Jumat, 28 Maret 2014

Samudera Hati (Part 2)

“Ar-Rahman... ’Allamal qur’an... khalaqal insan...” ku dengar suara Aidan nyaring membacakan surat itu. Surat Ar-Rahman, surat favoritku, namun aku belum hafal semua ayatnya.
Perlahan butiran bening menetes dari ujung mataku. Mengalir kecil di pipiku. Aku menangis terharu. Tak pernah terpikir olehku dia dapat melantunkan ayat-ayat itu dengan indahnya. Masih teringat dalam benakku bayangan dua tahun yang lalu. Saat kulihat fotonya tengah memegang gelas berisi Champagne. Aku terpaku di balik pintu, hingga dia membacakan ayat-ayat terakhirnya.
“Fabiayyi alaa irobbikumaa tukadzibaan... tabaarakasmu robbika dzil ja laaali wal ikram...”
Setelah dia selesai membacakan surat Ar-Rahman, ku buka pintu itu. Aku masuk dengan perlahan. Pandanganku menyapu seisi ruangan. Kudapati dia tengah duduk di tempat tidurnya. Aku lebih terkejut lagi saat kutemui dia tanpa mushaf qur’an di sekitarnya. Dia membaca surat itu tanpa mushaf, itu berarti dia telah menghafalnya. Subhanallah...
“Assalamualaikum...” ucapku.
Dia langsung menoleh ke arahku. Senyumnya segera mengembang di bibirnya. Matanya berbinar-binar dan tanpa menunggu lama dia menjawab,
“Waalaikumsalam.”
Aku segera manghampirinya dan kupeluk dia lekat. Tangisku pecah dalam pelukannya.
“Tak perlu khawatir.” Bisiknya lembut.
“Bagaimana aku tak khawatir...!” aku melepaskan pelukanku. “Lihatlah kondisimu.” Kataku seraya menunjuk kaki kanannya yang digips. Aku duduk di tepi tempat tidurnya. Kuperhatikan dia baik-baik.
“Ya aku tahu. Tapi aku ingin kau tenang. Panik itu bisikkan syetan.” Ucap dia dengan lembut. Ah! Kata-katanya telah menamparku. Ingatlah Saila, dia baru satu setengah tahun menjadi seorang muslim, tapi ilmunya jauh di atasmu. Kemana saja usia 20 tahun yang kau jalani sebagai muslim?
“Hei... kenapa kau?” seru Aidan saat melihat sisa darah yang mengering di hidungku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh rasa khawatir namun tetap tenang. Dia mengambil tissue basah di meja kecil di sampingnya. Dia gunakan tissue itu untuk menghapus darah yang telah mengering itu.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya kedinginan tadi.”
“Kau kedinginan? Aku akan menambah volume penghangat ruangannya.” Aidan meraih remote control penghangat ruangan.
“Tidak perlu, aku sudah cukup hangat. Aku kedinginan saat di luar tadi.” Kataku.
Ku lepaskan sarung tangan tebalku yang penuh dengan ceceran darah yang telah mengering.
“Aku mendengar kau membaca surat Ar-Rahman tadi.” Kataku. Aidan tersipu malu.
Dia menarik laci di meja kecil tadi yang di atasnya terdapat foto pernikahan kami. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam laci tersebut. Sebuah MP4 hitam dan menyerahkannya padaku.
“Untukmu!” katanya.
“Untukku?!” aku sedikit terkejut.
“Kau bilang, kau selalu kesepian di asrama, oleh karena itu aku membeli ini untukmu.” Ujarnya.
“Aku telah memasukkan Qur’an digital dan lagu-lagu Islami dalam bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia. Aku juga telah memasukkan lagu-lagu Perancis dan Spanyol, supaya kau bisa belajar bahasa melalui lagu-lagu itu.” ujarnya lagi. Dia menghela nafas panjang, aku memperhatikanya.
“Aku menghafal qur’an dengan cara mendengarkan dari alat ini.” katanya. “Ku harap alat ini dapat menghiburmu ketika kau sedih dan merasa kesepian. Tapi kau harus ingat bahwa Allah selalu bersama kita.”
“Jika MP4 ini aku bawa, bagaimana kau menghafal qur’an lagi?” tanyaku.
“Tak perlu khawatir, aku masih memiliki yang lain.” Dia mengeluarkan MP4 lain di saku piyamanya.
“Hm... bagaimana dengan keadaanmu di asrama sekarang? kau baik-baik saja?” Aidan mulai menanyakan keadaanku.
“Bagaimana dengan Nabila? Orang yang sering kau ceritakan yang telah membantumu itu. Jika aku bertemu dengannya, aku harus berterimakasih padanya, karena dia telah banyak membantu istriku yang manja ini” katanya dengan sedikit gurauan.
“Ah... kau!” aku berpura-pura cemberut. “Hubungan aku dengannya kini memburuk. Di saat aku telah dekat dengan saudara-saudara asrama lainnya, dia justru malah menjauh.” Ucapku sedih.
“Mungkin dia sedang sibuk atau memiliki kegiatan lain yang mengharuskan dia terasa jauh bagimu.” Nasehatnya.
“Andai kau tahu. Bagaimana responnya sekarang padaku sangat buruk.” Ujarku dengan nada sedikit kesal.
“Tidak sebaiknya kau berkata demikian! Mungkin itu hanya perasanmu saja.”
“Ya...ya..ya.. ok! Itu hanya perasanku saja, dan semua orang mengatakan itu padaku! Selalu aku yang disalahkan. Perasaanku yang salah! Aku yang terlalu egois dan possesif.” Aku sungguh kesal pada Aidan! Kenapa dia malah menekan istrinya sendiri. Padahal dia tak mengenal Teh Bila dan tak menyaksikan apa yang terjadi. Kupalingkan wajahku dari hadapannya.
Aidan menyentuh bahuku dengan lembut. Lalu menyentuh wajahku dan menolehkan wajahku ke hadapannya dengan lembut pula.
“Maafkan aku, mungkin aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Tapi kata-katamu tentangnya meyakinkan aku bahwa Nabila adalah orang yang sangat perhatian padamu. Ya kurasa demikian!” dia merangkul bahuku dengan penuh kelembutan.
“Jangan biarkan pikiranmu bersu’udzan! Jangan memberikan ruang pada syetan untuk menghasutmu. Jangan sampai keegoisan membuatmu lupa pada kebaikannya. Hal yang normal jika seseorang membuat kesalahan.”
Aku menatap kedalam matanya, menyelaminya. Aku segera memeluknya dan tangisku pecah dalam pelukannya.
“Biarkan aku pergi dari tempat itu.” Ucapku dengan tangis yang tak mampu ku bendung. Dia menyentuh kepalaku dan memegangnya.
“Ada apa denganmu?” suaranya terdengar cemas. “Kau tak kerasan hanya karena satu orang?” tanya Aidan.
“Kau harus ingat tujuanmu semula, kenapa kau ingin masuk program itu? Semua itu keinginanmu. Aku pun tak memaksamu. Jadi lakukan semua itu karenaNya.” Lagi-lagi Aidan menesehatiku dan kuakui ilmunya telah jauh diatasku. Aku sangat malu padanya.
“Aku takkan pernah izinkan kau keluar dari program itu sebelum program itu selesai.” Bisiknya.
“Percayalah... Allah selalu mendukungmu, dan Dia yang menghendakimu hadir disana. Jangan kau sia-siakan.” Katanya lagi. “Berjanjilah padaku untuk membuang jauh-jauh keinginan pergi dari tempat itu. Tempat itu adalah tempat yang terbaik untukmu. Berjanjilah apapun yang terjadi kau tak kan meninggalkan tempat itu. Kecuali jika Allah telah berkehendak lain.”
Tangisku mulai mereda. “Insya Allah.” Ucapku pelan. Aidan menghapus air mataku. Aidan bergerak kecil mencoba beranjak dari tempat duduknya. Perlahan dia menurunkan kakinya satu persatu.
“Kau akan pergi kemana?” tanyaku.
“Aku ingin pergi ke kamar mandi.” Katanya.
Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan segera mengambil kruk yang tak jauh darinya. Aku mencoba membantu dengan memegangi tangan kanannya. Walau aku sadar sepenuhnya jika dia terjatuh, aku takkan mampu menahan tubuhnya yang tinggi dan besar itu. Tubuh yang begitu kontras dengan tubuhku yang mungil. Aku malah berpikir. jika aku yang berada pada posisinya, aku tak perlu bersusah payah untuk pergi ke kamar mandi dengan kruk. Dia pasti akan menggendongku. Aidan pun masuk ke dalam kamar mandi, sedang aku menunggunya di luar.
Sebenarnya aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Entah itu jatuh ataupun terpeleset. Ah... tapi aku tak berani masuk dengannya.
Duuk...bruuk...!!! aku mendengar suara aneh itu dari dalam kamar mandi. Tak lama setelah mendengar suara itu aku mendengar Aidan mengerang. Aku sungguh khawatir, kuketuk pintu kamar mandi. “Kau baik-baik saja?” tanyaku. Aku tak mendengar jawaban, yang terdengar hanya suara rintihannya. Aku semakin panik. Hatiku berusaha membisikkan kata, Tenang... tenang... Saila. Tapi rasanya tak berguna, aku belum dapat mengusir kepanikanku.
“Tenanglah Saila...” aku mendengar suara Aidan yang tahu benar keadaanku yang
mengkhawatirkannya.
Bagaimana mungkin aku bisa tenang, jika dia tak berhenti merintih.
Seseorang mengetuk kamarku. “Mrs. Saila... what’s happens?”. aku mendengar suara Alan. Aku segera membuka pintu kamar. Aku dapati Alan dan Bibi Sarah telah berdiri di hadapanku.
“Apa yang terjadi?” tanya Bibi Sarah. Kedua wajah mereka melukiskan kekhawatiran. Kugelengkan kepalaku.
“Entahlah...aku rasa Aidan terjatuh di kamar mandi.” Ujarku gugup.
Air mataku meleleh diantara kedua bola mataku. Alan segera berlari ke arah kamar mandi. Aku dan Bibi Sarah segera mengikutinya. Alan segera mendobrak pintunya dan kudapati Aidan tengah terduduk di lantai. Wajahnya meringis menahan sakit. Aku melihat rembesan darah di gipsnya. Aku tak kuasa melihat pemandangan itu. Kusembunyikan wajahku di pelukan bibi Sarah. Bibi Sarah memelukku hangat dan lembut layaknya seorang ibu pada putrinya. “Dia akan baik-baik saja Insya Allah. Dia kuat.” Bisiknya.
Aku menoleh pada Aidan. Alan membantunya berdiri perlahan. Bibi Sarah segera mengambil handphone Aidan yang tergeletak di atas meja. Lalu menekan beberapa tombolnya. Beliau menghubungi dokter yang terbiasa merawat Aidan. Aku masih berdiri terpaku menatap mereka. Aku tampak bodoh! Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pun segera mambantu Alan memegang tangan Aidan dan mambawanya ke tempat tidur. Tak berapa lama dokterpun datang, dan memeriksa keadaan Aidan. Ku harap dia baik-baik saja, bisikku dalam hati.
“I’m dissappointed to say that your condition is worse. You’ll be better, if you don’t act much and take a rest more.” Ucap dokter itu pada Aidan. Tangannya sibuk menuliskan resep di secarik kertas. Lalu menyerahkan kertas itu pada Alan dan pergi setelah berpamitan pada kami. Alan dan bibi Sarah pun turut meninggalkan kami.
Aku menghampiri Aidan. Wajahnya tak melukiskan rasa sakit lagi. Kupikir, rasa sakitnya telah mereda, setelah dokter menyuntikan obat penahan sakit.
Aidan tersenyum padaku.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku dengan penuh kekhawatiran, namun sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Aku tak apa-apa! Hanya saja kruk yang ku pegang tergelincir saat aku hendak berdiri.” Jelasnya.
Hanya tergelincir?! Aku tak mengerti mengapa Aidan meremehkan kejadian itu. Dia memandang wajahku lekat.
“Aku menyesal tak membantumu tadi.” Ucapku penuh rasa bersalah dan sejuta kesedihan yang memenuhi dadaku.
“Astagfirullah...kau tak perlu menyesali apapun. Ini semua kehendakNya.” Lagi-lagi kalimat tauhid meluncur dari mulutnya. Kalimat yang membuat hatiku sejuk, sekaligus sebagai obat mujarab pengusir rasa panik dan rasa bersalahku. Sungguh hanya sederetan kata yang sederhana, namun pengaruhnya sangat dahsyat.
Aidan membelai kepalaku yang masih mengenakan jilbab. Lalu memegang tanganku yang dingin. Sedingin es di luar sana.
“Kau tampak kelelahan... tidurlah!” ucapnya seraya memberikan isyarat lewat matanya agar aku segera berbaring di sampingnya. Aku mengangguk lalu tidur disampingnya. Aku meliriknya ku lihat Aidan memejamkan matanya. Aku menarik selimut dan ku pejamkan mataku.

***






Part 6 : Sang Putri di Masa Lampau

Hari tentu masih sangat gelap dan udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Sehingga aku harus menambah volume penghangat ruangan di kamar kami. Namun aku tak tahu pasti berapa temperaturnya mungkin tiga derajat celcius, nol derajat atau lebih rendah lagi, yang jelas aku yakin suhu menurun drastis dari yang sebelumnya, mungkin! Aku masih duduk bersimpuh di atas sajadah, setelah aku mendirikan sholat tahajud. Kuangkat kedua tanganku.
Ya Allah ampunilah hambaMu ini. Ampunilah kekhilafan dan kedurhakaanku padaMu. Begitu banyak nikmat yang selalu mengiringi hari-hariku, tapi sedikit sekali aku mensyukurinya. Salah satu dari nikmatMu yang tak dapat ku hitung ialah kau menganugrahkan dia sebagai suamiku. Dia yang sering menyadarkan aku akan kekuasaan dan keesaanMu.
Kini Kau mengujinya dengan rasa sakit di tubuhnya, jadikan rasa sakitnya sebagai penggugur dosa-dosanya. Jadikan ketabahannya membuat dia semakin dekat denganMu dan semakin mencintaiMu. Angkatlah rasa sakit itu untuk mempermudahnya mencari karuniaMu. Aamiin.
Air mataku tak terasa meleleh membasahi mukena putihku pemberian Aidan. Malam ini aku sengaja berdo’a khusus untuknya. Semoga dia memperoleh kesembuhan dan mendapatkan hikmah dari sakitnya itu. Adzan shubuh berkumandang dari Qur’an digital yang tergeletak di meja kerjanya. Aidan telah mengatur waktu sholat pada alat itu.Aku segera mendirikan sholat shubuh sendiri tanpa Aidan yang masih terlelap dalam tidurnya. Setelah salam ku sempatkan berdo’a untuk keluargaku di Indonesia, Aidan dan juga Paman Ali dan bibi Sarah yang telah banyak membantuku dan Aidan.
Kuhampiri Aidan yang masih terlelap dalam tidurnya. Mungkin pengaruh obat yang diberikan dokter malam itu mengandung obat tidur.Aku mengecup keningnya dalam-dalam. Lalu duduk di tepi tempat tidur, di hadapannya. Perlahan dia membuka matanya. Kusambut pandangan pertamanya di hari ini dengan senyuman terbaikku. Dia membalas senyumanku. “Saatnya sholat shubuh” kataku. Dia mengangguk. Aku membantunya bertayamum.
Lalu dia mendirikan sholat shubuh di tempat tidurnya. Aku memperhatikanya disetiap gerakan isyarat sholatnya, sampai dia menyesaikan sholatnya. Wajahnya terlihat damai seakan dia berbicara dan berhadapan langsung dengan Kekasih sejatinya, Tuhan yang mempertemukan kami, Allah Swt.
Dialah pangeranku... anugrah ilahi yang aku sia-siakan selama ini.
Hari beranjak siang, aku pergi ke dapur bermaksud membuatkan sesuatu untuk sarapan Aidan. Ku putuskan hari ini aku akan memasak sup krim untuknya. Aku cukup tahu tentang apa-apa yang disukainya di internet beberapa waktu sebelum aku menikah dengannya. Termasuk makanan kesukaannya, sup, ikan dan donat. Bahkan dia menyukai itu semua sejak dia masih kanak-kanak.
Ketika orang tuanya mengajaknya ke restauran cepat saji khas Amerika. Dia akan menolaknya dan berkata, “Aku lebih suka makan ikan dan sup.”
“...Sungguh tidak seperti kebanyakan anak lainnya...” itulah yang dikatakan kedua orang tuanya..
Aku segera mengambil sayuran yang telah tertata rapi di dalam lemari es. Wortel, bayam, kentang, brokoli dan jamur. Deborah, pelayan Aidan datang. Dia tersenyum padaku, aku membalasnya. Bibi Sarah pernah bercerita padaku. Dia pelayan Aidan dari Spanyol. Dia sangat baik, ramah, namun dia tak mengucapkan apa-apa padaku, dia tak pandai berbicara bahasa asing. Dia hanya berbicara bahasa Catalan dan Castellano atau Spanyol. Dia membantuku memotong sayuran dan sedikit heran ketika melihat jamur. Setelah memotong sayuran dia pergi meninggalkanku untuk mengerjakan tugasnya yang lain.
“Gracias...(terimakasih) .”ucapku. Hanya itu kata dari bahasa Spanyol yang aku ketahui. Dia hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku mulai memasukkan sayuran ke dalam panci yang berisi air mendidih. Lalu aku masukan bahan-bahan pelengkap lainnya.
Aku mulai merasa terganggu dengan acara televisi yang tadi dinyalakan oleh Deborah sebelum dia pergi. Acara yang membahas tentang kehidupan selebriti. Ya... semacam infotainment di Indonesia.
Aku dengar acara ini adalah acara unggulan di channel TV termuka di Inggris, dan menjadi acara favorit bagi orang-orang London termasuk Deborah. Ah... aku tetap saja merasa tak nyaman dengan acara semacam itu. Aku meraih remote untuk mematikan televise itu.
Namun kuurungkan niatku semula, saat kudengar seorang menyebut nama Rafaël. Tentu yang mereka maksud Aidan. Perhatianku mulai beralih pada acara itu. Dua orang gadis tengah duduk di sofa. Seorang gadis mengenakan blazer hitam dan celana berwarna hitam pula. Rambutnya lurus sebahu dan kuketahui dia sebagai presenter acara tersebut. Seorang gadis lainnya mengenakan pakaian lebih informal. Rambutnya ikal pirang sebahu. Ku ketahui namanya Sandrine, seorang petenis nomor tujuh di dunia yang baru saja memenangkan turnamen Swiss terbuka sebulan yang lalu.
Sandrine? Nama itu terasa tak asing lagi bagiku. Sandrine atlet tenis dari Perancis, lalu apa hubungannya dengan Aidan. Ku aduk-aduk sup krim yang berada di dalam panci, seperti aku mengaduk-aduk otakku untuk menemukan jawaban siapa Sandrine. Aku memperhatikan percakapan dalam bahasa Perancis itu.
“Selamat kau kembali menjadi juara.” Ujar presenter itu.
“Terimakasih.” Jawab gadis bernama Sandrine itu.
“Mana yang lebih kau banggakan saat menjadi juara di Wimbledon ataukah sekarang?”
“Tentunya saat aku menjadi juara di Wimbledon, karena hanya petenis-petenis berkelas yang berada di turnamen itu. Dan aku bangga bisa menyingkirkan petenis-petenis hebat itu dan keluar sebagai juara. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi aku juga bangga menjadi juara di Swiss, karena aku bisa membuktikan pada Rafaël, aku bisa terus berprestasi tanpanya, tanpa dukungan darinya.”
“Ya seperti yang kita tahu, dua tahun yang lalu saat kau menjadi juara di Wimbledon. Rafaël benar-benar mendukungmu dan dia selalu hadir saat kau bertanding, kecuali jika jadwalmu bentrok dengan jadwal pertandingan sepakbolanya...” Presenter itu menghela nafas panjang.“... dan kau pun sering datang ke pertandingannya untuk mendukungnya. Bukan?” tanya presenter itu. Sandrine mengangguk.
“Sungguh kalian benar-benar pasangan yang serasi. Banyak orang yang menyesali keputusan kalian untuk berpisah.”
“Itu keputusannya.” Jawabnya masygul.
Aku sekarang mengerti Sandrine adalah mantan kekasih Aidan yang dulu membuatku iri padanya. Jika ku pikir mengapa aku harus iri padanya, bila pada akhirnya Aidan memang jodohku. Kadang kita tak pernah mengerti bagaimana takdirNya berjalan dari waktu ke waktu. Itu pula yang terjadi, jalan takdirNya yang membawa Aidan padaku.
“Berbicara tentang Rafaël, sekarang dia telah berpindah agama. Apa itu salah satu penyebab berakhirnya hubungan kalian?”
“Entahlah... mungkin ya.”
“Namanya pun telah berganti, walaupun di lapangan dia masih mengenakan nama yang sama.”
“Siapa yang akan mengenalinya di lapangan jika dia mengenakan nama barunya itu.” Ujar Sandrine sinis. “..dan dia telah menyembunyikan status barunya itu hampir satu setengah tahun lamanya dari media.”
“Kami dengar dia baru mengungkap dirinya sebagai muslim setelah dia menikah dengan seorang muslimah dari Indonesia.”
“Itu benar.” Jawab Sandrine malas, tapi presenter itu semakin semangat mengorek-ngorek masalah pribadinya.
“Apa pendapatmu Sandrine? Kau cemburu padanya?”
Sandrine tertawa hambar. “Dia adalah masa lalu bagiku. Indah jika ku kenang masa-masa bahagia bersamanya. Tapi sekali lagi dia masa laluku! Masa lalu tak berarti apa-apa bagiku. Aku hanya berharap dia bahagia dengan siapa pun juga.”
Aku menuangkan sup krim yang telah matang ke dalam mangkuk.
“Mulia sekali kau Sandrine.” Puji presenter itu “Kau tahu Rafaël kini tengah di bekap cedera. Dokter mengatakan dia harus istirahat selama empat bulan. Jika kau rasa dia tengah menyaksikan acara ini apa yang akan kau katakan padanya?”
“Jika saat ini kau tengah menonton acara ini aku hanya ingin mengucapkan semoga kau cepat sembuh dan kembali ke lapangan, penggemarmu di luar sana sangat menantikanmu. Ciptakanlah gol-gol cantik dan menangkanlah setiap pertandingan. Bawalah clubmu menjadi juara liga musim ini.” Ucap Sandrine. Aku bisa merasakan ketulusan dari hatinya sekaligus perhatian yang didasari cinta. Cinta yang mungkin masih bersisa di hatinya. Aku meletakkan mangkuk di atas tampan dan segera pergi ke kamar, setelah terlebih dulu ku matikan televisi itu.
Aku mendapatkan Aidan tengah menonton acara yang sama di kamarnya.
Pandangannya terpaku pada televisi. Bahkan dia tak menyadari kehadiranku di ruangan ini. Nafasnya mengalir tak beraturan.
Aku duduk di sampingnya, dia terperanjat kaget. Seulas senyuman tak lupa dia lemparkan untukku.
“Kedua gadis itu tengah membicarakanmu?” tunjukku pada dua gadis di televisi.
“Kau tahu wanita itu?” tunjuk Aidan pada gadis berambut ikal itu.
“Sandrine?!” jawabku, namun nadaku cenderung balik bertanya.
“Ya Sandrine! Mantan kekasihku.” Ujar Aidan.
Kata-katanya membuat hatiku panas terasa di bakar bara api.
“Melihatnya membuatku teringat masa lalu...” katanya lagi.
“Dan aku merasa kau tak pantas untukku.” Kata-katanya yang terakhir lebih mengiris hatiku. Aku tak tahu apa dia sadar mengucapkan kata-kata itu?
Hatiku sungguh teriris. Lalu bagaimana kau menganggap aku selama ini? Aku sadar sepenuhnya, aku memang tak pantas untukmu di bandingkan dengannya. Dia selebriti sepertimu. Dia petenis nomor tujuh di dunia, dia cantik, cerdas dan sedertan keunggulan lain yang dapat menyeimbangkan keunggulanmu. Sedang aku? Aku memang tak punya apapun seperti yang kau tahu sejak awal pernikahan.
Hatiku semakin panas. Aku merasa terlempar dari kehidupannya, dari hatinya lebih tepatnya. Cemburukah aku? Perih rasanya. Mataku mulai berkaca-kaca. Namun aku berusaha untuk tidak menangis di depannya. Aku berusaha mamberikan senyuman untuknya meski senyum itu menambah luka di hati semakin membengkak. Aku berusaha untuk tetap tegar, meskipun jauh dalam kenyataannya, usaha itu hanya menutupi kerapuhan dan ketidakberdayaanku. Tanganku bergetar dan mungkin aku akan menjatuhkan mangkuk berisi sup itu. Aku segera meletakkan mangkuk itu di atas meja kecil disampingnya. Aku memegang nampan itu erat. Mencoba menahan emosi yang meluap dan menumpahkan kekecewaan yang tak mampu kuungkapkan.
“Kau tak pantas bagiku Saila...” Aidan mempertegas kata-katanya. Sebuah kalimat yang mencambuk hatiku sekali lagi. Matanya tertunduk memandangi selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
“Ya...kau benar. Sandrine memang pantas bagimu di banding aku. Dia cantik, cerdas dan berprestasi.” Aku menyerah, air mataku tumpah, aku tak mampu membendungnya lagi.
“Tapi dia tidak sepertimu, kau tak pernah tersentuh oleh lelaki meski kau telah berpacaran sebelumnya, kau pantas mendapatkan laki-laki lain yang lebih baik dariku sedangkan aku dan dia...” Aidan tak melanjutkan kata-katanya lagi. kata-katanya kini bagai air mengalir yang menghapus segala luka-lukaku, jadi sedari tadi aku salah paham. Aidan mengangkat kepalanya dan menatap wajahku.
“Hei kenapa kau menangis?” tanyanya setengah terkejut.
“Tidak! Aku baik-baik saja.” Ujarku tersenyum.
“Aku malu, aku terlalu banyak melakukan hal-hal buruk dulu.”
“Bukankah itu masa lalumu? Lalu kenapa kita tidak bersama-sama menatap masa depan saja?” ujarku. “Kau tahu? Ketika seseorang memutuskan menjadi seorang muslim dan mengucapkan syahadat dosa-dosanya di masa lalu akan terhapus dan kembali suci seperti bayi yang baru dilahirkan.” Tambahku. Dia tersenyum.
“Aku beruntung mendapat petunjuk dariNya dan memilikimu.” Ucapnya setengah berbisik. Dia menghapus air mata di pipiku. “Aku tak ingin membuatmu terluka...aku mencintaimu.”
Suasana menjadi hening di antara kami tak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Suasana semakin terasa beku untuk beberapa saat. Pandangannya kosong menatapku. Pikiranku pun melayang kesana kemari. Ku teringat teh Husna, mungkin dia kini mengkhawatirkanku. Karena aku pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
“Hei apa yang kau bawa di mangkuk tadi?” tanya Aidan memecah kebisuan sekaligus membuyarkan lamunanku.
“Astagfirullah, aku lupa! Aku membuatkan sup krim untukmu. Aku harap kau menyukainya.”
“Tentu aku akan menyukai apapun yang kau masak untukku.”
Aku mengambil mangkuk berisi sup krim itu. Ku sodorkan sendok yang berisi sup itu ke depan mulutnya. Aidan hampir membuka mulutnya. Namun dia hanya memandanginya.
“Apa itu?” tanyanya. Telunjuknya mengarah pada sayuran berwarna cokelat di atas  sendok itu.
“Jamur.” Jawabku. Lantas dia diam dan hanya memandangi sendok itu dan aku silih berganti. Aku balas memandangnya dengan heran.
“Aku…” dia tak melanjutkan kata-katanya.
“Astagfirullah aku lupa lagi. Kau tak suka jamur. Padahal aku sangat menyukainya. Baiklah aku akan menyingkirkannya.”
“Kenapa harus di singkirkan, bukankah kau menyukainya? Bagaimana kalau kita makan bersama?”
“Aku setuju…” ujarku tersenyum.

***


Aku menghabiskan hari-hariku bersama dengan Aidan, merawatnya, menjaganya, membantu dia bersiap untuk sholat, hingga mengantarkan ke rumah sakit untuk check up. Aku merasa senang dapat melakukan tugasku sebagai seorang istri. Aku kini paham bagaimana para istri mengabdi pada suaminya. Seperti juga yang dilakukan ibu pada ayah, kak Yasmin pada mas Deniez, atau kak Wafa pada mas Fadli.
Tapi semua itu akan berakhir seiring aku harus kembali ke Indonesia. Aku berharap Aidan akan ikut bersamaku agar aku dapat merawatnya hingga sembuh. Aku ingin menyaksikan untuk pertama kalinya dia berjalan tanpa kruk lagi. Namun aku merasa itu adalah hal yang tak mungkin. Aidan harus tetap disini, manajernya tak akan mengizinkan dia pergi, terlebih di Indonesia tak ada dokter yang lebih baik daripada para dokter disini yang terbiasa menangani kasus seperti Aidan. Aku pun tak mungkin untuk terus menetap disini. Semester baru pun akan segera di mulai.
“Apa yang kau pikirkan, Saila?” tanya bibi Sarah yang menghampiriku di ruang makan. Beliau seolah telah membaca kecemasanku.
“Aidan…” ujarku.
“Aidan? Ada apa dengannya?”
“Aku masih sangat ingin merawatnya. Tapi seperti yang kau tahu aku harus segera kembali ke Indonesia.”
“Ya, kau harus kembali kuliah.” Ujar bibi Sarah. Dia melemparkan seulas senyuman padaku.
“Kau tak perlu khawatir, Aidan akan ikut bersama kita ke Indonesia.” Lanjutnya.
“Aku tak mengerti maksud bibi. Bagaimana mungkin?”’
“Mungkin saja. Manajernya memberi waktu dua bulan untuk pergi kemanapun Aidan ingin pergi untuk memulihkan kondisinya sekarang.”
“Tapi tak ada dokter yang lebih bagus dari para dokter disini. Aku tak yakin di Indonesia Aidan akan cepat pulih.”
“Kau lupa Saila yang memberikan kesembuhan itu bukan dokter, tapi Allah. Mereka hanya membantu kita berikhtiar.” Tiba-tiba Aidan datang dan bergabung bersama kami.
“Aku merasa lebih baik saat kau merawatku. Karena kau selalu menghiburku. Suasana hatiku yang baik dapat mempercepat penyembuhan juga.” Jelas Aidan lagi.
“Aku memutuskan untuk ikut ke Indonesia. Aku ingin memulihkan diriku juga pikiranku yang selama ini terlalu banyak diisi oleh segala sesuatu tentang sepakbola. Aku ingin mengunjungi pesantrenku dulu untuk menyegarkan kembali pikiran dan ruhiyahku.” Tambah Aidan.
“Aku senang mendengarnya.” Ucapku riang. “Kita akan pulang ke Indonesia...” seruku.

***


Sesampainya di Indonesia aku meninggalkan Aidan di rumah Bibi Sarah. Aku sendiri kembali ke asrama. Aku tahu meskipun Aidan di Indonesia, aku tak bisa merawatnya sebagaimana aku merawatnya di London. Kami harus berpisah. Aku tak mungkin membawa Aidan ke asramaku, ataupun selamanya aku tinggal di rumah Bibi Sarah. Tapi aku berjanji, Insya Allah aku akan sering menjenguknya di sana. Akan ku gunakan waktu lenggangku untuk bersamanya. Bagi kami itu lebih baik daripada kami harus berpisah terlalu jauh.
Aku telah berdiri di depan pintu asramaku. Keadaannya sangat sepi. Tak ku dengar sedikit pun suara gaduh dari dalam. Hari minggu, sebagian orang mempunyai acara masing-masing,di luar asrama.
“Saila, kau telah kembali sayang!” teriak teh Husna dari jendela kamarnya.
“Ya teh.” Jawabku lesu. Ada perasaan malu ketika menatap wajahnya. Aku segera masuk ke dalam, teh Husna segera menghampiriku dan dia memelukku erat.
“Kemana saja kau selama ini?” tanyanya penuh kekhawatiran.
“Maafkan aku. Aku pergi tanpa izin. Kerabatku ada yang sakit sehingga mengharuskanku pergi segera.”
“Tak apa. Asal kau tak ulangi lagi.” Teh Husna menatapku haru.
“Saila…” Kak Erin memanggilku, lalu menghampiriku dan memelukku. Teh Nabila berjalan ke arahku, lalu memelukku setelah Kak Erin melepaskan pelukannya.
“Maafkan aku, Saila.” Desisnya. “Kami sangat mengkhawatirkanmu.”
“Maafkan aku juga… aku telah membuat kalian khawatir.” Ujarku.
“Apa kau marah pada kami?” tanya Kak Erin.
“Bagaimana mungkin aku marah pada kalian. Sedangkan kalian begitu baik padaku. Kalian seperti saudaraku.”
Aku merasa terharu melihat bagaimana mereka menyambut kedatanganku. Padahal aku telah membuat mereka khawatir. Rasa lelahku menghentikan kami melepas rindu. Aku segera merebahkan tubuhku dan memejamkan mataku.
“Teh, kau habis darimana? Pulang ke rumah orang tua?” tanya Nurma yang datang menghampiriku.
“London.” Jawabku tenang.
“London??” Nurma tampak heran. “London yang sebelah utara Bandung itu?” godanya.
Aku yakin dia tak percaya padaku. Itu memang wajar, siapa yang akan percaya aku baru saja dari sana. Hal itu memang sulit di terima logika, aku bukan orang kaya, juga tak punya urusan apapun untuk pergi kesana. Itulah yang mereka pikirkan. Sejak hari itu aku semakin dekat dengan mereka. Aku menemukan keluarga baru di sini.


Part 7 : Rasa yang Terlebur

Aku menepati janjiku pada diriku sendiri untuk merawat Aidan. Meskipun banyak waktu yang kukorbankan. Meskipun aku harus melewatkan waktu belajarku di pesantren karena Aidan sering memintaku menemaninya sampai larut malam atau dia sengaja memintaku menginap di rumah Bibi Sarah. Aku sungguh tak bisa menolak permintaannya.
“Maukah kau menginap disini? Aku butuh teman untuk mengobrol. Paman dan Bibi pergi ke Jakarta…” pintanya suatu hari.
“Aku ingin malam ini tahajud bersamamu.” Katanya di lain hari.
Jika sudah begitu, aku tak bisa menolaknya. Aku hanya bisa berkata. “Baiklah…”
Lagipula aku senang berada di sampingnya. Meskipun Aidan tak memintaku aku sendiri yang datang menemuinya. Aku memanfaatkan keberadaannya disini. Toh aku tak bisa setiap hari bersama dengannya. Aku hanya punya waktu yang terbatas bersamanya, dia akan segera kembali ke Inggris jika dia telah sembuh nanti.
Hari keempat belasnya di Bandung, Aidan telah meninggalkan kruknya. Dia telah dapat berjalan dengan baik. Meskipun dia masih berjalan tak selancar biasanya. Dua bulan sudah Aidan tinggal di Bandung. Keadaannya sudah jauh lebih pulih dari sebelumnya. Dia pun dapat berjalan dengan normal seperti biasanya.
Siang itu dosenku baru saja meninggalkan kelas. Ketika tiba-tiba handphoneku berdering.
My Prince memanggil…
Aidan? Kenapa dia meneleponku sekarang? Aku segera menjawab panggilannya.
“Assalamualaikum…” ucapku.
“Waalaikumsalam.” Jawabnya.
“Ada apa? Baiklah beberapa saat lagi aku akan ke rumah bibi Sarah.” Ujarku.
“Tidak usah… coba kau lihat ke halaman gedung kampusmu.”
“Sekarang?” tanyaku
“Tentu.” Katanya
Aku segera melangkah menuju jendela. Pandanganku menyapu seluruh halaman gedung. Aku melihat Aidan berdiri di sebuah anak tangga menuju gedung fakultasku. Aku melambaikan tangan padanya. Dia membalasnya. Aku segera berlari untuk menghampirinya.
“Saila, kau akan pergi kemana?” teriak Rahma teman sekelasku.
“Pulang.” Jawabku. Aku terus berlari hingga keluar gedung dan menemuinya dengan nafas terengah-engah.
“Aku tak tahu, kalau kau akan datang menemuiku di sini.” Ucapku pada Aidan.
“Aku ingin membuat kejutan untukmu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Jelasnya.
“Suatu tempat? Kau akan membawaku kemana?” tanyaku penuh penasaran.
“Ke Masjid dimana pertama kalinya aku mengucapkan kalimat syahadat.” Ujarnya.
“Aku ingin mengenang masa lalu yang indah disana.” Ujarnya lagi penuh semangat.
“Masjid Daarul Ihsan?” kataku terkejut.
Aku tak mungkin ke Masjid itu. Bagaimana jika aku bertemu dengan teman-temanku disana? Mereka bisa bersuudzan padaku, pergi dengan laki-laki yang bukan mahram. Itu akan menyebabkan fitnah.
“Aku tak bisa kesana.” Kataku.
“Kenapa?” dia menatapku heran.
Aku membalasnya dengan tatapan ragu dan penuh rasa bersalah. Haruskah aku menceritakan semuanya pada Aidan? Apa dia takkan marah padaku?
Seribu tanya, gelisah dan takut menyerbu diriku. Merontokkan seluruh tulang, melemaskan otot dan sendi-sendi tubuhku. Aku menatap Aidan dengan rasa malu yang tak dapat kusembunyikan lagi. Tamatlah riwayatku sekarang. Apa yang harus ku katakana padanya? Pembelaan diri yang seperti apa yang akan aku persiapkan untuk menghadapi kemarahannya nanti? Bagaimana cara dia marah? Apa dia akan berteriak di hadapanku seperti ketika dia marah di lapangan pada wasit atau lawannya, saat dia kecewa? Tapi itu dulu sebelum dia menjadi muslim. Aku tak pernah melihatnya marah lagi di lapangan sekarang. Lalu apa dia takkan marah padaku? tapi rasanya itu tak mungkin.
Segala pertanyaan berputar-putar dalam benakku. Keringat dingin mengalir di tubuhku. Aku menatapnya dengan rasa yang semakin berdebar-debar. Tatapannya semakin melukiskan keheranannya yang semakin mambuncah dan tak mampu untuk di bendung lagi.
“Baiklah, aku akan menceritakannya padamu, tapi tidak disini.”
Aku dan Aidan pun pergi ke kantin. Aku menceritakan semuanya pada Aidan. Disana, Aku ceritakan padanya bahwa aku telah menyembunyikan status asliku dari teman-temanku. Aidan mendengar ceritaku dengan baik. Tak lama setelah aku selesai bercerita terlihat wajahnya tampak kecewa.
“Kau malu menikah denganku? Mempunyai suami sepertiku?” ucapnya lesu.
“Tidak. Tidak bukan itu maksudku. Aku punya alasan sendiri kenapa aku menyembunyikannya.” Aku menghela nafas sejenak, melirik pelayan yang mengantarkan minuman untuk kami, yang sesekali mencuri pandang pada Aidan. “Aku takut mereka mengeluarkanku dari pesantren ini. Bukankah kau telah memintaku berjanji untuk tidak keluar sampai wisuda nanti. Lagi pula aku terlanjut nyaman dengan orang-orang disana. Mereka sudah seperti saudaraku.”
Aidan masih belum menjawab. Dia meminum jusnya perlahan.
“Kau marah padaku?” tanyaku.
Ku tatap wajahnya yang masih merah menahan marah. Aku berusaha menatap kedua matanya. Tapi dia tak membalasnya, dia malah memalingkan wajahnya dari hadapanku.
“Ku mohon jangan marah padaku.” Aku mengiba. “Aku sungguh minta maaf padamu. Awalnya aku memang sengaja menyembunyikan pernikahan ini dari teman-temanku. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa aku masih single seperti mereka.” Jelasku
“Lagipula pesantren itu tak mau menerima calon santrinya yang telah menikah. Padahal kau tahu betapa aku ingin sekali menjadi santrinya.” Tambahku.
“Kau tahu? Kau telah membohongi mereka! Kau keterlaluan!” hanya itu yang Aidan katakan.
“Aku tak membohongi mereka. Aku hanya diam, tutup mulut.” Aku mencoba membela diri.
“Jika kau marah padaku, aku terima. Apapun yang kau mau akan aku lakukan asal kau mau memaafkanku dan menyimpan rahasia ini sampai aku wisuda di pesantren. Setelah itu aku akan katakan pada orang-orang, kau adalah suamiku.”
Aidan masih diam memendam marahnya. Dia menghisap jus terakhir di gelasnya melalui sedotan bening yang mengalirkan cairan itu dari gelas menuju mulutnya. Tak ada kata lagi yang keluar dari mulutnya.
“Baiklah aku akan katakan pada mereka, aku telah menikah. Dan kau akan mendapatkan aku keluar dari tempat itu. Serta aku akan kehilangan sahabat-sahabatku disana.”
“Aku memang pantas mendapatkan itu.” Ucapku dengan nada bergetar.
Pandanganku mulai kabur tertutup butiran-butiran air yang tak mampu ku bendung dan mulai mengalir perlahan.
Aidan menghela nafas dalam-dalam lalu memandangku, tangannya yang halus menghapus air mataku.
“Kau tak perlu mengatakan apa-apa pada mereka. Aku yang memintamu untuk bertahan disana. Dan aku akan memintamu untuk tetap disana.” Ujar Aidan.
“Apa itu berarti kau memaafkanku?” tanyaku dengan suara serak.
Aidan mengangguk pelan.
“Terimakasih.” Desisku.
“Baiklah aku akan pergi kesana sendiri sekarang.” Ujarnya.
Dia beranjak dari tempat duduknya. Aku mengikutinya.
“Kau akan pulang ke asramamu?” tanyanya.
“Aku juga akan pergi ke Masjid itu. Aku akan berjalan di belakangmu.”
“Baiklah.”
Kami pun melangkah menuju Masjid itu. Kami berjalan berjauhan layaknya dua orang yang tidak saling mengenal. Beberapa orang melirik Aidan, mereka mungkin berpikir orang yang dilihatnya itu adalah seseorang yang mirip dengan Rafaël Alvarez, bintang sepak bola yang tengah cedera parah itu. Namun aku yakin tak seorangpun yang menyangkanya bahwa dia memang Rafaël Alvarez yang telah berganti nama menjadi Faiyaz Basel Aidan. Aidan melirik orang-orang yang memperhatikannya di balik kacamata minus yang ku ketahui, kacamata itu hanyalah kacamata dengan lensa netral yang menyembunyikan identitas aslinya sebagai Rafaël Alvarez.
Sesampainya di Masjid beberapa orang menyambutnya dengan jabat tangan dan pelukan persaudaraan termasuk para ustadz yang mengajarku. Aku memperhatikannya dari tangga menuju tempat jemaah wanita, yang berjarak kurang lebih dua meter dari tempatnya berdiri.
“Assalamuaikum. Apa kabarnya?” ujar seorang pria yang ternyata mudabirku (seorang pria mendampingi santri putra) sendiri, Kang Haris.
“Waalaikumussalam. Alhamdulillah baik…” jawab Aidan dengan senyum khasnya.
“Saya dengar antum sudah menikah? Apa benar?” Tanya pria yang sama.
Aidan tak langsung menjawabnya dia tersenyum, lalu menoleh ke arahku. Aku langsung memalingkan pandanganku darinya.
“Benar.” Pelan ku dengar ia menjawab.
“Saya juga dengar antum menikah dengan muslimah dari Indonesia? Benar?”
“Benar. Beliau tinggal di kota ini.” kali ini Aidan menjawab lebih panjang.
“Subhanallah…apa antum datang bersamanya juga kemari?”
Aidan kembali diam, lalu menoleh kembali ke arahku. Kali ini aku langsung beranjak dari tempat dudukku lalu pergi ke tempat wudlu.
“Iya. Dia baru saja pergi ke tempat wudlu akhwat.” Aku masih bisa mendengar dia menjawab pria itu.

***

“Assalamualaikum…” aku mengucapkan salam saat memasuki asrama. Sayup-sayup ku dengar beberapa orang tengah mengobrol di ruang makan. Aku pun ikut serta bergabung bersama mereka.
“Apa teteh tidak salah lihat?” Tanya Kak Erin.
“Teteh tidak salah lihat itu Kang Aidan. Beliau ngobrol dengan Kang Haris di depan Masjid. Ustadz-ustadz juga menyapa beliau.” Jelas Teh Husna.
“Kang Aidan. Siapa beliau?” tanyaku pura-pura tak mengenalnya.
“Beliau itu muallaf dari Spanyol. Beliau dulu pernah jadi santri.” jawab kak Erin.
“Oh… sepertinya orang-orang disini semua mengenalnya.” Ujarku lagi.
“Karena beliau satu-satunya santri dari Spanyol. Santri teladan pula, tidak mudah bagi kami untuk melupakan beliau. Semangat beliau mempelajari Islam menjadi tauladan bagi santri-santri yang lain.” Jelas Teh Husna penuh kekaguman. Lantas teh Husna lekas beristighfar, ia merasa bersalah terlewat mengaggumi ikhwan itu.
Teh Husna dan kak Erin adalah dua senior kami. Mereka tinggal di Daarul Ihsan setahun lebih dulu dariku. Oleh karenanya mereka pernah mengalami tahun pendidikan yang sama dengan Aidan, tentunya dengan program yang berbeda. Aidan memang sangat menonjol saat itu, kulitnya yang seputih susu lengkap dengan bola mata cokelatnya menstimulus orang yang melihat mempertanyakan dirinya. Pertama kali ia mengucapkan kalimat syahadat di Masjid Daarul Ihsan di acara kajian ma’rifatullah yang disaksikan seluruh santri. Siapa pula yang tidak merekam momen yang membuat orang yang hadir bergetar hatinya dan tak banyak yang meneteskan air matanya saat pak kyai memintanya menceritakan perjalananannya hingga ia sampai di Masjid itu, lebih tepatnya sampai Allah menurunkan hidayah baginya. Tak lama berselang ia pun memutuskan untuk menjadi bagian keluarga besar Daarul Ihsan dengan mengikuti program santri privat.
“Kak Erin…Kak Erin…” Iis datang dengan tergopoh-gopoh menghampiri kami.
“Ada apa? Kenapa heboh begitu?” tanyaku heran dengan tingkahnya. Sedangkan Kak Erin sendiri terlihat acuh.
“Kak Erin. Coba tebak tadi aku bertemu dengan siapa?” katanya lagi tanpa mempedulikan pertanyaanku.
“Siapa?” Tanya Kak Erin.
“Kang Aidan…Kang Aidan… Mr. Aidan... Mr. Aidan.” ucap Iis histeris. “Alumni santri privat itu. Beliau makin ganteng aja.”
“Istighfar.” Ucap teh Husna bijak. “Ghadzul Bashar ukh...”
“Eh bukan cuma itu. Denger-denger beliau sekarang lagi rajin ngehafal Qur’an. Calon suami yang ideal. Ya Allah jodohkanlah aku dengannya.” Iis masih tampak takjub pada ikhwan itu, suamiku.
“Apa kamu juga udah denger kalau beliau sudah menikah?” giliran kak Erin yang sekarang berbicara.
Glekk. Iis menelan ludahnya.
“Apa? Benarkah?” Iis terkejut, dia seolah tak percaya.
“Benar. Beliau menikah dengan muslimah dari Indonesia juga. Beliau juga mengatakan istrinya itu dari Jawa Barat. Orang Sunda.” Jelas Teh Husna.
“Ah… ya Allah kenapa Kau tak memberiku kesempatan untuk jadi istrinya.” Ucap Iis dengan mendramatisir kata-katanya.
“Istighfar Is, jodoh itu sudah di atur olehNya. Mungkin dia bukan yang terbaik untukmu. Percayalah kalau Allah telah menyiapkan seseorang yang lebih baik darinya.” Nasehat teh Husna.
“Iya. Kau benar. Tapi siapa muslimah yang beruntung menjadi istrinya itu?” Iis menghela nafas.
“Aku.” Jawabku polos.
“Hah! Kamu? Masa? Emang kamu kenal dia? Ketemu aja belum kan?” ujar Iis sinis.
Aku mengangkat bahuku.
“Bercandamu itu tidak lucu.” Ucapnya lagi. Ia meringis, mungkin menahan luka di hatinya. upss...
“Maaf.” Ucapku.
Siapa yang percaya kalau aku ini istrinya Aidan, santri teladan se-Daarul Ihsan, tampan, kaya, sholeh pula. Sedangkan aku? Tak dapat di hitung, berapa kali aku membuat pelanggaran disini. Mulai pergi dari asrama tanpa izin, bolos materi, tidak ikut forum kesantrian, dan sederetan pelanggaran lainnya yang bahkan aku telah melupakannya.
Sungguh benar-benar sangat berbeda. Apa yang ku dengar tentang Aidan dari mulut mereka membuatku termotivasi untuk menjadi lebih baik lagi. Serta membuatku tersadar betapa aku beruntung menjadi istrinya. Rasa syukurku merasa lebih berlipat-lipat lagi dari sebelumnya.
Ya Allah terimakasih…aku menyesal telah menyesali pernikahan dengannya… saat itu juga ingin ku katakan dengan lantang bahwa aku benar-benar istrinya, tanpa ragu sedikitpun. Namun aku telah terikat janji pada Aidan yang mengendalikan aku untuk tidak mengatakan hal itu. Jika aku mengatakan itu, maka aku harus bersiap merapikan barang-barangku dan pergi dari tempat itu dan berpisah dengan saudara-saudara di Asrama yang begitu hangat karena ukhuwah ini. Cinta karena cinta padaNya.
“Berjanjilah kau takkan pergi dari tempat itu…” kata-kata Aidan terngiang di telingaku dan menyadarkanku untuk tidak melakukan perbuatan bodoh itu.
“Hei… apa yang kau lamunkan?” tegur Teh Husna membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum kecil. Lalu menggelengkan kepalaku.
“Tidak ada.” Jawabku.
“Jangan lupa, sabtu ini kita camping di Parongpong.” Ujar teh Husna.
Glekk. Aku menelan ludah. “Sabtu ini?” teh Husna mengangguk.
Sabtu ini adalah malam terakhir Aidan di Indonesia. Minggu pagi ia harus kembali ke London. Bagaimana bisa aku melewatkan malam itu. Aku sudah berjanji akan menghabiskan malam itu
bersamanya. Kabar buruknya, aku belum pernah camping di hutan, merasakan qiyamul lail di alam terbuka tentunya sangat menenangkan dan menyenangkan dan mungkin itulah momen dimana aku bisa merasakan kedekatan dengan Rabbku. Ah bimbang...
“La, kau akan ikut camping bersama kami kan?” Tanya Kak Erin.
“La, kau akan ikut bukan?” sekali lagi Kak Erin bertanya.
“Maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa. Aku harus ke rumah Bibiku sabtu ini.”
Ujarku. Akhirnya aku lebih memilih bersama Aidan dengan harapan semoga Allah ridha padaku yang berusaha membahagiakan suamiku.
“Bagaimana pun juga kau harus ikut! Ini merupakan acara kebersamaan kita. Kapan lagi kita dapat berkumpul di acara seperti ini. Kau harus ikut ya!” Teh Husna membujukku.
“Seandainya tak ada hal yang lebih penting dari acara ini. Aku pasti ikut bersama kalian.” Ujarku lesu.

***


Sabtu sore, saudara-saudara asramaku sibuk menyiapkan keperluan mereka untuk pergi camping ke daerah pegunungan yang terkenal dengan keindahannya itu. Hatiku begitu bergejolak, betapa aku ingin merasakan rasanya tidur di alam bebas dalam kesendirian, mengenang indahnya nikmat yang Allah karuniakan untuk kita sebagai manusia. Alam semesta yang telah diciptakan dengan sempurna. Berkumpul dengan teman-temanku. Ah… aku hanya bisa ikut berbahagia atas mereka.
Tawa saudara-saudara asramaku memenuhi seisi asrama. Betapa mereka menyambut acara itu dengan riang gembira. Aku hanya bisa menatap mereka satu persatu sebelum aku pergi ke rumah Bibi Sarah.
Sesampainya di rumah Bibi Sarah aku telah melupakan keinginanku untuk pergi camping bersama teman-temanku. Aku menghabiskan malam itu dengan mengobrol bersama Aidan, layaknya sepasang kekasih yang melepas rindu. Malam pun semakin larut. Tapi obrolan kami belum berakhir. Udara semakin dingin dan sunyi. Aku dan Aidan bahkan tak mendengar lagi suara Bibi dan Paman bercakap-cakap di kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar kami.
Kami kembali mengenang awal-awal pernikahan. Bahkan kuceritakan padanya bagaimana perasaanku terhadapnya saat aku duduk di bangku SMA dan dia belum mengenalku sama sekali. Dia sendiri menceritakan kehidupannya ketika di pesantren dulu. ketika dia dan teman-temannya berjualan donat di sekitar pesantren hingga kampusku. Donatnya selalu lebih awal habis daripada teman-temanya. Selain oleh pembeli, donat-donat itu pun kadang habis di makannya. Aku sendiri selama itu tak pernah bertemu dengannya, meskipun Daarul Ihsan berada di belakang kampusku.
“Mereka senang membeli donatku, mereka mengatakan mereka senang beli donat di abang bule, aku sendiri tidak tahu apa itu bule. Kau tahu apa itu bule, Saila?” tanyanya.
Aku mengangkat bahuku. Tawa kecil kami menghangatkan suasana, mencairkan kebekuan malam yang semakin dingin dan kaku. “Tak ada yang mengira bahwa aku ini Rafaël, pesepakbola yang sering mereka sebut namanya itu, apalagi yang percaya.” Ujarnya.
“Mereka hanya mengatakan aku mirip Rafaël, tanpa sedikitpun berpikir, akulah Rafaël. Ah biarlah… aku lebih senang begitu. Sehingga aku bisa membaur dengan masyarakat. Apalah artinya seorang Rafaël yang tidak kenal dengan Tuhannya sendiri.” Jelas Aidan panjang lebar.
Aku kembali tersenyum mendengar ceritanya itu. “Mungkin sebagian orang berpikir karena Rafaël dan Aidan sama-sama dari Spanyol. Jadi mereka tidak mempermasalahkan atau menaruh curiga bahwa kau dan Rafaël adalah orang yang sama.” Timpalku.
“Ah... mungkin. Masuk akal juga.”
Aku mungkin akan mengenang semua ini. Aku ingin waktu berhenti, namun kenyataannya waktu terus bergulir dan esok pagi Aidan akan pergi. Jarak akan memisahkan kami lagi, samudera dan benua yang membentang seolah menjadi penghalang bagi kami.
Namun samudra hati akan mempersatukan cinta kami, semua penghalang itu tak akan berarti lagi bagi kami.
Indahnya bisa mengabdi dan mengurus Aidan sampai sembuh karena Allah yang telah memberi kesempatan untuk memanfaatkan ladang amal itu. Aku masih selalu haus untuk memerankan diriku sebagai istrinya, aku selalu merasa apa yang kuberikan padanya belum maksimal. Aku masih ingin di sampingnya, selalu mempersembahkan sesuatu untuknya. Aku selalu ingin melihatnya tersenyum, melihatnya tersenyum merupakan suatu kebahagiaan bagiku. Aku telah melakukan apapun untuknya selama dia berada disampingku, sebagai seorang istri.
Malam ini aku melengkapi peranku sebagai seorang istri dengan mempersembahkan yang terbaik untuknya, hal yang semestinya aku berikan untuk Aidan sejak dulu, segenap jiwa, raga dan seluruh cintaku untuknya. Sekali ini yang benar-benar dikatakan meleburkan dua hati menjadi satu, menyelaraskan dua rasa menjadi serasa, mengokohkan cinta yang bersemayam dalam setiap hentakan jantung. Dengan harapan, Allah berkenan melimpahkan rahmat dan banyak kebaikan pada kami.
Kami tertidur beberapa saat, sebelum akhirnya kami kembali bangun, mandi dan mendirikan sholat tahajud bersama. Seperti biasanya Aidan pergi shalat shubuh di Masjid bersama paman Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar