus tidak boleh melupakan kesehatan dirinya. Apalagi menurut penjelasan Pak Joko tadi siang, musim dingin bisa menyebabkan seseorang mengalami dehidrasi berat, yang ujung-ujungnya bisa mengancam
nyawa.
Akhirnya Ayyas mampu membawa tubuh itu ke jalan besar yang terang. Dan alangkah terkejutnya Ayyas ketika melihat wajah perempuan yang digendongnya. Ternyata perempuan
muda itu adalah Yelena. Sebenarnya ia sudah tidak mau melihat lagi wajah Yelena, tapi dalam
kondisi hampir mati seperti itu Ayyas tetap menaruh iba padanya.
Perempuan tua gemuk itu mencoba menghentikan taksi, tapi tak ada taksi yang mau berhenti. Ayyas langsung menduga, hal itu karena perempuan tua itu berpakaian gembel. Ayyas
langsung mengambil inisiatif menurunkan kaki Yelena dan membiarkan tubuh perempuan itu bersandar ke tubuhnya. Tangan kanannya menjaga tubuh Yelena agar tidak jatuh, dan tangan
kirinya ia gunakan untuk menghentikan taksi.
Usaha Ayyas berhasil. Ada satu taksi mau berhenti.
"Ke mana?" Sapa sopir taksi berkepala botak dan berjanggut lebat. "
"Ke Medical Center terdekat." Jawab Ayyas.
"Tiga puluh ribu rubel!"
"Apa?!" Perempuan tua itu ternganga mendengarnya. "Tiga puluh ribu rubel? Kau sudah gila ya?"
"Kalau tidak mau ya sudah. Aku mau jalan."
Kata sopir taksi itu dingin.
"Tunggu! Tiga puluh ribu rubel tak masalah."
Ayyas tak ingin hanya karena berdebat ongkos taksi nyawa anak manusia tidak terselamatkan.
Sopir taksi turun membantu Ayyas memasukkan tubuh Yelena ke jok belakang. Perempuan
tua itu ragu mau ikut naik, Ayyas memaksanya ikut serta. Taksi itu langsung meluncur menuju
Italian Medical Centre Smolenskaya. Tak sampai seperempat jam taksi itu sudah sampai.
Tubuh Yelena langsung dilarikan ke bagian gawat darurat. Ayyas mengajak perempuan tua itu ke bagian administrasi. Pihak Medical Centre tidak mau perempuan tua itu yang bertanggung
jawab. Dan perempuan tua itu juga dengan jujur mengaku tidak memiliki apa-apa selain uang
seribu lima ratus rubel yang hanya cukup untuk makan sekali saja. Akhirnya mau tidak mau Ayyaslah yang harus menandatangani surat-surat yang disodorkan pihak Medical Centre.
Ayyas meminta perempuan tua itu tetap di Medical Centre. Sementara dirinya harus ke
apartemen untuk menemui Linor. Ia berharap Linor mau membantu meskipun ia melihat Linor
sering adu mulut dengan Yelena. Kalau Linor tidak mau membantu ia berharap Linor tahu keluarga Yelena atau siapa saja teman dekat Yelena yang bisa diberitahu. Sebab, sepertinya, urusannya tidak hanya dengan Medical Centre saja, mungkin juga akan berurusan dengan pihak
kepolisian.

***


"Kelihatannya mereka tidak pulang malam ini. Ini sudah lewat tengah malam." Gumam Linor
pada dirinya sendiri setelah melihat jam dinding di ruang tamu.
Linor baru saja tiba dari rapat khusus bersama orang-orang penting Israel yang ada di Moskwa.
Dalam rapat itu ia menceritakan keberadaan Ayyas di apartemennya. Rapat memutuskan tugas
tambahan bagi Linor Lazarenko, yaitu mengawasi Ayyas. Linor diminta memasang alat penyadap dan kamera canggih di ruang tamu dan kamar Ayyas. Dengan kecanggihan teknologi itu mereka akan mudah mengetahui siapa sebenarnya Ayyas. Dan jika ingin menjebak Ayyas
juga, jalannya akan nampak lebih terang. Mereka tidak terlalu mengkhawatirkan Ayyas. Justru
menurut mereka keberadaan Ayyas harus bisa dijadikan alat untuk menciptakan satu konspirasi
yang menguntungkan anak-anak Yahwe.
"Jika kita ledakkan beberapa titik Moskwa. Dunia akan geger. Lalu kita arahkan mata dunia
dengan fakta yang tidak terbantahkan, bahwa pelakunya adalah Muhammad Ayyas itu. Dunia akan semakin membenci orang-orang Islam. Moskwa akan langsung berpikir ulang dalam menjalin hubungan dengan dunia Islam. Bahkan Moskwa akan berpikir ulang dalam membela negara-negara Timur Tengah seperti Iran. Jika itu terjadi, akan mudah bagi kita membela negara-negara Islam satu per satu." Kata Ben Solomon bersemangat. Wajahnya menyiratkan kelicikan yang dalam.
"Kita akan mengarahkan mata dunia, pelakunya adalah Ayyas? Meskipun bukan dia pelakunya?"
Sahut Linor.
"Kenapa kau tiba-tiba jadi tolol Linor?"
Linor langsung diam seketika. Ia langsung sadar bahwa ia baru saja menanyakan hal yang sangat bodoh. Ia langsung ingat bahwa anak-anak Yahwe adalah makhluk pilihan di atas muka
bumi ini. Kepentingan anak-anak Yahwe di atas segala kepentingan. Selain anak-anak Yahwe boleh dikorbankan demi kejayaan anak-anak Yahwe.
Linor merasa tidak perlu menunggu besok pagi. Malam itu ia harus melaksanakan tugasnya. Ia melangkah ke kamar Ayyas. Tidak terkunci. Linor membuka kamar itu. Kosong. Tidak ada orang.
"Dasar bodoh!" Gumam Linor dengan mata berbinar. Ia senang mendapati satu kenyataan bahwa orang-orang Islam itu ceroboh, bodoh dan tidak hati-hati.
Linor harus memastikan bahwa dirinya aman menjalankan aksinya. Maka ia beranjak ke pintu
depan. Ia kunci pintu itu dari dalam, dan ia biarkan kuncinya tetap menggantung. Ia juga
memasangkan kunci pengamannya. Dengan begitu jika Yelena atau Ayyas pulang tidak bisa
langsung membuka pintu. Pintu itu harus ia yang membukanya. Ia tetap berjaga-jaga kalau dugaannya bahwa Yelena dan Ayyas tidak akan pulang itu meleset.
Setelah yakin ia aman, Linor mengambil tas ranselnya dan beraksi. Ia memasang satu alat
penyadap dan dua kamera sangat kecil di kamar Ayyas. Ia sangat yakin alat-alat itu tidak akan
diketahui oleh Ayyas. Linor juga memasang satu alat penyadap dan dua kamera di ruang tamu.
Alat-alat itu adalah alat penyadap nirkabel yang sangat canggih yang langsung terhubung ke
laptop Linor. Jadi, di manapun Linor membuka laptopnya akan langsung bisa mengawasi ruang
tamu dan kamar Ayyas.
Tidak perlu waktu lama bagi Linor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tak ada satu menit
pekerjaannya selesai dengan sempurna. Satu menit bagi seorang agen intelijen seperti dirinya
masih tergolong buruk. Seharusnya memasang alat seperti itu hanya perlu beberapa detik meskipun Ayyas dan Yelena ada di situ.
Puas dengan hasil pekerjaannya, Linor lalu merapikan semuanya seperti sedia kala. Pintu kamar Ayyas kembali ia tutup rapat. Pintu depan ia jadikan seperti semula, tanpa grendel pengaman,
sehingga Yelena atau Ayyas kalau pulang bisa langsung membuka dari luar. Harus tidak ada yang curiga.
Linor lalu merebahkan tubuhnya di sofa empuk dan menyalakan televisi. Ia melihat berita
malam. Iran tetap ngotot mau menjalankan program nuklirnya. Iran berdalih untuk kepentingan
energi listrik nasionalnya. Nuklir untuk perdamaian, bukan yang lain. Keras kepala Iran itu yang
membuat seluruh anak-anak Yahwe tidak suka.
Lalu Indonesia diguncang gempa. Yogyakarta luluh lantak. Rumah-rumah roboh, ribuan manusia mati tertimbun bangunan. Linor berteriak girang, "Pasti Yahwe marah sama kalian! Kalau seluruh kota kalian hancur itu lebih baik! Meskipun jauh dari negara kami, kalian terlalu sering membuat kami jengkel!"
Linor banyak membaca di internet, Negara yang paling sering mendemo kebijakan Israel
adalah Indonesia. Dan Indonesia jugalah Negara yang ia anggap keras kepala dan sombong karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia senang kota-kota Indonesia hancur tanpa harus dibom.
Layar kaca lalu menampilkan cuplikan pertandingan Liverpool melawan MU. Pertarungan yang ketat dan keras. MU menang satu kosong. Ryan Giggs malam itu jadi pahlawan. Alex Ferguson
bertambah sombong.
Dan di ujung berita, layar itu menyiarkan ihwal ditemukannya mayat di sebuah jalan dekat gudang tua di sebelah utara Moskwa. Dari tanda pengenal yang terdapat di saku celana, mayat itu bernama Daniil Ogurtsov. Diduga ia hanyalah seorang gelandangan miskin yang mati membeku kedinginan karena sakit dan kelaparan. Kamera hanya mengambil gambar dari jarak agak jauh, mukanya tidak nampak jelas.
"Bodoh! Dia bukan Daniil Ogurtsov. Dia bukan gelandangan miskin. Nama aslinya Sergei
Gadotov anggota mafia Voykovskaya Bratva. Bodoh, kalian semua tertipu!" Pekik Linor
bangga dengan mata berbinar. Dialah yang membuat ID CardDa.m\\ Ogurtsov. Nama itu fiktif,
tapi ia bisa membuat seolah-olah ada. Sebab ia mampu menjebol data kependudukan Rusia.
Dalam data kependudukan itu ia bisa menambah nama apa saja. Kini ia merasa Sergei Gadotov sudah benar-benar hilang tidak ketahuan rimbanya. Mayat yang dianggap Daniil Ogurtsov itu
pasti sudah disegel polisi bahkan mungkin sudah dikuburkan oleh polisi di kuburan umum.
Terdengar sesuatu di pintu depan. Linor langsung mengecilkan suara televisi. Seseorang hendak membuka pintu tapi tidak bisa. Linor agak kaget. Kunci miliknya masih tergantung di sana. Ternyata ia tadi Cuma melepas grendel pengaman saja. Linor tetap duduk tenang. Ia menunggu bel dibunyikan.
Dan benar, bel berbunyi nyaring.
Linor melihat ke lubang pengintip. Yang pulang Ayyas, wajahnya kusut dan kusam. Linor
membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa dikunci dari dalam? Takut ketahuan seperti kemarin malam?"
"Ah tidak. Tidak ada orang selain aku."
"Kalau boleh aku mau minta tolong."
"Apa itu?"
"Yelena kritis di rumah sakit."
"Kritis? Separah apa dia?"
"Sekarat! Kelihatannya ada yang berniat menghabisinya. Aku minta kau menemani aku ke sana. Kalau kau tahu kerabat atau teman dekatnya tolong di hubungi sekarang."
Linor nampak kaget mendengarnya. Meskipun ia sering bertengkar dan adu mulut dengan Yelena, ia tidak bisa menampik bahwa Yelena adalah teman satu apartemen yang baik padanya.
Yelena tidak pernah mengganggunya. Bahkan sering bisa dimintai tolong nitip membelikan sesuatu.
Tak jarang Yelena secara tidak sadar memberitahu informasi penting padanya. Terutama berkaitan dengan klien Yelena yang sering kali adalah pejabat penting pelbagai negara. Sedikit
banyak Yelena sangat berguna baginya.
Meskipun bukan siapa-siapa baginya, Yelena berhak mendapat bantuannya. Atau paling tidak
sebagai teman satu apartemen dia harus berempati padanya.
"Di rumah sakit mana?" Tanya Linor.
"Italian Medical Centre."
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang!"
"Sebentar perutku sakit sekali. Aku perlu makan dulu. Sejak siang aku belum makan. Ini aku bawa beberapa potong roti pirozkhi. Mau?"
Ayyas membuka bungkusan yang dibawanya. Ia gelar di atas meja. Melihat beberapa jenis roti
pirozkhi itu air liur Linor ingin menetes. Dirinya juga lapar. Roti pirozkhi yang dibawa Ayyas ada yang berisi tvorog, kacang, dan coklat cair. Linor masih tidak beranjak dari tempatnya. Kedua matanya menatap Ayyas yang mulai memasukkan roti pirozkhi berisi kacang mindal ke
dalam mulutnya.
"Kalau mau ayo, tidak usah segan! Aku beli banyak."
Linor duduk di depan Ayyas. Tanpa berkata sepatah kata pun ia mengambil roti berisi trovog.
Keduanya lalu makan roti dalam diam. Ayyas lebih banyak menundukkan pandangan. Selesai
makan Linor berkemas, lalu keduanya keluar dari apartemen. Linor menawarkan untuk mengendarai mobilnya saja. Linor meminta Ayyas yang menyetir, tapi pemuda Indonesia itu
menolak.
"Maaf, saya tidak punya SIM Internasional."
"Tidak masalah. Sudah malam. Tidak akan ada polisi lalu lintas yang patroli."
"Tidak usah. Anda saja yang menyetir."
Sejurus kemudian Mobil BMW SUV X5 hitam itu menyusuri Panvilovsky Pereulok, lalu belok kanan masuk Protochny Pereulok, dan meluncur tenang menuju Italian Medical Centre.
Sampai di rumah sakit yang dibangun oleh seorang pengusaha dari kali itu, Linor langsung
menghambur ke bagian gawat darurat. Ayyas membuntuti di belakangnya. Di depan pintu perempuan tua berpakaian kumal itu Nampak menunggu dengan setia.
"Wah kelihatannya kita belum bisa masuk melihat Yelena. Ibu tua itu yang menemukannya.
Kau bisa menanyakan padanya Linor." Kata Ayyas.
"Baik."
Linor langsung mendekati perempuan tua itu. Dengan senyum yang ia paksakan, ia bertanya
pada perempuan tua itu.
"Nama Bibi siapa?"
"O. Namaku Margareta."
"Terima kasih Bibi Margareta telah membawa teman saya kemari."
"Kalau tidak ada dia. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang di Moskwa ini sudah mulai
tidak peduli kepada orang lain. Seolah-olah yang hidup di Moskwa ini bukan manusia, tapi mayat-mayat hidup yang tidak memiliki nurani."
"Sudahlah Bibi. Bagaimana Bibi menemukannya?"
"Aku berdiri beberapa meter dari mulut jalan sempit dan gelap itu. Kira-kira jam sebelas malam tadi. Lalu ada mobil sedan memasuki jalan itu. Aku amati mobil itu. Kelihatannya mobil itu berhenti di tengah kegelapan lalu seperti membuang sesuatu di pinggir jalan. Aku kira sampah. Aku ke sana. Aku berpikir mungkin ada sampah yang bisa aku manfaatkan. Atau ada sisa
makanan yang bisa aku makan. Aku terkejut sampai di sana, ternyata yang dibuang itu bukan
bungkusan sampah tetapi manusia. Manusia yang terluka parah sampai tidak bisa berbicara."
Dada Linor menyala. Ia bertanya-tanya siapa yang melakukan hal itu pada Yelena. Ia berharap
Yelena selamat dan bisa menceritakan semuanya. Ia akan memberi pelajaran kepada orang yang telah menganiaya Yelena.
"Bibi tahu nomor plat mobilnya?"
"Bibi tidak memerhatikan plat mobil itu sama sekali."
Ketika itu dua orang polisi datang. Yang satu berwajah sayu dan melankolis dengan alis sepenuhnya putih. Dan satunya berwajah keras, lehernya panjang dan pandangannya tajam
menusuk.
"Kamu yang bernama Ayyas?" Tanya polisi berwajah sayu.
"Ya benar."
"Boleh lihat paspor?"
Ayyas mengeluarkan paspornya. Polisi membuka paspor Ayyas itu halaman per halaman.
"Untuk apa kau di Moskwa ini?"
"Untuk riset di MGU."
"Ada surat keterangan resminya?"
Ayyas mengeluarkan kartu visiting fellow yang dikeluarkan Departemen Sejarah MGU.
"Apa ini? Ini tidak ada gunanya. Kami minta surat resmi!" Kata polisi berwajah sayu itu ketus.
Ayyas memandang Linor, ia memberi isyarat kepada Linor bahwa ia merasa heran ada polisi seperti itu. Linor mengerti maksud Ayyas.
"Hei Tuan-tuan, kalian ini polisi Moskwa jangan membuat malu! Jangan bodoh begitu. Ini namanya kartu visiting fellow. Dikeluarkan resmi oleh MGU untuk tamu-tamu pentingnya yang
mengadakan riset di MGU. Kalau tidak bisa membaca jangan jadi polisi!" Bentak Linor.
Dua polisi itu saling berpandangan. Polisi yang berwajah keras menatap Linor dengan pandangan jengkel bukan main.
"Kau siapa, berani berkata begitu pada kami!?"
"Silakan Tuan-tuan tulis! Aku wartawan. Namaku Linor. Aku keponakan Jenderal Vladimir
Kuznetsov. Kalian mau kebodohan kalian ini aku tulis di koran biar dibaca seluruh orang. Dan
pada hari berikutnya kalian dipecat oleh atasan kalian lalu jadi gembel di pinggir jalan!"
Seketika sikap kedua polisi itu berubah. Polisi berwajah keras itu seketika melunak.
"Jangan Nona Linor. Kami hanya berusaha bekerja sebaik-baiknya. Maafkan kami atas
ketidaktahuan kami. Tapi kami harus tetap mengajukan beberapa pertanyaan pada orang asing
ini, karena dia yang membawa perempuan tak berdaya itu kemari."
"Silahkan."
"Jadi benar kamu yang membawa perempuan tak berdaya itu kemari?"
"Saya tidak sendirian. Saya disertai Bibi ini dan sopir taksi." Jawab Ayyas tenang. Ia merasa lebih tenang ketika Linor mengatakan kalau dirinya keponakan seorang Jenderal. Paling tidak
polisi itu tidak akan berani semena-mena.
"Kau yang menemukannya pertama kali?"
"Tidak."
"Lalu siapa kalau bukan kau?"
"Bibi ini. Bibi ini yang memaksa saya menolong seseorang dan menyeret saya ke tempat perempuan tak berdaya itu terkapar."
Linor menyela, "Bibi Margareta!"
"Iya Nona Linor."
"Silakan Bibi ceritakan semuanya kepada dua polisi ini agar semuanya jelas."
"Baik Nona."
Perempuan tua berpakaian kumal bernama Margareta itu langsung nerocos menceritakan detil kejadiannya dari awal sampai akhir. Dua polisi itu menyimak dengan seksama. Sesekali polisi berwajah sayu menuliskan sesuatu di buku notes kecilnya. Setelah dirasa cukup, dua polisi itu angkat kaki.
Seorang dokter perempuan keluar dari kamar gawat darurat. Linor langsung menyerbunya.
"Bagaimana keadaan teman saya, Dokter?"
"Berdoalah kepada Tuhan. Hanya mukjizat yang bisa menyelamatkannya. Jantungnya masih
berdetak tapi lemah. Ia masih tidak sadarkan diri. Hampir seluruh tubuhnya luka memar. Tangan
kanannya patah. Dari pemeriksaan kilat kelihatannya dia juga mengalami kekerasan seksual,
tapi kita belum melakukan visum yang sempurna. Kami baru mengusahakan semaksimal mungkin bagaimana caranya dia masih hidup." Jelas dokter perempuan itu panjang lebar kepada Linor.
Ayyas seperti pernah melihat wajah dokter ini. Ia mencoba mengingatnya. Di mana ya? Apa di
televisi? Apa di bandara Jakarta? Atau di New Delhi. Ayyas terus mengingat-ingat.
"Maaf Dokter, saya merasa pernah berjumpa dengan Dokter, tapi saya lupa di mana?" Kata
Ayyas. Dokter itu memandang wajah Ayyas dengan seksama. Ia lalu terhenyak.
"Di India, tepatnya di Agra! O my God, kau yang mengantarkan putriku si Ksenia ke Hotel
Ashok. Iya kan?" Ujar Dokter perempuan itu setengah menjerit.
"Iya benar. Berarti Anda Dokter Tatiana Baranovna?"
"Benar. Ah terima kasih kau masih mengingat nama saya, padahal kejadiannya sudah satu tahun
yang lalu. Maaf saya lupa nama Anda."
"Nama saya Muhammad Ayyas. Panggil saja Ayyas."
"Iya Ayyas." Dokter Tatiana kelihatan bahagia bertemu Ayyas.
"Kok kamu bisa di sini. Apa hubunganmu dengan perempuan tak berdaya itu?"
Tanpa diminta Bibi Margareta menyela, "Dia yang membantuku membawa perempuan tak berdaya itu kemari."
"O, jiwa menolong Anda mengagumkan. Di India kau menyelamatkan putriku. Dan kini kau
membawa perempuan tak berdaya yang hamper mati ke rumah sakit. Tapi kau harus hati-hati
kalau mau menolong seseorang. Jangan sampai kau tulus menolong tapi justru kecelakaan yang
kau hadapi. Saya tidak tahu seperti apa nanti polisi akan menangani kasus perempuan tak berdaya ini. Semoga kau tidak kena getah yang mencelakakan kamu."
"Terima kasih nasihatnya, Dokter."
"Kau mau minum teh bersamaku?"
"Asal mereka juga ikut."
"Tentu saja. Ayo kita minum teh panas, biar hangat."
"Kalau Ksenia bertemu saya kira-kira dia masih ingat tidak Dkter?"
"O pasti ingat. Yang dia alami di India itu tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Kau
akan dia kenang sebagai orang yang pernah menyelamatkan hidupnya. Nanti Ksenia akan aku
beritahu, dia pasti senang."

***


Pagi itu Ayyas merasakan kesedihan luar biasa. Ia merasa kehilangan sesuatu yang paling
berharga yang ia miliki. Ia merasa hatinya seperti telah copot dan kepalanya mau lepas dari tubuhnya. Dunia terasa suram dan kelam. Ia merasa memikul dosa sebesar gunung. Bahkan ia merasa menjadi manusia paling berdosa di atas muka bumi ini. Pagi itu Ayyas bangun kesiangan. Ia shalat Subuh tidak tepat pada waktunya. Ia merasakan musibah yang luar biasa.
Penyebabnya adalah karena ia terlalu letih dan tidur sangat terlambat. Setelah minum teh bersama Dokter Tatiana Baranovna di stolovaya Italian Medical Centre, ia pulang ke apartemen dengan taksi. Linor dan perempuan tua itu tetap di sana menunggu apa pun yang terjadi pada Yelena. Ia sampai di kamarnya hamper jam tiga. Tubuhnya seperti remuk semua. Sebelum tidur ia masih sempat memasang alarm.
Tetapi ia sama sekali tidak mendengar bunyi alarm. Ia terlalu lelap. Ia ketinggalan shalat
Subuhnya. Ia merasa sangat berdosa kepada Allah Ta ala. Ia merasa sangat rugi. Sesuatu yang
sangat berharga miliknya telah hilang, dan ia merasa tidak bisa menggantinya dengan cara apa
pun.
Jika satu bagian saja dari wiridku telah hilang, maka tidak mungkin aku bisa menggantinya
untuk selama-lamanya.
Airmata Ayyas meleleh. Ia teringat wasiat seorang sahabat Nabi, Abu Bakar Ash Shiddiq ra.
menjelang wafatnya kepada Umar bin Khattab ra.,
"Aku wasiatkan kepadamu semoga kau mau menerimanya. Sesungguhnya Allah memiliki hak
pada malam hari yang tidak diterima ketika dilaksanakan siang hari. Demikian juga Allah
memiliki hak pada siang hari yang tidak diterima jika dilakukan pada malam hari. Sesungguhnya
Allah tidak akan menerima amalan sunah sebelum melaksanakan amalan wajib."
Ayyas dicekam ketakutan sekaligus kesedihan. Ia takut kalau shalat Subuhnya yang dilakukan
tidak pada waktunya samasekali tidak diterima oleh Allah Ta ala. Jika shalatnya tidak diterima
Allah, bagaimana nasibnya kelak di akhirat?
Ia selalu ingat, shalat adalah amal kebajikan pertama sekali yang kelak akan dihitung oleh Allah.
Nabi Muhammad Saw. menjelaskan, jika shalat seorang hamba dinilai baik oleh Allah, maka
baiklah seluruh amal perbuatannya, dan jika shalatnya dinilai buruk oleh Allah, maka buruklah seluruh amal perbuatannya.
Dan pagi itu ia bangun kesiangan, tidak shalat Subuh tepat pada waktunya. Di atas sajadahnya
Ayyas terus beristighfar dan menangis,
"Ya Allah harus bagaimana hamba menebus dosa ini. Ampunilah kekhilafan hamba-Mu ini ya
Allah. Karuniakan kepada hamba kenikmatan shalat tepat pada waktunya sampai akhir hayat ya
Allah. Ya Allah tolonglah hamba-Mu yang lemah ini untuk selalu mengingat-Mu, untuk selalu
bersyukur kepada-Mu, dan untuk selalu beribadah sebaik mungkin kepada-Mu."
Ia tidak menyesal sama sekali bahwa ia terlalu letih karena harus menolong Yelena dan
mengantarkannya ke rumah sakit. Tidak, sama sekali tidak. Ia tidak menyesal harus menolong
perempuan yang ternyata berprofesi menjual diri seperti Yelena. Ia menolong Yelena karena
Yelena adalah makhluk Tuhan yang saat itu memerlukan pertolongannya. Jadi ia tidak merasa
apa yang dilakukannya sia-sia. Kalau ternyata nyawa Yelena dapat diselamatkan dan Yelena
bisa kembali pulih seperti sedia kala, lalu perempuan itu kembali menjual dirinya, itu adalah urusan yang lain.
Kewajibannya sebagai manusia adalah menolong manusia yang memerlukan pertolongannya.
Tentu saja ia tidak menginginkan Yelena terus di jalan yang tidak benar. Ia ingin Yelena menginsafi bahwa yang ia lakukan adalah kesalahan besar, bahkan ia berharap Yelena kemudian bisa mendapatkan hidayah, lalu merubah cara hidupnya; dari cara hidup yang gelap dan pengap
menjadi cara hidup yang penuh cahaya dan penuh kesegaran nikmat Tuhan.
Sungguh ia tidak menyesal harus berletih-letih sampai pukul tiga dini hari. Yang ia sesalkan
adalah dirinya sendiri yang tidak bisa bangun tepat pada waktunya. Telinganya seperti tuli. Bunyi alarm samasekali tidak didengarnya. Ia menyesal bahwa dirinya bagaikan kerbau bodoh yang mendengkur sampai matahari terbit. Kerbau bodoh yang tidak bangun shalat Subuh ketika
hamba-hamba Allah yang saleh sama rukuk dan sujud kepada Allah. Ia menyesali kelemahan dirinya sendiri. Ternyata kekuatan cintanya kepada Allah belumlah dahsyat.
Buktinya, kekuatan cintanya kepada Allah belum mampu membangunkannya untuk terjaga di
saat ia harus bangun, terjaga dan sujud kepada Allah. Dirinya ternyata masih jauh dibandingkan
orang-orang saleh yang mampu menjaga keistiqamahan shalat tepat pada waktunya sampai
akhir hayatnya.
Pagi itu Ayyas shalat Subuh pukul sembilan. Hal yang belum pernah terjadi selama hidupnya.
Baru pagi itu ia kebobolan. Ia merasa shalat dan ibadahnya selama ini seolah tidak ada maknanya. Ia benar-benar menyesal sampai relung hati paling dalam.
Ponselnya bergetar lalu berdengking-dengking. Ada panggilan. Ternyata dari Linor. Ayyas
mengangkatnya dengan raut muka kelam bergurat kesedihan.
"Hai sudah bangun ya?" Suara Linor dari seberang.
"Sudah. Ada apa?"
"Aku kira masih mendengkur. Tadi jam lima aku kontak berkali-kali tidak kau angkat. Aku
yakin kau masih pulas karena tadi malam kelelahan. Kau bisa datang kemari sekarang?"
"Ada apa?"
"Yelena sudah siuman. Datanglah! Aku ada pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan."
"Aku juga sama."
"Yang penting datanglah dulu. Temui Yelena. Dia menanyakanmu. Bibi Margareta sudah cerita
semua tentang kepahlawananmu pada Yelena. Kelihatannya Yelena ingin sekali bertemu dengan orang yang telah menyelamatkan nyawanya. Datanglah. Setelah itu terserah kau."
"Kau sudah hubungi keluarganya?"
"Yelena mengaku tidak punya keluarga lagi. Dia sebatang kara di Moskwa ini. Tapi dia bilang
ada temannya yang lain, yang mungkin bisa sedikit membantunya. Segera datang ya? Biar
aku bisa segera berangkat."
Ayyas berpikir sesaat. Ia seharusnya segera pergi ke kampus MGU. Ia harus menemui Doktor
Anastasia Palazzo. Tapi tidak ada salahnya ia ke rumah sakit dahulu baru kemudian ke MGU.
Ayyas segera mandi. Sudah tiga hari ia tidak mandi. Setelah itu memakai pakaian musim dinginnya lengkap, dan meluncur ke rumah sakit di mana Yelena dirawat.
Ia bersyukur, nyawa Yelena akhirnya selamat. Dengan selamatnya Yelena, ia akan terhindar
dari urusan panjang dengan pihak kepolisian.
Nanti Yelena bisa menceritakan apa yang dialaminya panjang lebar kepada polisi. Dengan begitu
polisi tidak akan mencurigai dirinya sama sekali sebagai pelaku kejahatan yang mencederai Yelena. Sehingga ia bisa konsentrasi melakukan penelitian dan menyelesaikannya tepat pada
waktunya.

***

Yelena sudah pindah ruangan. Ia sudah tidak di bagian gawat darurat lagi. Linor memilihkan
kamar VIP utuk Yelena. Kamar itu layaknya kamar hotel. Ada dua tempat tidur di situ. Yang
satu untuk pasien dan yang satu untuk penunggu. Ada sofa dan meja kecil di depannya. Ada kamar mandi di dalamnya. Ruangan itu tentu saja dilengkapi penghangat ruangan, televisi dan kulkas kecil. Yang paling penting ruang itu dilengkapi alat-alat standar kesehatan terbaik
dunia.
Yelana sama sekali tidak menolak ketika dibawa ke kamar VIP. Ia tahu, pada akhirnya ia
sendiri yang harus membayarnya, dan ia merasa mampu untuk membayarnya. Tabungan yang dimilikinya ia rasa lebih dari cukup untuk membayar biaya perawatannya sampai ia sembuh. Yang penting baginya adalah ia masih bernyawa, tidak mati sia-sia layaknya anjing kurap yang membeku di pinggir jalan.
Linor dan Bibi Margareta masih menunggu di situ ketika Ayyas masuk. Yelena terlentang lemah dengan infus menggantung di atas kepalanya. Kepalanya masih terasa pusing. Jika digerakkan
sedikit rasanya dunia berputar dan dirinya ingin muntah. Maka Yelena berusaha tidak
menggerakkan kepalanya samasekali meskipun ia tahu Ayyas datang. Ia hanya mengikuti Ayyas
dengan kedua matanya.
"Akhirnya kau datang juga." Sapa Linor.
"Ya tapi mungkin aku tidak lama. Aku harus ke MGU."
"Tak apa? Yang penting Yelena sudah ketemu kau sebelum sebentar lagi dia dioperasi?"
"Dioperasi?"
"Dioperasi apanya?"'
"Daun telinga kanannya tidak dapat diselamatkan. Daun telingannya sudah menjadi es ketika dia kau bawa kemari. Hidungnya hamper mengalami hal yang sama. Kata dokter Tatania, terlambat tiga menit saja mengangkat Yelena dari dinginnya salju, Yelena akan kehilangan daun telinga, hidung dan jari-jari tangannya, bahkan bisa lengannya. Kalau terlambat lima menit ya nyawanya sudah hilang karena lehernya membeku, pernafasannya putus, jantungnya berhenti berdetak."
"Begitu mengerikan."
"Ya. Yelena beruntung ada yang menyelamatkannya. Dan orang yang menyelamatkan itu kau."
"Bukan aku. Sebenarnya yang menyelamatkan adalah Tuhan. Tuhan mengulurkan tangan pertolongannya lewat Bibi Margareta. Dan Bibi Margareta mengajak saya. Awalnya saya juga merasa tidak percaya pada Bibi Margareta. Tapi Tuhan membuka hati dan pikiran saya untuk memenuhi ajakan Bibi Margareta menyelamatkan nyawa anak manusia."
Yelena mendengar dialog Linor dan Ayyas dengan hati bergetar. Ia teringat Tuhan. Ya Tuhan. Di tengah-tengah rasa putus asanya, ketika ia merasa nyawanya sudah sampai tenggorokan,
yang ia sebut-sebut untuk dimintai pertolongan adalah Tuhan. Ia terus menyebut Tuhan,
meratap pada Tuhan. Dan pertolongan itu datang. Berarti apakah benar Tuhan itu ada? Ia masih
ragu. Tetapi pertolongan itu datang setelah ia memintanya dari Tuhan. Benarkah yang
menyelamatkan nyawanya sebenarnya adalah Tuhan, seperti dikatakan oleh Ayyas baru saja.
Tuhan mengulurkan tangan pertolongannya lewat Bibi Margareta. Dan Bibi Margareta lalu mengajak Ayyas. Tuhanlah yang membuka hati dan pikiran Ayyas untuk memenuhi ajakan Bibi
Margareta menyelamatkan nyawanya.
"Hai Yelena apa kabar?" Sapa Ayyas.
Yelena hanya mengedipkan kedua matanya, dan berusaha tersenyum. Ia ingin menjawab tapi
tenggorokannya terasa sakit sekali kalau untuk mengucapkan satu kata saja.
"Yang tabah ya. Percayalah kau pasti sembuh."
Yelena kembali berusaha tersenyum.
"Yelena... karena Ayyas sudah datang, aku berangkat dulu ya. Menurutku Bibi Margareta bisa
menemanimu sampai kamu sembuh. Dia katanya tidak punya rumah. Jadi malah senang kalau menemani kamu di sini. Aku sudah memberinya uang untuk membeli pakaian, agar dia tidak berpakaian kumal seperti itu. Dia biar pergi beli pakaian ketika kamu dioperasi. Baik?" Terang
Linor.
Yelena mengedipkan kedua matanya.
"Baik. Kalau begitu aku pergi dulu."
Linor melangkah keluar kamar. Tinggallah mereka bertiga di kamar itu. Bibi Margareta duduk
di sofa sambil terkantuk-kantuk. Sesekali kepalanya jatuh ke kanan. Ia tergagap dan bangun.
Lalu berusaha menegakkan kepalanya. Tak lama mengantuk lagi. Kepala itu lalu jatuh ke kiri seperti tidak ada lehernya. Ia tergagap lagi dan berusaha tegak. Begitu berulang-ulang.
Yelena diam. Hanya matanya yang terjaga. Ia ingin bicara tapi luar biasa susahnya. Ayyas hanya
diam saja, berdiri di sampingnya. Ia berpikir, benarkah Yelena tidak memiliki keluarga? Benarkah dia sebatang kara? Sejak kapan dia sebatang kara? Berarti dia yatim piatu? Kalau benar, betapa berat hidup di Moskwa dengan musim dingin yang mencekam, tanpa keluarga
sama sekali.
Ayyas lalu berpikir, alangkah kasihannya Yelena. Meskipun kini nampak pucat, gadis itu
tetap nampak jelita. Oh, kalau dia di Indonesia, ia membayangkan pasti akan dilamar main film
oleh PH-PH raksasa yang bermarkas di Jakarta.
Tapi gadis secantik itu harus hidup dalam jalan yang gelap. Jalan gelap penuh sampah dan kotoran menjijikkan. Tubuh yang kelihatannya sangat memesona itu sebenarnya telah menjadi onggokan sampah daging busuk yang menjijikkan. Ia langsung teringat Yelena ketika bertemu
dengannya di restoran kemarin. Yelena menggandeng lelaki besar berkulit hitam. Entah apa yang telah dilakukan lelaki hitam itu pada Yelena. Dan entah berapa setan yang telah menodai Yelena.
Kini Yelena terbaring tak berdaya. Meskipun ada rasa muak membayangkan tubuh Yelena yang telah menjadi lebih murah dari sampah, tapi rasa kasihan itu terbit juga. Walau bagaimanapun,
Yelena adalah manusia. Dia bisa jadi merasa hidupnya baik-baik saja. Bahkan dia tidak percaya
adanya Tuhan, dan merasa senang. Itu semua karena yang ada dalam pikiran Yelena berbeda dengan yang ada dalam pikiran Ayyas.
Dalam pikiran Ayyas ada yang namanya Tuhan, ada ajaran agama Tuhan, ada Nabi Muhammad, ada ajaran Nabi Muhammad, ada perintah dan larangan Tuhan, ada pahala, ada dosa, ada surga, ada neraka.
Sementara dalam pikiran Yelena, semua yang ada dalam pikiran dan keyakinan Ayyas sama sekali tidak ada. Yang ada adalah dirinya sendiri, dan hidup yang dijalaninya. Ia merasa bebas berbuat apa saja selama ia merasa nikmat dan nyaman, dan selama orang lain juga merasa nikmat. Tak ada aturan agama mana pun yang mengekangnya.
Yelena ingin mengucapkan satu kalimat saja, yaitu berterima kasih kepada Ayyas, tapi
susahnya luar biasa. Ia tetap merasa Ayyas adalah orang yang paling besar jasanya dalam
menyelamatkan nyawanya. Bibi Margareta telah menceritakan semuanya. Ia mengerti semuanya
meskipun ia hanya terlentang tak berdaya. Bibi Margareta bercerita bagaimana orang-orang tidak
ada yang peduli, dan hanya Ayyas yang peduli saat itu. Terus bagaimana Ayyas membopong dirinya.
Bagaimana Ayyas rela membayar tiga puluh ribu rubel untuk ongkos taksi. Juga bagaimana
Ayyas menandatangani semua berkas rumah sakit sehingga ia bisa langsung mendapatkan perawatan medis segera. Kalau tidak ada Ayyas, ia sudah menjadi mayat yang membeku di pinggir jalan sempit kota Moskwa.
Ya, jika benar kata Ayyas bahwa yang menolong adalah Tuhan, maka Ayyas adalah utusan Tuhan yang menjadi juru selamat utama baginya dari kebinasaan.
Yelena tidak tahan untuk tidak mengatakan sesuatu pada Ayyas. Maka dengan rasa sakit luar
biasa ia memaksakan berbicara.
"Ay...yas!" lirihnya parau.
Ayyas tersentak dari diamnya. Seluruh wajahnya seketika menghadap wajah Yelena sambil
semakin mendekatkan kepalanya ke kepala Yelena.
"Iya Yelena."
"S..spa..si...ba...bal..shoir” (Terima kasih) Kalimat itu akhirnya bisa keluar dari mulut Yelena. Wajahnya sedikit berbinar cerah.
"Tidak perlu berterima kasih untuk sebuah kewajiban Yelena. Manusia harus tolong menolong. Sudah menjadi kewajibanku untuk menolongmu."
Yelena mengedipkan kedua matanya sambil berusaha tersenyum. Terdengar langkah perempuan mendekat. Pintu diketuk, lalu dibuka. Muncul wajah Dokter Tatiana Baranovna. Wajah perempuan berusia empat puluh tahunan itu nampak segar.
Langkahnya anggun. Rambutnya yang pirang ia kucir di belakang. Dengan jas putih panjang dan
celana juga putih, ia nampak begitu rapi dan bersih. Berbalik seratus delapan puluh derajat
dengan Bibi Margareta yang kumal, lusuh dan kotor.
"Dabroye utra, Dokter." Sapa Ayyas.
"Dabroye utra. O jadi kamu datang lagi. Perempuan muda ini harus kami operasi. Daun telinga kanannya harus kami amputasi. Jika tidak bisa membusuk dan menjalar ke mana-mana."
"Sama sekali tidak bisa diselamatkan Dokter."
"Tidak ada cara lain kalau kepalanya ingin tetap selamat."

Mata Yelena berkaca-kaca mendengar penjelasan Dokter Tatiana. Tapi ia tidak berdaya apa-apa kecuali ikut apa yang terbaik menurut dokter yang mengusahakan kesembuhannya. Jika ia bisa bicara ia ingin bertanya apa bisa kelak ia melakukan operasi plastik untuk daun telinga palsunya. Ia berharap bisa. Sebab setahu dia, bahkan operasi hidung plastik pun bisa. Michael Jackson sangat dikenal memiliki hidung hasil operasi plastik. Jika hidung bisa operasi plastik, daun telinga tentu bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar