Jumat, 28 Maret 2014

Mahkota Cinta (Part 5)

Maka saya memilih saran yang kedua Pak. Lebih baik saya menikah saja dengan gadis itu. Dia masih gadis Pak. Dan baik hatinya."
Pak Muslim mengangguk-anggukkan kepala.
"Jadi kau benar-benar akan menikahi dia?"
"Iya Pak."
"Kau mantap?"
"Mantap Pak. Toh sudah saatnya saya menikah. Sekarang atau besok sama saja, saya harus menikah."
"Kau siap dengan segala risikonya?"
"Siap Pak. Mas Yahya sudah memberikan gambaran yang jelas. Bapak tadi juga menambahkan penjelasan. Saya harus bagaimana jika menikah?"
"Bagus! Itu baru lelaki! Kalau begitu kau harus semangat, kau akan menikah Zul! Kau akan jadi suami! Kau akan jadi kepala rumah tangga! Kau akan jadi ayah! Ayo semangat!"
"Iya Pak! Saya akan bangkit! Saya akan semangat!"
"Bagus! Kenapa tidak begird sejak dulu-dulu itu Zul, hah!?"
"Jadi Bapak benar-benar mendukung saya menikahi dia?"
"Menikah kan baik, kenapa tidak saya dukung. Sudahlah, kapan kau akan menemui dia, aku akan
menemani kalau perlu. Dan kapan kau akan melamarnya?"
"Bagaimana kalau aku temui dia besok Pak?"
"Bagus semakin cepat semakin bagus! Sekarang kau harus melihat kembali jadwal-jadwalmu. Harus kau tata. Jadwal kuliahmu. Jadwal kerjamu dan lain sebagainya."
"Iya Pak. Baik!"
"Besok ya berangkat menemui dia?"
"Iya Pak."
"Jam berapa Zul."
"Pagi-pagi saja Pak sebelum jam delapan. Dia biasa berangkat kerja jam delapan."
"Baik. O ya sebaiknya kau telpon dia dulu. Agar dia tidak pergi."
"Baik Pak."
Pak Muslim gembira melihat Zul kembali ceria. Orang jatuh cinta memang begitu. Jika harapan bertemu dengan yang ia cintai datang ia akan hidup penuh semangat dan harapan. Zul sendiri merasakan matahari kehidupannya yang selama ini redup kini kembali bersinar terang.
Zul langsung turun ke bawah mencari wartel. Satu wartel telah buka, ia langsung menghubungi nomor Mari. Berulang kali nomor itu ia hubungi namun tidak bisa nyambung. Ia agak kecewa. Ia kuatir Mari ganti nomor. Ia juga menyesal kenapa selama ini ia ragu-ragu dan gamang setiap kali mau menghubungi nomor Mari. Tiga bulan lebih, sejak kejadian percobaan pemerkosaan di
rumah Mari itu, ia tidak berhubungan dengan Mari. Ia kuatir Mari telah pindah rumah. Tapi ia yakin Mari akan mudah dicari. Jika pun pindah rumah, teman-teman Mari pasti masih ada yang tinggal di situ.
Sorenya Zul kembali mencoba mengontak nomor Mari, tapi tidak berhasil juga. Berkali-kali operator seluler menjelaskan nomor itu sedang tidak aktif. Zul kembali ke flat dengan hati kecewa. Namun Zul tetap bersemangat besok pagi berangkat ke Subang Jaya untuk menemui Mari dan mengungkapkan isi hatinya. Teman-teman satu rumahnya mendukung langkah yang akan diambil Zul. Rizal bahkan siap membantu mencarikan rumah yang harga sewanya murah untuk pasangan keluarga. Yahya menyemangati Zul untuk bangkit dan tidak kehilangan semangat.
Malam itu, untuk pertama kalinya Zul tidur dengan dada terasa lapang. Dan malam terasa segar dan ringan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya yang ia rasakan terasa sumpek dan berat. Terbitnya harapan yang terang dalam hati membuat hidup terasa ringan dan menyenangkan.

* * *

Pagi itu ia telah bangun sebelum azan Subuh berkumandang. Mengetahui hal itu Pak Muslim sangat bahagia. Zul agaknya mulai mendapatkan kembali nyawanya. Selesai shalat Subuh Zul dan Pak Muslim langsung meluncur dengan KTM ke KL Sentral. Dari KL Sentral mereka naik bus Rapid KL ke Subang Jaya. Jam tangan Pak Muslim menunjukkan pukul 07.25 ketika mereka turun dari bus dan memasuki kawasan perumahan Taman Subang Permai. Hati Zul berdegup kencang ketika ia merasa semakin dekat dengan rumah Mari. Sepuluh menit kemudian mereka telah sampai di depan rumah Mari. Zul agak terkejut. Rumah itu sepi. Dan di pintu rumah serta di pagar gerbang rumah itu ada kain kuning yang terbentang bertuliskan: For Sale/For Rent. Dan ada nomor telpon di bawahnya.
"Ini rumahnya Zul?"
"Iya Pak."
"Kau yakin."
"Tak mungkin salah Pak. Itu nomornya 8A."
"Berarti mereka telah pindah. Dan mungkin telah lama. Kaubaca kan rumah itu ditawarkan untuk dijual atau disewa."
"Iya Pak, terus bagaimana ini Pak?" kata Zul murung.
"Kau masih bersemangat untuk mencarinya?"
"Tentu Pak. Sampai ke ujung dunia pun kalau perlu."
"Wah kau ini, jawabanmu itu kayak lakon di film saja."
"Tapi aku harus menemukan dia Pak?"
"Gampang. Coba kita tanya tetangga sebelah. Siapa tahu mereka tahu ke mana pindahnya Siti Martini dan teman-temannya."
"Iya Pak."
Mereka berdua lalu bertanya pada tetangga sebelah kanan rumah itu. Yang mereka tanya seorang wanita Melayu setengah baya yang sedang menggendong anak kecil. Ketika Pak Muslim menanyakan perihal Siti Martini dan teman-temannya yang pernah tinggal di rumah No. 8A, wanita itu menatap penuh curiga. Pak Muslim menangkap kecurigaan wanita itu. la menegaskan
bahwa dirinya bermaksud baik, tidak ada maksud jahat. Wanita itu malah masuk ke dalam rumah tanpa berkata apapun. Pak Muslim merasa ada yang tidak beres. Dua menit kemudian wanita itu keluar sambil membawa koran. la berikan koran itu pada Pak Muslim.
"Sila Encik bace berita itu baik-baik!" kata wanita itu.
Pak Muslim membaca berita di koran yang ditunjukkan oleh wanita itu. Pak Muslim membaca dengan seksama dengan wajah dingin. Zul yang berdiri di sampingnya turut membaca. Baru membaca tiga baris Zul langsut berkata setengah teriak,
"Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!"
Wanita itu memperhatikan Zul dengan wajah heran bercampur curiga.
Pak Muslim menuntaskan bacaannya sampai akhir.
"Tenang Zul, ini baca dulu sampai akhir baru kita pikir dengan jernih," kata Pak Muslim tenang.
Dan dengan mata berkaca-kaca Zul membaca berita yang membuat hatinya remuk redam. Dengan jelas ia membaca nama inisial Siti M yang turut ditangkap pihak polis. Selesai membaca berita di koran itu airmatanya meleleh. Dengan suara lirih tertahan ia berkata pada
dirinya sendiri,
"Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya."
Pak Muslim menukas pelan, "Tenang Zul. Sabar!"
"Seminggu yang lalu polisi menangkap mereke. Mereke semua penghuni rumah itu. Mereke semua perempuan lacur. Mereke menjadikan rumah itu markas pelacuran. Sekarang mungkin sedang dibui. Kalau boleh tahu Encik berdua ini ada hubungan apa dengan mereke berdua ya?"
Pertanyaan wanita muda itu membuat Pak Muslim agak tergagap. Ia sempat bingung menjawabnya. Tapi spontan ia menjawab,
"Dia ini adiknya, salah satu kakaknya ada yang tinggal di rumah itu. Dia ingin mengetahui keadaan kakaknya."
"Aduh kasihan. Kakak awak sekarang di dalam bui. Ya tapi begitulah semestinya balasan untuk pelacur, perusak moral masyarakat."
Hati Zul semakin perih. Ia mengajak Pak Muslim segera pergi meninggalkan tempat itu. Matahari harapan yang sempat bersinar di dalam hatinya kini sama sekali padam. Pak Muslim mengerti dengan kesedihan Zul.
Beliau membesarkan hati Zul dengan berkata,
"Ini skenario Allah yang terbaik Zul. Kau jangan malah lemah. Kau justru harus kuat. Sekarang fokuskan untuk belajar. Percayalah Allah akan memberimu ganti yang lebih baik. Percayalah!"
"Iya Pak, insya Allah ini jadi pelajaran sangat berharga bagi saya. Doakan saya ya Pak. Dan jangan bosan menasihati dan membimbing saya." Jawab Zul sambil menyeka airmatanya yang meleleh di pipinya.

Sudah sepuluh jam Zul di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya. Sejak jam delapan pagi sampai jam lima sore. Matanya terasa berat. Kepalanya seperti berdenyut. Inilah hari kelima ia memenjarakan diri di perpustakaan. Empat hari sebelumnya di Perpustakaan Fakulti Pendidikan. Hari ini ia berada di Perpustakaan Akademi Pengajian Islam untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan kecil penulisan ayat dan hadis. Ia menulis tentang pendidikan
pesantren dan dampaknya terhadap kedewasaan berpikir masyarakat Indonesia. la menyempitkan wilayah kajiannya pada pesantren-pesantren di Pati. la sudah bertekad tesisnya harus selesai ia perbaiki dalam satu minggu. Para guru besar yang menilai tesisnya memberi catatan agar ia memperbaiki tesisnya dalam waktu satu bulan.
Perpustakaan Akademi Pengajian Islam itu telah sepi. Di lantai dua hanya tinggal dirinya saja. Petugas perpustakaan telah mengumumkan dua puluh menit lagi perpustakaan tutup. Zul berdiri sejenak. Ia menggerakkan tubuhnya dengan memutar kedua tangan ke kiri dan ke kanan. Kepalanya ia jatuhkan ke kiri dan ke kanan. Setelah itu ia merapikan buku-buku yang baru saja ia baca. Kertas-kertas berisi catatan-catatan penting untuk memperbaiki tesisnya ia periksa sesaat. Lalu ia masukkan ke dalam map plastiknya. Setelah merasa tidak ada yang ganjil ia turun ke bawah.
Di bawah, keadaan sudah sepi. Yang ada adalah petugas perpustakaan empat orang dan dua orang gadis melayu yang juga sedang berkemas dan siap pergi. Che Mazlan, petugas perpustakaan paling ramah menyapanya dengan tersenyum,
"Sudah ketemu semua yang dicari Ustadz?"
Karena memakai kopiah putih Zul dipanggil Ustadz. Ia hanya menjawab dengan senyum dan menganggukkan kepala dengan ramah. Kepalanya mulai terasa pening. Ia berjalan ke tempat meletakkan tas. Mengambil tasnya.
Memasukkan map plastiknya ke dalam tas. Dan melangkah keluar. Ia lihat jam tangannya.
"Ashar baru mau masuk."
la merasa harus segera mengisi perutnya yang sejak pagi hanya terisi sepotong roti canai dan segelas air putih. Ia bergegas turun ke tempat parkir. Sepeda motor tuanya begitu setia menunggunya. la ambil helm. Dan beberapa jurus kemudian dengan pelan namun pasti Honda butut itu membawanya meluncur ke kanlin kolej.
Sore itu kantin kolej padat pengunjung. Kantin yang dikenal paling murah di seluruh kawasan Univesiti Malaya itu begitu hidup. Padat bergairah, namun tetap rapi dan bersih. Ada lima belas cafe dan kedai. Sore itu semua buka. Bisa dipastikan sembilan puluh sembilan persen
Pengunjungnya adalah mahasiswa. Termasuk dirinya. la memilih SR Cafe, atau Sila Rasa Cafe. la ambil nasi, sayur kangkung, ayam goreng dan sambal. Seorang penjaga SR Café berkerudung coklat muda bertanya, "Minum apa Dik?"
"Teh O panas Kak." Jawabnya sambil meletakkan piringnya yang penuh nasi dan lauk. la memang mengambil nasi dengan porsi banyak. Sebab ia merasa sangat lapar. Sepuluh jam duduk serius di perpustakaan telah membuat tenaganya terasa terkuras habis.
"Berapa Kak? Tambah minum Teh O panas," tanyanya pada kasir.
"Empat ringgit dua puluh sen."
Ia keluarkan lima ringgit. Lalu kasir berwajah bulat berkerudung putih itu memberinya uang kembali. Tiga keping uang logam. Lima puluh sen, dua puluh sen, dan sepuluh sen. Total delapan puluh sen.
Zul melangkah mencari tempat yang kosong. Ia lemparkan pandangan matanya ke segenap arah.
Hampir semuanya terisi. Di pojok sebelah kanan tampak sepasang mahasiswa China meninggalkan tempatnya. Ia segera bergegas ke sana. Ia melangkah cepat. Jika tidak ia kuatir akan didahului orang lain. Piring bekas makan mahasiswa China ia singkirkan dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya masih memegang piringnya. Seorang petugas kantin agaknya tahu ketidaknyamanannya. Petugas itu dengan sigap langsung membersihkan meja itu. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu piringnya. Meja berwarna putih itu dikelilingi empat kursi
alumunium. Ketika hendak menyantap ia teringatbelum mengambil minumannya. Ia kembali ke SR Cafe dan mengambil Teh O-nya. Mejanya masih utuh, belum ada yang menempati.
Zul mulai makan dengan lahap. Ia merasakan kenikmatan luar biasa.
"Hmm benar kata pepatah China, rasa lapar adalah koki paling hebat di dunia." Lirihnya pada diri sendiri.
Sesekali ia melongokkan kepala memandang ke kiri dan ke kanan. Melemparkan pandangan kalau-kalau ada mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Namun ia rasa agak aneh, sore itu dari sekian pengunjung tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang ia kenal. Bahkan si Edy, si Gugun, si Rizal dan si Emil yang biasanya ada di kantin Kolej pada jam seperti itu pun tidak ada.
Ia terus makan. Seorang mahasiswi berwajah India hendak minta ijin untuk duduk di depannya. Tampaknya mahasiswi itu agak ragu. Mahasiswi itu tidak jadi duduk satu meja dengannya. Mahasiswi itu memilih mencari tempat yang lain.
Sambil makan ia tenggelam dalam lamunannya. Ia melamun tentang masa depannya. Selesai master ia harus bagaimana? Langsung pulang ke Indonesia dan mencari peluang kerja atau usaha, ataukah langsung saja melanjutkan studi mengambil program doktor? Kalau pulang ke Indonesia, di mana ia akan pulang? Ke tempat siapa? Ia merasa sudah tidak memiliki siapa-siapa. Sejak
kecil ia tidak melihat ayah dan ibunya. Menurut cerita Pakdenya, ibunya yang bodoh adalah korban penipuan. Ibunya kerja di sebuah pabrik di Semarang. Di tempat kerjanya ia kenal dengan seorang lelaki. Lelaki itu mengaku dari Lampung. Ibunya terpikat oleh penampilan dan mulut manis lelaki itu. Ibunya ikut saja ketika lelaki itu mengajaknya menikah secara siri. Asal sah menurut syariat tapi belum dicatat secara resmi di KUA. Pakdenya sebagai wali satu-satunya
tidak menyetujui. Pakdenya menginginkan kalau menikah ya menikah serius. Diumumkan terang-terangan dan dicatat secara resmi di KUA. Namun lelaki itu beralasan, keluarga besarnya harus datang ke Demak jika nikah besar-besaran. Dan ia masih harus mengumpulkan biaya untuk itu. Nikah siri adalah solusi agar hubungan dua insan itu halal.
Ibunya yang sudah cinta mati pada lelaki itu mendukung nikah siri. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri jika Pakdenya tidak merestui. Akhirnya Pakdenya terpaksa menikahkan ibunya dengan lelaki itu secara siri. Lelaki itu hidup satu rumah dengan ibunya selama dua bulan. Setelah itu ia pamit pergi ke Lampung untuk menjenguk keluarganya. Dan ternyata tidak
kembali. Padahal saat itu ibunya tengah hamil. Pakdenya mencoba mencari lelaki itu di Lampung. Di alamat yang ada di KTP yang ditinggalkan di Lampung. Ternyata alamatnya fiktif. Ibunya stres. Kesehatannya menurun. Dan meninggal saat melahirkan dirinya.
Sejak itu ia ikut Pakdenya. Pakdenyalah yang ia sebut dengan panggilan ayah. Ia bahkan tidak tahu nama ayahnya. Ketika ia tanya sama Pakdenya nama ayahnya, Pakdenya memberikan KTP yang ditinggalkan ayahnya. Disitu tertulis sebuah nama. Tapi Pakdenya yakin nama itu pun fiktif, alias samaran. Ia merasa tidak punya ayah. Namun ia merasa sedikit tenang bahwa ia terlahir dari hubungan yang halal. Dengan menikah. Meskipun ayahnya menikahi ibunya dengan menipu.
Dengan tidak mengenal ayahnya sejak kecil ia merasa bahagia karena tidak mendapatkan didikan
untuk menipu. Sejak kecil ia dididik oleh Pakdenya untuk jujur dan bertanggung jawab. Selama ini yang ia anggap sebagai keluarga ya Pakdenya. Tapi Pakde yang bertalian darah dengannya
sudah meninggal. Pakde yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri itu telah tiada. Sebenarnya ia telah menganggap Budenya adalah ibunya sendiri. Namun setelah Budenya itu menikah lagi, ia merasa menjadi asing dan tidak enak jika ke rumah Budenya. Apalagi Budenya sudah tidak lagi menempati rumah yang dulu, tapi kini telah pindah ke rumah suaminya yang baru. Pindah
bersama seluruh anak-anaknya. Rumah Budenya yang lama, tempat di mana ia menghabiskan masa kecilnya ia dengar telah dijual. Jika ia hendak pulang ke Indonesia ia mau pulang ke mana? Ia merasa tidak punya siapa-siapa.
Dan jika ia terus lanjut program Ph.D, apakah ia akan hidup dengan cara seperti ini terus. Hidup dengan cara sapi perah. Hidup di Kuala Lumpur dengan tanpa mengenal istirahat. Hidup untuk bekerja sambil belajar.
Itu yang ia rasakan. Jujur saja. Bisa saja ia mengatakan ia bekerja untuk hidup dan bekerja untuk belajar. Tapi ia merasa sepertinya telah diatur oleh waktu untuk bangun pagi, lari ke sana, lari ke sini. Bekerja di sana. Bekerja di sini. Waktu seolah telah memprogramnya begitu, agar ia bisa bertahan hidup. Seolah jika ia menyalahi program waktu itu, hidupnya terancam. Ia terancam tidak bisa membayar sewa rumah, terancam tidak bisa makan, terancam tidak bisa membayar uang kuliah, dan terancam tidak bisa menata hidup lebih layak di masa depan. Ia selalu berusaha menyembuhkan kelelahannya dengan menghibur diri: inilah proses merubah takdir.
Kata-kata yang selalu ia gumamkan saat didera keletihan itulah yang menguatkannya. Ia merasa sejak kecil ditakdirkan untuk menderita. Namun ia merasa Allah tetap menyayanginya. Ia yakin Allah telah menyiapkan banyak jalan dan sebab untuk merubah takdir. Ia yakin dengan usaha yang gigih Allah akan merubah takdirnya. Itulah yang menguatkan dirinya. Namun seringkali ia berpikir, apakah dirinya telah tepat mengambil jalan dan sebab dalam mengubah takdir.
Sejak lulus SMA di Sayung Demak, ia telah berusaha keras. Merantau ke Semarang, membanting tulang di Semarang. Sambil bekerja apa saja di Semarang ia berusaha tetap kuliah. Akhirnya selesai juga S.l-nya. Ia meraih gelar S.Pd. dari IKIP PGRI. Namun meraih gelar S.Pd. ia rasakan belum juga merubah nasibnya. Ia tetap harus bekerja sebagai penjaga parkir di Pasar Johar jika ingin tetap bisa makan. Ia bekerja bersama mereka yang bahkan hanya lulus SD. Ia bahkan sering dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temannya, "Kalau hanya jadi tukang parkir ngapain kuliah sampai sarjana." Ya ia sarjana, tetapi bosnya hanyalah lulusan SD.
Ia lalu berpikir untuk hijrah. Pindah. Mencoba peruntungan baru. Hijrah dari satu takdir ke takdir yang ia anggap lebih baik. Ia nekat ke Jakarta.Di Jakarta ia merasa tidak mendapatkan apa yang ia cari. Sama saja. Ia masih tetap menjadi buruh kasar. Ia merasa tak ada gunanya ia kuliah. Hanya empat bulan ia bertahan di Jakarta. Ia lalu nekat merantau ke Batam. Banyak yang bercerita Batam adalah cara cepat merubah nasib. Di Batam banyak pekerjaan dan banyak uang. Di Batam ia merasa menemukan takdir yang tak jauh berbeda.
Namun ia merasa harus bersyukur, di Batam ia bertemu dengan seorang sosok yang tulus. Namanya Pak Hasan. Dialah orang yang mengarahkannya merantau ke negeri Jiran ini dan menyemangatinya untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.
"Kamu masih muda, seberangilah lautan ini. Dan tuntutlah ilmu ke jenjang yang lebih tinggi di sana. Hanya dengan ilmulah seseorang akan lebih mudah memperbaiki nasibnya. Jangan kuatir, Allah akan membukakan pintu rahmat-Nya untukmu. Di sana, asal adik gigih dan terus ingat Allah, kamu akan tetap survive. Percayalah kamu akan sukses. Percayalah dengan ilmu derajatmu akan diangkat oleh Allah! Dan dalam setiap langkahmu, berpegangteguhlah kamu pada Al-Quran, niscaya kamu akan sukses!" Begit kata Pak Hasan padanya waktu itu, seraya memberikan mushaf kecil Al-Quran.
Ia merasa tak boleh berhenti untuk merubah nasib. Ia harus terus berusaha. Dan dengan modal seadanya, dengan nekat yang disertai sebuah tekad ia merantau ke negeri Jiran ini. Dengan berdarah-darah ia akhirnya bisa tetap hidup dan bisa kuliah pascasarjana. Dan kini ia sudah diambang pintu kelulusan. Tak lama lagi ia akan menyandang gelar M.Ed, atau Master of Education dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Gelar yang keren.
Di desanya, ia mungkin satu-satunya orang yang meraih gelar M.Ed, dari sebuah universitas terkemuka di luar negeri. Menyadari kenyataan itu bukannya ia bangga, justru dadanya kini sesak.
Ia memang bahagia lantaran ia akan segera lulus S.2. Keseriusannya memfokuskan diri pada kuliah dan kerja—usai membaca berita tentang penangkapan Siti Martini dan kawan-kawannya—telah menampakkan hasil. Ia hanya perlu waktu empat semester saja untuk menyelesaikan S.2-nya. Satu bulan lagi, begitu tesisnya ia perbaiki bisa dikatakan ia telah berhasil meraih gelar master.
Namun ia merasa ada yang menyesak di dadanya. Ia merasa masih juga hidup dengan cara bertahan dengan kekuatan otot. Ilmu Sosiologi Pendidikannya ia rasakan belum juga bermanfaat baginya. Yang paling akrab dengannya masih juga kerja-kerja yang mengandalkan otot. Belum kerja profesional yang mengandalkan otak. Jika ia hitung, rata-rata ia harus bekerja dua belas jam setiap hari. Dan ia harus menempuh jarak tak kurang dari dua puluh kilo setiap hari. Selesai kuliah setiap malam ia harus tiba di Jamaliah Cafe tepat jam Sembilan malam dan pulang jam dua malam. Di antara sekian pelayan restoran hanya dia seorang yang calon master.
Rata-rata mereka hanya tamat SMA. Sedangkan sang pemilik restoran hanya lulusan D2 dari sebuah institute tidak terkenal di Shah Alam.
Ia bertanya pada diri sendiri, apakah jika ia melanjutkan Program Ph.D., ia juga akan tetap seperti ini. Bertahan dengan cara seperti ini. Bahkan ketika telah meraih gelar Ph.D. juga akan tetap bertahan hidup dengan cara seperti ini. Dan jika ia pulang ke Indonesia dengan gelar doktor, akankah ia tetap akan bekerja sebagai kuli panggul di pabrik atau kerja otot lainnya?
Atau, ia justru akan masuk dalam daftar panjang para pengangguran yang hidup tak mau mati pun segan? Ia teringat kata-kata Doktor Nyatman, salah satu putra terbaik Indonesia yang kini bekerja di sebuah perusahaan farmasi di Selangor,
"Di Indonesia, doktor yang menganggur sudah mulai banyak. Bahkan doktor yang memiliki kualifikasi keilmuan yang hebat sekalipun. Banyak putera bangsa yang berprestasi, bisa menyelesaikan doktor dan memiliki prestasi gemilang bertaraf internasional tapi sama sekali tidak diapresiasi di Tanah Air. Saya punya kenalan seorang doktor lulusan Jepang yang cemerlang dan mendapat banyak penghargaan internasional atas riset-risetnya yang brilian, namun sama sekali tidak dihargai di Indonesia. la melamar ke pelbagai universitas negeri di Indonesia dan tak ada satu pun yang menerima. Di Indonesia penjilat dan penjahat lebih dihargai daripada ilmuwan dan pahlawan."
Ada nada marah dan pesimis dalam kata-kata Doktor Nyatman. la merasakan Doktor Nyatman seolah-olah menjaga jarak dari Indonesia. Bahkan seolah-olah sudah merasa bukan lagi orang Indonesia. la mengatakan orang Indonesia dengan sebutan "mereka", dan menyebut pemerintah Indonesia dengan sebutan "pemerintah mereka", bukan pemerintah kita. Karena ia hidup di
Malaysia, apakah ia merasa lebih nyaman menjadi orang Malaysia dan tidak lagi merasa menjadi orang Indonesia? Ataukah ia sudah malu menjadi orang Indonesia? Kenapa Doktor Nyatman menyampaikan itu semua kepadanya? Apakah supaya dirinya takut hidup di Indonesia?
Ataukah supaya dirinya benar-benar siap menghadapi beratnya tantangan hidup di Indonesia? Atau bukan itu semua, tapi hanya sebuah ungkapan kejengkelan seorang putra bangsa yang disia-siakan oleh bangsanya sendiri, sampai ia harus mengais sesuap nasi di negeri orang. Padahal gelar doktor dari Jerman telah ia sandang. Jawabnya: Allahu a'lam.
Yang jelas ia sedang berpikir keras, bagaimana takdir hidupnya segera cepat berubah. Ia merasa sudah terlalu lama ia bersabar mati-matian berproses untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik. Yang ia pikirkan apakah ia salah mengambil sebab dan jalan yang disiapkan Tuhan? Kenapa ada orang yang hanya cukup bekerja empat jam saja, di dalam tempat yang nyaman pula, dan hajat hidupnya tercukupi semua. Bahkan berlebih dan bisa membantu dan menolong sesama. Bangun pagi tersenyum, siang tersenyum, malam tersenyum dan tidur pun tersenyum.
Kenapa ada negara yang benar-benar mandiri, bisa memakmurkan rakyatnya dan menjaga kehormatan bangsanya di mata dunia? Negara itu kecil, tidak memiliki kekayaan alam apa-apa. Tapi ia bisa mengendalikan negara sekitarnya bahkan memanfaatkannya. Sementara itu di sisi lain, ia lihat sendiri—bahkan ia mengalami sendiri—ada orang yang nyaris hidupnya ia gunakan
untuk bekerja. Ia bekerja nyaris dua puluh empat jam penuh, namun ia tetap juga sengsara. Hidupnya nyaris tak pernah bahagia. Padahal ia ulet luar biasa.
Ah, ia jadi teringat para petani di desanya. Ia teringat Kang Darsuki. Betapa luar biasa etos kerjanya. Ia selalu bangun jam tiga pagi, jauh sebelum Subuh. Membantu menyiapkan dagangan sang isteri untuk dijual ke pasar. Saat Subuh tiba ia dan isterinya telah berada di pasar. Ia shalat Subuh di pasar. Lalu bergegas pulang, sementara sang isteri berjualan hasil ladang di pasar. Setelah mengurus anaknya yang masih SD, ia langsung ke sawah. Ia biasanya bekerja di sawah sampai jam setengah lima sore. Malam harinya ia gunakan untuk bekerja membuat kursi. Selain sebagai petani ia juga dikenal sebagai seorang pembuat kursi. Namun sampai ia meninggal dunia karena penyakit typus akut, rumahnya masih berdinding bambu dan beratap seng bekas. Dan belum memiliki kamar mandi dan WC yang layak. Di mana letak salahnya?
Kenapa petani Indonesia seolah harus terus miskin, sementara petani dari negeri Jiran saja bisa makmur dan menyekolahkan anaknya ke London? la lalu teringat pada dirinya sendiri. Kenapa ia yang sebentar lagi selesai master masih saja menggantungkan hidup dari mencuci piring di cafe dan restoran, sementara temannya dari Pahang yang juga calon master sudah memiliki dua perusahaan, dan satu kebun kelapa sawit seluas seribu hektar di Sumatera. Ya di Sumatera, Indonesia. Bukan di Melaka Malaysia.

* * *

"Maaf Bang, boleh saya duduk kat sini?" Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia memandang ke arah suara. Seorang gadis Melayu berdiri di depannya. Tangan kanannya memegang piring berisi makanan dan tangan kirinya memegang gelas berisi minuman berwarna cokelat. Bisa susu cokelat atau Milo. Bisa juga teh tarik.
"Em...silakan." Jawabnya sambil mengambil tasnya dari atas meja dan meletakkannya di atas kursi yang ada di samping kanannya.
Gadis itu langsung meletakkan piring dan gelasnya di atas meja. Gadis itu tidak membawa tas. Dengan gerakan yang lembut gadis itu duduk lalu makan. Gadis itu makan dengan menunduk. Ia tidak mempedulikan sama sekali gadis di hadapannya itu. Ia melanjutkan melahap nasi dan lauk yang masih tersisa di piringnya. Setelah nasinya habis, ia meneguk teh O panasnya teguk demi teguk. Ia merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Kehangatan itu juga mengaliri syaraf-syaraf kepalanya. Dan perlahan rasa peningnya memudar dan hilang.
Tanpa terelakkan ia sempat juga memperhatikan gadis di depannya, yang sedang lahap makan. Gadis itu memiliki tahi lalat di dagu sebelah kiri. Paras wajahnya memancarkan pesona khas gadis Melayu. Baju kebaya panjang berwarna biru muda membalut tubuhnya. Ia tidak memakai jilbab. Rambutnya tergerai sebahu. Rambut itu hitam pekat dan berkilau indah.
Zul merasa ada yang janggal dengan cara makan gadis itu. Gadis itu makan dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegangi handphone yang ia tempelkan ke telinga kanannya. Bahkan ketika sudah selesai bicara pun gadis itu tetap makan dengan tangan kiri dan tangan kanannya dibiarkannya tidak bekerja. Ia merasa harus meluruskan
kejanggalan itu.
"Maaf Dik, boleh saya cakap sesuatu," katanya tegas pada gadis itu.
Gadis itu menghentikan makan dan memandang ke arahnya. Gadis itu menganggukkan kepala mengiyakan.
"Adik seorang Muslimah?"
Gadis itu kembali menganggukkan kepala.
"Maaf, ini hanya pelurusan kecil saja. Agar makan dan minum adik benar-benar barakah, sebaiknya adik makan dan minum memakai tangan kanan. Tidak memakai tangan kiri. Itu cara minum yang tidak disukai Rasulullah Saw. Maaf saya tidak bermaksud apa-apa kecuali kebaikan."
Muka gadis itu sedikit memerah.
"Terima kasih atas nasihatnya. Tapi kenapa Abang pedulikan saya? Apa Abang tidak punya urusan yang lebih penting?"
Agaknya gadis itu tersinggung.
"Sekali lagi maafkan saya Dik, jika ini mengganggu kenyamanan adik. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya entah kenapa saya merasa hati ini tidak bisa diam setiap kali melihat ada sesuatu yang kurang pas. Sekali lagi maafkan saya, saya hanya ingin cara makan adik sesuai dengan sunnah Rasul. Itu saja. Tak ada maksud lain. Itu pun kalau adik berkenan."
Zul bangkit dari kursinya dan bergegas ke sepeda motornya yang terparkir tak jauh dari tempat makan. la sama sekali tidak mempedulikan reaksi gadis itu. Yang ada dalam benaknya adalah segera sampai rumah. Istirahat sebentar. Mandi. Menunggu Maghrib. Dan selepas shalat Maghrib kembali memperbaiki tesisnya. Malam nanti ia akan kerja lembur untuk tesisnya. la telah ijin tidak kerja di Cafe Jamalia.
Dengan tenang Zul menaiki motor bututnya, dan melenggang meninggalkan kantin kolej. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa gadis Melayu itu terus memperhatikan dirinya sampai ia hilang dari pandangan gadis
Waktu terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang yang malang dan sejarah orang-orang yang beruntung. Waktu terus berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti.
Zul termenung di kamarnya memikirkan waktu yang ia lalui dan perubahan-perubahan yang ia alami. Alangkah cepat waktu berjalan. Dan alangkah cepat umur berkurang. Ia merasa seperti baru kemarin ia lulus SD, terus SMP, terus SMA. Kenangan-kenangan saat di SMA terbayang di depan mata. Ia seolah ada di dalamnya. Perubahan terasa sangat cepat. Ia menyadari bahwa ia ternyata sudah dua tahun lebih di Malaysia. Ia sudah selesai S.2.
Sepertinya baru kemarin ia masuk flat itu diantar oleh Pak Rusli. Lalu berkenalan dengan Sugeng, Yahya, Arif, Rizal dan Pak Muslim. Sekarang mereka sudah tidak ada lagi di flat itu bersamanya. Sugeng sudah selesai setengah tahun yang lalu dan kini mengajar di STAIN Kendari.
Yahya sedang menempuh program Ph.D., ia kini tinggal di Sigambut bersama isterinya. Arif sudah selesai masternya dan kini bekerja di sebuah Bank Syariah di Semarang. Rizal juga sudah selesai, ia mendirikan penerbitan di Bandung. Pak Muslim sudah menyelesaikan doktornya dan telah kembali mengajar di UNY.
Orang yang dulu satu rumah dengannya telah meninggalkannya. Kini ia tinggal bersama adik-adik yang lebih muda yang baru datang. Tak terasa. Ia sudah mulai merasa semakin tua. Umurnya sudah mendekati kepala tiga. Sugeng, Yahya, Arif dan Rizal semuanya sudah berkeluarga. Hanya dirinya yang belum. Semua sudah mengamalkan dan membagi ilmunya. Hanya ia seorang yang ia rasa belum. Ia masih saja seperti dulu. Bekerja di cafe dan restoran. Ia masih memikirkan tentang nasibnya yang ia rasa belum mengalami perubahan. Ia gelisah. Akan ia bawa ke mana gelar M.Ed.nya? Apakah hanya untuk memperpanjang namanya saja. Biar tampak ada gelar di belakangnya?
Hari itu jam tiga siang ia merasa harus silaturrahmi ke rumah Yahya. Ia ingin mendiskusikan kegelisahannya. Ia harus mengakui terkadang ia merasa sangat jauh dari dewasa. Ia merasa belum bisa berpikir tenang dan jauh ke depan seperti Yahya. Ia juga sering bertanya pada
dirinya sendiri apakah kegelisahannya seperti itu termasuk tanda-tanda tidak menyukuri nikmat Tuhan?
Bukankah Tuhan telah banyak merubah dirinya. Dari orang jalanan yang terbuang dari kota ke kota menjadi orang yang hidup tenang. Dari orang yang pernah nyaris binasa karena dibelenggu oleh syahwat cinta menjadi orang yang merdeka.
Ketika ia sampai di rumah Yahya ia langsung menyampaikan kegelisahannya. Yahya menjawab,
"Bersabar dan bersyukurlah Saudaraku. Jangan tergesa-gesa. Tetaplah sabar dan istiqamah dalam berusaha. Syukurilah apa pun karunia yang dilimpahkan oleh Allah. Jangan kau mendikte Allah. Jangan kau berprasangka buruk pada Allah. Allah-lah yang Maha tahu yang terbaik untuk kita. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah. Dan apa yang menurut kita tidak baik belum tentu tidak baik menurut Allah. Apa yang kita sukai belum tentu itu baik bagi kita.
Dan apa yang kita benci belum tentu tidak baik bagi kita.
Bisa jadi, sampai saat ini kau masih bekerja di cafe, karena itu memang yang terbaik. Bisa jadi setelah itu akan ada hikmah yang luar biasa bagimu. Yang paling penting bersabar dan bersyukurlah. Optimislah. Dan berprasangka baiklah kepada Allah."
Zul merenungkan perkataan sahabatnya itu.
Yahya mempersilakannya untuk mencicipi agar-agar buatan isterinya. Zul mengambil satu dan memuji,
"Agar-agarnya enak."
Spontan Yahya menjawab, "Makanya segera menikah, biar ada yang membuatkan agar-agar."
"Kalau kau ada calon untukku boleh Ya. Aku merasa sudah tiba saatnya. Orang satu rumah kita dulu sudah menikah semua. Hanya aku saja yang belum."
"Kau serius Zul."
"Serius."
"Kalau orang Malaysia bagaimana?"
"Kalau salehah kenapa tidak?"
"Ini serius lho Zul."
"Ya pasti seriuslah Ya. Masak aku main-main."
"Baik. Ini ada calon. Orangnya baik. Aku berani jamin. Dulu dia teman isteriku waktu kuliah di
Birmingham. Dia Muslimah yang taat. Tidak pernah menanggalkan jilbab. Bagaimana?"
"Boleh saja. Cuma aku kuatir kalau aku mau dan dianya tidak mau."
"Bagaimana kalau sebaliknya. Ternyata dianya mau malah kau yang tidak mau."
"Kayaknya itu kemungkinan kecil Zul. Kalau kau sudah berani menjamin baik, masak sih aku tidak mau. Siapa namanya kalau boleh tahu?"
"Laila Abdurrahman."
"Kau mau ta'aruf serius dengannya Zul."
"Wualah tho Ya, Yahya. Berapa kali lagi kau akan tanya tentang keseriusanku. Baiklah, aku serius Ya."
"Kalau begitu kau besok datanglah ke masjid kampus UKM Bangi jam 3 sore. Kau akan aku temukan dengannya insya Allah."
"Baik."

* * *

Hari berikutnya Zul berangkat ke Bangi naik KTM dari Pantai Dalam sampai UKM lalu naik bus mini kuning ke masjid kampus UKM. Yahya ternyata sudah menunggu di masjid. Begitu ia sampai ia langsung diajak ke Fakulti Ekonomi. Ia dibawa ke auditorium. Di sana ada seminar membahas dua judul proposal disertasi doktor. Dua orang mahasiswa program doktor dari
Malaysia mempresentasikan judul proposal disertasi mereka di hadapan dosen dan guru besar.
Zul dan Yahya duduk agak depan samping. Satu per satu kandidat doktor itu mempresentasikan kajiannya. Ada empat profesor yang menilai dan mengkritisi. Di antara empat profesor itu ada profesor madya perempuan yang tampak masih muda dan cantik. Dialah yang menjadi artis di ruangan itu. Zul diam-diam tersihir oleh keanggunan dan kecerdasan profesor itu.
"Ya, perempuan Malaysia ada yang hebat juga ya. Itu yang di depan itu. Masih muda sudah profesor madya. Canggih betul."
"Kau tahu itu siapa?"
"Siapa Ya?"
"Itulah orang yang akan aku kenalkan denganmu."
Zul kaget bagai disambar petir.
"Weh, yang benar donk. Kau jangan bercanda. Masak jauh-jauh datang kemari hanya untuk bercanda?"
"Aku tidak bercanda Zul. Aku serius. Dia itu namanya Prof. Madya Datin Laila Abdul Majid, Ph.D. Dia menyelesaikan S.2 dan S.3-nya di Birmingham. Satu kelas dengan isteriku saat S.2. Hanya saja isteriku pulang ke Indonesia setelah selesai S.2-nya, sedangkan dia langsung lanjut S.3. Kata isteriku, ketika di Birmingham dia termasuk mahasiswi yang disanjung banyak dosen
karena kecerdasannya. Itulah kelebihan yang dia miliki. Bagaimana Zul, mau dilanjutkan apa tidak? Terus terang aku tidak bilang apa-apa padanya. Kalau mau nanti kita datangi dia dan kita ngobrol santai saja. Bagaimana?"
"Lanjut Ya."
"Okay, kau juga harus tahu kekurangannya, kalau ini dibilang kekurangan, dia itu sudah janda. Sudah pernah mau punya anak tapi keguguran. Dia janda karena suaminya meninggal dunia. Bagaimana Zul? Dilanjutkan apa tidak?"
Zul berpikir sejenak. Lalu menjawab,
"Dilanjutkan."
"Baik." Jawab Yahya sambil tersenyum.
Setelah seminar selesai Yahya bangkit. Isteri Yahya ternyata juga ada di ruangan itu. Isteri Yahya menyalami Prof. Datin Laila. Keduanya berangkulan mesra. Lalu Yahya menyapa seraya memperkenalkan Zul. Mereka berempat lalu berbincang-bincang sambil berdiri beberapa saat. Prof. Darin Laila sangat ramah dan murah senyum. Zul terpesona dengan aura kemelayuannya.
Mereka berbincang tidak lama, sebab waktu shalat Ashar tiba. Prof. Datin Laila minta diri ke ruangannya.
Yahya dan isterinya serta Zul bergegas ke masjid dengan mobil Yahya. Di perjalanan isteri Yahya menjelaskan bahwa Laila adalah teman akrabnya saat di Birmingham. Beberapa bulan lalu Laila meminta padanya kalau punya calon yang sesuai untuknya. Orang Indonesia tidak apa-apa. Hari itu Zul seperti mimpi. La seperti tidak percaya kalau calon yang dikenalkan dengannya adalah seorang Datin Laila yang ia rasakan lebih dari seorang bidadari.
"Tapi Datin Laila belum tahu apa-apa. Dia tidak tahu kalau ada orang Indonesia yang melihatnya dan berniat ta'aruf dengannya. Besok baru aku akan jelaskan padanya. Apa kira-kira reaksi dan tanggapan dia. Semoga seperti yang kita harapkan. Kalau melihat suami dia dahulu juga dari kalangan orang biasa. Bukan dari kalangan bangsawan," kata isteri Yahya.
"Insya Allah, kalau ini jodohmu tidak akan lari ke mana-mana Zul." Sambung Yahya.
Zul mengamini dalam hari berharap semoga surge itu telah ia rasakan di dunia.
Setelah shalat Ashar mereka pulang meninggalkan kampus UKM. Yahya dan isterinya membawa mobil. Zul naik bus kuning. Yahya menawarkan padanya untuk satu mobil, tapi Zul ingin berkunjung ke rumah seorang kenalannya bernama Ardan di Hentian Kajang.
Zul naik bus mini kuning ke Hentian Kajang. Ongkosnya cuma tujuh puluh sen. Sepuluh menit
kemudian bus itu sudah sampai di Hentian Kajang. Zul berjalan ke kanan menuju tempat duduk para penumpang.
Ketika ia melewati tempat itu, sekonyong-konyong ada seorang wanita berjilbab yang memanggilnya dengan keras.
"Zul! Mas Zul!"
Ia menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara. Seorang wanita berjilbab dengan wajah gembira melangkah ke arahnya. Ia mengamati dengan seksama, mencoba mengingat-ingat.
"Lupa ya sama saya? Pasti lupa?" kata wanita itu sambil tersenyum.
"Siapa ya? Agak lupa-lupa, ingat," jawab Zul.
"Sudah terlalu sibuk dan sudah lama sekali tidak bertemu jadi kau lupa. Sangat wajar. Apalagi penampilan saya dulu dengan sekarang berbeda. Pasti kau susah menerka."
"Aduh langsung saja. Siapa ya?" katanya sambil melihat jam. Ia memang tidak punya waktu terlalu longgar untuk hal yang kurang penting.
"Baik Mas. Saya Sumi Mas. Saya Sumiyati. Kita dulu ketemu di Subang Jaya. Ingat? Saya dulu tidak jilbaban seperti sekarang."
Seketika Zul terkaget dan langsung tersenyum bahagia.
"O Mbak Sumi. Ya Allah, saya benar-benar susah mengingat-ingat tadi. Saya sepertinya pernah bertemu. Tapi di mana saya tak ada bayangan. Iya Mbak benarbenar beda setelah pakai Jilbab. Tambah anggun."
Sumi tersenyum mendengar pujian.
"Alhamdulillah Mas. Saya bahagia berjalan dalam hidayah ini."
"O ya Mbak cerita teman-teman yang lain bagaimana ya? Saya pernah ke sana ternyata kalian sudah tidak di sana?" Zul pura-pura bertanya tidak tahu. La tidak bisa melupakan berita koran tentang penangkapan penghuni rumah itu.
"Mas belum tahu beritanya ya?"
"Berita yang mana?"
"Ah baiklah. Aku ceritakan biar nanti kalau suatu saat Mas dengar berita itu tidak salah faham. Begini Mas. Kami pergi tepatnya terusir dari rumah itu ada sebabnya. Sebabnya adalah ulah Linda dan Watik yang keterlaluan. Maksiatnya sudah terang-terangan. Aku yakin kau tahu
apa pekerjaan Linda. Melacurkan diri. Biasanya ia dijemput dan berbuat maksiat itu di hotel. Kami mengingatkan tidak mempan. Mbak Mari sering bertengkar dengannya. Apalagi setelah kejadian Mbak Mari mau diperkosa sama mantan suaminya. Mbak Mari curiga Lindalah yang memberitahu keberadaan dirinya pada mantan suaminya. Linda semakin nekat seolah menantang penghuni rumah yang lain. Ia maksiat di kamarnya. Beberapa teman lelaki Linda datang ke rumah. Hal itu dicium oleh masyarakat. Akhirnya rumah itu digrebek. Kami semua dianggap pelacur semua.
Padahal pelacurnya cuma Linda sama Watik. Kami diinterogasi habis-habisan. Kami difoto dan masuk koran. Yang paling sabar dan tabah menghadapi ujian ini adalah Mbak Mari. Mbak Mari berusaha sekuat tenaga berdialog dan menjelaskan bahwa tidak semua yang ditangkap adalah pelacur. Akhirnya Mbak Mari bisa menelpon seorang kenalannya. la anak seorang pejabat penting.
Dengan jaminan temannya Mbak Mari, kami, selain Linda dan Watik dibebaskan. Sejak itu saya memakai jilbab. Saya ingin lebih berarti menjalani hidup ini. Begitu ceritanya Mas."
Zul mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati mendengar penjelasan itu. la merasa berdosa telah berprasangka buruk pada semua penghuni rumah, termasuk pada Mari dan Sumi. Sekarang ia tahu Mari bersih. Ia jadi tidak sabar untuk menanyakan keberadaan Mari. Walau bagaimanapun nama itu pernah tertanam dalam hatinya.
"Lha Mbak Mari sekarang di mana?"
"Dia sudah di Indonesia."
"Ada alamarnya?"
"Sayang tidak ada. Buku catatanku yang ada alamat dan kontak Mbak Mari hilang di bus. Mungkin jatuh. Saya dengar dia sekarang hidup di Semarang. Dan dia juga sudah berjilbab lho"
"Mmm di Semarang. Dia sudah menikah?"
"Saya juga tidak tahu. Tapi dia pernah ngobrol dengan saya. Maaf lho Mas Zul ya kalau tidak berkenan. Ia pernah cerita kalau dia diam-diam suka sama Mas Zul."
Seperti ada setetes embun membasahi hatinya. Wajah Mari hadir dalam pikirannya. Kenangan lama perlahan muncul ke permukaan. Tapi cepat-cepat ia tepis kuatkuat. Ia tidak boleh menghadirkan kenangan itu. Ia telah siap berta'aruf dengan Datin Laila.
"Maaf Mas bus saya sudah datang, saya harus pergi. Saya sekarang tinggal di sekitar sini. Mari Mas. Sukses ya." Sumi minta diri.
Zul terpaku di tempatnya beberapa saat lamanya. Kemudian ia teringat hari sudah sore. Ia harus sudah ada di Pantai Dalam sebelum Maghrib. Keinginannya untuk menemui Ardan terpaksa ia urungkan. Ia langsung bergegas mencari bus ke KL Sentral. Dari KL Sentral ia akan nyambung dengan KTM.

* * *

Hari berikutnya, pagi-pagi sekali Yahya datang ke Pantai Dalam. Yahya menyampaikan hasil komunikasi antara isterinya dan Datin Laila. Zul tidak sabar menunggu berita gembira itu.
"Bagaimana, sesuai harapan?" tanya Zul.
"Pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak masalah...." jawab Yahya tenang.
"Alhamdulillah," potong Zul.
"E dengarkan dulu sampai aku selesai bicara!"
"O masih ada lanjutannya tho. Apa lanjutannya?"
"Ya pada dasarnya Datin Laila menerima dan tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah kakak sulungnya, yang sekarang jadi walinya telah membawa seorang calon untuknya. Datin Laila belum mengambil keputusan. Tapi agaknya Datin Laila merasa berat jika harus berseberangan dengan kakak sulungnya."
"Artinya ia cenderung mengiyakan calon dari kakaknya kan?"
"Begitulah."
Zul menunduk kecewa.
"Kenapa dalam masalah seperti ini aku selalu menuai kecewa ya. Dulu mau serius menikahi Mari tak jadi. Apa ya dosaku ini?"
"Lha mulai berprasangka tidak baik pada Yang Mahakuasa! Sabarlah Zul. Selain membawa kabar menyedihkan itu aku juga membawa kabar menggembirakan untukmu."
‘'Apa itu Ya?"
"Aku kemarin dibel Pak Muslim. Di UNY ada lowongan dosen. Yang dicari S.2 jurusan Psikologi Pendidikan dan jurusan Sosiologi Pendidikan. Ini mungkin rejekimu. Coba kau masukkan lamaran ke sana."
"Wah boleh ini Ya." Zul semangat.
"Caranya bagaimana Ya?"
"Sebaiknya kau pulang ke Indonesia. Masukkan langsung lamaranmu ke UNY. Sekalian bersilaturrahmi ke rumah Pak Muslim. Siapa tahu Pak Muslim juga mencarikan jodoh untukmu. Mahasiswinya yang jilbaber-jilbaber kan banyak."
"Wah saranmu brilian sekali Ya. Dunia ini sejatinya luas ya Ya. Wanita di dunia ini pun miliaran jumlahnya. Tidak cuma Mari atau Laila ya."
"Lha iya lah."
"Kenapa aku baru menyadarinya sekarang ya."
"Karena kamu selalu menyempitkan ruang berpikirmu selama ini Zul. Cobalah kau buka lebar-lebar. Hidup ini akan terasa mudah, menyenangkan, dan menggairahkan."
"Ya sudah saatnya aku meluaskan ruang hati dan pikiran Ya."
"Di antara caranya adalah dengan selalu berprasangka baik kepada Allah."
"Terima kasih Ya. Bisa bantu aku lagi?"
"Apa itu?"
"Pinjami uang untuk beli tiket pesawat," kata Zul tersenyum.
"Tentu bisa."
"Kau memang sebaik-baik teman Ya."
"Kau juga Zul"
"Alhamdulillah."

Tiga hari kemudian Zul terbang ke Yogyakarta. Di Bandara Adi Sucipto ia dijemput oleh Pak Muslim. Begitu bertemu mereka berangkulan erat sekali. Pak Muslim tampak bahagia sekali bertemu dengan Zul, begitu juga Zul. Kesahajaan dan kesederhanaan Pak Muslim sama sekali tidak berubah, meskipun ia telah menyandang gelar doktor. Ia berpakaian biasa, layaknya orang biasa.
Orang yang tidak mengenal Pak Muslim bisa jadi menyangka beliau adalah tukang ojek. Sebab saat itu beliau memakai batik warna tua yang tersembunyi dalam jaket cokelat yang tampak tua. Warnanya telah berubah karena terkena panas dan hujan.
Pak Muslim menjemput dengan mobil Katana tuanya. Beliau langsung membawa Zul ke rumahnya di sebuah perumahan di daerah Maguwoharjo.
"Rumah ini masih menyewa Zul," kata Pak Muslim begitu sampai di rumahnya.
"Doakan tahun depan ada rejeki untuk membeli rumah. Meskipun dengan mengangsur," lanjutnya.
"Semoga Pak."
"Ayo masuk. Kita cuma berdua di rumah ini. Isteriku sedang tugas ke Semarang. Dua anakku sedang di rumah eyangnya di Solo."
Begitu masuk Pak Muslim langsung ke dapur membuatkan minuman.
"Adanya ini Zul." Kata Pak Muslim sambil membawa dua gelas berisi air sirup berwarna hijau.
"Nyaman hidup di Jogja Pak ya?" tanya Zul.
"Nyaman dan tidaknya hidup itu yang mengkondisikan adalah Hati dan pikiran kok Zul. Kalau aku di mana saja merasa nyaman. Aku tak pernah kuatir atau takut sebab aku yakin Allah mengasihiku."
"O ya Pak tentang lowongan itu. Ada berapa kursi? Kira-kira yang daftar banyak tidak?"
"Cuma enam kursi saja. Secara keseluruhan, yang daftar mungkin puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan. Saya tidak tahu persis. Tentang peluangmu, ya yakin saja ini adalah rejekimu. Tapi untuk Sosiologi Pendidikan, saya lihat yang daftar sampai kemarin belum terlalu banyak, kira-kira baru belasan orang. Peluangmu mungkin bagus. Apalagi hanya kau yang meraih M.Ed, dari luar negeri."
"Doanya Pak."
"Semoga. Syarat-syarat sudah lengkap semua?"
"Yang belum foto Pak."
"Nanti foto kilat saja. Supaya besok berkas kamu bisa dimasukkan."
"Iya Pak."
"O iya Zul. Kamu tidak ada rencana nikah? Atau masih mengharap yang di Subang Jaya?"
"Aduh jadi malu. Jangan diingat-ingat Pak. Tapi penggerebekan di Subang Jaya seperti yang tertulis di koran itu ternyata tidak seperti itu lho Pak. Saya jadi merasa berdosa karena berburuk sangka pada semua isi rumah itu."
"Terus sebenarnya bagaimana?"
Zul lalu menceritakan pertemuannya dengan Sumi di Hentian Kajang. Dengan detil dan panjang lebar Zul menjelaskan apa yang ia dapat dari Sumi. Pak Muslim mengangguk-angguk.
"Hmm saya juga berburuk sangka lho Zul. Jika tidak kau beritahu mungkin selamanya dalam pikiran saya yang ada ya persepsi itu. Persepsi satu rumah itu pelacur semua. Kan kasihan mereka yang tidak berdosa. Ini jadi pelajaran penting bagiku Zul. Kabar apa pun saat ini, di
akhir zaman ini harus dicek. Berita saat ini sepertinya kok lebih banyak bohongnya, lebih banyak munafiknya daripada jujurnya."
"Ya alhamdulillah, Allah mempertemukan saya dengan Sumi Pak."
"Terus tentang nikah. Jadi setelah tahu kabar itu apa masih mau mengejar si Siti Martini itu? Atau bagai mana?"
"Aduh Pak itu masa lalu. Sudah biarlah berlalu Pak. Dunia ini kan luas. Jumlah wanita di atas muka bumi ini miliaran Pak. Gadis Muslimah yang belum menikah jumlahnya jutaan Pak, kenapa saya mesti mempersusah diri."
"Wah kamu sudah berubah Zul. Tapi ada satu sifatmu yang aku sangat salut. Dan aku berharap sifat itu tidak pernah berubah apalagi hilang dari dirimu."
"Apa itu Pak?"
"Jujur dan tidak mengada-ada. Itu yang aku suka padamu. Jujur itulah sifat yang mutlak harus dimiliki seorang pendidik di negeri ini. Karena kejujuran sekarang ini jadi barang yang sangat langka Zul."
"Doakan saya bisa terus istiqamah Pak."
"Semoga Zul. O ya kembali tentang nikah. Muslimah seperti Apa yang sekarang kau inginkan. Mungkin aku bisa membantu. Tidak hanya membantumu tapi juga membantu kaum Muslimah yang ingin menikah tapi belum menemukan jodoh. Siapa tahu di antara mereka ada yang sesuai untukmu."
"Yang salehah dan jujur Pak. Ah Pak Muslim kan sudah pernah tinggal bersama saya lebih dari satu tahun. Pasti Pak Muslim tahu yang cocok buat saya."
"Ini Zul. Ada Muslimah baik sekali. Ini menurut isteri saya. Sebab Muslimah ini kenal baik dengan isteri saya. Pernah satu kampus di Bandung dulu. Dia sokarang kalau tidak salah dosen di Universitas Semarang. Baru menyelesaikan Master Ekonominya di UKM Malaysia."
"Umurnya berapa?"
"Ya seumuran isteri saya."
"Kalau seumuran isteri Bapak, berarti sudah tua dong Pak."
"Ei jangan salah. Kau tahu berapa umur isteri Saya?"
"Berapa Pak?"
"Dua puluh delapan tahun. Kau umurmu berapa?"
"Dua Delapan."
"Berarti malah seumuran kan sama kamu. Bagaimana?"
"Boleh Pak."
"Kalau boleh tahu. Dia berjilbab Pak?"
"Kamu ini Zul. Isteri saya ini aktivis dakwah, masak mau mencarikan kamu yang suka tabarruj. Ya pasti berjilbab rapat-lah Zul."
"Kalau begitu boleh Pak. Boleh tahu namanya Pak?"
"Namanya agak panjang Zul. Tapi seingat saya depannya Agustina. Isteri saya kalau memanggil dia Mbak Agustin begitu. Tapi nama penanya kalau dia nulis di koran Asma Maulida, M.Ec. Sebentar aku cari Koran dulu. Ada beberapa tulisan dia yang bagus kok."
Pak Muslim beranjak menuju rak tempat majalah dan koran tertumpuk. la mengolak-alik beberapa Koran sesaat lamanya.
"Lha ini dia." Seru Pak Muslim gembira.
"Ini Zul tulisan dia coba kaubaca." Pak Muslim menyodorkan koran itu pada Zul.
Zul membaca dengan seksama. Runtut, rapi dan argumentatif. Bahasanya enak dibaca.
"Baguskan?"
"lya Pak?"
"Rapi dan runtut kan?"
"Iya."
"Itulah cermin kepribadiannya. Saya pernah bertemu dengannya. Saya salut. Sangat berkarakter
orangnya. Kira-kira bagaimana Zul?"
"Saya manut Pak Muslim saja."
"Baik. Mumpung isteri saya ada di Semarang. Biar dia urus sekalian. Saya telpon isteri saya sekarang saja."
Pak Muslim mengeluarkan handphone-nya dan memanggil isterinya. Langsung nyambung. Zul hanya mendengar suara Pak Muslim:
"O jadi malah sedang bincang-bincang sama dia?"
"Di mana Dik, di Warung Bentuman?"
"Dia belum ada calon kan?"
"Ini, temanku satu rumah yang pernah kuceritakan dulu itu lho Dik."
"Ya, sudah selesai M.Ed dari Universiti Malaya."
"Namanya Ahmad Zulhadi Jaelani. Tulis saja A. Zulhadi Jaelani, M.Ed."
Lalu Pak Muslim menarik hand phone-nya dari telinga kanannya dan bertanya pada Zul.
"Zul, tanggal lahirmu berapa?"
"21 April 1985 Pak." Jawab Zul.
Pak Muslim lalu menyampaikan hal itu pada isterinya. Tak lama kemudian beliau menyudahi
pembicaraannya. Lalu kembali berbicara pada Zul.
"Namanya juga ikhtiar. Ya semoga saja ini berhasil."
"Jadi Agustin itu masih belum punya calon Pak?"
"Ya kata isteri saya begitu. Dia berharap proses kali ini adalah prosesnya yang terakhir. Proses yang mengantarkannya memiliki rumah tangga yang mawaddah wa rahmah."
"Amin. O ya Pak, terus terang saja Pak ya. Bapak ada foto dia?"
"Wah sayang tidak punya Zul. Tapi jangan kuatir Zul. Kata isteri saya, biar prosesnya cepat. Artinya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepat ketahuan tidaknya, Agustin akan ikut isteri saya ke Jogja."
"Mau datang ke sini?"
"Iya. Biar bertemu kamu. Kamu juga biar tidak penasaran. Biar itu tadi cepat jelasnya kalau iya ya biar segera diijab kalau tidak ya biar cepatketahuan tidaknya. Kalau misalnya tidak jadi, karena kau tidak cocok kan sama-sama cepat tahunya. Dan bisa mencari yang lain yang cocok. Kalian kan sudah berumur. Tidak perlu ditunda-tunda atau proses yang rumit dan berbelit-belit
tho?’'
"Iya Pak sepakat."

* * *

Rumah Pak Muslim memiliki tiga kamar. Kamar utama, kamar tamu dan kamar anak. Zul ditempatkan di kamar tamu yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan. Kamar itu penuh buku. Kebanyakan buku-buku tentang pendidikan dan ekonomi. Pak Muslim adalah pakar manajemen pendidikan. Sementara isterinya adalah dosen mata kuliah ekonomi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Yogyakarta.
Siang itu setelah selesai memasukkan berkasnya ke UNY ia diantar Pak Muslim pulang. Ia memang harus istirahat. Sebab sebelumnya ia begadang bersama Pak Muslim di sebuah warung angkring sampai larut malam. Pak Muslim sendiri juga istirahat di kamarnya. Ia telah diberi ijin oleh Pak Muslim kalau mau membaca-baca koleksi perpustakaan pribadinya.
Siang itu ia tidak langsung tidur. Tapi ia melihat-lihat buku yang ada di kamar itu. Banyak judul-judul baru terbitan Indonesia. Ia senang dengan perkembangan penerbitan buku di Indonesia yang semakin marak. Tiba-tiba kedua matanya tertuju pada warna sampul sebuah
buku yang sepertinya pernah ia lihat. Ia ambil buku itu. Buku bersampul biru tua. Terbitan Oxford University Press. Judulnya Game Theory with Applications to Economics. Rasa-rasanya ia pernah memegang buku itu.
Ia mencoba mengetes ingatannya. Di mana ia pernah memegang buku seperti itu. Ia mengingat-ingat tempat-tempat ia bisa mengambil dan membaca buku. Akhirnya ia ingat di kamar Mari di Subang Jaya, saat ia pertama kali tiba di Malaysia. Ia tersenyum bahagia ingatannya masih tajam.
Ia buka buku itu. Halaman pertama. Dan ia bagai tersengat listrik. Nama pemilik buku itu dan tanda tangannya sama dengan yang ia baca di Subang Jaya: Laila Binti Abdul Majid, TTDL Kuala Lumpur. Pikirannya langsung nyambung ke Prof. Datin Laila Abdul Majid. Diakah pemilik buku ini? Dan ia yakin buku yang ada di tangannya adalah buku yang beberapa tahun lalu ia pegang di Subang Jaya. Lalu bagaimana buku itu bisa sampai di rumah ini? Puluhan kemungkinan dan pertanyaan berkelebat dalam pikirannya. Ia tak mau pusing. Ia merasa lelah dan harus istirahat. Masalah buku itu bisa ia tanyakan pad a Pak Muslim nanti.
Lima belas menit sebelum azan Ashar berkumandang ia telah bangun. Pak Muslim telah duduk dengan pakaian rapi siap ke masjid di ruang tamu.
"Bagaimana istirahatnya? Enak?"
"Alhamdulillah. Sudah segar kembali Pak."
"Berarti sudah siap bertemu Agustin ya?"
"Jadi malam ini Pak?"
"Lha iyalah?”
"Cepat sekali."
"Kenapa berlambat-lambat jika bisa cepat."
"Di mana akan ketemu Pak."
"Di sini. Nanti habis Maghrib aku akan jempul mereka di Pertigaan Janti. Mereka naik bus Ramayana. Setelah shalat Isya kita ad akan majelis ta'aruf di sini."
Hati Zul bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka akan sangat cepat proses untuk bertemu dengan calon isterinya. Pak Muslim meneguk air putih yang ada di hadapannya. Zul kembali ke kamarnya untuk bersiap dan merapikan pakaiannya. la kembali keluar dari kamarnya sambil membawa buku bersampul biru tua itu.
"Dari mana dapat buku bagus ini Pak?" tanya Zul. Hatinya penasaran.
Pak Muslim mengulurkan tangannya. Zul memberikan buku itu pada Pak Muslim. Sesaat lamanya Pak Muslim mengamati buku itu.
"Isteri saya yang bawa."
"Dari mana dia dapat?"
"Saya tak tahu pasti Zul. Nanti malam saja kita tanyakan."

* * *

Usai shalat Maghrib Pak Muslim meluncur ke Pertigaan Janti dengan Katana tuanya. Zul memilih iktikaf di masjid sampai Isya. Sebelum azan Isya berkumandang Pak Muslim sudah tiba di masjid dan memberitahu Zul bahwa Agustin sudah ada di rumah.
"Jadi nanti pertemuannya alami saja Zul. Kita pulang dari shalat dan mereka sudah menunggu di ruang tamu. Kita langsung ngobrol dan bincang-bincang santai saja?"
"Saya cuma pakai sarung saja begini Pak?"
"Lha memangnya kenapa? Kalau pakai sarung apa terus hilang ketampananmu?"
"Nggak sih Pak. Nggak apa-apa."
"Agustin sekarang aku lihat agak berubah.”
"Berubah bagaimana?"
"Jadi lebih muda dan segar. Dulu waktu pertama kali bertemu bersama isteri di Semarang, ia kurus, agak sayu dan tampak lebih tua dari umurnya."
"Kalau begitu bagus lah Pak."
"Ya, rejekimu Zul kalau kau punya isteri yang semakin tambah umur tapi wajahnya semakin tambah muda."
"Amin ya Rabb."
Azan Isya dikumandangkan. Jamaah berdatangan. Shalat sunnah didirikan. Lalu iqamat disuarakan. Shaf-shaf dirapikan. Dan sang Imam mengucapkan takbiratul ihram. Zul mengikuti takbir Imam dengan hati bergetar.
Shalat jamaah didirikan dengan penuh kekhusyukan. Dalam sujud Zul berdoa agar dilimpahi kebaikan dunia dan akhirat, serta diberi pasangan hidup yang menjadi penyejuk hati, teman sejati dalam mengarungi hidup beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Selesai shalat Pak Muslim dan Zul melangkah pasti ke rumah. Semakin dekat dengan rumah hati Zul semakin bergetar hebat. Ia akan bertemu dengan Agustin.
Yang dalam bayangannya akan menyejukkan hatinya. Zul sampai di halaman. Pak Muslim melangkah duluan. Dari halaman ia bisa melihat dari terawang sela-sela gorden, ada dua Muslimah berjilbab yang sedang berbincang di ruang tamu. Namun tidak jelas. Jantungnya semakin keras berdegup. Ia berusaha menguasai dirinya, dan menenangkan batinnya.
Pak Muslim sudah mengucapkan salam. Dua Muslimah itu menjawab bersamaan. Zul mencopot
sandalnya. Pandangannya menunduk ke lantai. Pak Muslim masuk. la mengikuti di belakang. la memandang ke depan. Dan...
Pandangannya bertatapan dengan pandangan seorang perempuan berwajah bersih, wajah yang dibalut jilbab merah muda. Wajah yang pernah ia kenal. Mata yang pernah ia kenal. Dan...
"Z...zul!"
Dari bibir perempuan itu tersebut namanya Ia berdiri mematung di tempatnya. Hatinya sesak oleh keharuan luar biasa. Hawa dingin seolah menyebar ke seluruh syarafnya. Tak terasa airmatanya meleleh. Lidahnya kelu.
Perempuan berwajah bersih itu adalah Mari.
"Ja..j.adi ternyata kau Zul!"
Zul tidak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk dengan airmata berderai.
"Yang dimaksud temannya Pak Muslim ini kau Zul?"
Zul kembali mengangguk.
"Ini tidak mimpi kan?!" seru Mari.
"Ti...tidak Mari. Tidak! Ini kenyataan!" Zul buka suara dengan tangis yang pecah. Begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Zul, Pak Muslim langsung mengerti. Beliau meneteskan airmata. Hanya isteri Pak Muslim yang masih bingung.
"Jadi kalian sudah saling kenal?" tanya isteri Pak Muslim heran.
Zul dan Mari menjawab serentak: "I ya!"
Pak Muslim menyuruh Zul duduk Mari tak kuasa membendung tangisnya. Isteri Pak Muslim belum mengerti apa yang terjadi. Pak Muslim lalu menceritakan apa yang terjadi pada Zul saat jatuh cinta pada Mari "Zul bilang namanya Siti Martini." kata Pak Muslim.
Mari menyela "Benar, nama saya memang Siti Martini. Itu nama kecil saya."
Pak Muslim lalu melanjutkan kisahnya Bagaimana Zul nyaris gila dan binasa. Sampai akhirnya ia memanggil Zul dan memberinya tiga saran atau tiga opsi. Lalu Zul memilih opsi yang kedua, yaitu memilih menikahi Mari. Ia dan Zul pergi ke Subang Jaya dan mendapati rumah telah kosong. Seorang perempuan Melayu memberi tahu kalau Mari dan kawan-kawan digrebeg karena dianggap bertindak asusila.
"Saat itu aku lihat Zul sangat terpukul. Aku masih ingat bagaimana ia seolah tidak bisa percaya atas apa yang dibacanya. Ia berteriak histeris 'Tidak mungkin! Tidak mungkin ini terjadi!' Aku melihat bagaimana ia membaca lagi nama inisial Siti M di koran itu dengan hati hancur.
Dengar nada putus asa Zul saat itu mengatakan, 'Sia-sia aku menolongnya. Sia-sia aku mencintainya.''
Mendengar cerita Pak Muslim, tangis Mari menjadijadi. Perempuan berjilbab itu jadi tahu betapa Zul sebenarnya sangat mencintainya. Bahkan sampai sakit karena mencintainya. Dan sampai datang bersama Pak Muslim untuk mencintainya.
Mari lalu berbicara dengan suara terbata-bata.
Menceritakan bagaimana dia sebenarnya sangat berharap Zul datang. Ia lalu menceritakan kejadian pemerkosaan atas dirinya dan bagaimana Zul menolongnya. Sejak itu ia merasa bahwa orang paling berhak menerima pengabdiannya adalah Zul. Mari juga mengakui ia berubah total cara hidupnya karena pesan Zul untuk terus mendekatkan diri kepada Allah. Pak Muslim dan isterinya, ikut terharu mendengar kisah mereka berdua.
"Subhanallah. Allah tidak mempertemukan di Subang Jaya Malaysia, tapi Allah mempertemukan di Indonesia dalam kondisi yang lebih baik, yang lebih barakah. Insya Allah." Kata Pak Muslim dengan berlinang airmata.
"Jadi tak perlu ada ta'aruf ini?" tanya isteri Pak Muslim.
Pertanyaan itu malah dijawab dengan derai airmata oleh Mari.
Semuanya kemudian diam. Masing-masing menyelami perasaan dan pikirannya sendiri-sendiri.
Keheningan tercipta sesaat lamanya. Zul teringat buku bersampul biru tua. Ia beranjak ke kamar dan mengambilnya.
"Kalau boleh tahu bagaimana cerita buku ini. Buku ini rasanya pernah aku baca di Subang Jaya. Kok sekarang ada di sini?" kata Zul.
Mari dan isteri Pak Muslim berpandangan. Mari merasa lebih berhak menjawab,
"Itu buku milik Prof. Datin Laila Abdul Majid. Dosen sekaligus sahabatku. Saat kau baca di kamarku di Subang Jaya, saat itu aku masih kuliah semester tiga. Aku kuliah di UKM mengambil part time. Sambil kerja."
Zul mengangguk. la langsung bertanya, "Kenapa waktu kenalan dulu kau tidak menyebutkan
dirimu mahasiswi? Kenapa malah mengenalkan sebagai pekerja?"
Mari mendesah lalu menjawab,
"Untuk apa aku menonjol-nonjolkan kuliahku. Aku toh sama sekali tidak bohong. Aku memang bekerja. Dan terus terang karena aku beranggapan pada waktu itu sedang kenalan dengan orang yang mencari kerja. Dengan calon pekerja. Bukankah dulu yang kautanyakan padaku adalah informasi tentang pekerjaan. Dan kau juga, kenapa kau tidak pernah bercerita kalau kau adalah mahasiswa di UM?"
Zul diam sesaat, lalu ia berkata lirih, "Jawabannya kira-kira sama denganmu."
Pak Muslim dan isterinya tersenyum.
"Oh ya saya masih bingung. Namamu itu yang benar siapa tho? Zul memperkenalkan dengan nama Siti Martini. Dia biasa menyebut Mari. Tapi kau mengatakan pada isteriku dengan nama Agustina. Isteriku kalau memanggilmu Agustin. Di koran kau pakai nama Asma Maulida? Banyak nama samaran ya?"
Mari menata tempat duduknya dan menjawab, "Baiklah saya jelaskan. Semuanya benar. Artinya semua itu memang nama saya. Saya lahir dengan nama Siti Martini, waktu kelas enam SD, ibu guru membolehkan mengganti nama yang dirasa kurang cantik untuk ditulis di ijazah. Ini agak lucu, tapi memang nyata.
Teman saya namanya Sungatemi, biasa dipanggil Ngat, atau Ngatmi ia ganti jadi Salsabila Ayu Ratnasari. la lalu minta dipanggil Ratna. Ada yang namanya Sukodor, ia ganti jadi Anang Febrian, karena lahir di bulan Februari. Saya bingung. Nama saya Siti Martini, biasa dipanggil
Mar. Saya ikut-ikutan teman-teman, saya minta ibu guru membuatkan nama saya yang cantik dan panjang. Ibu guru membuatkan nama Agustina Siti Mariana Maulida.
Karena saya lahir di bulan Agustus. Untuk nama pena sekarang ini saya sering menggunakan nama Asma Maulida. Asma kepanjangan dari Agustina Siti Mariana. Kepada kolega saya sekarang lebih mantap mengenalkan sebagai Asma. Anggap saja Asma juga nama hijrah saya.
Tapi sebenarnya tetaplah nama asli saya. Kepada teman di Bandung saya memperkenalkan diri Agustin. Dan kepada para pekerja di Malaysia sama memperkenalkan diri sebagai Mar, Mari atau Siti Martini."
"O begitu. Jadi lengkapnya Agustina Siti Mariana Maulida, M.Ec?"
"Iya begitu."

***

Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah dan membahagiakan bagi Zul dan Mari. Mereka sepakat untuk menikah secepatnya.
Dan dua minggu setelah itu mereka mengikrarkan akad nikah di Sragen. Di desa kelahiran Mari. Selanjutnya mereka hidup bersama dalam kesucian. Dan beribadah bersama, saling mendukung dan menguatkan, sujud bersama dalam bingkai mahkota cinta yang terbangun indah di atas mahligai iman dan takwa.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar