Jumat, 28 Maret 2014

Mahkota Cinta (Part 2)

"Istirahat saja. Ini minumnya. Di kamar mandi ada sikat gigi yang masih baru, juga sabun cair, bisa kamu pakai jika mau mandi. Handuknya sudah saya siapkan di kamar mandi." Jelas Mari sambil meletakkan nampan itu di atas meja rias.
"Terima kasih Mbak."
"Jika perlu apa-apa bisa mengetuk kamar belakang. Saya ada di sana."
"Iya Mbak."
"Baik. Selamat istirahat." Kata Mari dengan tersenyum. Ia keluar dari kamar dan menutup pintu kamar dengan pelan.
Zul merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk itu. Terasa nyaman. Tapi ia merasa kulitnya seperti lengket dengan pakaiannya. Sangat tidak nyaman. Ia lalu beranjak ke kamar mandi dan mandi. Air yang mengguyur sekujur tubuhnya itu serasa meremajakan seluruh syaramya. Barulah setelah mandi iabisa istirahat dengan nyaman. Sesaat sebelum tidur kilatan senyum Mari yang tulus terbayang di mata. Ia tersenyum. Tiba-tiba ia teringat perkataan Mari tadi siang,
"Jujur saja Dik ya, hampir di semua mata lelaki ada binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan untuk menjaga pandangan."
Ia kembali tersenyum. Lalu terlelap tidur.

Pukul tujuh pagi, Zul baru bangun tidur. la kaget karena bangun terlalu siang. Sinar matahari telah menerobos jendela dan masuk ke dalam kamarnya. la langsung bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. La belum shalat Subuh. Ketika hendak shalat ia bingung arah kiblat. Terpaksa ia keluar kamar untuk menanyakan arah kiblat. Di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang santai, Sumiyati dan Iin sedang asyik nonton televisi.
"Waduh arah kiblat mana ya? Waduh kok saya tidak dibangunkan. Jadi terlambat shalat Subuh!" Kata Zul setengah menggerutu. Tidak jelas kepada siapa kata-kata itu ia tujukan. Pada Sumiyati atau pada Iin, atau pada kedua-duanya.
"Maaf Dik, kami segan mau membangunkan. Kiblat ke arah jendela Dik." Jawab Iin kalem sambil memandang ke arah Zul yang masih jelas bekasnya dari tidur.
Zul kembali ke kamar dan shalat. Setelah itu ia kembali ke ruangan tamu. Ia tidak melihat Mari.
"Lha Mbak Mar ke mana? Apa masih tidur juga?"
"Ya tidak. Mbak Mar itu orang paling disiplin di rumah ini. Ia sudah bangun sejak jam empat tadi. Biasanya shalat Tahajjud. Terus nyuci pakaian. Tadi setelah shalat Subuh ia langsung berangkat kerja." Jelas Sumiyati santai sambil mengambil kacang tanah yang ada di depannya. Lalu mengeluarkan isinya dan memasukkan ke dalam mulutnya.
"O ya sebelum berangkat tadi Mar nitip pesan. Kalau kamu sudah bisa menghubungi orang yang kamu tuju dan mau pergi pagi ini atau siang ini tidak apa-apa. Kalau masih betah dan mau menginap barang satu dua hari lagi ya tidak apa-apa. Hanya saja Mar minta kalau siang ini orang itu tidak juga bisa kau hubungi kau sebaiknya menginap semalam lagi. Siang ini dia akan mencoba mencarikan informasi tentang tempat yang lebih pas, sekaligus informasi tentang pekerjaan jika ada/'’ Iin menyahut.
"Sebaiknya, siang ini Mas istirahat saja dulu di sini. Kan baru datang. Sambil menunggu informasi dari Mbak Mar jika nanti ia kembali," sambung Sumiyati memberi saran.
"Saya mau keluar sebentar Mbak. Sekalian lihat-lihat lingkungan. Saya mau coba telpon orang yang harus saya hubungi itu sekali lagi," kata Zul.
"Ya, hati-hati Dik. Jangan lupa bawa paspor ya," tukas Iin
Zul keluar mencari telpon. Lima puluh meter dari rumah itu ia menemukan warung kelontong, namun di situ tertulis kedai runcit. Di warung itu ada wartelnya. Dari wartel itu ia mencoba menelpon nomor yang ia catat dari Pak Hasan. Berulang-ulang ia menelpon, tapi tidak juga berhasil. Ia mencoba menelpon Pak Hasan yang ada di Batam juga tidak berhasil. Nomor Pak Hasan sedang tidak aktif. Ia kembali ke rumah dan mendapati dua perempuan itu telah rapi dan siap pergi.
"Dik kami harus berangkat kerja. Ini kunci rumah, siapa tahu kamu mau keluar. Jika nanti kamu mau pergi meninggalkan rumah, tolong rumah dikunci. Dan kuncinya letakkan saja di bawah pot bunga itu. Oh ya sarapannya sudah kami siapkan di dapur. Makan saja yang banyak. Maaf seadanya." Dengan lembut Iin menjelaskan.
"O ya Mas, kalau mau lihat film-film Malaysia. Nyalakan saja DVD player itu. DVD-nya ada di rak biru itu," sahut Sumiyati.
"Kami pergi dulu ya. Yah demi mencari sesuap nasi Mas." Imbuhnya sambil membuka pintu.
Mereka berdua lalu bergegas meninggalkan rumah. Ketika mereka sampai di halaman hendak membuka pintu gerbang, sebuah mobil sedan Proton Wira berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang perempuan berpakaian sangat ketat keluar dari mobil itu. La melambaikan tangan pada pengendara mobil yang bermata sipit.
"Baru pulang Lin?" sapa Iin.
"Iya Mbak. Tadi ketiduran di hotel," jawab perempuan itu santai.
Zul melihat dari pintu yang masih terbuka.
"Kamu itu mbok ya ingat akhirat meskipun sedikit-sedikitlah Lin? Ingatlah hari akhir kelak Lin!" Iin menasihati dengan suara lembut.
"Aduh Mbak, kalau mau ceramah di masjid saja. Saya sedang capek nih. Sory ya Mbak. Saya harus istirahat. Lha itu kok ada cowok di rumah kita. Siapa dia?" ketus Linda.
"Itu adik saya dari Demak," jawab Iin.
"Orangnya baik kok Lin. Namanya Zul. Jangan takut santai saja," timpal Sumiyati.
"Siapa yang takut. Saya tak pernah takut sama lelaki. Apalagi lelaki Indonesia kurus kaya gitu. Lelaki dari Amerika, Rusia bahkan Nigeria sekalipun saya tidak pernah takut! Kenapa kalian masih mematung saja di sini. Nanti kalian terlambat didamprat sama majikan baru tahu rasa!" sengit Linda.
"Ya udah kami berangkat dulu. Jaga rumah baik-baik ya Lin."
"Ya," jawab Linda singkat sambil beranjak masuk rumah.
Ketika masuk rumah dan melewati Zul yang berdiri di samping pintu Linda menyapa datar,
"Halo Mas, baru datang dari Indonesia ya?"
"Iya," jawab Zul singkat.
Linda langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Zul masih berdiri di samping pintu memandang lurus ke depan, ke halaman dan jalan. la mendengar dengan jelas percakapan tiga perempuan itu. Dan ia bisa meraba, kira-kira apa pekerjaan perempuan muda bernama Linda yang baru saja menyapanya itu. Dan siang itu ia bisa jadi hanya akan berdua bersama Linda di rumah yang sepi itu. Ia berpikir apa yang akan ia
kerjakan seharian di rumah itu. Apakah ia akan hanya tidur di kamar? Bagaimana kalau Linda mengajak berbincang-bincang? Apakah ia akan bersikap cuek saja terhadap Linda? Ataukah ia akan berpura-pura bersikap baik kepadanya. Sebab ia paling tidak suka dengan perempuan yang memiliki tanda-tanda sebagai perempuan tidak benar. Dari cara Linda berpakaian dan dari pembicaraan yang baru saja ia dengar, ia memiliki firasat kuat bahwa Linda adalah jenis perempuan tidak benar. Zul mengambil nafas panjang. Ia belum bisa memutuskan akan bersikap bagaimana.
"Mas pintunya ditutup saja. Di sini tidak lazim membuka pintu lama-lama." Seru Linda dari kamarnya yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat Zul berdiri.
Secara reflek Zul menengok ke arah suara. Pintu kamar Linda terbuka lebar dan Linda merebahkan tubuhnya begitu saja di tempat tidurnya, dengan sepatu hak tingginya masih terpasang di kedua kakinya. Zul merasakan getaran dalam dadanya. Ia langsung menutup pintu dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Sementara Iin dan Sumi masih berjalan ke arah hentian bus. Dalam hati Iin memanjatkan doa agar Linda kembali ke jalan yang benar. Ada yang meleleh dari kedua matanya yang berkaca-kaca. la sangat saying pada gadis cantik—yang sudah tidak gadis lagi—itu. La ingat bagaimana awal perjumpaannya dengan Linda di pagi yang cerah di KBRI Kuala Lumpur. Linda yang
berwajah Indo itu memperkenalkan diri sebagai karyawati sebuah kantor maskapai penerbangan di Kuala Lumpur. Pagi itu Linda ada sedikit urusan di bagian konsuler. la tidak menanyakan detil urusan Linda sebenarnya. la sendiri punya urusan yang membuatnya pusing, gajinya selama lima bulan tidak dibayar oleh majikan. la hendak melaporkan hal itu ke pihak KBRI. Dari yang tak lebih dari dua puluh menit itu ia tahu Linda memiliki cita-cita yang tinggi. Linda bercerita tentang keinginannya melanjutkan kuliah sampai S.3 di negeri tempat ia dilahirkan, yaitu Belanda.
"Saya harus cari uang dulu. Ibu saya tidak mungkin membiayai saya kuliah. Ayah saya, saya tidak mengenalnya sejak kecil. Ibu hanya cerita ia orang Belanda dan sudah menikah lagi di sana. Sudah jadi orang penting di Belanda. Ibu saya tidak meridhai jika saya minta uang sepeser pun pada ayah saya. Kata ibu saya, saya boleh ke Belanda, tapi tidak boleh mengemis pada ayah saya, atau keluarga ayah saya. Ibu saya sangat dendam pada ayah saya, dan dendamnya itu telah diwariskan pada saya. Saya tidak akan menceritakan perihal dendam itu. Pokoknya dendam yang sangat menyakitkan. Intinya ayah saya pernah memperlakukan ibu saya dengan sangat tidak manusiawi di Belanda. Dan itu saat mengandung saya.
"Ya alhamdulillah, berkat peluh dan keringat ibu saya, akhirnya saya bisa selesai kuliah di Jakarta dan langsung mendapat pekerjaan. Sekarang saya bisa kerja di Kuala Lumpur ini dengan gaji yang lumayan. Saya akan menabung. Kalau bisa saya akan lanjut kuliah S.2 di sini baru nanti S.3 di Belanda. Jika saya sudah sukses, kaya dan bermartabat, saya akan ajak ibu saya menemui ayah saya dengan kepala tegak. Bahkan saya bercitacita harus kaya hingga saya nanti bisa punya perusahaan besar di Belanda. Harus lebih kaya dari Mr. Van Braskamp.
"Van Braskamp itulah nama ayah saya. Dia seorang Belanda. Tapi saya sama sekali tidak kenal budaya Belanda. Saya sejak umur dua tahun sudah di Sunda. Hidup bersama kakek dan nenek saya. Ayah saya tidak meninggalkan apa-apa kepada saya kecuali warna kulitnya yang membuat saya lebih putih dari ibu saya. Itu saja. Tapi saya akan membuktikan pada ayah saya itu, suatu saat saya bisa lebih terhormat dari ayah saya di negeri ayah saya. Itulah cita-cita saya Mbak Iin. Kalau Mbak Iin punya cita-cita apa? Untuk apa kerja di Malaysia ini?"
Iin masih ingat saat itu ia hanya menggelengkan kepala lalu menjawab,
"Saya tidak punya cita-cita yang tinggi seperti Dik Linda. Saya hanya ingin dapat uang. Bisa membiayai suami saya yang sedang sakit dan bisa membiayai dua anak saya yang masih kecil-kecil yang sekarang diasuh oleh adik saya. Itu saja. Juga punya tabungan untuk buka warung di kampung. Itu saja Dik Linda." Saat itu Linda tersenyum dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa,
"Semoga cita-cita Mbak Iin dikabulkan oleh Allah. Amin.”
Dalam hati ia ikut mengamini. Di pertemuan yang singkat itu, ia sempat bertukar nomor handphone dengan Linda. Linda yang memberi nomornya dulu.
"Mbak ini nomor hape saya. Siapa tahu Mbak atau teman Mbak ada yang ingin pulang liburan. Bisa pesan tiket ke saya."
Sejak itulah ia sering berkomunikasi dengan Linda. Beberapa kali ia bertemu dengan Linda tanpa sengaja di Menara Kembar Petronas KLCC. Seringkali Linda mentraktirnya makan. Selesai makan biasanya mengajak shalat di surau yang ada di sana. Ia melihat Linda begitu agamis. Dan dalam balutan jilbab muka Indo itu bagai bidadari surga yang turun ke bumi. Ia sangat takjub pada keelokan dan kebaikan Linda. Dari rasa takjub itulah rasa sayangnya pada Linda terbit.
Sejak kenal dengan Linda, ia sering membayangkan alangkah enaknya bisa kerja seperti Linda. Duduk tenang di kantor yang ber-AC dengan bayaran yang tinggi.
Kerjanya cuma mengangkat telpon. Lihat layar komputer. Dan nulis nota. Tidak seperti dirinya yang harus kerja di Warung Runcit6 dengan majikan yang kasar dan pelit. Itulah yang ia pikirkan pada waktu itu.
Dan ia merasa alangkah beruntungnya Linda. Cantik, pintar, masih sangat muda, dan berpenghasilan tinggi. Tapi ia segera menyadari siapakah dirinya dan siapakah Linda. Dirinya tak lebih hanya lulusan MTs dengan penampilan sangat biasa, sementara Linda sudah sarjana
dan cantik pula. Pekerjaan kantor sepertinya tidak boleh dikerjakan oleh orang desa dengan wajah pas-pasan yang hanya lulusan MTs seperti dirinya.
Tapi jika melihat kehidupan Linda saat ini, ia yang hanya orang desa dan cuma lulusan MTs seperti dirinya merasa lebih bahagia daripada Linda. Buat apa pandai, sarjana dan cantik jika hanya menjadi budak nafsu dan setan. Dan hidup dalam lembah kehinaan.
Baginya, sebagai wanita, kehormatan diri dan kesucian diri adalah harta paling berharga setelah iman kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Entah sudah berapa kali ia berusaha mengingatkan Linda, baik dengan cara yang paling halus maupun cara yang sangat terang-terangan. Baik dengan sindiran maupun ancaman siksa neraka jahanam. Tapi ia melihat Linda sama sekali tidak ada perubahan. Bahkan shalat pun sudah ia tinggalkan. Ia sudah jarang melihat wajah blesteran Sunda Belanda itu berbalut mukena putih. Ia merasa bidadari surga yang turun ke bumi itu telah hilang.
Jika menghayati apa yang terjadi pada Linda, hatinya sering miris dan merinding. Betapa berbedanya Linda yang dulu dengan sekarang. Alangkah mudahnya ketakwaan itu sirna dan iman itu hilang lenyap di akhir zaman seperti sekarang. Tidak sedikit orang yang dulu dikenal
karena ketakwaannya tiba-tiba dalam waktu tak lama dikenal karena kedurhakaannya.
"Na'udzubillahi min dzalik. Ya Rabbi, jauhkanlah hamba dari itu semua. Jangan Kau biarkan iman ini lepas dari hati hamba sedetik pun." Doanya dalam hati sambil mengusap airmatanya.
"Kenapa menangis Mbak Iin?" tanya Sumiyati.
"Tidak apa-apa. Aku hanya kasihan sama Linda.
Jauh-jauh merantau ke sini, siang malam hanya untuk menjual kehormatan dan bermaksiat. Kalau tidak mau bertaubat sungguh kasihan. Rugi di dunia, rugi di akhirat."
"Iya Mbak. Aku masih ingat awal-awal Linda hidup bersama kita, ia masih shalat dan masih mau membaca Yasin. Tapi sekarang sepertinya dia tidak memiliki Tuhan."
"Hus. Jangan bilang begitu Sum!" bentak Iin,
"Semoga saja semaksiat-maksiatnya Linda, dia masih mengakui Allah sebagai Tuhannya," lanjutnya.
"Semoga saja Mbak. Hidup di perantauan seperti kita ini memang tidak mudah. Keimanan kita benar-benar dipertaruhkan. Mbak tolong doakan saya ya. Itu, si Karan kawan kerja saya di restoran sering menggoda saya. Saya takut tergoda Mbak."
"Kau harus kuat Sum. Imanmu harus terus kaupupuk. Kita harus sating menguatkan dan mengingatkan. Kita harus sating mengingatkan bahwa perzinahan itu termasuk dosa besar. Dan sekali orang berzina, orang itu akan sulit lepas dari belenggu dosa itu. Sangat memungkinkan ia akan melakukan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Dan itulah yang dikehendaki setan. Jangan kita biarkan diri kita terperangkap oleh kesempatan melakukan dosa besar itu. Sebisa mungkin kesempatan itu jangan dibiarkan ada. Aku sendiri Sum, aku mengakui diriku tidak cantik. Tetapi aku juga mengalami apa yang kaualami. Banyak yang menggoda. Tapi aku berusaha untuk kuat dan berusaha menjaga agar jangan sampai setan menciptakan kesempatan melakukan perbuatan dosa besar itu. Sebab, jika kesempatan itu tercipta, aku kuatir imanku tidak kuat untuk mencegahnya. Di antara caraku menjaga diri adalah dengan tidak pernah meladeni segala bentuk
keisengan mereka yang menggodaku. Termasuk SMS yang hanya iseng. Aku selalu berangkat tepat waktu dan begitu saatnya pulang aku langsung pulang. Tidak berlama-lama ngobrol di tempat kerja."
"Gitu Mbak ya?"
"Iya."
"Wah, untung Mbak kasih tahu. Si Karan itu inginnya ngajak ngobrol terus selesai kerja. Ia bahkan sering ngajak nonton film."
"Kalau ingin selamat, jangan kautanggapi sedikit pun."
"Iya Mbak."
"Linda pernah cerita, ia menjadi seperti sekarang ini bermula dari menanggapi SMS iseng teman kerjanya, seorang pria muda asal Singapura."
"Cerita detilnya bagaimana Mbak?"
"Aku juga tidak tahu Sum. Linda hanya pernah menyinggung bahwa semuanya bermula dari SMS iseng seorang teman kerja asal Singapura. Seorang pria muda yang menawan. Itu saja."
"Eh Mbak itu busnya datang. Ayo cepat!" teriak Sumiyati.
"Wah iya Sum, itu bus kita! Sahut Iin dengan mata berbinar.
Mereka berdua langsung mempercepat langkah. Bus Rapid KL semakin mendekat, merapat di halte, lalu menurunkan dan menaikkan penumpang. Kedua perempuan itu mengejar dengan setengah berlari, takut ketinggalan.

* * *

Zul tidur di kamarnya, yang tak lain adalah kamar Mari. Kedua matanya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Sementara pikirannya melayang ke mana-mana. Melayang ke perjalanan dari Batam hingga ketemu Mari. Dan sampai di rumah yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia masih juga berpikir apa yang harus ia lakukan siang itu. Apakah tetap diam di rumah itu menunggu Mari pulang. Sehingga ia bisa mendapat informasi dari Mari. Ataukah ia nekat saja pergi dari rumah itu. Kenapa ia mesti menunggu informasi dari Mari. Bukankah ia bisa nekat, sebagaimana selama ini ia selalu nekat. Dan bukankah sebenarnya ia pergi ke Malaysia juga berbekal nekat.
Kalau ia nekat pergi dari rumah itu, siang itu juga, lalu ia mau pergi ke mana? Ia tidak hafal Kuala Lumpur dan sekitarnya. Apa asal pergi saja. Yang penting jalan. Seperti waktu ia dulu nekat ke Jakarta. Tapi ia nyaris mati di Jakarta karena dikeroyok berandalan jalanan. Apa ia
akan mengulangi nasib yang sama. Dan jika ia nekat, berapa lama ia akan bisa bertahan? Uang yang ia bawa sangat pas-pasan. Tak lebih dari seratus lima puluh ringgit. Berapa lama ia bisa bertahan dengan seratus lima puluh ringgit?
Ia lalu berpikir realistis, apa salahnya menunggu Mari pulang. Ia bisa dapat informasi yang lebih jelas. Mungkin informasi ada pekerjaan yang membuatnya bisa bertahan bahkan bisa memperbaiki nasib. Apa salahnya menunggu sampai sore hari. Ia bisa tidur seharian di kamar itu dengan pintu terkunci. Toh di kamar itu ada kamar mandi dan WC-nya. Ia tidak perlu keluar.
Juga, tidak baik rasanya meninggalkan rumah itu tanpa terlebih dulu pamitan pada Mari, yang begitu baik padanya. Ia akhirnya mantap untuk tetap di rumah itu siang itu, sampai Mari pulang. Jika Mari pulang dan ia telah mendapatkan informasi dan petunjuk yang mungkin sangat penting baginya, maka ia bisa pergi.
Zul mencoba berkonsentrasi memejamkan kedua matanya, ia ingin tidur lagi. Namun konsentrasinya buyar begitu telinga mendengar suara orang mandi. Ia langsung yakin yang mandi itu adalah Linda. Sejurus kemudian ia mendengar televisi dinyalakan. Ia lalu mendengar lagu-lagu India dibunyikan dengan sedikit keras. Ia benar-benar tidak bisa memejamkan kedua
matanya.
Ia lalu bangkit dari kasur. Ia yakin tidak bisa tidur. Ia lalu melihat-melihat isi kamar itu, ia mencari sesuatu yang bisa dibacanya. Di samping meja rias ia melihat setumpuk majalah dan koran. Juga ada beberapa buku.
Ia lihat buku-buku itu. Buku-buku ekonomi berbahasa Inggris. Ia ambil satu. Judulnya International Monetary and Financial Economics. Ia buka buku itu. Di halaman paling depan ia menemukan nama pemilik buku itu tertulis dengan tinta biru. Liew Su Ying. Nama China. Di bawah buku itu ada buku bersampul biru tua. Ia ambil. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Ia menggelenggelengkan
kepala. Orang yang bisa memahami buku seperti itu pastilah bahasa Inggrisnya mantap. Ia buka
halaman depan. Nama pemilik buku dan tanda tangannya tertulis di situ. Laila Binti Abdul Majid, TTDI, Kuala Lumpur. Ia yakin itu nama perempuan Melayu.
Ia jadi bertanya-tanya, kenapa buku ekonomi seperti itu bisa ada di dalam kamar Mari dan Iin? Siapakah yang selama ini membaca buku itu? Mari kah? Atau Iin kah? Apakah mungkin mereka berdua bisa memahami buku berbahasa Inggris? Tiba-tiba ia tersenyum, mengapa ia bisa sebodoh itu. Bisa jadi orang China yang namanya tertulis sebagai pemilik buku itu adalah orang yang memiliki rumah ini. Bukankah ini rumah sewa? Dan bukankah Mari mengatakan pemiliknya adalah orang China? Ia menduga pemiliknya adalah orang China yang menikah dengan perempuan Melayu.
Sangat mungkin, pemilik rumah itu tidak mengemasi bukunya dan membiarkan buku-bukunya tergeletak begitu saja di kamar itu. Lalu Mari dan Iin menatanya jadi satu dengan majalah dan koran di samping meja rias. Atau entahlah, yang jelas ia menafikan jika yang punya dan yang membaca buku-buku ekonomi berbahasa Inggris itu adalah Mari atau Iin. Melihat tampang dan penampilan mereka sangat meragukan, dan sangat tidak meyakinkan.
la lalu melihat-lihat beberapa majalah. Ada yang terbitan Indonesia, Malaysia, Singapura dan bahkan Hongkong. la mengambil yang terbitan Indonesia. La bawa ke kasur. la baca sambil tiduran. Tak berapa lama kemudian ia merasa mengantuk. Entah kenapa setiap kali ia membaca rasa kantuk itu menyerang dengan cepat. Saat ia berada di antara sadar dan tidak sadar karena mulai masuk ridur, sayup-sayup ia mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa kali. Ia tidak jadi memejamkan mata.
"Mas! Mas! Halloo! Buka dong!"
Itu jelas suara Linda.
"Iya. Sebentar!" sahutnya sambil bangkit menuju pintu.
Begitu pintu ia buka, tampaklah wajah Linda yang sangat berbeda dengan wajah yang tadi ia lihat saat Linda baru datang. Wajah Linda yang ada di hadapannya tampak segar, dan menawan. Linda menyungging senyum yang membuat dadanya berdesir. Ia sepertinya belum pernah melihat pesona sesegar wajah Indo yang ada di hadapannya.
"Hallo Mas, maaf mengganggu. Tadi kita belum kenalan. Kenalkan namaku Linda. Lengkapnya Linda Van Braskamp. Aku kerja di sebuah hotel berbintang di Kuala Lumpur." Sapa Linda sambil mengacungkan tangan kanannya mengajak berjabat tangan. Zul langsung menjabat tangan itu sambil memperkenalkan dirinya,
"E... nama saya Ahmad Zul. Saya berasal dari Demak. Mbak Linda orang Belanda ya?"
"Ya. Ada darah Belanda. Tepatnya blesteran Sunda-Belanda. Tapi aku tetap merasa sebagai orang Indonesia. O ya kapan Mas Zul sampai?"
"Tadi malam."
"Berarti bareng Mbak Mar?"
"Ya."
"Tadi Mbak Iin cerita, Mas adiknya Mbak Iin, benar?"
Zul tersenyum mendengarnya, ia lalu menjawab,
"Dikatakan adiknya Mbak Iinjuga boleh."
"Lho kok gitu. Kok ada juga bolehnya. Jadi sebenarnya bukan adiknya Mbak Iin?"
"Ah itu tidak penting. Tadi baru pulang kerja ya?"
"Iya saat ini aku kena sif malam. Jadi manusia kelelawar. Malam jadwalnya kerja, siang jadwalnya istirahat."
"Jadi siang ini mau di rumah saja?"
"Lha iya lah. Kan harus istirahat. Tapi aku lapar sekali. Mau keluar cari makanan rasanya malas sekali. Aku tengok di dapur ada nasi goreng. Itu pasti disedikan untuk Mas Zul. Boleh saya minta sedikit Mas. Atau kita makan bareng. Bagaimana? Mas Zul belum sarapan
kan?"
"Belum."
"Ayo kalau begitu kita makan bersama. Kita makan di ruang tamu saja. Sambil ngobrol. Oh ya Mas Zul mau minum apa? Aku bikinkan."
"Teh panas boleh."
"Baik. Mas Zul tunggu di ruang tamu saja ya, sambil nonton televisi."
"Baik."
Linda ke dapur membuat minuman dan mengambil makanan. Zul melangkah ke ruang tamu lalu duduk di sofa sambil membaca majalah yang tadi ia baca. Tak lama kemudian Linda muncul dengan membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis. Zul mendongakkan muka dan melihat ke arah Linda yang datang. Barulah ia memperhatikan pakaian
yang dipakai Linda, yang tadi tidak ia perhatikan. Linda memakai gaun yang hanya pantas dipakai di kamar tidurnya saja. Zul seperti terpaku dan terbelenggu di tempat duduknya. Tubuhnya terasa kaku.
Linda meletakkan nampan di meja dan langsung duduk di samping Zul. Bau wangi parfum Linda tercium jelas oleh hidung Zul. Zul tidak bisa konsentrasi makan, ia masih menata pikirannya yang ia rasakan mulai kacau.
"Kok bengong saja Mas. Ayo dimakan. Tadi nasinya sudah saya hangatkan. Kalau dingin tidak enak."
"E... iya Mbak."
Zul mengambil piring berisi nasi goreng dan mulai menyantapnya pelan-pelan. Ia masih terus berjuang menata kembali pikirannya yang mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Rencana siang ini Mas Zul mau ke mana? Kalau tidak ada rencana, di rumah saja menemani aku. Aku bawa film Hollywood terbaru. Kita nonton berdua saja di rumah. Kalau nonton film sendirian rasanya tidak seru."
"Saya belum ada rencana. Tidak tahulah. Saya sebenarnya ingin jalan-jalan."
"Sebenarnya aku ingin sekali nemani jalan-jalan. Tapi kurasa, aku harus istirahat dan nyantai di rumah. Kalau Mas mau jalan-jalan sendiri tidak apa-apa. Kebetulan aku ada kunci dobel. Sebentar ya."
Linda menghentikan makannya dan beranjak ke kamarnya. Lalu keluar dengan membawa kunci.
"Ini bawa saja. Yang ini kunci gembok pintu besi dan yang ini kunci pintu. Kalau Mas keluar dan saat pulang aku sedang tidur tidak perlu membangunkan aku. Bawa saja kunci ini selama Mas di sini."
"Terima kasih."
"O ya ngomong-ngomong Mas mau kerja di mana? Sudah ada agen yang mengatur?"
"Belum tahu. Masih mencari."
"O jadi belum dapat kerja. Begini Mas, ini kalau Mas mau. Bagaimana kalau kerja di hotel tempat aku kerja. Tapi kerjanya malam sih. Kalau mau, bisa aku coba hubungkan ke pihak personalia. Aku kenal baik dengan penanggung jawabnya. Gajinya lumayan kok. Bagaimana?"
"Nanti saya pikirkan."
"Sejak jumpa pertama kali tadi, kulihat Mas memang banyak berpikir dan merenung. Jangan terlalu dibuat serius hidup ini Mas, cepat tua nanti. Itu Mbak Mar, coba nanti kalau ketemu kau amati dia baik-baik, karena ia juga terlalu serius memikirkan hidup jadi kelihatan jauh lebih tua dari umurnya. Padahal ia hanya selisih satu tahun saja dariku."
"Benarkah?"
"Serius. Mbak Mar itu terlalu banyak mikir.
Semuanya dia pikir. Mau makan saja dia mikir, ini halal tidak, haram tidak. Kalau aku sih selama enak kenapa tidak? Sekarang aku menemukan agama baru. "
"Agama baru?"
"Ya. Aku kasih nama agama enak. Pokoknya segala yang enak-enak itu jadi ajarannya. Itulah agamaku sekarang. Tuhannya adalah Tuhan yang maha membebaskan manusia untuk berenak-enak."
"Astaghfirullah. Meskipun yang kelihatannya enak itu dilarang agama."
"Agama yang mana? Kalau agamaku tadi ya jelas tidak melarang. Kalau agama Islam seperti agamamu, aku yakin kau Islam, ya aku tidak tahu."
"Wah itu namanya agama hawa nafsu."
"Terserah, aku tidak peduli. Yang jelas aku merasa enak, merasa bebas, merasa merdeka."
"Kalau di KTP apa agamamu?"
"Ya Islam."
"Lho kok Islam?"
"Ya untuk formalitas saja. Biar tidak membuat sedih banyak orang. Termasuk kakek dan nenek saya yang sangat fanatik dengan agama Islamnya."
"Itu berarti kamu munafik."
"Kalau munafik itu enak kenapa tidak?"
Zul jadi pusing memikirkan makhluk di hadapannya. la tidak mengira akan pernah menjumpai manusia seperti itu dengan cara berpikir seperti itu.
"Baiklah Mas, saya akan cerita sedikit tentang pekerjaan saya. Daripada nanti Mas mendengar cerita yang sinis dari orang lain. Lebih baik Mas langsung mendengar dari saya. Lebih baik saya jujur daripada saya disebut munafik lagi. Sudah saya katakan agama saya adalah agama enak. Pokoknya yang enak-enak itulah inti ajarannya. Maka saya cari profesi adalah juga profesi yang
menurut saya paling enak. Dalam ajaran agama saya, profesi saya tidaklah sebuah kejahatan. Tapi di agama lain bisa jadi profesi saya disebut sebuah kejahatan bahkan dosa besar. Aku tak peduli, aku punya agama sendiri.
"Profesi saya adalah menyenangkan orang-orang penting. Orang-orang yang memerlukan hiburan. Pekerjaan saya adalah menghiburnya. Tapi orang-orang awam menyebut orang seperti saya ini sebagai pelacur. Ada juga yang menyebut sebagai perempuan sundal. Macam-macam lah sebutannya. Tapi saya, berpegang pada keyakinan saya, maka saya menyebut diri saya adalah
seniwati. Saya menjual jasa. Dan jasa saya adalah seni dan keindahan. Itulah saya Mas. Bagaimana menurut Mas?"
"Aku hanya merasa kasihan padamu?"
"Kasihan, kenapa kasihan?"
"Entahlah, hanya merasa kasihan saja. Aku ini orang awam juga. Tidak tahu apa-apa. Agama juga tidak tahu. Hanya mendengar apa yang kaukatakan nuraniku mengatakan orang seperti kamu ini sebenarnya bukan hidup enak dan hidup senang. Tapi hidup dalam keadaan sangat memprihatinkan. Dan perlu dikasihani."
"O ya?"
"Terserah. Cuma aku yakin, yang tadi bicara bukan nuranimu tapi nafsumu. Nanti suatu ketika saat engkau menderita sakit, coba aku ingin dengar apa yang akan kau katakan dan kau ucapkan?"
"Kau ini jahat. Masak berharap aku sakit dan menderita."
"Kau salah sangka. Sama sekali aku tidak berharap. Tapi manusia yang normal terkadang ada saatnya sakit juga. Saat sakit itulah manusia lebih banyak berbicara dengan nuraninya daripada dengan nafsunya. Lha saya ingin tahu apa yang akan kaukatakan saat kau dalam keadaan seperti itu. Apakah berarti saat kau sakit kau sudah tidak beragama lagi. Karena rasa enak itu sudah tidak ada lagi. Atau bagaimana?"
"Saya akan bertahan dengan agama saya. Saya yakin dengan temuan saya."
"Yah kalau begitu, bagimu agamamu dan bagiku agamaku."

Selesai makan Zul memutuskan untuk jalan-jalan ke pusat kota. la merasa imannya tidak kuat jika di rumah itu terus, dan berduaan dengan Linda. la menyadari dirinya hanyalah pemuda biasa yang masih lemah imannya. Yang masih sering kalah melawan hawa nafsunya sendiri. Tingkat ketakwaannya belumlah sampai pada tingkatan Nabi Yusuf yang mampu menepis godaan Zulaikha. la merasa setan yang ada dalam dirinya lebih kuat dari dirinya. Maka ia harus mengambil tindakan penyelamatan dan waspada. Ia tidak ingin membuat dirinya celaka. Ia baru sampai di negeri orang. Mau tinggal di mana saja belum jelas. Pekerjaan juga belum jelas. Melangkahkan kaki mau ke mana saja belum jelas. Maka ia tidak mau terjebak dalam situasi yang mengakibatkan penyesalan. Ia teringat pesan Mar saat menyebut nama Linda pertama kalinya.
"Linda ini belum bersuami dan cantik. Kau hati-hati jangan sampai ada apa-apa dengan dia ya. Jangan membuat masalah di negeri orang. Awas ya, kau harus jaga iman kalau berhadapan dengannya!"
Tak ada jalan lain baginya kecuali pergi dan menjauh dari sumber petaka. Api jika tidak bisa dilawan dan dipadamkan maka jalan selamat adalah lari menjauh dari api itu. Jika tidak maka api itu akan membakar dan menghancurkan.
"Maaf Mbak Linda, rasanya saya harus keluar jalanjalan. Saya ingin melihat-lihat suasana. Bosan di rumah terus. Nanti malam habis Maghrib mungkin saya dating lagi. Tas danbarang-barang saya masih di kamar," kata Zul pada Linda.
"O ya. Hati-hati di jalan. Sudah bawa paspornya?" sahut Linda
"Sudah. Kalau mau ke pusat kota Kuala Lumpur naik apa ya?"
"Tadi malam datang pakai apa?"
"Bus "
"Rapid KL ya?"
"Iya."
"Kalau begitu naik saja dari tempat kau tadi malam turun dan naik bus yang sama."
"Baik. Terima kasih. Salam buat Mbak Mar, Mbak Iin, dan Mbak Sumiyati."
"Baik. Kalau ada apa-apa bisa telpon kami ya. Sudah tahu nomor hp saya?"
"Belum."
"Kalau nomor Mbak Mar sudah tahu?"
"Sudah."
"Ya sudah. Itu cukup."
"Sekali lagi terima kasih. Saya pergi dulu."
"Ya, sekali lagi hati-hati di jalan. Jangan sampai tidur di bus ya," canda Linda.
Zul menjawab dengan senyum lalu beranjak meninggalkan Linda sendirian. Ia pergi hanya membawa tas cangklong hitam berisi map dokumen-dokumennya, sepotong sarung, dan kaos panjang. Itu saja. Ia merasa mantap. Jika ia bisa menaklukkan Jakarta dan Batam, maka ia sangat yakin ia pun bisa menaklukkan Kuala Lumpur. Sepintas ketika ia tiba di Purduraya, ia melihat suasana terminal bus paling padat di Kuala Lumpur itu tidak seganas Pulogadung dan Kampung Rambutan Jakarta. Ia pernah berkelahi dengan preman Pulogadung dan tetap bisa hidup. Ia juga pernah ditodong preman Kampung Rambutan dan bisa lolos. Jika ia terpaksa harus bertemu dengan preman Kuala Lumpur ia merasa tak perlu gentar. Orang Demak tidak boleh gentar berhadapan dengan situasi apapun juga.
Dari Subang Jaya ia naik bus Rapid KL ke terminal KL Sentral. Di KL Sentral ia sempat bingung mau ke mana. Ia berinisiatif untuk mencoba menghubungi lagi nama yang diberi oleh Pak Hasan sekali lagi. Setelah bertanya kepada seorang lelaki India ia menemukan telpon umum. Dari telpon umum ia menghubungi dan masuk. Ia sangat berbahagia seperti mendapatkan rejeki
nomplok yang tiada terkira jumlahnya.
"Ini Pak Rusli ya?" tanyanya.
"Iya benar. Ini siape?"
"Saya Zul Pak. Saya mendapat nama dan nomor Bapak dari Pak Hasan Batam."
"O ya ya. Pak Hasan sehat ya?"
"Alhamdulillah Pak. Bagaimana caranya saya bisa bertemu Bapak? Saya baru datang tadi malam dan tidak banyak tahu tentang Kuala Lumpur. Terus terang saya perlu sedikit bantuan Bapak."
"Sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu Saudara. Adik sekarang di mana?"
"Di KL Sentral Pak."
"Begini saja Dik. Dari KL Sentra adik naik KTM ke Stesyen Mad Valley. Saya jemput di sana. Baru nanti kira bicarakan segalanya dengan lebih leluasa."
"Apa tadi Pak, KTM ya?"
"Ya KTM, atau kereta listrik. Ingat ke Mad Valley! Turun di Mad Valley. Saya memakai baju koko hijau lumut." "Baik Pak. Terima kasih."
Tidak sulit baginya untuk naik KTM dan tidak sulit untuk mencapai Mad Valley. Siang itu, ia merasa bahagia, sebab disambut dengan hangat oleh Pak Rusli, yang tak lain adalah seorang murid Pak Hasan saat belajar di Padang. Pak Hasan pernah mengajar di sebuah pesantren di Padang sebelum berdakwah di Batam. Pak Rusli mengajaknya makan siang di restoran Saji Selera yang letaknya tak jauh dari Mad Valley Plaza.
"Jadi yang mendorong adik ke Kuala Lumpur ini Pak Hasan?"
"Iya Pak."
"Itu makanya adik diminta untuk belajar. Menuntut ilmu. Saya tahu persis siapa Pak Hasan. Tapi adik tidak akan bisa melanjutkan studi di sini, kalau tidak dengan bekerja. Dari mana uang untuk membayar kuliah kalau tidak dicari dengan bekerja? Iya kan?"
"Iya Pak."
"Jangan kuatir. Di sini banyak kok mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Nanti kau akan aku temukan dengan mereka. Insya Allah mereka akan banyak membantu. Terutama berkenaan dengan urusan pendaftaran di kampus. O ya kau bawa ijazah kan?"
"Bawa Pak."
"Dulu kuliah di mana?"
"Di IKIP PGRI Semarang Pak."
"Jurusan apa?"
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Pak."
"Ya ya ya. Gampang nanti bisa diatur untuk dicarikan jurusan yang pas. Yang penting kau serius
lanjut kuliah kan?"
"Iya Pak."
"Bagus. Pak Hasan itu sebenarnya mendorongmu untuk memiliki modal paling mahal untuk sukses dan jaya."
"Apa itu Pak?"
"Ilmu. Hanya orang-orang berilmulah yang akan diangkat derajatnya oleh Allah. Banyak orang tidak berilmu kaya, namun derajatnya tidak diangkat oleh Allah. Tidak sedikit orang kaya yang jadi hina karena kekayaannya. Sebab ia tidak memiliki ilmu bagaimana menjadikan kekayaannya sebagai jalan beribadah dan menggapai kemuliaan. Setelah ini kau akan aku bawa ke rumah teman-teman mahasiswa. Agar kau kembali hidup dalam barakah lingkungan para penuntut ilmu."
"Iya Pak."
Berulang kali Zul hanya menjawab: Iya Pak, iya Pak. Agaknya Pak Rusli memperhatikan jawaban Zul.
"Kamu ini dari tadi kok cuma bilang; Iya Pak, Iya Pak. Jawa betul kamu ini. Apa tidak ada kata-kata yang lain?"
"Mmm, aduh bagaimana Pak ya?"
"Sudah jangan dipikirkan. Ini hanya gurauan saja. Ayo kita jalan."
"Iya Pak."
"Lha diulang lagi kan!" Seru Pak Rusli sambil tersenyum lebar.
Zul langsung meringis. Ia jadi heran sendiri, kenapa terus mengulang-ulang kata-kata itu pada Pak Rusli. Namun suasana jadi sangat cair. Sikap Pak Rusli yang low profile membuatnya seolah sudah lama mengenal lelaki berumur empat puluhan itu. Padahal belum ada tiga jam ia bertemu dengannya.
Keluar dari Saji Selera, Pak Rusli membawanya masuk kampus Universiti Malaya. Zul terkagum-kagum dengan keindahan dan kerapian kampus perguruan tinggi tertua di Malaysia itu.
"Universiti ini masuk dalam jajaran 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Kau harus tahu itu. Semoga saja kau nanti diterima lanjut S.2 di sini. Aku yakin orang seperti kau akan meraih kecemerlangan di masa yang akan datang." Ujar Pak Rusli menyemangati.
"Doanya Pak."
"Allah memberkati, insya Allah."
Setelah mengelilingi kampus Universiti Malaya, Pak Rusli mengajak Zul shalat Ashar di masjid Akademi Pengajian Islam. Setelah itu langsung memacu mobilnya ke kawasan Pantai Dalam. Setelah keluar dari kawasan kampus UM, di sepanjang perjalanan, tepatnya di samping kiri, Zul melihat rel KTM. Sesekali ia berpapasan dengan KTM yang melaju ke arah KL Sentral. Sepuluh
menit kemudian Pak Rusli memperlambat laju mobilnya. Mobil itu memasuki daerah yang terkesan agak kumuh. Setelah melewati jalan di bawah jembatan layang, mobil itu belok kanan. Di hadapan Zul tampak apartemen putih yang tinggi dan kusam.
"Inilah Pantai Dalam, banyak mahasiswa Indonesia di sini. Kita akan berkunjung ke rumah salah seorang di antara mereka."
Mereka berdua turun dari mobil dan bergegas ke arah apartemen. Di tengah jalan mereka bertemu dengan anak muda yang gayanya khas Indonesia.
"Assalamu'alaikum. Geng, mau ke mana?" sapa Pak Rusli
"Anu Pak mau beli minyak goreng," jawab anak muda itu.
"Geng, kenalkan ini namanya Zul. Dari Demak. La baru datang tadi malam," kata Pak Rusli memperkenalkan.
Anak muda itu langsung menyalami Zul sambil memperkenalkan diri,
"Saya Sugeng, dari Purworejo Jawa Tengah. Selamat datang di Kuala Lumpur Mas."
"Iya Mas. Terima kasih," jawab Zul.
"Namanya Zul ya? Zul siapa lengkapnya?" Tanya Sugeng lagi.
"Aslinya Ahmad Zul. Tapi teman-teman di SMA sering memanggil Zul Einstein."
"Zul Einstein. Wah keren juga. Rencana mau masuk UM?"
"Jika Allah mengijinkan."
"Nanti saya bantu, insya Allah."
"Terima kasih Mas Sugeng."
"Pak Rusli saya jalan dulu ya. Saya cuma sebentar kok. Langsung ke rumah saja Pak. Di rumah ada si Arif sama si Yahya," terang Sugeng.
"Baik Geng. Jangan lupa beli yang segar-segar ya," tukas Pak Rusli renyah. "Beres Pak. O ya Pak jangan lupa lagi. Lantai sepuluh Iho. Bukan lantai sembilan."
"O ya terima kasih. Namanya juga sudah tua sering lupa. Ayo Zul kita jalan."
Pak Rusli dan Zul berjalan melewati samping apartemen menuju apartemen berikutnya. Lalu masuk lift yang mengantarkan mereka berdua sampai lantai sepuluh. Keluar dari lift mereka berjalan ke arah kanan. Di pintu flat tempat tinggal Sugeng dan teman-temannya itu ada sriker bendera merah putih. Di bawahnya ada tulisan: "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!"
Menandakan bahwa mayoritas penghuninya adalah orang Indonesia dari Jawa.
Pak Rusli mengetuk pintu dan dibukakan oleh seorang pemuda gempal berambut tipis. la hanya memakai sarung dan kaos putih. Pemuda itu menyambut dengan senyum.
"O Pak Rusli. Silakan Pak."
Pak Rusli dan Zul masuk. Pemuda itu memperkenalkan diri pada Zul. Namanya Yahya. Ia berasal dari Malang.
"Tesisnya bagaimana, Ya. Sudah selesai?" tanya Pak Rusli.
"Alhamdulillah sudah Pak. Minggu depan submit, insya Allah," jawab Yahya dengan wajah cerah.
"Langsung lanjut Ph.D., Ya?"
"Insya Allah Pak, tapi saya mesti laporan ke pihak UIN Malang dulu. Semoga saja diijinkan untuk langsung lanjut Ph.D. Doanya."
"Allah memudahkan insya Allah."
Akhirnya Zul tahu bahwa Yahya dulu kuliah di Pakistan jurusan sejarah dan peradaban. Sepulang dari Pakistan ia diterima jadi dosen di UIN Malang. Lalu melanjutkan S.2 di UM, dan sebentar lagi selesai. Setelah itu akan langsung melanjutkan S.3.
la juga tahu flat itu terdiri atas tiga kamar. Dua kamar mandi. Dapur. Dan ruang tamu. Yang tinggal disitu lima orang; Sugeng, Yahya, Arif, Rizal, dan Pak Muslim. Yahya dan Pak Muslim sudah menikah.
Sedangkan yang lainnya masih bujang. Sewa flat itu enam ratus ringgit per bulan, atau sekitar satu juta enam ratus ribu per bulan. Baginya itu sangat mahal. Enam ratus ringgit ditanggung oleh penghuni rumah itu yang berjumlah lima. Sehingga masing-masing orang kena beban 120 ringgit per bulan. Jika berjumlah enam, maka masing-masing orang kena beban seratus ringgit.
Yahya juga bercerita, bahwa awal-awal di Kuala Lumpur ia sempat bekerja mencuci piring di restoran dengan gaji yang sangat mepet. Ia juga pernah kerja di sebuah kedai foto copy. Bahkan ia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih WC di Gedung Putra World Trading Centre atau biasa disingkat PWTC.
"Apa saja saya lakukan untuk bisa hidup dan membayar uang kuliah. Meskipun diterima jadi dosen, tapi saya belajar ini tanpa beasiswa. Saya dulu sempat membawa isteri, tapi saya rasakan berat. Akhirnya sementara ini isteri tinggal di Malang dulu. Semoga saja nanti keadaan membaik. Dan saya bisa membawa isteri lagi kemari untuk menemani membuat disertasi Ph.D."
jelas Yahya pada Zul.
"Intinya tidak boleh malu. Tidak boleh menyerah. Dan harus terus bergerak. Saya dulu awal-awal kuliah di sini juga sama seperti Yahya. Hidup prihatin. Kerja apa pun asal halal dan bisa membuat saya semakin kaya saya lakukan. Alhamdulillah sekarang saya bisa membuka usaha bekerjasama dengan orang Malaysia. Cukup untuk menghidupi anak dan isteri. Begitu selesai
doktor saya langsung akan pulang ke Indonesia." Pak Rusli menambahi.
Tak lama kemudian Sugeng datang. Dan Arif yang tadi tidur, terbangun. Pertemuan itu jadi semakin hangat. Semua memberi semangat pada Zul. Zul merasa menemukan orang-orang yang baik dan tulus. Yahya bahkan menawarkan agar Zul tinggal saja di flat itu dan bisa tinggal satu kamar dengannya.
"Tapi kamar saya agak sempit. Bagi saya tidak masalah dihuni dua orang. Jika hati dan jiwa kita lapang maka semua akan jadi lapang." Ucap Yahya dengan wajah cerah.
Tak ada keraguan bagi Zul untuk memutuskan tinggal di flat itu bersama Yahya, Sugeng dan temantemannya. Sore itu ia memutuskan untuk langsung menginap di situ dan tidak kembali ke Subang Jaya. Setelah mantap bahwa Zul tidak akan terlantar, Pak Rusli mohon diri. Sebelum keluar pintu ia masih sempat berkata pada Zul
"Saya akan coba mencari informasi. Jika ada lowongan nanti saya beritahukan. Yang jelas optimislah, bahwa Allah itu Mahakaya. Allah sudah mengatur jatah rejeki hamba-Nya. Tergantung bagaimana hamba-Nya itu memungutnya. Jika ada apa-apa. Perlu bantuan apa-apa, telpon saya saja. Tak usah sungkan ya Zul."
"Iya Pak. Terima kasih atas segala kebaikannya."

* * *

Malam itu Zul bertemu dengan seluruh penghuni flat itu. la tidak merasa menjadi orang asing di rumah itu. Malam itu juga ia mendapatkan saran-saran yang sangat membantunya dalam menentukan langkah selanjutnya di Malaysia. Semua yang ada di rumah itu ingin
memberikan bantuan semampunya.
Sugeng menawarkan diri untuk membantunya mengurus pendaftaran di UM. Karena Zul masuk ke Malaysia tanpa single entry maka urusan imigrasi pasti akan sedikit ada masalah. Rizal yang sudah punya pengalaman dalam masalah ini bersedia mendampingi Zul jika nanti harus berurusan dengan masalah visa. Yahya dan Arif akan membantu mencarikan informasi kerja. Dan Pak Muslim, yang paling tua di rumah itu, menawarkan sepeda motornya jika akan digunakan Zul. Pak Muslim akan mengadakan penelitian di Sabah selama tiga minggu. Berarti sepeda motornya bisa dipakai selama itu.
"Ini masih bulan April. Awal semester bulan Juli. Masih ada waktu sekitar tiga bulan. Sebaiknya Zul daftar dulu saja. Selama tiga bulan bekerja sungguh-sungguh agar bisa membayar awal semester. Yang pasti jumlahnya agak lumayan. Besok kita lengkapi syarat-syaratnya. Dan lusa kita masukkan berkas ke IPS.7 Untuk uang pendaftaran yang 30 dollar itu biar saya talangi dulu.
Jadi, dua hari kita targetkan berkas sudah masuk. Setelah itu baru konsentrasi cari kerja. Bagaimana?" Jelas Sugeng.
"Saya ikut saja." Lirih Zul.
"Coba lihat, mana ijazahmu? Kau bawa kan?"

7 IPS : Institute Postgraduate Studies.
Zul mengangguk dan mengambil tas hitamnya. Lalu keluarkan map berisi berkas-berkas pribadinya dari tas itu. la berikan map itu pada Sugeng. Sugeng lalu membuka dan meneliti dengan seksama. Ijazah SD sampai S.l ada di situ. Sugeng lalu melihat ijazah S.l itu dengan kening berkerut.
"Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia ya?"
"Iya Mas." Jawab Zul pelan.
"Pak Muslim, sini Pak!" Seru Sugeng pada Pak Muslim yang sedang asyik menulis di depan layar komputer di kamarnya. Pak Muslim langsung mendekat.
"Iya ada apa Geng?" tanya Pak Muslim sambil membenarkan gagang kaca matanya.
"Zul ini, S.l-nya jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Sebaiknya kalau masuk S.2 UM di fakultas apa, jurusan apa, Pak?"
Pak Muslim berpikir sejenak. Lalu berkata, "Lha Dik Zul sendiri ingin masuk fakultas apa?"
"Fakultas pendidikan, Pak." Jawab Zul seraya mendongakkan kepalanya ke arah Pak Muslim yang berdiri di samping Sugeng.
"Kalau gitu ya masuk fakultas pendidikan saja. Jurusannya, kalau saya boleh menyarankan sosiologi pendidikan saja." Sahut Pak Muslim.
"Bagaimana dengan saran Pak Muslim, Zul?" Tanya Sugeng.
"Boleh. Saya sepakat."
Malam itu Zul merasa menemukan sctitik cahaya yang bisa dijadikan sedikit penerang bagi jalan masa depannya. la kembali mendapatkan gairah hidup yang baru. la merasakan kedamaian seperti rasa damainya saat dulu bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SD. La tetap bisa lanjut ke SMP meskipun harus dengan bekerja membantu Pakdenya di Pasar Sayung sepulang sekolah. la merasa bahagia saat itu, sebab banyak teman-temannya yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mereka selesai SD langsung bekerja di sawah atau kerja di pabrik-pabrik yang ada di Kawasan LIK Semarang.
Malam itu, untuk pertama kalinya ia tidur dalam keadaan lebih nyaman dan tenteram. Dadanya terisi cahaya optimisme dan semangat. Bertahun-tahun sebelumnya ia selalu tidur dalam bayang kekuatiran, rasa takut dan ketidakpastian hidup. Ia mengalami itu sejak Pakdenya, orang yang merawatnya sejak kecil, meninggal saat ia masih di bangku kelas 3 SMA. Sejak itu ia seperti merasakan ketidakpastian hidup. Dengan berusaha tetap tegar ia akhirnya berhasil juga menyelesaikan SMA-nya bahkan bisa tetap kuliah. Dan selesai juga kuliahnya. Namun selesai kuliah ia belum juga mantap menapakkan kakinya. Hal itulah yang membuatnya merantau. Dari Semarang ke Jakarta. Lalu ke Batam. Dan akhirnya ke Malaysia.
Dan malam itu, setelah ia bertemu dengan orang-orang yang berpendidikan dan tulus, ia banyak
mendapatkan pencerahan. Kisah hidup Yahya yang begitu rendah hati mau bekerja apa saja saat menuntut ilmu membuatnya kembali terlecut. Ia dulu, saat kuliah di Semarang, juga pernah mengalami apa yang Yahya alami. Saat kuliah ia pernah bekerja menjadi tukang becak, kuli panggul di Pasar Genuk, satpam di LIK, dan terakhir penjaga parkir di Pasar Johar.
Yang ia rasakan, bedanya Yahya dengan dirinya adalah Yahya begitu mantap dan bahagia dengan apa yang dilakukannya. Yahya menganggap hal itu bukan beban, tapi suatu kenikmatan. Yahya memasukkannya sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian. Tapi dia selama ini bekerja, selalu saja menganggap sebagai beban. Dalam hatinya selalu saja masih ada rasa kuatir dan merasa tertekan. Dan malam itu ia mendapatkan pencerahan yang membuatnya merasa lebih tenang.
Malam itu ia tidur dengan bibir menyungging senyum optimis. Ia optimis telah menemukan jalan untuk memperbaiki masa depan. Ia tidur dengan sama sekali tidak mengingat Mari, Iin, Sumiyati dan Linda di Subang Jaya.

Sementara di Subang Jaya sana, Mari berangkat tidur dengan perasaan kehilangan. Entah kenapa ia merasa ada yang hilang dari hatinya. Ia telah mendapatkan informasi pekerjaan untuk Zul. Dan ia pulang dengan perasaan bahagia, sebab ia yakin Zul masih ada di rumahnya. Dan ia akan memberikan informasi pekerjaan itu pada pemuda itu. Ia akan melihat pemuda itu bahagia lalu mengucapkan terima kasih padanya. Namun ia kecewa saat ia dapati Zul tidak ada. Ia masih berharap, malam itu Zul akan kembali ke rumah itu. Namun ia kembali kecewa. Sampai pukul satu malam ia menunggu Zul tidak juga muncul. Akhirnya ia tidur dengan perasaan masygul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar