Jumat, 28 Maret 2014

Mahkota Cinta (Part 1)

Sebuah Novelet Pembangun Jiwa oleh Habiburrahman El Shirazy



Mata pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor Bahru.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya. Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa-siapa lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati menjadi teman dan penenteram jiwa.
la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia.
"Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda. Rambutnya lurus digerai. Ia menaksir usia perempuan itu sekitar 27 atau 28.
"Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya balik bertanya.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak. Sejak awal 2001."
"Kerja ya Mbak?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang lebih baik.
"Kok malah bengong Dik."
"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak kerja di mana?"
"Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari." Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya. Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan menjabat tangan perempuan muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja saya Zul Mbak."
"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?" Perempuan muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang minyak. Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"O begitu ya."
"Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah ada tempat yang dituju?"
"Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon. Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah itu saya akan telpon orang itu."
"Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur. Kalau mau kita bisa jalan bersama."
la diam saja. Tidak menjawab apa-apa. Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat. Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hitarn dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau. Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum berangkat. Petugas security itu memerintahkannya untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk imigrasi.
"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya.
"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi Mbak."
"Sebaiknya iya."
"Wah saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di mana Mbak?"
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai, Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong dan mengunjungi saudara."
"Iya Mbak."
Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri Jiran ini.
"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas Mari.
Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar saya yang bayar Dik."
"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu orangnya berapa Mbak?"
"Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat."
Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia, tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah. Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus itu membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke belakang.
"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa." Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia tampaknya agak kedinginan.
"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau Mbak?"
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah punya anak dong Mbak?"
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma dua minggu?"
"Iya bisa dikatakan demikian."
"Suami Mbak meninggal?"
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal yang tidak Mbak sukai."
"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya. Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang menyesak dalam dadanya.
Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. La kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali membuka percakapan.
"Tidak apa-apa kan? Kau mau mendengarkan Dik?" lanjutnya sambil memandangi Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu. Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus ke depan. Mari mulai bercerita
"Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan diri saya untuk menyebut namanya. Saya sangat membencinya hingga tujuh turunan.
"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya dengan limpahan hadiahnya.
"Sampai akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya. Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W, karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas cerita, kami pun menikah. Kami menikah tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru. Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana. Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu setelah menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia bilang untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui. Keluarganya tidak peduli.
"Kakak perempuannya bahkan terang-terangan mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau. Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya. W itu tega memperkosa kakak kandungnya sendiri, apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benar-benar jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak akan menikah lagi!"
Ada nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara,'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan kaum lelaki. Termasuk saya?"
Mari mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada lelaki saya pernah punya keinginan untuk hidup berumah tangga dengan kaum perempuan saja."
"Sampai seperti itu Mbak."
"Iya. Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan, saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak lagi."
"Sejak kapan Mbak bisa kembali normal memandang dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakana kembali normal memandang dunia, termasuk kaum lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma pada lelaki itu sikap tidak normal."
"Prosesnya sangat panjang. Sampai saya bertemu dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut suaminya yang sedang mengambil program doktor. Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga kerja wanita. Dan ia begitu sabar mendengarkan semua keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah tangganya. Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih sayang suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu bahwa ada juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya." Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya. Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan mereka.
"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah sebelum menikah saya sudah selasai D.3 Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan. Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu akan mengejar saya."
"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi oleh hukum?"
‘'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya. Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan cerita dari Zul.
"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya. Saya janji saya akan gantian membagi cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar masih sudi menemui saya."
"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si W, mantan suami saya itu."
"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak saya jalan bersama?"
Mari tersenyum, lalu menjawab,
"Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya. Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah tahu dia itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu mana mata yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya bisa meraba watak seseorang dari gerak dan binary matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata kaum perempuan pun saya bisa membedakan mana mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan baik-baik dan perempuan tidak baik!"
"Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya sambil melihat ke luar jendela.
"Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat dan intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan kepadanya agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya. Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa perempuan muda di sampingnya adalah perempuan yang memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan. Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di
sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan memandang ke arah wajah Mari. Mari ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus yang masuk begitu saja.
"Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku Mbak?"
Mari tersenyum, dan menjawab,
"Jujur saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan untuk menjaga pandangan."
Mendengar jawaban Mari, Zul diam dan tidak berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia menemukan sihir yang mampu mengubah dirinya menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan kalimat untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala. Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga. Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak berubah menjadi manusia serigala."
Mari tersenyum mendengarnya.
Menjelang Maghrib bus Trans Nasional memasuki kota Kuala Lumpur. Zul menikmati pemandangan senja di Kuala Lumpur dengan seksama. Jalan tol yang lebar dan melingkar. Gedung-gedung tinggi. Hutan kota yang masih terjaga. la harus mengakui, Kuala Lumpur jauh
lebih rapi dari Jakarta. la mencari-cari gedung yang menjadi simbol Kuala Lumpur. la melongok-longok, mencari-cari Menara Kembar. la tidak melihatnya.
"Menara Kembarnya mana ya Mbak, kok tidak kelihatan?" tanyanya pada Mari.
"Kamu jangan memandang ke arah situ. Pandanglah ke arah sana. Di sela gedung menjulang itu. Itulah Menara Kembar," jawab Mari sambil menunjuk ke arah Menara Kembar.
"Wah iya. Saya penasaran ingin lihat dari dekat."
"Jangan tergesa-gesa. Nanti kau akan punya waktu yang cukup untuk melihatnya. Kau bahkan bisa makan di sana. Kau juga bisa refreshing di sana. Di bawah menara itu ada tamannya yang rapi dan indah. Namanya taman KLCC. Taman itu terbuka untuk umum dan gratis."
Zul langsung membayangkan nyamannya berjalan-jalan di bawah Menara Kembar dan nyantai di taman KLCC. Tiba-tiba ia teringat Najibah. Gadis satu desa dengannya yang pernah menjadi tambatan hatinya.
Najibah pernah minta padanya untuk rekreasi ke Taman Kiai Langgeng. Dan ia berjanji pada gadis itu akan mengajaknya ke Taman Kiai Langgeng suatu kali. Namun sampai saat ini ia tidak bisa memenuhi janji itu. Dan tidak mungkin rasanya memenuhi janjinya itu. Sebab, gadis yang punya lesung pipi indah itu, kini telah menikah dengan orang lain. Ah, seandainya ia kaya,
tentulah ia bisa menikahi gadis itu dan mengajaknya jalan-jalan ke Taman Kiai Langgeng. Bahkan mengajaknya ke Kuala Lumpur dan berjalan-jalan di taman KLCC itu.
Karena kemiskinannyalah, akhirnya Najibah memutuskan menikah dengan orang lain setelah tiga kali. Itu pun setelah Najibah memintanya untuk segera menikahinya dan ia merasa tidak mampu. Ia minta ditangguhkan beberapa tahun lagi. Ia tidak bisa memberi jawaban pasti. Dan Najibah merasa tidak bisa bergantung pada ketidakpastian.
"Maaf, Mas Zul, bukan saya tidak cinta sama Mas. Orang tua saya minta saya segera menikah. Tahun ini. Jika Mas mau ya tahun ini. Jika tidak ya anggap saja kita tidak berjodoh. Ini demi kebaikan saya dan Mas."
Itulah kata-kata Najibah yang masih ia ingat terus. Katakata yang tidak mungkin ia lupakan, karena saat itu ia tidak berdaya apa-apa sebagai seorang lelaki. Ia sama sekali tidak bisa memenuhi harapan orang yang dicintainya. Jangankan biaya untuk menikah, biaya untuk makan sehari-hari saja ia sering tidak punya. Ia benar-benar merasakan betapa susah jadi orang tidak punya. Sampai untuk menikahi orang yang dicintai saja tidak bisa. Ia benar-benar sedih dan menderita jika mengingatnya.
Sesungguhnya Najibah itu bukanlah gadis yang materialistis, ia tidak minta apa-apa, selain akad nikah. Namun akad nikah itu ada biayanya. Dan itu yang ia tidak punya saat itu. Ia benar-benar tidak punya. Ia merasa dirinya adalah orang paling miskin papa sedunia.
Ah, ia berusaha melupakan peristiwa itu. Namun belum juga bisa. Bahkan sampai ia sudah di Kuala Lumpur pun peristiwa itu masih saja teringat olehnya. Ia yang mengalami peristiwa yang tak setragis Mari saja masih dibayangi oleh peristiwa itu, apalagi Mari. Wajar jika perempuan muda itu sampai mengalami trauma.
"Heh, melamun apa! Kita sudah sampai di Purduraya! Ayo siap-siap turun!" Zul kaget dan tersadar dari lamunannya.
"Kita sudah sampai Mbak?"
"Iya. Ayo turun. Itu orang-orang sudah pada turun." Mereka berdua lalu turun dari bus. Lalu naik ke lantai dua. Tempat dimana para penumpang berkumpul menunggu bus. Tempat dimana penumpang datang dan pergi. Di lantai dualah puluhan waning penjual oleh-oleh dan makanan dibuka. Juga di lantai dualah puluhan agen bus membuka konter.
"Mbak ini sudah Maghrib ya?" tanya Zul.
"Iya sudah. Gini saja. Kita shalat dulu gantian. Tempat shalat dan tandas ada di lantai tiga. Kita naik ke sana."
"Tandas itu apa Mbak."
"Toilet. Kalau bahasa orang Demak kakus."
"Wah kok nadanya agak menghina orang Demak tho Mbak."
"Kamu ini lelaki kok sentimentil begitu. Ayo kita naik!" Mereka berdua lalu naik ke lantai tiga. Mereka ke tandas dahulu, baru ke surau. Mereka shalat bergantian. Selesai shalat Zul bingung. la baru sadar kalau ia tidak memiliki tujuan yang jelas. Mari hanyalah teman bertemu di perjalanan.
"Inilah Kuala Lumpur Dik Zul. Ya selamat dating di Kuala Lumpur. Semoga nasibmu berubah di sini. Berubah jadi baik. Tidak sebaliknya. O ya, jadi kau mau menginap di mana?"
"Wah jujur saja Mbak. Saya tidak tahu harus menginap di mana."
"Katanya kau mengantongi sebuah nama dan nomor telpon itu bagaimana?"
"Ya, saya coba telpon dulu Mbak."
"Pakai hp saya saja Dik, tak usah pakai telpon umum. Tuh telpon umum antrenya kayak gitu," Mari mengulurkan hand phone-nya..
Zul menerima handphone itu dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sobekan kertas. Lalu memanggil nomor yang tertulis di kertas itu. Beberapa saat ia menunggu tidak ada jawaban. Lalu ia ulangi lagi. Empat kali ia memanggil dan tidak ada yang mengangkat.
"Bagaimana Dik?"
"Tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mungkin sedang shalat. Kalau gitu ayo kita cari makan dulu. Saya lapar. Setelah makan ditelpon lagi."
"Boleh."
Mari berjalan di depan. Ia sangat hafal seluk beluk Terminal Purduraya. Dan bisa dipastikan bahwa pekerja Indonesia yang bekerja di sekitar Kuala Lumpur sangat akrab dengan terminal bus paling padat di Kuala Lumpur ini. Mari memilih makan di Kak Long Cafe. Sebuah cafe milik seorang Muslimah keturunan China.
"Bisa jadi kita nanti akan sulit bertemu. Bahkan mungkin akan tidak bertemu. Namun siapa tahu adik perlu bertemu dengan saya suatu hari nanti. Atau perlu bantuan saya. Saya akan kasih nomor telpon saya. Bisa ditulis?" kata Mari selesai makan.
"Bisa Mbak. Terima kasih ya atas segalanya. Berapa Mbak nomornya?" jawab Zul.
"0176767676. Bacanya mudah 01 terus tujuh enam empatkali."
"Wah mudah diingat Mbak."
"Coba orang yang kautuju itu dikontak lagi."
Zul langsung menelpon nomor yang ia telpon sebelumnya. Beberapa kali ia telpon tapi tidak juga
berhasil.
"Tetap tidak ada yang mengangkat Mbak."
"Mmm...." gumam Mari sambil mengerutkan keningnya.
"Saya coba lagi Mbak."
Zul kembali melakukan panggilan. Tidak juga berhasil.
"Bagaimana, tidak berhasil juga?" tanyaMari.
"Iya."
"Kau di sini asing. Kalau tidak ada teman kasihan. Kalau kau mau kau bisa ikut saya menginap di tempat saya."
"Menginap di tempat Mbak?"
"Iya. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tempat saya ada tiga kamar. Kau bisa menginap di salah satu kamarnya. Paling tidak untuk sekadar melepas lelah. Besok kau bisa mencari orang yang kautuju itu. Itu kalau kau mau."
Zul terdiam sesaat. Ia memang tidak kenal siapasiapa di Kuala Lumpur ini. Nama yang ada dalam sobekan kertasnya pun sebenarnya tidak kenal. Nama itu adalah nama kenalan Pak Hasan. Katanya ia adik kelas Pak Hasan sewaktu kuliah di Jogja yang sekarang bekerja di Kuala Lumpur. Dan jujur ia memang perlu istirahat. Perjalanan dari Batam sampai Kuala Lumpur cukup membuatnya lelah. Apalagi dua hari sebelum berangkat ia kerja lembur di sebuah bengkel.
"Bagaimana Dik? Kalau kau mau ayo kita berangkat. Mumpung belum terlalu malam. Atau kau mau tidur di bangku itu, ya tidak apa-apa. Tapi jangan kaget kalau nanti ada operasi polisi dan kau dianggap gelandangan. O ya bisa juga kau menginap di hotel Purduraya ini. Tinggal kau jalan ke atas. Tapi ongkosnya ya lumayan." Mari menjelaskan beberapa pilihan untuk Zul.
Zul masih belum mantap menentukan salah satu pilihan. Hati kecilnya ingin menginap di hotel. Tapi uang yang ia miliki benar-benar pas-pasan. Ia sebisa mungkin harus menghemat.
"Sudahlah Dik ayo ikut saya saja. Besok kau bisa pergi ke mana kau suka. Ayo!" Kata Mari dengan tegas seraya bergegas ke luar terminal. Ketegasan kata-kata Mari membuat Zul seolah menemukan pilihan terbaik.
Ia pun mengikuti langkah Mari. Mereka keluar menyeberangi jalan raya. Mari berjalan dengan cepat meskipun ia harus menyeret tas kopornya. Zul berusaha mengimbangi di sampingnya.
"Kita mampir di supermarket sebentar. Lalu kita ke Terminal Pasar Seni cari bus Rapid KL yang ke Subang."
"Iya Mbak. O iya Mbak ini hand phone-nya nanti lupa."
"Ayo cepat.dikit."
Mereka berjalan menyusuri trotoar. Mari masuk sebuah supermarket dan belanja makanan, sikat gigi, odol, dan sabun mandi cair. Zul menunggu di depan supermarket. Tak lama kemudian mereka kembali berjalan. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di Pasar Seni. Mari langsung naik Rapid KL jurusan Subang. Zul ikut di belakangnya. Setelah membayar karcis mereka duduk. Bus berjalan perlahan.
"Jangan kaget, nanti kau akan tinggal di tengah-tengah tenaga kerja wanita. Artinya penghuni rumah itu semuanya wanita. Saya salah satu di antaranya. Rumah saya dihuni enam orang. Ada tiga kamar. Satu kamar berdua. Kebetulan ada dua orang yang sedang pulang ke Indonesia. Jadi saat ini dihuni empat orang. Kau nanti bisa tidur di kamar saya saja. Kebetulan di kamar saya ada kamar mandinya. Jadi kau tidak akan mengganggu teman-teman saya yang lain."
Mari menjelaskan kondisi rumahnya. Zul mendengarkan dengan seksama. la merasa sudah terlalu banyak berhutang budi pada perempuan muda yang baru dikenalnya itu.
"Mbak baik sekali. Entah bagaimana saya harus membalas budi Mbak. Saya malu pada Mbak."
"Jangan berpikir begitu. Kita ini sebagai manusia sudah semestinya saling tolong menolong. Iya tho. Manusia tidak bisa hidup sendirian. Iya tho Dik. Apalagi kita sama-sama orang Jawa, dan sama-sama orang Indonesia dan sama-sama orang Islam. Sudah jadi kewajibanku membantu adik. Ya anggap saja aku ini kakakmu."
"Iya Mbak. Terima kasih Mbak."
Rapid KL membelah kota Kuala Lumpur. Karena kelelahan Zul tertidur. Cukup pulas. Mari mengamati dengan seksama, anak muda yang duduk di sampingnya itu. Wajah polos khas Jawa. Wajah yang tampak begitu muda. Ada guratan derita di sana. Namun ada juga gurat keberanian dan kenekatan. Mari memperkirakan umur pemuda ini lima tahun lebih muda darinya. la telah masuk dua puluh tujuh. la perkirakan Zul tak lebih dari dua puluh dua.
Setelah satu jam berjalan akhirnya mereka sampai di Subang. Mari membangunkan Zul. Zul bangun dengan tergagap,
"Sudah sampai tho Mbak?"
"Sudah Dik."
Mari turun diikuti Zul.
"Kita perlu jalan kira-kira dua ratus meter baru tiba di rumah. Tak apa ya?"
"Tidak apa Mbak."
Mereka berjalan memasuki kawasan Taman Subang Permai. Selama dalam perjalanan Mari bercerita tentang teman-temannya.
"Rumah saya rumah teras. Rumah teras artinya ya rumah biasa seperti rumah-rumah di Indonesia yang ada terasnya. Bukan rumah apartemen. Saya menyewa bersama teman-teman dari orang China. Rumah itu ada tiga kamar. Kamar paling depan ditempati oleh Linda dan Sumiyati. Linda asli Sukabumi, ia lahir di Amsterdam.
Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan dengannya! Terus teman sekamarnya adalah Sumiyati, asli Blitar. Sumiyati juga sudah bersuami. Kamar tengah saya yang menempati. Saya sekamar dengan Iin. Kami memanggilnya Iin. Nama aslinya Mutmainah. la asli Pati. Iin sudah bersuami dan punya dua anak di Pati. Kamar yang paling belakang saat ini kosong. Yang tinggal di situ adalah Reni dan Watik. Keduanya sedang pulang kampung. Mereka berasal dari satu kampung di Kendal Jawa Tengah.
Sebetulnya kau bisa tidur di kamar Reni dan Watik yang kosong. Tapi di kamar itu tidak ada kamar mandinya. Lebih baik nanti kau tidur di kamar saya saja. Biar saya dan Iin yang tidur di kamar Reni."
"Iya Mbak."
"O ya jangan kaget ya. Jika nanti mereka itu banyak bicara. Mereka itu perempuan-perempuan yang paling suka ngobrol dan banyak cerita. Jika kau tidak ingin ngobrol kau nanti langsung saja tidur."
"Iya Mbak."
Lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai di sebuah rumah, yang tak jauh berbeda dengan perumahan di Indonesia. Hanya pintunya dirangkapi dengan pintu besi. Mari langsung membuka pintu. Dan begitu ia masuk ia langsung disambut histeris temantemannya.
"Oi, Mbak Mar pulang!" teriak seorang perempuan muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong.
"Hei kau bawa teman ya Mar?" tanya perempuan berdaster panjang.
"Iya. Ini, anggap saja adik saya. Namanya Zul. Dia mungkin numpang cuma semalam saja/' jelas Mari.
"Adik apa adik?" ledek perempuan bercelana pendek. Mari hanya tersenyum kecut.
"Kenalkan saya Zul, dari Demak."
"Saya Sumiyati, dari Blitar." Sahut perempuan bercelana pendek.
"Aku Iin. Soko Pati Mas."1 Perempuan berdaster memperkenalkan diri denganbahasa Jawa. "Yo anggep wae, iki ning ngomahe dewe. Anggep wae ning ngomahe keluargane dewe."
"Inggih matur nuwun Mbak." Jawab Zul.
"Si Linda mana?" tanya Mari.
"Seperti biasa Mbak ke KL. Seperempat jam yang lalu ia dijemput sama si Chong Tong," jelas Sumiyati.
"Tak ada kapoknya anak itu!" sahut Mari dengan nada tidak suka.
"Yo mugo-mugo4 Gusti Allah membukakan jalan baginya untuk taubat," lirih Iin.
"Amin!"tukas Mari.
"E... Mas Zul kok berdiri di situ saja. Silakan duduk
Mas. Monggo Mas." Sumiyati mempersilakan Zul untuk duduk di kursi.
"Ya Mbak terima kasih." Jawab Zul seraya duduk.
Sumiyati lalu bergegas ke dapur membuat minuman.
Sementara Mari dan Iin masuk ke kamar mereka. Mari meminta Iin membantu merapikan kamar dan tempat tidur. Dan menjelaskan sebaiknya Zul tidur di kamar yang ada kamar mandi di dalamnya. Iin sepakat. Dengan cepat mereka merapikan dan menyimpan pakaian dan perkakas milik kaum perempuan yang tidak sepatutnya dilihat kaum lelaki. Setelah mereka lihat rapi dan mereka teliti tidak ada yang tidak patut, mereka kembali ke ruang tamu dan mempersilakan Zul membawa tasnya ke kamar.

Zul menurut. Ia membawa tasnya ke kamar. Ia masuk dan menutup pintu. Zul mencium bau wangi di kamar itu. Kamar yang bersih dan rapi. Jauh sekali bedanya dengan kamarnya dan teman-temannya saat bekerja di Batam. Zul mencopot jaketnya. Beberapa menit kemudian kamarnya diketuk. Ternyata Mari. Membawa nampan berisi teh hangat dan satu piring roti donat yang tadi dibeli di supermarket.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar