Minggu, 30 Maret 2014

Bumi Cinta (Part 11)

"Mafia?"
"Ya."
"Sedemikian gilanyakah mereka?" "Kurasa mereka lebih gila dari yang kita ketahui." "Apa
Doktor tidak terlalu subyektif karena Doktor tidak suka pada Melnikov, bos mafia yang menginginkan Doktor menjadi istrinya."
"Ah kamu ini, terlalu kritis."
"Jadi benar?"
"Tak tahulah."
Beberapa kali mereka berpapasan dengan mahasiswa yang sudah mulai banyak hadir di kampus.
Mereka berdua memasuki ruangan Profesor Abramov Tomskii.
Ayyas mengeluarkan laptopnya dan menyalakannya. Ia ingin memberikan laporan perkembangan penelitiannya kepada Profesor Najmuddin di India, dan ia forward ke Profesor
Abramov Tomskii di Istanbul. Ia tidak lagi bisa mengakses internet dari apartemen Pak Joko.
Maka ketika berada di ruangan Profesor Tomskii yang dilengkapi fasilitas wi-fi ia memanfaatkan
kesempatan mengakses internet sebaik-baiknya. Ayyas juga membaca berita-berita yang terjadi
di Tanah Air. Ia membaca analisis para pakar tentang perkembangan demokrasi di Indonesia.
Para pakar hampir semuanya sepakat bahwa demokrasi di Indonesia membaik, tetapi belum
memiliki irah dan sistem yang sehat. Politik uang masih mewarnai pemilihan umum di Indonesia. Penentu kualitas demokrasi di Indonesia ternyata bukan akal sehat dan nurani rakyat, akan tetapi penentunya adalah uang. Boleh dibilang, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi uang.
Sama sekali bukan demokrasi suara nurani rakyat. Rakyat kecil sendiri yang tidak tahu bagaimana harus hidup dan bersikap di bumi bernama Indonesia, kini hampir-hampir tidak
memiliki kepedulian besar siapa yang mereka pilih menjadi wakilnya, dan siapa yang mereka pilih menjadi pemimpin negerinya. Mereka tidak lagi menggunakan akal sehat dan nurani yang
bersih dalam menentukan pikiran. Yang mereka lakukan adalah siapa yang memberi uang paling
banyak, maka mereka pilih, meskipun itu adalah orang yang paling bejat yang mereka kenal.
Akibatnya banyak wakil rakyat diisi oleh para penjahat. Dan para penjahat itu yang kini sering
nampak di layar kaca sebagai pembuat undang-undang penentu masa depan bangsa dan lain
sebagainya.
Ayyas begitu asyik dengan layar laptopnya. Ia sama sekali tidak memedulikan Doktor Anastasia
yang sedang membaca tak jauh dari tempatnya duduk. Doktor Anastasia sudah lama menutup
buku yang ia baca. Kedua matanya kini terus memandangi wajah Ayyas yang serius membaca
berita di laptopnya.
Suatu ketika Ayyas mengambil nafas dan menoleh ke arah Doktor Anastasia. Pandangan
keduanya bertemu. Ayyas tidak memedulikannya, ia kembali membaca berita. Seperempat jam kemudian Ayyas kembali mengambil nafas dan menengok ke arah Doktor Anastasia. Ia kaget, Doktor Anastasia masih memandangi dirinya sehingga pandangan keduanya kembali bertemu.
Ayyas menghentikan aktivitas membacanya dan menghadap wajahnya ke arah Doktor Anastasia.
"Kenapa Doktor memandangi saya dengan aneh begitu? Ada yang salah dengan saya?"
Doktor Anastasia tergagap mendengar pertanyaan Ayyas. Ia berusaha mengendalikan dirinya.
"Tidak. Saya hanya menyayangkan orang secerdas kamu dan sebaik kamu, tetapi pada akhirnya tidak akan selamat di hari akhir nanti."
Jawab Doktor Anastasia setenang mungkin. Doktor muda itu berusaha keras menenangkan degup jantungnya yang mengencang.
"Apa maksud Doktor?"
Doktor Anastasia kembali tergagap. Ia baru menyadari apa yang telah diucapkannya. Ia terlalu
terbawa oleh perasaan sayangnya kepada Ayyas. Perasaan itu membuat dirinya merasa harus menyelamatkan Ayyas dari kesesatan yang akan berujung kepada kecelakaan di hari pembalasan
kelak. Seharusnya ia tidak mengucapkan kalimat itu, tetapi sudah terlanjur ia ucapkan. Ayyas pasti langsung mengerti apa maksudnya. Ayyas orang yang cerdas.
"Kau cerdas dan baik, sayang kau masih menganut kepercayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebaiknya kau mengikuti jalan keselamatan seperti yang aku ikuti. Maka kau akan selamat dan bahagia." Kata Doktor Anastasia menjelaskan dengan suara agak bergetar. Doktor muda itu sampai tidak percaya bahwa dia berani mengatakan hal itu.
Ayyas tersentak sesaat mendengarnya. Setelah mengambil nafas panjang Ayyas menjawab,
"Terima kasih Doktor sudah memerhatikan saya sedemikian serius, sampai keselamatan saya di hari kemudian pun tidak luput dari perhatian Doktor. Sungguh saya sangat menghormati Doktor.
Saya tidak ingin sedikit pun mengecewakan atau melukai hati Doktor. Tetapi ketahuilah Doktor,
jika agama yang Doktor anut memberikan doktrin bahwa jalan keselamatan itu harus mengikuti
ajaran agama yang Doktor anut. Dan itu yang kini Doktor yakini. Maka saya juga sangat
meyakini, bahwa satu-satunya jalan selamat di dunia dan di akhirat adalah dengan memeluk
Islam.
Dalam pandangan agama saya, maaf, orang seperti Doktor justru termasuk menyekutukan Allah,
termasuk orang yang menghina Allah. Dalam ajaran yang saya yakini, Tuhan itu hanya satu
yaitu Allah. Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Tuhan yang menciptakan manusia. Dialah tempat bergantung yang sesungguhnya. Dia tidak memiliki
anak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada di jagad raya ini yang menyerupainya. Jika Doktor
merasa kasihan kepada saya, saya pun memiliki perasaan yang sama, saya merasa kasihan kepada Doktor.
Orang secerdas Doktor bagaimana bisa meyakini bahwa Tuhan memiliki anak? Anaknya itu berbentuk manusia, yang juga jadi Tuhan. Bagaimana mungkin pakar sejarah secerdas Doktor
masih juga dibohongi oleh para teolog yang sangat dipengaruhi filsafat klasik Yunani, terutama dari mazhab STOA yang pantheitis, menganggap Tuhan dan makhluk merupakan satu kesatuan atau satu substansi, hanya berbeda dalam penglihatan bentuk. Sungguh.saya sangat kasihan kepada Doktor. Tetapi sudahlah, Doktor pasti sangat meyakini kebenaran ajaran agama yang Doktor peluk. Demikian juga saya.
Saya pun sangat meyakini ajaran agama yang saya peluk. Saya akan mempertaruhkan apa saja
yang saya miliki untuk mempertahankan keyakinan saya, termasuk nyawa saya. Sungguh saya rela kalau sampai saya harus kehilangan nyawa saya demi mempertahankan keyakinan Tauhid yang ada di hati saya. Karena itu sebaiknya kita saling menghormati. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku."
Jawaban Ayyas itu membuat Doktor Anastasia tertunduk. Ia sudah menduga Ayyas pasti akan
teguh membela keyakinannya. Ia tidak tahu harus bagaimana meruntuhkan batu karang yang bercokol teguh di hati Ayyas. Yang membuatnya sedikit terhibur adalah, bahwa ia sudah merasa
menyampaikan kebenaran kepada Ayyas.
Sebaliknya Ayyas sebenarnya merasa sangat terkejut melihat betapa beraninya Doktor Anastasia mengatakan hal itu kepadanya. Ia sangat menghormati doktor muda itu. Ia tidak berharap bahwa doktor muda itu akan berpindah keyakinan. Sebab ia yakin, keyakinan yang dipeluk doktor muda itu sudah mengurat akar di dalam jiwa dan pikirannya sejak kecil. Tidak mudah untuk dirubah. Yang jelas, ia sudah menyampaikan apa yang harus ia sampaikan sebagai penyeru di jalan Allah. Ia sudah menyampaikan ajaran Tauhid bahwa Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah. Terserah doktor muda itu mau percaya atau tidak.
Tidak ada paksaan sama sekali dalam memeluk agama Islam. Sebenarnya ia juga tidak ingin
menyampaikan kalimat-kalimat itu kepada Doktor Anastasia. Sebab ia yakin Doktor Anastasia
yang kutu buku itu pasti sudah banyak membaca tentang ajaran Islam. Jadi ia tidak perlu lagi
mengajaknya berislam. Di hari akhir kelak, doctor muda itu akan mempertanggungjawabkan
sendiri kenapa tidak berislam, padahal telah mendengar seruan. Yang membuatnya harus
menyampaikan kalimat-kalimat itu karena Doktor Anastasia yang memulai. Doktor muda itu yang memaksanya untuk memberikan garis tegas yang tidak boleh dilanggar.
"Kalimatmu bagus. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kalimat yang adil, terkandung di
dalamnya rasa menghargai dan toleransi yang tegas." Gumam Doktor Anastasia.
"Itu bukan kalimat saya. Itu cuplikan dari terjemahan sebuah ayat di dalam Al-Quran," jawab
Ayyas tenang.
"O ya? Saya tidak pernah mendengarnya sebelumnya."
"Kalimat itu ada di surat Al-Kaafiruun. Di bagian juz tiga puluh. Bagian agak akhir dalam Al-
Quran."
"O ya?"
"Ya. Benar."
Tiba-tiba ponsel Doktor Anastasia berdering. Ada telpon dari Prof. Dr. Lyudmila Nozdryova,
Guru Besar Ilmu Bedah Jantung Fakultas Kedokteran.
"Doktor Anastasia?" Tanya suara dari seberang, begitu telpon diangkat
"Iya Profesor Lyudmila. Ada apa?"
"Coba lihatlah siaran televisi sekarang. Penting. Kelihatannya ada yang salah di sana. Aku yakin ada yang salah di sana. Mana mungkin, mahasiswa dari Indonesia yang kau bimbing itu yang melakukan pemboman di Metropole Hotel."
"Apa? Siarannya seperti itu?"
"Makanya segera kamu lihat layar televisi."
"Baik."
Anastasia menutup ponselnya dan berpaling kepada Ayyas. "Ayo ikut aku ke tempat Bibi Parlova."
Seru Anastasia kepada Ayyas.
"Ada apa?"
"Cepatlah. Ini penting." Kata Anastasia dengan tegas setengah memaksa.
Anastasia melangkah keluar diikuti Ayyas yang meninggalkan laptopnya yang masih hidup
begitu saja. Tak lama kemudian mereka sampai di ruang kerja Bibi Parlova yang tak lain adalah
dapur kecil yang menempel di gedung itu. Di pojok dapur itu ada televisi kecil yang biasa digunakan Bibi Parlova menonton acara-acara televisi sambil memasak atau meracik makanan.
Bibi Parlova sedang tidak ada di ruangan itu, tetapi pintu ruangan itu terbuka begitu saja.
Anastasia langsung menyalakan televisi dan memutar cannel yang dimaksud oleh Prof. Dr. Lyudmila.
Ayyas masih belum tahu kenapa Anastasia membawanya ke ruangan itu dengan setengah memaksa.
"Ada apa sebenarnya?" Tanya Ayyas.
"Kita lihat siaran tentang pemboman Metropole Hotel. Kata Profesor Lyudmila pemboman itu dikaitkan dengan dirimu."
"Apa maksudnya dikaitkan dengan diriku? Aku tidak paham."
"Makanya kita akan lihat siaran itu. Biar kita tahu apa yang terjadi." Tukas Anastasia sambil
membenarkan antena televisi untuk mencari gambar yang jelas. Setelah jelas ia mundur. Nampak
di layar televisi lobby Hotel Metropole yang porak-poranda. Lalu kamera mengambil midle
close up korban-korban yang tewas dengan tubuh hancur dan muka berdarah-darah. Sang penyiar menjelaskan runtutan kejadian terjadinya pemboman.
Keterangan beberapa saksi mata dihadirkan. Lalu seorang saksi menjelaskan ciri-ciri lelaki yang diyakini membawa bom itu dan meledakkan bom itu. Pihak kepolisian sementara ini menduga
pemboman dilakukan oleh seorang pemuda Muslim Asia Tenggara yang berinisial MA. Pihak
kepolisian mendasarkan dugaannya dari keterangan dua orang saksi mata, dan dari rekaman
kamera hotel. Setelah itu sketsa wajah orang yang diduga sebagai pelaku pemboman dinampakkan. Dan wajah itu mirip sekali dengan Ayyas.
Melihat tayangan itu tubuh Ayyas bergetar. Ia kaget bukan kepalang.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa diriku yang dituduh? Bagaimana mereka mendapatkan
fotoku?" Tanya Ayyas yang diliputi rasa cemas dan bingung.
"Ini jelas ada suatu skenario yang kita tidak tahu. Tetapi kau tenanglah, aku dan Profesor Lyudmila akan menjadi orang yang pertama membelamu. Kau punya alibi yang sangat kuat. Saat
pemboman itu terjadi kau sedang siaran langsung bersamaku. Tidak mungkin kau berada di dua
tempat dalam satu waktu."
Setelah menonton acara itu, Anastasia. Mengajak Ayyas menemui direktur program talk show.
Sebelum menemui direktur program talk show Ayyas mengajak Anastasia ke KBRI untuk
menyampaikan apa yang terjadi. Begitu Ayyas dan Anastasia sampai di sana, Pak Joko menyambut mereka berdua. Pak Joko menemani mereka menghadap Bapak Duta Besar.
"Untung kamu memberitahu KBRI tentang acara talk show itu, sehingga KBRI merekam
acara live itu dan menyimpan rekamannya. KBRI juga telah memberitahu kepada kedutaan Negara-negara Asia Tenggara untuk menonton acaramu.
Bahkan KBRI juga memberitahu kedutaan negara-negara Arab di Moskwa ini untuk menontonnya. KBRI sempat kaget ketika kamu disebut sebagai pelaku pemboman. Padahal saat bom itu meledak kau sedang live di acara talk show "Rusia Berbicara." Kau tidak usah cemas, KBRI sudah mengirim nota protes ke stasiun yang memberitakan dirimu dengan tidak benar. KBRI juga melayangkan nota protes kepada pihak Kementerian Luar Negeri Rusia. Tenanglah seluruh dunia akan membelamu. Sebab, kau memiliki alibi yang seterang matahari di siang bolong."
Bapak Duta Besar menenteramkan Ayyas dengan kata-katanya yang berwibawa dan
meyakinkan. Mendengar penjelasan Bapak Duta Besar, Ayyas merasa senang dan tenang. Ia kini
tidak sendirian. Kini negara Republik Indonesia sepenuhnya berada di belakang dirinya. Dan baru kali ini Ayyas merasa bangga menjadi warga negara Indonesia, lantaran negaranya secara penuh siap membelanya hingga titik darah penghabisan, di forum pengadilan-massa internasional. Baru kali ini ia merasa Indonesia memiliki keberanian luar biasa layaknya negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Perancis.
"Jika sampai dua jam ke depan pihak stasiun yang menuduhmu itu tidak meralat keterangannya,
maka kita akan mengadakan konferensi pers untuk mensomasi dan seterusnya menggugat
stasiun televisi itu secara hukum. KBRI berani menjamin kita yang menang. Apalagi stasiun
yang menyiarkan dirimu talk show dengan live itu bersaing dengan stasiun yang menuduhmu sebagai pelaku pemboman. Jadi stasiun yang mengundangmu acara live akan membela dirimu
mati-matian," tambah Pak Duta Besar meyakinkan.
Setelah itu Ayyas dan Anastasia meluncur ke stasiun yang menyiarkan acara talk show-nya secara live. Direktur Program acara talk show menyatakan siap membela Ayyas mati-matian.
"Kami justru akan menjadikan kecerobohan stasiun saingan kami dengan menuduh Ayyas
seenaknya itu sebagai bumerang yang akan menghantamnya habis-habisan. Kau jangan cemas kawan," kata Direktur Program sambil menepuk pundak Ayyas.
"Terima kasih," lirih Ayyas.
"Kami yang harus berterima kasih kepadamu."

***


Sampai malam tiba, belum ada ralat dari pihak stasiun televisi yang menuduh Ayyas sebagai
pelaku pemboman. Pihak KBRI bergerak dengan cepat. Pihak KBRI mengontak Kementerian Luar Negeri Rusia untuk menandaskan protesnya sekali lagi. Kementerian Luar Negeri Rusia
mengatakan bahwa pihaknya sudah menegur pihak kepolisian dan stasiun televisi tersebut. Hari
berikutnya segalanya akan diurus. Tetapi pihak KBRI tidak bisa menunggu lama, khawatir opini
akan berkembang dengan cepat. Yang dirugikan adalah citra Indonesia. Dengan tegas pihak KBRI akan menggelar konferensi pers sebagai pelurusan berita yang telah berkembang.
Pukul sembilan malam, pihak KBRI mengundang wartawan media cetak dan elektronik terkemuka dan menggelar konferensi pers di auditorium KBRI. Bapak Duta Besar langsung menjadi juru bicara. Setelah itu dihadirkan kesaksian dari Direktur Produksi talk show "Rusia Berbicara". Direktur itu memutar ulang siaran langsung talkshow tersebut. Setelah itu Sang Direktur Program berkata,
"Saat pemboman terjadi, kami masih siaran. Ayyas masih on air di studio. Karena pemboman
itulah siaran kami percepat, dan kami potong di tengah jalan. Jadi menuduh pelaku pemboman itu adalah seorang pemuda Muslim ekstremis asal Indonesia bernama Ayyas adalah sebuah fitnah dan kebohongan publik yang tidak bisa diterima akal sehat. Anda juga silahkan cermati dialog talk show itu, Muhammad Ayyas sangat educated, dan open mind. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sebagai seorang ekstremis. Stasiun televisi yang menuduh Ayyas sebagai pelaku pemboman harus segera minta maaf dan mencabut beritanya. Jika tidak ini akan menjadi bencana besar bagi dunia jurnalistik Rusia. Dunia akan menuduh Rusia tidak mengenal kode etik jurnalistik. Bahkan dunia bisa menuduh dunia jurnalistik Rusia sangat purba dan tidak beretika. Ini sungguh gawat!"
Setelah itu giliran Doktor Anastasia Palazzo memberikan kesaksian dan jaminan bahwa Ayyas
sama sekali jauh dari tuduhan itu. "Semuanya sudah jelas. Siapa pun yang berakal akan menolak tuduhan itu. Apakah mungkin seseorang berada di dua tempat di waktu yang sama?"
Prof. Dr. Lyudmila juga memberikan komentar yang membela Ayyas. "Dia sangat moderat.
Datang ke Moskwa ini sebagai visiting fellow, dibawah persetujuan dan bimbingan Prof. Dr.
Abramov Tomskii, pakar sejarah terkemuka yang dimiliki Rusia. Prof. Dr. Abramov Tomskii tidak sembarangan memberikan rekomendasi. Dari beberapa kali diskusi dengan Ayyas, saya tidak menemukan cara berpikirnya yang mengarah sebagai seorang teroris, samasekali tidak ada.
Pagi tadi saat terjadi pemboman, saya sedang asyik menyaksikan acara talk show yang disiarkan secara live. Ayyas menjadi salah satu narasumber di acara itu. Tidak mungkin dia berada di Metropole Hotel dan melakukan aksi teror itu. Ya, benar kata Doktor Anastasia Palazzo, akal sehat mana pun tidak akan bisa menerima tuduhan itu.
Tidak mungkin Ayyas ada di dua tempat pada saat yang sama. Itu hanya terjadi jika Ayyas
memiliki saudara kembar, dan saudaranya itu ada di sini, dan yang melakukan pengeboman itu
tetap bukan Ayyas tetapi saudara kembarnya Ayyas."
Pagi harinya Moskwa geger oleh berita yang terjadi karena konferensi pers yang diadakan oleh
KBRI. Banyak koran dan media cetak yang mengutuk pemberitaan tidak benar yang dilakukan
oleh stasiun televisi yang menuduh Ayyas melakukan pemboman.
"Teroris Harus Diberantas Tetapi Jangan Menuduh Sembarangan." Demikian headline sebuah
koran ternama di Rusia. Kini opini yang mendukung Ayyas sangat kuat dan besar. Pihak Kementerian Luar Negeri Rusia pun buru-buru meminta maaf kepada Ayyas, KBRI, dan kepada
bangsa Indonesia secara lebih luas, atas tuduhan yang tidak memiliki bukti apa pun yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi Rusia. Pihak kepolisian juga langsung meralat dugaan mereka yang salah.
"Kami mendapat informasi dari sumber yang salah, jadinya dugaan kami pun salah. Kami terlalu tergesa-gesa. Kami mohon maaf. Kami akan segera mencari pelaku pemboman itu dan
menangkapnya, dan kami akan menindak tegas orang-orang kami yang bertindak tidak professional dan tidak akurat."
Demikian juru bicara kepolisian Rusia memberikan keterangan kepada pers. Dengan begitu
Ayyas terbebas dari segala macam tuduhan yang mengancam jiwanya tersebut. Dan Ayyas bisa
melanjutkan aktivitasnya melakukan penelitian dengan tenang di Moskwa. Lewat telpon Ayyas
menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Duta Besar yang sangat perhatian kepada warga
negara Indonesia, terutama kepada kasus yang menimpanya. Dengan penanganan Bapak Duta
Besar yang cepat, masalahnya tidak berlarut dan berkembang ke mana-mana. Ayyas juga
menyampaikan rasa terima kasih, tentu saja kepada Doktor Anastasia Palazzo, Prof. Dr. Lyudmila, dan Direktur Program Talk Show "Rusia Berbicara."
Sementara itu pihak kepolisian Rusia terus bekerja keras. Mereka sesungguhnya sangat malu
pada kecerobohan mereka. Seandainya Ayyas tidak sedang siaran live di acara talk show itu,
polisi masih akan bisa membuat rekayasa dan memaksakan opininya. Tetapi alibi Ayyas terlalu
kuat. Jika tetap dipaksakan Ayyas sebagai pelakunya, maka pihak kepolisian akan dituduh sebagai kumpulan orang-orang paling pandir di Rusia.
Bahkan pihak kepolisian tidak memiliki bukti sama sekali untuk mengaitkan Muhammad Ayyas
dengan jaringan teroris. Informasi yang diterima pihak kepolisian, bahwa di tempat tinggal Ayyas ada bahan-bahan peledak yang siap dirakit juga tidak benar. Polisi sudah memeriksa kamar Ayyas di apartemen tua di daerah Panvilovsky Pereulok, dan polisi tidak menemukan benda apa pun yang mencurigakan. Kamar itu kini dihuni seorang nenek tua bernama Margareta. Dan nenek tua itu memberikan kesaksian yang justru menguntungkan Ayyas. Nenek tua itu mengatakan, Ayyas adalah anak muda yang baik budi pekertinya. Yelena yang juga tinggal di rumah itu juga mengatakan, tidak mungkin Ayyas yang melakukan pemboman yang biadab itu.
"Saya tahu persis siapa Ayyas. Dia orang baik, saya berani menjamin. Dia tidak mungkin berbuat
sekejam itu. Tidak mungkin. Siaran di televise yang menuduh Ayyas itu sungguh ceroboh." Kata Yelena kepada penyidik dari kepolisian Rusia.
Setelah tidak menemukan bukti apa pun di bekas tempat tinggal Ayyas, maka pihak kepolisian
tidak ada jalan untuk selamat, kecuali harus tegas berani minta maaf kepada publik dan kepada
Ayyas khususnya. Pihak stasiun yang menuduh Ayyas juga segera menyiarkan permohonan maaf atas pemberitaannya yang tidak akurat.
"Khusus untuk kasus ini, karena kami panik dan tidak bisa menerima adanya teror di Moskwa
ini, sampai kami kurang teliti melakukan analisis. Kami menerima berita yang sangat mentah dan tidak akurat yang itu datang dari pihak kepolisian. Karena pihak kepolisian sudah mencabut
dugaannya, maka tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mencabutnya. Kami minta maaf atas pemberitaan yang tidak nyaman ini.
Khususnya bagi pemuda Indonesia yang sedang menjadi visiting fellow di MGU bernama
Muhammad Ayyas. Kami juga minta maaf kepada Bangsa Indonesia. Semoga kejadian kecil ini tidak memengaruhi persahabatan kedua bangsa besar ini, yaitu Rusia dan Indonesia."
Demikian juru bicara pihak stasiun televisi itu menyampaikan permohonan maafnya. Kini Ayyas benar-benar bisa bernafas lega. Malam itu Ayyas bisa tidur dengan tenang dan nyaman di kamarnya yang sederhana, di Aptekarsky Pereulok yang berada di kawasan Baumanskaya.
Sebelum tidur Ayyas menyempatkan diri untuk rukuk dan sujud kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ayyas menutup ibadahnya malam itu sebelum tidur dengan shalat Witir.. Ayyas sangat yakin yang menyelamatkannya dari marabahaya sesungguhnya adalah Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Yang masih mengganjal di kepalanya adalah ada skenario dan rekayasa apa sebenarnya di balik
pengeboman itu. Siapa sebenarnya pelaku dan dalang pengeboman itu? Kenapa orang Indonesia
yang sengaja diopinikan sebagai pelaku pengeboman itu? Dan orang Indonesia yang dituduh itu
adalah dirinya, kenapa dirinya?
Mereka membuat rekayasa, tetapi rekayasa Allah mengatasi segalanya.

***

Tiga hari berlalu sejak Madame Ekaterina membeberkan semua rahasia Linor. Sejak itu Linor bergulat dengan batin dan jiwanya sendiri. Pikirannya masih menginginkan dirinya menjadi orang Yahudi, bahkan menjadi agen Zionis.
Darahnya sesungguhnya memang bukan darah Yahudi, tetapi tidak ada yang tahu itu kecuali
Madame Ekaterina yang selama ini ia anggap sebagai ibu kandungnya. Bahkan Ben Solomon atasannya sangat membanggakan dirinya sebagai gadis Yahudi tulen yang berprestasi bagi Zionis Israel. Ben Solomon sampai menginginkan agar dirinya nanti menikah dengan putra sulungnya yang kini menjadi tentara Israel dan bertugas di daratan Sinai, tepatnya di perbatasan Gaza.
Akan tetapi nuraninya yang paling dalam mengingkari segala yang ia pikirkan. Nuraninya terus mengajaknya untuk menjadi anak perempuan yang mengandung dan melahirkannya, yaitu menjadi perempuan Palestina. Sebab dia adalah keturunan orang Palestina yang tulen.
Darah yang mengalir dalam tubuhnya sesungguhnya adalah darah Palestina. Dan perempuan
yang menjadi sebab dirinya hadir di dunia adalah Salma Abdul Aziz, perempuan Palestina. Dan wajah perempuan Palestina itu begitu mirip dirinya.
Ya, wajah Salma Abdul Aziz, ibu kandungnya, begitu mirip dirinya. Airmata Linor meleleh setiap kali mengingat wajah itu, dan setiap kali mengingat kematiannya yang tragis dan
menyedihkan. Yang robek perutnya dan hancur dadanya, dan yang pakaiannya terkoyak-koyak
itu adalah ibu kandungnya. Ibunya mati beberapa hari setelah melahirkannya karena dibantai oleh Zionis Israel melalui tangan milisi Falangis dalam pembantaian Sabra dan Shatila.
Sejak ada di Ukraina, Linor tidak melakukan kontak dengan markas agen di Moskwa. Ia masih
bergulat dengan dirinya sendiri. Linor tahu bahwa telah ada peristiwa besar di Moskwa. Lewat
siaran televisi ia tahu, Metropole Hotel telah dibom, dan seperti skenario yang disepakati para
agen zionis, Ayyaslah yang akan dijadikan kambing hitam. Ternyata skenario itu gagal. Di saat
bom meletus, Ayyas sedang siaran live di sebuah stasiun televisi, jadi tidak mungkin bahwa dia
pelakunya. Pihak kepolisian, Kementerian Luar Negeri Rusia dan pihak stasiun televisi yang
menduga Ayyas sebagai pelaku pemboman sudah meminta maaf dan mencabut dugaan tak berdasar itu.
Linor tahu, para agen Zionis di Rusia dan di Eropa Timur kini sedang mencari dirinya. Sebab,
kesalahan itu ada pada dirinya. Mereka pasti menyalahkan dirinya kenapa sampai tidak tahu
bahwa di jam yang sama dengan rencana peledakan, Ayyas ada acara siaran live. Mereka
juga pasti menyalahkan dirinya, kenapa tas ransel berisi bahan peledak itu tidak ditemukan di
kamar Ayyas. Linor sendiri tidak tahu kenapa bisa gagal. Sebenarnya ia sendiri penasaran, apa
yang sedang terjadi di apartemennya di Panvilosky Pereulok. Bagaimana tas ransel itu tidak
ditemukan di kamar Ayyas? Apakah Ayyas mengetahui ada benda aneh di kamarnya dan membuangnya? Atau para polisi itu yang bodoh yang tidak bisa menemukan tas itu di bawah kolong tempat tidur Ayyas?
Ia jarang gagal. Tetapi kali ini gagal. Biasanya ia sangat sedih ketika gagal. Kali ini justru ia agak bahagia ketika gagal. Bahagia karena Ayyas tidak jadi celaka karena perbuatannya.
Linor memprediksi satu minggu ke depan keberadaannya akan diketahui oleh Ben Solomon. Maka ia harus melakukan sesuatu kalau memang tidak ingin lagi bergabung dengan agen Zionis.
Linor memerlukan satu hari lagi untuk berpikir. Ia masih bimbang antara tetap beridentitas
Yahudi meskipun sesungguhnya dirinya bukan Yahudi, atau menanggalkan identitas Yahudi
yang melekat pada dirinya selama ini dan bergabung dengan ibu kandungnya, yaitu menjadi
perempuan Palestina.
Siang itu sebelum makan siang, Linor masuk ke kamar Madame Ekaterina. Diam-diam dan
tanpa mengetuk pintu seperti biasanya. Ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba ingin memasuki
kamar orang yang selama ini ia anggap sebagai ibunya sendiri itu. Ia hanya ingin membuka almari besar, dan mengambil buku dari koper tua milik Madame Ekaterina. Buku yang dipegang
oleh Madame Ekaterina ketika memperlihatkan foto Salma Abdul Aziz yang mirip dirinya. Ia
berharap dari buku itu ia mendapatkan informasi lebih tentang ibu kandungnya.
Linor menyelinap masuk. Ia berharap ibunya sedang tidur. Ternyata dugaannya meleset. Ia melihat Madame Ekaterina sedang tersungkur sujud di atas selembar kain. Linor kaget bukan kepalang.
Madame Ekaterina melakukan ritual ibadah seperti orang-orang Islam. Linor berdiri mematung
di tempatnya. Kakinya seperti terpajang diatas lantai tidak bisa digerakkan. Madame Ekaterina
kini duduk dengan khusyuk. Kedua matanya tertuju ke tempat dia sujud. Tangan kanannya
memberi isyarat dengan mengacungkan jari telunjuknya. Bibirnya bergetar melafalkan tahiyyat dan syahadat. Beberapa detik kemudian Madame Ekaterina menengok ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam.
Linor masih berdiri mematung di depan pintu. Selain kaget ia dicekam pelbagai perasaan yang
menyerang kesadarannya. Ada perasaan marah dan cemburu, seolah ia belum rela melihat Madame Ekaterina melakukan ritual ibadah seperti orang Islam. Juga ada perasaan penasaran,
apakah orang yang selama ini ia anggap sebagai ibunya sendiri itu masih dalam taraf coba-coba
atau telah benar-benar menjadi penganut Islam.
Kalau benar telah menjadi penganut Islam, sejak kapan itu terjadi. Ada juga perasaan yang aneh
yang tiba-tiba menyusup ke dalam dadanya, yaitu perasaan haru. Ia yakin ibu kandungnya
adalah seorang penganut Islam, dan Madame Ekaterina melakukan 'ritual ibadah orang Islam
itu, mungkin karena rasa sayang dan cinta kepada ibu kandungnya, yaitu Salma Abdul Aziz.’
Alangkah kuat ikatan persahabatan keduanya.
Selesai shalat Madame Ekaterina membaca zikir kemudian mengangkat kedua tangannya dan
berdoa kepada Allah. Dengan mata meleleh, Madame Ekaterina meminta kepada Allah agar menurunkan hidayah kepada orang yang sangat disayanginya yaitu Linor. Ia menangis kepada
Allah agar Linor dikembalikan kepada fitrahnya, yaitu menjadi seorang Muslimah seperti ibu kandungnya. Madame Ekaterina merasa hanya dengan kekuatan doa ia bisa berikhtiar, hanya kepada Allah ia mengadu dan memohon pertolongan.
Sesaat lamanya Madame Ekaterina menangis tersedu-sedu. Dan Linor tetap tidak beranjak dari
tempatnya. Mendengar tangis Madame Ekaterina, Linor merasa ada sesuatu yang menyusup halus ke dalam nuraninya. Entah kenapa ia tiba-tiba dicekam rasa haru. Mata lalu berkaca-kaca dan airmatanya tak kuasa ia tahan. Akhirnya meleleh dan tumpah.
Selesai menangis kepada Allah, Madame Ekaterina berdiri dan membalikkan tubuhnya.
Alangkah terkejutnya Madame Ekaterina, ketika melihat Linor berdiri mematung dengan airmata
meleleh.
"Kau melihat aku shalat, Anakku?" Tanya Madame Ekaterina dengan suara parau dan tubuh
bergetar.
Linor menganggukkan kepala.
"Ya memang sudah saatnya kau mengetahuinya. Kini kau sudah tahu, bahwa aku adalah
seorang Muslimah. Aku sudah menanggalkan agama Yahudiku dan sudah menjadi pengikut
Nabi paling mulia yaitu Muhammad Saw. Apakah kau marah atau kecewa mengetahui Mamamu ini telah pindah agama?"
Linor tidak menjawab. Ia hanya diam mematung. Airmatanya terus meleleh.
"Sejak kapan Mama berpindah agama?" Tanya Linor dengan dada bergetar.
"Sudah lama. Kira-kira satu tahun sebelum Eber Jelinek meninggal dunia."
"Apakah dia tahu kalau Mama sudah menjadi seorang penganut Islam?"
"Tentu saja tidak. Dia tidak boleh tahu. Mama menyembunyikan keislaman Mama darinya. Kalau dia tahu mungkin Mama lebih dulu meninggal dunia. Dan Mama tidak akan memiliki
kesempatan untuk menjelaskan sejarah ibu kandungmu yang sebenarnya."
"Kenapa Mama sampai memilih memeluk Islam?"
"Bacalah riwayat Maryam Jameela. Kira-kira penyebab keislaman Mama hampir sama dengan
Maryam Jameela."
"Siapa itu Maryam Jameela?"
"Kau telah mendapat pendidikan untuk menelusuri data seseorang sampai ke akar-akarnya. Tidak susah bagimu untuk mengetahui siapa Maryam Jameela. Mama tidak perlu menjelaskannya kepadamu."
"Baiklah Linor akan mencari data perempuan itu."
"Linor, Anakku."
"Iya, Mama."
"Apakah kau marah, Mama masuk Islam?"
"Linor tidak tahu Mama. Linor akan mencari tahu kenapa Maryam Jameela masuk Islam, baru
Linor akan bisa berpikir lebih baik, apakah keputusan Mama itu masuk akal ataukah tidak."
"Ketahuilah Linor, Salma Abdul Aziz, ibu kandungmu adalah seorang Muslimah."
"Linor sudah menduga, sebab dia adalah perempuan Palestina."
"Apa kau tidak tertarik mengikuti jejak ibu kandungmu?"
"Linor tidak tahu Mama."
"Sungguh akan lengkap kebahagiaan Mama jika kau mengikuti jejak ibu kandungmu. Mama yakin jika ibu kandungmu masih hidup dan kau diasuh oleh ibu kandungmu, kemungkinan besar
kau akan menjadi seorang Muslimah yang tangguh, layaknya Muslimah Palestina yang menyerahkan seluruh umurnya untuk berjuang di jalan Allah."
"Tuhan pasti punya rencana untuk Linor sehingga Linor kehilangan ibu kandung sejak kecil
dan Linor jadi seperti ini. Terus terang saat ini Linor sedang di persimpangan jalan. Berilah
kesempatan bagi Linor untuk berpikir menentukan arah hidup Linor. Dan Linor minta Mama
tidak usah bersedih atau merasa berdosa, jika ternyata Linor tidak mengikuti jalan hidup Mama
atau jalan hidup ibu kandung Linor."
"Mama akan berdoa semoga Allah menunjukkan jalan terbaik untukmu, Anakku."

***


Sejak itu Linor rajin mencari informasi tentang Islam di internet. Ia juga terus mencari data dalam versi yang berbeda tentang Palestina. Ia membaca artikel-artikel tentang Palestina yang
ditulis oleh sarjana Muslim. Linor berusaha untuk membuka pikirannya lebih luas, tidak terbatas
pada doktrin yang ditanamkan oleh sekte Yahudi Gush Emunim yang sangat radikal.
Linor akhirnya mendapatkan data yang lengkap tentang Maryam Jameela. Ia membaca dengan detil kenapa ia memilih Islam dan meninggalkan agama Yahudinya. Linor cukup mendapat pencerahan dari membaca surat menyurat Maryam Jameela dengan Abui A'la Al-Maududi. Linor tidak hanya membatasi membaca biografi Maryam Jameela, ia juga membaca biografi para limuwan dan pemikir yang memeluk Islam justru di puncak karier ilmiah mereka, seperti Dr. Keith L. Moore, Dr. Gary Miller, Dr. Roger Garaudy, Dr. Murod Hofmann, dr. Maurice Bucaille, Dr. Jefery Lang. Dan yang paling menarik baginya adalah pengalaman seorang
Yvonne Ridley, wartawan Sunday Express, koran terbitan Inggris.
Yvonne Ridley pada bulan September 2001 diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afghanistan untuk melakukan tugas jurnalistik. Ia menuturkan pengalamannya di Afghanistan saat ditangkap Taliban yang justru membuatnya masuk Islam, bahkan menyebutnya sebagai keluarga terbesar dan terbaik di dunia.
Yvonne ternyata mendapatkan kesan yang berbeda tentang orang-orang Islam yang selama ini dituding sebagai sumber kekacauan dunia oleh Amerika. Yvonne menemukan penghormatan yang tulus dari orang-orang Taliban yang menahannya, yang awalnya ia sudah berburuk sangka pasti akan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Ternyata kenyataan yang dialaminya sungguh berbeda dari purba sangkanya.
Linor mencari data lebih lengkap tentang Yvonne Ridley, Linor mendapati kalimat Yvonne
yang menyentak dadanya,
"Aku luluh dengan apa yang kubaca. Tak ada satu pun yang berubah dari isi kitab ini, tak satu
titik pun, sejak 1400 tahun yang lalu. Aku bergabung dengan apa yang kuanggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini. Kalau kami bersatu, kami betul-betul tak
tertahankan."
Di tempat yang lain, Yvonne mengakui Islam sangat memuliakan perempuan, jauh dari anggapan yang dipublikasikan di dunia Barat yang mencitrakan Islam sebagai agama yang menindas kaum perempuan. Yvonne Ridley mengatakan,
"Islam ternyata memanjakan perempuan. Perempuan tak perlu dipaksa bekerja agar dapat
mendidik anak-anaknya, agar terhindar dari minum-minuman keras, pornografi, dan hal-hal
lain yang dapat menghambat pertumbuhan remaja seperti yang tengah dikhawatirkan pemerintah
Inggris. Bahkan ditegaskan di dalam Islam, perempuan merupakan tiang negara dan sesungguhnya surga berada di bawah telapak kaki ibu.
Memang ada perempuan-perempuan tertindas di negara-negara Muslim, tapi perempuan-perempuan tertindas juga ada di tepi jalan di Tyneside, Inggris. Penindasan itu berasal dari kultur, bukan dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa perempuan itu setara dengan kaum laki-laki.
Melalui tulisan tentang isu-isu kultural seperti pernikahan di bawah umur, praktik sunat terhadap
perempuan, pembunuhan atas nama kehormatan keluarga, dan kawin paksa, mereka salah
menilai ajaran Islam dengan aspek kultural para pemeluk agama Islam. Lebih buruk lagi, Arab Saudi mereka jadikan contoh sebuah negeri Muslim, dimana kaum perempuan dipinggirkan karena di sana perempuan dilarang menyetir. Isu-isu di atas tak ada hubungannya dengan Islam,
tapi kebanyakan orang Barat masih menulis dan membicarakan tentang hal-hal semacam itu
dengan nada angkuh dan sok kuasa seraya menyalah-nyalahkan Islam. Padahal, ada beda
mendasar antara tingkah laku kultural dan ajaran Islam."
Kemudian mengenai tuduhan bahwa Islam mengizinkan laki-laki memukul istri mereka,
Yvonne mengatakan bahwa itu tidak benar. Orang-orang yang senang mengkritik Islam tentu
mendasari anggapan itu dengan mengutip Al-Quran dan hadis secara acak, tapi biasanya dikutip
di luar konteksnya. Dalam Islam, jika seorang laki-laki menyentuh istrinya, ia tak diizinkan
meninggalkan bekas apa pun di tubuhnya. Ini sebenarnya cara lain Al-Quran mengatakan, Jangan kau pukul istrimu, tolol!
Linor mendapatkan keterangan yang indah tentang Islam, tetapi Linor seperti biasa ia tidak
mau memercayainya begitu saja. Ia bahkan tidak akan percaya begitu saja pada obyektivitas
wartawan kelas dunia dari Sunday Express sekelas Yvonne Ridley. Linor memutuskan untuk
mempelajari sendiri ajaran Islam, baru nanti ia bisa memutuskan langkah hidupnya.
Keputusannya untuk mengkaji Islam membuatnya harus memutus rantai komunikasi dengan para agen Zionis. Jika tidak, maka nyawanya dan nyawa Madame Ekaterina berada di ujung tanduk, bisa melayang kapan saja. Ia akan terus diburu oleh agen Mosad sampai ujung dunia.
Maka suatu hari, ia menyamar dan duduk di sebuah kawasan paling ramai di kota Kiev. Linor
mencari seseorang yang ia anggap paling mirip dengan dirinya, atau paling tidak mendekati
serupa dengan ciri-ciri fisik dirinya. Hari pertama ia tidak mendapatkan targetnya. Juga pada hari
kedua. Pada hari ketiga, ia menemukan targetnya. Seorang gadis yang kelihatannya masih berada dibangku kuliah. Linor mengikuti gadis itu diam-diam sampai ia masuk ke dalam apartemennya di pinggir utara kota Kiev.
Dengan kesabaran luar biasa, Linor menunggu gadis itu sampai keluar lagi dari apartemennya, ia
terus mengikutinya. Gadis itu ternyata bekerja di sebuah toko sepatu sebagai penjaga toko. Linor
terus mengawasi sampai akhirnya tahu aktivitas harian gadis itu. Nalurinya sebagai agen rahasia
Mosad masih tertanam kuat. Demikian juga jiwa kejamnya.
Akhirnya pada suatu senja, saat gadis itu berjalan sendirian di sebuah jalan sepi dekat toko
sepatunya, Linor melumpuhkan gadis itu dengan cepat, lalu memasukkan ke dalam mobil sedan
yang ia sewa dengan sangat cepat dan tenang. Linor membawa gadis itu ke sebuah villa yang ia sewa di tepi sungai Dnipro. Setelah mengambil segala identitas gadis itu dan setelah mengganti pakaian gadis itu dengan pakaian yang biasa ia pakai kalau rapat dengan Ben Solomon, Linor menembak gadis itu dengan tiga tembakan.
Dua di dada dan satu di keningnya. Linor menembaknya dari jarak enam meter.
Gadis itu tergeletak begitu saja di lantai ruang tengah villa itu. Darahnya mengaliri lantai
marmernya yang licin.
Linor lalu meletakkan barang-barangnya termasuk dua paspornya di salah satu kamar villa
itu. Linor telah merencanakan operasinya itu dengan sangat detil. Dan ia meninggalkan villa itu tanpa ada seorang pun yang mengetahui.
Hari berikutnya beberapa media nasional Ukraina memberitakan tewasnya seorang gadis muda berkebangsaan Rusia bernama Linor di sebuah villa di tepi sungai Dnipro. Motif pembunuhan
belum bisa dipastikan oleh pihak kepolisian.
Hanya saja pihak kepolisian menduga bahwa gadis itu adalah seorang pelacur kelas atas.
Sebab villa itu biasa disewa oleh pelacur berkelas. Dan ada satu media yang menganalisis bahwa gadis yang mati ditembak itu adalah seorang agen intelijen yang menyamar sebagai pelacur.
Meskipun belum yakin betul operasinya itu bisa meyakinkan agen Mosad bahwa dirinya telah
mati. Akan tetapi paling tidak ia merasa tujuh puluh persen operasinya itu bisa menjamin keleluasaan geraknya di beberapa kota besar Eropa.
Untuk sementara ia tidak akan memasuki Rusia. Ia akan memasuki Rusia setelah merasa dirinya
benar-benar telah dianggap sirna di muka bumi ini, meskipun itu tidak mudah.
Setelah melakukan operasi itu ia menemui Madame Ekaterina dan mohon pamit untuk mengkaji Islam lebih dalam. Untuk itu ia akan pergi ke Berlin. Dari data yang ia peroleh di internet ada komunitas Muslim cukup kuat di Jerman, termasuk di kota Berlin. Ia merasa Berlin adalah tempat yang cukup aman baginya untuk menyembunyikan identitasnya. Ketika ia mengemukakan niatnya ke Berlin, Madame Ekaterina memberinya sebuah nama untuk dikunjungi. Sebuah keluarga Turki-Syiria yang sudah lama menetap di Berlin.
"Mereka adalah teman baik Mama di London. Mereka Muslim yang taat dan baik. Mama minta
kau jujurlah pada mereka. Insya Allah mereka akan sangat menyukaimu." Ujar Madame Ekaterina saat melepas Linor di depan pintu apartemen.
Dengan menggunakan kereta Linor pergi meninggalkan Kiev menuju Berlin. Identitas yang ia
pakai adalah identitas seorang gadis berkebangsaan Belarusia bernama Sofia Corsova. Di dalam
kereta Linor duduk di samping seorang lelaki setengah baya yang membaca koran Pravda.
Linor menduga lelaki itu berasal dari Rusia. Selesai membaca koran lelaki itu lalu tidur dengan
nyenyaknya sampai mendengkur. Koran Pravda yang dipangku lelaki itu jatuh ke lantai. Linor
tidak bisa menahan untuk tidak mengambil Koran itu.
Tanpa berpikir panjang Linor memungut Koran Pravda itu dan membacanya dengan seksama.
Mulanya ia agak kecewa bahwa koran itu sudah kadaluarsa tiga hari. Tetapi Linor tetap saja
membacanya sambil mendengarkan dengkuran lelaki setengah baya itu.
Di halaman lima Linor tersentak. Ada peristiwa yang kembali mengguncang Moskwa. Dua geng Mafia terlibat dalam perang terbuka.
Dengan kekuatan penuh geng Voykovskaya Bratva yang dipimpin Boris Melnikov menyerang
markas geng Tushinskaya Bratva yang dipimpin oleh Vladimir Nikolayenko yang tak lain adalah suami Olga Nikolayenko. Terjadi kekacauan di jantung kota Moskwa. Enam orang tewas dalam pertikaian berdarah itu, termasuk dua pimpinan geng yaitu Boris Melnikov yang jantungnya robek tertembus peluru dan Vladimir Nikolayenko yang kepalanya pecah dihantam tiga peluru AK 47. Olga Nikolayenko, istri Vladimir Nikolayenko, luka parah dan kemungkinan cacat seumur hidup.
Linor tersenyum dingin, rencananya berhasil seratus persen kali ini. Ia membayangkan bahwa
Yelena dan Bibi Margareta pasti sedang bahagia di Moskwa sana. Yelena pasti merasa telah
merdeka dari cengkeraman Olga Nikolayenko dan Vladimir Nikolayenko. Jika Yelena konsisten
dengan yang diucapkannya, maka Yelena akan memulai lembaran hidup baru dan meninggalkan
dunia pelacuran yang selama ini menjeratnya. Ia senang jika itu terjadi pada Yelena.
Kereta terus berjalan, dan Linor mulai mengantuk. Ia meletakkan koran Pravda dipangkuan lelaki setengah baya itu. Dari jendela Linor melihat ada salju yang mulai mencair. Pohon-pohon cemara bergoyang tertiup angin. Sesekali nampak hamparan kebun-kebun gandum yang telah tertutup salju.
Linor akhirnya terlelap. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi ibunya, Salma Abdul Aziz.
Ibunya nampak begitu cantik, anggun dan memesona. Sementara dirinya kusut, wajahnya bopeng menjijikkan, kulitnya penuh nanah dan mengeluarkan lendir yang sangat anyir baunya.
Dengan sabar ibunya menuntunnya menuju sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Telaga itu
dijaga oleh orang-orang suci yang bercahaya.
Ketika ia dan ibunya mendekat, seorang penjaga meminta agar Linor dijauhkan dari telaga. Ibunya sampai menangis meminta agar anaknya diizinkan disiram dengan air telaga itu agar luka-lukanya sembuh. Tetapi tetap saja penjaga telaga itu tidak memberi izin.
Akhirnya ibu kandungnya itu berkata kepada Linor dengan berderai airmata,
"Anakku, sesungguhnya yang kini nempel di tubuhmu adalah amal perbuatanmu sendiri. Kau
sendiri yang harus membersihkannya dengan amal saleh. Tubuhmu akan benar-benar suci dan
bersih, jika kau membersihkannya minimal lima kali sehari. Sujudlah kepada Allah lima kali sehari, maka Allah akan menyayangimu dan melimpahkan rahmat dan kesejahteraan kepadamu
di dunia dan di akhirat. Dan jika kau sudah bisa sujud lima kali sehari carilah pendamping hidup
yang memiliki keteguhan iman mirip Yusuf alazhissalam"
Setelah itu ibunya pergi. Linor terbangun dari mimpinya. Hari masih siang. Kereta melaju
menyibak kabut dan sesekali bergoyang. Linor meraba wajahnya. Masih halus. Ia lihat kedua
tangannya masih halus. Meski demikian wajahnya nampak pucat. Ia sangat ketakutan dengan
mimpi yang baru saja dialaminya. Ia sungguh takur memiliki wajah dan tubuh seburuk itu.
Linor terus merenungkan mimpi yang dialaminya.
Mimpi itu seperti nyata. Ada satu hal yang membuat hatinya merasakan kebahagiaan yang
belum pernah ia rasakan sebelumnya, ibunya begitu sangat mencintai dan menyayanginya. Tangis ibunya yang penuh cinta kepada dirinya, apa pun keadaan dirinya, benar-benar membuat hatinya bergetar. Entah kenapa mata Linor tiba-tiba berkaca-kaca. Ia merasakan 'kerinduan untuk bertemu dengan ibu kandungnya. Dan karena ia tahu, ibu kandungnya telah gugur dalam pembantaian Sabra dan Shatila, maka airmatanya semakin deras meleleh.
Kereta terus berjalan menembus udara musim dingin. Rasa haru dan rindu kepada ibu
kandungnya hadir begitu saja seolah berhembus menembus dada Linor sampai relung hati paling
dalam. Airmatanya terus melelah tanpa bisa ditahan.
Kereta terus berjalan membawa seribu kisah hidup para penumpangnya. Ada yang bahagia, ada yang sedang berduka. Ada yang dadanya dipenuhi kemantapan, dan ada yang hanya berisi
kebimbangan. Kereta terus berjalan tak peduli apa, sedang terjadi dalam jiwa para penumpangnya.
Kereta hanya mengantarkan sampai pada stasiun tujuan, perjalanan selanjutnya para
penumpangnyalah yang memutuskan.

***


Tidak terasa sudah dua bulan lebih Ayyas tinggal di Aptekarsky Pereulok. Sejak tinggal di
Aptekarsky itulah Ayyas bisa merasakan kenyamanan hidup di Moskwa. Ia bisa merasakan
indahnya salju yang turun, atau pohon-pohon bereozka yang bergoyang mengagungkan asma Allah. Ia juga benar-benar menikmati hangatnya minum teh sambil membaca buku di sofa tanpa khawatir melihat aurat perempuan.
Bersama Pak Joko yang rajin puasa sunnah, Ayyas benar-benar bisa hidup tenang dalam suasana
penuh keimanan dan kedekatan dengan Sang Khalik. Di dalam apartemen tua yang sederhana
di Aptekarsky, tak ada lagi godaan perempuan yang sedemikian dekatnya seperti saat tinggal
bersama Linor dan Yelena.
Di Aptekarsky ia merasa lebih nyaman. Bersama Pak Joko ia saling menolong dalam kebaikan
dan kesabaran. Shalat terjaga tepat pada waktunya. Setiap malam selalu bangun dan shalat
Tahajud bersama. Dan selesai shalat Subuh ia mengaji hadis-hadis Nabi bersama Pak Joko yang
haus agama memang meminta dijelaskan satu hadis dari kumpulan hadis Arbdin Nawaivi setiap
pagi.
Tak terasa hadis Arba'in Nawawi sudah dikhatamkan. Dan kini Ayyas menjelaskan hadis-hadis
yang ia pilih dari kitab Riyadhush Shalihin.
Ayyas tidak membawa kitab hadis itu tetapi file kitab itu ada di dalam laptopnya bersama dengan
ribuan kitab penting lainnya. Ketika menjelaskan satu hadis, Ayyas membacanya lewat laptop. Kitab itu sudah tersimpan dalam bentuk digital, bukan lagi tertulis di dalam lembaran kertas.
Ayyas tidak lagi merasa asing di Moskwa. Ia seolah telah menjadi penduduk kota Moskwa yang sibuk dengan urusannya tanpa tekanan dari siapapun juga. Ayyas sibuk dengan kegiatannya siang dan malam, baik kegiatan untuk dirinya maupun untuk orang lain. Musim dingin tidak lagi ia rasakan sebagai penghalang untuk melakukan aktivitas yang luas.
Siang hari Ayyas lebih suka mengadakan penelitian di perpustakaan negara, meskipun sesekali
tetap ke kampus MG U dan berdiskusi seperlunya dengan Doktor Anastasia Palazzo. Tak jarang Ayyas ada di masjid Prospek Mira berdiskusi dengan Imam Hasan Sadulayev tentang banyak masalah. Dari Imam Hasan Sadulayev ia banyak mendapatkan data-data penting tentang kehidupan umat Islam yang tidak ia temukan di perpustakan juga tidak ia dapatkan ketika berdiskusi dengan Doktor Anastasia. Kini, Ayyas jauh lebih merasa tenang dan tenteram dibandingkan ketika hidup satu rumah dengan Linor dan Yelena di Smolenskaya.
Yang lebih membuat Ayyas semakin kerasan tinggal di Moskwa, kini Ayyas merasa menemukan sesuatu yang membahagiakan hatinya. Bahwa ternyata di ibu kota Rusia yang berpenduduk dua
belas juta jiwa, lebih dari satu juta penduduknya adalah Muslim. Siapa tahu bahwa di kota yang
pernah menjadi pusat kaum komunis itu ada hamba-hamba Allah yang masih memegang teguh
kalimat syahadat.
Dari satu juta lebih itu separonya berasal dari suku bangsa Tatar yang telah berabad-abad bermukim di Moskwa. Selebihnya adalah para pendatang dari selatan yang rata-rata pedagang
dan buruh kasar, menambah banyak komunitas Muslim Moskwa. Mereka adalah suku bangsa
dari Asia Tengah dan Kausasus. Suku bangsa dari Asia Tengah meliputi Kazakh, Uzbek, Kirgiz,
Turkmen dan Tajik. Sedangkan dari Kausasus meliputi Chechnya, Ingusetia, Dagestan, dan
Azerbaijan. Mereka dengan mudah dijumpai dipasar-pasar tradisional seperti Donilovsi, Kievskaya, dan Tyopli Stan.
Ayyas mengenal baik beberapa di antara mereka. Selain Imam Hasan Sadulayev, salah satu kenalan Ayyas yang langsung terasa akrab bagai keluarga sendiri adalah keluarga Aliyev dari Chechnya. Mereka tinggal di gedung sebelah. Aliyev sudah berumur enam puluh tahun lebih,
tetapi masih kelihatan segar dan tidak ada tanda-tanda pikun. Aliyev tinggal bersama istrinya
yang juga sudah tua bernama, Zenab dan dua orang cucunya yang sudah yatim piatu bernama Shamil dan Sarah.
Shamil berumur kira-kira dua belas tahun, sedangkan Sarah berumur kira-kira Sembilan tahun. Mereka berdua sudah yatim piatu. Kedua orangtua Shamil dan Sarah gugur saat Rusia membumi hanguskan kota Grozni, ibu kota Chechnya.
"Rumah kami di Grozni sudah hancur lebur. Karenanya kami mengadu nasib ke sini." Kata
Aliyev suatu ketika kepada Ayyas.
Mendengar perkataan itu Ayyas sebenarnya ingin bertanya kenapa memilih mengadu nasib di Moskwa, kenapa tidak memilih tempat lain yang lebih ramah kepada kaum Muslimin, tetapi Ayyas urung menanyakan. Ia khawatir kalau pertanyaannya itu menyinggung perasaan Aliyev. Ia percaya, Aliyev pasti sudah memiliki pertimbangan yang matang.
Ayyas mengenal keluarga Aliyev sejak awal-awal tinggal di Aptekarsky. Pakjokolah yang
mengenalkan. Pak Joko minta agar Ayyas sedikit memberikan sentuhan kepada keluarga Aliyev.
"Meskipun mengaku Islam dan berakar keluarga Islam, tetapi mereka tidak bisa membaca Al-
Quran. Mereka bahkan belum mengerjakan shalat lengkap lima kali sehari. Ajarilah mereka membaca Al-Quran dan cara beribadah yang benar."
Kata Pak Joko selesai mengunjungi keluarga Aliyev bersama Ayyas. Saat itu adalah hari kedua
Ayyas tinggal bersama Pak Joko. Keluarga Aliyev adalah tetangga Pak Joko yang dekat secara
emosional.
Sejak itu Ayyas dekat dengan mereka. Shamil dan Sarah sangat antusias mendengar penjelasan
Ayyas tentang Islam. Mereka berdua sangat bersemangat belajar membaca Al-Quran kepada
Ayyas. Aliyev sangat senang kedua cucunya bisa belajar dengan tanpa membayar sepeser pun kepada Ayyas.
Setiap malam, setelah shalat Isya' Ayyas menyempatkan diri ke rumah Aliyev untuk mengajari Shamil dan Sarah bagaimana membaca Al-Quran dan bagaimana shalat dengan benar. Aliyev mengakui, dirinya tidak bisa membaca Al-Quran. Aliyev pernah bercerita, saat komunis berkuasa segala bentuk aktivitas keagamaan dilarang. Masjid-masjid ditutup dijadikan gudang. Madrasah dirobohkan.
Al-Quran tidak boleh diajarkan. Orang-orang menurunkan Islam kepada anaknya dengan cara sembunyi-sembunyi, tidak ada yang berani terang-terangan. Jika ketahuan shalat, membaca Al-Quran dan aktivitas keagamaan lainnya, maka bisa dipastikan nyawanya melayang diterjang peluru tajam. Para orangtua yang ingin anak-anaknya tetap Islam, mengajarkan membaca Al-Quran dengan bekal hafalan yang melekat di kepala. Tidak ada buku, tidak ada catatan. Semua lewat lisan. Para orangtua menyampaikan secara lisan di tempat yang terlindung dan tersembunyi, anak-anak mereka mendengarkan dan diminta untuk menghafal apa yang didengar.
Aliyev pernah berkata, "Selama ini kami shalat dan berdoa hanya berdasarkan hafalan turun temurun. Kami hanya mengingatnya setelah mendengarnya, bukan karena membaca tulisan Arab langsung. Karena itu mungkin sekali terjadi kesalahan dalam bacaan kami. Untuk itu saya sangat berterima kasih kepada Tuan, karena telah bersedia mengajar kedua cucu saya. Saya berharap mereka berdua bisa memahami Islam jauh lebih baik dari saya."
Ayyas bertekad kuat, ia harus meninggalkan jejak amal saleh di Moskwa. Ia ingin meninggalkan
bekas baik pada Shamil dan Sarah. Karenanya ia bertekad tidak akan meninggalkan Moskwa sebelum kedua anak Chechnya itu bisa membaca Al-Quran dengan baik, memahami akidah dengan benar, dan mampu menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi Saw.
Sebenarnya, jika ia mengingat rencana awal, keberadaannya di Moskwa tinggal tiga minggu
lagi. Akan tetapi demi mengingat keluarga Aliyev, terutama Shamil dan Sarah, ia memutuskan
memperpanjang keberadaannya di Moskwa dua bulan lagi. Ketika musim semi terbit ia akan
meninggalkan Moskwa. Mungkin hanya beberapa hari saja ia akan merasakan musim semi di Moskwa.
Keputusannya itu ia sampaikan kepada Doktor Anastasia Palazzo. Seketika, doktor muda kepercayaan Prof. Dr. Abramov Tomskii itu menyambutnya dengan wajah berseri. Kepada Ayyas, Anastasia menjanjikan akan mengajaknya ke danau Limen, tak jauh dari tempat kelahirannya di daerah Novgorod. Ayyas tidak mengiyakan, juga tidak menolak ajakan Doktor Anastasia itu.
Malam itu, Ayyas baru pulang dari mengajar Shamil dan Sarah membaca Al-Quran. Dua cucu
Aliyev sudah mulai bisa membaca surat-surat pendek meskipun dengan terbata. Shamil dengan
bangga menyetor hafalan surat Al-Kaafiruun. Sementara Sarah tak mau kalah dengan kakaknya,
ia menyetor hafalan surat Al-Ikhlas. Ayyas bahagia dengan kemajuan mereka berdua. Ia berharap ketika nanti meninggalkan Moskwa mereka telah bisa membaca Al-Quran dengan mandiri lengkap dengan tajwidnya. Dan ia berharap mereka berdua akan bisa mengajari teman-teman mereka yang ingin bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar.
Pak Joko telah menunggu Ayyas untuk makan malam bersama. Malam itu memang giliran Pak
Joko yang menyiapkan makan malam. Pak Joko menyiapkan nasi, ikan tuna yang ditumis dengan lombok hijau. Serta telur dadar. Ayyas makan dengan lahap. Ketika mereka tengah asyik
menyantap hidangan, tiba-tiba bel berbunyi. Ayyas menghentikan makannya dan beranjak
menuju pintu. Begitu pintu dibuka, nampaklah sosok anak muda yang tidak asing baginya. Ayyas sangat terkejut melihat sosok gemuk berkaca mata yang ada di hadapannya.
"Devid! Masya Allah, kau dari mana? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" Sapa Ayyas sambil maju memeluk sahabat lamanya.
"Aku dari tempat Yelena. Dari dia aku tahu kau ada di sini bersama Pak Joko. Sebenarnya sudah
lama aku mendengar kau pindah dari Smolenskaya ke sini. Tetapi aku belum bisa mengunjungimu. Aku banyak kerjaan di kampus. Baru hari ini aku bisa kemari." Jawab Devid
dengan wajah berseri.
"O begitu. Ayo masuk. Kebetulan kita baru makan malam."
"Aku sudah kenyang. Tadi Yelena memaksa aku makan malam di sana. Perempuan tua yang
bersama Yelena itu menghidangkan kentang rebus, sup ikan lecsh, roti hitam, dan keju putih asin, serta segelas teh panas."
"Dari Smolenskaya ke Baumanskaya tidak dekat. Sup yang kau makan itu pasti sudah menguap.
Ayolah. Yang masak Pak Joko sedap sekali. Nasi dengan ikan tuna yang ditumis dengan lombok hijau. Ayolah."
"Aku tak bisa menolak kalau kau sudah memaksa."
Mereka berdua masuk dan langsung ke meja makan. Ayyas mengenalkan Devid kepada Pak Joko. Pak Joko menyambut Devid dengan senyum mengembang.
"Rasanya saya tidak asing dengan wajah kamu." Sapa Pak Joko.
"Saya sudah mengenal Pak Joko, hanya Pak Joko mungkin belum mengenal saya dengan baik. Kita memang sudah beberapa kali bertemu di KBRI, hanya saja saat itu urusan saya tidak
dengan Pak Joko, tetapi dengan bagian konsuler atau pendidikan KBRI."
"Jadi kau sudah lama di Moskwa."
"Saya tinggal di St. Petersburg dan kuliah di sana."
"O bagus. Ayo makan malam dulu."
"Ayo Dev, tidak usah malu." Timpal Ayyas menguatkan ajakan Pak Joko.
"Baik."
Devid mengambil nasi dan ikan tuna tumis lombok hijau. Mereka bertiga makan malam dengan lahap penuh kekeluargaan. Ayyas merasa bahagia mendapat kunjungan teman lamanya. Selesai
makan Ayyas mengajak Devid beristirahat dan berbincang-bincang di kamarnya. Cukup lama mereka ngobrol, banyak hal yang mereka bicarakan. Termasuk kegundahan Devid dengan cara hidup bebasnya selama ini.
"Saat segala keinginan nafsu aku penuhi, jiwaku terasa semakin kering. Aku harus bagaimana
Yas?" Keluh Devid.
"Kau bukan orang bodoh Dev. Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Kau juga tahu apa yang.
menjadi sebab tenteramnya jiwamu. Apa aku harus menceramahimu? Tanyakan pada nuranimu
paling dalam, kau akan mendapatkan jawaban dari kebutuhan jiwamu sekarang."
Devid menginap di kamar Ayyas. Tempat tidur yang sempit itu digunakan tidur untuk dua
orang. Sepertiga malam terakhir Ayyas bangun, seperti biasa untuk shalat malam bersama Pak
Joko. Mereka shalat di ruang tamu. Ayyas yang menjadi imam.
Sayup-sayup Devid mendengar suara Ayyas membaca Al-Quran dalam shalatnya. Ia menikmati suara itu. Sudah lama sekali ia tidak merasakan suasana tenang seperti itu. Dulu ketika masih kecil, saat ia masih tinggal satu rumah dengan kakeknya yang rajin ke masjid, ia sering mendengar suara kakeknya membaca Al-Quran di tengah malam. Ia teringat suasana itu. Pagi harinya Devid berkata kepada Ayyas,
"Kenapa kau tidak membangunkan aku untuk shalat tadi malam, juga kenapa kau tidak membangunkan aku untuk shalat Subuh?"
"Apa aku tidak salah dengar Dev?"
"Tidak. Apa salahnya kau membangunkan aku dan mengajakku shalat?"
Ayyas tersentak. Devid benar, seharusnya memang ia membangunkan Devid untuk shalat, terutama shalat Subuh. Meskipun ia mengenal Devid yang mengaku hidup bebas dan pernah
mengaku atheis, tetapi dulu saat masih di SMP Devid dan keluarganya tertulis di KTP beragama
Islam. Kenapa ia tidak mengingatkan Devid untuk kembali ke jalan yang lurus. Kenapa ia hanya
berbaik sangka bahwa Devid adalah anak cerdas yang bisa berpikir sendiri dan menemukan jalan
lurus sendiri? Kenapa ia tidak berpikir bahwa sahabatnya itu perlu dibantu untuk menemukan
jalan yang lurus?
"Mungkin aku harus kembali shalat agar jiwaku tidak kering kerontang." Gumam Devid dengan mata menerawang kosong.
"Shalat memang salah satu nutrisi jiwa paling penting." Sahut Ayyas.
"Kalau begitu ajarilah aku shalat."
"Apakah kau sudah benar-benar lupa bagaimana caranya shalat?"
"Ya aku sudah lupa. Sejak SMA aku sudah meninggalkan shalat. Aku bahkan hampir lupa
bahwa aku ini masih tertulis beragama Islam, meskipun akhir-akhir ini aku tidak percaya kepada
Tuhan. Kalau aku shalat berarti aku harus percaya kepada Tuhan ya?"
Airmata Ayyas meleleh mendengar perkataan sahabatnya itu. Betapa kacaunya cara berpikir
sahabatnya itu. Sahabatnya itu benar-benar telah tersesat sangat jauh. Sahabatnya itu tidak hanya
harus belajar shalat, sebelum itu ia harus belajar mengucapkan kalimat syahadat. Ia harus kembali mengikrarkan kalimat syahadat, tanda bahwa ia telah kembali masuk Islam. Sebab mengingkari adanya Tuhan adalah bentuk kekafiran yang keluar dari ajaran Islam.
"Sebelum belajar shalat, kau harus belajar mengucapkan kalimat syahadat. Kau harus bersyahadat lagi, masuk Islam lagi. Pengingkaranmu akan adanya Tuhan telah mengeluarkan kamu dari Islam. Itulah yang menyebabkan aku selama ini tidak pernah mengajakmu shalat. Maaf, aku merasa kau tidak lagi seorang Muslim. Dan aku berusaha menghormati jalan hidup yang kau pilih."
"Ternyata aku tidak menemukan kebahagiaan jiwa dalam jalan yang aku lalui selama ini. Aku
seperti seorang pengembara di tengah padang pasir maha luas yang tidak tahu aku harus ke
mana. Aku merasa tidak tahu jalan. Aku berjalan asal jalan. Aku perlu petunjuk. Aku perlu peta
yang bisa membawaku ke tempat yang seharusnya aku tuju. Ketika tadi malam sayup-sayup
aku mendengar kau membaca Al-Quran dalam shalatmu, jiwaku seperti tertarik ke sana. Aku
teringat masa kecilku saat mendengar kakek membaca Al-Quran malam-malam. Kakek nampak
begitu bahagia dengan jalan hidup yang ditempuhnya. Mungkin itu jalan yang harus aku tempuh agar jiwaku menemukan apa yang dicarinya."
"Tinggallah di sini sementara waktu selama kau merasa perlu. Kau tidak perlu belajar. Kau
dulu pernah belajar membaca Al-Quran dan shalat. Kau hanya perlu membuka kembali ingatanmu yang tertutupi oleh kerak-kerak nafsumu. Begitu ingatanmu akan shalat itu terbuka, kau akan bisa melakukannya. Sambil berusaha membuka ingatanmu perlahan-lahan, kau akan belajar mengucapkan kalimat syahadat. Kau harus menghafalnya, mengakrabinya, menghayatinya, dan menjadikannya bagian dari aliran darahmu. Itu jika kau ingin bisa hidup bahagia seperti kakekmu."
"Baiklah aku ikuti saranmu. Aku sudah benarbenar bosan dengan cara hidupku yang serba bebas.
Aku ingin hidup yang membahagiakan jiwa."
Pagi itu juga Ayyas membimbing sahabatnya itu mengucapkan dua kalimat syahadat disaksikan
oleh Pak Joko. Sejak hari itu Devid tinggal bersama Ayyas. Setelah membaca kalimat syahadat Ayyas langsung mengenalkan Devid kepada Imam Hasan Sadulayev.
Kepada Imam Hasan, Ayyas menjelaskan semuanya tentang sahabatnya Devid. Ayyas meminta kepada Imam Hasan agar berkenan membimbing sahabatnya itu. Dengan begitu, ketika nanti Ayyas pulang, Devid masih memiliki tempat untuk belajar dan meminta pendapat. Dan jika imannya goyang, Imam Hasan Sadulayev akan bisa mengukuhkannya.
Ayyas merasa Devid akan memerlukan proses yang panjang itu sampai pada taraf memahami
Islam dengan baik dan benar. Waktu satu minggu tidak akan cukup bagi Devid untuk mendapatkan kebahagiaan jiwa yang dicarinya. Ayyas merasa hanya mampu mengantarkan Devid di tepi jalan yang lurus, selanjutnya Devid sendirilah yang harus berusaha dan berikhtiar untuk melanjutkan perjalanan sampai di tujuan yang sebenarnya.
Akhirnya, setiap malam Devid ikut shalat malam, ikut kajian hadis setiap pagi dan setiap
menjelang tidur, Ayyas menjelaskan makna kalimat syahadat sambil tiduran selama tak lebih
dari tujuh menit. Dan siang hari ketika Ayyas harus pergi ke perpustakaan, ia meminta kepada
Devid untuk pergi ke masjd Prospek Mira menemui Imam Hasan Sadulayev.
Sekeras-keras batu jika terus ditetesi air akan berlubang juga bahkan bisa hancur akhirnya. Begitu juga hati dan jiwa Devid. Setelah terus ditetesi dengan hikmat dan disinari pancaran
ayat-ayat suci Al-Quran, ditambah doa dari Ayyas dan Imam Hasan Sadulayev, Devid pelan-pelan berubah. Ia mulai meninggalkan minuman keras. Ia mulai berusaha untuk shalat lima waktu. Akan tetapi, suatu malam menjelang tidur, Ayyas dikagetkan oleh kejujuran Devid.
"Apa yang harus aku lakukan Yas. Aku sudah tidak kuat menahan lagi. Kau tahu sendiri selama
ini aku tidak lepas dari perempuan. Dulu hidup satu rumah dengan Eva. Lalu bergonta-ganti
hidup dengan perempuan Rusia. Sejak aku ada di rumah ini, aku tidak menyentuh perempuan
sama sekali. Tetapi aku rasanya tidak kuat lagi. Aku perlu hidup bersama perempuan. Aku harus
bagaimana?" Devid mengatakan apa yang dirasakannya kepada Ayyas. Tak ada yang ditutup-tutupi. Devid perlu solusi.
"Islam memiliki solusi untuk masalahmu itu. Lelaki memang fitrahnya memerlukan perempuan
dan sebaliknya. Dua makhluk Allah lain jenis itu memang diciptakan untuk bertemu dan hidup bersama dalam kasih sayang. Jalan paling suci bertemunya lelaki dan perempuan adalah dengan menikah. Maka menikahlah Dev, dan kau akan mendapatkan yang lebih membahagiakan daripada hidup dengan perempuan tidak halal."
"Dengan siapa aku harus menikah? Aku perlu waktu cepat. Kau harus tahu, jika Kau pernah hidup bebas dengan perempuan seperti aku, kau seperti makan ganja atau narkoba, kau akan
kecanduan dan ketagihan. Aku nyaris sudah tidak bisa bersabar lagi Yas."
"Sabarlah beberapa hari saja. Datanglah kepada Imam Hasan Saduleyev. Sampaikan masalahmu
ini kepada beliau apa adanya. Insya Allah beliau akan ada solusi."
"Baiklah."
Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Devid pergi ke rumah Imam Hasan Sadulayev. Ia tidak bisa
menunggu sampai siang untuk bertemu sang Imam di masjid. Devid menjelaskan panjang lebar
masalahnya kepada Imam Hasan Sadulayev. Anehnya Sang Imam menanggapinya dengan
tersenyum, dan sedikit pun tidak mencela Devid.
"Apa yang dikatakan Ayyas benar. Solusi masalahmu cuma satu, yaitu menikah." Kata
Imam Hasan.
"Menikah?"
"Ya."
"Saya sudah tidak kuat. Kalau begitu saya harus menikah besok. Atau paling lambat besok lusa. Terus saya harus menikah dengan siapa?"
"Aku bisa membantu, aku bisa menunjukkan siapa calon pengantinmu kalau kau mau."
"Aku percayakan pada Imam."
"Baik. Tetapi kau harus berjanji."
"Berjanji apa?"
"Sungguh-sungguh mentaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dan kau harus berjanji
tidak akan lagi menyentuh perempuan mana pun yang tidak halal bagimu."
"Aku berani berjanji Imam. Allah yang jadi saksinya."
"Baiklah. Kalau kau mau aku akan menikahkan kau dengan adikku sendiri. Namanya Aminet Sadulayevna, bagaimana?"
Tubuh Devid bergetar mendengarnya. Ia pernah bertatapan wajah dengan adik Imam Hasan
Sadulayev itu di jalan depan masjid Prospek Mira. Adik Imam Hasan Sadulayev itu begitu
anggun, hanya lelaki tidak normal yang akan menolaknya. Jujur, nafsunya sangat menginginkan
adik Imam Hasan Sadulayev. Akan tetapi nuraninya yang paling dalam mengingatkannya, apakah pantas seorang pemuda yang sedemikian kotor seperti dirinya menikahi seorang perempuan yang sangat menjaga diri seperti Aminet Sadulayevna.
Ia tidak mau mencemari kesucian adik Imam Hasan Sadulayev. Meskipun ia pernah mendapat
nasihat dari Ayyas, bahwa orang yang telah bertobat dengan sebenar tobat itu sama dengan orang
yang tidak memiliki dosa. Dosanya telah diampuni oleh Allah. Ia tetap merasa dirinya masih sangat kotor dan tidak pantas diganjar dengan mendapatkan gadis secantik dan sesalehah Aminet Sadulayevna. Kalau ia boleh jujur,
Aminet lebih pantas untuk seorang yang juga menjaga dirinya seperti Ayyas.
Maka mendengar tawaran Imam Hasan Sadulayev itu, Devid tak kuasa menahan airmatanya. Dan dengan suara terbata-bata ia mengatakan kepada Imam Hasan Sadulayev, bahwa dirinya
akan berpikir dan meminta petunjuk Allah. Imam Hasan memaklumi keputusan Devid. "Memang kita disunnahkan untuk shalat Istikharah. Lakukanlah itu Devid, sebelum kau mengambil keputusan apa pun. Termasuk saat harus menentukan siapa yang akan kaunikahi."
Devid menceritakan apa yang dialaminya dengan airmata berderai. Ayyas sangat mendukung
jika Devid menikahi Aminet Sadulayena. Imam Hasan pasti tidak sembrono menawarkan
adiknya kepada Devid. Pasti Imam Hasan melihat ada kebaikan di sana. Kebaikan untuk Devid,
Aminet, dan banyak pihak. Imam Hasan mungkin melihat potensi besar yang ada dalam diri Devid, yang jika didampingi oleh perempuan salehah seperti Aminet Sadulayevna pastilah akan terjadi lipatan potensi yang luar biasa. Sayangnya Devid belum bisa menerima hal
itu.
"Diriku terlalu kotor Yas untuk menikahi Aminet. Aku sendiri tidak rela, diriku yang kotor ini akan menjamah gadis salehah itu. Aku sendiri jika punya anak gadis seperti Aminet Sadulayevna tidak akan aku nikahkan dengan pemuda yang sekotor diriku ini. Aku tidak bisa menikahi Aminet, bantulah aku menemukan orang yang bisa segera aku nikahi. Orang yang sepadan dengan diriku."
Ayyas tidak bisa berbuat apa-apa dengan keteguhan Devid, Menurutnya, sebenarnya Devid
mendapatkan karunia luar biasa jika memiliki istri Seperti Aminet Sadulayevna. Akan tetapi pernikahan tidak bisa dipaksakan. Allah sudah mencatat siapa yang akan dinikahi oleh Devid, dan siapa yang akan menjadi suami Aminet Sadulayevna.
"Kau tentu tahu, aku tidak banyak mengenal perempuan di sini. Hanya beberapa gelintir saja
yang kukenal, itu pun sebagian telah kau kenal. Misalnya Yelena, Linor, dan beberapa nama yang bekerja di KBRI. Yelena memang sendiri. Mungkin jika kau minta untuk kaunikahi, dia mau. Sebab dia pernah cerita ingin hidup sebagai perempuan baik-baik, tidak sebagai pelacur lagi.
Tetapi masalahnya apa ya Yelena cocok untukmu. Sekarang ini kau seorang Muslim yang menurutku sudah bersih, meskipun menurutmu masih kotor. Setiap malam kau shalat malam. Sedangkan Yelena aku tidak tahu lagi seperti apa kini hidupnya. Setelah kematian Olga
Nikolayenko yang menjadi induk semangnya, apakah ia benar-benar telah berhenti sebagai
pelacur. Atau tetap meneruskan profesi lamanya. Kalau misalnya ia telah berhenti, apakah ia bersedia mengikuti jalan hidupmu. Kau tidak akan mendapatkan kebahagiaan jiwa, jika pendamping hidupmu tidak satu iman dan satu langkah denganmu." Jawab Ayyas panjang lebar.
Devid menghela nafasnya. Keduanya diam sesaat. Devid lalu berkata, "Aku akan mencoba
melamar Yelena. Kalau dia mau bersama hidup di jalan yang lurus yang aku lalui, aku akan
menikahinya. Aku tahu dia pelacur, tetapi jika dia mau bertobat, itu sama persis dengan diriku."
"Terserah kau Dev. Yang jelas setelah kau merasa menemukan jalan yang baik jangan sampai
tergoda untuk keluar dari jalan itu. Hati-hatilah setan menyerang dari depan, belakang, kanan,
dan kiri."
"Aku camkan betul nasihatmu, Yas."
Devid benar-benar tak mau membuang waktu. Selesai bertukar pikiran dengan Ayyas, ia langsung meluncur ke Smolenskaya, tujuannya adalah apartemen dimana Yelena berada. Apartemen yang pernah menjadi tempat tinggal Ayyas cukup lama di Moskwa. Devidlah yang memilihkan apartemen itu untuk Ayyas.
Ketika Devid memenjet bel, Yelena sedang duduk santai di sofa menonton acara televisi bersama
Bibi Margareta. Yelena bangkit dan membuka pintu. Perempuan muda itu tersenyum begitu yang ada di hadapannya adalah Devid.
Yelena yang memakai kaos panjang hijau muda nampak begitu anggun. David sempat salah
tingkah dibuatnya. Kondisi jiwanya yang sudah berbeda warna yang membuatnya salah tingkah.
David berusaha mengendalikan dirinya.
"Sudah ketemu Ayyas?" Sapa Yelena.
"Sudah."
"Ayo masuk dulu. Apa kabarnya?"
"Dia baik-baik saja. Penelitiannya sudah hampir tuntas."
"Puji Tuhan."
Devid masuk dan duduk di sofa berhadapan dengan Yelena. Bibi Margareta membuatkan dua
cangkir teh panas. Keduanya berbincang tentang banyak hal. Tentang musim dingin, tentang St.
Petersburg tempat dimana Devid sedang belajar dan tempat dimana Yelena pernah belajar menyelesaikan sarjana sastra Inggrisnya. Setelah cukup lama berbincangbincang, Devid akhirnya
menyampaikan maksud inti kedatangannya.
"Aku sedang memiliki masalah dan kalau berkenan aku ingin meminta bantuanmu." Kata Devid dengan dada bergetar.
"Dengan senang hati. Aku pasti alfm membantumu. Kau lah yang mengirim sahabatmu Ayyas
kemari. Dan sahabatmu itulah yang menyelamatkan nyawaku. Berarti secara tidak langsung aku juga berhutang budi padamu. Apa yang bisa aku bantu."
"Kau tahu selama aku hidup bebas, bergonta-ganti pasangan. Aku pernah cerita padamu."
"Ya. Terus apa masalahnya."
"Aku ingin hidup yang lebih manusiawi.
Hidup yang lebih bermakna. Aku ingin meninggalkan cara hidup yang bertentangan dengan nuraniku itu. Jujur aku tidak bisa hidup tanpa seorang perempuan yang menemaniku. Karenanya
aku sedang mencari perempuan yang mau hidup bersama, hidup dalam tali pernikahan yang suci.
Perempuan yang bersedia menjaga kesuciannya, dan setia kepadaku. Aku pun akan menjaga diriku dan akan setia padanya. Jika berkenan, mohon maaf jika ini dianggap lancang, maukah
kau membantuku. Kau menjadi perempuan yang aku cari itu, Kita menikah dan hidup bersama
dalam kesucian dan kesetiaan."
Devid mengucapkan kalimatnya itu dengan muka tertunduk. Ia sama sekali tidak berani memandang wajah Yelena. Sementara Yelena tidak menduga kalau Devid akan mengatakan hal itu kepadanya. Sudah lama Yelena ingin hidup sebagai manusia yang terhormat, sudah lama ia mendambakan seorang teman hidup yang setia. Dan ia belum juga menemukannya. Kini Devid datang dan menawarkan hal yang sudah lama didambakannya. Ia tidak lagi melihat fisik, jika fisik yang jadi ukuran, Devid masih kalah dengan pemuda-pemuda Rusia yang dikenalnya. Tetapi ia mendambakan kesetiaan, kasih sayang dan ketulusan nurani. Dan Devid telah menawarkan itu semua kepadanya.
Dengan airmata hampir meleleh, Yelena menjawab,

"Apa kau tahu siapa diriku sebenarnya?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar