Jumat, 28 Maret 2014

Samudera Hati (Part 3)

Sehabis sholat shubuh aku segera membereskan mukenaku dan sajadahku.
Sekembalinya dari Masjid Aidan sendiri gegas mengganti pakaiannya dan bersiap-siap untuk segera pergi ke Bandara.
“Aku hanya punya waktu satu bulan lagi untuk pertandingan di musim ini. Lalu libur musim panas, Insya Allah aku akan kembali saat itu.” Ujar Aidan seraya mengenakan kemeja hitam bergaris.
“Baiklah… datanglah saat wisuda pesantrenku Juni nanti. Saat musim panas nanti.” Aku membantu Aidan mengancingkan kemejanya.
“Dua bulan lagi.” ujarnya. Aidan memegang tanganku saat aku selesai mengancingkan kancing kemejanya yang terakhir tepat di depan dadanya.
“Terimakasih sayang…” bisiknya di telingaku. Lalu Aidan mengecup pipiku dengan lembut. Kemudian memelukku dengan erat.
“Aku akan merindukanmu.” Desisku
“So do I.” Balasnya.
Aku menatap Aidan yang terus melangkah menjauhiku mendorong troli yang penuh dengan barang-barangnya. Aku merasa khawatir dia takkan kembali lagi. Aku menatap jadwal penerbangan yang terpampang di hadapanku. Aidan akan take off satu jam lagi. Tidak terasa waktu bergulir dengan cepat. Masih hangat di benakku dua bulan yang lalu kami menginjakkan kaki bersama di bandara ini. Kini aku melihatnya pergi kembali dari hadapanku. Selamat jalan kekasihku…

***



Part 8 : Hadiah Istimewa di Hari yang Indah


Sebulan sudah berlalu sejak Aidan kembali ke Inggris. Itu berarti sebulan lagi Aidan akan datang pada saat acara wisuda di Pesantren. Pada saat itu pula akan ku umumkan pada semua teman-temanku bahwa dia suamiku.
Aku melipat mukenaku setelah mendirikan sholat dhuha dan menaruhnya di rak mukena. Sesaat aku melihat kalender yang menempel di dinding kamar. 3 Mei 2009! Aku terhenyak. Esok adalah hari ulang tahun Aidan. Apa hadiah yang harus kuberikan kepadanya. Dia telah mempunyai segalanya, aku rasa dia tak butuh apapun lagi.
Baiklah mungkin aku hanya akan memberinya ucapan dan doa yang tak akan dia ketahui. Sekali lagi aku terhenyak saat aku melihat kalender. Aku tak menstruasi selama bulan april. Apa mungkin aku hamil?
Aku tertawa dalam hati. Ah… itu tak mungkin, meskipun itu akan jadi berita menggembirakan. Aku tak ingin akhirnya kecewa bahwa apa yang kupikir itu hanya keinginanku saja. Toh, aku terbiasa terlambat datang menstruasi, makanya aku tak pernah khawatir. Kuakui beberapa hari terakhir badanku terasa tak enak. Aku memang masuk angin karena aku selalu ingin tidur di samping jendela yang membuat aku merasa mual dan ingin muntah. Seperti saat ini aku merasa lambungku dan seluruh isi perut diaduk-aduk. Aku segera berlari ke kamar mandi dan ku keluarkan seluruh isi perutku yang baru kuisi satu jam yang lalu dengan nasi lengko.
“Kau baik-baik saja Saila?” aku mendengar suara Kak Salwa memanggilku.
“Aku baik-baik saja.” jawabku.
“Apa tak sebaiknya kau pergi ke dokter? Kau sudah begini dari empat hari yang lalu. Aku khawatir padamu.” Ujar Kak Salwa saat aku keluar dari kamar mandi.
“Aku akan mengantarmu jika kau mau?”
“Terimakasih banyak. Aku akan pergi sendiri.”
Aku mengikuti nasehat Kak Salwa. Esok harinya, sepulang dari kuliah, aku pergi ke dokter sendirian. Beberapa saat aku menunggu hasil pemeriksaan dengan dada berdebar. Entah kenapa aku merasa takut, aku akan mendengar diagnosa dokter bahwa aku mengidap penyakit yang serius. Dokter itu datang dengan mambawa secarik kertas ditangannya.
“Anda sehat.” Ujarnya datar. Aku memperhatikan wajahnya yang cantik dan terlihat masih muda itu. Tapi bukan itu maksudku, maksudku aku tak mengerti dengan ucapannya.
“Selamat. Anda kini tengah hamil.” Ucapnya lagi
“Benarkah?” teriakku girang. Dokter itu mengangguk, wajahnya yang ayu semakin mempesona saat ia tersenyum.
“Aku tak percaya. Tapi ini akan jadi hadiah terindah di hari ulang tahun suamiku.” Ucapku dengan kegirangan.
Aku tak membuang waktu lama dan segera meninggalkan klinik itu. Tujuanku sekarang adalah warnet. Aku akan mengirimkan email untuk Aidan.


Sujet : Happy birthday my lovely…
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kak Aidan sayang yang dicintai Allah, Apa kabarmu disana? Aku harap Kakak selalu sehat dan istiqamah di jalanNya. Bagaimana dengan pertandingan-pertandingan yang hanya tinggal dihitung dengan jari itu?
Maksimalkan setiap pertandingan yang kau lewati. Bagaimana pula dengan kuliahmu? Aku ingin kau menyeimbangkan antara pendidikan dan kariermu.
Selamat ulang tahun yang ke-23 semoga Allah selalu ridho atasmu dan menambah nikmat atas syukurmu. Serta mengkaruniakan kepada kita keluarga yang sakinah mawwadah warahmah dengan dihiasi tawa dan canda dari mujahid-mujahid kecil kita kelak.
Aku mempunyai kejutan kecil untuk ulang tahunmu yang akan ku berikan saat kau datang di acara wisudaku nanti. Aku menunggumu selalu. Sampai jumpa segera,
Saila

Aku sengaja tidak memberitahukan kabar gembira itu padanya lewat email, aku ingin mengatakan langsung, aku ingin melihat langsung bagaimana ekspresinya. Aku yakin kebahagiaannya akan lebih dari yang aku rasakan. Ia telah merindukan seorang bayi hampir setahun lamanya. Aku juga berjanji Aidanlah yang orang pertama tahu berita ini. Dia berhak menjadi orang pertama yang tahu dari pada orang lain karena dia ayah bayi ini. Aku segera keluar dari warnet setelah mengirimkan surat itu. Tanpa membuka situssitus lainya terlebih dahulu seperti biasanya. Aku memutuskan segera pulang ke asrama, setelah kurasakan tubuhku mulai terasa lemah kembali. Kini rasa pening mulai menyapa kepalaku.
“Assalamualaikum…” salamku ketika sampai di depan pintu asrama. Namun tak seorang pun yang menyahutiku, suasana sangat sepi saat aku baru kembali dari warnet. Tak seperti biasanya yang ribut pada saat makan malam. Aku pikir mereka belum pulang dari materi. Tapi semalam itukah mereka belum kembali ?
Karena aku merasa kelelahan, aku memutuskan untuk segera pergi tidur ke kamarku. Namun saat aku melewati aula asrama, aku mendengar sayup-sayup orang mengobrol. Aku memutuskan untuk masuk kedalam aula hanya sekedar menyapa mereka sebelum pergi tidur.
“Sebentar lagi penanggung jawab kita akan mengeluarkan surat pernyataan bahwa Saila akan di keluarkan dari pesantren ini.” Aku terkejut mendengar kata-kata yang di ucapkan Teh Husna.
Dunia seakan berguncang, bulan seolah turun dan menghimpit tubuhku. Dadaku terasa sesak. Bagaimana jika Aidan tahu? Dia pasti akan kecewa! Padahal harapannya melihatku lulus dan di wisuda di pesantren yang juga telah mendidiknya dulu. Berapa kali aku harus mengecewakannya? Kapan aku bisa membuatnya bangga mempunyai istri sepertiku? Padahal permintaannya sangat sederhana, hanya ingin melihatku bertahan disana sampai waktu yang ditetapkan. Sesederhana itukah aku tidak dapat mengabulkan permintaanya? Hatiku menangis meskipun belum ada setetes air mata pun yang jatuh dipipiku.
Aku mengurungkan niatku untuk bergabung dengan mereka dan memutuskan untuk menguping di belakang pintu.
“Alasan apa mereka mengeluarkan Saila dari sini?” aku mendengar suara Kak Erin bertanya. “Justru aku melihat beliau tambah rajin sholat tahajud, rajin ke Masjid dan amaliyah lainnya.”
“Seperti yang kita tahu dia sering tak pulang ke asrama tanpa izin maupun pemberitahuan terlebih dahulu. “Aku mendengar seseorang menyahutinya, tapi aku tidak tahu siapa pemilik suara itu.
“Aku rasa untuk masalah itu masih bisa di bicarakan…” kini aku mendengar suara Kak Salwa membelaku.
“Kesalahan tidak terletak pada itu saja. Dia telah melakukan sesuatu yang tak pantas di lakukan sebagai seorang muslimah.” Ujar Teh Husna lagi.
“Katakan pada kami apa itu? Katakan pada kami alasan kenapa kami harus terima dia dikeluarkan dari sini?” aku mendengar kembali suara Kak Erin.
“Nabila yang menyaksikannya. Ceritakan pada mereka apa yang terjadi saat itu.” Pinta teh Husna pada teh Bila.
Suasana hening, aku tak mendengar suara Teh Bila tak mengucapkan sepatah katapun. Hanya kudengar suara katak yang ribut bernyanyi di luar sana.
“Ceritakanlah pada kami…” pinta Kak Erin.
Aku masih belum mendengar teh bila memulai ceritanya.
“Jangan kau buat kami penasaran!” ujar Kak Salwa tegas.
“Aku melihat dia mengobrol di kantin dengan seorang pria bulan lalu.” Kini aku mendengar Teh Bila mengatakan hal itu.
“Mungkin dia bersama kakak laki-lakinya.”Kak Salwa membelaku.
“Maaf, tapi aku tak yakin laki-laki itu kakaknya Saila. Dia bercakap-cakap dengan
pria bule.” Ujar Teh Bila.
“Atau mungkin dia itu dosen native speaker. Siapa? Monsieur…” Kak Salwa masih membelaku.
“Monsieur Dylan? Bukan! Saya yakin itu bukan beliau. Dari wajahnya aku pikir dia itu berasal dari Italia, Portugal atau tidak dari Spanyol. Entahlah aku tak bisa membedakan orang yang berasal dari tiga negara itu.” Jelas Teh Bila.
“Saila kan kuliah di jurusan bahasa asing. Aku pikir sah-sah saja dia mau ngobrol dengan pria bule manapun.” Kak Salwa masih bersikeras membelaku.
“Tapi mereka duduk berdua. Mereka berkhalwat.” Bantah yang lain. Entahlah siapa.
“Mereka duduk di kantin kan? Ramai, banyak orang. Mungkin mereka sedang membicarakan urusan yang penting. Jika memang mereka mau berbuat yang tak baik, untuk apa mereka memilih duduk di kantin. Mereka bisa mencari tempat yang lain. Aku yakin Saila tahu benar apa yang dilakukannya. Dia tahu bagaimana caranya menjaga izzahnya, kehormatannya sebagai seorang wanita.” Kali ini kak Erin yang angkat bicara.
“Apa kau lupa Erin? Dia sering tak pulang ke Asrama. Coba kemana dia pergi. Mungkin saja dia sedang pergi dengan pria itu.” suara itu lagi yang menyahuti, aku tak begitu mengenalinya.
“Apa kau punya bukti atau pernah menyaksikan ia pergi dengan pria itu yang mengharuskan ia tak pulang ke asrama?” kali ini suara teh Maya yang menimpali.
Suasana hening sejenak. “Tidak, tapi kesaksian Nabila melihat mereka duduk bersama bisa jadi benang merah kemana dia pergi selama ini. Patut dicurigai.” suara yang tak ku kenali itu mencoba membela dirinya.
“Suudzan itu namanya. Hati-hati bisa jatuh ke fitnah nantinya.” Kak Salwa tampak geram.
“Sudahlah, tak perlu mencari-cari kesalahan Saila, menuduhnya yang macam-macam sebelum kebenaran terbukti. Bagaimana jika kita keliru? Apa kita tak malu pada Saila? Atau pada Allah karena telah memfitnah saudari kita sendiri?” aku bisa mendengar kak Erin menghembus nafas kasar di akhir ucapannya.
“Sudah... ya ukhtuna... istigfar. Kita di sini untuk mendiskusikan masalah Saila dan rencana drop outnya dari penanggung jawab. Kita harus mencari kebenaran, jika Saila tak bersalah mari kita bantu pertahankan dia di sini. Toh selama ini teteh juga melihat progress dirinya. Dia lebih baik diluar kebiasaannya menghilang tanpa kabar.” Teh Husna mencoba menengahi.
“Kau tahu siapa pria bule itu?” tanya Kak Erin. Kini suaranya lebih tenang.
“Aku tak tahu.” Jawab Teh Bila pelan.
“Spanyol?” aku kini mendengar suara Teh Maya. “Aku jadi teringat, aku telah menemukan ini di rak buku Saila.”
Suasana kembali hening. Aku tak tahu apa yang di tunjukan Teh Maya pada yang lainnya.
“Tiket pesawat untuk tujuan Barcelona dan London?” aku mendengar suara desisan Kak Erin. Tiket pesawat itu? Aku sengaja menyimpannya di antara buku-buku.
“Jadi selama ini Teh Saila tak bercanda kalau beliau baru saja kembali dari London.” Kini giliran Nurma yang berkomentar.
“20 januari? Bukankah itu saat dia pergi tanpa izin selama dua minggu. Jadi dia pergi ke London! tapi dia pergi ke Barcelona sebelum masuk asrama.” Ujar Astri.
“Aku rasa tak ada hubungan antara tiket-tiket ini dengan rencana drop outnya Saila. Mungkin dia memang mempunyai kerabat di sana yang harus di kunjungi.” Ucap Kak Erin. “Aku rasa justru ini ada hubungannya dengan pria bule dari Spanyol itu.”
“Ok… teteh rasa pertemuan kita cukup sampai disini dulu. Malam sudah larut, kalian harus belajar. Teteh pesan pada kalian. Usahakan Saila jangan dulu tahu masalah ini. Kita akan cari hubungannya antara tiket dan pria bule itu.” Teh Husna mengakhiri pertemuan itu.
“Mari kita tutup dengan hamdalah dan doa akhir majelis.” Lanjutnya.
Aku segera pergi ke kamarku sebelum mereka menemukanku menguping di balik pintu. Aku segera menggelar kasurku dan ku rebahkan tubuhku yang lemah disana.
“Saila, kau sudah pulang?” Kak Salwa terkejut dengan kehadiranku yang telah terbaring di kasurku.
“Kak…” panggilku pelan.
Kak Salwa segera menghampiriku. Ia menggelar kasur di sampingku lalu berbaring diatasnya.
“Saila, katakan padaku apa kau kerasan tinggal di asrama?”
“Tentu!” jawabku.
“Lalu kenapa kau sering tak pulang?”
“Aku harus melakukan sesuatu yang tak bisa ditunda lagi.”
Aku harus merawat Aidan, lanjutku dalam hati.
“Ada apa kakak tanya itu?” tanyaku.
“Tidak ada.” Jawabnya.
“Aku tahu mereka akan segera mengeluarkan aku dari tempat ini.” Kataku. “Aku mendengar semua yang kalian bicarakan tadi.”
“Tapi aku dan Erin tak akan membiarkannya begitu saja. kami akan memperjuangkanmu.” Ucapnya penuh semangat dan keyakinan. “Kau masih ingin disini, kan?”
Aku mengangguk penuh semangat. Aku merasa pertolongan Allah akan datang melalui mereka berdua. Kak Salwa menengok kiri dan kanan memastikan tak ada orang yang menguping kami.
“Benar kau pernah pergi bersama pria bule seperti yang dikatakan Nabila?” tanya kak Salwa setengah berbisik. Aku mengangguk lemah
“Dia benar.”
“Maukah kau ceritakan padaku, siapa pria yang dikatakan Nabila itu?”
Aku diam tak menjawab. Aku takkan mengatakannya, aku tak boleh mengatakannya. Aku tetap diam seribu bahasa.
“Saila, kau tak percaya padaku?” Kak Salwa menatap mataku dalam, mencoba meyakinkan. “Dia bukan kekasihmu kan?”
Aku masih diam tak menjawabnya. Aku tak ingin mengatakannya. Aku tak boleh mengatakannya.
“Saila katakan padaku. Kau harus membantuku, agar aku bisa membelamu di depan yang lainnya. Jika apa yang dicurigai mereka benar. Bagaimana mungkin kami bisa membelamu?” Kak Salwa menatapku dengan tatapan penuh kasih. Dari kedua matanya yang hitam aku dapat melihat ketulusan ingin mempertahankanku disini.
Aku masih terdiam. Kak Salwa kini menatapku dengan putus asa. “Aku tak ingin kehilanganmu. Aku tak ingin kau pergi dari sini. Aku ingin kau ada di wisuda itu.”
“Baiklah, tapi aku tak ingin seorangpun yang tahu. Hanya kau dan aku.” Pintaku.
“Ok. Ceritakanlah.”
“Laki-laki yang Teh Bila lihat itu adalah kekasihku.”
Kak Salwa terkejut. “Jadi yang mereka curigai itu benar. Alasan apa yang harus aku sampaikan pada mereka untuk membelamu Saila…?” kini ia menatapku penuh penyesalan.
“Dia suamiku, kak! Saat aku pergi tanpa izin itu. Aku harus pergi ke London untuk merawat dia yang tengah sakit. Saat kuliah dimulai, aku membawanya ke Indonesia agar aku bisa merawatnya.”
“Lantas dimana dia tinggal selama disini?”
“Dia tinggal di rumah bibinya. Ketika aku tak pulang ke asrama aku menghabiskan waktu untuk merawatnya.”
“Jadi selama ini kau telah menikah? Kenapa kau tak pernah cerita pada kami?”
“Aku tak ingin mereka mengeluarkan aku dari tempat ini. Dia berharap aku tetap disini sampai aku wisuda nanti. Aku telah berjanji untuk tetap bertahan sampai tiba waktunya.”
“Bagaimana jika aku menceritakan ini pada Erin agar kita bisa mencari solusi bersama untuk dapat mempertahankanmu tanpa kau harus keluar dari tempat ini?”
“Ok. Aku ingin tak ada yang tahu selain kalian.” ujarku.

***



Part 9 : Rahasia yang Terungkap


Aku baru kembali dari kampusku saat teh Husna datang dan memintaku untuk segera ke kantor Departemen Pendidikan Pesantren untuk menemui kepala asrama dan penanggung jawab program ini.
“Ayo Saila, teteh akan mengantarmu.” Ujar Teh Husna.
Aku mengikutinya. Baru saja kaki kami beberapa langkah dari serambi asrama, pandanganku mulai kabur, serta merta aku tak dapat mengontrol tubuhku sendiri. Tubuhku berguncang, Teh Husna menahanku sebelum tubuhku tumbang ke lantai.
“Kau baik-baik saja?” Teh Husna tampak khawatir.
“Aku baik-baik saja.” Kini perutku yang seolah tak bisa di ajak kompromi. Hal yang sama ku rasakan, perutku terasa di aduk-aduk. Aku menutup mulutku dengan tanganku, mencoba menahan mual yang seolah sulit untuk dibendung.
“Kau sakit, la?” Teh Husna tampak sangat khawatir. Aku menggelengkan kepalaku.
“Sebaiknya besok lagi saja kita ke kantor. Kau harus istirahat.”
“Nggak apa-apa teh. Sekarang aja.”
Kami berdua pun tetap pada tujuan kami semula untuk pergi ke kantor meskipun keadaanku kurang baik.
“Assalamulaikum Saila...” sambut pak ustadz Khalid, kepala asrama kami saat aku dan Teh Husna tiba di ruang tamu kantor. Beliau menyapa dengan penuh kelembutan layaknya seorang ayah pada putrinya.
“Waalaikumsalam. Abi” jawabku. Aku dan para santri lainnya terbiasa memanggil “Abi” karena beliau memang seperti ayah kami. Tak berapa lama ustadz Hilal penanggung jawab program pesantren kami datang ke ruang tamu kantor.
“Kau tahu kenapa kami memanggilmu kemari?” tanya Abi Khalid.
“Ya, Anda semua akan mengatakan bahwa aku tak layak lagi tinggal di asrama ini bukan?” ucapku.
“Bukan tak layak Saila...” bantah Abi.
“Tapi kami ingin meminta penjelasan kepadamu, kenapa kau selama ini selalu melanggar peraturan asrama.” Ujar pak Hilal.
Aku tak menjawab pertanyaan pak Hilal. Aku tak akan mengatakannya. Cukup Kak Salwa yang tahu. Bicara atau pun tidak akhirnya aku akan di keluarkan dari asrama ini meskipun waktu wisuda tinggal dua minggu lagi.
“Saila, kenapa diam? Ayo ceritakanlah pada abi dan pak Hilal.” Teh Husna turut membujukku.
Aku masih diam seribu bahasa. Jantungku semakin kuat berdetak, nafasku mengalir tak beraturan.
“Kau takkan mengatakan apapun? Satu alasan yang meyakinkan kami untuk bisa mempertahankanmu disini.” Ucap Abi.
“Bukankah pak Kyai pernah mengatakan alasan itu hanya memperjelas kesalahan?” ujarku seolah ingin menantang mereka berdua.
“Ya kami mengerti. Tapi mungkin saja alasanmu itu bisa kami terima dan kami bisa memaafkanmu.” Ujar pak Hilal. “Kami hanya berupaya untuk tabayun denganmu supaya semuanya jelas dan tidak menimbulkan suudzan.”
Entah kenapa mulutku masih enggan untuk berucap. Meskipun aku tahu konsekuensinya sama saja, bicara atau tidak pulang ke asrama aku tetap harus bersiap-siap mengemas barang-barangku. Hatiku malah ciut, apa mungkin jika aku jelaskan mereka akan percaya dengan kata-kataku. Apalagi jika lelaki yang jadi suamiku adalah orang yang mereka kenal, santri teladan mereka.
“Baiklah... Jika kau mau menjelaskannya kepada kami. Kau mungkin memang tak mengharapkan untuk tetap bertahan di pesantren ini. Lagi pula apa yang kau lakukan dapat merusak citra Daarul Ihsan.” Ujar pak Hilal.
Dia telah menyiapkan surat pernyataan aku di keluarkan dari tempat ini. Beliau mengeluarkan pulpen dari saku bajunya dan siap untuk menandatangani surat itu.
Aku memejamkan mataku, aku tak kuasa untuk melihatnya. Maafkan aku Aidan, aku tak bisa seperti yang kau harapkan... aku tak bisa menjadi santri teladan sepertimu. Mungkin aku termasuk ke dalam daftar hitam santri bermasalah, tapi sedikit pun mereka tidak dapat mengambil ilmu yang aku dapat dari mereka...
“Assalamualaikum...” aku mendengar suara akhwat masuk ke ruang tamu. “Maaf abi, apa saya boleh masuk?”
“Masuklah Salwa.” Abi mengizinkan Kak Salwa untuk bergabung bersama kami.
“Jika Saila enggan untuk menceritakan yang sebenarnya. Saya bersedia. Dia telah menceritakan semuanya pada saya.” Ujar Kak Salwa.
Dia menatapku, aku membalas tatapannya. Kugelengkan kepalaku tanda aku memintanya untuk tidak menceritakannya. Kak Salwa tak mempedulikan tatapan mataku yang memohon dengan sangat untuk tidak mengatakan apapun.
“Maaf Abi...” ujar Kak Salwa.
Kak Salwa diam beberapa saat. Kemudian dia menceritakan semua tentangku dan Aidan dengan detailnya. Para ustadz dan Teh Husna menyimak setiap kata yang keluar dengan baik. Selama itu, hatiku terus menjerit meminta Kak Salwa untuk menghentikan ceritanya.
Selesai bercerita Kak Salwa memandangku lembut. Kedua matanya mengungkapkan kata maaf yang sebesar-besarnya. Aku mengerti dia hanya ingin mempertahankanku. Aku memandang kedua ustadz itu. Dadaku berdebar-debar menyaksikan amarah yang hendak keluar dari hati mereka, aku tahu apa yang aku pikirkan itu takkan terjadi. Mereka pandai menahan emosinya.
“Astagfirullah Saila, apa yang anti perbuat itu akan menimbulkan fitnah. Dan sudah terbukti anti telah membuat kami suudzan kepada anti.” Nasehat Abi.
“Saila telah berjanji bahwa dia akan keluar dari asrama setelah wisuda, bukan sekarang.” Tambah Kak Salwa. “Jadi bisakah Saila tetap bertahan disini sampai dia wisuda?” pinta Kak Salwa.
“Tapi dia telah membohongi kami tentang status aslinya.” Ucap pak Hilal.
“Dia tidak pernah merasa membohongi siapapun. Tak ada seorangpun yang menanyakan statusnya. Bahkan saat pendaftaran tak ada keterangan tentang status marital.” Kak Salwa masih membelaku.
“Salwa benar.” Abi Khalid mengamini.
“Abi, saya mohon izinkan dia untuk tetap disini. Dia tak ingin membuat suaminya kecewa untuk sekian kalinya. Permintaan suaminya sangat sederhana. Apa Abi dan pak ustadz tak ingin menolongnya?” Kak Salwa memelas. Aku tak tega melihatnya mengemis di depan mereka.
“Jadi niat Saila bertahan disini hanya untuk suaminya? Bukan karena Allah swt semata?” ucap Abi.
Kata-kata abi mambuatku tersadar bahwa selama ini aku bertahan karena Aidan bukan karena Allah.
“Astagfirullah. Saila kau tak akan mendapatkan apapun disini jika niatmu hanya mencari ridho manusia. Kami disini mendidik para santri untuk menjadi insan yang lebih baik dengan menerapkan nilai-nilai ma’rifatullah. Sadar akan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dan melakukan setiap kegiatan hanya untuk mencari ridhoNya bukan ridho manusia yang hanya sesaat. Meskipun kita tahu bahwa ridho Allah juga terletak pada ridho suami.” Nasehat Abi panjang lebar.
Kata-kata abi membuatku lebih sadar lagi. Selama ini tujuanku telah benar-benar menyimpang. Aku terlalu ingin membahagiakan Aidan tanpa peduli apa Allah ridho atasku. Selama ini aku selalu mengatakan pada Aidan agar selalu mencari ridhoNya. Namun aku sendiri belum paham dengan apa yang aku katakan.
Terimakasih Abi, kau telah menyadarkan aku. Sekarang aku tak peduli dengan keputusan mereka. Mungkin ini yang terbaik untukku. Aku hanya ingin Allah ridho padaku. Ya Allah maafkan aku...
Air mata mengalir perlahan di pipiku. Aku merasa sangat kecil di hadapanNya. Aku merasa, aku telah melupakanNya.
“Sekarang terserah Abi dan pak ustadz. Saya akan segera membereskan barang-barang saya sekarang juga.” Hanya itu kata yang keluar dari mulutku.
Semua orang diam, tak ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Kak Salwa diam menunduk, pandangannya terpusat pada ujung taplak meja. Nafasnya naik turun tak karuan. Matanya mulai berkaca-kaca. Teh Husna pun turut diam seribu bahasa. Dia memutar-mutar handphone di antara jari-jarinya. Abi menghela nafas berat, lalu menyandarkan tubuhnya disofa. Sedang pak Hilal terlihat bingung, beliau seperti tengah berfikir keras.
“Siapa yang menyuruhmu pergi dari sini? Program berjalan dua minggu lagi. Kau masih berhak disini .” Ujar pak ustadz Murtaza, ketua Depdik yang mempunyai wewenang atas santri-santrinya.
“Benarkah??” ucap Kak Salwa girang. Aku hanya memejamkan mataku, mengucapkan syukur yang mendalam atas kesempatan kedua yang Allah berikan untukku.
Alhamdulillah, desisku. Aku mengelus perutku. Sayang, bunda masih punya kesempatan disini, ucapku dalam hati pada bayi yang ada dalam kandunganku.

***


Sore itu aku membuka emailku hanya ingin melihat apa ada email baru yang masuk. Seperti yang kuduga sebelumnya. Sebuah email baru dari Aidan untukku.
Re: [ Happy birthday my lovely...]
Waalaikumsalam...
Terimakasih atas do’anya. Aku pun berharap demikian, bahagia dengan anak-anak kita. Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Aku baru saja menyelesaikan pertandinganku yang terakhir, Alhamdulillah. Kejutan apa yang kau siapkan untukku? Aku jadi berdebar-debar menantinya.
Insya Allah aku akan datang di acaramu nanti. Aku akan datang dua minggu lagi tepat pada acara itu, Insya Allah. Kini aku harus menyelesaikan beberapa tugasku yang tak bisa ditunda.
Aku selalu merindukanmu.
Your lovely hubby
Aidan

Aku menutup emailku tanpa membalas pesannya. Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku segera mengambilnya di tasku.
Ayah memanggil...
Aku segera mengangkatnya. Aku tak tahu kenapa ayah tiba-tiba meneleponku. Mungkin beliau kangen pada putri bungsunya.
“Assalamualaikum ayah?” salamku
“Waalaikumsalam.” Jawabnya ketus. Aku tak tahu kenapa ayah berlaku demikian padaku.
“Saila tinggalkan dia!” ucap ayah kasar.
Aku tak mengerti kenapa beliau bersikap demikian, padahal kami telah lama tak berjumpa. Sekalinya menelepon dia marah padaku. Dibalik sana ku dengar isak ibu. Ada apa ini?
“Ayah, aku tak mengerti.” Jawabku.
“Tinggalkan Aidan! Laki-laki itu tak pantas untukmu.” pinta Ayah langsung tanpa menjelaskan duduk permasalahannya terlebih dahulu padaku.
“Katakan padaku, apa salah Aidan sehingga ayah memintaku meninggalkannya?”
“Kau tak tahu kelakuan suamimu itu di belakangmu. Harusnya dia sadar, dia itu diawasi para paparazi yang begitu marak di Inggris sana. Sebaiknya dia menjaga sikapnya.”
“Ayah, aku tak paham dengan maksudmu?” aku masih belum paham dengan permintaan ayahku. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dia selingkuh di belakangmu! Kau terlalu polos putriku. Jadi tinggalkan dia segera mungkin sebelum kau terus di sakitinya.”
“Ayah, apapun yang terjadi. Aku takkan meninggalkannya. Aku sudah mengenalnya, aku pikir, dia tengah di fitnah?!”
“Baiklah... jika kau tetap ingin bersamanya. Lupakan aku! Dan jangan pernah berharap aku menjadi ayahmu lagi. Aku hanya ingin kau tak terluka setelahnya. Tapi kau terlalu keras kepala!” ayah menutup telepon tanpa mengucapkan salam.
Aku segera membuka google dan ku masukkan nama Rafaël Alvarez pada mesin pencari itu. Tak berapa lama muncullah beberapa berita tentangnya. Aku terkejut saat ku temukan sebuah berita tentangnya. Aku lebih terkejut lagi ketika kulihat sebuah foto dia dengan Sandrine melengkapi berita itu. Foto itu yang menjadi sorotan hangat berita itu. Foto Aidan yang tengah duduk di sebuah pesta malam dengan kemeja hitam dan tuxedo hitamnya tanpa dasi. Di sampingnya berdiri Sandrine tengah menatapnya mesra dengan gaun malamnya yang terbuka. Perlahan aku membaca isi berita itu.
“Kami melewatkan malam itu dengan begitu indah!” komentar Sandrine dalam berita itu. Berita itu bagai pisau yang menghujam jantungku, mengoyak dan mencabiknya.
Hingga mungkin jantungku tak berbentuk lagi. Aku terasa dihempas dalam besarnya ombak di lautan, menghantam karang-karang yang menghalanginya menuju pantai.
Inikah yang telah membuat ayah begitu marah padanya? Aku tak percaya Aidan melakukan itu padaku. Dia hanya mempermainkan pernikahan ini. Apa aku pantas meninggalkan ayah hanya untuk pria yang telah mengkhianatiku? Apa dia masih pantas untuk dipertahankan? Kenapa ia lakukan ini padaku di saat aku mencintainya dengan segenap hatiku. Di saat ia telah menyemai benih di rahimku. Apa hanya ini yang ia cari dariku? Lantas setelah mendapatkannya ia bisa mencampakanku begitu saja? pikiran-pikiran buruk kalang kabut di otakku.
Hatiku semakin perih.
Aku segera kembali ke asrama dan pergi menuju kamarku. Aku mencoba berfikir jernih, namun pikiranku selalu buntu. Aku tak berpikir lagi dia tengah difitnah setelah aku melihat bukti dari foto itu. Akan tetapi sisi hatiku yang lain mengatakan yang berbeda, aku yakin Aidan tak seperti yang dikatakan Sandrine. Aku yakin dia mencintaiku. Aku masih pantas untuk mempercayainya, dia ayah dari bayi yang aku kandung. Aku yakin dengan perubahan Aidan yang jauh dari dua tahun yang lalu.
Sayangnya hatiku lebih di dominasi oleh pikiran-pikiran buruk yang menambah buruk suasana hatiku. Aku hanya bisa terpuruk di sudut kamarku menangisi keadaanku setiap hari. Aku tak pernah ingin membuka email dari Aidan, kalaupun aku mambacanya, aku tak ingin membalasnya. Keadaan buruk itu di tambah buruk lagi dengan permintaan dari ayahku yang terus menerus untuk meninggalkannya. Bahkan ayah tak ingin menemuiku, sampai aku menyerahkan surat perceraianku padanya. Tak jarang ayah menghindariku, ketika kami semua berkumpul untuk merayakan milad Nawfal di rumah mas Deniez .
Meskipun segala pikiran buruk terlintas di benakku, aku tetap membelanya di hadapan ayahku.
“Aku akan buktikan padamu bahwa dia mencintaiku.” Ujarku saat terakhir kalinya ayah meneleponku dan kembali memintaku meninggalkan Aidan.
“Baiklah... buktikan padaku Saila! Suruh dia meninggalkan apa yang dia miliki sekarang dan hidup sederhana denganmu di sini.” Ayah kembali menutup teleponnya dengan emosi.
Bagaimana aku membuktikan pada ayah jika aku saja tak yakin sepenuh hati Aidan akan meninggalkan semuanya hanya untuk seorang gadis biasa seperti aku. Aku menarik nafas panjang-panjang hingga udara memenuhi seluruh sudut paruparuku. Allah maha berkehendak. Semua yang terjadi di dunia ini dengan kehendakNya, gumamku.
Hari-hariku terasa kelabu jika ku ingat apa yang dilakukan Aidan. Beberapa kali Aidan menelponku karena tak ada satu pun emailnya yang ku balas, tapi aku tak pernah mengangkatnya.
Saudara-saudara asramaku mulai merasa khawatir dengan keadaanku yang menarik diri dari mereka dan lebih suka menyendiri di kamar dengan tangis yang seolah tak mau berhenti mengalir.
“Saila, Suamimu menelepon.” Kak Salwa menyerahkan handphoneku padaku yang terus bordering. Aku beranjak dari tempat dudukku menghindarinya. Ku tatap diriku di cermin. Wajahku kuyu, mataku lebam.
“Aku tak ingin berbicara dengannya.” Lirihku.
“Halo… Assalamualaikum.” Akhirnya Kak Salwa yang menjawab teleponnya.
“Bukan, saya Salwa, kakak asrama Saila.”
“Maaf Mas, Saila sedang tidak ingin diganggu.” Ujar Kak Salwa yang tak lama setelah itu mengakhiri percakapan mereka.
“Saila… apa yang terjadi diantara kalian? Kalian bertengkar?” Kak Salwa menatapku cemas. “Suara suamimu terdengar sangat mengkhwatirkanmu. Katanya kenapa kau tak membalas email dan tak mau mengangkat teleponnya.”
“Entahlah aku pun tak tahu, aku hanya ingin menghindar darinya untuk beberapa saat. Aku hanya ingin merenung dan mencari fakta yang sebenarnya.”
“Aku tak mengerti apa yang kamu katakan. Aku harap kau tidak terlalu lama menghindari suamimu, dia sungguh mengkhawatirkanmu.”
“Kakak yakin dia mengkhawatirkanku? Apa itu bukan sandiwaranya?”
“Apa yang kau katakan Saila! Tidak mungkin seorang suami berpura-pura mengkhawatirkan istrinya. Tentu dia sungguh mengkhawatirkanmu.”
“Aku…” aku tak sanggup untuk melanjutkan kata-kataku.
“Ayolah Saila, aku tak ingin melihatmu terus terpuruk seperti ini? Sampai kapan? Kau mengabaikan kesehatanmu, kau telah mendzalimi tubuhmu. Berapa lama kau tidak makan?”
Aku mencoba berpikir, sejak kejadian itu tepatnya minggu lalu hanya setengah piring yang masuk perutku dan itu pun dengan paksaan saudara-saudaraku di asrama.
Suatu ketika aku tersadar pada bayiku. Keadaanku dapat mempengaruhi kondisinya nanti. Dia dapat merasakan apa yang aku rasakan. Kondisinya sama lemah dengan kondisi tubuhku yang hanya terisi sedikit makanan. Aku mencoba untuk bangkit dari keterpurukan ini. Aku sadar sepenuhnya aku hanya akan terus-terusan menyiksa bayiku dan diriku sendiri.
“Apa aku harus menelepon suamimu dan menceritakan apa yang terjadi padamu saat ini?”
“Tidak!!” teriakku. “Dia pasti akan datang dan aku tak ingin berjumpa dengannya.”
“Saila… kau percaya padaku? Jika kau mau, kau bisa cerita apa yang terjadi antara kau dan suamimu. Seperti dulu kau percaya padaku dan menceritakan bahwa kau telah menikah dan bersuami.” Kak Salwa menatapku dengan penuh rasa keibuan. “Siapa tahu aku bisa membantumu.”
“Tapi…”
“Aku tahu, aku belum pernah mempunyai pengalaman tentang pernikahan sama sekali. Tapi kau jangan ragukan ilmu tentang pernikahan yang aku miliki. Siapa tahu ilmu yang kudapat dari pelatihan itu bisa bermanfaat untukmu juga.”
“Terimakasih Kak. saat ini aku belum bisa bercerita padamu seperti dulu.

***



Part 10 : Dinding Kaca


Hari itu semua orang telah berkumpul di sebuah aula pesantren yang terletak di sebelah barat laut dari asramaku, untuk mengadakan upacara wisuda. Aula itu telah sesak di penuhi oleh para santri yang di dampingi orang tua dan kerabatnya yang turut hadir untuk menyaksikan acara yang dinanti para santri itu.
Hanya Kak Salwa dan aku yang tak di dampingi oleh orang tuanya. Meski begitu salah seorang kakak lelaki Kak Salwa datang untuk mendampinginya. Sedangkan aku?
Aku benar-benar sendiri. Ayahku tak datang, beliau masih marah padaku dan ibu takkan mungkin datang tanpa ayah, beliau terlalu patuh pada perintah ayahku. Kak Wafa sendiri saat ini pergi ke Solo untuk mengunjungi mertuanya yang telah lama tak di kunjunginya. Mas Deniez dan kak Yasmin pun tak bisa datang, karena harus menjaga Nawfal yang demam sejak tadi malam dan si kecil Ayla yang baru berumur satu tahun. Acara telah berlangsung satu jam yang lalu. Suasananya sangat meriah, mulai dari tausyiah dari pak Kyai, hingga kreasi seni yang menyajikan nasyid dan pembacaan puisi Islami.
Tak ada satupun acara yang aku ikuti dengan sepenuh hati. Pikiranku terus terbayang pada ayah dan Aidan. Keduanya terus melintas dalam benakku silih berganti.
“Saila...” Kak Erin memanggilku dan membuyarkan semua lamunanku. Ia duduk di kursi kosong di sampingku.
“Keluargamu tak ada yang datang?” tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku perlahan.
“Sabar ya...” ucapnya lembut.
Aku mengangguk. Kak Erin rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menemaniku bercakap-cakap.
“Suamimu juga tak datang?” tanyanya lagi.
Aidan? Bahkan aku tak mengharapkannya lagi untuk datang disini.
“Aku tak tahu. Mungkin beliau sibuk.” Ujarku datar.
“Assalamualaikum...” aku mendengar suara seseorang menyapa kami beberapa menit setelah itu.
“Kang?” Kak Erin sedikit terkejut melihat sosok yang baru saja mengucapkan salam itu. Aku sendiri enggan untuk menoleh pada laki-laki itu bahkan hanya untuk ingin tahu siapa dia.
“Saila, kenalkan ini Kang Aidan alumni santri privat disini.” Ujar Kak Erin.
Aku tersentak, aku segera menoleh pada laki-laki itu.
“Kami telah saling mengenal.” Ujar Aidan. “Beliau ini istri saya.” Tambahnya.
Kini giliran Kak Erin dan Iis yang duduk tak jauh dari tempat kami duduk tersentak kaget.
“Saila...” desis Iis.
Pandangannya terpusat tajam padaku setajam mata anak panah. Aidan menyodorkan setangkai mawar putih padaku. Aku hanya memandang mawar itu sinis. Aku beranjak dari tempat dudukku dan melangkah meninggalkan aula yang cukup bising itu. Aidan mengikuti di belakangku.
“Aku ingin tahu, kejutan apa yang akan kau berikan padaku?” tanya Aidan dengan senyum khasnya.
“Tak ada kejutan apapun.” Jawabku dingin.
Aku terus melangkah menuju tempat parkir di samping aula itu. Aku melihat Audi A3 hitam milik Paman Ali terparkir disana.
Aidan pasti yang membawanya. Dengan SIM internasional yang dimilikinya, dia dapat mengendarai kendaraan di Negara manapun yang mengakui SIM tersebut.
“Bukankah kau mengatakan kau punya kejutan untukku?”
“Kau salah, aku tak punya kejutan apapun untukmu.” Ujarku ketus.
“Ada apa denganmu Saila? Kau begitu dingin padaku.” Aidan menjejeri langkahku
“Apa ada masalah? Apa ini yang jadi permasalahan kau tak mau mengangkat telponku?”
“Kenapa kau harus bertanya itu padaku? Bukankah kau lebih tahu jawabannya?”
“Aku tak mengerti.”
“Jangan pernah bersikap seperti itu Aidan! Kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan di sana dengan mantan kekasihmu itu?” ucapku dengan nada bergetar menahan tangis.
“Astagfirullah. Pasti ini tentang berita yang disebar media itu. Harus kau ketahui Saila, aku tak pernah melakukan apapun dengan Sandrine!”
Kami berhenti di depan pintu masuk tempat parkir tersebut.
“Apa yang ingin kau sembunyikan dariku? aku telah tahu semuanya. Para wartawan itu senang memberitakanmu. Dan gadis itu, Sandrine! Dia telah membenarkan apa yang mereka ceritakan tentangmu dan dirinya.”
“Masya Allah Saila, aku di fitnah! Aku tak mungkin mengkhianatimu, aku mencintaimu. Selama gosip itu menyebar, hanyalah kau yang ada di pikiranku dengan keyakinan kau akan menolak gosip itu mentah-mentah dan mempercayai aku seutuhnya.” Suaranya terdengar bergetar.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan hatiku yang mulai menegang.
“Sayangnya... aku tak sebodoh yang kau pikirkan.” Aku mendelik.
“Demi Allah Saila, aku tak pernah berpikir tentang kau seperti itu. Aku hanya berharap istriku lebih percaya aku daripada gosip murahan itu.”
“Baiklah… buktikan kalau kau benar-benar mencintaiku.”
“Aku mencintaimu karena Allah.” ujarnya tenang.
“Hiduplah disini bersamaku dalam kesederhanaan. Tinggalkan London dan kariermu.”
Aidan tampak sangat terkejut. “Aku tak mungkin melakukan itu!” ucapnya spontan.
Aku terkejut mendengar jawabannya, aku tak menyangka dia akan menolak permintaanku. Aku bertambah yakin ia tak sepenuhnya mencintaiku.
“Kenapa Aidan? Kau takut? Kau takut tak bisa hidup mewah? Kau takut tak akan dipuja-puja lagi oleh penggemar wanitamu? Kau takut tak bisa bertemu dengan Sandrine?” ucapku penuh emosi.
“Cukup Saila!!” teriaknya. “Kau telah menyinggungku.” sebuah tamparan mendarat di pipiku.
Aku tak menyangka Aidan akan sedemikian marahnya padaku. Semua orang di sekitar memandang kami heran. Aku tak menyangka Aidan akan melakukan hal itu. Aku tak menyangka dia akan menyakitiku dan mempermalukanku di depan semua orang.
Aku memegang pipi kiriku yang memerah. Air mata mulai menutupi pandanganku. Tapi aku masih dapat melihat rasa bersalah dan penyesalan terlukis di wajah Aidan. Dia memandangi tangan kanannya. Nafasnya pun mengalir tak beraturan.
“Astagfirullah...” desisnya
“Terimakasih, kak.” Ujarku terisak. “Kau melimpahkan kesalahanmu padaku dan mempermalukan aku di depan semua orang.”
Aku hendak berlari meniggalkannya, namun tangan kirinya berhasil meraih lengan kananku. Sehingga aku tak bisa pergi darinya.
“Maafkan aku Saila. Aku tak bermaksud...” kata-katanya terputus.
Aku tak mengatakan apapun. Aku meronta meminta untuk di lepaskan. Tapi Aidan tak melepaskanku. Tangannya begitu kuat mencengkram lenganku. Aidan menoleh ke arah kiri dan kanan sebelum akhirnya menarikku dan membawaku ke dalam mobil Paman Ali yang ia pakai.
Aidan membukakan pintu penumpang dan memintaku masuk. Entah apa yang mendorongku untuk mengikuti perintahnya, aku mengalah, aku menurutinya masuk ke dalam mobil. Sedangkan dia sendiri duduk dibalik kemudinya.
“Sungguh Saila… maafkan aku, aku refleks melakukan itu.” Tangannya mendekati wajahku, aku segera menghindar.
“Aku takkan menyakitimu lagi.” Janjinya. Kedua tangannya terus mendekati wajahku, jari-jarinya menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan halus. “Maafkan aku…” bisiknya. “Wajahmu sakit…?” ujarnya lagi.Ya, tapi hatiku lebih sakit, ucapku dalam hati. Aku diam tak menjawab. Aku masih menghujaninya dengan tatapan sinis. Perlahan ku lepaskan tangannya yang mendekap wajahku.
Aidan menyalakan mesin mobilnya dan meluncur pergi meninggalkan tempat parkir.
“Biarkan aku turun disini.” Pintaku di tengah jalan.
Aidan tak menggubris permintaanku, dia terus menjalankan mobilnya hingga berhenti di depan rumah Bibi Sarah.
“Apa maksudmu membawaku kesini? Apa kau ingin Paman dan Bibi melihat pertengkaran kita?” aku mengerang. Aidan menarik tanganku dengan lembut untuk keluar dari mobil dan membawaku masuk kedalam rumah.
“Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin mereka menjadi penengah kita.”
“Kau curang! Jika kau ingin ada penengah maka kau harus menghadirkan dari pihakku.”
“Bagaimana mungkin aku menghadirkan ayahmu atau kakakmu sebagai penengah jika mereka telah membenciku.”
“Membencimu?” aku terkejut. “Nah! Kau sudah tahu mereka membencimu, itu karena kesalahanmu. Berarti kau telah tahu apa kesalahanmu, lantas kenapa kau masih tanyakan lagi padaku?”
“Aku di fitnah Saila! Tidak bisakah kau percaya pada suamimu sendiri?” Aidan mulai mengerang, kedua grahamnya saling beradu, mulutnya terkatup rapat.
“Lantas sekarang apa yang kau mau dariku?”
“Aku hanya ingin mempertahankan pernikahan kita. Aku hanya ingin kau mempercayaiku, Saila.” Aidan menutup pintu ruang tamu agar suara kami yang mulai mengeras tak terdengar oleh tetangga. “Apa yang bisa kulakukan agar kau kembali percaya padaku?”
“Bukankah kau sudah tahu? Kenapa kau harus bertanya lagi? Tinggalkan karirmu dan hiduplah bersamaku disini.”
“Kau tidak bisa egois seperti itu Saila!”
“Kau yang egois, kak! kau tak merasakan, popularitasmu itu melukai perasaanku.”
“Ku pikir kau sudah paham, bagaimana konsekuensi menikah denganku?”
“Aku paham, seandainya waktu itu aku bisa menolak keinginan orang tuaku untuk menikah denganmu. Aku akan lebih memilih menikah dengan laki-laki biasa.”
“Jadi kau menyesal menikah denganku?”
“Aku tak akan menyesal jika kau bisa seperti laki-laki lainnya yang hidup normal tanpa penggemar dan paparazzi.”
“Hentikan keegoisan itu Saila! Aku tak pernah ingin menjadi orang yang populer, aku hanya melakukan semua ini untuk keluargaku. Aku bisa saja meninggalkan semua itu. Dengan begitu aku akan kehilangan keluargaku, bagaimana aku mengobati ibuku dan menyekolahkan adikku, jika aku harus tinggal disini ?” Aidan terkulai lemas diatas sofa. “Ayahku akan membawa adikku, lalu Ibuku?”
Aku turut terkulai lesu, “Aku tahu semua itu hanya alasanmu. Aku tahu kau menikmati semuanya termasuk pujian gadis-gadis itu kan ?” suaraku mulai melemah namun tak mau kalah. Toh Paman Ali mapan beliau bisa membantu pengobatan Ny. Nicole, pikirku.
“Seberapa sulitkah bagimu untuk bisa mempercayaiku?”
“Sesulit menerima kenyataan kau berselingkuh dengan Sandrine !”
“Wallahi… Aku di fitnah! Berapa kali aku harus mengatakannya.”
“Kau berani bersumpah padahal buktinya sudah ada, kenapa kau harus menyangkal lagi?”
“Semua itu masih harus di buktikan dengan adanya empat orang saksi. Bisakah kau mendatangkan saksi itu untuk membuktikannya?” tantang Aidan, kemarahan telah menyeruak dalam dirinya. Sesekali Aidan beristighfar untuk meredam emosinya.
“Paparazi itu?”
“Mereka hanya melihat Sandrine duduk mendekatiku dan memanfaatkan moment itu untuk memfitnahku.”
“Apa pernyataan Sandrine itu belum jelas untuk menggambarkan apa yang kalian lakukan malam itu. Sandrine! Tokoh utama dalam adegan yang kalian lakukan!” Aku beranjak dari tempat dudukku, Aidan turut beranjak dan kembali meraih tangan kiriku dengan tangan kanannya.
“Lepaskan aku!” kali ini aku bisa lepas dari cengkramannya dan berlari meninggalkan rumah itu. Dia masih menatap dan membiarkanku pergi.
Sejak kejadian itu aku tak pernah mau bertemu dengannya. Aku tak ingin bertemu dia lagi. Apa yang dikatakan ayah benar, dia tak pernah mencintaiku seperti yang aku pikirkan selama ini. Sulit mempercayai perkataannya, tak ada satupun fakta yang mendukung ucapannya. Aku tak tahu apa alasan sebenarnya dia menikahiku. Apakah dia menikahiku karena dia memang ingin menyakitiku? Lalu apa salahku sehingga tujuannya menikah denganku hanya untuk menyakitiku? Sedikitpun aku tak bisa berpikir baik tentangnya, karena tak ada hal baik apapun yang bisa ku pikirkan tentangnya. Aku bersumpah, aku akan mengikuti nasehat ayahku dan sampai kapanpun bayiku tak akan pernah tahu siapa ayahnya.
Untuk apa? Bayiku tak butuh ayah sepertinya.
Aidan tak berhenti menggangguku. Ia selalu datang ke rumah mas Deniez untuk menemuiku, tapi aku tak ingin melihatnya lagi. Beberapa kali dia meneleponku tapi aku tak pernah ingin sekalipun mengangkat teleponnya serta puluhan SMS yang ia kirim tak pernah sekalipun aku balas. Hingga suatu hari dia berhenti menggangguku. Tak ada telepon ataupun SMS yang dia tujukan untukku. Aku rasa dia telah kembali ke London.

***


Aku meletakan data perkuliahanku di meja kerja dosen pembimbingku. Saat itu dosen pembimbingku Madame Julia tak ada di tempat kerjanya. Aku mencoba menunggunya untuk
meminta sedikit bimbingan atas beberapa nilaiku yang menurun pada semester ini. Namun beliau tak kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari kantornya dan menemuinya di lain waktu.
“Bonjour! (selamat pagi!).” Monsieur Dylan, dosen native speakerku yang diimpor langsung dari Perancis menyapaku.
“Bonjour!” jawabku. “Je sais que vous allez enseigner à l’autre université, à l’autre pays. (Aku dengar, anda akan mengajar di universitas lain, di Negara lain).
“Tu as raison, je vais enseigner à Auckland. (Kau benar, aku akan mengajar di Auckland,).” kami berdua keluar dari kantor itu. “Je vais partir après demain (Aku akan pergi besok lusa).”
“Auckland? Neuve-Zélande !Oh... vous allez me manquer (Auckland? Selandia Baru ! Oh... Aku akan merindukanmu).” Ujarku.
“Maintenant, Tu vas aller où? (Sekarang, Kau akan pergi kemana?)” tanyanya.
“Je vais rentrer chez moi. Au revoir! (Aku akan pulang ke rumah. Sampai jumpa!)”
“Au revoir! (sampai jumpa!)”
Kami pun berpisah di depan kantor dosen jurusan bahasa Perancis. Baiklah...kalau begitu aku akan segera pulang dan istirahat sebelum pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan si kecil yang belum seorangpun tahu tentang keberadaanya dalam perutku. Aku terus melangkah di antara lorong-lorong gedung fakultas yang sepi. Sebagian besar mahasiswa tengah menikmati libur panjang mereka. Hanya ada beberapa mahasiswa yang pergi ke kampus untuk mengikuti kuliah di semester padat ini.
“Saila...!” seseorang memanggilku. Aku segera menoleh ke sumber suara.
“Kak Aidan?” desisku.
Aku mempercepat langkahku untuk menghindar darinya. Aku pikir dia telah kembali ke Negaranya.
“Tunggu aku!” teriaknya. Dia mengejarku dan berhasil meraih lenganku. “ Saila... maafkan aku. Aku mohon izinkan aku berbicara denganmu untuk beberapa saat.” Pintanya.
“Aku buru-buru...” ujarku ketus. Aku berusaha melepaskan tangannya dari lenganku.
Tapi seperti biasanya tangannya cukup kuat menggenggam lenganku.
“Lepaskan aku Aidan!” pintaku. Kakiku telah turun satu langkah menuju anak tangga.
“Tidak! Sampai kau memberiku kesempatan untuk berbicara padaku.”
“Jangan bertindak seperti anak kecil, Aidan!”
“Kau yang bertindak seperti anak kecil. Bisakah kau mendengarku dengan pikiran terbuka?”
“Aku tidak main-main Aidan! Aku serius. Bahkan aku jamin bayiku tak akan pernah mengenalmu. Dia tak perlu mempunyai ayah sepertimu.”
Aidan tampak terkejut demikian denganku. Diluar dugaan akhirnya aku membocorkan sendiri apa yang aku sembunyikan darinya.
“Bayi?” Aidan memandangku heran. “Kau tengah mengandung?” ujarnya. Aku diam tak menjawabnya. Matanya memandangku haru.
“Aku akan menjadi seorang ayah?” senyum mengembang di bibirnya.
“Tapi kau tak akan pernah mendengar dia memanggilmu ayah.”
Senyum Aidan menyurut dari bibirnya. Tangannya masih kuat mencengkram tanganku.
“Kumohon Saila. Demi bayi yang ada dalam rahimmu. Maafkanlah aku. Demi bayi yang ada dalam rahimku, tinggalkan popularitasmu atau lepaskan aku!” erangku. Aku mengerahkan seluruh tenagaku agar lenganku terbebas dari cengkaramannya.
Namun tubuhku goncang, aku tak dapat mengatur keseimbanganku. Dunia terasa berputar
mempermainkanku. Kurasakan tubuhku terhempas dari anak tangga satu ke anak tangga yang
lainnya, terus-menerus hingga akhirnya aku tergeletak tak berdaya di samping anak tangga terakhir. Tubuhku terasa hancur terlebih kaki kananku dan kurasakan sakit yang sangat dahsyat di perutku. Aku merintih kesakitan seraya memegangi perutku.
Aku melihat Aidan segera menghampiriku dengan sosok lainnya, Monsieur Dylan. Mereka berdua tampak khawatir melihat keadaanku, terlebih Aidan. Aku hanya merintih kesakitan sambil berulang kali kuucap kalimat istighfar dan takbir. Aidan membawaku pergi dari tempat itu.
“Masya Allah Saila...” itu adalah kata terakhir yang kudengar dari Aidan sebelum semuannya menjadi gelap.

***


Perlahan-lahan aku membuka mataku. Kudengar ayat-ayat al qur’an mengalir ditelinga, mendamaikan jiwaku. Aku tak tahu dimana aku berada. Yang aku tahu, aku berada di dalam pelukkan Aidan yang begitu hangat. Dan aku tak merasakan rasa sakit yang tadi kurasakan, kecuali sedikit rasa ngilu di perut dan kakiku.
“Maafkan aku Saila...” aku mendengar suara Aidan yang lembut dan tangannya membelai kepalaku dengan penuh kelembutan. “Semua ini terjadi padamu karena kesalahanku.”
Aku menyapu pandangan di sekitarku. Semuanya hijau, sejauh mata memandang hanya dapat kutemukan rumput hijau yang segar mengelilingi kami.
“Aidan...” panggilku lemah.
“Aku di sini Saila... aku di sini...”
“Jangan kau tinggalkan aku sendiri lagi.”
“Aku takkan meninggalkanmu! Aku akan selalu bersamamu...”
Tangan kirinya menggenggam erat tangan kiriku. Hangat, nyaman dan menenangkan. Sedangkan tangan kanannya tak berhenti membelai kepalaku.
“Bayi kita... bayi kita...” ucapku lemah.
“Aku tahu... aku tahu... dia baik-baik saja.” Ujarnya.
“Alhamdulillah...”
Beberapa lama kami terhanyut dalam kesunyian. Tak ada percakapan diantara kami. Aku tak ingin berbicara apapun. Tubuhku sangat lemah. Aku hanya merasakan kenyamanan dalam pelukkan Aidan dan aku tak ingin semua itu berakhir. Namun Aidan melepaskan pelukannya.
“Aku harus pergi untuk beberapa saat, tapi aku akan kembali untuk menjemputmu. Tunggulah aku disini. Jangan pernah pergi kemanapun sampai aku datang.” Ujarnya.
Aidan meninggalkanku di padang rumput itu sendiri. Aku melihatnya berjalan menjauhiku. Tak ada hal lain yang kurasakan selain percaya dia akan datang kembali menjemputku. Namun sampai hari beranjak gelap, Aidan tak kunjung kembali. Padahal dia tahu aku sangat takut pada gelap. Hatiku selalu yakin dia akan kembali untuk menjemputku.
Aku beranjak dari tempat dudukku. Berusaha mencari dan memanggil-manggil namanya. Dengan tertatih-tatih aku berjalan mencarinya. Hari semakin gelap, rasa takut semakin mencekamku. Aku mengingkari janjiku untuk tetap menunggunya di tempat itu. Dalam keputusasaan, aku menemukan sebuah cahaya kecil di hadapanku. Aku terus mendekati cahaya itu. Semakin aku mendekatinya, cahaya itu semakin besar dan menyilaukan kedua mataku. Sempat terpikir untuk kembali ke tempat semula dan menanti Aidan disana. Rasa takut pada gelap mengurungkan niatku dan terus melangkah menuju cahaya itu. Melangkah, melangkah dan terus melangkah, semakin mendekatinya semakin kuat pancaran cahayanya dan menyilaukan mataku.
Setelah begitu dekat, dalam cahaya itu aku melihat wajah ibu, kak Wafa, dan kak Yasmin tersenyum padaku serta ayah yang berdiri di belakang ibuku.
“Alhamdulillah... Saila kau sudah sadar, nak?” Ibu memandangku dengan tatapan haru.
“Apa yang terjadi?” tanyaku lemah. Masih kurasakan ngilu di kaki kanan dan perutku.
“Kau mengalami kecelakaan di kampusmu dan kaki kananmu patah nak. Kau sempat tak sadarkan diri selama beberapa hari, tapi tak apa sekarang kau sudah lebih baik.” Jelas Ibu.
Aku mencoba mengingat apa yang terjadi saat itu. Aku mengingatnya, semua itu berawal dari pertengkaran antara aku dan Aidan hingga aku terjatuh, lalu aku tak ingat apapun lagi.
“Bayiku? Dia baik-baik saja, bukan?” aku meraba perutku.
Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Mereka malah saling berpandangan, kemudian menatapku penuh keheranan.
“Bayi? Bayi apa?” Ayah memadangku heran.
“Bayiku dan Aidan. Bayi yang aku kandung.” Ungkapku panik. Mereka kembali saling berpandangan. Ayahku menggelengkan kepalanya sebelum ia bertanya lagi.
“Aidan? Siapa dia?”
“Aidan suamiku. Menantu Ayah. Apa Ayah lupa? Ayah boleh membencinya, tapi bukan berarti Ayah bisa melupakannya.” Ucapku pelan.
“Bayi? Aidan? Suami? kau bicara apa Saila?” Ayah terus menatapku heran, seolah ribuan tanda tanya mengelilingi kepalanya.
“Bukankah Ayah yang menikahkan aku dengannya? Apa Ayah lupa?” ujarku keras kepala. Ayah kembali menggeleng, sedangkan ibu, kak Wafa dan kak Yasmin menatapku penuh iba dan rasa pedih. Ketiga pasang mata itu berkaca-kaca.
“Biar aku panggilkan dokter.” Kak Wafa membalikkan badannya dan pergi meninggalkan kamar.
Selang beberapa menit kak Wafa telah kembali dengan seorang dokter. Dokter itu lekas memeriksa kondisiku.
“Semuanya normal. Dia hanya tinggal memulihkan luka-lukanya.” Dokter itu memberikan penjelasana setelah ia selesai memeriksaku.
“Kepalanya apa baik-baik saja?” tanya ayah.
“Ya, tidak ada masalah.” jawab dokter itu.
“Bagaimana dengan bayiku, dok?” aku menyela.
“Bayi.” Dokter itu ikut menatapku heran, seperti yang dilakukan sebelumnya oleh keempat anggota keluargaku.
“Sedari tadi dia menanyakan terus bayi dan suaminya, dok. Oleh karena itu saya menanyakan keadaan kepalanya.” Ayah memberikan penjelasan dokter itu menganggukangguk menandakan ia paham dengan penjelasan ayah.
“Saila koma beberapa hari lamanya...” Dokter menghentikan kata-katanya. Sejenak ia Menghela
“Saat Saila koma, pikirannya justru bekerja keras. Sehingga menimbulkan bayangan-bayangan
lain dalam benaknya. Maksudku, Saila seakan hidup dan menjalani kehidupan seperti dalam dunia nyata.”
“Apa itu seperti mimpi ketika kita tidur dok?” kini kak Wafa yang bersuara.
“Ya, semacam itu. Mungkin saat itulah ia bertemu dengan lelaki itu dan seakan ia telah menikah dan hamil.”
“Ilusi?” desis ayahku. Dokter itu mengangguk
“Ya. Ilusi yang tercipta dalam ketidaksadarannya.”
“Lantas bagaimana mungkin ia tidak bisa membedakan mana kehidupan nyata dan ilusinya?” Ayah terus bertanya.
“Kecelakaan itu menyebabkan benturan yang cukup keras di kepalanya. Sederhananya, memori di otaknya seakan bercampur. Itulah mengapa ia sulit membedakannya, karena mimpi itu seolah nyata baginya.”
Hatiku meringis perih. Apa yang dikatakan dokter itu keliru. Pernikahan itu bukan ilusi. Itu nyata dan aku bisa merasakan tiap denyut kebersamaan aku dengan Aidan. Itu tidak benar.
“Bapak dan ibu tak perlu khawatir seiring berjalannya waktu dia akan mampu membedakan mana ilusi dan kenyataannya.”
“Apa itu bisa dikatakan kalau saya tidak waras dok?” tanyaku
“Saila!” Ibu menyela. Dokter itu tertawa kecil.
“Tidak demikian juga Saila. Itu hanya gangguan kecil. Kecuali jika pikiranmu kau gunakan untuk berpikir dan menganggap semua itu nyata, akan sangat membutuhkan waktu yang lama agar bisa pulih kembali.” Dokter itu tersenyum satir. Tak lama ia mohon diri meninggalkan ruanganku.
“Sudah jelas semuanya.” Ujar ayah. “Aku masih ingat apa yang terjadi dalam kehidupanku. Aku tak mungkin melupakan hal penting seperti itu. Aku belum pernah menikahkan putri bungsuku dengan siapapun!”
Satu persatu keluargaku keluar kamar, kecuali Kak Yasmin yang masih dikamarku. Beliau menghampiriku lalu memelukku.
“Bersabarlah adikku...” gumam kak Yasmin. Ia membelai kepalaku.
Aku teringat cincin kawinku, aku bisa menjadikannya sebagai bukti, namun saat aku tengok, cincin itu tak lagi melingkar di jari manis kananku. Ya Allah benarkah selama ini hanyalah khayalanku? Batinku dalam hati.
“Semua itu terasa nyata bagiku Kak!” ujarku. “Aku bahkan masih dapat merasakan hangatnya pelukan Aidan dan betapa lembut tutur katanya. Apa kau lupa pada adik iparmu itu?” tanyaku.
Kak Yasmin tak mengucapkan apa-apa. Dia masih menatapku dengan iba. “Sudah masuk waktu sholat ashar. Berdoalah padanya dan mintalah kebaikan untukmu dan petunjukNya.” ujar Kak Yasmin.
Beliau membantuku bertayamum. Setelah itu beliau pergi meninggalkanku juga. Aku pun mendirikan sholat ashar. Hatiku semakin terasa perih, berontak dan menyangkal semua yang dijelaskan dokter. Mataku mulai mengembun, lantas pecah dan menganak sungai di sudut mataku.
“Assalamualaikum warahmatullah...” aku menengokkan wajahku ke arah kanan lalu ke kiri untuk mengakhiri sholatku.
Pandanganku terhenti pada jendela kamar dimana aku dapat melihat sang mentari yang hendak membenamkan dirinya di barat laut sana. Di barat laut sana, dimana benua biru itu berada, di salah satu negaranya seseorang yang kupikir telah menikah denganku kini berpijak disana. Namun nyatanya itu hanya mimpi dalam ketidaksadaranku.
Pandanganku beralih pada televisi di kamar rumah sakit yang masih menyala, saat seseorang menyebut nama Rafaël Alvarez, aku melihat mereka tengah memberitakannya. Mataku terpaku pada sosoknya tanpa memperdulikan apa yang mereka beritakan tentangnya. Dia masih seorang Rafaël Alvarez bukan Faiyaz Basel Aidan.
Hatiku begitu hancur menyaksikannya di televisi. Aku merasa menjadi sangat jauh dengan lelaki yang ada di televisi itu. Aku segera mematikan tv itu dengan remote control yang tergeletak di meja samping tempat tidurku. Kembali ku alihkan pandanganku ke arah jendela itu. Dinding kaca itu telah menjadi jarak antara aku dengannya. Bisakah aku memecahkannya?
Ku hela nafas berat, ku pejamkan mataku beberapa detik. Ya Allah beri aku petunjukMu dan beri aku kekuatan untuk bangkit, desahku. Ketika aku hendak mengambil gelas di meja kamarku, aku menemukan sebuah benda tergeletak disampingnya. MP4 hitam! MP4 itu masih lengkap dengan file yang sama. Bukankah MP4 itu yang di berikan Aidan untukku? Mungkinkah benda itu hadir dalam kehidupan nyataku? Sedangkan Aidan sendiri hidup dalam mimpiku. Tanda tanya baru muncul di benakku.

***



Part 11 : Kesadaran


Kupejamkan mataku lama... sampai akupun tak tahu seberapa lama mataku terpejam. Aku mencoba berpikir keras, mengaduk-aduk seisi otakku, mencoba menemukan jawaban atas keraguan dan ketidakyakinanku akan penjelasan dokter, satu lagi... diamnya Kak Yasmin seolah berlawanan dengan penjelasan dokter dan keyakinan keluargaku yang lain.
Menghadirkan tanda tanya lain yang justru memberiku sejuta kebingungan dan rasa penasaran yang semakin membuncah di hatiku. Kebingungan yang membuat jiwaku terasa lemah, selemah tubuhku yang masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
“Aku masih ingat apa yang terjadi dalam kehidupanku. Dan aku tak mungkin melupakan hal penting seperti itu. Aku belum pernah menikahkan putri bungsuku dengan siapapun!” kata-kata Ayah terus mengiang di telingaku.
“Saila, bukankah aku telah menjadi suamimu?” kata-kata Aidan pada malam pertama kami bersama tak kalah mengiang di telingaku seolah membantah keras pernyataan ayahku.

Ya Allah... Engkaulah yang maha mengetahui apa yang terjadi dalam kehidupanku. Berilah aku petunjukMu, jika apa yang aku alami ini benar. Berilah aku kekuatan untuk bangkit, jika semua itu hanya mimpi dan angan-angan kosongku semata...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar