Minggu, 30 Maret 2014

Setelah Kau Menikahiku (Part 4)

“Kamu jangan gitu dong Pit. Bukannya aku tega. Ini murni urusan pekerjaan. Harusnya bosku yang bertemu dengan klien di sana. Tapi tadi bos mendadak tidak bisa dan dia mau aku yang menggantikannya. Dia cuma percaya sama aku buat menggantikannya mengingat proyek ini sangat penting bagi perusahaan kami. Mungkin selama hampir dua bulanan. Aku sudah telpon Ibu. Aku minta tolong beliau agar menjagamu selama aku keluar kota.”
“Lagian gak lama-lama amat kok. Kamu pasti senang ditemani Ibu di rumah. Kalian bisa sharing tentang pernak-pernik kewanitaan dan persiapan melahirkan tanpa harus diikut campuri oleh laki-laki. Ibu tentu lebih tahu tentang itu.”
Panjang lebar dia mengungkapkan alasannya. Sejujurnya aku masih gak rela jika di pergi sekarang. Saat masa-masa aku sangat membutuhkan kehadirannya namun aku tak kuasa menahannya lagi. Aku tak punya daya lagi untuk berbantah-bantahan dengannya. Tubuhku terasa lemah sekali saat hamil ini dan malas melakukan hal-hal yang menyita tenaga dan pikiran. Apalagi yang membuat stress.
Tapi bukankah saat ini saja aku sudah stress menghadapi kenyataan bahwa selama dua bulan ke depan aku akan sendirian tanpa Idan? Meskipun ditemani ibu tapi akan tetap sepi tanpa Idan. Aku heran mengapa aku jadi melankolis dan tak berdaya seperti ini? Kontras sekali dengan aku dulu yang cenderung mandiri dan tak butuh orang lain. Kulakukan banyak hal sendirian. Namun sekarang? Aku benar-benar tak berdaya jika sendiri. Tak terbayang bagaimana hari-hariku nanti tanpa Idan. Meskipun hanya sementara. Ya kuharap sementara saja.
Akhirnya kuijinkan dia dengan berat hati dan dengan segala konsekuensi. Mulai besok pagi Idan akan berangkat keluar kota dan aku akan sendiri. Aku pasti akan sangat merindukannya. Ah kuakui hari-hari yang telah kulalui dengan Idan selama ini memang tak pernah membosankan.
Mungkin akan jadi membosankan jika tanpa dia.


***


Pagi-pagi sekali Idan berangkat dijemput temannya.
“Jaga diri kalian baik-baik ya. Aku akan cepat kembali” Idan berpamitan padaku sambil mengecup keningku.
“Hati-hati di jalan” jawabku pendek.
Aku berusaha bersikap biasa saja saat dia berpamitan. Sebenarnya banyak pesan yang ingin kusampaikan padanya: jaga diri baik-baik, jangan lupa makan, jaga kesehatan, jangan lupa telpon aku setiap hari, jangan bikin masalah dengan orang lain, cepetan balik dan banyak lagi.
Namun semua terasa berhenti di tenggorokan. Aku sangat mengkhawatirkannya namun aku tak kuasa menyampaikannya karena aku takut ketegaranku di depannya akan runtuh seketika ketika aku berbicara lebih banyak dan tangisku tumpah. Aku jadi agak cengeng akhir-akhir ini.
“Jangan khawatirkan diriku. Justru aku yang mengkhawatirkan dirimu. Dan anak kita tentunya” Idan seperti bisa membaca gundah di benakku.
Aku mengangguk.
Idan meninggalkan rumah dengan tetap menatapku. Kekhawatiran yang sangat mendalam dalam sorot matanya. Aku berusaha tetap tersenyum mengantarkan kepergiannya.
“Cepat balik!!”
Hanya kata itu yang terakhir bisa kuteriakkan padanya dari jauh di sela-sela senduku yang tertahan. Entah kenapa aku merasa sangat khawatir kali ini.
Tangisku tumpah saat mobilnya sudah tidak terlihat. Aku buru-buru masuk rumah dan membenamkan wajahku di bantal. Aku sebal sekali kenapa aku bisa begitu cengeng sekarang.
Dulu di awal-awal pernikahan saat Idan pergi dan tak pulang-pulang bahkan aku nyaris tak peduli. Apa semua karena cinta?



Beberapa saat kemudian Ibu datang. Aku hapus air mataku dan keluar menyambut Ibu.
“Kamu habis nangis Pit?” Ibu seperti bisa menangkap apa yang barusan terjadi.
“Enggak. Cuma kelilipan tadi” sanggahku.
“Sudahlah, Idan kan Cuma pergi beberapa waktu saja. Tak akan lama. Kan ada Ibu yang menemani sementara?” Ibu seperti faham dan memaklumi kebohongaku.
Aku Cuma tersenyum. Kujawab dalam hati, Iya Bu memang tidak sendiri karena Ibu temani. Tapi hatiku yang terasa sepi karena tidak ada Idan di sisi.


***


Hari-hariku tanpa Idan benar-benar sepi. Meskipun aku bisa ngobrol sama ibu tapi rasanya tetap beda. Ngobrol sama ibu lebih banyak seriusnya. Kadang ibu berusaha menghiburku dengan lelucon-lelucon ala tahun 70-annya tapi buatku itu tak lucu sama sekali. Idan tetap lebih lucu bagiku mengalahkan pelawak manapun.
Saat jadi sahabatku ia selalu berhasil menghiburku dengan lelucon-lelucon konyolnya bila aku lagi sedih. Meskipun kadang malah membuatku makin sebel dan dia jadi sasaran tinju dariku.
Tiap hari Idan telpon mengabarkan dia lagi dimana, menanyakan apakah aku baik-baik saja, bagaimana kesehatanku, apakah aku sudah makan atau belum, aku lupa minum susu ibu hamil apa tidak dan banyak hal. Aku biasanya hanya menjawab pendek-pendek saja. Yang kubutuhkan saat itu hanya mendengarkan suaranya saja. Aku sudah senang.
Tanpa Idan yang setiap hari rajin mengurusku aku jadi malas makan dan malas melakukan apa saja. Bukannya aku tak menghargai kerja keras ibuku yang beberapa waktu ini mengurusku tapi sudah kubilang dari awal bahwa bersama Idan akan lain rasanya. Aku sudah terbiasa apapun dengan Idan.
“Ayolah Pit makan. Ibu sudah capek-capek membuatkanmu bubur ayam masak gak disentuh sedikitpun?”
“Belum laper” jawabku sekenanya.
“Tapi nanti kalau kamu gak makan kan kamu sakit? Pikirkan kesehatanmu Pit! Pikirkan anakmu!” Ibu mulai menceramahiku.
“Aku maunya disuapi sama Idan”
“Apa? Idan kan masih di luar kota? Masak ya kamu minta dia balik cepat-cepat hanya buat nyuapin kamu makan? Jangan kekanakan kamu Pit!”
Aku diam saja. Ibu kembali ke dapur sambil ngomel.

Beberapa saat kemudian datang lagi sambil bilang alau Idan telpon.
“Halo Pit?” Suara di seberang sana tampak sedang gembira sekali.
“Ya?” jawabku pendek.
“Udah makan? Kata ibu kamu susah makan akhir-akhir ini kenapa? Nanti sakit lho”
“Aku belum lapar. Nanti aja kalau sudah lapar. Atau kalau kamu sudah pulang”
“Hah? Jangan main-main kamu Pit. Aku kan masih sebulan lagi baru balik? Sabar dong Pit pangeranmu ini akan segera datang hehe”
Kali ini sama sekali tak lucu. Ya tak lucu.


***

Kondisi kesehatanku semakin buruk. Aku semakin susah makan dan minum vitamin. Ibu jadi makin kerepotan mengurusiku yang makin rewel seperti bayi. Berkali-kali ibu telpon Idan dan Idan membujukku tapi tak satupun bujukannya kuhiraukan. Yang kumau sekarang adalah dia ada disini sekarang.
Paginya aku mengalami demam tinggi. Ibu panik dan menelpon dokter. Setengah tak sadarkan diri samar-samar kudengar ibu juga menelpon keluarga di rumah buat minta bantuan segera.
Rasanya kesadaranku semakin memudar. Kurasakan nyeri yang teramat sangat di perut bagian bawahku. Sesuatu yang panas membasahi rok dan sprei tempatku terbaring. Dan selanjutnya gelap…


***

Berat mata kubuka dan seketika cahaya putih berpendar menyeruak menyilaukan pandanganku. Dimana aku? Lambat laun aku tahu bahwa aku sudah ada di rumah sakit. Di sampingku sudah ada ibu yang tertidur sambil duduk dengan kepala menyandar ke ranjang tempatku berbaring. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
“Ibu?” pelan-pelan kubangunkan ibu. Aku ingin bertanya kenapa aku bisa disini. Seingatku aku demam, kesadaranku mulai hilang dan… ya Tuhan! Nyeri di perut bagian bawahku masih terasa sampai sekarang. Bagaimana keadaan kandunganku?
“Ibu?” sekali lagi kubangunkan ibu dan pelan-pelan ibu terbangun.
“Upit? Alhamdulillah kamu sudah siuman nak!” Melihat diriku yang sudah siuman, beliau langsung berucap syukur dan memelukku.
“Dimana Idan bu? Bagaimana keadaan kandunganku?” tanpa basa-basi langsung kutanyakan apa yang masih mengganjal dalam benakku saat ini.
“Idan masih dalam perjalanan pulang Pit. Doakan saja cepat sampai.”
“Bagaimana dengan kandunganku Bu?” Sekali lagi ku ulang pertanyaanku. Namun ibu hanya tersenyum getir dan mengalihkan pembicaraan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres. Jangan-jangan?
Tapi aku tidak mau berpikir buruk dulu. Saat ini aku masih sangat lemah dan Idan bilang kemarin kalau aku tidak boleh terlalu stress. Kubalikkan badanku membelakangi Ibu. Kuabaikan tatapan ibu dan ceritanya yang aku tahu hanya untuk mengalihkan pembicaraan kami. Yang aku inginkan saat ini masih Idan. Aku ingin Idan menemaniku sekarang. Secepatnya!
Tiba-tiba pintu dibuka dan salah satu kakak sepupuku masuk dengan tergesa-gesa mengabarkan kalau pesawat yang ditumpangi Idan mengalami keterlambatan sehingga tidak bisa datang cepat.
Kubalikkan badanku menghadap mereka berdua. Kakak sepupuku ternyata tidak menyadari jika aku sudah siuman dari tadi sehingga kabar itu langsung saja ia lontarkan di depan ibuku. Aku berusaha tegar di depan ibu dan hanya bisa menitikkan air mata dan menangis kecewa di dalam hati…
Sementara ibu dan sepupuku hanya berdiri menatapku iba. Ibu menghampiriku dan menenangkanku. Aku berharap jadi tenang tapi justru malah membuatku semakin merasakan kekecewaanku.


***
Tadinya aku sudah merasa lega karena terbagun dari mimpi burukku dan kembali ke dunia nyata namun ternyata mimpi buruk itu justru ada di depan mata di dunia nyata. Setelah kabar keterlambatan Idan yang sempat membuatku sangat kecewa, kabar buruk lain datang dari dokter yang tadinya sempat disembunyikan oleh ibu.
Kandunganku.. kandungan pertamaku, aku terpaksa harus merelakan kandunganku dikuret karena kemarin aku ternyata mengalami pendarahan hebat yang entah karena apa. Aku masih beruntung karena aku mampu bertahan melewati masa-masa kritisku dan siuman dari koma berhari-hari.
Aku benar-benar merasakan kekecewaan yang sangat besar saat ini. Idan yang tidak bersamaku, yang tidak menemaniku di saat-saat seperti ini. Saat ketika aku sangat membutuhkannya. Suami macam apa dia yang lebih mementingkan pekerjaan daripada istrinya sendiri? Dan sekarang aku harus kehilangan kandunganku. Kandungan pertamaku, anak pertamaku dengan Idan.
Terpuruk. Ya itulah kata yang tepat buatku sekarang. Aku pasrah.. Upit! Apa yang terjadi padamu? Mana kemandirianmu dulu? Mana ketegaranmu? Kenapa kamu jadi seperti ini sekarang?
Yang jelas aku sangat kecewa saat ini!
Idan baru datang hari berikutnya. Dia terlihat sangat letih dari perjalanan jauhnya. Tapi aku tidak peduli. Aku masih sangat kecewa padanya. Aku masih marah padanya. Dan apakah dia sudah tahu kabar gugurnya kandunganku? Ah pasti Ibu sudah memberitahunya.
“Maafin aku Pit.” Idan datang menghampiri tempatku berbaring dan menggenggam tanganku.
Kuhempaskan tangannya dan kubalikan badanku membelakanginya. Aku sangat rindu padanya tapi untuk saat ini aku sedang tidak igin melihat wajahnya.
“Maafin aku Pit. Aku gak bisa menemanimu di saat-saat beratmu. Ibu dah cerita semuanya dan aku juga sangat sedih Pit dengan kejadian yang menimpamu saat ini. Yang menimpa anak kita juga..”
Aku tetap bergeming. Pura-pura tak menghiraukan perkataannya. Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya sekarang tapi aku yakin pasti dia sedang pasang tampang sok memelas seperti biasanya ketika meminta maaf.
“Ayolah Pit, jangan begini terus. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf sekali Pit. Aku rindu sekali padamu Pit.”
Kata-kata terakhirnya manis sekali. Tapi tidak untuk saat ini. Kamu harus dihukum Dan. Kamu harus merasakan dan menyadari betapa kecewanya diriku padamu.
Aku ingin menghukumnya seperti dulu. Seperti ketika dia membuatku sakit selama seminggu dan terpaksa merelakan diriku dia rawat seperti bayi. Hanya saja kali ini aku tidak berminat menyuruh-nyuruhnya melakukan ini itu lagi seperti dulu. Terbukti sudah tidak mempan dan malah akan membuatku merasa iba padanya. Kali ini aku hanya ingin mendiamkannya.
Tapi reaksinya ternyata sama saja. Dia sama sekali tidak protes seperti dulu dan ikut-ikutan diam seribu bahasa. Huuh gimana sih? Kok tidak mengejar-ngejar lagi? Kok tidak berusaha lagi minta maaf dan menyalahkan diri sendiri? Padahal kan jelas dia yang salah? Payah!
Awas nanti! Ini akan berlangsung lama Dan! Jangan dikira aku hanya mengertak saja.
Sesaat kemudian Ibu datang. Melihat interaksi kami yang terkesan dingin, ibu pun mengajak Idan keluar dan bicara. Entah apa yang mereka bicarakan. Paling Cuma bilang: Sabaaarrr…
Tapi, eh kok Idan jalannya agak pincang ya? Kenapa dia? Ah masa bodoh aku gak peduli. Dia juga tidak memperdulikanku. Bahkan meninggalkanku di masa-masa mengandung anak kami berdua. Aku sudah melarangnya tapi dia tetap bersikukuh pergi. Egois!


***


Beberapa hari kemudian kondisiku sudah agak baikan dan diperbolehkan pulang. Saat keluar dari rumah sakit dan menuju mobil jemputan aku tidak mau dipapah oleh Idan. Aku maunya sama Ibu saja. Ibu yang tahu kondisi hubungan kami saat ini mengiyakan saja.
Diperjalanan pulang kami tetap saling diam. Hanya Ibu yang lebih banyak bicara dengan kami. Itupun bergantian. Kadang berbicara dengan Idan, kadang berbicara denganku. Tidak ada interaksi yang hangat sama sekali di antara kami bertiga. Aku tetap bersikukuh tidak mau bicara dengan Idan, dan Idan juga diam saja di tempatnya menyetir mobil.
Sampai di rumah aku dipapah lagi oleh Ibu. Dan berat rasanya ketika ibu berpamitan pulang karena tugasnya menjagaku sudah selesai. Sudah ada Idan katanya. Ini berarti tidak ada lagi orang yang bisa kuajak bicara. Tidak juga Idan karea aku memang tidak ingin bicara padanya.
“Ibu pulang dulu ya? Jaga diri kamu baik-baik Pit. Jangan sedih lagi. Idan udah pulang tuh.” Sebelum keluar pintu Ibu masih sempat menasehatiku. Aku hanya mengangguk.
“Dan kamu Dan, ibu nitip Upit ya? Jagain baik-baik!”
“Iya bu.” Jawab Idan
"Yaudah. Ibu berangkat dulu. Taksinya sudah nunggu dari tadi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumusalam..”
Setelah mengucap salam ibu pergi dengan taksi. Aku masih mematung di teras sementara Idan masuk sendiri ke rumah.


***


Bukan ini yang aku harapkan. Setelah berbagai kejadian yang menimpaku, kepulangan Idan dan kebersamaan kami lagi di rumah, bukannya membuat hubungan kami kembali dekat tapi malah makin renggang.
Aku mendiamkan Idan namun ternyata Idan juga tidak menyapaku. Berusaha mendekatiku pun tidak. Apa dia sudah tidak mencintaiku lagi? Apa dia kecewa dengan sikapku? Sama kecewanya dengan kekecewaanku padanya? Atau jangan-jangan dia kecewa karena aku gagal menjaga kandunganku? Gagal mempertahankan anak kami?
Apalagi Idan makin sering pulang malam sekarang. Dan selama berhari-hari ini tak ada interaksi sama sekali di antara kami. Bertemu pun jarang karena dia akan berangkat sangat pagi dan pulangnya sangat larut malam. Dan kami juga tidak tidur sekamar lagi. Dia lebih suka tidur di sofa ruang tengah.
Ah berbagai dugaan yang kupikirkan makin membuatku gelisah berhari-hari. Jangan-jangan Idan sudah memiliki wanita idaman lain seperti yang sering kulihat di infotainment. Yang ketika hubungan suami-istri sudah mulai tidak harmonis maka salah satu akan melampiaskannya dengan menggaet pasangan idaman lain? Ah memikirkan itu saja sudah membuatku pusing dan bingung saat ini.
Daripada penasaran mending aku selidiki apa yang dilakukan Idan pada jam-jam siang begini di kantornya. Lagian aku bosan di rumah terus dalam masa penyembuhanku saat ini. Selain itu aku juga harus bertemu dengan Idan dan bicara. Aku ingin semua kembali baik lagi seperti dulu. Aku ingin semuanya jadi jelas.
Aku pun bertandang ke kantornya dengan mengendarai mobilku sendiri. Jalanan kota siang ini sering sekali macet dan itu membuatku makin sebel dan stress. Langit terlihat mendung dan akan turun hujan. Kelam dan kalut sekalut pikiranku sekarang.
Sesampai di kantor Idan dan memasuki pintu gerbang, satpam penjaganya hanya sepintas melirikku saja tanpa memeriksa atau menginterogasiku sepert yang biasa dilakukan terhadap tamu-tamu yang lain.
Mungkin karena melihat pakaianku yang terlihat resmi dengan blazer merah hatiku dan rok panjang hitamku dia mengira aku tamu penting yang biasa mendapat perlakuan khusus.
Masuk area parkir ternyata lumayan jauh dari pintu kantor. Kuparkir mobilku di lokai terdekat dengan pintu keluar agar tak repot nanti kalau mau balik.
Saat menuju pintu utama kantor aku melewati sebuah kantin fastfood kantor itu. Kantin itu terlihat besar dengan jendela kaca memenuhi sebagian besar dinding kantin itu.
Saat lebih dekat, dari luar jendela besar itu aku lihat Idan sedang duduk sendiri sambil membaca sebuh buku kecil dan menghadap secangkir kopi. Bergegas aku mendatanginya.
Saat jarakku dengan jendela besar itu tinggal beberapa langkah lagi aku berhenti karena kulihat Idan ternyata tidak sendiri. Ada seorang wanita muda cantik menghampiri Idan, duduk semeja dengan Idan dan mereka terlihat bercengkerama, tertawa-tawa bersama. Siapa dia? Jangan-jangan dugaanku benar?
Aku hanya mematung di luar jendela menyaksikan kemesraan mereka berdua.Saat itu juga mendung di langit yang tadinya terbentang kokoh di angkasa akhirnya runtuh juga. Membasahi bumi, membasahi hati dan menyamarkan air mataku yang tanpa sadar setetes dua tetes menitik di pipi demi kekecewaanku saat ini. Kekecewaan atas pengkhianatan yang terjadi di depan mataku sendiri.
Jelas sudah sekarang semuanya. Jelas sudah jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku akhir-akhir ini. Seperti keyakinanku dulu semua lelaki memang brengsek. Tak terkecuali Idan yang dulu aku anggap beda ternyata sama saja dengan yang lain.
Aku pun berlari menembus hujan yang begitu deras menuju tempatku parkir mobil tadi. Aku tidak menghiraukan ketika seorang petugas cleaning service mengejarku untuk menawariku payung. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu sekarang!
Begitu sampai di mobil, cepat-cepat kunyalakan dan kusetir dengan terburu-buru. Di jalanan kukebut mobilku biar segera sampai di rumah. Aku tidak mempedulikan teriakan-teriakan pengendara-pengendara lain yang kusalip dengan ugal-ugalan.
Sesampai di rumah kubuka pintu, kubanting tanpa menutupnya kembali. Saat sampai ruang tengah dan kulihat foto pernikahan kami berdua, aku ambil dan kubanting sampai hancur berkeping-keping. Setelah itu aku ke kamar dan membenamkan wajahku ke bantal. Aku menangis sejadi-jadinya. Menangisi kebodohan, kenaifan dan ketololanku selama ini.


***


Aku menangis sampai ketiduran. Dari luar samar kudengar suara mobil. Idan sudah pulang. Bersiaplah untuk perang besar Dan!
Aku keluar dari kamar dan menunggunya di ruang tengah tempat biasa kami nonton tivi. Aku duduk di sofa seolah aku sudah menunggunya berjam-jam disana.
Saat Idan sampai di ruang tengah dia terkejut ketika menemukan foto pernikahan kami yang berukuran satu kali satu setengah meter itu hancur pecah berserakan di lantai.
“Apa-apaan ini? Ada apa Pit? Kenapa foto ini bisa hancur seperti ini?” tanyanya heran.
“Aku yang menghancurkannya! Kenapa? Kamu gak suka? Ini seperti halnya kamu menghancurkan pernikahan kita Dan!” jawabku menantang.
Inilah kali pertamaku berbicara lagi dengannya setelah sekian lama kami saling mendiamkan. Entah aku dapat energy dari mana hingga aku kembali berminat untuk bertengkar hebat dengannya.
“Apa maksudmu aku menghancurkan pernikahan kita? Bukankah kamu yang mulai semua ini? Kamu yang mulai mendiamkanku sehingga hubungan kita renggang selama ini?” jawab Idan tidak terima dengan tuduhanku.
“Kamu pikir aku mendiamkanmu itu tidak ada penyebabnya? Penyebabnya adalah kamu sendiri Dan! Kamu egois! Mikirin diri sendiri!”
“Aku egois? Sisi mana dari diriku yang egois? Apa kamu pikir kamu sendiri tidak egois? Aku dah banyak mengalah buatmu Pit!”
“Memang biasanya orang egois tidak menyadari keegoisannya sendiri Dan! Termasuk kamu! Kamu yang meninggalkanku di saat aku butuh dirimu! Hingga pada akhirnya aku mengalami keguguran karena stress itu juga gara-gara kamu!” aku sudah mulai kalap.
“Dan satu hal lagi! jika dirimu juga kecewa padaku dan menginginkan berakhirnya pernikahan kita kenapa tidak bilang dari kemarin-kemarin?”
“Apa maksud kamu Pit? Jangan bicara sembarangan!” Idan mulai bingung.
“Kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi dariku jika kamu punya wanita idaman lain? Jangan kira aku tidak tahu Dan! Aku sudah tahu semuanya!”
“Aku…” Idan seperti tercekat dan tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Bisa kujelaskan. Begini..”
“Udahlah Dan semua sudah jelas. Aku tidak butuh penjelasan lagi darimu. Semuanya dusta dan aku sudah muak dengan semuanya.”
Aku meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Aku ke kamar dan membereskan barang-barangku. Aku mau pulang ke rumah ibu.
“Mau kemana kamu?” Tanya Idan saat dia masuk kamar.
“Apa pedulimu aku mau kemana? Aku mau pulang ke rumah ibu. Puas?”
“Kamu tidak perlu pergi dari rumah seperti ini. Biar aku saja yang pergi.” Kata-kata Idan lebih melunak kali ini.
Aku tidak menghiraukan kata-kata terakhirnya saat kemudian dia telah keluar dan meninggalkan rumah dengan mobilnya. Aku tidak peduli dia mau kemana. Paling juga ke hotel dekat kantornya seperti dulu.
Meskipun Idan sudah pergi dari rumah, aku juga harus pergi. Aku tetap ingin pulang ke rumah ibu. Tidak hanya dua atau tiga hari. Mungkin dalam waktu yang agak lama. Atau malah selamanya.


***


Ternyata Idan sering telpon ke rumah Ibu menanyakan kabarku. Dia sudah balik lagi ke rumah kami rupanya. Pasti dia kehabisan baju bersih lagi seperti dulu.
Aku selalu menolak jika ibu bilang kalau Idan ingin berbicara denganku di telpon. Aku masih sangat marah kepadanya.
Di rumah ibu sangat prihatin dengan keadaan hubungan kami. Berkali-kali Ibu menyarankanku agar berbaikan dengan Idan. Namun selalu aku tampik dengan alasan ini itu.
Sampai pada suatu ketika ibu bercerita tentang pembicaraannya dengan Idan saat aku masih di rumah sakit. Sebenarnya aku heran kenapa ibu lebih membela Idan daripada aku yang anaknya sendiri.
“Ibu tidak habis pikir dengan perlakuanmu terhadap Idan Pit. Idan itu pria yang sangat baik tapi apa yang kau lakukan untuk membalas kebaikannya? Kamu malah selalu berburuk sangka kepadanya?”
“Maksud Ibu? Bukankah sudah Upit katakan alasan kenapa kami bertengkar?”
“Cuma karena itu? Darimana kamu yakin kalau Idan selingkuh dengan wanita lain hanya dengan melihat Idan makan bareng dengan wanita itu?” Aku terdiam dengan pertanyaan ibu itu.
“ Apa jika kamu sedang di kantormu dan duduk semeja dengan teman seprofesimu yang laki-laki lantas Idan bisa menyimpulkan kalau kamu selingkuh dengan laki-laki itu?”
“Ingat Pit, kita para wanita memang diberi rasa cemburu yang lebih. Dan kita lebih mendahulukan perasaan kita sehingga kadang terburu-buru menyimpulkan segala sesuatu secara terburu-buru dan sepihak. Sedangkan para lelaki lebih cenderung menggunakan akal logika dalam setiap masalah. Namun itu bukan berarti wanita tidak butuh menggunakan logikanya dan lelaki tidak butuh menggunakan perasaannya. Harusnya kedua sifat dan kecenderungan itu bisa disatukan untuk saling melengkapi.
Dan itu bisa terjadi jika kedua pihak mau berusaha menjaga keharmonisan hubungan itu dengan mau saling mengerti dan berbagi. Bukan dengan saling buruk sangka dan mencurigai. Gimana bisa saling mengerti jika kalian tidak saling bebicara baik-baik?”
Aku masih terdiam merenungi hal-hal yang selama ini kulewati dan mencerna setiap kata yang ibu ucapkan. Apakah aku memang terlalu besikap keras terhadap Idan? Padahal selama ini kuakui Idan memang lebih sering mengalah padaku. Egois. Siapa sekarang yang egois?
“Saat kamu sakit dan dia datang mengunjungimu, kamu justru mengacuhkannya. Idan merasa sangat sedih. Dia cerita ke ibu bahwa sebenarnya juga tidak ingin pergi keluar kota saat itu. Namun jika tidak dia lakukan bukankah perusahaan tempatnya bekerja bisa hancur kredibilitasnya? Dan saat itu memang hanya Idan yang dianggap mampu menangani proyek itu.
Setiap hari dia juga selalu merindukanmu. Itulah kenapa dia selalu meneleponmu setiap hari hanya untuk mendengarkan suaramu. Dan kalau bisa keceriaanmu seperti dulu. Namun apa yang kamu lakukan? Kamu justru membuatnya khawatir dengan rewel seperti anak kecil dan mengabaikan kesehatanmu sendiri. Padahal kamu sedang mengandung anak pertama kalian.
Jangan dipikir bahwa Idan menelepon rumah satu kali sehari Pit. Tapi berkali-kali karena dia sangat menghawatirkanmu. Dia selalu mewanti-wanti ibu agar menjagamu dengan baik, memastikan bahwa kamu sudah makan dengan baik, sudah minum vitamin dan menjaga kesehatanmu.
Bahkan saat dia mengalami kecelakaan di tempat kerjanya sehingga kakinya sampai pincang seperti itu karena mengalami keretakan tulang, dia juga tidak memberitahumu karena dia tidak ingin membuatmu khawatir dan bertambah stress. Dia mengalami keterlambatan pulang karena itu Pit.”
Jadi kaki Idan yang pincang waktu itu gara-gara kecelakaan disana? Ya Tuhan betapa bodoh dan egoisnya aku tidak sempat menanyakan kenapa kakinya bisa pincang seperti itu?
“Jadi jika saat kamu stress dan keguguran kamu menyalahkan Idan, kamu salah Pit. Maaf bukan maksud ibu menyalahkanmu. Tapi Idan tidak sepenuhnya harus menanggung kesalahan itu.
Saat kalian saling mendiamkan, Idan sering curhat ke Ibu kalau dia sangat tersiksa dengan sikapmu. Di sisi lain dia sangat merindukanmu, keceriaanmu, candamu seperti dulu namun di sisi lain dia tidak ingin mengganggumu dan ingin menjauh dulu agar kamu lebih tenang pasca keguguran. Tapi kamu malah makin berprasangka yang tidak-tidak padanya gara-gara sikapnya itu.
Kesampingkan rasa cemburumu yang berlebihan itu Pit. Itu agar mata dan pikiranmu tidak dibutakan oleh prasangka yang tidak-tidak tentang suamimu. Ibu yakin Idan tidak mungkin melakukan hal seperti yang kamu tuduhkan karena ibu juga sangat mengenal Idan.
Selama puluhan tahun saat kalian baru sebatas sahabat hubungan kalian baik-baik saja, saling menerima kekurangan masing-masing dan saling mengerti. Kenapa justru saat hubungan kalian semakin didekatkan oleh ikatan pernikahan, kalian malah semakin tidak mau saling mengerti? Yang karena sedikit kesalahpahaman saja sudah meretakkan hubungan kalian. Camkan kata-kata ibu baik-baik Pit. Sebelum semuanya terlambat dan memburuk lebih jauh.”
Idan kemarin telpon jika dia mau pamitan ke kamu kalau dia mau ada tugas kerja ke Taiwan. Sebaiknya kamu telpon dia balik. Berbicaralah dengannya dari hati ke hati!”
Selepas mengatakan itu ibu meninggalkanku sendiri di teras rumah. Dalam lamunan dan kesendirianku itulah aku merenungi kata-kata Ibu barusan. Ibu belum pernah menasehatiku seserius ini. Bahkan saat dulu menganjurkanku untuk segera menikah.
Aku kembali merenungkan apakah sikapku ke Idan akhir-khir ini terlalu berlebihan? Bagaimana aku bisa sejahat ini? Bagaimana aku bisa menuduh Idan yang ternyata begitu sayang padaku kalau dia selingkuh dengan wanita lain hanya karena dia makan bareng dengan teman kerja wanitanya? Bukankah bisa saja waktu itu Idan memang sendiri dan tiba-tiba temannya itu ikut nimbrung disana? Ah kenapa aku tidak bisa berpikir lebih jernih pada waktu itu? Aku terlalu terburu-buru menyimpulkan.

Tiba-tiba aku merasa rindu sekali kepada Idan. Aku ingin meneleponnya balik. Aku ingin minta maaf dan ingin mengungkapkan seluruh perasaanku agar semuanya kembali clear. Meskipun aku tidak tahu apakah saat berbicara dengannya kata-kataku akan benar-benar keluar atau tidak. Tampaknya aku lebih fasih mengeluarkan isi hatiku ketika bertengkar daripada ketika berbicara dari hati ke hati.
Kutekan tombol-tombol pesawat itu dengan nomer rumah kami. Sesaat nada sambung terdengar dan tidak ada jawaban. Kutelpon sekali lagi dan ternyata tidak ada jawaban juga.
Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?
Aku harus ke rumah sekarang. Aku berpamitan ke Ibu dan langsung bertandang ke rumah dengan mobilku. Jalanan kota macet lagi. Ayolah!
Setengah jam kemudian mobilku baru bisa jalan. Kupercepat laju kendaraanku. Aku berharap masih sempat bertemu dengannya dan mengucapkan permohonan maafku. Akan kukesampingkan malu, gengsi dan egoku selama ini di hadapannya nanti.
Sesampai di rumah ternyata sepi tidak ada orang. Untung aku masih bawa kunci serep. Kubuka pintu dan di bawah pintu ternyata ada surat terselip. Ditujukan buatku. Kubuka dan kubaca. Isinya surat pamitan kepadaku?
Ternyata Idan sudah berangkat dari tadi pagi! Dia akan segera berangkat ke Taiwan dengan pesawat nomer penerbangan ini?
Aku harus mengejarnya sampai bandara. Jalanan kota ternyata macet lagi! Aduuuh kenapa harus sekarang ketika aku sangat terburu-buru?
Beruntung macetnya tidak terlalu lama. Kukebut kendaraanku sampai bandara. Aku sudah berusaha secepat mungkin.
Ternyata terlambat. Keberangkatan pesawat menuju Taiwan ternyata sudah beberapa jam yang lalu.
Terlambat sudah. Idan pergi dengan tetap membawa beban kegundahannya padaku. Dan aku tetap disini dengan beban rasa bersalahku padanya.


***


Aku masih mematung di lobi bandara. Tatapanku nanar ke arah signboard penunjuk keberangkatan maskapai pesawat.
Di sela-sela lamunanku kabar itu datang. Dari pihak bandara mengabarkan bahwa pesawat terakhir yang berangat ke Taiwan dengan nomer penerbangan sekian dikabarkan mengalami kecelakaan.

DEG!

Jantungku serasa berhenti. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi Idan tadi?
Aku menjerit! Aku masih belum percaya ini! Apakah ini saat aku harus kehilangan dia? Aku harus kehilangan Idan dan aku belum sempat mengucapkan maafku padanya? Aku belum sempat bilang kalau aku sangat merindukannya dan aku ingin hubungan kami kembali baik?
Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.
Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap...
Ya Tuhan! Apa mungkin dia sudah berangkat ke Taiwan?

Seperti berjalan mundur melewati dimensi waktu aku kembali ke saat-saat bersamanya selama ini. Masa persahabatan kami, pernikahan simulasi kami sampai pernikahan kami yang sesungguhnya saat kami sama-sama menemukan cinta.
Pandanganku tiba-tiba mengabur dan gelap..


***


Saat sadar aku ternyata sudah ada di ruang medis pihak bandara. Petugas bilang kalau aku sudah pingsan selama satu jam. Aku mengira kalau aku baru saja bangun dari mimpi buruk namun saat kutanyakan perihal kecelakaan pesawat yang baru saja terjadi, petugas itu membenarkannya.
Nyata kah ini?!
Sambil menahan tangis aku menelepon orang-orang rumah tentang kecelakaan itu. Aku berusaha tegar saat megabarkannya meskipun dalam hati aku sangat ingin menjerit sejadi-jadinya. Orang rumah kaget dan segera menuju bandara untuk menemuiku. Saat mereka sampai, di bandara sudah banyak sekali wartawan yang ingin meliput kejadian itu.
Ibu datang sambil menangis dan langsung memelukku. Aku berusaha setegar mungkin di depan keluargaku. Mereka bertanya ini-itu namun aku enggan menjawab semuanya. Aku belum sanggup untuk menjawabnya. Please jangan tanya dulu sekarang.
Kami menunggu beberapa saat di bandara untuk menunggu kabar kepastian siapa saja korban kecelakaan itu. Hidung dan telingaku mulai terasa panas. Mataku sudah mulai pedih dan berkaca-kaca. Saat itulah aku mulai tidak tahan dan aku ijin untuk ke kamar mandi sebentar. Aku hanya ingin menenangkan diri sebentar di sana. Aku ingin sendiri.
Air mataku tumpah begitu aku berada di dalam kamar mandi. Aku berusaha membasuh mukaku dengan air agar air mataku luruh bersamanya. Namun sia-sia. Tangisku justru semakin pecah dan aku jatuh bersimpuh dilantai meratapi kebodohanku, kenaifanku, keegoisanku,... dan Idan...


***
Aku sudah mulai tenang dan bisa mengendalikan diriku. Aku tidak mau terlihat cengeng di hadapan keluargaku nanti. Jika kakak-kakanya Idan sudah menangis tersedu-sedu seperti itu dan aku juga ikut-ikutan menangis,lantas siapa yang akan menghibur dan menenangkan mereka nanti?
Saat berjalan keluar dari kamar mandi aku terburu-buru karena aku tidak mau kalau sampai dicegat wartawan untuk ditanya-tanya karena aku salah satu keluarga korban. Saat itulah aku bertubrukan keras dengan seseorang yang berjalan sama terburu-burunya denganku sampai air di gelasnya tumpah semua ke bajuku dan jaketnya.
“Aduh maaf mas gak sengaja.” Aku masih menunduk membersihkan bajuku yang basah oleh minuman dingin itu.
“Upit?” Suara itu memanggilku dan aku sangat mengenalinya!
“Idan!” kutatap sosok yang berdiri tegap di hadapanku. Mimpikah diriku?
“Upit! Kamu disini ngapain?” Idan menghampiriku dan memegang pipiku yang masih basah oleh air mata.
“Kamu habis nangis?”
Aku hanya bergeming menatapnya saat itu.
Kami berdua terpaku sesaat saling menatap penuh arti.
Sesaat kemudian Idan merentangkan kedua tangannya dan aku pun langsung menubruknya dan memeluknya erat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi saat ini. Aku hanya ingin menumpahkan tangisku sejadi-jadinya di pelukannya. Tangis kesyukuran bahwa aku belum kehilangan dia. Syukur bahwa sosok yang kucintai masih bediri tegak dan nyata di hadapanku saat ini. Ini bukan mimpi. Ya, ini bukan mimpi.


***


Kami duduk berdua di lobi bandara. Keluarga besar kami sudah pulang semua. Mereka sangat bersyukur dan bahagia karena Idan bukan salah satu korban kecelakaan pesawat itu. Hanya nyaris. Bahkan mbak Ira, kakak tertua Idan tak kuasa membendung keharuannya dengan mencubiti Idan. Gemes karena bikin khawatir satu keluarga besar.
Aku masih penasaran bagaimana kejadiannya tadi bisa seperti itu. Dan saat kutanyakan hal itu kepada Idan, dia menjawab polos,
“Sampai bandara tadi aku tiba-tiba merasa sangat lapar. Aku baru sadar kalau tadi pagi belum sempat sarapan jadi aku makan di kantin dulu. Dan karena sangat lapar aku makan agak banyak jadi agak lama sampai tanpa sadar aku sudah terlambat masuk pesawat. Akhirnya daripada terburu-buru sementara perutku baru aja penuh isinya, maka aku berencana ikut pemberangkatan pesawat yang berikutnya saja. Tiketnya gak masalah karena perusahaan yang nanggung.
“Hmm beberapa hari ini nafsu makanku memang sangat berkurang sekali karena mikirin kamu. Aku kangen sekali sama kamu tapi kalau aku telpon kamu selalu menolak berbicara denganku. Aku semakin gak nafsu makan di rumah. Ternyata gak enak makan sendirian”
“Iya kamu emang tampak lebih kurusan sekarang” kubelai pipinya yang makin tirus.
“Emang makan sendiri gak enak. Tapi bukan berarti kamu boleh makan berdua dengan wanita lain!” Aku mengingatkan kejadian waktu itu sambil menepuk pipinya.
“Lho kok?” Idan tampak terkejut dan heran namun sesaat kemudian langsung menyadari apa yang barusan aku katakan.
“Itu kan cuma kebetulan saja Pit! Sueer! Kebetulan dia lewat dan lihat kursi di mejaku kosong jadi dia makan disitu.” Idan menjelaskan dengan menggebu-gebu sambil meringis menahan perih di pipinya.
“Iya iya aku gak marah kok. Aku sekarang yakin kalau kamu memang suami paling setia yang pernah kutemui. Aku yakin kamu tidak akan pernah menghianatiku.” Kataku kemudian.
“Iya Pit aku janji kalau hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai sampai maut memisahkan kita. Dan kalau itu terjadi barulah aku cari wanita lain hehehe.”
“Oh jadi kamu ndoain aku lebih dulu mati?!” Aku langsung manyun dan kutinju tangannya. Dia menjerit mengaduh.
“Tidaaakkk! Ampun non Puspitaaaa!!” Idan pun lari keluar dengan aku yang mengejarnya di belakang. Hari ini banyak sekali hal besar kualami. Sekali lagi, menikah denganmu memang tidak pernah membosankan Dan..


***

Hari-hari berikutnya kami lalui dengan senyum kebahagiaan. Kami selalu mengingat hal-hal yang telah kami lalui sebelumnya. Begitu berliku dan membuatku belajar lebih banyak tentang cinta dan kesetiaan. Membuatku mengenal lebih banyak tentang bagaimana seharusnya sepasang suami istri saling bicara dan bagaimana mempertahankan keharmonisan rumah tangga kami.
Kami sadar bahwa mengarungi samudra kehidupan dalam bahtera pernikahan tidaklah selalu berjalan mulus bak dongeng putri yang pada endingnya selalu hidup bahagia selamanya. Kadang juga ada badai dan batu karang yang melintang. Kadang ada perompak yang menghadang.
Semua kembali pada pribadi kita masing-masing apakah bisa menjadi sosok yang mampu mencintai menghargai pasangannya apa adanya, menerima segala kelebihan-kekurangan dan melengkapinya dengan kelebihan-kekurangan kita. Dan tak lupa, niatkan semuanya hanya untuk-Nya.
Sebisa mungkin gunakan waktu kebersamaan yang ada sebaik mungkin. Seperti saat ini, aku dan Idan sedang sarapan bareng sambil ngobrol kesana-kemari.
“Aduh perutku!” tiba-tiba perutlu terasa mual-mual hebat.
Aku pun langsung ke kamar mandi dan morningsick itu kembali menyerangku. Di dalam kamar mandi aku muntah-muntah sejadi-jadinya. Rasanya seperti dipencet perutku. Di luar Idan menungguku dengan harap-harap cemas.
“Upit kamu gapapa kan?” tanyanya.
Setelah kelar akupun keluar dari kamar mandi dan dipapah ke kamar oleh Idan. Sesampai di kamar aku langsung dibaringkan di ranjang.
“Kamu sakit lagi Pit? Aku antar ke dokter ya?” tanyanya cemas.
“Aku tidak apa-apa kok. Kamu berangkat ke kantor aja sekarang.”
“Sebaikknya aku antar kamu ke dokter sekarang. Aku takut kamu kenapa-napa lagi kaya dulu Pit!’
“Aku sudah bilang aku gapapa Dan! Aku cuma terlambat datang bulan selama seminggu ini.”
“Terlambat datang bulan? Jangan-jangan?”
Aku hanya tersenyum penuh arti memandang wajah Idan yang masih tampak bertanya-tanya penasaran..


TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar