Jumat, 28 Maret 2014

Samudera Hati (Part 1)

Karya : Fathia Mohaddisa

Part 1: Lelaki dari Benua Biru


Pagi itu setiap orang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Beberapa orang hilir mudik di hadapanku. Aku dibuat pening karenanya, terutama ibu dan kak Yasmin. Meski tampak lelah, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Kak Wafa, mas Deniez dan mas Fadli hanya terdengar suaranya. Memberi intruksi ini dan itu pada orang-orang yang sejak minggu kemarin telah meramaikan rumahku. Mereka yang dengan sukarela membantu mempersiapkan keperluan untuk acara hari ini. Namun aku tak melihat ayah sejak pagi tadi. Dimana beliau? Pasti beliau sedang mempersiapkan hal lainnya, yang entahlah aku tak mengerti atau mungkin beliau sibuk menyambut kedatangan para tamu.

Aku sendiri hanya diam mematung. Aku layaknya permaisuri dengan kebaya putih yang lengkap dengan hiasan melati membalut kerudungku, duduk di atas ranjang yang telah mereka sulap bak kamar raja dan ratu di sebuah istana. Sprei putih bersih dengan berbagai bunga diatasnya. Mawar, anggrek, tulip, semua menghiasi tempat tidurku yang sederhana kini terlihat begitu elegan. Ya... hari ini aku akan jadi ratu seharian. Aku tak percaya hari ini adalah hari pernikahanku. Aku melirik kalender kecil yang diletakkan kak Wafa di atas meja riasku. Bulan Juni, itu berarti aku mambutuhkan waktu tiga bulan untuk menggenapkan usiaku menjadi dua puluh tahun. Hah! Usia yang begitu muda bagiku untuk menikah. Aku menahan nafas saat mengingat fakta itu.
Aku jadi teringat dua bulan yang lalu saat Kak Wafa menyampaikan berita ini padaku dengan kekonyolannya.
“Kau tahu? Ibu sudah menyiapkan segala sesuatunya agar kau bisa segera mengikuti jejakku.”
Ah... rangkaian kata yang sulit aku pahami.
“Maksudmu?” aku menyipitkan mataku, dengan maksud aku tak paham dengan kata-katanya.
“Kau akan segera menikah, adikku sayang.”
“Ya...ya... aku akan menikah dengan seorang pangeran.” gurauku.
“Itu benar sayang.” ucapnya lagi dengan senyum lebar menghiasi bibirnya yang tipis.
“Tentu setelah aku wisuda. Aku tak ingin menikah sambil kuliah seperti kakak.” ujarku dengan ledekan khasku, senyum kuda.
“Why not? Nggak ada kok rukun menikah harus lulus kuliah dulu.” Kak Wafa sepertinya belum puas menggodaku.
“Namanya Faiyaz Basel Aidan, dialah pangeranmu.” ujar Kak Yasmin yang baru datang dengan secangkir teh di tangannya diikuti ibu yang berjalan di belakangnya. Kak Yasmin duduk di sofa di hadapanku. Ia menyeruput tehnya.
“Yang minggu depan akan datang bersama keluarganya untuk mengkihtbahmu. Ayah telah menerima lamaran pamannya untuk pemuda itu.” tambah ibu. Aku sangat terkejut, serasa ada bola basket menyasar dan menghantam kepalaku. Serta merta aku menjatuhkan roti yang baru aku gigit sekali.
“Bu...” aku menatap wajah ibuku dengan wajah memelas, layaknya seorang pengemis yang meminta sepotong roti untuk mengganjal perutnya yang tidak diisi selama dua hari. Kukatakan dalam raut wajahku, aku tak percaya dengan semua ini.
“Tapi...” aku menggelengkan kepala, tak mengerti dengan semua ini. “Bu, bisakah
kita hentikan lulucon ini, aku mengaku kalah. Aku tak bisa membalas kalian, jika kalian kompak seperti ini.” aku mencoba menyangkalnya.
“Saila... ku katakan sekali lagi, kami tidak sedang menggodamu.” ujar Kak Yasmin.
“Setidaknya ayah dan ibu meminta pendapatku terlebih dahulu sebelum menerima lamaran itu. Bagaimana jika aku tidak sreg dengan lelaki itu?” aku mendelik.
“Maafkan ibu, Saila. Ibu yakin dia adalah pria terbaik untukmu.” Ibuku menatap, membalas tatapanku dengan sejuta kelembutan. “Meski ibu belum pernah bertemu langsung dengannya. Meski saat itu hanya paman dan bibinya yang datang dan hanya tahu dia dari cerita keduanya dan Fadli, ibu merasa yakin bahwa dia adalah jawaban dari doa-doaku untukmu.” Ucap ibu mantap.
Pandangannya mengawang menatap langit-langit rumah. Di sanalah aku menemukan keyakinan dan ketulusan hingga akhirnya aku menyetujuinya.
“Istikharahnya jangan lupa ya dek. Semoga Allah memantapkan hatimu.” Pesan kak Yasmin.
Namun entah mengapa hari ini keraguan dan bisikkan memenuhi kepalaku. Ingin kuhentikan pernikahan ini dan ku katakan pada Ibuku. Aku belum ingin menikah, tidakkah kau tahu bu, bahkan usiaku belum genap dua puluh tahun, gumamku dalam hati.
Ah tentu saja aku tak mampu melakukan itu, aku tak mungkin menghancurkan pesta yang telah sejauh ini dipersiapkan khusus untukku. Aku tak sanggup menghancurkan wajah kedua orang tuaku dengan perbuatan konyolku hanya karena ‘aku belum ingin menikah’.
Astagfirullah... aku mencoba beristighfar dan berpikir positif serta menerimanya sebagai kehendak Allah, sebagai episode yang harus aku lewati. Aku mencoba mengalihkan pikiranku pada sosok di depanku.
Kak Yasmin terlihat sangat cantik dengan abaya dan kerudung cokelatnya, meskipun kini ia tak selangsing saat menikah dulu. Tubuhnya terlihat lebih melebar, kini beliau tengah mengandung anaknya yang kedua. Tapi hal itu tak menyurutkan kecantikan dan keanggunannya. Ia menghampiriku beserta dengan pangeran kecilnya, Nawfal. Dia memelukku, tak sulit lagi baginya untuk bisa merasakan apa yang aku rasakan, setiap bimbang yang meremas-remas hatiku, setiap gelisah yang mengalir di pembuluh darahku.
Jantungku berdetak cepat seolah akan meledak dan mengeluarkan seluruh darahku, tubuhku pun turut bergetar. Saat kudengar di luar sana, suara ayahku menyerahkan putri kecilnya pada lelaki itu dalam ijab qabul, dan aku mendengar lelaki itu menjawab kata-kata ayahku dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih untuk seorang pria impor sepertinya.
“Saya terima nikahnya Saila Najla’ Ashalina binti Rahman dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Tidak! Hentikan itu...hentikan! tapi semuanya telah terlanjur dan orang-orang mengucapkan, “Sah...”
Ibu, kak Yasmin, kak Wafa dan beberapa orang wanita yang sedari duduk menemaniku di kamar datang menghampiriku dan mengucapkan selamat silih berganti. Aku hanya pasrah menerima ucapan itu dengan tubuh lemas.
Ibu dan kak Yasmin membawaku keluar kamar untuk dipertemukan dengan lelaki itu. Pria tadi yang kini telah menjadi suamiku. Suamiku? Kini aku telah menjadi seorang istri?
Ya Allah betapa waktu berlalu begitu cepatnya, bahkan masih hangat dalam ingatanku ketika ibu mengantarkanku hingga depan gerbang di hari pertama masuk sekolah dasar. Kini seorang pria berkulit putih, dengan bola mata cokelat dibalik kacamata minus serta rambut cokelat kehitamannya, mengenakan kemeja putih bersih lengkap dengan jas putih dan dasi silver tersenyum padaku, mengulurkan tangannya menyentuh bahuku. Ya Allah inilah pertama kalinya disentuh oleh lelaki lain selain ayah dan kakak lelakiku, mas Deniez. Aku meraih tangan kanannya dan mencium punggung tangannya. Lalu dia balas mencium keningku khusyuk.
Tak ada pesta walimah yang mewah dan besar-besaran. Bahkan aku tak mengundang teman-temanku di kampus. Aku hanya mengundang kerabatku dan sebagian teman dekatku saja.
Aku belum mempercayai sepenuhnya pernikahan ini. Hingga malam ini, pria asing yang baru ku kenal dua bulan yang lalu, kini berada di kamarku. Kami hanya berdua di kamar yang telah didekorasi dengan indah itu.
“Bisakah kau keluar kamar sebentar, aku ingin ganti baju.” pintaku padanya dengan lembut. Mestinya aku tak memintanya itu untuk keluar kamar. Dia telah menjadi suamiku dan tak masalah jika aku ganti baju di hadapannya. Tapi...
Dia memandangku heran, mengernyitkan dahinya.
“Baiklah...” ucapnya pelan, ku pikir dia telah memahamiku. Alhamdulillah. Dia mengambil piyamanya yang telah ibu siapkan khusus untuknya di lemariku, lalu pergi. Aku segera mengganti bajuku dengan piyamaku.
“Apa yang kau butuhkan, nak? Sehingga kau harus keluar kamar? Semestinya kau meminta istrimu untuk mengambilkan sesuatu. Kalau begitu, marilah biar ibu yang ambilkan.” aku mendengar suara ibuku tak jauh dari pintu kamarku.
“Terimakasih banyak bu.. tapi aku tidak butuh sesuatu. Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi.” jawab lelaki itu.
Ah... Saila! Lelaki itu suamimu! Dan lelaki itu mempunyai nama. Faiyaz Basel Aidan, itu namanya dan kau bisa memanggilnya dengan Aidan saja bukan dengan sebutan ‘lelaki itu’
Tak berapa lama Aidan kembali ke kamarku dengan piyama cokelat yang tadi diambilnya. Dia menatapku heran dengan piyama doraemonku, piyama yang menjadi favoritku dan kerudung putih bergo yang masih menempel di kepalaku. Ku rasa, dia tengah berpikir aku akan mengenakan lingerie, menyambutnya dengan rayuan dan menggodanya layaknya gadis-gadis Eropa pada umumnya.
Ah... sama sekali itu tak ada dalam agendaku. Jangankan untuk melakukan itu, terbesit dalam benakku pun tidak. Bahkan saat kak wafa berniat membelikan sepotong lingerie hitam untukku di sebuah pertokoan, aku malah terpingkal-pingkal, membuat kak wafa senewen dan akhirnya melemparkan bedcover yang baru saja ia beli ke arahku.
“Pegang sendiri tuh.” Ketusnya sambil berlalu meninggalkanku yang keheranan. Mana mungkinlah seorang Saila mengenakan pakaian seperti itu untuk orang asing sepertinya.
Ups... dia suamiku sekarang. Ya meski untuk suamiku sekalipun. Dia tersenyum padaku, lalu meletakkan segelas susu hangat di meja riasku dan duduk di tempat tidur yang indah itu. Sedang aku duduk di sudut lain tempat tidurku.
“Saila...ku harap kau bahagia menikah denganku...” katanya membuka percakapan kami.
ya...ku harap begitu, ucapku dalam hati. Hanya potong kalimat klise yang biasa ‘nongkrong’ di novel-novel picisan yang biasa di baca Inge sepupuku.
“Aku tak tahu apa alasanmu hingga kau mau menikahiku.” ucapku kaku.
“Kau cantik Saila. Kau memiliki mata indah seperti sinar rembulan, namun teduh menandakan kau seorang penyayang.”
Oh... rayuannya mulai keluar, gombal!!! Tahu apa kau tentang diriku? Omong kosong!
“Tapi aku menikahimu bukan karena hal itu.” Lanjutnya
“Tapi aku tak memiliki kekayaan. Mungkin keluargaku menikahkanku denganmu karena kau kaya.” ujarku.
“Tidak! Aku tak peduli dengan kekayaan.” sergahnya.
“Lantas...?” aku heran “Aku bukan muslimah yang taat, keluargaku juga tidak begitu religius.” Ucapku datar.
“Aku tahu semua tentangmu. Aku tahu kau pernah berpacaran saat duduk di bangku SMA. Padahal Islam melarangmu untuk berbuat demikian. Tapi aku juga tahu bahwa kau tak pernah berbuat aneh-aneh saat pacaran.” ujarnya, aku tersentak kaget. Itu benar-benar aibku. Aku benci itu, dan lebih benci jika dia yang tahu tentang itu.
“Setidaknya kau tidak sepertiku. Dulu aku sering berpergian dengan wanita yang bukan mahramku. Astagfirullah...” Aidan tertegun sebentar sebelum dia melanjutkan katakatanya.
Ya aku tahu! Kau seorang selebritis, kau sering menjadi pusat sorotan media, aku sering mendapatkan berita kau pergi dengan fans wanitamu. Dan aku tak percaya diantara berjuta fans wanitamu, akulah yang kau pilih. Tapi kau datang di saat yang tak tepat. Kau datang di saat aku tak mengharapkanmu lagi dan di saat hatiku padamu justru terbalik.
Bukan aku tak terkejut ketika aku tahu siapa yang akan menikahiku. Aliran darahku membeku, nyaris aku mati berdiri dibuatnya.
“Siapa lelaki itu? Siapa Faiyaz Basel Aidan?” tanyaku pada ibu. Akhirnya aku pasrah dengan perjodohan ini.
“Dia itu seorang muallaf dari Spanyol. Dia seorang atlet. Namanya Rafaël Alvarez. Kau pernah dengar nama itu?” lagi-lagi penjelasan kak Yasmin seperti bola basket menyasar yang menghantam kepalaku, membuatku limbung.
“Tentu saja dia tahu nama itu kak. Rafaël kan idolanya sewaktu SMA.” Kini giliran kak Fadli yang baru bergabung malah ikut menggodaku seperti istrinya.
“Oh ya? Kabar baik itu. Berarti kamu pasti setuju menikah dengannya.” Ibu tampak sumringah.
“Bukan setuju lagi bu... aku berani bertaruh saat dia kembali ke kamarnya dia bakal loncat-loncat di kasurnya. Insomnia semalam suntuk hanya untuk memikirkan calon suaminya itu. Sekarang aja dia jaim.” kak Wafa meledekku habis-habisan. Aku melempar bantal padanya sebal.
Perkara aku mengidolakan lelaki itu semasa SMA benar adanya, tapi tidak sama sekali bahwa aku akan jungkir balik saking senangnya karena dipinang oleh lelaki itu, sama sekali tidak. Sungguh tidak benar. Dadaku justru terasa sesak.
“Janganlah kau mencintai sesuatu berlebihan bisa jadi esok kau membencinya, dan jangan pula kau membenci sesuatu berlebihan bisa jadi kau mencintainya.”
Sepertinya itulah yang terjadi padaku saat ini. Betapa aku dulu sangat tergila-gila pada lelaki itu sampai nyaris hilang akalku, namun semuanya terbalik begitu saja saat hatiku terpatahkan olehnya, saat aku merasa illfeel hanya sekedar mendengar namanya saja disebut oleh pembawa berita atau teman-temanku. Hatiku sudah terbalik.
“Tapi semua itu masa lalu, dan aku tak peduli dengan masa lalu, yang ku inginkan sekarang adalah menatap masa depanku dan masa depanku adalah bersamamu.” Lelaki itu berorasi lagi menyadarkanku dari lamunan.
Ya ampun Aidan, omong kosong apalagi ini? ah... seandainya kata-katamu itu dapat ku percaya. Sayang sekali...hal ini sulit ku lakukan.
“Aku berharap kita dapat membangun keluarga yang Islami, dan melahirkan pengikut-pengikut Rasulullah, pembela Agama Allah.” Katanya lagi, ia menatapku penuh ketulusan. Ada semangat dan optimisme yang ia salurkan ke hatiku dari iris cokelatnya itu. Menghipnotisku.
Aku tertegun dengan kata-katanya. Kini aku tak tahu apa aku bisa mempercayai katakata terakhirnya itu? Ataukah ini hanyalah sebuah omong kosong lagi? Entahlah aku bingung. Ya Allah, benarkah dia Aidan maksudku dia, yang dunia mengenalnya sebagai Rafaël berkata seperti barusan? Benarkah keluargaku tak salah? Jangan-jangan dia hanya orang yang mirip dengan Rafaël, gumamku.
“Kau yakin aku bisa seperti yang kau harapkan.” Tanyaku, aku merasa ciut. Ku balas ia dengan pesimisme. Aku merasa akulah yang tak akan mampu memenuhi harapannya.
“Insya Allah...” ucapnya disertai senyum yang tidak menampakkan giginya.
Pembicaraan kami terus berlanjut. Suasana mulai mencair. Dia mulai menceritakan kehidupan keluarganya yang tentu sangat di rahasiakan dari media.
Seperti yang telah aku ketahui, Aidan adalah seorang non muslim namanya, Rafaël Alvarez. Dia tinggal di London sejak usia tujuh belas tahun tanpa keluarganya yang tinggal di Barcelona. Dia hanya akan pulang di saat liburan musim panas. Dan itu aku telah tahu. Yang aku tidak tahu ternyata kedua orang tuanya bercerai.
Akibat dari perceraian itu, ibunya sering sakit-sakitan, dan adiknya menjadi remaja pemurung. Meski demikian gadis itu dapat merawat ibunya dengan baik meski usianya kini baru menginjak tiga belas tahun. Aidan sendiri merasa frustasi dengan keadaan itu. Maka saat musim panas, Aidan memutuskan untuk tidak pergi ke Spanyol, melainkan pergi ke tempat Paman dan Bibinya di Indonesia.
Disana dia menemukan figur keluarga idamannya, yang rukun, damai, dan saling menyayangi, yaitu keluarga Islami. Akhirnya dari sana Hidayah Allah datang. Aidan melafalkan syahadat di Masjid sebuah pesantren milik salah satu dai terkenal di negeri itu. Kesungguhannya memeluk Islam, dia buktikan dengan belajar privat agama di pesantren itu. Dia pun mengubah semua namanya menjadi Faiyaz Basel Aidan, yang berarti artistik, pemberani dan cerdas.
Seingatku nama “Basel” itu adalah nama kota kelahirannya. Dia memang terlahir di kota Basel, Swiss. Pada saat dia lahir, Ayahnya tengah bertugas di kota itu. Kemudian disaat usianya dua tahun, keluarganya kembali ke Barcelona. Disana dia bertemu dengan kakeknya yang mengajarkan dia bermain sepak bola. Hingga bakat yang dimilikinya itu diketahui oleh sebuah klub besar di Inggris. Maka dalam usia yang relatif muda dia harus pergi ke Inggris untuk bermain di klub itu serta melanjutkan pendidikan formalnya di Negeri Ratu Elizabeth itu.
“Saila, bukankah aku telah menjadi suamimu?” tanyanya yang sebenarnya tak perlu dijawab karena semua orang tahu akan hal itu. Aku mengangguk.
“Bukankah seorang wanita halal menampakkan auratnya di depan suamimya?” aku kembali mengangguk.
“Maukah kau membuka kerudungmu untukku? Suamimu?”. Pintanya.
Aku terkejut mendengar permintaannya, tapi memang tidak ada yang salah dengan apa yang dimintanya. Sejenak aku tertegun, dengan hati berdebar dan sejuta keraguan yang menyeruak di dadaku, aku membuka kerudungku perlahan. Terurailah rambutku yang sebahu. Aku merapihkannya dengan jari-jariku. Entah apa yang terjadi padaku, aku mendadak lunak dan lumer setelah ia mengungkapkan visinya menikahiku.
Aidan meraih kotak disampingnya. Kotak berisi mahar yang dia berikan untukku. Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah kalung mas putih dengan liontin dari black Saphire yang terpasang dalam bingkai yang berbentuk hati. Batu safir yang besarnya tak lebih dari ibu jari kakiku itu terlihat sangat anggun tatkala lampu kamarku memantulkan cahayanya dan membuat benda itu semakin berkilauan.
“Bolehkah aku memasangkannya untukmu?” bisik Aidan lembut.
“Ini terlalu mewah bagiku, aku tak pantas menerimanya. Kenapa kau berikan benda semahal itu untukku? Aku tak ingin memberatkanmu.”
“Bukankah lelaki yang paling baik itu adalah yang paling baik maharnya? Bukankah Rasulullah SAW memberikan mahar untuk Khadijah ra. dengan seratus ekor unta lebih?” bisiknya.
Aku mengangguk. Aidan memasangkan kalung itu di leherku dan aku tak bisa menolaknya.
“... dan aku ingin menjadi salah satu lelaki baik yang memberikan sesuatu yang terbaik yang aku mampu. Kau sama sekali kau tidak memberatkanku.” Aku tersipu malu dengan kata-katanya. Dia membuatku merasa menjadi wanita yang teristimewa.
Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya memegang rambutku yang lembut. Lalu menyentuh pipiku yang mungkin kemerah-merahan menahan sejuta malu. Matanya yang bening dan cokelat menyelami kedua mataku, mencoba mencari celah untuk menanamkan cinta di dasar hati, melalui jendela hatiku, mataku yang dikatakannya indah bagai sinar rembulan.
Tiba-tiba handphonenya berdering membuyarkan semua kehangatan malam itu dan menghempaskan kami dari puncak kemesraan.
“Kupikir kau harus menjawab teleponnya.” kataku.
Dia beranjak dari tempat duduknya dan meraih handphonenya. Lalu bercakap-cakap dengan seseorang di sebrang sana dalam bahasa Spanyol yang tentunya tak dapat aku pahami.
“Dia adikku, Carlota.” katanya setelah menutup teleponnya.
“Apa yang dia katakan?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Ibuku kembali jatuh sakit, adikku memintaku segera kembali pulang ke Barcelona. Maukah kau ikut denganku ke Spanyol minggu ini?”
“Hmm...hmm...” aku ragu untuk mengatakan kalau aku tak bisa ikut bersamanya.
“Maafkan aku, aku menyesal tak dapat menemanimu kesana. Aku harus ujian besok lusa nanti.” Kataku “Lagi pula aku belum mempunyai dokumen perjalanan. Butuh waktu untuk membuat passport dan lain-lainnya bukan?” aku mencari-cari alasan.
Aidan terdiam sejenak, wajahnya melukiskan sedikit kekecewaan. Lalu dia segera menutup kekecewaanya dengan senyum manisnya.
“Astagfirullah aku lupa. Kamu benar,” ucapnya.
“Maafkan aku membuatmu kecewa. Ku pikir...” kata-kataku terputus.
“Ya...ku pikir aku harus meminta bantuan paman Ali.”.
Sebelum tidur dia menghubungi paman Ali membicarakan perihal tiket. Rupanya paman Ali memang telah membeli tiket ke Barcelona untuk dirinya yang harus mengurus bisnis, mendengar kabar buruk itu paman Ali mengurungkan niatnya pergi ke Spanyol besok pagi dan merelakan
tiketnya untuk keponakan yang amat ia cintai itu.
“Besok aku akan kembali. Maafkan aku harus meninggalkanmu di saat kita semestinya menghabiskan masa-masa indah.” Ujarnya penuh sesal sebelum ia pejamkan matanya.
Hatiku merasa lega mendengar itu, saat ia harus berulang kali mengucap kata sesal dari bibirnya, hatiku justru jungkir balik kesenangan karena aku bisa menghirup udara dengan lega dan kembali menikmati hidupku seperti sebelum menikah. Tak ada yang berubah.
Dia tertidur di sampingku, aku menutup tubuhnya yang kelelahan dengan selimut.
Sebelum adzan subuh aku telah terbangun, betapa terkejutnya aku. Tangan seorang pria tengah melingkar di perutku. Hampir saja ku berteriak, sebelum akhirnya aku sadar dia Aidan, suamiku. Ya! aku lupa aku telah bersuami.
Aku membangunkannya, kugoyangkan lengannya dengan pelan. Perlahan dia membuka matanya.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Setengah empat.” jawabku.
“Oh... aku tertidur terlalu nyenyak, sepertinya aku terlalu kelelahan kemarin.”
Perlahan dia bangun dan mengucek kedua matanya. Kami pun Qiyamul lail bersama-sama. Lalu di lanjutkan dengan membaca qur’an bersama.
Hingga adzan subuh ia keluar bersama ayah, mas Deniez dan mas Fadli menuju Masjid di samping rumahku, sedangkan aku shalat shalat shubuh bersama Ibu, kak Yasmin dan kak Wafa berjamaah di ruang keluarga. Setelah sholat subuh Aidan menjelaskan kepada keluargaku tentang keharusannya kembali ke Spanyol hari ini. Terbesit perasaan khawatir dia takkan kembali. Tapi apa peduliku? Toh aku tidak lagi mengharapkan kedatangannya lagi di hidupku. Astagfirullah... aku segera meralat pikiran-pikiran nakal di benakku.
Aidan tengah bersiap-siap. Aku membantunya membereskan barang-barangnya.
“Katakan padaku, kapan kau akan selasai ujian?”tanyanya
“Sekitar dua minggu lagi Insya Allah.” jawabku.
“Baiklah dua minggu lagi aku akan datang menjemputmu.”

Aku terperangah, kuhentikan tanganku yang sibuk merapihkan barang-barangnya.
“Kau yakin?” tanyaku.
“Aku ingin kau bertemu dengan ibu dan adikku.”
“Baiklah, Insya Allah.”
Aku dan keluargaku serta Paman dan Bibinya melepaskan Aidan di Bandara.
“Insya Allah, aku akan kembali dua minggu lagi.” bisiknya di telingaku. Lalu dia mengecup keningku dalam-dalam. Aku diam menunduk. Aku merasa malu pada keluargaku dan paman bibinya.
Dia suamiku, harus sering ku ingatkan diriku sendiri kalau dia adalah suamiku. Dia terus berjalan menjauhiku, ku tatap punggungnya yang berbalut kemeja putihnya yang bersih dan rapih.
Ada sedikit perasaan lega dihatiku dengan kepergiannya, setidaknya teman-temanku di kampus tak ada yang tahu aku telah menikah.
Aku melanjutkan kehidupanku sehari-hari seperti biasanya. Tak ada yang berubah denganku, kecuali dengan cincin kawin yang melingkar di jari manis kananku yang membuat temanku menduga-duga tentangku. Bahkan seorang temanku berani menanyakan perihal cincin itu padaku.
“Ah...kau sudah menikah? Teganya kau mendahului teman-temanmu.” tanya Putra, ketua kelasku.
Entah serius atau bercanda, kami biasa bercanda bersama di kelas, yang jelas aku tak bisa berbohong pada mereka. Sekali kau berbohong kau akan terbiasa berbohong untuk menutupi kebohonganmu yang pertama.
“Ya kau benar.” Jawabku
“Benar?!” serunya dengan reaksi yang luar biasa. “Avec qui? (dengan siapa?)” serunya dalam bahasa Perancis.
“Il est espagnol (orang Spanyol).” jawabku singkat dengan gaya bercandaku seperti saat-saat kami biasa bercanda.
Dia terdiam sejenak. Wajahnya terlihat konyol kebingungan. Aku yakin dia tak percaya kata-kataku. Ya itulah caraku menghindar dari kebohongan. Namun tetap mampu menyembunyikan rahasia.
“Serius? Kau pasti bohong.” ujarnya. Aku mengangkat bahuku dan tersenyum semanis-manisnya.
“Kau tak usah percaya padanya, kau tahu dia ratu khayal di kelas kita. Bahkan dia tak bisa membedakan mana kehidupan aslinya mana khayalannya.” tiba-tiba Rahma datang menggodaku. Rahma adalah teman baikku di kelas.
“Ya...orang sukses berawal dari mimpi.” Ucapku pada mereka setengah meledek.
Perubahan lainnya yaitu Aidan sering meneleponku hampir setiap hari, hanya sekedar menanyakan keadaanku dan bagaimana aku melewati ujianku. Suatu hari aku memarahinya karena teleponnya telah menganggu belajarku.
“Bagaimana mungkin aku bisa belajar jika kau terus-terusan meneleponku?” ucapku sambil menahan emosi.
“Maafkan aku, aku menyesal telah menganggumu. Aku sungguh merindukanmu. Andai kau tahu itu. Apa kau tidak merindukanku?”.
Aku diam tak mampu menjawab, haruskah aku berdusta dan mengatakan, ya, Kak aku pun merindukkanmu seperti kau merindukkanku. Atau haruskah aku mengatakan yang sebenarnya maaf sejujurnya aku tak pernah merindukkanmu, aku tak mencintaimu. Ah...Rasanya kata-kata itu akan sangat menyakitkan.
“Baiklah, selamat belajar. Aku harap kau mendapatkan nilai yang terbaik....Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam...” tak lama setelah itu Aidan menutup teleponnya. Ah... sungguh aku sangat menyesal. Maafkan aku. Harusnya aku tak berkata itu padamu. Hari ini mentari bersinar terang, cahayanya memancar kuat membasuh kota ini.
Subhanallah... aku masih terengah-engah setelah menuruni tangga dari lantai empat. Otakku masih panas seperti matahari itu, aku baru saja menyesaikan ujian terakhirku, Grammaire. Salah satu mata kuliah yang paling menyita pikiran dan tenagaku. Aku duduk di teras depan gedung fakultas bahasa.
Hatiku masih berdebar-debar menanti telepon dari Aidan. Mungkin hanya untuk mengatakan,
“Saila... aku telah berada di Indonesia untuk menjemputmu. Bersiap-siaplah kita akan ke Spanyol untuk bertemu dengan keluargaku.”
Tapi sungguh di sayangkan, Aidan tak kunjung meneleponku. Hari ini hari kelima dia tak meneleponku sejak pertengakaran kecil itu. Apa mungkin kau marah padaku? Apa mungkin kau tersinggung dengan kata-kataku? Aidan maafkanlah aku. Kini aku merasakan sepi tanpa teleponmu.
Handphoneku berdering mengusik dan menyadarkan aku dari lamunanku. Aku tak menunggu lama untuk segera mengangkat telepon tanpa melihat layar handphoneku.
“Assalamualaikum. Ya Kak, seperti yang telah kukatakan padamu. Hari ini hari terakhir ujianku. Sekarang kau bisa menjemputku.”
“Halo nak! Ada apa denganmu? Ini Ibu.” ujar seseorang di sebrang sana.
“Ah Ibu.” gumamku. Aku merasa malu sendiri.
“Dimana kau sekarang? Ayo pulang. Paman Ali telah menunggumu sedari tadi.”
“Baiklah, aku segera pulang.” Ibu menutup teleponnya. Aku segera beranjak pulang.
Sesampainya di rumah aku mendapatkan Paman Ali dan Bibi Sarah tengah bercakap-cakap dengan Ayah dan Ibuku di ruang tamu.
“Assalamualaikum...” ucapku, salamku menghentikan obrolan mereka, semua mata mengarah kepadaku dan keempatnya menjawab salamku dengan kompak.
“Saila, kemarilah...” seru Ayah. Aku duduk di sampingnya.
“Hari ini kau telah selesai ujian?” Tanya Bibi Sarah kepadaku.
Aku mengangguk.
“Semalam Aidan menelepon kami, dia mengatakan dia tak dapat datang ke Indonesia karena satu hal dan lain halnya. Jadi dia tak dapat menjemputmu. Dia meminta kami untuk mengantarkanmu kesana.” jelas Paman Ali.
“Kenapa dia tak mengatakannya padaku? Apa dia marah padaku. Karena aku menolak teleponnya?” tanyaku penuh kekhawatiran.
“Tentu tidak Saila... dia tak mudah marah, aku mengenalnya dengan baik. Hanya saja dia tak ingin mengganggu belajarmu, dia tak tahu waktu yang tepat untuk meneleponmu.” jelas Bibi Sarah.
Aku menghembuskan nafas lega. Meski aku tak mencintainya, aku sungguh ketakutan jika Aidan marah padaku. Bukankah Allah tidak akan pernah ridha pada istri yang suaminya marah padanya? Bukankah para malaikat pun ikut melaknatnya hingga suaminya memaafkannya.
“Ah... Aidan sungguh aku menyesal. Maafkan aku...” desisku pelan.




Part 2 : Negeri Sejarah Islam


Esok paginya aku telah siap di Bandara Soekarno-Hatta. Sebelum pergi Aidan, meminta bibi Sarah membantuku mengurus-ngurus dokumen perjalanan. Sejak Aidan pergi, bibi Sarah langsung menjalankan amanahnya. Hari ini semuanya telah siap termasuk diriku yang telah siap terbang menyusul ke negerinya. Keluargaku melepasku dengan peluk, cium dan do’a. Aku melihat ketidakikhlasan dan kekhawatiran pada wajah mas Deniz atas kepergianku. Maklumlah selama ini aku tak pernah jauh darinya, aku lebih merasa dia sebagai ayah kandungku dibandingkan dengan ayahku sendiri. Bahkan kini aku tinggal di rumahnya semenjak aku kuliah di Bandung.
Tapi aku yakin sebagai istri yang baik, kak Yasmin akan meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja di sana bersama suamiku. Toh, aku tidak akan selamanya tinggal disana. Meski suatu hari nanti aku akan menetap di benua biru itu untuk selamanya. Lagi-lagi dadaku terasa sesak, hatiku begitu berat meninggalkan mereka. Bagaimana tidak, selama hampir dua puluh tahun ini aku tak pernah jauh dari mereka, dari kehangatan keluargaku kini aku harus pergi ke suatu tempat yang sekalipun tak pernah aku ketahui. Tempat yang hanya aku tahu namanya di buku geografi saat duduk di bangku SMP, juga dari sebuah peta. Aku menghela nafas dalam-dalam, mengisi paru paruku dengan udara sebanyak mungkin. Ku yakinkan dalam diriku saat ini aku hanya menetap tidak akan lebih satu bulan disana.
Setelah berjam-jam lamanya di pesawat, bahkan saking lamanya membuatku tak ingin tahu seberapa lama waktu yang kuhabiskan di dalam burung besi itu. Akhirnya kami menginjakkan kaki di bandara El Prat, Barcelona. Aku dapat menghirup udara musim panas di negeri matador itu.
Spanyol, negara yang mengingatkanku akan sejarah umat muslim di negeri itu tentang Cordova, kota cahaya sebelum Paris yang akhirnya menyandang gelar itu sekarang.
Dikatakan kota itu secara fisik bermandikan cahaya, selain itu Cordova merupakan kota kelahiran peradaban sains di Eropa, membawanya dari zaman kegelapan menuju zaman pencerahan. Bahkan Cordova-lah yang meramalkan Paris menjadi kota cahaya selanjutnya. Ibnu Rusd yang mencetuskan bahwa iman dan ilmu itu harus seimbang dan saling mendukung. Maka saat itu sains berkembang pesat di Eropa yang dipelopori cendekiawan-cendekiawan muslim. Hatiku meringis saat ku lihat hari ini tak ada sekali sisa-sisa peradaban Islam yang tertinggal di sini. Seolah Islam tak pernah menjejak di negeri matador ini.
Dari kejauhan aku melihat seseorang bertubuh tinggi dengan celana hitam dan kemeja merah hati berjalan ke arah kami. Dia adalah Aidan.
“Assalamualaikum...” sapanya.
“Waalaikumsalam...” jawab kami serentak.
“Bagaimana keadaan Ibumu?” Tanya Paman Ali.
“Belum begitu membaik sejak aku datang.” jawab Aidan lesu.
“Apa kita bisa pergi menjenguknya sekarang?” pintaku tak sabar. Aku ingin sekali bertemu wanita itu, mertuaku.
“Tidak sayang, kita harus pulang sekarang. Lihatlah dirimu! Kau tampak kelelahan.” ucap Bibi Sarah.
“Apa yang dikatakan Bibi benar.” tambah Aidan. “Sebaiknya kita pulang dan beristirahat.”
Aidan membawa kami ke apartemen keluarganya. Sesampainya disana dia membawaku ke kamarnya dan meletakkan barang-barangku disana. Sedangkan Paman Ali dan Bibi Sarah pergi ke kamar tamu yang cukup jauh dari kamar Aidan.
“Inilah apartemen keluargaku dan inilah kamarku. Seperti yang kau tahu, aku tidak tinggal disini lagi sejak lima tahun yang lalu, kecuali saat libur musim panas seperti sekarang ini.” jelasnya.
Aku duduk di atas tempat tidur. Kamarnya tidak seperti kamar tidur pemuda pada umumnya yang berantakan, jorok, kotor, bau dan banyak poster-poster yang tidak karuan. Kamarnya justru terlihat rapi, bersih, harum, dan sangat menyenangkan. Tentunya tak ada poster-poster aneh, kecuali sebuah foto logo tempat klubnya bermain sekarang, dia letakkan dalam frame yang cukup besar dan foto-fotonya tengah memegang penghargaan yang pernah dia raih.
“Istirahatlah, besok kita akan pergi ke rumah sakit untuk bertemu ibuku.” ujarnya.
“Aku ingin pergi pagi-pagi sekali.” pintaku.
Dia mengangguk.
“Baiklah.”
Aku baru saja merebahkan tubuhku ketika tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. Suara seorang gadis kecil berbicara dalam bahasa Spanyol. Aidan membalas perkataan gadis itu. Aku melirik Aidan yang duduk di sampingku.
“Siapa dia?” tanyaku.
“Dia adikku, Carlota.”
“Apa yang dia katakan?” tanyaku lagi.
“Dia tahu kau datang. Dia ingin bertemu denganmu. Tapi kukatakan kau harus istirahat, dia dapat menemuimu besok.”
“Izinkan aku bertemu dengannya.” Pintaku.
“Baiklah...” Aidan mengalah. Aku beranjak dari tempatku dan segera membuka pintu kamar.
“Saila... Saila...” ucapnya, tangisnya pecah dalam pelukku. Aku hanya bisa terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku tak tahu harus bicara apa, aku tak dapat berbicara dalam bahasa Spanyol.
“Saila...Je suis contente. Mon dieu m’a donnée la soeur, Et c’est toi. Je ne serai plus seul. (Saila... aku senang. Tuhan telah memberiku kakak perempuan, dan itu kamu. Aku tidak akan sendiri lagi).” Ucapnya dalam bahasa Perancis. Tentu saja kali ini aku mengerti.
“Tu sais? Je suis seul depuis ma mère est malade. Mes amis me sont laissés. Et Rafaël, il préfère habiter à Londres. (kamu tahu? Aku sendiri sejak Ibuku sakit. Teman-temanku meninggalkanku. Dan Rafaël, dia lebih suka tinggal di London.)” katanya lagi tentu orang terakhir yang dia maksud adalah Aidan.
Aku menoleh pada Aidan yang berdiri disampingku. Dia tampak tersenyum melihat gadis itu manja di pelukkanku.
“J’habite à Londres pour travailler...tu l’as su. ( aku tinggal di london untuk bekerja, kau sudah tahu itu).” ucap Aidan lembut. Rupanya Aidan dan Carlota fasih berbahasa Perancis.
Di Negara-negara Uni Eropa, bahasa Perancis diajarkan sejak sekolah dasar, seperti halnya pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Spanyol merupakan salah satu Negara anggota Uni Eropa sejak tahun 1986, setahun sebelum Aidan lahir. Selain itu, mereka pernah tinggal di Perancis selama satu tahun. Mereka ikut bersama ayah mereka yang tengah bertugas di Lille dan Marseille. Keduanya termasuk kota-kota besar di Perancis. Saat itu usia Aidan masih tiga belas tahun.
Melihat kemanjaan Carlota padaku, mengingatkan diriku sendiri yang senang bermanja pada kak Wafa dan mas Deniez. Malam semakin larut, Aidan meminta gadis itu untuk segera pergi tidur. Lantas Carlota pergi dari kamar kami dan aku kembali merebahkah tubuhku di tempat tidur. Aidan menutup tubuhku yang begitu terasa lelah dengan selimut, sama persis seperti aku yang menutupi tubuhnya dengan selimut di hari pertama pernikahan kami. Lalu dia mengecup keningku.
“Tidurlah...” bisiknya sebelum dia pergi dan beranjak dari tempat duduknya.
“Kau tak tidur?” tanyaku.
“Aku akan tidur setelah pekerjaanku selesai.” Ujarnya.
“Kuharap kau tidak tidur terlalu larut.” pesanku.
Dia tersenyum lalu menganggukan kepalanya. Lantas dia pergi ke meja kerjanya. Aku melihat dia mengambil mushaf dari dalam lacinya. Kemudian mulai membacakan ayat demi ayatnya yang mengantarkan aku ke dunia mimpiku.
Aku terjaga dari tidurku, pukul lima lebih. Aku sungguh terkejut aku telah melewatkan qiyamul lail. Aku telah lalai dan aku benar-benar menyesal. Ku lihat ke arah jendela, masih gelap. Aidan? Aku tak menemukannya tidur di sampingku. Dimana dia? Apa dia telah bangun lebih awal dariku? Mengapa dia tak membangunkanku? Pandanganku menyapu seisi kamar.
Ku dapati dia tertidur di meja kerjanya. Sungguh keadaannya sangat mengkhawatirkan. Aku segera menghampirinya. Ku dapati selembar kertas yang berisi jadwal sholat. Aku sedikit terkejut nyatanya waktu subuh pukul tujuh kurang waktu Spanyol.
Semula aku berniat membangunkannya, tapi ku urungkan. Akan kubiarkan dia tertidur setidaknya sampai pukul enam. Aku rasa dia kelelahan dan tertidur terlalu larut. Kali ini aku qiyamul lail lebih dahulu darinya. Setelah beberapa rakaat aku mendirikan sholat, aku mendengar Aidan memanggilku.
“Saila...” panggilnya. Aku menoleh. Rupanya dia telah terbangun. “Mengapa kau tak bangunkan aku?” tanyanya
“Bukankah aku telah mengatakan padamu, kau tidak usah tidur terlalu malam, tapi sepertinya kau tidur terlalu larut, jadi aku tak tega membangunkanmu dan kubiarkan kau tidur setidaknya sampai pukul enam nanti.” jelasku.
Dia beranjak dari tempat duduknya dan segera berwudlu. Kami pun sholat bersama kemudian dilanjutkan membaca qur’an bersama hingga waktu shubuh.
Pagi hadir menyapa kami, sinar mentari musim panas menyeruak menyinari sudut-sudut kota. Namun aku masih dapat merasakan udara sejuk di kota yang penuh dengan karya seninya ini.
Aidan dan aku berdiri di halte menunggu sebuah tramway yang akan kami tumpangi. Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan Nyonya Nicole, mertuaku. Hatiku semakin berdebar dan aku tak sabar untuk segera bertemu dengan wanita itu. Hatiku tersayat jika mengingat tentang kisah beliau dari Aidan. Bagaimanapun perceraian adalah kata yang teramat mengerikan bagiku. Meskipun aku tak mencintai Aidan seperti dulu, tapi aku tak ingin kata itu tertulis dalam takdirku. Aku berharap Allah membalikkan hatiku agar aku dapat mencintai Aidan dan menerima dia dengan ikhlas sepenuh hati.
Sebuah tram berhenti di depan kami, aku dan Aidan segera naik kendaraan itu. Kendaraan ini memiliki jalur sendiri seperti Busway. Namun memiliki bentuk seperti kereta dengan gerbong berwarna-warni, hanya saja Tram memiliki jumlah gerbong yang lebih sedikit.
Sesampainya di rumah sakit, kutemukan seorang wanita paruh baya yang masih lebih muda dari ibuku terbujur kaku di tempat tidur salah satu kamarnya. Tubuhnya penuh dengan balutan peralatan medis. Seseorang tengah duduk di sampingnya, aku terkejut rupanya seorang wanita mengenakan tunik dan jilbab ungu muda. Ternyata dia Bibi Sarah yang menjaganya dari semalaman. Melihat kami datang Bibi Sarah beranjak dari tempat duduknya menuju sofa yang tak jauh dari tempat tidur. Aku menghampiri Ny. Nicole dan duduk di tepi ranjangnya. Ku genggam tangannya yang dingin, sedingin hatinya yang terluka dan kesepian. Sedangkan Aidan berdiri di belakangku menatap kami berdua.
Perlahan wanita itu membuka matanya, menatapku dengan pandangan yang sayu dan sangat payah. Lalu berganti memandang Aidan. Bibirnya berdesis, sepertinya beliau ingin mengucapkan sesuatu. Aidan segera menghampirinya dan membisikkan sesuatu di telinganya, tentu dalam bahasa Spanyol yang tidak ku mengerti. Wanita itu tersenyum padaku dan mengenggam tanganku erat dan menatapku lekat. Tatapannya seolah berkata dan memohon agar aku dapat membahagiakan dan tak menyakiti putranya itu. Aku meraih tangannya, ku kecup dengan penuh cinta dan sehangat mungkin seperti yang biasa aku lakukan pada ibuku. Wajahnya terlihat lebih cerah dari sebelumnya.
Aidan dan aku telah sampai di apartemennya setelah sholat isya, kami mendirikan sholat isya di sebuah Masjid yang kami lewati dalam perjalanan pulang tadi. Tentu saja telah sangat larut malam apabila di Indonesia.
Aku melepaskan kerudungku dan ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Ku hirup udara dalam-dalam lalu ku hembuskan. Aidan mendekatiku, lalu duduk di sampingku. Aku pun bangun dan duduk di sampingnya.
“Aku senang dapat melihat ibuku kembali tersenyum. Terimakasih sayang kau mau mengunjungi keluargaku.” ucapnya.
“Keluargamu, keluargaku juga bukan?” ujarku.
Aidan tersenyum, dia menatap mataku dalam, menyentuh pipiku yang dingin dihembus angin malam dari jendela yang lupa ku tutup. Perlahan wajahnya mendekatiku lalu di kecupnya bibirku yang tampak kaku. Ya Allah ini adalah hal yang pertama bagiku. Namun setelah itu aku segera mengelaknya.
“Astagfirullah... aku lupa menutup jendela...” seruku. Aku segera beranjak dari tempatku dan menutup jendela kamar kami.
“Hari ini sungguh melelahkan, bukan?” keluhku. Setelah menutup jendela aku segera menghempaskan tubuhku di atas kasur. Aku menangkap kekecewaan dari wajah Aidan.
“Ah... kau benar! Hari ini kita telah menghabiskan waktu di rumah sakit.” Aidan menutup kekecewaanya dengan senyum manis. Lalu berbaring di sampingku, ia menarik selimut hingga menutupi tubuh kami. Aku memejamkan mataku dan kurasakan dia menggegam tanganku, hangat.
Kulewati hari-hariku di Spanyol bersama Ny. Nicole di rumah sakit atau bermain bersama dengan Carlota, gadis kecil yang telah menemukkan kembali keceriaanya.
Terkadang Aidan mengajak kami jalan-jalan, hanya untuk sekedar mengenalkan sudut-sudut kota Barcelona. Aku sungguh menikmati hari-hariku di Spanyol, aku telah menemukan keluarga baru disini. Tak terasa hari ini adalah hari kedua puluh delapan aku berada di Negara tetangga Perancis dan Portugal ini. Keadaan Ny. Nicole pun semakin membaik seperti halnya hubunganku dengan Aidan yang semakin membaik pula. Kini aku lebih bisa menerima kehadiran dia di hidupku walau hanya sebagai kakak atau sahabat, bukan sebagai suami!
Handphoneku berdering. Ku tengok layarnya. Ibu.
“Assalamualaikum bu..” sapaku.
“Waalaikumsalam, bagaimana keadaanmu disana?” tanya Ibu
“Alhamdulillah baik. Ibu sendiri?” aku balik bertanya.
“Alhamdulillah. Ibu punya kabar baik, nak.” katanya.
“Kabar baik? Apa itu?” tanyaku semakin penasaran.
“Kak Yasmin sudah melahirkan, bayinya perempuan. Dan Kak Wafa Alhamdulillah ternyata beliau sedang mengandung juga.” jelas Ibu dengan suara penuh kebahagiaan. Aku dapat merasakannya, mungkin saat ini wajahnya tengah berbinar-binar.
“Alhamdulillah...” gumamku dengan senyum lebar.
“Bagaimana denganmu sendiri? Apa putri ibu yang bungsu ini juga akan segera memberikan ibu seorang cucu?” ucap ibu dengan tawanya yang khas.
Hah! Mana mungkin? Bahkan aku dan Aidan tak berbuat apa-apa. Hamil sekarang?
Itu hal justru hal yang ku hindari saat ini. Bagaimana mungkin, apa tanggapan teman-temanku nanti. Sedangkan mereka tak pernah tahu aku telah menikah. Hanya akan menimbulkan fitnah nantinya.
“Ah... Ibu. Apa yang ibu katakan? Pernikahan kami baru berumur satu bulan. Bahkan kami sempat berpisah. Bersabarlah bu...” aku mencoba mengelaknya.
“Kau benar nak.” ujar ibu. “ Baiklah semoga kau bahagia di sana dan ibu berharap kau akan memberiku kabar gembira saat kepulanganmu dari sana. Ibu merindukanmu nak...” ucap Ibuku. Suaranya parau seperti menahan tangis. Aku kira ibu memang benar-benar merindukanku, sama halnya denganku.

“Aku juga merindukanmu bu...” balasku dengan suara tak kalah paraunya. Aku sungguh merindukanmu, aku rindu pelukanmu yang hangat dan belaian tanganmu yang lembut di kepalaku, ucapku dalam hati. Andai kau tahu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar